Anda di halaman 1dari 25

NAMA : NURFAZRIA BAID

KELAS :A
NIM : 214012010
UAS : FIQIH / USHUL FIQIH

1. FIQIH DAN USHUL FIQIH


a. Pengertian Fiqih dan Ushul Fiqih
 Pengertian Fiqih
Menurut bahasa (etimologi), kata fikih berasal dari bahasa Arab ‫ الفَ ْه ُم‬yang
berarti paham, seperti pernyataan “‫س‬ ُ ‫ ”فَقَّه‬yang berarti “saya memahami
َ ْ‫ْت ال'''دَّر‬
pelajaran itu”. Arti ini sesuai dengan arti fikih dalam salah satu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
‫َم ْن ي ُِر ِد هللاَ َخ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِى ال ِّدي ِْن‬
Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah Subahanahuwata’ala. menjadi orang
yang baik di sisi-Nya, niscaya diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam
dalam pengetahuan agama”.
Menurut terminologi, fikih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan
yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah
(ibadah), yakni sama dengan arti syariah islamiyyah. Namun, pada perkembangan
selanjutnya, fikih diartikan sebagai bagian dari syariah islamiyyah, yaitu pengetahuan
tentang hukum syariah islamiyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Menurut al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah Fiqih secara bahasa adalah pemahaman
yang mutlak, baik secara jelas maupun secara tersembunyi. Dan telah berpendapat
sebagian ulama, bahwa fikih secara bahasa berarti memahami sesuatu secara
mendalam.
Para usuliyyun membagi makna fikih secara istilah dalam tiga fase, yakni :
 Fase pertama, bahwa fikih sama dengan syariat, yakni segala pengetahuan yang
terkait dengan apa-apa yang datang dari Allah Subahanahuwata’ala, baik berupa
akidah, akhlak, maupun perbuatan anggota badan
 Fase kedua, fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syar‘iyyah
yang bersandarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Fase ketiga, dan ini yang
berlaku hingga saat ini, yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariah bersifat
furu‘iyyah amaliah yang bersandar pada dalil-dalil terperinci).
Dalam pandangan Wahbah Az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang
definisi kata al-fiqh. Beliau mengutip pendapat Abu Hanifah yang mendefinisikannya
sebagai berikut:
ِ ‫ْرفَةُ النَّ ْف‬
‫س َما لَهَا َو َما َعلَ ْيهَا‬ ِ ‫َمع‬
“Pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan.”
Selain itu Wahbah Az-Zuhaili juga mengutip ulama kalangan Syafi‘iyyah yang
mendefinisikan al-fiqh sebagai berikut:
ِ ‫ب ِم ْن َأ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬
‫ص ْيلِيَّ ِة‬ ِ ‫ال ِع ْل ُم بِاَألحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة ْال ُم ْكتَ َس‬
“Pengetahuan tentang hukum syarak yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang
digali dari dalil yang terperinci.”
Fikih adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai zan, karena
ditarik dari dalil-dalil yang zanny. Bahwa hukum fikih itu adalah zanny sejalan pula
dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang
mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam
penarikannya dari Alquran dan sunnah Rasulullah saw.
Sedangkan al-Amidi memberikan definisi fikih yang berbeda dengan definisi
di atas, yaitu: “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syarak yang bersifat
furu‘iyyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”. “Fikih
merupakan seperangkat aturan hukum atau tata aturan yang menyangkut kegiatan
dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi, bertingkah laku dan bersikap yang
bersifat lahiriah dan amaliah.” Dari pengertian yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa fikih merupakan seperangkat aturan hukum atau tata aturan yang
menyangkut kegiatan dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi, bertingkah laku
dan bersikap yang bersifat lahiriah dan amaliah, yang merupakan hasil penalaran dan
pemahaman yang mendalam terhadap syariah oleh para mujtahid berdasarkan pada
dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain bahwa fikih terbatas pada hukum-hukum
yang bersifat aplikatif dan furu‘iy (cabang) dan tidak membahas perkara perkara
i’tiqady (keyakinan) walaupun pada awal kemunculannya merupakan bagian yang
tidak terpisah.
 Pengertian ushul fiqih
Ushul Fiqih tersusun dari dua kata, yaitu kata ushul dan kata fiqih. Ushul (
‫ )أصول‬adalah jama’ dari ashl (‫)أصل‬, yang berarti sesuatu yang menjadi pondasi bagi
yang lainnya. Dan pengertian Fiqih, secara etimologi artinya pengetahuan atau
pemahaman. Dan secara terminology, Fiqih artinya adalah pemahaman terhadap
hukum-hukum syar’i (hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at). Fiqih sifatnya
amaliyah misalnya sholat, zakat, dan sebagainya. Ushul Fiqih adalah metodologi
untuk mengembangkan Syariat Islam menjadi Yurisprudensi Islam aplikatif (Fiqih)
tersebut.
Setelah jelas bahwa pengertian ushul adalah dalil umum atau kaidah dan fiqh
adalah mengetahui hukum syar.i amaliyah melalui ijtihad dari dalil-dalil rinci Alquran
dan sunnah barulah kita bisa menyusun pengertian ushul fiqh. Secara singkat
pengertian ushul fiqh sebagaimana diberikan oleh Imam Ibnu Hajib al-Maliki adalah:
ِ ‫ص ُل بِهَا اِلَى اِ ْستِنِْبَا ِط اَأْلحْ َك ِام ال ََّشرْ ِعيِّ ِة الفَرْ ِعيَّ ِة ِم ْن َأ ِدلَّتِهَا التًّ ْف‬
 ‫ص ْيلِيَّ ِة‬ ِ ‫ال ِع ْل ُم بِ ْالقَ َو‬
َّ ‫اع ِد الَّتِي يَت ََو‬
“Mengetahui kaidah-kadiah yang membawa kepada pengambilan hukum syar‘’ yang
cabang dari dalil-dali rinci. 
Berdasarkan kaidah di atas dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh adalah
“Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah atau dalil umum untuk
melakukan istimbath (penggalian hukum).” Jadi sasarannya adalah membahas dan
membuat kaidah, bukan membahas rincian hukum atau menyimpulkan hukum dari
dalil-dalil Alquran dan hadits. Pembahasan mengenai rincian hukum dan pemahaman
dalil-dalil rinci Alquran hadits adalah tugas fiqh. Ushul fiqh hanya membahas kaidah-
kaidah umumnya saja sehingga tugas ushuliyyin hanyalah membuat dan meneliti
kaidah ushul.
b. Objek Kajian Fiqih Dan Ushul Fiqih
1) Objek kajian fiqih
Objek kajian fiqih meliputi :
 Ibadah Ialah cara-cara menjalankan tata cara peribadahan kepada Allah
SWT.
 Mu’amalah Ialah tata tertib hukum dn peraturan perundang-undangan
 Munakahat Ialah hukum-hukum kekeluargaan dalam hukum nikah dan
akibat-akibat hukumnya
 Jinayat Ialah tindak pelanggaran atau penyimpangan dari aturan hukum islam
sebagai tindak pidana kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
pribadi, keluarga, masyarakat da negara.
Fikih membahas tentang cara beribadah dan muamalah, sesuai yang tersurat
dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat mazhab dari Sunni
yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih
disebut Fakih. Sebagian ahli fikih membagi 4 pembahasan utama, yakni; rubu'
ibadat, rubu' mu'amalat, ru'bu munakahat, dan ru'bu djinajat. Namun sebagian
ahli fikih lainnya membagi pembahasan fikih pada dua aspek saja, yaitu ru'bu
ibadat dan ru'bu mu'amalat
2) Objek kajian ushul fiqih :
Objek kajian ushul fiqih secara garis besarnya ada tiga:
 Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
 Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
 Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua
permasalahannya.
Sementara itu,Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian ushul fiqih, Sumber-
sumber hukum syara’baik yang di sepakati seperti Al-Qur’an dan sunah,maupun
yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah. Pembahasan
tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat
dengan ayat atau sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan
pengomromian (Al-Jam’u’wa At-taufiq).meguatkan salah satu
(tarjih),pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan
(nasakh/tatsaqut Ad-dalilain) Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-
syarat dan macam-macamnya,baik yang bersifat tuntutan,larangan,pilihan atau
keringanan (rukhsah).Juga di bahas tentang hukum,hakim,mahkum alaih (orang
di bebani) dan lain-lain. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam
mengistinbath hukum dan cara menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi,
1:9,Al-Juhaili:23)
c. SEJARAH FIQIH DAN USHUL FIQIH
1) Sejarah Perkembangan Fiqh
Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode :
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan(Bi’tsah) Nabi
Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode
ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw.
Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama
Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada
masalah ketauhidan dan keimanan. Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang
mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara
bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti
kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan
kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini,
ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu
Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur
Rasyidin) sampai dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada
periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi
Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak
diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang
muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang
masuk ke dalam agama Islam. Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan
dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu.
Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya
dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis
menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis
maka para faqih ini melakukan ijtihad. Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak
kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang
merupakan pendapat faqih tentang hukum.
Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar
dirasah islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama
250 tahun (101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode
pembinaan dan pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami
kemajuan pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara
intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan
tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan
penyusunan ilmu ushul fiqh. Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir besar dengan
berbagai karya besarnya, seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang
muridnya yang terkenal Abu Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang
pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafe’I dengan kitabnya
al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa
nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-masing.
Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu
fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai
berikut:
 Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
 Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah
diantara para ulama.
Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada
masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz),
Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas
(w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab lainnya.
Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan
karena hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid
sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir
13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M.
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah-akibat berbagai konflik politik dan
berbagai factor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah
melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah
lemah kemauannya untuk mencapai tingkat umjtahid mutlak sebagaimana
dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan. Periode Negara
yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat
berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari
sumber aslinya;Al-Qur’an dan hadist. Mereka puas hanya dengan mengikuti
pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat
tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian
mengantarakan umat islam terperangkap kea lam pkikiran yang jumud.
Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu
sampai sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan
kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat
bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte
menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat
Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban
baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan
kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan
gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer,
social, dan gerakan intelektual lainnya. Gerakan pembaharuan ini cukup
berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan
itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri.
Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-
Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in
terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul
Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-
Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain
sebagainya.
2) Sejarah Perkembagan Ilmu Ushul Fiqh
Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada
ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu
ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari
ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu
dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh
tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh
tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum.
Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para
mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan.
Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan
bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah
sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman
Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah
sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-
Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-
orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan
diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu,
berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang
datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau
tidak menjelaskannya.
Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan
menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu
(ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il
dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah
itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum
dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti
kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya
dibukukan. Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak
munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan
hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk
membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas
kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat
rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang
mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan
kaidah pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya
bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran)
dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu
untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan
hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi
penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka
mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan
datangnya sunnah. Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul
sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum
menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka
berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah
(tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak
menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-
kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka
dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat
memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam,jiwa yang bersih dan daya
tangkap yang cepat.
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian
pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan
hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum,
karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari
sahabat. Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas,
permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur
sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara
mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan
kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu
untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat
menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.
Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata
bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara
sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu
Ushul Fiqh muncul. Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah
sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan
ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi
penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh
kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah
ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan
menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis
tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan
tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan. Menurut Abdul Al-Wahab
Khalaf, Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (150-102H) yang pertama kali
membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul Fiqh yang disertai dengan alasan-
alasanya dalam kitabnya ar-Risalah . Inilah kitab ilmu suhul fiqh pertama yang
sampai kepada kita. Oleh sebab itu, Imam Syafe’ilah yang dipandang-oleh para
ulama-sebagai pencipta ilmu ushul Fiqh dan dilanjutkan oleh pembahansan
ulama-ulama generasi berikutnya.

