Anda di halaman 1dari 21

D

I
S
U
S
U
N
OLEH

NAMA :
UNIT :
SEMESTER :
MATA KULIAH :

DOSEN PEMBIMBING :

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


(STIT) MUHAMMADIYAH ACEH BARAT DAYA
TAHUN ajaran 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak
langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan
susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun
fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita. Ilmu ini dapat menjawab
beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita dapat memanfaatkan, kita harus
mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh ilmu ini, setelah kita
mengajukan pertanyaan. Di sini kita memerlukan jawaban yang benar, dan bukan
debat kusir atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu muncul pertanyaan, bagaimana
kita mencari jawaban yang benar? Masalah ini, oleh kajian filsafat disebut
epistemology, dan landasan epistemo-logi ilmu disebut metoda ilmiah. Dengan kata
lain, metoda ilmiah adalah cara yang dilakukan itu dalam menyusun pengetahuan
yang oleh filsafat ilmu disebut teori kebenaran.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQH DAN USHUL FIQH


1. Pengertian Fiqh
Ilmu Fiqh secara umum merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang
pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis Hukum Islam dan bermacam rupa aturan
hidup, untuk keperluan seseorang, segolongan dan semasyarakat dan seumum manusia. Fiqh
menurut bahasa berarti: paham atau pengertian yang mendalam, tentang maksud dan tujuan
suatu perkataan dan perbuatan, bukan hanya sekedar mengetahui lahiriyah perkataan atau
perbuatan itu. Pengertian Fiqh menurut istilah Ulama Syar’i (ahli hukum Islam), tidak jauh
berbeda dari pengertian lughowi (bahasa). Hanya saja pengertian istilah ini, lebih terarah
kepada pengertian khusus, dari pada umum, sehingga tidak terjadi iltibas (tumpang tindih).
Jelas bahwa yang dimaksud dengan ilmu fiqih adalah pengetahuan yang mendalam tentang
semua yang menyangkut hukum ajaran agama, baik yang menyangkut keimanan yang
menyangkut perbuatan.
Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminologi dapat dikemukakan
pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu :
‫َاْلِع ْلُم ِباَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة اْلُم ْك َتَسَبِة ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬.
Artinya :
“Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui
dalil-dalilnya yang terperinci.”
Sementara itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah :
‫َم ْج ُم ْو َع ُة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَيِة اْلُم ْك َتَسَبِة ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬.
Artinya :
“Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dali-
dalilnya yang terperinci.”
Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha
menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih dipandang sebagai hukum.
Hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum.
Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala
didefinisikan sebagai hukum dinyatakan secara deskriptif.

2
2. Pengertian ushul fiqih
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul
Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak
dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara
etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.

Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini :


a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih bahwa ashl dari
wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
‫ُبِنَي اِاْل ْس َالُم َع َلى َخ ْمَسِة ُأُصْو ٍل‬.
Artinya :
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:
‫َاَأْلْص ُل ِفى اْلَكَالِم اْلَح ِقْيَقُة‬.
Artinya :
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari
perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada
dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan
haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih
hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul :
‫َاْلَو َلُد َفْر ٌع ِلَأْلِب‬.
Artinya :
“Anak adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, I : 5)
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru
besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama
Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
‫ِاْد َر اُك اْلَقَو اِع ِد اَّلِتْى َيَتَو َّصُل ِبَها ِاَلى اْس ِتْنَباِط اْلِفْقِه‬.

3
Artinya :
“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian
fiqih.”
Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo
Mesir menyatakan :
‫ َأْو َم ْج ُم ْو َع ُة اْلَقَو اِع ِد‬.‫َاْلِع ْلُم ِباْلَقَو اِع ِد َو اْلُبُحْو ِث اَّلِتْى َيَتَو َّصُل ِبَها ِاَلى اْس ِتَفاَد ِة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّي ِة ِم ْن َأِد َّلِتَه ا الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬
‫َو اْلُبُحْو ِث اَّلِتْى َيَتَو َّصُل ِبَها ِاَلى اْس ِتَفاَد ِة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬.
Artinya :
“Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan
kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah)
dari dalil-dalil yang terperinci.”
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama
Syafi’iyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global);
bagaimana cara mengistinbath hukum; syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat
seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama.
Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana
menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.
Dengan demikian Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil
hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya.
Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan
dalil-dalil tersebut.

