I
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA :
UNIT :
SEMESTER :
MATA KULIAH :
DOSEN PEMBIMBING :
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2. Pengertian ushul fiqih
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul
Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak
dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara
etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
3
Artinya :
“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian
fiqih.”
Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo
Mesir menyatakan :
َأْو َم ْج ُم ْو َع ُة اْلَقَو اِع ِد.َاْلِع ْلُم ِباْلَقَو اِع ِد َو اْلُبُحْو ِث اَّلِتْى َيَتَو َّصُل ِبَها ِاَلى اْس ِتَفاَد ِة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّي ِة ِم ْن َأِد َّلِتَه ا الَّتْفِص ْيِلَّيِة
َو اْلُبُحْو ِث اَّلِتْى َيَتَو َّصُل ِبَها ِاَلى اْس ِتَفاَد ِة اَأْلْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة.
Artinya :
“Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan
kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah)
dari dalil-dalil yang terperinci.”
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama
Syafi’iyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global);
bagaimana cara mengistinbath hukum; syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat
seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama.
Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana
menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.
Dengan demikian Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil
hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya.
Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya. Seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan
dalil-dalil tersebut.
1. OBJEK FIQH
Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama usul fiqh, yang menjadi objek
bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan
hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib (misal: melaksanakan shalat dan puasa),
sunah (misal: bersedekah kepada orang yang membutuhkannya), mubah (misal:
melangsungkan berbagai transaksi yang dibolehkan syara’), haram (misal: berzina, mencuri,
4
dan membunuh seseorang tanpa sebab yang dibenarkan syara’), atau makruh (misal:
menjatuhkan talak tanpa sebab).
Di samping itu, bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan
dengan masalah amaliyah (praktek). Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum
tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupannya sehari-hari, sekaligus untuk
mengetahui nilai dari perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut.
Jadi, objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai
dan telah ditetapkan hukumnya.
menurut pendapat Al-Gazali objek bahasan ushul fiqh 4 (bagian) bagian, yaitu:
1. Pembahasan Tentang Hukum Syara’ dan Yang Berhubungan Dengannya, Seperti Hakim,
Mahkum fih, dan Mahkum ‘alaih
Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak
dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini,
meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan
hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum 'alaih) dan syarat-syaratnya,
ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang
ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
2. Pembahasan Tentang Sumber-sumber dan Dalil-dali Hukum
pembahasan tentang dalil dalam ilmu ushul fiqh adalah secara global. Di sini dibahas
tentang macam-macamnya.rukun atau syarat masing-masingdari macam-macam dalil itu,
kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam ilmu ushul fiqh tidak membahas satu
perstu dalil bagi setiap perbuatan.
3. Pembahasan Tentang Cara Mengistinbatkan Hukum Dari Sumber-sumber dan Dalil.
Metode istinbet yang dibahas dalam bagian ini adalah dari metode-metode istinbet secara
keseluruhan. Bagian ini khusus membicarakan metode bila mana dalam pandangan mujtahid
terjadi pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Seperti yang di kemukakan
oleh Abd al-Rahim al- Isnawi, mendahulukan dalil yang tegas atas dalil yang tidak tegas
pengertiannya, mendahulukan hadits mutawatir atas hadits yang tidak mutawatir, dan lain-lain
yang umumnya dibahas dalan kajian ta’arud al- adillah(dalil-dalil yang ber tentangan) dan
metode tarjih(cara mengetahui man yang lebih kuat sehingga harus didahulukan)
5
4. Pembahasan Tentang Ijtihad
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang
yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan
hukum melakukan ijtihad.[3] Ulama’ushul tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz’iyah
akan tetapi hanya membahas dalil-dalil kulli dan hukum-hukum yang kulli pula.[4] Pokok
bahasan dalam uhul fiqh ini adalah dalil dali syara’ yang secara garis besaryang didalamnya
terkandung hukum-hukum secara garis besar pula. Dalam bahasa non- arab ushul fiqh ini
sering diterjamahkan dengan teori hukum(legal theory), kerena mimang di dalamnya berisi
tentang teori-teori dalam memahami hukum syari’ah.[5]
Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqh secara awam, topik (bab)
pembahasan fiqh itu adalah empat, yang sering disebut Rubu’:
- Rubu’ ibadat;
- Rubu’ muamalat;
- Rubu’ munakahat; dan
- Rubu’ jinayat.
Ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
6
mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidakmempunyai
kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain
yang berhubungan denganya.
7
hukum islam yang bersifat sekunder dan berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat islam.
5) Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari
berbagai persoalan sosial yang terus berkembang. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu
pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum
islam dapat melakukan tarjih (penguatan).
Pertumbuhan fiqh dari awal sampai sekarang dapat dibedakan kepada beberapa priode,
Periodisasi. menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai
wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-
Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat,
karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada
Rasulullah SAW. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan
periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada
masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan
itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem
kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini
seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah
ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh
ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad
SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam
pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.
Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai
secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab
menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam
8
memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan
hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk
Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral,
etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi
karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing
memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari
kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut.
Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk
pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka
mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah
SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai
awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai
salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan
menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad
hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan
abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam
periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas
yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama,
sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan
pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang
ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258
M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki
tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap
berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat
mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna
menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid
9
(memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin
dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam
Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan,
ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini
dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far al-Mansur
(memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis
sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga
peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-
Muwaththa’ (Yang Disepakati). Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara
ahlulhadits dan ahlurra ’yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad
bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini
juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis
masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang
dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis). Pertentangan kedua aliran ini baru
mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra’yi berupaya membatasi,
mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk meng-
istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima
pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlurra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai
salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum. Upaya pendekatan lainnya untuk
meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi
Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang merupakan
salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-
Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang
dapat mendukung fiqh ahlurra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh
kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra’yu.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan
tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab
dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam
mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak
10
ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari
prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai
mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada
dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan
ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta
terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan
mazhab imamnya.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al- ’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani)
pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari
perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini
dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi
buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap
kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing.
Dalam sejarah ilmu ushul fiqh, sebenarnya pada awal abad I Hijriyah, ilmu ushul fiqh
belum muncul dipermukaan sebagai disiplin ilmu. Karena, pada abad pertama, ilmu ushul
fiqh belum dirasa diperlukan untuk dirumuskan dan dijadikan sebagai disiplin ilmu
terangkum dalam sebuah buku tertulis. Walaupun hakekatnya, bahwa hukum Allah yang
diturunkan kepada umat manusia dan hukum yang dihasilkan berdasarkan ijtihad Rasul saw
dan para sahabatnya mempertimbangkan kemaslahatan dan keberpihakan manusia.
Sedangkan maslahah ini, termasuk kajian ilmu ushul fiqh.
Sebagaimana dikatakan Khallaf, bahwa ilmu ushul fiqh muncul dipermukaan pada
abad II H. Karena, pada abad I H, ilmu ushul fiqh belum dibutuhkan. Dengan alasan, pada
masa Rasul saw, Rasul saw memberi fatwa pada para sahabat dan memutuskan suatu perkara
berdasarkan wahyu yang turun kepada Nabi saw, yaitu al-Quran, juga berdasarkan ilham dari
Allah swt yang diaplikasikan dalam bentuk ucapan dan tindakan Nabi saw dan juga
berdasarkan ijtihad Nabi saw sendiri tanpa butuh pada teori dan kaidah untuk beristinbat
(menggali hukum) dan berijtihad.
Para sahabat-pun juga demikian, maksudnya, para sahabat juga tidak membutuhkan
pada teori istinbat dan kaidah-kaidah berijtihad. Karena kala itu, para sahabat berfatwa dan
11
memutuskan berdasarkan nas}-nas} yang dipahaminya melalui penguasaan dan kemahiran
tentang ilmu bahasa tanpa membutuhkan kaidah-kaidah bahasa yang mengantarnya untuk
memahami nash-nash. Para sahabat juga berfatwa dan memutuskan permasalahan yang belum
ada nashnya berdasakan pengetahuannya tentang sebab turunnya ayat, munculnya hadith,
kepahamannya akan maqasid al-Shariah (tujuan syara’) dan prinsip/dasar syara’.
1. Aliran fiqh
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya
beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi
yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku sejarah hukum
islam cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang berafiliasi dengan aliran sunni,
12
sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan
syi’ah dalam bidang hukum islam.
1. HUKUM TAKLIFI
Adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap
seorang mukallaf untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat. Misalnya, hukum taklifi
menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba haram, makan-minum mubah.
13
Para ahli usul fikih membagi hukum taklifi menjadi tiga kategori perintah, larangan, dan
pilihan, untuk menjalankan sesuatu atau memnggalkan-nya. Dari ketiga kategori itu, mereka
kemudian membaginya lagi menjadi lima macam, yaitu wajib, haram, mandub (sunnah),
mubah, dan makruh.
Suatu perintah tergolong wajib atau fardhu apabila perintah itu diiringi dengan janji
pemberian pahala bagi yang menjalankan dan ancaman siksaan bagi yang meninggalkan.
Perintah wajib ini didasarkan pada dalil-dalil yang sudah qathi atau pasti, yang tidak
diragukan lagi kesahihannya. Untuk itu, sebagian ulama berpendapat, orang yang
mengingkari perintah wajib ini tergolong orang yang kufur.
Contohnya adalah orang mukalaf (yang telah dibebani tugas agama) yang menolak
menegakkan shalat, tidak mengerjakan puasa Ramadhan, atau menolak membayar zakat.
Kebalikan dari wajib adalah haram. Yaitu, perintah untuk meninggalkan sesuatu dengan
disertai janji pahala bagi yang mematuhinya dan dosa bagi yang melanggarnya. Menurut
Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil qath i (pasti) yang tidak
mengandung keraguan sedikit pun.
