KELAS :A
NIM : 214012010
UAS : FIQIH / USHUL FIQIH
2. HUKUM SYARA’
a. Pengertian Hukum Syara’
Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang
lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutan dari Allah
yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf.
Secara lughawy syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang
sesungguhnya harus diturut. Syariat juga berarti tempat yang akan dilalui untuk
mengambil air di sungai.
Kata syariat terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surah
Al-Maidah ayat 48, Al-Syura ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya
mengandung arti jalan yang jelas membawa pada kemenangan. dalam hal ini yang
disebut syariat adalah agama Islam. Adapun dari segi kesamaan antar syariat Islam
dengan jalan air (seperti dalam arti lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang
mengikuti syariat jiwanya akan mengalir dan bersih.
Hukum syara’ merupakan satu nama hukum yang disandarkan pada
syariat atau syariah. Yakni suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul,
baik dalam bentuk tekstual maupun hasil pemahaman ulama. Karenanya juga
dikatakan berasal dari Al-Qur’an dan Hadis.
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam. Menurut ahli ushul fiqih hukum syara’ adalah tiap-
tiap khitab( titah ) Allah atau sabda nabi yang menyuruh kita untuk mengerjakan suatu
amalan, larangan mengerjakan suatu perbuatan, kebolehan kita mengerjakan atau
menerangkan sesuatu menjadi sebab, menjadi syarat atau menghalangi berlaku
hukum. Makna khitab itu sendiri adalah firman Allah baik berupa larangan-larangan
atau perintah-perintah.
b. Pembagian Hukum Syara’
Hukum syara terbagi dua macam:
1) Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
Wajib
Wajib secara etimologi adalah tetap atau pasti. Sedangkan secara terminologi,
seperti yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan, Ahli Hukum Islam Irak, wajib
berarti Sesuatu yang diperintahkan /diharuskan oleh Allah dan RasulNya untuk
dilaksanakan oleh orang mukallaf (objek hukum)dan apabila dilaksanakan
akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam
dosa. Ulama Jumhur berpendapat bahwa wajib sama dengan fardhu dalam
berbagai masalah kecuali dalam satu hal yaitu dalam masalah ibadah haji.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah Fardhu adalah tuntutan untuk bertindak
dalam bentuk pasti dan tuntutan itu ditetapkan dengan dalil yang Qath’i serta
tidak mengandung keraguan sedangkan wajib ditetapkan dengan dalil Zhanni
tetapi masih mengandung keraguan.
Pembagian Wajib
i. Dari segi waktu pelaksanaannya
o Wajib Muthlaq: Kewajiban yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaannya. Contoh: Mengqadha puasa Ramadhan yang
tertinggal, membayar kafarah sumpah.
o Wajib Muaqqad: kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan
dalam waktu yang tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu
yang telah ditentukan. Jenis wajib ini dibagi menjadi 3, yaitu:
o Wajib Muwassa’: Kewajiban yang waktu yang disediakan untuk
melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya. Contoh: Shalat
Dzuhur.
o Wajib Mudhayyaq: Kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya
dengan waktu yang disediakan. Contoh: Puasa Ramadhan.
o Wajib Dzu Syabhaini: gabungan antara wajib Muwassa’ dengan
wajib Mudhayyaq. Contoh: Ibadah haji.
ii. Dari segi Pelaksana
o Wajib ‘Aini: Kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin
dilakukan orang lain atau karena orang lain. Contoh: puasa dan
shalat.
o Wajib Kafa’i/Kifayah: Kewajiban bersifat kelompok yang apabila
tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika
beberapa orang yang melakukannya maka gugur kewajibannya.
Contoh: shalat jenazah.
iii. Dari segi kadar yang dituntut
o Wajib Muhaddad: kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang
ditentukan. Contoh: zakat.
o Wajib Ghairu Muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan
kadarnya. Contoh: menafkahi kerabat.
iv. Dari segi kandungan perintah
o Wajib Mu’ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada
pilihan lain. Contoh: membayar zakat, shalat lima waktu.
o Wajib Mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara
beberapa alternatif. Contoh: kafarah pelanggaran sumpah (Al
Maidah:89). Yang artinya “Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin”.
