Anda di halaman 1dari 58

KISI KOMPRE USHUL FIQH pemahaman yang mendalam terhadap

dalil-
1. Hal mendasar yang perlu dikuasai oleh dalilnya yang terperinci (al-tafsili) dalam
mahasiswa adalah menjelaskan tentang Alquran dan hadis.
pengertian ushul fiqh dan hal-hal yang Sedangkan “fikih”
dibicarakan (objek) ushul fiqh itu menurut istilah adalah:
sendiri. Di samping itu perlu juga ‫ب‬ٙ‫عخ اأٌذىبَ اٌششعٍخ اٌعٍٍّخ اٌّىزغجخ ِٓ أدٌَز‬ّٛ‫ِج‬
dijelaskan tentang prosedur ushul fiqh ‫اٌزفظٍٍٍَخ‬
dalam melahirkan fiqh.
JAWAB : Artinya : Himpunan hukum syara`
tentang perbuatan manusia (amaliah)
Pengertian ilmu fikih sebagai rangkaian yang
dari dua buah kata, yaitu ilmu dan diambil dari dalil-dalilnya yang
fikih dapat dilihat sebagai nama suatu terperinci.
bidang disiplin ilmu dari ilmu-ilmu sebagaimana dikemukakan oleh al-
Syari`ah. Jurjani
Kata “ilmu” secara mutlak memuat tiga adalah sebagai berikut:
kemungkinan arti, pertama, rangkaian ‫ب‬ٙ‫اٌعٍُ ثباٌذىبَ اٌششعٍخ اٌعٍٍّخ اٌّىزغجخ ِٓ ادٌز‬
permasalahan atau hukum-hukum ‫اٌزفظٍٍٍخ‬
(teori-teori) yang dibahas dalam sebuah Artinya: Ilmu tentang hukum syara`
bidang tentang perbuatan manusia (amaliah)
ilmu tertentu. Kedua, idrak yang
(menguasai)1 masalah-masalah ini atau diperoleh melalui dalil-dalilnya yang
mengetahui terperinci.
hukumnya dengan cara yang Hukum syar`i yang dimaksud dalam
meyakinkan. Akan tetapi pengertian defenisi di atas adalah segala perbuatan
seperti ini yang diberi hukumnya itu sendiri dan
sesungguhnya hanya terbatas pada diambil dari syariat yang dibawa oleh
masalah akidah, adapun dalam hukum- Nabi
hukum Muhammad Saw. Adapun kata `amali
fikih tidak disyaratkan mengetahui dalam defenisi itu dimaksudkan sebagai
dengan cara demikian, cukup dengan penjelasan bahwa yang menjadi
dugaan kuat lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang
saja. Ketiga, pemahaman awal tentang berkaitan
suatu permasalahan melihat tampilan dengan perbuatan (`amaliyah) mukallaf
luarnya. dan tidak termasuk keyakinan atau
Misalnya dengan istilah ilmu nahu, orang iktikad
akan paham bahwa yang dibahas adalah (`aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan
sekitar permasalahan kebahasaan yang dimaksud dengan dalil-dalil
seperti mubtada` itu marfu’, atau dengan terperinci
istilah (al-tafshili) adalah dalil-dalil yang
ilmu fikih orang lalu paham bahwa terdapat dan terpapar dalam nash di
pokok bahasannya adalah sekumpulan mana satu per
hukum- satunya menunjuk pada satu hukum
hukum syari`ah praktis, dan sebagainya. tertentu.
Dilihat dari sudut bahasa, fikih berasal Sebagai perbandingan, al-Kasani
dari kata faqaha (ٗ‫ ( فم‬yang berarti mendefinisikan fikih sebagai ilmu halal
“memahami” dan “mengerti”. Dalam dan
peristilahan syar`i, ilmu fikih haram, ilmu syariat dan hukum.
dimaksudkan Pengertian seperti ini menggambarkan
sebagai ilmu yang berbicara tentang secara sederhana bidang kajian fikih
hukum-hukum syar`I amali (praktis) yang umumnya bicara tentang halal atau
yang penetapannya diupayakan melalui haramnya
suatu perbuatan tertentu. Sementara itu Berdasarkan pengertian tiga kata (ilmu
Abu Hanifah sebagaimana dikutip usul fiqh) di atas, maka pengertiannya
, sebagai rangkaian kata adalah
menyebut fikih sebagai pengetahuan diri mengetahui dalil-dalil bagi hukum syara’
tentang apa yang menjadi hak dan mengenai
kewajibannya. Kemudian dijelaskan perbuatan dan aturan-aturan untuk
bahwa ada satu penekanan yang melekat pengambilan hukum-hukum dari dalil-
pada dalil yang
fiqh, yaitu pencapaiannya yang terperinci. memberi pengertian usul fiqh
berdasarkan zann (dugaan kuat) sebagai berikut:
sehingga ulama ‫ب اٌى اعزفبدح‬ٙ‫طً ث‬ٛ‫س اٌزً ٌز‬ٛ‫اٌجذ‬ٚ ‫اعذ‬ٛ‫اٌعٍُ ثبٌم‬
(terutama usuliyyin) menyebut fikih ‫ب اٌزفظٍٍٍخ‬ٙ‫ااٌذىبَ اٌششعٍخ اٌعٍٍّخ ِٓ ادٌز‬
sebagai bab dugaan (al-fikih min bab az- Artinya: Ilmu pengetahuan tentang
zunun). kaidah-kaidah dan metode penggalian
Adapun Kata “Usul al-fikih” terdiri dari hukum-
dua kata, yaitu “Usul” dan “al- hukum syara` mengenai perbuatan
Fikih” yang dipakai menjadi nama manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang
sesuatu tertentu dan kata-kata tersebut terperinci.
tidak Maksud dari kaedah-kaedah itu dapat
terlepas dari makna dasar setiap kata dijadikan sarana untuk memperoleh
sebelum disatukan menjadi nama hukum-hukum syara’ mengenai
sesuatu perbuatan, yakni bahwa kaedah-kaedah
tertentu itu. tersebut
Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, merupakan cara atau jalan yang harus
rangkaian kata ushul dan fikih tersebut digunakan untuk memperoleh hukum-
dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua hukum
kata itu memberi pengertian ushul bagi syara’, sebagaimana yang terdapat di
fikih, dalam rumusan pengertian usul fikih
Usul ) ‫ي‬ٛ‫( أط‬adalah bentuk jamak dari yang
kata asl ( ٛ‫( اط‬yang menurut bahasa dikemukakan oleh Jumhur ulama,
diartikan sebagai berikut:
dengan dasar suatu bangunan atau ‫ٌَِِخ ِٓ اأٌذٌَخ‬
tempat suatu bangunan. ِ
Asl berarti dasar, seperti ‫ب اعزٕجبؽ اأٌذىبَ اٌششع‬ٙ‫طً ث‬ٛ‫اعذ اٌزً ٌز‬ٛ‫ اٌم‬.
dalam kalimat “Islam didirikan atas lima artinya: Himpunan kaidah (norma-
usul (dasar atau fondasi)”. Masih banyak norma) yang berfungsi sebagai alat
pengertian yang dapat diambil dari kata penggalian
asl seperti, cabang, yang kuat, fondasi hukum syara` dari dalil-dalilnya.