B. OBJEK FIQH DAN USHUL FIQH

1. OBJEK FIQH

Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama usul fiqh, yang menjadi objek
bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan
hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib (misal: melaksanakan shalat dan puasa),
sunah (misal: bersedekah kepada orang yang membutuhkannya), mubah (misal:
melangsungkan berbagai transaksi yang dibolehkan syara’), haram (misal: berzina, mencuri,

4
dan membunuh seseorang tanpa sebab yang dibenarkan syara’), atau makruh (misal:
menjatuhkan talak tanpa sebab).

Di samping itu, bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan
dengan masalah amaliyah (praktek). Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum
tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupannya sehari-hari, sekaligus untuk
mengetahui nilai dari perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut.

Jadi, objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai
dan telah ditetapkan hukumnya.

2. OBJEK USHUL FIQH

menurut pendapat Al-Gazali objek bahasan ushul fiqh 4 (bagian) bagian, yaitu:
1. Pembahasan Tentang Hukum Syara’ dan Yang Berhubungan Dengannya, Seperti Hakim,
Mahkum fih, dan Mahkum ‘alaih
Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak
dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini,
meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan
hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum 'alaih) dan syarat-syaratnya,
ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang
ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
2. Pembahasan Tentang Sumber-sumber dan Dalil-dali Hukum
pembahasan tentang dalil dalam ilmu ushul fiqh adalah secara global. Di sini dibahas
tentang macam-macamnya.rukun atau syarat masing-masingdari macam-macam dalil itu,
kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam ilmu ushul fiqh tidak membahas satu
perstu dalil bagi setiap perbuatan.
3. Pembahasan Tentang Cara Mengistinbatkan Hukum Dari Sumber-sumber dan Dalil.
Metode istinbet yang dibahas dalam bagian ini adalah dari metode-metode istinbet secara
keseluruhan. Bagian ini khusus membicarakan metode bila mana dalam pandangan mujtahid
terjadi pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Seperti yang di kemukakan
oleh Abd al-Rahim al- Isnawi, mendahulukan dalil yang tegas atas dalil yang tidak tegas
pengertiannya, mendahulukan hadits mutawatir atas hadits yang tidak mutawatir, dan lain-lain
yang umumnya dibahas dalan kajian ta’arud al- adillah(dalil-dalil yang ber tentangan) dan
metode tarjih(cara mengetahui man yang lebih kuat sehingga harus didahulukan)

5
4. Pembahasan Tentang Ijtihad
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang
yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan
hukum melakukan ijtihad.[3] Ulama’ushul tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz’iyah
akan tetapi hanya membahas dalil-dalil kulli dan hukum-hukum yang kulli pula.[4] Pokok
bahasan dalam uhul fiqh ini adalah dalil dali syara’ yang secara garis besaryang didalamnya
terkandung hukum-hukum secara garis besar pula. Dalam bahasa non- arab ushul fiqh ini
sering diterjamahkan dengan teori hukum(legal theory), kerena mimang di dalamnya berisi
tentang teori-teori dalam memahami hukum syari’ah.[5]

C. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN FIQH DAN USHUL FIQH

1. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN FIQH

Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqh secara awam, topik (bab)
pembahasan fiqh itu adalah empat, yang sering disebut Rubu’:

- Rubu’ ibadat;
- Rubu’ muamalat;
- Rubu’ munakahat; dan
- Rubu’ jinayat.

2. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN USHUL FIQH

Ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:

a). dalil-dalil atau sumber hukum syara’;


b). hukum-hukum syara yang terkandung dalam dalil itu;
c). kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atausumber
yang mengandungnya.
Dalam membicarakan sumber hukumdibicarakan pula kemungknan terjadinya benturan
antaradalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak
dan berwenang menggunakan kaidah atau metoda dalam melahirkan hukuim syara’
tersebut.hal ii memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas

6
mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidakmempunyai
kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain
yang berhubungan denganya.

