Anda di halaman 1dari 8

Makalah Qawaid Fiqhiyyah

Kelompok 1
Dosen Pengampu : KH. Kholil Nafis, M. Ag

Gata Sumarna
M. Firdaus Tajuddin
M. Izharuddin
Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid
dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata kaidah
‫ قاعدة‬, jamaknya qawaid ‫ قواعد‬berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang
bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang
bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Dasarnya
daimbil dari firman Allah Q.S. Al-Baqarah : 127
‫ت َوإسِ َمعِي ُل َربَّنَا تقَب َّۡل مِ َّن ۖٓا إنك أنَتَ ٱلسَّمِ ي ُع ۡٱلعَلِي ُم‬
ِ َ‫قوا ِعدَ مِنَ ۡٱلبي‬
َ ‫َوإِ ۡذ يَ ۡرفَ ُع إبراهيم ۡٱل‬
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh )‫ )الفقه‬ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi
sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan,
pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya
Secara terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H),
yaitu:
‫العلم باألحكام الشريعة العملية المكتسب من أدلتها التفصلية‬
Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya
yang terperinci
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah secara
etimologi adalah aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi Fiqh.
Ibn al-Subkiy (w. 771 H). dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair memberikan rumusan
tentang definisi dari qawaid fiqhiyyah yaitu
‫األمرالكلي الذي ينطبق عليه جزئيتات كثيرة تفهم أحكامها منه‬
Perkara yang bersifat universal yang banyak bagian-bagiannya bersesuaian
dengannya, dimana hukum-hukum bagian-bagian tersebut dipahami darinya
Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah makro atau frekuentif yang mengatur
persoalan-persoalan mikro fiqih yang serupa.
Manfaat dan Urgensi Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah
Adapun tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui
prinsipprinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
Dari tujuan tersebut kita akan memperoleh beberapa manfaat di antara lain :
a. Mengumpulkan cabang-cabang fiqh yang berbeda-beda dalam satu kaidah tertentu
sehingga ditemukan benang merah (garis tengah) di antara kaidah-kaidah tersebut
b. Mengasah ilmu fiqh seorang pelajar serta semakin memantapkan seorang faqih dalam
memahami makna filosofis hukum fiqh sehingga membawanya ke cara istinbath yang
benar.
c. Membantu menyingkap maqashid Syariah di balik hukum-hukum fiqh.
d. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian
hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya
e. Akan lebih moderat dan mudah dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya yang terus muncul dan berkembang.
f. Qawaid fiqhiyyah membantu orang yang bukan spesialis fiqh dalam memahami hukum
fiqh tertentu.
g. Memberikan gambaran perbandingan madzhab dalam fiqh.

Urgensi mempelajari Qawaid Fiqhiyyah


Dapat kita lihat dari dua sudut
Pertama, dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh untuk
memahami dan menguasai maqashid al-Syari’ah, karena dengan mendalami beberapa nash-
nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang
sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah
satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya
Qawaid fiqhiyyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu maslahat dan
menolak mafsadat, dan bagaimana menyikapi kedua hal tersebut (Izzudin bin Abdissalam)
al-Qarafy mengatakan bahwa seorang fuqaha tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang pada qawaid fiqhiyyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil
ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara cabang-cabang itu. Dengan berpegang
pada kaidah fiqhiyyah tentunya mudah menguasai cabangnya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.

Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah Dengan Qawaid Ushuliyyah


1. Qawaid Fiqhiyyah berkaitan langsung dengan hukum fiqh, tanpa perantara, Ushul
fiqh berkaitan dengan hukum Fiqih melalui perantara yakni dalil
2. Qawaid ushuliyyah merupakan dalil-dalil umum. Sedangkan qawaid fiqhiyyah
merupakan hukum-hukum umum.
3. Qawaid ushuliyyah adalah kaidah untuk meng-istinbathkan hukum dari dalil-dalil
yang terperinci. Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah kaidah untuk mengetahui
hukum-hukum, memeliharanya dan mengumpulkan hukum-hukum yang serupa
serta menghimpun masalahmasalah yang berserakan dan mengoleksi
maknamaknanya.
4. Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat umum yang dapat diterapkan pada
semua bagian bagian objeknya. sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah himpunan
hukum-hukum yang dapat diterapkan kepada mayoritas bagian-bagiannya.
5. Objek Qawaid Fiqhiyyah adalah perbuatan mukallaf. Ambil contoh, kaidah “tidak
ada pahala kecuali denga niat” adalah ketentuan hukum atas perbuatan ,anusia
bahwa ia tidak akan memperoleh pahal kecuali jika ia meniatkannya untuk
mendekatkan diri kepada Allah Sedangkan objek ushul fiqh adalah dalil (Syar’i)
dengan segala kondisinya dan hukum serta pelbagai kondisinya
6. Qawaid ushuliyyah ada sebelum ada fiqh. Sebab qawaid ushuliyyah digunakan
fukaha untuk melahirkan hukum fiqh. Sedangkan qawaid fiqhiyyah ada setelah ada
fiqh. Sebab, qawaid fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang
serupa, ada hubungan dan sama substansinya
7. Usul fikih mengkaji kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafal , seperti “amar”
menunjukkan wajib dan “nahyi” menunjukkan haram. Sedangkan, kaidah-kaidah
fikih yaitu kaidah-kaidah fikih yang bernilai tinggi, banyak jumlahnya, mencakup
rahasia-rahasia hukum syara’ dan hikmah-hikmahnya, serta mencakup
cabangcabang hukum yang tak terhingga
Perbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul fiqh
Hubungan antara qawaid fiqhiyyah, fih dan ushul fiqh tidak dapat pisahkan. Ilmu ini
saling berkaitan satu sama lain. Karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalh
hukum syara’
Ushul fiqh adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode
pengalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya yang dilakukan orang yang
berkompeten. Ilmu ini membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan
dalam menggali dan merumuskan hukum syariat Islam/mengeluarkan hukum hukum dari dalil
syara’. Yang menjadi objek kajian dari ilmu ini adalah dalil-dalil syar’i
Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh.
Jadi fiqh adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan
dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul fiqh
Fikih memiliki banyak materi, dari materi fikih yang banyak itu kemudian ulama ahli
fikih meneliti persamaanya dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian
dikelompokkan, dan setiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa,
dan akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih. Selanjutnya kaidah-kaidah fikih
tersebut dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan hadits, terutama untuk diteliti
kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi. Apabila sudah dianggap
sesuai dengan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, barulah kaidah fikih tersebut menjadi kaidah
fikih yang mapan. Apabila sudah menjadi kaidah fikih yang mapan/akurat, maka ulama-ulama
fikih menggunakan kaidah fikih tersebut untuk menjawab tantangan perkembangan zaman, baik
di bidang ibadah, sosial, ekonomi, politik dan budaya akhirnya memunculkan fikih-fikih baru

Hukum Berdalil dengan Qawaid Fiqhiyyah


Kaidah-kaidah fikih mempunyai peranan penting dalam mempermudah pemahaman
tentang hukum Islam. Berbagai hukum cabang yang cukup banyak menjadi tersusun dalam
satu kaidah. Jika kaidah-kaidah ini tidak ada, hukum-hukum cabang tersebut akan berserakan.
Kaidah fikih berfungsi mengikat berbagai hukum dalam satu ikatan yang menunjukkan bahwa
hukum-hukum itu mempunyai kemashlahatan yang berdekatan
Penetapan hukum Islam sumbernya adalah al-Qur’an dan Hadits yang keduanya disebut
dengan mashdar, selain al-Qur’an dan Sunnah juga terdapat dalil hukum yang lainnya yaitu
Ijmâ’ dan Qiyâs, kesemuanya merupakan dalil-dalil yang disepakati kehujjahannya (al-adillatu
al-muttafaq ‘alaihâ)
Ulama-ulama terdahulu pun di kalangan ushûliyûn dan fuqahâ’ tidak ada menyebutkan
kaidah fikih sebagai salah satu dalil atau landasan dalam menetapkan hukum Islam. Kaidah
fikih baru menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada abad ke-IV H, lalu dimatangkan pada
abadabad sesudahnya. Tetapi dewasa ini secara tidak langsung kaidah fikih sudah dijadikan
sebagai landasan dan penguat dalam menetapkan hukum, seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam fatwa-fatwanya selain berdasarkan dari al-Qur’an dan Hadits juga dikuatkan
dengan kaidah-kaidah fikih. Hal ini disebabkan adanya tantangan masalah-masalah yang harus
dicarikan solusinya secara cepat
Kedudukan kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kaidah fikih sebagai dalil
pelengkap dan kaidah fikih sebagai dalil mandiri. Dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fikih
digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Posisi dalil pelengkap ini adalah sebagai penguat dari dalil-dalil yang telah diterangkan dalam
al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah
fikih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
Kedudukan kaidah fikih yang dijadikan sebagai dalil pelengkap disepakati ulama
kebolehannya. Adapun mengenai kaidah fikih sebagai dalil mandiri (mustaqil) dalam
penetapan suatu hukum maka para ulama berbeda pendapat
1. Tidak bisa dijadikan dalil
Ini adalah pendapat Imam Haramain (478 H), Hamawi (w. 1098), Ibnu Daqiq
al-iid (702 H). kaidah fikih tidak bisa dikatakan sebagai dalil mandiri karena kaidah
tersebut pada umumnya bersifat aghlabiyyat (mayoritas / kebanyakan) bukan kulliyyât
(umum). Setiap kaidah memiliki pengecualian, tetapi pengecualian tersebut tidak dapat
diketahui secara pasti, karena bisa saja persoalan-persoalan yang sedang diputuskan
hukumnya termasuk pada kelompok pengecualian.
Selain itu qawaid fiqh itu adalah istiqra (hasil pengkajian para ulama) ini tidak
menjadikan kaidah-kaidah tersebut berada pada derajat pasti (yaqîn). Karena hasil pengkajian
ulama merupakan ijtihad yang mana ijtihad memungkinkan adanya kesalahan. Sedangkan
syarat menyimpulkan hukum itu adalah ghalabatu zann. Jika tidak tercapai maka todak dapat
memberikan keputusan hukum yang kuat
Qawaid fiqhiyyah adalah buah/hasil yang dihasilkan illat hukum furu’. Sehingga tidak
masuk akal jika sebuah hasil dijadikan dalil untuk hukum fur’ yang pada awalnya furu’lah yang
memberikan kesimpulan terbentuknya qawaid fiqhiyyah.