2. HUKUM SYARA’
a. Pengertian Hukum Syara’
Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang
lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutan dari Allah
yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf.
Secara lughawy  syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang
sesungguhnya harus diturut. Syariat juga berarti tempat yang akan dilalui untuk
mengambil air di sungai.
Kata syariat terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surah
Al-Maidah ayat 48, Al-Syura ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya
mengandung arti jalan yang jelas membawa  pada kemenangan. dalam hal ini yang
disebut syariat adalah agama Islam. Adapun dari segi kesamaan antar syariat Islam
dengan jalan air (seperti dalam arti lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang
mengikuti syariat jiwanya akan mengalir dan bersih.
Hukum syara’ merupakan satu nama hukum yang disandarkan pada
syariat atau syariah. Yakni suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul,
baik dalam bentuk tekstual maupun hasil pemahaman ulama. Karenanya juga
dikatakan berasal dari Al-Qur’an dan Hadis.
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam. Menurut ahli ushul fiqih hukum syara’ adalah tiap-
tiap khitab( titah ) Allah atau sabda nabi yang menyuruh kita untuk mengerjakan suatu
amalan, larangan mengerjakan suatu perbuatan, kebolehan kita mengerjakan atau
menerangkan sesuatu menjadi sebab, menjadi syarat atau menghalangi berlaku
hukum. Makna khitab itu sendiri adalah firman Allah baik berupa larangan-larangan
atau perintah-perintah.
b. Pembagian Hukum Syara’
Hukum syara terbagi dua macam:
1) Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
 Wajib
Wajib secara etimologi adalah tetap atau pasti. Sedangkan secara terminologi,
seperti yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan, Ahli Hukum Islam Irak, wajib
berarti Sesuatu yang diperintahkan /diharuskan oleh Allah dan RasulNya untuk
dilaksanakan oleh orang mukallaf (objek hukum)dan apabila dilaksanakan
akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam
dosa. Ulama Jumhur berpendapat bahwa wajib sama dengan fardhu dalam
berbagai masalah kecuali dalam satu hal yaitu dalam masalah ibadah haji.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah Fardhu adalah tuntutan untuk bertindak
dalam bentuk pasti dan tuntutan itu ditetapkan dengan dalil yang Qath’i serta
tidak mengandung keraguan sedangkan wajib ditetapkan dengan dalil Zhanni
tetapi masih mengandung keraguan.