D. TUJUAN MEMPELAJARI FIQH DAN USHUL FIQH

1. Tujuan Mempelajari Fiqh


Tujuan mempelajari Ilmu Fiqh ialah:
Menerapkan hukum-hukum syariat Islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu
Fiqh itu adalah rujukan (tempat kembali) seorang hakim (qadhi) dalam keputusannya, rujukan
seorang Mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang Mukallaf untuk mengetahui hukum
syariat dalam ucapan dan perbuatannya. Inilah tujuan yang dimaksudkan dari semua undang-
undang untuk ummat manusia, karena dari undang-undang itu tidak dimaksudkan kecuali
untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain itu juga
untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan atau diharamkan baginya.
2. Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh
Secara sistematis para ulama fiqh mengemukakan tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh
yaitu antara lain untuk:
1) Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh
hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2) Memberikan gambaran mengenai syarat- syarat yang harus dimiliki seoramg mujtahid ,
sehingga adngan tap[at dia dapat menggali hukum-hukum syara’ dan nash; Disamping itu,
bagi asyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat mengerti bagaimana para mujtahid
menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka daptmempedomani dan
mengamalkannya.
3) Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga
berbagai persoalan baru yang secara lahirbelum ada dalam nash; dan belum ada ketetapan
hukumnya.
4) Memelihara agama dari penyalagunaan dalil yang mungkin terjadi.dalam pembahasan
ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap mendapat
pengakuan syara’. Melalui usul fiqh juga para peminat hukum Islam mengetahui mana
sumber hukum Islam yang asli yang hasrus dipedomani, dan mana yang merupakan sumber

7
hukum islam yang bersifat sekunder dan berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat islam.
5) Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari
berbagai persoalan sosial yang terus berkembang. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu
pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum
islam dapat melakukan tarjih (penguatan).

E. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FIQH DAN USHUL FIQH

1. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh

Pertumbuhan fiqh dari awal sampai sekarang dapat dibedakan kepada beberapa priode,
Periodisasi. menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:

1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai
wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-
Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat,
karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada
Rasulullah SAW. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan
periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada
masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan
itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem
kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini
seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah
ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh
ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad
SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam
pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.
Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai
secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab
menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam

8
memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan
hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk
Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.

Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral,
etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi
karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing
memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari
kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut.
Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk
pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka
mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah
SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.

3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai
awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai
salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan
menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad
hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan
abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam
periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas
yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama,
sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan
pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang
ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258
M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki
tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap
berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat
mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna
menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid

9
(memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin
dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam
Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan,
ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini
dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far al-Mansur
(memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis
sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga
peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-
Muwaththa’ (Yang Disepakati). Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara
ahlulhadits dan ahlurra ’yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad
bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini
juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis
masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang
dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis). Pertentangan kedua aliran ini baru
mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra’yi berupaya membatasi,
mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk meng-
istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima
pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlurra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai
salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum. Upaya pendekatan lainnya untuk
meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi
Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang merupakan
salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-
Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang
dapat mendukung fiqh ahlurra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh
kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra’yu.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan
tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab
dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam
mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak

10
ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari
prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai
mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada
dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan
ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta
terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan
mazhab imamnya.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al- ’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani)
pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari
perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini
dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi
buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap
kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing.

2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh

Dalam sejarah ilmu ushul fiqh, sebenarnya pada awal abad I Hijriyah, ilmu ushul fiqh
belum muncul dipermukaan sebagai disiplin ilmu. Karena, pada abad pertama, ilmu ushul
fiqh belum dirasa diperlukan untuk dirumuskan dan dijadikan sebagai disiplin ilmu
terangkum dalam sebuah buku tertulis. Walaupun hakekatnya, bahwa hukum Allah yang
diturunkan kepada umat manusia dan hukum yang dihasilkan berdasarkan ijtihad Rasul saw
dan para sahabatnya mempertimbangkan kemaslahatan dan keberpihakan manusia.
Sedangkan maslahah ini, termasuk kajian ilmu ushul fiqh.