2. Yang Bisa dijadikan dalil


Qawaid Fiqhiyyah dapat digunakan untuk melahirkan hukum syar’i. Ini adalah
pendapat an-Nawawi (676 H), Ibn ‘Arafah (761 H), Al-Qarafi (648 h). Mereka mensejajarkan
kaidah fikih dengan usul fiqh, hujjah yang kuat sejajar dengan nash, ijmâ’ dan qiyâs
jallî. Hal ini dengan syarat bahwa kaidah fikih tersebut harus disepakati ulama dan tidak
ada pertentangan.
Analisis yang menyebutkan bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat universal/kuliiyah
dan bukan aghalabiyyah. Alasannya karena setiap kaidah yang dibentuk telah melalui
berbagai syarat yang harus dipastikan bahwa ia memenuhinya dan juga terhindar dari
penghalang. Adapun yang mnegatakan setiap kaidah itu ada pengecualian, sebenarnya
bukan karna adanya syarat yang tidak terpenuhi atau adannya mani (penghalang)
sehingga ia sejak awal tidak dapat dikategorikan furu qawaid fiqhiyyah.

3. Dapat menjadi Dalil jika diperkuat Nash


Pada dasarnya qawaid fiqh bukanlah dalil yang dapat digunakan untuk
meyimpulkan hukum. Namun jika diperkuat oleh nash, al quran sunnah dan ijma ,
maka sebagian ulama memperbolehkan seperti Muhammad al-Shidqi al-burnu. Kaidah
yang bisa digunakan adalah kaidah yang universal. Ia mengatakan bahwa hukum
hukum syariat yang dapat disimpulkan dari kaidah ini adalah kaidah yang diperkuat
oleh nash. Seperti ; ‫ األمور بمقاصدها‬Segala sesuatu itu bergantung pada niatnya Kaidah
ini diperkuat dengan nash ‫ إنما األعمال بالنيات‬Sesungguhnya perbuatan itu tergantung
niatnya
Bisa dikatakan ketika seorang mujtahid berdalil dengan ini sejatinya ia berdalil dengan
dalil dalil yang mendukungnya. Bukan sekadar berdalil dengan kaidah saja. Maka
kaidah fiqih bisa menjadi dalil jika didukung dengan nash syar’I. Nash yang ada di
balik kaidah tersebut adalah dalil asli.
DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin : LPKU. 2015.


Efendi, Johan dan Zainal Anwar. Kedudukan Kaidah Fikih dalam Ijtihad dan Relevansi
dengan Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Al-Ahkam Vol. 10. No. 2, Desember
2019.
Haidar, M. Aqil. Kaidah fiqhiyah Sebagai Dalil. Jakarta : Rumah Fiqih, 2018 .
Hilal, Syamsul. Qawaid Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal
Al-Adalah Vol. 21 Juli 2013,

Anda mungkin juga menyukai