Pembagian Wajib
i. Dari segi waktu pelaksanaannya
o Wajib Muthlaq: Kewajiban yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaannya. Contoh: Mengqadha puasa Ramadhan yang
tertinggal, membayar kafarah sumpah.
o Wajib Muaqqad: kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan
dalam waktu yang tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu
yang telah ditentukan. Jenis wajib ini dibagi menjadi 3, yaitu:
o Wajib Muwassa’: Kewajiban yang waktu yang disediakan untuk
melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya. Contoh: Shalat
Dzuhur.
o Wajib Mudhayyaq: Kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya
dengan waktu yang disediakan. Contoh: Puasa Ramadhan.
o Wajib Dzu Syabhaini: gabungan antara wajib Muwassa’ dengan
wajib Mudhayyaq. Contoh: Ibadah haji.
ii. Dari segi Pelaksana
o Wajib ‘Aini: Kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin
dilakukan orang lain atau karena orang lain. Contoh: puasa dan
shalat.
o Wajib Kafa’i/Kifayah: Kewajiban bersifat kelompok yang apabila
tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika
beberapa orang yang melakukannya maka gugur kewajibannya.
Contoh: shalat jenazah.
iii. Dari segi kadar yang dituntut
o Wajib Muhaddad: kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang
ditentukan. Contoh: zakat.
o Wajib Ghairu Muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan
kadarnya. Contoh: menafkahi kerabat.
iv. Dari segi kandungan perintah
o Wajib Mu’ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada
pilihan lain. Contoh: membayar zakat, shalat lima waktu.
o Wajib Mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara
beberapa alternatif. Contoh: kafarah pelanggaran sumpah (Al
Maidah:89). Yang artinya “Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin”.
 Mandub
Menurut bahasa mandub adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan menurut
istilah seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang
dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang
melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang melaksanakannya. Mandub
disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwi’, ihsan, dan fadilah
Pembagian mandub
i. Sunnah muakkad (sunnah yang dianjurkan) Yaitu perbuatan yang
dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Contoh: shalat
sunnah dua raka’at sebelum fajar.
ii. Sunnah ghairu muakkad (sunnah biasa) Yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya. Contoh: shalat sunnah
sebelum zhuhur yang kedua kali.
iii. Sunnah al zawaid Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah
sebagai manusia. Misalnya, sopan santun dalam makan,minum dan tidur.
 Haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya.
Secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan RasulNya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan
diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah
diberi pahala. Contoh: larangan berzina. Dalam firman Allah yang artinya
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang
lengah[ lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat,
dan bagi mereka azab yang besar”.
Pembagian haram
i. Al muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena
esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia, dan
kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.contoh:larangan
zina,larangan menikahi mahram.
ii. Al muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya,
karena secara esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam
kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal
yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara
esensial.contoh: larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat
jum’at (al jumuah:9) yang artinya “Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui”.
 Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah ushul
fiqh, makruh adalah ssesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya,
dan jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan jika dilanggar tidak berdosa.
Pembagian makruh
i. Makruh tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti,
tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat zhanni. Contoh: larangan
memakai bahan sutera dan perhiasan emas bagi laki-laki.
ii. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
meninggalkannya. Contoh: memakan daging kuda saat sangat butuh
waktu perang. Sebagian ulama Hanafiyah menganggap haram namun
jika sangat dibutuhkan waktu perang maka dibenarkan namun dianggap
makruh
 Mubah
Secara etimologi, mubah artinya boleh, atau disebut juga ma’zun (yang
diizinkan)/izhhar(penjelasan). Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh ulama ushul fiqh:Sesuatu yang diserahkan syar’i kepada
mukallaf untuk melaksanakan atau tidak. Menurut Imam al-Syaukani, adalah:
Sesuatu yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pujian.
Menurut Imam al-Ghozali: Sesuatu yang ada keizinan dari Allah Ta’ala untuk
melakukan atau tidak melakukannya, yang pelakunya tidak diembeli dengan
pujian atau celaan dan orang yang tidak melakukannya tidak pula diembeli
pujian dan celaan. Ungkapan yang menunjukkan mubah:
i. Nash yang shahih (jelas). Contohnya Kerjakanlah jika kamu mau atau
tinggalkanlah jika kamu mau.
ii. Nash yang menunjukkan tidak dikenakan dosa jika perbuatan itu
dilakukan. Contohnya dalam QS.al-Baqoroh:229, tentang kebolehan
khulu’.
iii. Lafal yang mengandung perintah untuk melaksanakan sesuatu, tetapi ada
indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya untuk kebolehan
saja. Contohnya dalam QS.7:31: Makan dan minumlah
iv. Nash yang menunjukkan kehalalan sesuatu. Misalnya, kehalalan
mengkonsumsi makanan dan sesuatu yang baik. Dihalalkan bagimu pada
,malam hari bulan puasa bercampur denagn istri-istri kamu…(QS.2:187)
v. Ibadah al-Ashliyyah, yaitu sesuatu yang tidak ada dalil yang
menunjukkan diperintahkan/dilarang untuk melakukannya. Oleh sebab
itu ulama fiqh mengatakan “Asal segala sesuatu adalah boleh, kecuali
jika ada dalil yang menunjukkan perintah (untuk melakukan) atau
melarang (untuk meninggalkan).
Dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, ulama-ulama
ushul fiqh mengemukakan mubah kedalam 3 bentuk, antara lain:
i. Mubah yang apabila dilakukan/tidak dilakukan tidak mengandung