suatu Upaya mendeduksi hukum-hukum fikih
bangunan dan seterusnya. Jadi Usul fikih dari indikasi-indikasi yang terdapat
berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi dalam sumber-sumbernya merupakan
fikih. Akan tetapi pengertian yang lazim tujuan pokok usul fikih, dan fikih
digunakan dalam ilmu usul fikih adalah semacam ini
dalil, yang berarti usul fikih adalah dalil- merupakan produk akhir dari usul fikih,
dalil bagi fikih. tetapi keduanya merupakan dua hal yang
Sedang menurut istilah, asl dapat berarti masing-masing berdiri sendiri.
dalil (landasan hukum), seperti Pengertian yang lebih detail
dalam ungkapan “asl dari wajibnya salat dikemukakan oleh Muhammad Abu
adalah firman Allah dan Sunnah Rasul”. Zahrah,
Maksudnya ialah bahwa dalil yang ilmu usul fikih adalah ilmu yang
menyatakan salat itu wajib adalah ayat menjelaskan cara-cara yang harus
Alquran ditempuh oleh
dan Sunnah Rasulullah.
imam-imam mujtahid dalam kelihatannya lebih teknis dan lebih
menetapkan hukum dari dalil-dalil yang operasional.
berupa nas-nas Pembahasan tentang dalil ini adalah
syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan secara global, baik tentang macam-
kepadanya. macamnya, rukun atau syarat, kekuatan
dan tingkatan-tingkatannya. Sementara
B. Objek Kajian Fikih dan Usul Fikih dalam ilmu usul fikih tidaklah dibahas
Objek pembahasan dalam ilmu fikih satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.
adalah perbuatan mukallaf dilihat dari Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai
sudut hukum syara`. Perbuatan tersebut berbagai kaidah dan bahasa yang
dapat dikelompokkan dalam tiga menjadi
kelompok sarana untuk mengambil hukum-hukum
besar : ibadah, muamalah, dan `uqubah. syara’ mengenai perbuatan manusia
Pada bagian ibadah tercakup segala mengenai dalil-
persoalan yang pada pokoknya berkaitan dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan
dengan urusan akhirat. Artinya, segala ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa
perbuatan yang dikerjakan dengan dipisahkan.
maksud Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan
mendekatkan diri kepada Allah, seperti seperti sebuah pabrik yang mengolah
shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. data-data dan
Bagian muamalah mencakup hal-hal menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu
yang berhubungan dengan harta, seperti fiqh.
jual-beli, sewa menyewa, pinjam Menurut sejarahnya, fiqh merupakan
meminjam, amanah, dan harta suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal
peninggalan. Pada dan
bagian ini juga dimasukkan persoalan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh.
munakahat dan siyasah. Tetapi jika suatu produk telah ada maka
Bagian `uqubah mencakup segala tidak mungkin
persoalan yang menyangkut tindak tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak
pidana, mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul
seperti pembunuhan, pencurian, fiqh. Oleh karena itu,
perampokan, pemberontakan dan lain- pembahasan pada makalah ini mengenai
lain. Bagian sejarah pertumbuhan dan
ini juga membicarakan hukuman- perkembangan ilmu ushul
hukuman, seperti qisas, had, diyat dan fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui
ta`zir. bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.
Objek kajian Usul Fikih Berdasarkan Penelitian ini
definisi yang dikemukakan para ulama menyelidiki sejarah perkembangan
usul fikih di atas, seorang ahli fikih dan Ushul fiqh, aliran dalam ushul fiqh, serta
usul fikih dari Syiria, Wahbah az-Zuhaili karya ilmiah pada
mengatakan bahwa yang menjadi objek bidang ushul fiqh. Ushul Fiqh Sebelum
kajian usul fikih adalah dalil-dalil Dibukukan
(sumber- a. Ushul Fiqh Masa Rasulullah saw.
sumber) hukum syar’i yang bersifat Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua
umum yang digunakan dalam hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan
menemukan kaidah-kaidah yang global umat Islam
dan hukum-hukum syar’i yang digali dari semakin luas dan banyak orang yang
dalil-dalil bukan arab memeluk agama Islam.
tersebut. Pendapat ini sedikit berbeda Karena itu banyak
dengan kebanyakan ahli usul yang menimbulkan kesamaran dalam
biasanya memahami nash, sehingga dirasa perlu
membatasi hanya pada dalil-dalilnya menetapkan kaidah-
saja, sementara Wahbah az-Zuhaili
kaidah bahasa yang dipergunakan dalam saw. sendiri.
membahas nash, maka lahirlah ilmu Periode sahabat, dalam melakukan
ushul fiqh, yang ijtihad untuk melahirkan hukum, pada
menjadi penuntun dalam memahami hakikatnya para
nash.Musthafa Said al-Khin memberikan sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai
argumentasi bahwa ushul fiqh ada alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul
sebelum fiqh. fiqh yang
Alasannya adalah bahwa ushul fiqh mereka gunakan baru dalam bentuknya
merupakan pondasi, sedangkan fiqh yang paling awal, dan belum banyak
merupakan bangunan terungkap dalam
yang didirikan di atas pondasi. Karena rumusan-rumusan sebagaimana yang
itulah sudah tentu ushul fiqh ada kita kenal sekarang. Penggunaan
mendahului fiqh. maslahah juga menjadi bagian penting
Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal
fiqh sebelum adanya fiqh. sebagai sahabat yang banyak
Jawaban itu benar apabila ushul fiqh memperkenalkan penggunaan
dilihat sebagai metode pengambilan pertimbangan maslahah dalam
hukum secara pemecahan hukum. Hasil penggunaan
umum, bukan sebuah bidang ilmu yang pertimbangan maslahah tersebut dapat
khas. Ketika seorang sahabat, misalnya dilihat dalam
dihadapkan pengumpulan al-Qur’an dalam satu
terhadap persoalan hukum, lalu ia mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam
mencari ayat al-Qur’an atau mencari satu majlis
jawaban dari Rasulullah dipandang sebagai talak tiga, tidak
saw. Maka hal itu bisa dipandang sebagai memberlakukan hukuman potong
metode memecahkan hukum. Ia sudah tangan di waktu paceklik,
punya gagasan penggunaan pajak tanah (kharaj),
bahwa untuk memecahkan hukum harus pemberhentian jatah zakat bagi muallaf,
dicari dari al-Qur’an atau bertanya dan sebagainya.
kepada Rasulullah Secara umum, sebagaimana pada masa
saw. Akan tetapi, cara pemecahan Rasulullah saw., ushul fiqh pada era
demikian belum bisa dikatakan sebagai sahabat masih
sebuah bidang ilmu. belum menjadi bahan kajian ilmiah.
