Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Ushul Fiqh


Kata ushul di lihat dari aspek Bahasa berasal dari Bahasa Arab, yaitu bentuk jamak
( plural ) dari kata ‫ اصؤل‬yang mengandung arti : artinya:
sesuatu yang dijadikan sandaran oleh sesuatu yang dijadikan sandaran oleh sesuatu
yang lain seperti kalimat dalam Bahasa Arab:
: Sandaran pohon, kata ashal di sini berarti akar.
: Sandaran rumah, kata ashal di sini berarti pondasi.
Secara terminologi kata ushul mempunyai lima pengertiaan:
a. Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh. Misalnya , kebolehan memakan
bangkai bagi orang yang dalam keadaa terpaksa ( darurat ) tidaklah menyalahi
hokum ashal yaitu kaidah kulliyah, yang berbunyi :
artinya “ semua bangkai itu hukumnya haram “
b. Ashal berarti yang lebih kuat ( rajah ). Misalnya ungkapan :
artinya “ ashal yang lebih kuat dari suatu ungkapan adalah makna
sebenarnya ( hakiki )” bukan makna simbolik. Contohnya kata
artinya : wajah dan tangan.
c. Ashal berarti hokum ashal ( istishab ). Misalnya ada kaidah yang berkaitan dengan
istishab “ hokum ashal / istishab
ialah tetapnya apa yang telah ada atas sesuatu yang telah ada.” Misalnya ada orang
yang sudah berwudhu, kemudian ia ragu apakah ia sudah batal atau belum,maka
kejadiaan seperti ini dikembalikan kepada hokum ashal, yaitu dihukumi masih sah
( belum batal ) wudhunya.
d. Ashal berarti maqis alaihi ( yang dijadikan ukuran ) dalam bab qiyas. Contohnya
berlakunya hokum riba bagi beras dan gandum. Dalam hal ini beras disebut maqis
( yang diserupakan ) atau yang disebut dalam qiyas sebagai furu’, sedangkan kata
gandum merupakan maqis alaihi ( yang siserupai ) yang disebut juga ashal.
e. Ashal berarti dalil, Misalnya ungkapan “ ashal masalah ini adalah Al – Qur’an dan
sunah,” yang dimaksud adalah dalilnya.
Adapun kata fiqh berasal dari Bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari akar kata
secara Bahasa, artinya “ pemahaman mendalam yang dapat
menangkap tentang asal, tujuan ucapan, dan perbuatan .”
Pengertian fiqh secara Bahasa sebagaimana tersebut di atas masing – masing terdapat
dalam Al – Qur’an surat An – Nisa ayat 78 dan surat Al- A’raf ayat 179.

Artinya : Mengapa orang – orang munafik hampir – hampir tidak memahami


pembicaraan sedikit pun. ( QS. An – Nisa / 3 : 78 )

Artinya : Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya memahami ayat – ayat
Allah ( QS. Al – A’raf / 7 : 179 )

1
Dalam hadis, kata fiqh terdapat dalam hadis di bawah ini :

Artinya : “ Siapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka ia diberikan pemahaman yang
mendalam tentang perkara agam “ ( HR. Bukhari Muslim )
Adapun menurut istilah, kata fiqh adalah ilmu halal dan haram, ilmu syariat dan
hokum sebagaimana dikemukakan oleh Al – Kassani. Namun yang lebih kuat dan
popular adalah definisi yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I, sebagaimana dikutip
oleh Imam Subki dalam Jam’u al – Jawami’
B. Objek Kajian Ushul Fiqh
Untuk memahami secara mendalam tentang suatu disiplin ilmu perlu diketahui apa
yang menjadi objek pembahasannya dan dari sisi mana saja objek pembahasan ini
akan dikaji, demikian halnya dengan ilmu ushul fiqh.

