Anda di halaman 1dari 29

“Makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh”

Tugas 5 Bab

Dosen Mata Kuliah : Drs. Ucin Sadiah, S.Ag., M.pd.

Sandi Nugraha (1194030124)

Jurusan Manajemen Dakwah 1C

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

2019
Kata Pengantar

Puji syukur atas rahmat yang Allah SWT anugerahkan kepada kita sehingga kesehatan
badan, iman dan pikiran tercurahkan kepada kita melalui rahmat-Nya. Kesehatan merupakan
sesuatu yang paling berharga, dimana menjaga kesehatan pribadi harus dimulai dari menjaga
kesehatan lingkungan baik itu tempat kerja maupun tempat pemukiman kita. Dalam hal ini
sistem Plumbing memberikan andil yang cukup penting untuk menjaga kesehatan lingkungan
gedung atau rumah tempat bekerja maupun tempat bermukim.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk membantu mahasiswa dalam memahami
sebuah bangunan gedung hotel yang memeng sangat rumit untuk mengetahuinya secara otodidak
dan diperlukan keahlian khusus dalam mengonsep sebuah bangunan hotel ini.

Akhirnya kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang sudah mendukung penyusunan makalah ini. Selanjutnya kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga akan menumbuhkan rasa syukur kami
kepada rahmat Allah SWT dan dalam hal perbaikan makalah ini ke depannya.
BAB I

PENDAHULUAN

Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh

Fiqh menurut bahasa berasal dari kata“ faqaha” yang artinya faham, mengerti, pintaratau
kepintaran. Sedangkan menurut istilah dapat dikemukakan oleh para ahli fiqh:

Abdul Wahhab Khalaf, fiqh ialah ilmu hukum syara’ tentang perbuatan manusia yang diperoleh
melalui dalil-dalilnya yang terperinci.

Muhammad Abu Zahrah, fiqh ialah suatu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang amali dari
dalil-dalil yang terperinci.Sedangkan Ushul dalam bentuk jamak dari kata“Ashl”yang berarti
sesuatu yangdijadikan dasar bagi yang lain. Menurut bahasa, ushul fiqh berarti sesuatu yang
dijadikandasar bagi fiqh.

Sedangkan Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas mengenai kaidah-kaidah yang dipergunakan
untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil hukum, seperti Al-Quran dan As-Sunnah, Kemudian
menurut ulama:

1. Abdul Wahhab Khalaf, ushul adalah ilu tentang kaidah dan pembahsan-pembahasanyang
dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’.
2. Muhammad Abu Zahrah, ushul adalah kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan pembahasan
yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’.

Ruang Lingkup Pembahasan Fiqh

Objek pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil, hukum, Qai’idah dan ijtihad. Sedangkan
pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf (muslim yang telah baligh) diihat dari
segiketetapan hukum.Jadi yang dibahas adalah hukum dari semua tindakan mukallaf, seperti:
wajib, haram,makhruh, sunah dan mubah.Hubungan shul dan fiqh sangat erat dan tidak dapat
dipisahkan. Karena ushul fiqh adalahukuran atau dasar untuk menetapkan fiqh bagi seorang
faqih dan mencegahnya darikesalahan dalam beristinbath.Sedangkan ruang lingkup ushul fiqh
adalah mempelajari semua perangkat atau hal yangdapat mengantarkan untuk pengeluaran
hukum-hukum syar’i yang dipetik dari dalil-dalil atau sumber-sumbernya dan ruang lingkup fiqh
hukum mengenai perbuatan lahir manusia.

Tujuan Mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh

Bila ilmu fiqh bertujuan untuk memberi pelajaran, pengetahuan atau petunjuk tentang
hukum,maka ilmu ushul fiqh bertujuan memberi pengetahuan kepada umat islam tentang
sistemhukum dan model pengambilan hukum itu sendiri.

Hubungan antara Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh

Hubungan ilmu Fiqh dan ilmu Ushul Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika)
dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada
kerancuan dalam berfikir, juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam Bahasa arab, dimana
ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis
dan mengucapkan Bahasa arab. Demikian juga Fiqh dan Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah
yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistinbatkan (menggali)
hukum.