Pemecahan demikian adalah prototipe Sahabat memang sering berbeda
(bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih pandangan dan
perlu berargumentasi untuk mengkaji
pengembangan lebih lanjut untuk persoalan hukum. Akan tetapi, dialog
disebut sebagai ilmu ushul fiqh. semacam itu belum
b. Ushul Fiqh Masa Sahabat mengarah kepada pembentukan sebuah
Meninggalnya Rasulullah saw. bidang kajian khusus tentang
memunculkan tantangan bagi para metodologi. Pertukaran
sahabat. Munculnya pikiran yang dilakukan sahabat lebih
kasus-kasus baru menuntut sahabat bersifat praktis untuk menjawab
untuk memecahkan hukum dengan permasalahan.
kemampuan mereka atau Pembahasan hukum yang dilakukan
dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat masih terbatas kepada
sahabat sudah dikenal memiliki pemberian fatwa atas
kelebihan di bidang hukum, pertanyaan atau permasalahan yang
di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin muncul, belum sampai kepada perluasan
Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah kajian hukum Islam
Ibn Abbas, kepada masalah metodologi.
dan Abdullah bin Umar. Karir mereka c. Ushul Fiqh Masa Tabi’in
berfatwa sebagian telah dimulai pada
masa Rasulullah
Masa tabi’in banyak yang melakukan dengan perkembangan ilmu
istinbath dengan berbagai sudut pengetahuan keislaman di masa itu.
pandang dan Perkembangaan pesat ilmu-ilmu
akhirnya juga mempengarhi konsekuensi keislaman dimulai dari masa Harun Al-
hukum dari suatu masalah. Contohnya; Rasyid` (145 H-193 H), khalifah kelima
ulama fiqh Irak Dinasti
lebih dikenal dengan penggunaan ar Abbasiyah yang memerintah selama 23
ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi tahun (170 H-193 H).
mereka mencari Kalau dikembalikan pada sejarah, yang
illatnya, sehingga dengan illat ini mereka pertama berbicara tentang Ushul Fiqh
dapat menyamakan hukum kasus yang sebelum
dihadapi dibukukannya adalah para sahabat dan
dengan kasus yang sudah ada nashnya. para tabi’in. Hal ini tidak dipersilisihkan
Adapun para ulama Madinah banyak lagi. Namun,
menggunakan yang dipersilisihkan adalah orang yang
hadits-hadits Rasulullah SAW, karena mula-mula mengarang kitab ushul fiqh
mereka dengan mudah melacak sunnah sebagai suatu
Rasulullah di disiplin ilmu tersendiri yang bersifat
daerah tersebut. Disinilah awal umum dan mencakup segala aspeknya.
perbedaan dalam mengistinbathkan Untuk itu, kita perlu
hukum dikalangan ulama mengetahui terlebih dahulu teori-teori
fiqh. Akibatnya, muncul tiga kelompok penulisan dalam ilmu ushul fiqh. .
ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Perkembangan Ushul Fiqh
Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al- Secara garis besarnya, perkembangan
Madinah. Pada perkembangan ushul fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap,
selanjutnya madrasah al-iraq dan yaitu:
madrasah al- tahap awal (abad 3H); tahap
kufah dikenal dengan sebutan madrasah perkembangan (abad 4H); dan tahap
al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah penyempurnaan (abad 5H).
dikenal Masing-masing tahapan akan diuraikan
dengan sebutan madrasah al- hadits. dibawah ini.
Pembukuan Ushul Fiqh a.Tahap awal (Abad 3 H)
Salah satu pendorong diperlukannya Kebangkitan pemikiran pada masa ini
pembukuan ushul fiqh adalah ditandai dengan timbulnya semangat
perkembangan penerjemahan
wilayah Islam yang semakin meluas, dikalangan ilmuwan muslim. Salah satu
sehingga tidak jarang menyebabkan hasil dari kebangkitan berpikir dan
timbulnya berbagai semangat keilmuwan
persoalan yang belum diketahui muslim ketika itu adalah
kedudukannya. Untuk itu para ulama berkembangnya bidang fiqh, yang pada
Islam mebutuhkan kaidah- gilirannya mendorong untuk
kaidah hukum yang sudah dibukukan disusunnya metode berpikir fiqh yang
untuk dijadikan rujukan dalam menggali disebut ushul fiqh.
dan menetapkan Seperti telah dikemukakan, kitab ushul
hukum. fiqh yang pertama-tama tersusun secara
Pada penghujung abad kedua dan awal utuh dan
abad ketiga Imam Muhammad Idris al- terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-
Syafi’i(150 Risalah, karangan Asy-Syafi’i. Kitab ini
H-204 H) tampil berperan dalam dinilai para ulama
meramu, mensistematisasi dan sebagai kitab yang paling tinggi. Selain
membukukan Ushul Fiqh. kitab Ar-Risalah, pada abad 3 H ini, telah
Upaya pembukuan Ushul Fiqh ini, seperti tersusun pula
disimpulkan Abd al-Wahhab Abu
Sulaiman, sejalan
sejumlah kitab Ushul Fiqh lainnya. perkembangan ilmu Ushul Fiqh pada
Namun perlu diketahui pada umumnya abad 4 H ini., yaitu munculnya kitab-
kitab-kitab ushul fiqh kitab Ushul Fiqh
yang ada pada abad ke 3 H ini tidak yang membahas masalah ushul fiqh
mencerminkan pemikiran-pemikiran secara utuh dan tidak sebagian-sebagian
ushul fiqh yang utuh seperti yang terjadi
dan mencakup segala aspeknya kecuali pada masa sebelumnya. Kalaupun ada
kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar- yang membahas kitab-kitab tertentu, hal
Risalah-lah yang itu semata-mata
mencakup permasalahan-permasalahan untuk menolak atau memperkuat
ushuliyah yang menjadi pusat perhatian pandangan tertentu dalam masalah itu.
para fuqaha pada Selain itu materi berpikir dan materi
zaman itu. penulisan dalam kitab-kitab itu berbeda
b.Tahap perkembangan (Abad 4 H) dengan kitab-
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam kitab yang ada sebelumnya dan
abad 4 H. Ini mempunyai karakteristik menunjukan bentuk yang lebih
tersendiri sempurna, sebagaimana yang
dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. tampak dalam kitab Al-Fushul fi Al-
Pemikiran liberal Islam berdasarkan Ushul, karya Abu Bakar Ar-Razi. Hal ini
ijtihad berhenti pada juga merupakan
abad ini. Mereka menganggap para corak tersendiri dalam perkembangan
ulama terdahulu mereka suci dari ilmu ushul fiqh pada awal abad 4 H ini.
kesalahan sehingga Dalam abad 4 H ini pula mulai tampak
seorang faqih tidak mau lagi adanya pengaruh pemikiran yang
mengeluarkan pemikirannya yang khas, bercorak falsafat,
terkecuali dalam hal-hal khususnya metode berpikir menurut
kecil saja. Akibatnya aliran-aliran fiqh ilmu Ushul Fiqh. Hal ini terlihat dalam
yang ada semakin mantap eksitensinya, masalah mencari
apalagi disertai oleh fanatisme makna dari pengertian sesuatu, yang
dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dalam Ushul Fiqh Al-hudud merupakan
dengan adanya kewajiban menganut suatu hal yang tidak pernah dijumpai
suatu mazhab tertentu dan larangan dalam perkembangan (kitab-kitab)
melakukan perpindahan mazhab sebelumnya. Akibat dari pengaruh ini
sewaktu-waktu. sekurang-kurangnya ada dua, yakni:
Sebagai tanda berkembangnya ilmu 1. Ketergantungan penulis dalam bidang
ushul fiqh dalam abad 4 H. ini, yaitu ushul fiqh pola acuan dan kriteria
munculnya manthiq dalam
kitab-kitab Ushul Fiqh yang merupakan menjelaskan arti-arti peristilahan
hasil karya dari para ulama fiqh. ushuliyah.