Yang dimaksud dengan objek disini adalah maudhu’ ( materi ), pembahasan yang
menjadi kajian di bidang ilmu ushul Fiqh. Telah diketahui bahwa ushul fiqh berbeda
fiqh. Dengan demikian, yang menjadi objek pembahasan keduanya juga berbeda.
Objek pembahasan fiqh adalah pembuatan mukalaf ( Islam, baligh, dan berakal )
ditinjau dari hokum syara’ ( wajib,haram,dan mubah ). Maka seorang faqih akan
membahas tentang hokum jual beli mukalaf, puasanya, salatnya, hajinya, pencurianya,
dan sewa menyewanya. Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu ushul fiqh
ialah tentang dalil yang masih bersifat umum dilihat dari ketetapan hokum yang
umum pula. Dari objek pembahasan ini akan di bahas tentang macam – macam dalil,
syarat dan rukunnya, tingkatannya serta kehujahannya. Maka ahli ushul akan
membahas Al – Quran,Sunnah,ijma,qiyas serta kehujahannya, dalil ‘am dan yang
membatasinya,

Pendek kata objek pembahasan ushul fiqh itu, membahas semua perangkat yang
dibutuhkan oleh para faqih sehingga terhindar dari kesalahan dalam istinbat hukum.
Yang meliputi penjelasan tentang tertib sumber hukum, siapa yang menjadi sasaran
khitab hukum, siapa yang berhak untuk berijtihad dan siapa yang tidak
berhak,menjelaskan tentang kaidah kebahasan serta penerapannya sehingga seorang
faqih dapat mengeluarkan hukum dari nas.

Ulama ushul tidak membahas dalil – dalil yang bersifat juz’I ( parsial ) tidak pula
hukum yang juz’i. Ulama ushul hanya membahas dalil dan hukum yang bersifat kulli
( umum ) sehingga di susunlah kaidah – kaidah kulliyah. Sehingga ulama fiqh dapat
menerapkannya untuk memperoleh ketetapan hukum yang terperinci. Begitu pula
ulama fiqh tidak akan membahas dalil – dalil dan hukum yang bersifat kulli. Fiqh
hanya membahas dalil yang juz’I dan hukum juz’I pula.

2
C. Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh
Berikut ini akan ditampilkan beberapa rumusan tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh
yang dikemukakan oleh ulama ushul, yaitu Abdul Wahab Khallaf, Wahbah Zuhaili,
dan Satria Effendi.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, mempelajari ilmu ushul fiqh memiliki tujuan antara
lain : “ mampu menerapkan kaidah terhadap dalil – dalil guna memperoleh hukum
syariat dan dapat memahami nas – nas syariat serta kandungan hukumnya.”

Menurut Wahbah Zuhaili, mempelajari ushul fiqh bertujuan : “ memberikan


kemampuan kepada mujtahid untuk menerapkan kaidah ushul fiqh guna memperoleh
hukum syara’ amali dari dalil – dalilnya yang terperinci.” Dengan demikian, seorang
mujtahid akan mampu memahami nas – nas syariah baik yang bersifat jali ( jelas ) dan
khafi ( tersembunyi ) serta mampu menyimpulkan hukum yang dikandungkan
sebagimana ia mampu memberlakukan qiyas, istihsan, maslahah, istishab,dan
sebagainya untuk memperoleh hukum dari kejadian yang baru.

Menurut Satria Effendi, sedikitnya ada tiga tujuan penting mempelajari ushul fiqh:
a. Mengetahui dasar mujtahid masa silam dalam membentuk fiqh nya, sehingga
dapat diketahui kebenaran pendapat fiqh yang kembang.
b. Memahami ayat – ayat ahkam dan hadis ahkam dan mampu mengistinbat suatu
hukum yang berdasar kepada keduanya.
c. Mampu secara benar melakukan perbandingan mazhab fiqh, studi kompratif di
antara pendapat ulama fiqh dari berbagai mazhab.
Tujuan – tujuan mempelajari ushul fiqh hasil rumusan para ulama ushul di atas pada
klimaksnya bermuara kepada satu tujuan tertinggi, yaitu memihara agama Islam dari
penyimpangan dan penyalahgunaan dalil – dalil syara’, sehingga terhindar dari
kecerobohan yang menyesatkan.
D. Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fiqh
Dari uraian yang cukup panjang tentang pembahasan fiqh dan ushul fiqh pada
subbahan sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat diketahui secara jelas
bahwa ushul fiqh adalah ilmu yang memiliki ciri khas yang membedakannya dengan
fiqh. Perbedaan ini dapat di lihat dalam poin – poin berikut ini.
a. Dilihat dari objek pembasannya, ilmu ushul fiqh membahas tentang kaidah –
kaidah yang bersifat umum ( kulli ) dan hukum yang bersifat umum. Adapun yang
menjadi objek pembahasan ilmu fiqh adalah dalil yang bersifat juz’I, sehingga
menghasilkan hukum juz’I pula yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf.
b. Dilihat dari tujuan yang hendak di capai, ushul fiqh bertujuan untuk dapat
menerapkan kaidah – kaidah yang bersifat kulli terhadap nas – nas syariat
sedangkan ilmu fiqh bertujuan untuk menerapkan hukum syariat terhadap
perbuatan dan ucapan mukalaf.
c. Ushul fiqh merupakan dasar pijakan bagi ilmu fiqh, sedangkan fiqh merupakan
hasil / produk dari ushul fiqh. Dengan kata lain dari ushul fiqh akan melahirkan
fiqh.