Mandub
Menurut bahasa mandub adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan menurut
istilah seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang
dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang
melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang melaksanakannya. Mandub
disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwi’, ihsan, dan fadilah
Pembagian mandub
i. Sunnah muakkad (sunnah yang dianjurkan) Yaitu perbuatan yang
dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Contoh: shalat
sunnah dua raka’at sebelum fajar.
ii. Sunnah ghairu muakkad (sunnah biasa) Yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya. Contoh: shalat sunnah
sebelum zhuhur yang kedua kali.
iii. Sunnah al zawaid Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah
sebagai manusia. Misalnya, sopan santun dalam makan,minum dan tidur.
Haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya.
Secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan RasulNya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan
diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah
diberi pahala. Contoh: larangan berzina. Dalam firman Allah yang artinya
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang
lengah[ lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat,
dan bagi mereka azab yang besar”.
Pembagian haram
i. Al muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena
esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia, dan
kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.contoh:larangan
zina,larangan menikahi mahram.
ii. Al muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya,
karena secara esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam
kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal
yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara
esensial.contoh: larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat
jum’at (al jumuah:9) yang artinya “Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui”.
Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah ushul
fiqh, makruh adalah ssesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya,
dan jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan jika dilanggar tidak berdosa.
Pembagian makruh
i. Makruh tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti,
tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat zhanni. Contoh: larangan
memakai bahan sutera dan perhiasan emas bagi laki-laki.
ii. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
meninggalkannya. Contoh: memakan daging kuda saat sangat butuh
waktu perang. Sebagian ulama Hanafiyah menganggap haram namun
jika sangat dibutuhkan waktu perang maka dibenarkan namun dianggap
makruh
Mubah
Secara etimologi, mubah artinya boleh, atau disebut juga ma’zun (yang
diizinkan)/izhhar(penjelasan). Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh ulama ushul fiqh:Sesuatu yang diserahkan syar’i kepada
mukallaf untuk melaksanakan atau tidak. Menurut Imam al-Syaukani, adalah:
Sesuatu yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pujian.
Menurut Imam al-Ghozali: Sesuatu yang ada keizinan dari Allah Ta’ala untuk
melakukan atau tidak melakukannya, yang pelakunya tidak diembeli dengan
pujian atau celaan dan orang yang tidak melakukannya tidak pula diembeli
pujian dan celaan. Ungkapan yang menunjukkan mubah:
i. Nash yang shahih (jelas). Contohnya Kerjakanlah jika kamu mau atau
tinggalkanlah jika kamu mau.
ii. Nash yang menunjukkan tidak dikenakan dosa jika perbuatan itu
dilakukan. Contohnya dalam QS.al-Baqoroh:229, tentang kebolehan
khulu’.
iii. Lafal yang mengandung perintah untuk melaksanakan sesuatu, tetapi ada
indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya untuk kebolehan
saja. Contohnya dalam QS.7:31: Makan dan minumlah
iv. Nash yang menunjukkan kehalalan sesuatu. Misalnya, kehalalan
mengkonsumsi makanan dan sesuatu yang baik. Dihalalkan bagimu pada
,malam hari bulan puasa bercampur denagn istri-istri kamu…(QS.2:187)
v. Ibadah al-Ashliyyah, yaitu sesuatu yang tidak ada dalil yang
menunjukkan diperintahkan/dilarang untuk melakukannya. Oleh sebab
itu ulama fiqh mengatakan “Asal segala sesuatu adalah boleh, kecuali
jika ada dalil yang menunjukkan perintah (untuk melakukan) atau
melarang (untuk meninggalkan).
Dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, ulama-ulama
ushul fiqh mengemukakan mubah kedalam 3 bentuk, antara lain:
i. Mubah yang apabila dilakukan/tidak dilakukan tidak mengandung
mudarat, xseperti makan, minum, dan berpakaian.
ii. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya,
sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Misalnya
makan daging babi saat keadaan darurat.
Sesuatu yang pada dasarnya sifatnya mudarat dan tidak boleh dilakukan
menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehungga pebuatan itu
menjadi mubah. Contohnya, mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam
seperti mengawini ibu tiri.
2) Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Sabab
Sabab secara etimologi adalah sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai
pada suatu tujuan. Secara terminologi sabab adalah sesuatu yang
keberadaannya dijadikan syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan
ketiadaan sabab sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah
menjadikan zina sebagai sabab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri
bukanlah penyebab ditetapkannya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu
adalah dari syar’i.