Kitab-kitab yang paling terkenal 2. Munculnya berbagai karangan dalam
diantaranya ialah: berbagai bentuk baru yang independen
-Kharkhi, oleh Abu Al- dalam
Hasan Ubadillah Ibnu Al-Husain Ibnu memberikan defenisi dan pengertian
Dilal Dalaham terhadap peristilahan-peristilahan yang
Al-Kharkhi khusus dipakai
-Fushul fi Al-Ushul, oleh dalam ilmu ushul fiqh.`
Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim c.Tahap penyempurna (Abad 5-6 H)
-Ahfazh, oleh Abu Abd. Al-Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd
Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ad-Dabusy, Abu Husain Al-Bashri, dan
Ziyad Al- lain-
Lamisy Al-Hanafi lain. Mereka itulah pelopor keilmuan
Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa Islam dizaman ini. Para pengkaji ilmu
hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas keislaman di
kemudian hari mengikuti metode dan e. Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul,
jejak mereka, untuk mewujudkan ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w.
aktivitas ilmiah dalam 505 H./1111
bidang ilmu ushul fiqh yang tidak ada M.).
bandingannya dalam penulisan dan Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
pengkajian keislaman. Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh
Itulah sebabnya pada zaman itu, generasi dikenal dua aliran yang terjadi antara
Islam pada kemudian hari senantiasa lain akibat
menunjukkan adanya perbedaan dalam membangun
minatnya pada produk-produk ushul teori ushul fiqh untuk menggali ilmu
fiqh dan menjadikannya sebagai sumber hukum. Aliran
pemikiran. pertama disebut aliran Syafi’iyah dan
Kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis pada jumhur mutakallimin (ahli kalam). Aliran
zaman itu, disamping mencerminkan ini membangun
adanya ushul fiqh secara teoretis murni tanpa di
kitab ushul fiqh bagi masing-masing pengaruhi oleh masalah-masalah cabang
mazhab-nya, juga menunjukkan adanya keagamaan.
dua aliran ushul Begitu pula dalam menetapkan kaidah,
fiqh, yakni aliran Hanafiyah yang dikenal aliran ini menggunakan alasan yang
sebagai aliran fuqaha dan aliran kuat, baik dari dalil
mutakallimin. Ulama naqli maupun aqli, tanpa dipengaruhi
yang terkenal dikalangan Hanafiyah masalah furu’ dan mazhab, adakalahnya
adalah: Abu Zayd Ad-Dabusy dan Abu sesuai dan tidak
Husain Ali Ibnu Al- sesuai. Kitab standar aliran ini antara
Husain Al-Bazdawi, sedangkan yang lain: Ar-Risalah ( Imam Asy-Syafi’i), Al-
terkenal dari aliran mutakallimin adalah: Mu’tamad (Abu
Iman Al- Al-Husain Muhammad Ibnu ‘Ali Al-
Haramain dan Al-Ghazali. Bashri).
Dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Aliran kedua dikenal dengan istilah
Fiqh pada abad 5 dan 6 H ini, merupakan aliran fuqaha yang dianut oleh para
periode penulis kitab ushul fiqh terpesat, ulama mazhab
yang diantaranya terdapat kitab-kitab Hanafi. Dinamakan mazhab fuqaha,
yang menjadi karena dalam menyusun teorinya aliran
kitab standar dalam pengkajian ilmu ini, banyak dipengaruhi oleh furu’ yang
ushul fiqh selanjutnya. Kitab-kitab ushul ada dalam mazhab mereka. Aliran ini
fiqh yang paling penting antara lain berusaha untuk menerapkan
sebagai berikut: kaidah-kaidah yang mereka susun
a. Kitab Al-Mughni fi Al-Abwah Al-‘Adl terhadap furu’. Apabila sulit untuk
wa At-Tawhid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. diterapkan, mereka
Al-Jabbar mengubah atau membuat kaidah baru
(w. 415 H./1024 M.). supaya bisa diterapkan pada masalah
b. Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqh, furu’ tersebut.
ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashri (w. Diantara kitab-kitab standar dalam
436 H./1044 aliran aliran fuqaha ini antara lain: Kitab
M.). Al-Ushul
c. Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqh, ditulis (Imam Abu Hasan Al-Karkhi), kitab Al-
oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Ushul (Abu Bakar Al-Jashshash), Ushul
Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Al-Sarakshi
Ibnu Khalf Al-Farra (w. 458 H./1065 M.). (Imam Al-Sarakshi), dan lain-lainnya.
d. Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, Sedangkan kitab-kitab Ushul yang
ditulis oleh Abu al-Ma’ali Abd. Al-Malik menggabungkan kedua teori diatas
Ibnu Abdillah antara lain:
Ibnu Yusuf Al-Juwaini Imam Al- a. At-Tahrir, disusun oleh Kamal Ad-Din
Haramain (w. 478 H./1094 M.). Ibnu Al-Humam Al-Hanafi (w. 861 H.)
b. Tanqih Al-Ushul, disusun oleh Shadr kitab al-Manar oleh Hafiz al-Din al-Nasafi
Asy-Syari’ah (w. 747 H). Kitab ini (w. 790 H)
merupakan c. Kitab ushul fiqih yang disusun
rangkuman dari tiga kitab ushul fiqh, mengikuti aliran Muta’akhirin
yaitu: Kasf Al-Asrar (Imam Al-Bazdawi), diantaranya ialah :
Al-Mahshul kitab al-jam’u al jawami’ oleh Taju al-Din
(Faqih Ad-Din Ar-Razi Asy-Syafi’i), dan abd Wahab bin Ali al-Subki al-Syafi’I (w.
Mukhtashar Ibnu Al-Hajib (Ibnu Al-Hajib 771
Al- H).
Malik). kitab al-Tahrir oleh Kamal Bin Hamam
c. Jam’u Al-Jawami, disusun oleh Taj Ad- Kamal Al-Din Muhammad Bin Abd
Din Abd Al-Wahab As-Subki Asy-Syafi’i Wahid Al-
(w. 771 Hanafi (w. 861 H)
H). kitab Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq
d. Musallam Ats-Tsubut, disusun oleh Min Ilmi Al-Ushul oleh Muhammad bin
Muhibullh Ibnu Abd Al-Syakur (w. 1119 Ali bin
H). (Ad- Muhammad al-Syaukani (w. 1255 H)
Dimasyqi:42-43). kitab ushu al-fiqh oleh Muhammad
Karya ilmiah bidang Ushul Fiqh Khudari Beik (w.1345)
a. Kitab ushul fiqih yang disusun kitab ilmu ushul al-fiqh oleh Abd
mengikuti aliran Syafi’iayah diantaranya Wahhab Al-Khallaf(w. 1955)
ialah; kitab ushu al-fiqh oleh Muhammad Abu
kitab al-Mu’tamad oleh Abi Husain Zahrah (w. 1974). KESIMPULAN
Muhammad bin ali al-Basri al-Mu’tazili Sejarah Ushul Fiqh sebelum dibukukan
(w. 463 H). terbagi menjadi beberapa masa, yaitu:
kitab al-Burhan fi Ushu al-Fiqh oleh Abi masa
al-Ma’aly Abd. Malik bin Abdillah al- Rasulullah SAW, masa sahabat dan masa
Juwaini al- tabi’in. Dan pada abad kedua dan awal
Naisaiburi al-Syafi’I (w. 487 H). abad ketiga
kitab al-Mustashfa min ilmi Ushul oleh Imam Muhammad Idris al-Syafi’i(150 H-
imam Abi Hamid Muhammad bin 204 H) tampil berperan dalam meramu,
Muhammad al- mensiste-
Ghazali al-Syafi’I (w. 505 H). kitab al- matisasi dan membukukan Ushul Fiqh.