BAB II

PEMBAHASAN
Hukum Syara’

A. Pengertian Hukum Syara’

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”.Menurut


terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab (kalam) Allah yang mengatur amal
perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau
anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara
melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai
sebab,syarat,atau mani’[penghalang]). Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah
khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum
yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang
berpautan dengan akidah dan akhlaq. Bila dicermati dari definisi diatas, ditarik kesimpulan
bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam;

1. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya
wajib.

2. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.

3. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu
sifatnya mandub.

4. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan
itu sifatnya makruh.

5. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidakmelakukan, dan perbuatan
yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.

6. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.

7. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.

8. Menetapkan sesuatu sebagai mani’(penghalang).

9. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.


10. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.

Pembagian Hukum Syara’

Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepadadua macam,yaitu:

· Hukum taklifi

· Hukum wadh’i

Hukum Taklifi

Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-
Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran
untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi
kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i
adalah: ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang
menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). Dengan mengemukakan batasan
dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan
mendasar antara dua macam hukum tersebut:

1. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan
terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu
peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib
dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di
tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.

2. Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang
mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan
merupakan aktifitas manusia.

Hukum Taklifi dibagi menjadi lima:

Al-Ijab (kewajiban)
An-Nadb(kesunnahan)

At-tahrim (keharaman)

Al-karahah (kemakruhan)

Al ibahah (kebolehan).

A. Wajib

Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi,seperti yang dikemukakan
Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:Sesuatu yang
diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf,
dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan
diancam dengan dosa. Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam
yaitu:

- Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan
berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan
sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.

- Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana
telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi
sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya.
Misalnya kewajiban sholat jenazah.

Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam:

- Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara
khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.

- Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih
antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).

Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:


- Wajib mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu
tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi wakti tertentu,artiya tidak
wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.

- Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak
ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.

Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:

- Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.

- Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya, seperti
bershodaqoh, infaq.

B. Mandub

Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu
perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika
melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :

1. Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah
dan jarang ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum fajar.

2. Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan
menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakkat sebelum salat
dhuhur.

3. Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia misalnya
sopan santunnya dalam makan dan tidur.

C. Haram

Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram ialah:
“pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedaangkan secara terminologi
ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang
melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya
karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah:

‫ولتاقربواالزنائنه كان فاحشه وساءسبيل‬


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buru”k.(QS.Al-isra’:32)

Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan
kecualikarena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga
muharram (sesuatu yang diharamkan).

Haram terbagi menjadi dua:

1. Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah
mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,mencuri,shalat tanpa
bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya

2. Haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan sebagai
kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang
menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang mengandung unsur
menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid).

D. Makruh

Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah ushul fiqh kata
makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk
ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur
dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena
dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.

E. Mubah

Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli ushul
adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau
meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan
dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi seorang istri
membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya,sesuai dengan
QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan
terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al
Maidah : 2, yang berbunyi :

‫وإذا حللتم فاصطادو‬

“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”

Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam:

1. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun mengantarkan seseorangsampai ia
mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan
mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti dianggap mubah dalam hal memilih makan
atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan
dirinya.

2. Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi haram hukumnya bila
dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain, mendengankan musik.

3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
Misalnya membeli perabot rumah untuk untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang itu
hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan
yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah
tidak layak denag menggunakan sesuatu yang dilarang.

Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i trbagi menjadi tiga. Berdasarkan penelitian, telah ditetapkan bahwa Hukum
Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu sebagai:

Sebab

Syarat

Mani’
Sebab

Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang
lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu:
“sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab
sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”. Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan)
bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi
kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat anak bulan
Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “
Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau
mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…”(al-Baqarah: 185).

Syarat

Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu yang menghendaki
adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan menurut istilah Ushul fiqh sprti
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada
ssuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu adalah syarat bagi
sahnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya
sholat, adanya pernikahan merupakan syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu
saja talaq tidak akan terjadi.

Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:

Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri. Contoh,semua syarat yang
ditetapkan olh syar’i dalam perkawinan, jual beli,hibah, dan wasiat.

Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Cotoh Syarat
yang ditetapkan suami untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya dan ketetapan majikan untuk
memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu tergantung pada adanya
syarat, tidak adanya syarat pasti tidak akan ada talaq atau merdeka. Bentuk kalimat talak adalah
sebab timbulnya talaq, tetapi jika telah memenuhi syarat.
Mani’ (penghalang)

Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu
masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan
adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah
akad misalnya dianggap sah bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu
mempunyai akibat hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya
akad perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab
waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang jika suami membunuh
istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi
antara pembunuh dan terbunuh.

Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:

Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan wanita untuk melakukan
sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada waktu haid.

Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi berfungsinya suatu
sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya,
bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta
itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan
berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam
kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya
itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya sehingga tidak
lagi dikenakan kewajiban zakat harta.

2. Tujuan Pensyariatan Hukum Islam (Maqosidu Syari’ah)

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam tujuan pensyariatan hukum Islam, maka perlu
diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum Islam. Hukum Islam adalah khitab
(firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum
Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau
ditetapkan pokok-pokoknya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan
pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan)
maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah
diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf2 .
Sedangkan menurut ahli Ushul Fiqh (Ushuliyun), yang dikatakan “hukum syar’i” ialah: khithab
(sabda) pencipta syariat yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, yang
mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat
atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain . Bentuk kemaslahatan dari syariat hukum Islam
adalah terpeliharanya tiga macam kebutuhan manusia yaitu dharuriyat (kebutuhan pokok),
hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kebutuhan pelengkap). Penjelasannya sebagai
berikut:

A. Kebutuhan Dharuriyat

Kebutuhan dharuriyat adalah segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang
harus ada demi kemaslahatan mereka. Hal itu tersimpul kepada lima sendi utama: agama, nyawa
atau jiwa, akal, keturunan, dan harta5 . Dalam arti lain, ia adalah sesuatu yang menjadi pokok
kebutuhan kehidupan manusia, dan wajib adanya untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia
itu (primer). Apabila tanpa adanya Sesutu itu, maka akan terganggu keharmonisan kehidupan
manusia, dan tidak akan tegak kemaslahatan-kemaslahatan mereka, serta terjadilah kehancuran
dan kerusakan bagi mereka. Hal-hal yang bersifat primer (dharuriyat) bagi manusia dalam
pengertian ini berpangkal kepada pemeliharaan lima perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan
harta. Jadi, memelihara salah satu di antara lima perkara itu, adalah merupakan kepentingan yang
bersifat primer bagi manusia.6 Agama, adalah merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum dan
undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal) dan hubungan antara sesama manusia (hubungan
horizontal). Contoh dari memelihara agama adalah sebagai seorang muslim kita menegakkan
perintah Allah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dsb. Sedangkan dalam rangka memelihara jiwa,
Islam mensyariatkan untuk tidak membunuh sesama makhluk atau diri sendiri. Selain itu, ada
juga syariat untuk memperoleh sesuatu yang dapat menegakkan jiwa berupa makanan pokok,
minuman, pakaian, serta tempat tinggal. Juga pensyariatan hukum qishosh (hukuman setimpal),
diyat (denda) dan kafarah (tebusan) terhadap orang yang menganiaya jiwa. Dan mengharamkan
menggunakan jiwa untuk kerusakan dan juga mewajibkan mempertahankan jiwa dari bahaya.
Adapun contoh dalil dari qishosh yaitu : Artinya: dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Q.S. Al-
Baqarah[2]: 179) Dan untuk memelihara akal, Islam mensyariatkan mengharamkan khomr (arak
= jenis minuman keras) dan setiap yang memabukkan, memidana orang yang meminumnya, atau
menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal. Untuk memelihara keturunan atau
kehormatan, Islam mensyariatkan had (dera) bagi lelaki atau perempuan yang berzina. Juga had
bagi al-qodzif (penuduh berbuat zina). Islam juga melarang kita untuk berzina. Untuk
memelihara harta, Islam menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri. Selain itu, Islam juga
menyuruh umatnya untuk berupaya mencari dan mendapatkan harta melalui cara-cara yang halal.
Islam juga memberi had (dera) kepada pencuri lelaki atau perempuan, mengharamkan penipuan,
khianat dan memakan harta manusia secara bathil. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam
mensyariatkan beberapa hukum dalam berbagai bab ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana),
dengan tujuan menjamin keperluan pokok manusia dengan cara mewujudkan, memelihara, dan
menjaganya.