3
d. Dilihat dari sifatnya, ushul fiqh lebih bersifat kebahasan ( teoretis ) sedangkan
fiqh lebih bersifat praktis.

E . Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh


1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a. Masa Sahabat
Wafatnya Rasulullah SAW menggores catatan baru dalam penetapan
hukum. Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat melahirkan
permasalahan baru yang tidak ada pada zaman Nabi terkait dengan dengan
metode penetapan hukum. Untuk menetapkan hukum baru maka di antara
sahabat berijtihad dengan bersumber kepada Al – Qur’an dan hadis. Maka
pada masa sahabat ini sumber hukum bukan lagi hanya Al – Quran dan
Hadis tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat.

Menurut Abu Zahra munculnya ilmu ushul fiqh berbarengan dengan ilmu
fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih dahulu dibukukan sebelum nya. Karena
menurutnya fiqh sebagai produk tidak mungkin terwujud tanpa adanya
metodologi istinbat. Dan metode istinbat ini sendiri adalah inti dari bagian
ushul fiqh.

Imam Khudari Bek memberikan komentar yang positif terhadap praktik


ijtihad para sahabat setelah Rasul wafat mereka sudah siap menghadapi
perkembangan social yang menghendaki pemecahan hukum dengan
melakukan ijtihad meskipun kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara
tertulis. Cara yang dilakukan oleh oleh sahabt dalam ijtihad sebagaimana
dijelaskan oleh Abd Wahhab Abu Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh
Universitas Ummul Qura Mekkah seperti dikutip oleh Satria Effendi,
langkah pertama yang mereka tempuh adalah mempelajari teks Al – Quran
dan kemudiaan sunah Nabi. Jika tidak ditemukan pada kedua sumber
hukum ini maka mereka melakukan ijtihad, baik secara perorangan atau
mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka
disebut dengan ijma’ sahabat. Selain menggunakan qiyas, mereka juga
menggunakan istilah yang didasari oleh maslahah mursalah seperti
mengumpulkan Al – Quran dalam satu mushaf.

b. Masa Tabi’in
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya, yaitu
masa tabi’in serta imam – imam mujtahid sekitar abad kedua dan ketiga
hijriah. Pada masa ini Daulah Islamiyah sudah semakin berkembang dan
banyak muncul kejadiaan baru. Berbagai kesulitan, perselisihan dan
pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu per satu
bermunculan. Semua persoalan ini menambahkan beban kepada imam
mujtahid untuk membuka cakrawala yang lebih luas terhadap lapangan
ijtihad yang membawa konsekuensi semakin meluasnya lapangan hukum
syariat Islam ( hukum fiqh ) dan hukum beberapa peristiwa yang masih
bersifat kemungkinan ( prediksi ). Sumber yang mereka gunakan pada

4
periode ini adalah sumber hukum pada dua periode sebelumnya ( periode
Nabi dan sahabat ). Jadi sumber hukum fiqh pada masa periode ini terdiri
dari hukum Allah ( Al – Quran ), Rasul – Nya ( hadis ), fatwa dan
keputusan sahabat Rasul serta fatwa mujtahidin.

c. Mujtahidin Sebelum Imam Syafi’i


Pada masa imam Hanifah Al – Nu’man ( w. 150 H ), pendiri mazhab
Hanafi menggunakan dasar istinbatnya secara berurutan yaitu Al – Quran,
sunah fatwa sahabat dan jika tidak terdapat pada ketiga sumber hukum di
atas maka ia berpegang kepada pendapat yang disepakati oleh para
sahabat. Imam Abu Hanifah jika dihadapkan oleh beberapa pendapat yang
berbeda, maka ia memilih salah satu pendapat dan tidak akan
mengeluarkan pendapat baru.