ikhkam fi ushul al-Ahkam oleh Abu Secara garis besarnya, perkembangan
Hasan Ali bin Abi Ali yang dikenal ushul fiqh dapat
dengan dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap
sebutan Saifuddin al-Amidi al-Syafi’I (w. awal (abad 3H); tahap perkembangan
631 H). (abad 4H); dan tahap
b. Kitab ushul fiqih yang disusun penyempurnaan (abad 5H). Dalam
mengikuti aliran Hanafiyyah diantaranya sejarah perkembangan ushul fiqh
ialah : dikenal dua aliran yang
kitab Ushul oleh Abi al-Hasan al-Karkhi terjadi antara lain akibat adanya
(w. 340 H) perbedaan dalam membangun teori
kitab Ushul al-Jashshash oleh Abi Bakar ushul fiqh untuk menggali
Ahmad Ali al-Jashshash (w. 370 H) ilmu hukum. Aliran pertama disebut
kitab Ta’sis al-Nazar oleh Abi Zaid al- aliran Syafi’iyah dan jumhur
Dabbusi (w. 430 H) mutakallimin (ahli kalam).
kitab Tahmid al-Fushul fi al- Wushul oleh Aliran ini membangun ushul fiqh secara
Syamsu al-Aimah Muhammad bin Ahmad teoretis murni tanpa di pengaruhi oleh
al- masalah-masalah
Sarakhsi (w. 483 H) cabang keagamaan. Aliran kedua dikenal
kitab Ushul oleh Fakhri al-Islam Ali dengan istilah aliran fuqaha yang dianut
Muhammad al-Bazdawi (w. 483) oleh para
ulama mazhab Hanafi. Dinamakan dua dan sumber hukum yang ketiga
mazhab fuqaha, karena dalam menyusun adalah ijtihad.
teorinya aliran ini, B. Pembagian Hukum Islam
banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada Pada dasarnya hukum Islam dibagi
dalam mazhab mereka menjadi lima dasar yaitu :
1) Wajib (fardhu)
2. Sebagai mahasiswa Jurusan Wajib (fardhu) adalah suatu
Syari’ah, kepada anda sering keharusan, yakni segala perintah
ditanyakan tentang pengertian Allah Swt. yang
hukum Islam. Oleh karena itu harus kita kerjakan. Di bawah ini
buatlah tulisan berkenaan dengan ada beberapa pembagian dalam
terminology hukum Islam (hukum hukum Islam yang
syar’i) dengan segenap pembagian disebut wajib (fardhu) :
yang ada di dalamnya. Tulisan anda a. Wajib Syar`i adalah suatu
tentang masalah tersebut akan ketentuan yang apabila dikerjakan
memberikan pemahaman yang mendatangkan
komprehensif tentang makna pahala, sebaliknya jika ditinggalkan
hukum Islam (hukum syar’i), baik terhitung dosa. Contohnya salat lima
dalam pengertian klasik maupun waktu sehari semalam.
dalam pengertian yang dipakai b. Wajib Akli adalah suatu ketetapan
dalam bahasa masyarakat hari ini. hukum yang harus diyakini
JAWAB : kebenarannya
karena masuk akal atau rasional.
HUKUM DAN DALIL-DALIL HUKUM Contohnya adanya alam ini
A. Pengertian Hukum menunjukkan
Para ahli ushul menta`rifkan hukum ada yang menciptakan.
dengan : c. Wajib Aini adalah suatu ketetapan
‫رخٍٍشا‬ٚ‫خطبة ٍ٘ال اٌّزعٍك ثؤفعب اٌّزىٍفٍٓ ؽٍجب أ‬ yang harus dikerjakan oleh setiap
‫ػعب‬ٚ ٚ‫أ‬ muslim
Artinya : Perintah Allah Swt. yang antara lain salat lima waktu, salat
berhubungan dengan perbuatan jum`at, puasa wajib bulan
mukallaf, baik Ramadhan dan
berupa tuntutan ( perintah dan lain sebagainya.
larangan) atau pilihan (kebolehan) d. Wajib Kifayah adalah suatu
atau ketetapan yang apabila sudah
wadh`i (menjadikan sesuatu sebagai dikerjakan oleh
sebab, syarat dan penghalang bagi sebagian orang muslim, maka orang
suatu hukum). muslim lainnya terlepas dari
Dari definisi di atas menunjukkan kewajiban
bahwa yang menetapkan hukum itu itu. Akan tetapi jika tidak ada yang
adalah mengerjakannya, maka berdosalah
Allah Swt. hanya Allah hakim yang semuanya. Contohnya adalah
maha tinggi dan maha kuasa, mengurus jenazah mulai dari
Rasulullah memandikan,
penyampai hukum-hukum Allah mengkafankan, mensalatkan dan
kepada manusia. Oleh karena Allah memakamkannya. e. Wajib
yang Mukhayyar adalah suatu kewajiban
menetapakan hukum, maka sumber yang boleh dipilih salah satu dari
hukum yang pertama dan paling bermacam pilihan yang telah
utama adalah ditetapkan untuk dikerjakan.
wahyu Allah yaitu Alquran, Contohnya tebusan
kemudian sunnah Rasul sebagai apabila kita berhubungan suami
sumber hukum yang ke istri pada siang hari di bulan
Ramadhan,
boleh memilih antara 5) Mubah
memerdekakan hamba atau Mubah adalah suatu perkara yang
berpuasa dua bulan apabila dikerjakan atau ditinggalkan
berturut-turut atau memberi makan tidak
enam puluh orang miskin. berpahala dan juga tidak berdosa.