b. Kebutuhan Hajiyat

Kebutuhan hajiyat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya: ketiadaan aspek hajiyat ini tidak
sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekadar

menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja. Implementasinya dapat dirupakan digolongkan


dalam tiga macam ketentuan, yaitu ibadah, mu’amalat dan pidana. Dalam hal ibadah, Islam
memberi keringanan (rukhshah) bila seorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan
suatu kewajiban ibadahnya. Islam membolehkan berbuka pada siang bulan Ramadhan bagi 7
orang yang sakit atau di dalam bepergian (musafir) dan meringkas (qoshor) shalat empat rakaat
bagi musafir dan sholat dengan duduk bagi orang yang tidak kuat berdiri. Islam juga
memperbolehkan tayamum bagi orang yang tidak menemukan air, dan sholat di atas kendaraan
meskipun tidak menghadap kiblat dan hokum-hukum rukhsoh yang lain yang disyariatkan untuk
menghilangkan kesempitan manusia dalam melaksanakan ibadah. Dalam bidang mu’amalat,
Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharuf) yang menjadi
kebutuhan manusia. Seperti membolehkan jual beli pesanan (ishtishna’). Dalam bidang pidana,
Islam menetapkan kewajiban membayar denda (diyat) bagi yang melakukan pembunuhan tidak
sengaja. Islam juga menolak pelaksanaan hokum had karena kesamaran (belum jelas) dan
memberikan hak kepada wali (orang tua) terbunuh untuk mengampuni pelaksanaan hokum
qishosh terhadap pembunuh.

C. Kebutuhan Tahsiniyat

Kebutuhan tahsiniyat adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan
dengan al-mukarim al-akhlaq (budi pekerti mulia), serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama
dalam bidang ibadah, dat dan mu’amalat. Ketiadaan aspek ini akan menimbulkan suatu kondisi
yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatutan,
sopan santun, dan menurunkan martabat pribadi atau masyarakat. Ketentuan tahsiniyat ini
berkaitan erat dengan pembinaan akhlaq yang baik, kebiasaan terpuji, dan menjalankan berbagai
ketentuan dhoruri dengan cara yang paling sempurna . Aspek tahsiniyat dalam bidang ibadah,
misalnya kewajiban membersihkan diri dari najis, menutup aurat, berhias bila hendak ke masjid,
dan melakukan amalan-amalan sunnah dan bersedekah. Sedangkan dalam lapangan muamalah,
Islam mengharamkan memperdaya, memalsu, menipu, melampaui batas (boros) dan kikir
terhadap diri sendiri. Islam juga melarang menggunakan setiap yang najis dan berbahaya. Dalam
lingkup pidana, Islam mengharamkan membunuh para pendeta, anak-anak dan kaum wanita
dalam peperangan.Melarang penyiksaan dan khianat. Melarang membunuh orang tidak
bersenjata, dan membakar orang hidup-hidup atau sesudah mati. Hal-hal yang berhubungan
dengan kebutuhan tahsiniyat ini telah banyak dalil dan dasarnya, seperti sabda Nabi Muhammad
SAW, ‫ إن اهلل طيب ال يقبل إال طيبا‬Artinya: Sesungguhnya Allah SWT itu suci. Dia tidak menerima
kecuali sesuatu yang suci/baik. Perlu ditegaskan bahwa ketiga jenis kebutuhan manusia
(dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat) di atas, dalam mencapai kesempurnaan kemaslahatan yang
diinginkan syara’ sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Intinya ketiganya memiliki peranan
penting dan saling melengkapi dalam haltercapainya tujuan syar’i dalam pensyariatan hukum
Islam.

3. Pengertian dan Penjelasan


A. Pengertian Ijtihad, Talqid, Talfiq, Ittiba

1. Ijtihad

Ijtihad Secara etimologi, ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab jahada, yang
bentuk mashdarnya ada dua bentuk, yaitu al-jahd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan
kesusahan) dan al-juhd, yang berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Arti ijtihad
secara terminologi yaitu mencurahkan fikiran untuk menemukan hukum agama melalui salah
satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa tata cara
tertentu tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri.

Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad

Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam, yang
menjadi landasan dilakukannya ijtihad, firman Allah surat An-Nisa ayat 105:

Artinya, “Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di
anatra manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.