Sebagaimana dikatakan Khallaf, bahwa ilmu ushul fiqh muncul dipermukaan pada
abad II H. Karena, pada abad I H, ilmu ushul fiqh belum dibutuhkan. Dengan alasan, pada
masa Rasul saw, Rasul saw memberi fatwa pada para sahabat dan memutuskan suatu perkara
berdasarkan wahyu yang turun kepada Nabi saw, yaitu al-Quran, juga berdasarkan ilham dari
Allah swt yang diaplikasikan dalam bentuk ucapan dan tindakan Nabi saw dan juga
berdasarkan ijtihad Nabi saw sendiri tanpa butuh pada teori dan kaidah untuk beristinbat
(menggali hukum) dan berijtihad.

Para sahabat-pun juga demikian, maksudnya, para sahabat juga tidak membutuhkan
pada teori istinbat dan kaidah-kaidah berijtihad. Karena kala itu, para sahabat berfatwa dan

11
memutuskan berdasarkan nas}-nas} yang dipahaminya melalui penguasaan dan kemahiran
tentang ilmu bahasa tanpa membutuhkan kaidah-kaidah bahasa yang mengantarnya untuk
memahami nash-nash. Para sahabat juga berfatwa dan memutuskan permasalahan yang belum
ada nashnya berdasakan pengetahuannya tentang sebab turunnya ayat, munculnya hadith,
kepahamannya akan maqasid al-Shariah (tujuan syara’) dan prinsip/dasar syara’.

Ada beberapa faktor diperlukannya pembukuan ilmu ushul fiqh, di antaranya:


Meluasnya wilayah-wilayah Islam dan bercampurnya orang-orang Arab dengan orang-orang
non Arab, sehingga, menyebabkan masuknya beberapa kosa kata dan susunan dalam bahasa
Arab yang bukan Arab.

Termasuk faktor dibutuhkannya pembukuan ilmu ushul fiqh adalah, munculnya


perdebatan antar umat Islam khususnya yang tergabung dalam dua kelompok besar, ahli al-
hadith dan ahli al-ra’yu. Sehingga, dampak dari perdebatan tersebut kadangkala di tunjang
dengan argumen yang tidak bisa dijadikan dalil (pijakan) dan kadangkala mengingkari
terhadap sesuatu yang dijadikan dalil (pijakan).

Berangkat dari faktor-faktor di atas, ulama Islam sangat membutuhkan perumusan


kaidah-kaidah bahasa yang bisa mengantarkan untuk memahami nas}-nas} syariah dan juga
kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan tentang dalil syara’, syarat beristidla>l (menggali hukum)
dan metode penggalian hukum.

Sebenarnya menurut Syafe’i, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqh, ulama-ulama


terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-
masing. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang
pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh.

F. ALIRAN DALAM FIQH DAN USHUL FIQH

1. Aliran fiqh
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya
beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi
yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku sejarah hukum
islam cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang berafiliasi dengan aliran sunni,

12
sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan
syi’ah dalam bidang hukum islam.