Pembagian sabab
i. Dari segi objeknya: Sebab al-waqti, seperti tergelincirnya matahari
sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur (QS.17:78) “Dirikanlah shalat
karena telah tergelincirnya matahari”. Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk
sebagai penyebab diharamkannya khamr.
ii. Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf:
o Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakuka.
Misalnya, jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta,
pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman dan akad
nikah disebabkannya dihalalkan hubungan suami-istri. Sebab seperti
ini terbagi lagi menjadi 3, yaitu: Sebab yang diperintahkan syara’.
Contohnya, nikah menjadi penyebab terjadinya hak waris mewarisi
dan nikah itu diperintahkan. Sebab yang dilarang syara’. Seperti
pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman potong tangan dan
pencurian itu sendiri dilarang. Sebab yang diizinkan(ma’zun bihi).
Misalnya, sembelihan segai penyebab dihalakannya hewan
sembelihan, dan penyembelihan itu sendiri adalah sesuatu yang
mubah. Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu
untuk dilakukan. Contohnya, tergelincirnya matahari sebagai
penyebab wajibnya shalat zuhur.
o Dari segi hukumnya: Sebab al-masyru’, yaitu semua yang membawa
pada kemaslahatan dalam pandangan syar’i sekalipun dibarengi
kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad. Sebab ghairu al-masyru’,
yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandangan
syar’i sekalipun didalamnya terkandung pula kemaslahatan secara
zhahir, seperti adopsi.
o Dari segi pengaruhnya terhadap hukum: Asbabul mu’sir filhukmi
(‘illat). Contoh: mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada
hukum, yang merupakan ‘illat keharaman khamr. Assababu ghairul
mu’sir fil hukmi (sebab yang tidak berpengaruh pada hukum).
Contohnya: waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.
o Dari segi jenis musabbab: Sebab bagi hukum taklifi, seperti
munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa. Sebab untuk
menetapkan ahk milik, melepaskan/menghalalkannya. Misalnya,
jual beli sebagai penyebab kepemilikan barang yang dibeli.
o Dari segi hubungan sabab dengan musabab: Sebab al-syar’i, seperti
tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zuhur. Sebab
al-‘aqli (sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan
pada hukum adat kebiasaan atau ‘urf), seperti tubuh merasa tidak
sehat karena ada penyakit.
Syarth
Secara etimologi syarth ialah syarat/’alamah/pertanda. Secara terminologi
ialah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada
diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada.
Macam-macam syarth
i. Dari segi kaitannya dengan sabab dan musabbab, dibagi menjadi dua:
o Al-syarth al-mikammil li al-sabab (syarat penyempurnaan sebab)
seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang gtelah
mencapai satu nisab.
o Al-syarth al-mikammil il al-musabbab (syarat yang menjadi
penyempurnaan bagi musabbab), seperti kemampuan menyerahkan
barang sebagai penyempurnaan sebagai akad jual-beli.
ii. Dari segi pensyaratannya:
o Al-syarth al syar’i (syarat yang ditentukan syar’i terhadap berbagai
hukum), seperti persyaratan yang ada dalam muamalah atau
ibadah.
o Al-syarth al-ja’li (syarat yang dibuat para mukallaf), seperti
membawa barang yang telah dibeli kerumah pembeli sebagai
syarat yang disepakati penjual & pembeli saat akad jual beli
berlangsung.
iii. Dari segi hubungan syarth dengan masyyruth
o Al-syarth al-syar’i (syarat yang hubungannya dengan yang
disyaratkan didasarkan atas hukum syara’), seperti wudhu uuntuk
shalat.
o Al-syarth al’aqli (syarat yang disyaratkan didasarkan atas nalar
manusia).
o Al-syarth al-‘adi (syarat yang hubungannya dengan yang
disyaratkan didasarkan kepada adat kebiasaan/’urf).
Mani’
Secara etimologi mani’ berarti halangan, sedangkan secara terminologi adalah
sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya
hukum atau ketiadaan sebab.