mudarat, xseperti makan, minum, dan berpakaian.
ii. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya,
sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Misalnya
makan daging babi saat keadaan darurat.
Sesuatu yang pada dasarnya sifatnya mudarat dan tidak boleh dilakukan
menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehungga pebuatan itu
menjadi mubah. Contohnya, mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam
seperti mengawini ibu tiri.
2) Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
 Sabab
Sabab secara etimologi adalah sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai
pada suatu tujuan. Secara terminologi sabab adalah sesuatu yang
keberadaannya dijadikan syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan
ketiadaan sabab sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah
menjadikan zina sebagai sabab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri
bukanlah penyebab ditetapkannya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu
adalah dari syar’i.
Pembagian sabab
i. Dari segi objeknya: Sebab al-waqti, seperti tergelincirnya matahari
sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur (QS.17:78) “Dirikanlah shalat
karena telah tergelincirnya matahari”. Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk
sebagai penyebab diharamkannya khamr.
ii. Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf:
o Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakuka.
Misalnya, jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta,
pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman dan akad
nikah disebabkannya dihalalkan hubungan suami-istri. Sebab seperti
ini terbagi lagi menjadi 3, yaitu: Sebab yang diperintahkan syara’.
Contohnya, nikah menjadi penyebab terjadinya hak waris mewarisi
dan nikah itu diperintahkan. Sebab yang dilarang syara’. Seperti
pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman potong tangan dan
pencurian itu sendiri dilarang. Sebab yang diizinkan(ma’zun bihi).
Misalnya, sembelihan segai penyebab dihalakannya hewan
sembelihan, dan penyembelihan itu sendiri adalah sesuatu yang
mubah. Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu
untuk dilakukan. Contohnya, tergelincirnya matahari sebagai
penyebab wajibnya shalat zuhur.
o Dari segi hukumnya: Sebab al-masyru’, yaitu semua yang membawa
pada kemaslahatan dalam pandangan syar’i sekalipun dibarengi
kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad. Sebab ghairu al-masyru’,
yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandangan
syar’i sekalipun didalamnya terkandung pula kemaslahatan secara
zhahir, seperti adopsi.
o Dari segi pengaruhnya terhadap hukum: Asbabul mu’sir filhukmi
(‘illat). Contoh: mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada
hukum, yang merupakan ‘illat keharaman khamr. Assababu ghairul
mu’sir fil hukmi (sebab yang tidak berpengaruh pada hukum).
Contohnya: waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.
o Dari segi jenis musabbab: Sebab bagi hukum taklifi, seperti
munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa. Sebab untuk
menetapkan ahk milik, melepaskan/menghalalkannya. Misalnya,
jual beli sebagai penyebab kepemilikan barang yang dibeli.
o Dari segi hubungan sabab dengan musabab: Sebab al-syar’i, seperti
tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zuhur. Sebab
al-‘aqli (sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan
pada hukum adat kebiasaan atau ‘urf), seperti tubuh merasa tidak
sehat karena ada penyakit.
 Syarth
Secara etimologi syarth ialah syarat/’alamah/pertanda. Secara terminologi
ialah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada
diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada.
Macam-macam syarth
i. Dari segi kaitannya dengan sabab dan musabbab, dibagi menjadi dua:
o Al-syarth al-mikammil li al-sabab (syarat penyempurnaan sebab)
seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang gtelah
mencapai satu nisab.
o Al-syarth al-mikammil il al-musabbab (syarat yang menjadi
penyempurnaan bagi musabbab), seperti kemampuan menyerahkan
barang sebagai penyempurnaan sebagai akad jual-beli.
ii. Dari segi pensyaratannya:
o Al-syarth al syar’i (syarat yang ditentukan syar’i terhadap berbagai
hukum), seperti persyaratan yang ada dalam muamalah atau
ibadah.
o Al-syarth al-ja’li (syarat yang dibuat para mukallaf), seperti
membawa barang yang telah dibeli kerumah pembeli sebagai
syarat yang disepakati penjual & pembeli saat akad jual beli
berlangsung.
iii. Dari segi hubungan syarth dengan masyyruth
o Al-syarth al-syar’i (syarat yang hubungannya dengan yang
disyaratkan didasarkan atas hukum syara’), seperti wudhu uuntuk
shalat.
o Al-syarth al’aqli (syarat yang disyaratkan didasarkan atas nalar
manusia).
o Al-syarth al-‘adi (syarat yang hubungannya dengan yang
disyaratkan didasarkan kepada adat kebiasaan/’urf).
 Mani’
Secara etimologi mani’ berarti halangan, sedangkan secara terminologi adalah
sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya
hukum atau ketiadaan sebab.
Macam-macam Mani’
i. Dari segi pengaruhnya kepada hukum dan sebab
o Mani’ yang berpengaruh terhadap sabab, karena mani’ merusak
hikmah yang ada pada sabab. Contoh: hutang menyebabkan
batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu
nishab lagi (sabab).
o Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, yang artinya menolak
adanya hukum meskipun ada sabab yang mengakibatkan adanya
hukum.
o Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu sesuatu
yang menyebabkan hilangnya akal sehingga menyebabkan
terhalangnya taklif.
o Mani’ yang bersamaan dengan ahliyyah taklif, tetapi mani’ itu
menghilangkan taklif.
o Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan membawa
seseorang untuk bersikap memilih.
ii. Ulama Hanafiyah membagi mani’ kepada lima macam, yaitu:
o Mani’ yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual
beli tidak ada.
o Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurna bagi orang ketiga di
luar akad, seperti Bai’ Al Fudhuli.
o Mani’ memulai hukum, seperti khiyar Syarth dalam jual beli.
o Mani’ untuk menyempurnakan hukum, seperti keberadaan khiyar
Ru’yah dalam jual beli.
o Mani’ yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti
adanya cacat dalam barang yang dibeli.