2) Sunnah 1. Taklifi Hukum Taklifi ialah hukum
Sunnah adalah perkara yang apabila yang : 1) menuntut mukallaf
dikerjakan akan mendapat pahala, melakukan
dan perbuatan. 2) menuntut mukallaf
bila ditinggalkan tidak berdosa. meninggalkan perbuatan, atau 3)
Dibawah ini ada beberapa menuntut mukallaf
pembagian dalam hukum memilih antara melakukan atau
Islam yang disebut sunnah : meninggalkan perbuatan.
a. Sunnah Muakkad adalah sunnah 2. Macam-macam hukum taklifi
yang sangat dianjurkan. Misalnya, Berdasarkan isi tuntutannya berikut
salat ini macam-macam hukum taklifi
tarawih dan salat Idul Fitri. adalah
b. Sunnah Ghairu Muakkad adalah sebagai berikut :
sunnah biasa. Misalnya, memberi 1) Contoh hukum taklifi yang
salam menuntut mukallaf untuk
kepada orang lain, dan puasa pada melakukan suatu perbuatan.
hari senin kamis. Berpuasa di bulan Ramadhan,
c. Sunnah Haiah adalah perkara- seperti terlihat jelas dalm QS. al-
perkara dalam salat yang sebaiknya Baqarah/2: 183.
dikerjakan, ‫ب اٌزٌٓ إِٔال وزت عٍٍىُ اٌظٍبَ وّب وزت عٍى‬ٌٙ‫ٌبأ‬
seperti mengangkat kedua tangan 381 : ‫)اٌزٌٓ ِٓ لجٍىُ ٌعٍىُ رزمٍٓ ) اٌجمشح‬
ketika takbir, mengucap Allahu Artinya : Wahai orang-orang yang
Akbar beriman ! Diwajibkan atas kamu
ketika ruku`, sujud dan sebaginya. berpuasa
d. Sunnah Ab`ad adalah perkara- sebagaimana diwajibkan atas orang
perkara dalam salat yang harus sebelum kamu agar kamu
dikerjakan, dan bertakwa’.
kalau terlupakan maka harus
menggantinya dengan sujud sahwi, mampu. Cermati QS. Ali Imran/
seperti 3:97.
membaca tasyahud awal dan ‫ِٓ دخٍٗ وبْ إِب‬ٚ ٍُ٘‫فٍٗ أٌبد ثٍٕبد ِمبَ اثشا‬
sebagainya. ‫ًٍ٘ عٍى إٌبط دج اٌجٍذ ِٓ اعزطبع إٌٍٗ عجٍبي‬ٚ
3) Haram ْ‫ِٓ وفش فئ‬ٚ
Haram adalah suatu perkara yang 79 : ْ‫ )ا عّشا‬. ٌٍّٓ‫)ٍ٘ال غٕى عٓ اٌعب‬
dilarang mengerjakannya, seperti Artinya : Dan diantara kewajiban
minum- manusia terhadap Allah adalah
minuman keras, mencuri, judi dan melaksanakan
lain sebagainya. Apabila dikerjakan ibadah haji ke Baitullah yaitu bagi
terhitung orang-orang yang mampu
dosa, sebaliknya jika ditinggalkan mengadakan
memperoleh pahala. perjalanan kesana.
4) Makruh 2) Contoh hukum taklifi yang
Makruh adalah sesuatu hal yang menghendaki mukallaf untuk
tidak disukai/diinginkan. Akan meninggalkan perbuatan,
tetapi apabila makan bangkai, darah, dan daging
dikerjakan tidak berdosa, dan jika babi. Seperti tertera dalam QS. al-
ditinggalkan berpahala, seperti Maidah /5:3.
merokok, dan lain ‫ٌذُ اٌخٕضٌش‬ٚ َ‫اٌذ‬ٚ ‫ دشِذ عٍٍىُ اٌٍّزخ‬....
sebagainya.
Artinya : Diharamkan bagimu tidak tegas. Jika tuntutan
(memakan) bangkai, darah, daging disampaikan secara tegas maka
babi. menjadi haram, jika
tuntutan meninggalkan
orang tua, seperti tersurat dalam QS. disampaikan secara tidak tegas
al- maka menjadi makruh, jika
Isra`/17:23 tuntutan memilih antara melakukan
‫ّب أف‬ٌٙ ‫فبي رك‬. atau meninggalkan maka menjadi
Artinya: Maka sekali-kali janganlah mubah.
engkau mengatakan kepada 2. Wadh`i
keduanya perkataan Hukum wadh`i ialah hukum yang
ah”. menjadikan sesuatu sebagai suatu
Dua contoh ayat tersebut berisi sebab
larangan yang tegas, sehingga kita adanya yang lain, atau syarat bagi
tidak sesuatu yang lain, atau penghalang
diperbolehkan mengerjakannya. (mani`) adanya
3) Contoh hukum taklifi yang sesuatu yang lain. Jadi, jenis hukum
membebaskan mukallaf untuk wadh`i adalah sebab, syarat dan
memilih antara penghalang
mengerjakan atau meninggalkan (mani`).
perbuatan. Seusai melaksanakan 1. Sebab ialah sesuatu yang oleh
salat Jum`at, kita dibebaskan untuk syari` (pembuat hukum, Allah)
bertebaran atau dijadikan
berdiam diri di rumah. Lihat surah sebagai sebab adanya sesuatu yang
al-Jumu`ah/62:10 berikut : lain yang menjadi akibatnya.
‫اثزغال‬ٚ ‫ا فى اأٌشع‬ٚ‫فئرا لؼٍذ اٌظبٌخ فبٔزشش‬ Ketiadaan
ٍٓ‫ا ٍ٘ال وثٍشا ٌعٍىُ رفٍذ‬ٚ‫اروش‬ٚ ‫ِٓ فغ ٍ٘ال‬ sebab menjadikan sesuatu yang lain
31)) menjadi tidak ada. Dalam hukum,
Artinya: Apabila salat telah keberadaan sebab bersifat mutlak.
dilaksanakan, maka bertebaranlah Ketiadaan sebab menjadikan hukum
kamu di bumi. tidak
ada. Contohnya, kewajiban salat
jauh seperti tertera dalam QS. an- menjadi sebab kewajiban
Nisa`/4:101 berikut : mengambil wudu`,
ْ‫إرا ػشثزُ فى اأٌشع فٍٍظ عٍٍىُ جٕبح أ‬ٚ mencuri menjadi sebab adanya
‫ا‬ٚ‫ا ِٓ اٌظبٌخ إْ خفزُ أْ ٌفزٕىُ اٌزٌٓ وفش‬ٚ‫رمظش‬ hukum potong tangan, atau orang
ٌٓ‫إْ اٌىبفش‬ yang
‫ا ِجٍٕب‬ٚ‫وبٔال ٌىُ عذ‬ berhasil memenangkan peperangan
Artinya: Dan apabila kamu menjadi sebab kebolehan merampas
bepergian di bumi, maka tidaklah harta
berdosa kamu benda musuh.
mengqasar salat, jika kamu takut 2. Syarat ialah sesuatu yang
diserang orang kafir. tergantung kepadanya adanya
Berdasarkan ketegasan isi hukum. Dengan tidak
tuntutannya, melihat definisi di atas, adanya syarat, hukum pun menjadi
maka hukum tidak ada. Misalnya, kemampuan
taklifi bisa berupa tuntutan melakukan perjalanan ke Baitullah
(thalabun), Meninggalkan (tarkun) merupakan syarat adanya
atau memilih kewajiban haji
(takhyirun). Sementara isi ketiga hal bagi seorang mukallaf, kehadiran
tadi bisa jadi disampaikan tegas saksi dalam akad pernikahan
(sharih) atau merupakan
syarat bagi sahnya akad nikah dan tetapi dengan menggunakan akal
wudu sebagai syarat untuk sahnya pikiran manusia yaitu ijtihad.