2. Aliran ushul fiqh


Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda.
Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori masing-masing yang
digunakan dalam menggali hukum islam.
• Aliran syafi’yyah dan jumhur Mutakallimin (ahli kalam).
Aliran ini membangunushul fiqh mereka secara teoritis, menetapkan kaidah-kaidah
dengan alas an yang kuat, baoik dari naqli(Al-qur’an dan sunnah) maupun dari aqli(akal
pikiran) tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak
pokok).
Kitab ushul fiqh standar dalam aliran Syafi’iyyah/Mutakallalimin ini adalah: Al-Risalah
yang disusun oleh imam Al-Syafi’I,kitab al-mu’tamat,disusun oleh abu Al-husain Muhammad
Ibn ‘Ali al-bashri,kitab Al-Burhan fi al-ushul al-fiqh,disusun oleh Imam Al-haramainal-
juwaini, dan tiga rangkaian kitab ushul fiqh imam abu hamid al- gazali, yaitu :al-mankhul min
ta’liqat al-ushul;syifa’ al-ghalil fi Bayan al-sya’ban wa al-mukhil wa masalik al-ta’lil;dan al-
mustashfa’ fi ilm al-ushul.
Sekalipun kitab ushul fiqh dalam aliran Syafi’iyyah/Mitakallim cukup banyak ,tetapi
yang menjadi sumber dan standar dalam alioran ini adalah kitab ushul fiqh tersebut diatas.
• Aliran fuqaha’,
Yang dianut oleh ulama-ulama mazhab Hanafi.Dinamakan aliran fuqaha’ ,karna aliran
ini dalam membamgun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam
maazhab mereka.Dalam menetapkqan teori tersebut,apabila terdapat pertentangan antara
kaidah yang ada dengan hokum furu’,maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan
hokum furu’ tersebut.

G. KOMPONEN HUKUM SYAR’I (TAKLIFI DAN WADH’I)

1. HUKUM TAKLIFI
Adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap
seorang mukallaf untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat. Misalnya, hukum taklifi
menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba haram, makan-minum mubah.

13
Para ahli usul fikih membagi hukum taklifi menjadi tiga kategori perintah, larangan, dan
pilihan, untuk menjalankan sesuatu atau memnggalkan-nya. Dari ketiga kategori itu, mereka
kemudian membaginya lagi menjadi lima macam, yaitu wajib, haram, mandub (sunnah),
mubah, dan makruh.
Suatu perintah tergolong wajib atau fardhu apabila perintah itu diiringi dengan janji
pemberian pahala bagi yang menjalankan dan ancaman siksaan bagi yang meninggalkan.
Perintah wajib ini didasarkan pada dalil-dalil yang sudah qathi atau pasti, yang tidak
diragukan lagi kesahihannya. Untuk itu, sebagian ulama berpendapat, orang yang
mengingkari perintah wajib ini tergolong orang yang kufur.
Contohnya adalah orang mukalaf (yang telah dibebani tugas agama) yang menolak
menegakkan shalat, tidak mengerjakan puasa Ramadhan, atau menolak membayar zakat.
Kebalikan dari wajib adalah haram. Yaitu, perintah untuk meninggalkan sesuatu dengan
disertai janji pahala bagi yang mematuhinya dan dosa bagi yang melanggarnya. Menurut
Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil qath i (pasti) yang tidak
mengandung keraguan sedikit pun.
Contoh perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya memakan bangkai,
mem- . bunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri. Adapun perbuatan yang mandub adalah
perbuatan yang pelakunya akan diberikan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak
mendapatkan siksa. Dengan kata lain, yang mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada
yang tidak mengerjakannya. Contoh dari amalan yang mandub di antaranya adalah shalat
sunah dua rakaat sebelum dan sesudah shalat wajib. Menurut Imam Asy-Syatibi dalam
kitabnya Al-Muwafaqat, setiap amalan mandub (sunah) yang dicontohkan oleh Rasulullah
SAW dapat menyempurnakan ibadah-ibadah wajib, di samping juga mendorong pelakunya
agar secara berkelanjutan melaksanakan ibadah-ibadah wajib. "Barang siapa yang senantiasa
melaksanakan ibadah sunah, pasti ia ju%a menjalankan ibadah-ibadah wajib,"

2. HUKUM WADH’I
Adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’
(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). ‫ما اقتضى وضع‬
‫ شيء سببا لشيئ او شرطا له او مانعا منه‬Misalnya, hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari
tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat
zuhur. Wudhu’ menjadi syarat sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi
penghalang/māni’ seorang wanita melakukan kewajiban shalat dan puasa. Hukum wadhi
Pembahasan hukum dalam ilmu usul fikih tidak berhenti pada hukum taklifi saja. Ada pula