Macam-macam Mani’
i. Dari segi pengaruhnya kepada hukum dan sebab
o Mani’ yang berpengaruh terhadap sabab, karena mani’ merusak
hikmah yang ada pada sabab. Contoh: hutang menyebabkan
batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu
nishab lagi (sabab).
o Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, yang artinya menolak
adanya hukum meskipun ada sabab yang mengakibatkan adanya
hukum.
o Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu sesuatu
yang menyebabkan hilangnya akal sehingga menyebabkan
terhalangnya taklif.
o Mani’ yang bersamaan dengan ahliyyah taklif, tetapi mani’ itu
menghilangkan taklif.
o Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan membawa
seseorang untuk bersikap memilih.
ii. Ulama Hanafiyah membagi mani’ kepada lima macam, yaitu:
o Mani’ yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual
beli tidak ada.
o Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurna bagi orang ketiga di
luar akad, seperti Bai’ Al Fudhuli.
o Mani’ memulai hukum, seperti khiyar Syarth dalam jual beli.
o Mani’ untuk menyempurnakan hukum, seperti keberadaan khiyar
Ru’yah dalam jual beli.
o Mani’ yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti
adanya cacat dalam barang yang dibeli.
Rukhshah
Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan.
Secara terminologi Imam Al Baidhawi menyatakan yaitu hukum yang
ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur. Jadi Rukhshsah adalah
keriranganan dan kelapangan yang diberikan kepada seorang mukallaf dalam
melakukan perintah dan menjauhi larangan.
Macam-macam rukhshah
o Dari segi bentuk hukum asalnya Rukhshah melakukan adalah keringanan
dalam melaksanakan suatu perbuatan yang menurut asalnya harus
ditinggalkan. Contoh: memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.
(Al Baqarah:173) Rukhshah meninggalkan adalah keringanan untuk
meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib
atau sunnah. Contoh: kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi
orang sakit atau dalam perjalanan (Al Baqarah:184).
o Dari segi bentuk keringanan yang diberikan Keringanan dalam bentuk
menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at,
haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur. Keringanan dalam bentuk
mengurangi kewajiban, seperti mengqashar shalat empat raka’at menjadi
dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan jauh. Keringanan
dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti menggantikan kewajiban
berdiri dalam shalat dengan duduk, berbaring atau isyarat dalam keadaan
tidak mampu. Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan
kewajiban, seperti menangguhkan shalat zhuhur ke waktu ashar pada
jama’ ta’khir karena dalam perjalanan jauh. Keringanan dalam bentuk
mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti mendahulukan shalat
‘ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim dalam perjalanan jauh.
Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, seperti pelaksanaan
shalat khauf (shalat dalam perang). Keringanan dalam bentuk
membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan wajib
karena udzur, seperti memakan daging babi saat keadaan darurat.
Hukum menggunakan Rukhshah Pada dasarnya rukhshah itu adalah
pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ‘azimah
dalam keadaan darurat, jadi dengan sendirinya hukumnya boleh. Menurut
jumhur ulama menggunakan rukhshsah tergantung pada bentuk udzur yang
menyebabkan adanya rukhshah itu. Jadi hukum rukhshah bisa menjadi wajib
seperti dalam keadaan darurat memakan daging babi, sedangkan jika tidak
menggunakan rukhshah akan dikhawatirkan dapat mencelakakan dirinya.
Bisa juga menjadi sunnah seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang
sakit atau dalam perjalanan.
4. MAKSUD-MAKSUD SYARIAH
a. Pengertian Maqashid Syariah
Secara bahasa, kata maqashid sendiri berasal dari kata maqshad yang berarti
tujuan atau target. Berangkat dari arti tersebut, beberapa ulama memiliki pengertian
atau definisi mengenai maqashid syariah yang berbeda. Al-Fasi misalnya,
kepemimpinan, maqashid syariah merupakan tujuan atau rahasia Allah yang ada dalam
setiap hukum syariat.
Sedangkan ar-Risuni berpendapat bahwa maqashid syariah adalah tujuan yang
ingin dicapai oleh syariat agar kemashlahatan manusia bisa terwujud. Secara umum,
maqashid syariah memiliki tujuan untuk kebaikan atau kemashlahatan umat manusia.
Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari hukum Allah yaitu kebaikan.