shalat. Pendapat
3. Penghalang (mani`) ialah sesuatu lainnya yang mengemukakan,
yang keberadaannya dapat bahwa sumber hukum islam berasal
meniadakan atau dari
membatalkan hukum. Mani` hanya potensi-potensi sumber ilahi dan
muncul ketika sebab dan syarat itu insani atau dengan kata lain sumber
telah naqliyah dan aqliyah. Dalil aqli yang
tampak secara jelas. Contohnya, si bersumber dari potensi insani
anak adalah ahli waris dari orang dengan menggunakan akal
tuanya, pikirannya yang berupa ijtihadi
namun, ia bisa tidak mendapatkan muncul
harta warisan dari orang tuanya apabila hukum tersebut tidak dapat
karena ada ditemukan pada dalil naqli. Oleh
penghalang (mani`). Penghalang itu karenanya Allah dan Rasulnya
bisa berupa kemurtadan si anak memberikan kewenangan kepada
atau potensi insani yang berupa akal
kematian orang tuanya yang untuk menggali sehingga mampu
disebabkan pembunuhan oleh si menemukan
anak. serta menetapkan hukumnya,
C. Dalil hukum Islam namun tetap hal ini yang menjadi
Dalil secara bahasa artinya petunjuk sandaran
pada sesuatu yang bersifat material pokoknya adalah Alquran dan hadis.
maupun yang bersifat non Dalil-dalil hukum (sumber
material.Sedangkan menurut istilah pengambilan hukum) terbagi
dalil adalah suatu kepada dua yaitu :
petunjuk yang dijadikan landasan 1) Dalil hukum Muttafa (disepakati)
berfikir yang benar dalam yaitu Alquran, Sunnah, ijma` dan
memperoleh hukum qiyas.
syara` yang bersifat praktis, baik 2) Dalil hukum Ghairu Muttafa`
yang kedudukannya qath`i (pasti) (tidak disepakati) yaitu Istihsan,
atau dzanni Istishab,
(relatif). Maslahatul mursalah, saddu al-
Dalil ditinjau dari segi asalnya Zara`i.
terbagi dua :
a. Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang :
berasal dari nash langsung. Yaitu 1. Alquran
Alquran dan Hadis. Dalil naqli yang Alquran menurut sebagian ahli,
bersumber dari Alquran ini diantaranya al-Syafi`i (150-204 H /
merupakan dalil yang sudah jelas 67-820
dan kebenarannya tidak diragukan M), al-Farra` (207 H / 823 M), dan
lagi, al-Asy`ari (206-324 H / 873-935 M),
karena berasal dari Allah Swt. dan bahwa kata
dijamin kemurnian dan keasliannya. Alquran ditulis dan dibaca tanpa
Demikian juga dalil naqli yang hamzah.36
berasal dari Hadis yang merupakan Menurut al-Lihyani (w. 215 H/831
ucapan, perbuatan dan pengakuan M) dan al-Zajjaj (w. 311 H / 298 M),
Rasulullah Saw. yang selamanya bahwa kata Alquran sewazan
berada dalam bimbingan Allah Swt. (sepadan) dengan fu`lan dan
b. Dalil Aqli yaitu dalil-dalil yang karenanya harus dibaca
berasal bukan dari nash langsung, dan ditulis ber-hamzah, meskipun
akan dalam qira`at ada yang membacanya
dengan
Quran tanpa hamzah itu semata- berasal dari kata qara`a-yaqra`u-
mata karena pertimbangan teknis qira`atan-wa qur`anan, yang secara
yang lazim disebut harfiah berarti
dengan mengalihkan harakat “bacaan”. Kata Quran sebanding
hamzah (fathah) kepada huruf yang dengan kata fu`lan. Hal ini sesuai
sebelumnya (ra) dengan firman
yang sukun. Allah Swat. Dalam surah al-Qiyamah
Seperti halnya perbedaan para ayat 17-18 yang berbunyi:
pakar bahasa arab mengenai tulisan Artinya:
dan “Sesungguhnya atas tanggungan
bacaan Alquran, mereka juga kamilah mengumpulkannya (di
berbeda persepsi tentang asal-usul dadamu) dan
kata Alquran. Ada membuatmu pandai membacanya.
yang mengatakan bahwa Alquran Apabila kami telah selesai
adalah ism `alam (nama benda) membacakannya, maka
yang tidak diambil ikutilah bacaannya itu”.39
dari kata apapun. Menurut as-Syafi`i Arti Alquran secara terminologi
kata Alquran yang kemudian di ditemukan dalam beberapa
ma`rifah-kan perumusan.
dengan `alif lam tidak diambil dari Menurut Syaltut Alquran adalah
kata apapun, mengingat Alquran lafaz Arabi yang diturunkan kepada
adalah nama Nabi
khusus yang diberikan Allah Swt. Muhammad Saw. yang dinukilkan
untuk nama Kitab yang diturunkan kepada kita secara mutawatir.
kepada Nabi Menurut Syaukani
Muhammad Saw. semisal Zabur bagi Alquran adalah kalam Allah Swt.
Nabi Daud as., Taurat bagi Nabi yang diturunkan kepada Nabu
Musa as., dan Muhammad Saw.
Injil bagi Nabi Isa as. Pendapat lain, yang tertulis dalam bentuk mushaf,
bahwa kata Quran yang kemudian di dinukilkan secara mutawatir.
ma`rifat-kan dengan `alif Sedangkan menurut
lam itu adalah ism musytaq (kata Abu Zahrah Alquran adalah kitab
jadian) yang diambil dari kata lain, yang diturunkan kepada Nabi
hanya saja, Muhammad Saw.40
mereka berlainan pendirian Dengan menganalisa dan
mengenai kepastian asl kata membandingkan defenisi yang lain
Alquran tersebut. Ada pula tersebut, maka
yang mengatakan diambil dari kata dapat diambil kesimpulan bahwa
qara`in jama` dari kata qarinah, Alquran secara terminologi ialah
yang berarti “Lafaz yang
indikator, juga ada yang menduga berbahasa Arab yang diturunkan
berasal dari kata qarana dan al- kepada Nabi Muhammad Saw. yang
qar`u / al-qaryu, dinukilkan
yang masing-masing berarti secara mutawatir”. Sedangkan
menggabungkan dan kumpulan / menurut sebagian besar ulama Usul
himpunan yang juga fikih, Alquran
bermakna kampung (kumpulan adalah “kalam Allah Swt. yang
rumah-rumah).38 memiliki mukjizat, diturunkan
kepada penutup para
Para ahli ilmu-ilmu Alquran pada Nabi dan Rasul melalui perantara
umumnya berasumsi bahwa kata malaikat Jibril, yang dinukilkan
Quran kepada generasi sesudahnya secara
mutawatir, ditulis dalam masahif, Madinah dan 10 tahun diturunkan
membacanya merupakan di Madinah setelah Nabi hijrah ke
ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah Madinah atau
dan ditutup dengan surat al- dalam masa 22 tahun, 2 bulan dan
Nash”.41 22 hari. Ciri-ciri khas yang menonjol
Dari beberapa definisi Alquran mengenai isi
tersebut, maka ia mengandung pada masing-masing tempat
beberapa unsur turunnya Alquran antara lain :
pokok yang menjelaskan hakikat 1. Ayat Makkiyah pada umumnya
dari Alquran itu : pendek-pendek, sedangkan ayat
1. Alquran itu berbentuk lafaz yang Madaniyyah
mengandung arti bahwa lafaz panjang-panjang
tersebut 2. Banyaknya surat Makkiyah
sampai kepada kita sesuai dengan sekitar 19/30 dari isi Alquran,
apa yang disampaikan Allah Swt. sedangkan surat
melalui Madaniyyah sekitar 11/30 dari isi
malaikat Jibril, namun dilafazkan Alquran. 3. Dalam surat Makkiyah
oleh Nabi Saw. sendiri tidaklah lazimnya terdapat perkataan “ya
disebut ayyuhannas” dan
Alquran (seperti hadis Qudsi). sedikit sekali terdapat perkatan “ya
2. Alquran itu berbahasa Arab yang ayyuhalladzinaamanu”, sedangkan
berarti jika dialih bahasakan ke dalam
dalam surat Madaniyyah malah sebaliknya.