 Sah, Fasad, dan Batal


Secara etimologi sah atau Shihhah atau shahih artinya sakit. Secara
terminologi, sah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’,
apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil
memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu. Secara etimologi fasad berarti
perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya. Secara terminologi
menurut jumhur ulama sama dengan batal. Sedangkan menurut ulama
Hanafiyah adalah kerusakan yang tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan
hukum asal perbuatan itu disyari’atkan.
Status Sah, fasad, dan batal
Wahbah Al Zuhaili mengatakan bahwa yang terkuat dalam pendapat
mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa sah, fasad, dan batal
termasuk dalam hukum wadh’i karena yang dimaksudkan dengan sah adalah
tercapainya ketentuan syara’ dalam suatu perbuatan, dan batal atau fasad,
tidak terdapatnya pengaruh syara’ dalam perbuatan tersebut.
 Azimah
Secara etimologi ‘azimah adalah tekad yang kuat. Sedangkan secara
terminologi adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah kepada
seluruh hambaNya sejak semula. Jumhur ulama menyatakan bahwa yang
termasuk ‘azimah adalah kelima hukum taklifi yaitu wajib, sunah, haram,
makruh, dan mubah.
Macam-macam ‘Azimah
o Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk kemashlahatan umat
manusia seluruhnya, seperti ibadah dan mu’amalah.
o Hukum yang disyari’atkan karena ada sesuatu sebab yang muncul,
seperti hukum mencaci berhala atau sesembahan agama lain.
o Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal hukum yang sebelumnya,
seperti peristiwa pengalihan arah kiblat.
o Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang umum, seperti larangan
mengawini wanita yang bersuami dengan lafaz yang bersifat umum,
kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak (An
Nisaa’:24).

 Rukhshah
Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan.
Secara terminologi Imam Al Baidhawi menyatakan yaitu hukum yang
ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur. Jadi Rukhshsah adalah
keriranganan dan kelapangan yang diberikan kepada seorang mukallaf dalam
melakukan perintah dan menjauhi larangan.
Macam-macam rukhshah
o Dari segi bentuk hukum asalnya Rukhshah melakukan adalah keringanan
dalam melaksanakan suatu perbuatan yang menurut asalnya harus
ditinggalkan. Contoh: memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.
(Al Baqarah:173) Rukhshah meninggalkan adalah keringanan untuk
meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib
atau sunnah. Contoh: kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi
orang sakit atau dalam perjalanan (Al Baqarah:184).
o Dari segi bentuk keringanan yang diberikan Keringanan dalam bentuk
menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at,
haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur. Keringanan dalam bentuk
mengurangi kewajiban, seperti mengqashar shalat empat raka’at menjadi
dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan jauh. Keringanan
dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti menggantikan kewajiban
berdiri dalam shalat dengan duduk, berbaring atau isyarat dalam keadaan
tidak mampu. Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan
kewajiban, seperti menangguhkan shalat zhuhur ke waktu ashar pada
jama’ ta’khir karena dalam perjalanan jauh. Keringanan dalam bentuk
mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti mendahulukan shalat
‘ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim dalam perjalanan jauh.
Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, seperti pelaksanaan
shalat khauf (shalat dalam perang). Keringanan dalam bentuk
membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan wajib
karena udzur, seperti memakan daging babi saat keadaan darurat.
Hukum menggunakan Rukhshah Pada dasarnya rukhshah itu adalah
pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ‘azimah
dalam keadaan darurat, jadi dengan sendirinya hukumnya boleh. Menurut
jumhur ulama menggunakan rukhshsah tergantung pada bentuk udzur yang
menyebabkan adanya rukhshah itu. Jadi hukum rukhshah bisa menjadi wajib
seperti dalam keadaan darurat memakan daging babi, sedangkan jika tidak
menggunakan rukhshah akan dikhawatirkan dapat mencelakakan dirinya.
Bisa juga menjadi sunnah seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang
sakit atau dalam perjalanan.

3. KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH


a. Pengertian Kaidah-kaidah Ushul Fiqih
Qowaid Fikhiyyah atau Kaidah fikih adalah kaidah atau dasar fikih yang
bersifat umum yang mencakup hukum-hukum syara' secara menyeluruh dari berbagai
bab/bagian dalam masalah - masalah yang masuk di bawah cakupannya. Salah satu
manfaat kaidah fikih adalah menjawab berbagai permasalahan yang rumit dalam
waktu singkat, sehingga dapat menemukan pemecahan berbagai permasalahan yang
diinginkan. Dalam dunia ekonomi yang perkembangannya sangat cepat, pemahaman
kaidah fikih sangat penting bagi seorang muslim, guna menentukan hukum atas
permasalahan yang ditemui di dalam berbisnis.
b. Kaidah Pokok Ushul Fiqih
Terdapat lima kaidah fikih yang utama, yaitu :
1) Kaidah Pertama
ِ َ‫ أُال ُموْ ُر بِ ِمق‬.١
‫اص ِدهَا‬
Setiap sesuatu bergantung pada maksud/niat pelakunya.
Dalil kaidah ini antara lain adalah firman Allah SWT :
ۡ‫س َعلَ ۡيڪُمۡ ُجنَا ۬ ٌح فِي َمٓا َأ ۡخطَ ۡأتُم بِ ِهۦ َولَ ٰـ ِكن َّما تَ َع َّمد َۡت قُلُوبُ ُكم‬
َ ‫َولَ ۡي‬
Artinya : "Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu". (QS. Al Ahzab : 5)
Hadist Rasulullah dari Umar bin Khattab r.a :
‫ِإنَّ َما اَأْل ْع َما ُل بِالنِّيَّ ِة َولِ ُك ِّل ا ْم ِرٍئ َما نَ َوى‬
Artinya : "Sesungguhnya amal tergantung niatnya, dan setiap orang hanya
mendapatkan sesuai niatnya".
2) Kaidah Kedua
ِّ ‫ اليَقِيْنُ اَل يُزَ ا ُل بِال َّش‬.٢
‫ك‬
Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan

Dasar kaidah ini Hadist Rasulullah SAW :


‫ ٕان الشيطان لئاتى احدكم وهو فى صالته فيقول له ٔاحدثت فال ينصرف حتى يسمع صوتا ٔاو يجد ريحا‬.
‫ رواه ٕابن ماجه و ٔاحمد‬.
Artinya : "Sesungguhnya Setan akan mendatangi salah satu dari kalian yang
sedang melaksanakan shalat, lalu berkata kepadanya "Engkau telah hadats". (Jika
itu terjadi) Maka janganlah berpindah (membatalkan shalatnya) sampai dia (orang
yang shalat) mendengar suara atau mencium bau." (H.R. Ibnu Majah & Ahmad).
3) Kaidah Ketiga
‫ ال َم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَّي ِْس ْي َر‬.٣
Kesukaran/kesulitan itu dapat mendatangkan/ menarik kemudahan Al-masyaqqah
berarti al-ta'ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. sedang al-
taysir berarti kemudahan. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syariah meringankannya sehingga
mukallaf mampu melaksanakannyan tanpa kesulitan dan kesukaran.
Kesulitan yang membawa kepada kemudahan antara lain dalam perjalanan (safar),
sakit (maridh), terpaksa yang membahayakan kehidupan, lupa, tidaktahu,
kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Dasar kaidah ini adalah QS Al
Baqarah : 286 dan Al Hajj : 78.
4) Kaidah Keempat
‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
َ ‫ ال‬.٤
Kemadaratan harus dihilangkan
Dasar kaidah ini adalah firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 231 dan hadist
Rasulullah :
‫ رواه ٔاحمد و ابن ماجه و الطبراني‬. ‫ ال ضرر وال ضرار‬.
"Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (H.R. Ahmad, Ibnu Majah,
dan Thabrani)
5) Kaidah Kelima
ٌ‫ ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬.٥
"Adat kebiasaan dapat dijadikan rujukan hukum."
Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT
ِ ‫َوعَا ِشرُوه َُّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
‫ُوف‬
Artinya : "dan pergaulilah mereka secara patut"

Hadist Rasulullah SAW :


‫ رواه ٔاحمد‬. ‫سيى‬
ٔ ‫ ـ فما رٔاى المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن و ما رٔاوا سيىٔا فهو عند هللا‬.
Artinya : " apa yang kaum muslim anggap baik, maka baik pula menurut Allah.
Dan apa yang kaum muslim anggap buruk, maka buruk pula menurut Allah." (H.R.
Ahmad).
c. Penerapan Kaidah-Kaidah Fiqih Dalam Ekonomi
1) Perkara tergantung tujuannya
Contoh penerapan dalam ekonomi: Apabila seseorang berkata : "saya hibahkan
barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun
katanya adalah hiba, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan
hibah, tetapi merupakan akad jual-beli
2) keyakinan tidak bisa di hilangkan dengan keraguan
Contoh penerapan dalam ekonomi: Terjadi perselisihan penjual dan pembeli,
pembeli ingin mengembalikan barangnya dan berkata bahwa barang tersebut
seharga 15 ribu, sedang penjual berkata harga tersebut adalah 20 ribu. Maka yang
dianggap yakin adalah harga penjual.
3) kesempitan mendatangkan kemudahan
Contoh penerapan dalam ekonomi: Seseorang yang meminjam barang kepunyaan
orang yang dikenalnya, kemudian barang tersebut telah rusak atau hilang sehingga
tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka penggantinya adalah barang
yang sama mereknya, ukurannya atau diganti dengan harga barang tersebut dengan
harga di pasaran.
4) kemadrahatan hendaknya di hilangkan
Contoh penerapan dalam ekonomi: Larangan menimbun barang-barang kebutuhan
pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi
rakyat
5) adat atau kebiasaan bisa menjadi landasan hukum
Contoh penerapan dalam ekonomi: Transaksi kurs mata uang (sharf), penyelesaian
transaksi tersebut diadministrasikan sampai 2 hari kemudian setelah transaksi, hal
tersebut dibenarkan.