Kemashlahatan yang dimaksud dalam hal ini mencakup segala hal dalam
kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya rezeki manusia, kebutuhan dasar hidup,
dan juga kebutuhan lain yang diperlukan manusia. Di dalamnya juga mencakup
kualitas emosional, intelektual, dan juga pemahaman atau pemahaman yang mutlak.
b. Penjelasan Maqashid Syariah
Bentuk-Bentuk Maqashid Syariah :
Menurut imam asy-Syatibi, ada lima bentuk maqashid syariah. Lima bentuk ini disebut
juga sebagai lima prinsip umum atau kulliyat al-khamsah. Masing-masing bentuk ini
memiliki dua pembagian, yaitu dari segi wujud atau penjagaan dan dari segi 'adam
atau pencegahan. Lima bentuk maqashid syariah ini adalah sebagai berikut:
1) Maqashid syariah untuk melindungi agama
Bentuk maqashid syariah untuk melindungi agama merupakan hak memeluk
dan keyakinan seseorang boleh dan boleh memeluk agama yang diyakini bebas dan
tanpa gangguan.
Contoh penjagaannya adalah dengan melaksanakan shalat dan zakat.
Sedangkan dari segi pencegahan dilakukan dengan jihad atau hukuman bagi orang-
orang yang murtad
2) Maqashid syariah untuk melindungi jiwa
Bentuk maqashid syariah untuk melindungi jiwa merupakan landasan dan
alasan yang menyatakan bahwa seorang manusia tidak boleh disakiti, dilukai,
apalagi dibunuh.
Contoh penerapannya adalah dengan makan dan minum. Sedangkan dari segi
pencegahan dilakukan dengan cara qisas dan diyat.
3) Maqashid syariah untuk melindungi pikiran
Bentuk maqashid syariah untuk melindungi pikiran atau akal. Berangkat dari
hal ini, maka segala hal yang menyebabkan akal menjadi tidak boleh. Termasuk di
dalamnya mengonsumsi narkoba atau minuman keras. Termasuk dalam hal ini juga
adalah kebebasan berpendapat secara aman bagi setiap orang.
Contoh penerapannya dalam bentuk penjagaan dilakukan dengan makan dan
mencari makan. Sedangkan bentuk pencegahan dilakukan dengan hukum bagi
pengonsumsi narkoba.
4) Maqashid syariah untuk melindungi harta
Maqashid syariah untuk melindungi harta menjamin bahwa setiap orang yang
berhak memiliki kekayaan harta benda dan merebutnya dari orang lain merupakan
hal yang dilarang. Baik dalam bentuk pencurian, korupsi, dan lain sebagainya.
Contoh penerapan hal ini dilakukan dengan cara melaksanakan jual beli dan
mencari rizki. Bentuk pencegahan dilakukan dengan hukum potong tangan bagi
pencuri dan menghindari riba.
5) Maqashid syariah untuk keturunan
Maqashid syariah untuk melindungi keturunan membuat zina menjadi terlarang
karena dapat memberikan dampak negatif. Baik secara biologi, psikologis,
ekonomi, sosial, nasab, hukum waris, dan lain sebagainya. Karena itu,
penjagaannya dilakukan dalam bentuk pernikahan, sedangkan bentuk pencegahan
dilakukan dengan hukum bagi orang yang berzina dan menuduh orang lain berzina
tanpa adanya bukti.
DAFTAR PUSTAKA
http://mysharing.co/pengertian-fikih-secara-bahasa-dan-istilah/#:~:text=Menurut%20bahasa
%20(etimologi,yang%20tidak%20terpisah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Fikih#:~:text=Fikih%20(bahasa%20Arab,dan%20ru%27bu
%20mu%27amalat
https://ushulfiqih.com/pengertian-ushul-fiqih/ .
https://ruruls4y.wordpress.com/2012/04/07/pengertian-ushul-fiqh/#:~:text=Setelah%20jelas
%20bahwa,meneliti%20kaidah%20ushul.
http://www.makalah.my.id/2019/03/makalah-ushul-fiqih-definisitujuan.html#:~:text=Dari
%20definisi%20di%20atas%2Cterlihat,1%3A9%2CAl-Juhaili%3A23)
http://menzour.blogspot.com/2018/05/objek-kajian-fiqih-dan-ushul-fiqh.html?m=1
http://deffri15.blogspot.com/2011/11/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqh-dan.html?m=1
http://tanwati-ushulfiqh.blogspot.com/2010/12/hukum-syara.html?m=1
https://www.gustani.id/2020/05/5-kaidah-fiqih-pokok-dan-contoh.html?m=1
https://ponpes.alhasanah.sch.id/pengetahuan/mengenal-maqashid-syariah-pengertian-dan-
bentuk-bentuknya/
http://pai.ftk.uin-alauddin.ac.id/artikel/detail_artikel/229