Imam Malik Bin Anas dalam ijtihadnya juga memiliki metode yang jelas,
seperti terlihat pada sikapnya dalam mempertahankan praktik ahli
Madinah sebagai sumber hukum. Satu hal penting yang perlu dicatat
bahwa sampai pada masa Imam Malik ilmu ushul fiqh belum dibukukan
secara sistematis. Imam Malik sendiri tidak meninggalkan karyanya
dalam bidang ushul fiqh.

2. Pembukuan Ushul Fiqh


Ilmu ushul fiqh tumbuh pada abad kedua hijriah. Pada abad pertama hijriah
ilmu ini belum tumbuh., karena belum terasa diperlukan. Rasullah SAW
berfatwa dan menjatuhkan keputusan ( hukum ) berdasarkan kepada Al –
Quran dan hadis, dan berdasarkan naluriah yang bersih tanpa memerlukan
ushul atau kaidah yang dijadikan sebagai sumber istinbat hukum. Adapun
sahabat Nabi membuat keputusan hukum berdasar kan dalil nas yang dapat
mereka pahami dari aspek kebahasan semampu mereka,dan untuk
memahaminya secara baik di perlukan kaidah Bahasa. Disamping itu, mereka
juga melakukan istinbat hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nas
berdasarkan kemampuan mereka, berdasarkan ilmu tentang hukum Islam yang
telah mereka kuasai disebabkan lamanya pergaulan mereka bersama Nabi
serta menyaksikan asbabun nuzul ( sebab – sebab turunnya hadis ). Jadi, para
sahabat ketika itu sudah benar – benar memahami tujuan – tujuan hukum
syariat serta dasar – dasar pembentukannya.

Tercatat dalam sejarah, ketika pembentukan hukum Islam sudah semakin


meluas dan permasalahan hukum sudah semakin kompleks. Terjadilah
perdebatan sengit antara ahlul hadis dan ahlu al – ra’yi. Di pihak lain semakin
berani juga orang – orang yang tidak ahli agama ( ahlul agama ), menjadikan
sesuatu sebagai hujah padahal sesuatu itu bukan hujah dan sebaliknya mereka
mengingkari sesuatu yang justru hal itu adalah hujah.

Sebelum Imam Syafi’i, tercatat orang yang pertama kali menghimpun kaidah
yang bercerai – berai dalam satu kumpulan adalah Imam Abu Yusuf seorang

5
pengikut Imam Abu Hanifah. Tetapi kumpulan ini tidak sampai pada
kita.Masa pembukuan ushul fiqh yang dilakukan oleh Imam Syafi’I seperti
menjelaskan di atas berbarengan dengan masa perkembangan ilmu
pengetahuan keislaman yang di sebut dengan masa keemasan Islam yang di
mulai dari masa Harun Al – Rasyid ( 145 H -193 H ) Khalifah ke 5 dinasti
Abbasyiah dan kemudian dilanjutkan lebih maju lagi oleh putranya bernama
Al – Ma’mun ( 170 H – 218 H ).

Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Khulasat Tarikh Al – Tasyri


Al – Islam, pada pertengahan abad ke-4 H. Terjadi kemunduran dalam
kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dalam pengertian tidak lagi ada orang yang
mengkhususkan diri untuk membentuk mazhab baru. Namun pada saat yang
sama kegiatan ijtihad di bidang ushul fiqh berkembang pesat. Ushul fiqh tetap
berperan sebagai alat pengukur kebenaran pendapat – pendapat yang telah
terbentuk sebelumnya.

KESIMPULAN
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ushul fiqh ialah ilmu yang mengkaji
tentang dalil fiqh berupa kaidah untuk mengetahui cara penggunaanya,
mengetahui keadaan orang yang menggunakannya ( mujtahid ) dengan tujuan
mengeluarkan hukum amali ( perbuatan ) dari dalil – dalil secara terperinci
dan jelas.

Berdasarkan penelitiaan Abdul Wahab Khallaf, beliau menyimpulkan bahwa


ilmu ushul fiqh tidaklah langsung menjadi ilmu yang besar. Akan tetapi sedikit
demi sedikit terus berkembang menjadi besar. Tercatat dalam sejarah, setelah
mencapai perjalanan 200 tahun barulah ushul fiqh tumbuh dengan subur,
tersebar dan terpencar disela – sela hukum fiqh.

Anda mungkin juga menyukai