4. MAKSUD-MAKSUD SYARIAH
a. Pengertian Maqashid Syariah
Secara bahasa, kata maqashid sendiri berasal dari kata maqshad yang berarti
tujuan atau target. Berangkat dari arti tersebut, beberapa ulama memiliki pengertian
atau definisi mengenai maqashid syariah yang berbeda. Al-Fasi misalnya,
kepemimpinan, maqashid syariah merupakan tujuan atau rahasia Allah yang ada dalam
setiap hukum syariat.
Sedangkan ar-Risuni berpendapat bahwa maqashid syariah adalah tujuan yang
ingin dicapai oleh syariat agar kemashlahatan manusia bisa terwujud. Secara umum,
maqashid syariah memiliki tujuan untuk kebaikan atau kemashlahatan umat manusia.
Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari hukum Allah yaitu kebaikan.
Kemashlahatan yang dimaksud dalam hal ini mencakup segala hal dalam
kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya rezeki manusia, kebutuhan dasar hidup,
dan juga kebutuhan lain yang diperlukan manusia. Di dalamnya juga mencakup
kualitas emosional, intelektual, dan juga pemahaman atau pemahaman yang mutlak.
b. Penjelasan Maqashid Syariah
Bentuk-Bentuk Maqashid Syariah :
Menurut imam asy-Syatibi, ada lima bentuk maqashid syariah. Lima bentuk ini disebut
juga sebagai lima prinsip umum atau kulliyat al-khamsah. Masing-masing bentuk ini
memiliki dua pembagian, yaitu dari segi wujud atau penjagaan dan dari segi 'adam
atau pencegahan. Lima bentuk maqashid syariah ini adalah sebagai berikut:
1) Maqashid syariah untuk melindungi agama
Bentuk maqashid syariah untuk melindungi agama merupakan hak memeluk
dan keyakinan seseorang boleh dan boleh memeluk agama yang diyakini bebas dan
tanpa gangguan.
Contoh penjagaannya adalah dengan melaksanakan shalat dan zakat.
Sedangkan dari segi pencegahan dilakukan dengan jihad atau hukuman bagi orang-
orang yang murtad
2) Maqashid syariah untuk melindungi jiwa
Bentuk maqashid syariah untuk melindungi jiwa merupakan landasan dan
alasan yang menyatakan bahwa seorang manusia tidak boleh disakiti, dilukai,
apalagi dibunuh.
Contoh penerapannya adalah dengan makan dan minum. Sedangkan dari segi
pencegahan dilakukan dengan cara qisas dan diyat.
3) Maqashid syariah untuk melindungi pikiran
Bentuk maqashid syariah untuk melindungi pikiran atau akal. Berangkat dari
hal ini, maka segala hal yang menyebabkan akal menjadi tidak boleh. Termasuk di
dalamnya mengonsumsi narkoba atau minuman keras. Termasuk dalam hal ini juga
adalah kebebasan berpendapat secara aman bagi setiap orang.
Contoh penerapannya dalam bentuk penjagaan dilakukan dengan makan dan
mencari makan. Sedangkan bentuk pencegahan dilakukan dengan hukum bagi
pengonsumsi narkoba.
4) Maqashid syariah untuk melindungi harta
Maqashid syariah untuk melindungi harta menjamin bahwa setiap orang yang
berhak memiliki kekayaan harta benda dan merebutnya dari orang lain merupakan
hal yang dilarang. Baik dalam bentuk pencurian, korupsi, dan lain sebagainya.
Contoh penerapan hal ini dilakukan dengan cara melaksanakan jual beli dan
mencari rizki. Bentuk pencegahan dilakukan dengan hukum potong tangan bagi
pencuri dan menghindari riba.
5) Maqashid syariah untuk keturunan
Maqashid syariah untuk melindungi keturunan membuat zina menjadi terlarang
karena dapat memberikan dampak negatif. Baik secara biologi, psikologis,
ekonomi, sosial, nasab, hukum waris, dan lain sebagainya. Karena itu,
penjagaannya dilakukan dalam bentuk pernikahan, sedangkan bentuk pencegahan
dilakukan dengan hukum bagi orang yang berzina dan menuduh orang lain berzina
tanpa adanya bukti.

DAFTAR PUSTAKA

http://mysharing.co/pengertian-fikih-secara-bahasa-dan-istilah/#:~:text=Menurut%20bahasa
%20(etimologi,yang%20tidak%20terpisah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Fikih#:~:text=Fikih%20(bahasa%20Arab,dan%20ru%27bu
%20mu%27amalat
https://ushulfiqih.com/pengertian-ushul-fiqih/ .
https://ruruls4y.wordpress.com/2012/04/07/pengertian-ushul-fiqh/#:~:text=Setelah%20jelas
%20bahwa,meneliti%20kaidah%20ushul.
http://www.makalah.my.id/2019/03/makalah-ushul-fiqih-definisitujuan.html#:~:text=Dari
%20definisi%20di%20atas%2Cterlihat,1%3A9%2CAl-Juhaili%3A23)
http://menzour.blogspot.com/2018/05/objek-kajian-fiqih-dan-ushul-fiqh.html?m=1
http://deffri15.blogspot.com/2011/11/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqh-dan.html?m=1
http://tanwati-ushulfiqh.blogspot.com/2010/12/hukum-syara.html?m=1
https://www.gustani.id/2020/05/5-kaidah-fiqih-pokok-dan-contoh.html?m=1
https://ponpes.alhasanah.sch.id/pengetahuan/mengenal-maqashid-syariah-pengertian-dan-
bentuk-bentuknya/
http://pai.ftk.uin-alauddin.ac.id/artikel/detail_artikel/229

Anda mungkin juga menyukai