Hadits yang diriwayatkan oleh Umar menyatakan bahwa:

Artinya, “Rasulullah saw. bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab: “Dengan
apa yang ada dalam kitab Allah”. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam
kitab Allah?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”.
Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan rasulullah?” Berkata Mu’adz,
“Aku berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang
telah menyepakati utusan dari rasul-Nya”.

Hal ini telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika
menemukan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum
berijtihad dapat dilihat dari tiga segi.

1. Dari hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti
menetukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat.
2. Dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh
umat atau pengikutnya.

3. Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan
hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi apapun, atau dengan melihat kepada
keadaan dan kondisi tertentu.

Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib bagi seorang faqih yang sudah mencapai tingkat
faqih. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti.
Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam al-
Quran surat al-Hasyr ayat 2:

Artinya, “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan”.

Ijtihad dapat berlaku pada :

1. Nash yang bersifat zaniyah, ialah untuk mencari pengertian yang lebih tepat dan lebih kuat
menurut pendapat Imam Mujtahid, namun pengertian yang dimaksud tidak keluar dari
kandungan nash itu juga.

2. Pada yang tidak ada nash sama sekali, maka mujtahid berusaha mencari dan meneliti
korinah (tanda-tanda) yang menunjukkan bahwa itulah yang dikehendaki syara’.

3. Dengan mempergunakan kaidah-kaidah Fiqih dan ini dapat dipergunakan oleh Mujtahid
selama belum lagi hukumnya ditetapkan oleh ijma’ dan qiyas.

Mujtahid dimaksud di atas dapat dibagi menjadi dua macam.

1. Mujtahid Mutlak

Bagi Mujtahid ini disyaratkan mempunyai atau memiliki kemampuan berfikir yang cukup
atau tinggi, baligh dan adil, memiliki pengetahuan yang luas tentang Al Qur’an, Sunnah, kaidah
Umum yang ditetapkan Syara’. Di samping itu mengetahui hokum yang disepakati dan yang
diperselisihkan, mengetahui sebab timbulnya suatu hukum dan cara-cara pengambilan hukum
dari sumbernya dan pengertiannya, serta memiliki pengetahuan yang cukup mendalam di dalam
bidang bahasa Arab, dan dengan demikian mereka dapat memahami nash-nash itu dengan baik.
Syarat ini didapati pada Syafi’i, Maliki, Abu Hanifah, dan sebagainya.

2. Mujtahid Muqayah

Ialah mujtahid yang berusaha untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum Islam


dalam masalah tertentu. Bagi mereka ini hanya disyaratkan mempunyai ilmu di dalam bidang
keahliannya tidak mencakup seluruh ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh mujtahid muqayah.
Mahmout Syaltout menerangkan:

“Adapun orang yang memiliki kemampuan berfikir dan meleksanakan hasil pikirannya itu,
tidaklah harus menghimpun syarat-syarat ijtihad bagi oaring-orang yang berkecimpung dalam
semua bab Fiqih, tetapi cukup bagi yang berijtihad pada masalah tertentu hanya memenuhi syarat
ijtihad pada masalah itu saja.”

b. Macam-macam ijtihad dan ruang lingkupnya

1. Ijtihad Mutlaq Mustaqil

Adalah ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan norma-norma hukum dan kaidah
istinbath yang menjadi sistem bagi setiap orang yang hendak berijtihad.

2. Ijtihad Muthlaq Muntasib

Adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan metode istinbath yang dibuat oleh Mujtahid
Mutlaq Mustaqil.

3. Ijtihad Tarjih

Adalah ijtihad seseorang dalam memberikan fatwa atau keputusan hukum tentang suatu masalah
dengan menyandarkannya pada salah satu dari madzhab-madzhab besar ortodoks (klasik).