14
hukum yang menghubungkan dua hal dan disebut dengan hukum wadhi atau hukum
kondisional. Yang dimaksud dengan menghubungkan dua hal di sini adalah kondisi yang satu
menjadi sebab, syarat, atau halangan bagi yang lain.

a. Al-Hakim
Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada
perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithabAllah yang
berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan di
antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah.
b. Al-Hukum
Secara etimologi, hukm berarti man’u yakni “mencegah”, seperti, mengandung pengertian
bahwa engkau mencegah melakukan sesuatu yang berlawanan dengan itu. Hukm juga berarti
qadha’ yang memiliki arti “putusan”, seperti, mengandung pengertian bahwa engkau telah
memutuskan dan menyelesaikan kasus mereka.
Abd. Hamid Hakim dalam bukunya “Al-Bayan” menyatakan:
“Hukum menurut bahasa ialah: menetapkan sesuatu di atas sesuatu.”
Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntutan dari Allah yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf. A. Hanafie, dalam
bukunya Usul Fiqh, telah menjelaskan bahwa hukum menurut syara’, ialah firman Allah atau
sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana
mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya
yang lain.
c. Mahkum Bih Wa Mahkum Alaih
Mahkum bih adalah perbuatan-perbuatan mukallaf yang dibebani suatu hukum
(perbuatan hukum). Tidak ada pembebanan selain pada perbuatan. Artinya beban itu erat
hubungannya dengan perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu apabila Syari' mewajibkan
atau mensunnahkan suatu perbuatan kepada seorangmukallaf, maka beban itu tak lain adalah
perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan.

Al Mahkum ‘Alaih atau subyek hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah
atau mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’. Dalam istilah Ushul

15
Fiqh, subjek hukum itu disebut mukallaf (‫ ) المكلف‬atau orang-orang yang dibebani hukum,
atau mahkum ‘alaih ( ‫ ) المحكوم عليه‬yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum

16
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu Fiqh secara umum merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar
gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis Hukum Islam dan
bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang, segolongan dan semasyarakat dan
seumum manusia.
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil hukum atau sumber
hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus
ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk beluk
tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.
Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama usul fiqh, yang menjadi objek
bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan
hukumnya.
menurut pendapat Al-Gazali objek bahasan ushul fiqh 4 (bagian) bagian, yaitu:
1. Pembahasan Tentang Hukum Syara’ dan Yang Berhubungan Dengannya, Seperti Hakim,
Mahkum fih, dan Mahkum ‘alaih
2. Pembahasan Tentang Sumber-sumber dan Dalil-dali Hukum
3. Pembahasan Tentang Cara Mengistinbatkan Hukum Dari Sumber-sumber dan Dalil.
4. Pembahasan Tentang Ijtihad,

17
DAFTAR PUSTAKA

Haroen Nasrun, ushul fiqh : Wacana ilmu dan pemikiran, Jakarta, Logos,Publishing
House,1996.

Khallaf Abdul Wahab, Ilmu ushul fiqh, semarang; Dina utama semarang, 1994.

Syarifudin Amir, Ushul fiqh jilid 1, Jakarta :Logos WacanaILmu, 1997.

http://mashurimas.blogspot.com/2010/12/sejarah-perkembangan-ushul.html

http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/fiqih/ilmu-fiqih/100/sejarah-perkembangan-
fiqh.html

18
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan dan rahmatnya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul: “SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH DAN FIQH”

Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan
rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah yang telah banyak
memberikan arahan bimbingan, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, penulis mengharapkan masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.

Blangpidie, November 2012

Penulis

i
19
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................2

A. Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh.........................................................2

B. Objek Fiqh Dan Ushul Fiqh................................................................3

C. Ruang Lingkup Pembahasan Fiqh dan Ushul fiqh.............................4

D. Tujuan Mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh.........................................4

E. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh........5

F. Aliran Dalam Fiqh dan Ushul Fiqh....................................................6

G. Komponen Hukum Syar’i (Taklifi Dan Wadh’i)...............................7

BAB III PENUTUP...............................................................................................14

Kesimpulan..............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................15

20
ii

Anda mungkin juga menyukai