Contoh perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya memakan bangkai,
mem- . bunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri. Adapun perbuatan yang mandub adalah
perbuatan yang pelakunya akan diberikan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak
mendapatkan siksa. Dengan kata lain, yang mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada
yang tidak mengerjakannya. Contoh dari amalan yang mandub di antaranya adalah shalat
sunah dua rakaat sebelum dan sesudah shalat wajib. Menurut Imam Asy-Syatibi dalam
kitabnya Al-Muwafaqat, setiap amalan mandub (sunah) yang dicontohkan oleh Rasulullah
SAW dapat menyempurnakan ibadah-ibadah wajib, di samping juga mendorong pelakunya
agar secara berkelanjutan melaksanakan ibadah-ibadah wajib. "Barang siapa yang senantiasa
melaksanakan ibadah sunah, pasti ia ju%a menjalankan ibadah-ibadah wajib,"
2. HUKUM WADH’I
Adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’
(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). ما اقتضى وضع
شيء سببا لشيئ او شرطا له او مانعا منهMisalnya, hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari
tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat
zuhur. Wudhu’ menjadi syarat sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi
penghalang/māni’ seorang wanita melakukan kewajiban shalat dan puasa. Hukum wadhi
Pembahasan hukum dalam ilmu usul fikih tidak berhenti pada hukum taklifi saja. Ada pula
14
hukum yang menghubungkan dua hal dan disebut dengan hukum wadhi atau hukum
kondisional. Yang dimaksud dengan menghubungkan dua hal di sini adalah kondisi yang satu
menjadi sebab, syarat, atau halangan bagi yang lain.
a. Al-Hakim
Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada
perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithabAllah yang
berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan di
antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah.
b. Al-Hukum
Secara etimologi, hukm berarti man’u yakni “mencegah”, seperti, mengandung pengertian
bahwa engkau mencegah melakukan sesuatu yang berlawanan dengan itu. Hukm juga berarti
qadha’ yang memiliki arti “putusan”, seperti, mengandung pengertian bahwa engkau telah
memutuskan dan menyelesaikan kasus mereka.
Abd. Hamid Hakim dalam bukunya “Al-Bayan” menyatakan:
“Hukum menurut bahasa ialah: menetapkan sesuatu di atas sesuatu.”
Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntutan dari Allah yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf. A. Hanafie, dalam
bukunya Usul Fiqh, telah menjelaskan bahwa hukum menurut syara’, ialah firman Allah atau
sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana
mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya
yang lain.
c. Mahkum Bih Wa Mahkum Alaih
Mahkum bih adalah perbuatan-perbuatan mukallaf yang dibebani suatu hukum
(perbuatan hukum). Tidak ada pembebanan selain pada perbuatan. Artinya beban itu erat
hubungannya dengan perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu apabila Syari' mewajibkan
atau mensunnahkan suatu perbuatan kepada seorangmukallaf, maka beban itu tak lain adalah
perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan.
Al Mahkum ‘Alaih atau subyek hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah
atau mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’. Dalam istilah Ushul
15
Fiqh, subjek hukum itu disebut mukallaf ( ) المكلفatau orang-orang yang dibebani hukum,
atau mahkum ‘alaih ( ) المحكوم عليهyaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum
16
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu Fiqh secara umum merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar
gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai jenis Hukum Islam dan
bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang, segolongan dan semasyarakat dan
seumum manusia.
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil hukum atau sumber
hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus
ditempuh oleh ahli hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk beluk
tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.
Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama usul fiqh, yang menjadi objek
bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan
hukumnya.
menurut pendapat Al-Gazali objek bahasan ushul fiqh 4 (bagian) bagian, yaitu:
1. Pembahasan Tentang Hukum Syara’ dan Yang Berhubungan Dengannya, Seperti Hakim,
Mahkum fih, dan Mahkum ‘alaih
2. Pembahasan Tentang Sumber-sumber dan Dalil-dali Hukum
3. Pembahasan Tentang Cara Mengistinbatkan Hukum Dari Sumber-sumber dan Dalil.
4. Pembahasan Tentang Ijtihad,
17
DAFTAR PUSTAKA
Haroen Nasrun, ushul fiqh : Wacana ilmu dan pemikiran, Jakarta, Logos,Publishing
House,1996.
Khallaf Abdul Wahab, Ilmu ushul fiqh, semarang; Dina utama semarang, 1994.
http://mashurimas.blogspot.com/2010/12/sejarah-perkembangan-ushul.html
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/fiqih/ilmu-fiqih/100/sejarah-perkembangan-
fiqh.html
18
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan dan rahmatnya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul: “SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH DAN FIQH”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan
rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu
dalam pembuatan makalah ini.
Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah yang telah banyak
memberikan arahan bimbingan, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, penulis mengharapkan masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
Penulis
i
19
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................2
Kesimpulan..............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................15
20
ii