Kemampuan manusia berbeda-beda, ada yang cerdas dan ada pula yang tidak cerdas. Sedang
masalah ijtihad itu adalah masalah yang memerlukan kecerdasan dan persyaratan-persyaratan
ilmiah yang sangat luas bidangnya. Oleh karena itu, Allah memberikan beban kepada manusia
sesuai dengan kemampuannya, maka hukum ijtihad itu dicukupkan kepada fardlu kifayah saja.
Kalau seandainya seluruh ummat manusia diwajibkan untuk berusaha menjadi seorang mujtahid,
niscaya akan terbengkalai kepentingan dunia. Sedang Allah berfirman di dalam Al Qur’an:

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada
kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

2. Talkid

Arti taklid ialah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui hujjah (dalil) yang
menunjukkan kebenaran pendapat tersebut. Imam Ghazali berkata di dalam kitabnya Al Mustafa
pada bab taklid dan istifa’ menyatakan sebagai berikut:

“Dalilnya orang awam taklid ialah ijma’ sahabat. Memberikan fatwa kepada yang awam dan
para sahabat tidak memerintahkan pada awam untuk mencapai derajat ijtihad. Hal ini dapat
diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir baik kalangan ‘ulama maupun para awam.”

Syekh Abdullah Darros berkata sebagai berikut:

“Dalil taklid dari segi pikiran ialah, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad, bila
terjadi padanya suatu masalah hokum maka ada dua kemungkinan. Dia tidak terkena kewajiban
melakukan apa-apa sama sekali (tidak wajib beribadah), maka hal ini adalah menyalahi ijma’.”

Dia terkena kewajiban melakukan ibadah. Berarti dia harus meneliti dalil yang
menetapkan suatu hukum, atau ia harus taklid. Untuk yang pertama jelas tidak mungkin. Sebab
dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil semua masalah sehingga harus
meninggalkan semua pekerjaan yang ada, yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh
karena itu maka tidak ada kemungkinan lain selain taklid dan inilah kewajiban dia pada saat ia
menemui masalah yang memerlukan pemecahan hukum.

Karenanya setelah para ‘ulama melihat dalil-dalil yang cukup sempurna dari kitab dan
Sunnah dan dalil akal yang menegaskan bahwa bagi orang awam dan orang alim yang belum
sampai ke tingkatan mampu melakukan istimbath dan ijtihad harus taklid kepada mujtahid, maka
mereka menyatakan bahwa kedudukan fatwa mujtahid terhadap orang awam adalah seperti dalil
kitab dan sunnah bagi seorang mujtahid. Karena Al Qur’an telah mewajibkan orang yang alim
agar berpegangan dengan dalil dan keterangan Al Qur’an, juga mewajibkan kepada orang bodoh
berpegangan kepada fatwanya orang alim dan ijtihadnya.

Untuk memperjelas masalah ini lebih lanjut maka Imam Syathibin berkata sebagai
berikut: “Fatwa-fatwa para mujtahid itu bagi para awam adalah seperti dalil syari’at bagi para
mujtahididin. Adapun alasannya ialah bahwa adanya dalil atau tidak bagi orang yang taqlid itu
adalah sama saja karena mereka sedikit pun tak mampu mengambil faedah dari padanya. Jadi
masalah meneliti dalil dan istimbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan
melakukan hal tersebut. Allah berfirman:

“Bertanyalah kepada ahli ilmu bila kamu sekalian tidak mengerti.”

Orang yang taqlid itu bukanlah orang yang alim, karenanya tidak sah baginya selain bertanya
kepada ahli ilmu dan para ahli itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum Agama secara
mutlak. Jadi kedudukan mereka bagi orang yang taqlid seta ucapannya adalah seperti syari’at.

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

1. Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa
jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

2. Imam Malik bin Anas (93-179 H)

Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang
terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai
kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.

3. Imam asy Syafi`i (150-204 H)

Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan
pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan
hadits Nabi SAW.

4.Imam Hambali (164-241 H)


Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti
semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in
dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan
mana yang salah ditinggalkan.

Talfiq

Secara kebahasaan talfiq berasal dari kata lakaf yalfiku yang artinya bertemu dua tepi.
Namun secara istilah diartikan mengamalkan furu’ yang zhanny menurut ketentuan dua madzhab
atau lebih. Ini hubungannnya bila seseorang meminta fatwa hukum pada seorang mujtahid,
kemudian menanya lagi kepada mujtahid lain, masing-masing mujtahid kemudian menfatwa
yang berbeda, kemudian kedua hasil ijtihad diamalkan. Lebih-lebih kalau dasar hukum itu
bertentangan satu sama lain, misalnya yang satu mengatakan batal hukumnya dan yang satu
mengatkan sah. Contoh, dia bertanya kepada ulama malikiyah tentang batal wudhu dengan sebab
keluar darah maka ulama itu mengatakan tidak batal, kemudian bertanya kepada ulama
hanafiyah tetntang batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, maka ulama itu menyatakan
wudhunya tidak batal. Apabila mengamalkan fatwa itu dalam wudhunya inilah yang dinamakan
talfik, karena wudhunya tidak sah menurut ulama malikiyah lantaran menyentuh kemaluan dan
tidak sah menurut ulama hanafiyah lantaran mengeluarkan darah.

Penyelesaian dari masalah talfik :

a. Mengharamkan talfik secara mutlak dalam amalan hukum baik yang sejalan atau tidak.

b. Mengharamkan tetapi tidak mutlak. Berarti membolehkan talfik pada persoalan-persoalan


hukum yang sejalan dan terpisah seperti solat menurut madzhab Hanafi, berzakat menurut
Syafi’i, tetapi tidak boleh kharam dalam persolan hukum yang sejalan. Seperti berwudhu
wajibnya menurut Hanafi, sedangakan batalnya menurut Syafi’i.

c. Membolehkan talfik secara mutlak baik dalam amalan hukum yang sejalan atau terpisah,
berarti boleh beramal pada suatu masalah hukum atas dasar banyak madzhab dan memilih mana
yang lebih mudah untuk dilaksanakan.

Ittiba’
Pengertian Ittiba’ ini ada dua pendapat, yaitu :

Searti dengan taklid, Baik menurut istilah maupun menurut pengertian bahasa, tidak ada
perbedaan makna antara kata-kata ”ittiba” dan kata “taqlid”. Keduanya artinya adalah sama yaitu
mengikuti.

Baik ikut dalam urusan yang benar maupun ikut dalam urusan yang salah, atau mengikuti
sesuatu yang terpuji dan tercela, dengan dalil atau tanpa dalil. Kalau ada yang
membedakan pengertian antara taqlid dan ittiba’, di mana dikatakan ittiba’ di dalam Al
Qur’an. Di dalam Al Qur’an kata-kata ittiba’ digunakan untuk pengertian “ikut kepada
kebenaran” dan juga “tidak benar.” Allah berfirman di dalam Al Qur’an surat Muhammad
ayat 3: Artinya: “ Demikianlah, karena orang-orang kafir itu mengikuti perkara yang
bathil, sedangkan orang-orang yang beriman mengikuti kebenaran dari Tuhan mereka.”

b. Kebalikan dari taklid

Ittiba’ menurut ahli ushul fiqh adalah mengerjakan agama dengan menurut apa-
apa yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, baik yang berupa perintah maupun
larangan. Orang yang mengerjakan itu disebut muttabi. Kata ittiba’ merupakan kebalikan
dari kata taqlid.

B. Mahkum fiih dan Mahkum Alaih

1.Pengertian Mahkum Fih

Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek
hukum syara’. Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai
hukumnya, Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek
hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat,
sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau
dibebani dengan hukum syar’i.
Syarat-Syarat Mahkum Fih

• Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan
dapat dilaksanakan.

• Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari
Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakannya karena Allah semata.

• Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:

1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan
baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.

2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas
nama orang lain.

3) Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia.

4) Tercapainya syarat taklif tersebut

Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain
sebagaimana berikut:

• Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan
oleh mukallaf.

• Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan
itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman

• Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam
arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak
sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang
biasa.
• Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang
luar biasa.

Macam-Macam Mahkum Fih

• Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’:

1) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait
dengan syara’. Seperti makan dan minum.

2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’,
seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.

3) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum
syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.

• Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih
dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

1) Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan umum tanpa kecuali.

2) Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi
harta seseorang yang dirusak.

3) Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih
dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat
zina.

4) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih
dominan, seperti dalam masalah qishas.

2. Pengertian Mahkum Alaih

Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan
hukum syara’. Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang
yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf. Sedangkan keterangan lain
menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat,
dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu Jadi, secara
singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya
menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.

a. Syarat-syarat Mahkum Alaih

• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan
perantaraoranglain

• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya.

4. Dalil dan Hukum

A. Pengertian Dalil Kulli Dan Dalil Juz’i

Yang dimaksud dengan dalil kulli adalah dalil syar’i yang masing-masingnya menunjuk
kepada satuan (hukum) yang bersifat menyeluruh. Dalil kulli adakalanya berupa al kitab atau
hadis, yaitu ayat-ayat atau hadis yang bersifat umum. Diantara dalil kulli yang berasal dari al
kitab adalah firman Allah dalam surat al baqarah [2]:29, yang berbunyi :

Yang menjadikan segala yang ada dibumi

Ayat diatas menunjukan dalil kulli bahwa semua yang kita butuhkan dari isi bumi ini boleh
dipergunakan. Sedangkan dalil juz’i adalah dalil-dalil yang masing-masingnya menunjukan suatu
hukum. Dalil-dalil itu adalah al kitab, hadis seperti jenis-jenis yang wajib di zakat; qiyas, seperti
larangan memukul orang tua, dan ijma seperti nenek berhak mendapat pusaka seperenam dari
harta peninggalan, pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, dan lain-lain. Dapat juga
ditambahkan bahwa setiap ijma dan qiyas hanya menetapkan suatu hukum. Oleh sebab itu, kedua
bentuk dalil syar’i disebut juga dalil-dalil juz’i.

B. Hukum Kulli dan Hukum Juz’i

Yang dimaksud dengan hukum kulli adalah semua hukum pada masing-masingnya
terdapat banyak hukum dalam bentuk satuan-satuan, misalnya ijab, tahrim, sah, dan batal. Oleh
sebab itu, ijab adalah hukum kulli yang mengandung banyak macam kewajiban, seperti ijab
menepati janji, ijab saksi nikah, dan ijab dalam segala macam yang wajib. Tahrim adalah hukum
kulli yang meliputi segala macam hukum tahrim, seperti pengharaman riba, pengharaman
mencuri, dan banyak lagi perbuatan yang diharamkan. Dan begitulah seterusnya. Dari
pembahasan tentang hukum kulli diatas dapat dipahami bahawa bila ijab adalah hukum kulli,
maka segala macam bentuk perbuatan tertentu disebut hukum juz’i. Atau dengan kata lain,
hukum juz’i adalah semua hukum yang masing-masingnya mengandung kewajiban sesuatu
perbuatan tertentu.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Fiqh adalah ilmu hkum syara’ tentang perbuatan manusia yangdiperoleh melalui dalil-dalilnya
yang terperinci Sedangkan Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas mengenai kaidah-kaidah
yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil hukum, seperti Al-Quran dan As-
Sunnah.

2. Hukum syara’ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam
ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq. Secara garis besar para
Ulama ushul fiqh membagi hukum kepadadua macam,yaitu:

· Hukum taklifi

· Hukum wadh’i

3. Bentuk kemaslahatan dari syariat hukum Islam adalah terpeliharanya tiga macam kebutuhan
manusia yaitu dharuriyat (kebutuhan pokok), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat
(kebutuhan pelengkap).

4. a. -Ijtihad secara terminologi yaitu mencurahkan fikiran untuk menemukan hukumagama


melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa
tata cara tertentu tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri.

-Taklid ialah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui hujjah (dalil) yang
menunjukkan kebenaran pendapat tersebut.

- Talfiq diartikan mengamalkan furu’ yang zhanny menurut ketentuan dua madzhab atau
lebih.
- Ittiba’ menurut ahli ushul fiqh adalah mengerjakan agama dengan menurut apa-apa yang
pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, baik yang berupa perintah maupun larangan.

b. mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
sedangkan mahkum alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya
hukum Allah.

5. Dalil kulli adalah dalil syar’i yang masing-masingnya menunjuk kepada satuan (hukum) yang
bersifat menyeluruh. Sedangkan, dalil juz’i adalh dalil-dalil yang masing-masingnya
menunjukan suatu hukum.

SARAN

Sebagai penulis saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dalam
pembuatannya. Untuk itu saya memohon maaf apabila ada kesalahan dan saya sangat mengharap
saran yang membangun dari pembaca agar kemudian pembuatan makalah saya semakin lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin. (2017). Ushul Fiqh. Bandung: Mimbar Pustaka.

Shidiq, Sapiudin. (2011). Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

https://adeputrasetiawansyahblog.wordpress.com/2016/07/26/ijtihad-ittiba-dan-taqlid/

https://www.academia.edu/8634466/Pensyariatan_Hukum_Islam_1_BAB_I_Pendahuluan

Anda mungkin juga menyukai