bahasa lainnya bukanlah Alquran. 4. Ayat Makkiyah pada umumnya
3. Alquran itu diturunkan kepada mengandung hal-hal yang
Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan
mengandung arti dengan masalah keimanan, ancaman
bahwa wahyu Allah Swt. yang dan pahala, kisah-kisah umat yang
disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu yang mengandung
terdahulu hukum-hukum, seperti hukum
tidaklah disebut Alquran. kemasyarakatan,
Sebaliknya apa-apa yang dikisahkan hukum ketatanegaraan, dan
dalam Alquran lainnya.43
tentang kehidupan dan syari`at yang 5. Alquran adalah syari`at Islam
berlaku bagi ummat terdahulu yang bersifat menyeluruh. Ia
adalah merupakan
Alquran. sumber dan rujukan yang pertama
42 bagi syari`at, karena di dalamnya
4. Alquran dinukilkan secara terdapat
mutawatir yang mengandung arti kaidah-kaidah yang bersifat global
bahwa ayat-ayat yang perlu dijelaskan dengan
Alquran tidak diwahyukan kepada sunnah dan
nabi Muhammad Saw. sekaligus metode pengambilan istinbat
berupa hukum.
satu kesatuan mushaf, namun Menurut Ibnu Hazm bahwa setiap
dinukilkan sesuai dengan situasi bab dalam fikih pasti mempunyai
dan kondisi landasan
tertentu. dalam Alquran yang dijelaskan oleh
Alquran yang diturunkan secara al-Sunnah.
berangsur-angsur selama sekitar 23 44 Hal ini sebagaimana firman Allah
tahun, Swt. QS. (6) :38 yang artinya : “….
dimana 13 tahun diturunkan di Tiadalah kami lupakan sesuatupun
Makkah sebelum nabi Muhammad di dalam al-
Saw. hijrah ke Kitab…”.
Kandungan isi Alquran sebagai mengatakan bahwa hukum itu
sumber hukum antara lain : ditetapkan dengan sunnah,
1) Ajaran-ajaran (konsepsi) sedangkan ahli fikih
mengenai kepercayaan (aqidah) menempatkan sunnah sebagai salah
yang fokusnya satu hukum syara` yang lima.
adalah tauhid (monoteisme) dan Mereka
sistem pengaturan hubungan antara mengatakan bahwa perbuatan itu
khaliq hukumnya sunnah, dalam
(pencipta) dan makhluk (manusia). pengertian ini sunnah
2) Berita (riwayat) tentang keadaan adalah hukum dan bukan dalil
umat manusia sebelum Nabi hukum.
Muhammad Menjadikan sunnah sebagai sumber
Saw. menjadi Rasul, baik mengenai hukum sesuai dengan firman Allah
umat yang beriman dan yang tidak, dalam
beserta ganjaran hikmah yang Alquran (3) : 32 yang berbunyi :
didapatkannya. ‫اٌشعً فبْ رٍٍالفئْ ٍ٘ال اٌٍذت‬ٚ ‫ٍال‬ٍٙ‫ق اؽٍع‬
3) Berita yang menggambarkan apa ٌٓ‫اٌىفش‬.
yang akan terjadi pada masa Artinya: Katakanlah, ta`atlah kamu
mendatang, sekalian kepada Allah dan Rasulnya,
terutama pada kehidupan akhirat jika kamu
4) Peraturan-peraturan berpaling, ketahuilah bahwa Allah
kemanusiaan, dalam hal ini adalah tidak menyukai orang-orang kafir.
hubungan interaksi Sunnah menurut pengertian ahli
selaku makhluk individu maupun usul terbagi menjadi tiga (3) macam
sosial. :
2. Al-Sunnah Al-Sunnah adalah 1. Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan
sumber pokok hukum islam kedua Rasulullah Saw. yang didengar oleh
setelah Alquran. Kata sahabat
sunnah secara etimologi berarti dan disampaikannya kepada orang
“yang biasa dilakukan”.45 Sunnah lain. Contohnya, sahabat berkata
dalam istilah bahwa
ulama usul fikih adalah apa-apa Rasulullah Saw. bersabda:
yang diriwayatkan dari nabi “Menuntut ilmu itu wajib bagi
Muhammad Saw. baik muslim laki-laki
dalam bentuk perkataan, perbuatan dan perempuan”.
maupun pengakuan Nabi Saw. yang 2. Sunnah Fi`liyah, yaitu perbuatan
berhubungan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
dengan hukum. Sedangkan sunnah yang
menurut ulama fikih adalah sifat dilihat atau diketahui oleh sahabat
hukum bagi kemudian disampaikannya kepada
perbuatan yang dituntut untuk orang
dilakukan dengan pengertian diberi lain. Contohnya, sahabat berkata :
pahala bagi orang “Saya melihat Rasulullah Saw.
yang melaksanakannya dan tidak melakukan
berdosa bagi orang yang salat sunnat dua rakaat sesudah
meninggalkannya.46 salat zuhur”.
Perbedaan ahli usul fikih dalam 3. Sunnah Taqririyah, yaitu
memberikan istilah pada sunnah, perbuatan sahabat yang dilakukan
sebagaimana disebutkan di atas dihadapan atau
karena perbedaan dalam segi sudut sepengetahuan Rasulullah Saw..
pandang. Ulama tetapi tidak dicegah oleh Rasulullah
usul menempatkan sunnah sebagai Saw., diamnya Rasulullah Saw.
salah satu sumber atau dalil hukum tersebut disampaikan sahabat
syar`i. mereka kepada yang lain.
Misalnya seorang sahabat memakan “Salatlah kamu sekalian
daging dab dihadapan Rasulullah sebagaimana kamu telah melihat
Saw. saya salat”.
sehingga Rasulullah Saw. b. Penguat secara mutlaq, Sunnah
mengetahui apa yang di makan merupakan penguat terhadap dalil-
sahabatnya, tetapi dalil umum yang ada dalam Alquran.
Rasullullah Saw. tidak melarangnya. c. Sunnah sebagai takhsis terhadap
Kisah tersebut disampaikan sahabat dalil-dalil Alquran yang masih
kepada lainya dengan ucapan : “Saya umum.
melihat seorang sahabat memakan d. Sebagai Musyarri` ( pembuat
dab syari`at)
di dekat Nabi, Nabi mengetahui Dalam hal ini terjadi perbedaan
tetapi Nabi tidak melarangnya”. pendapat diantara ulama: 1) Sunnah
Sunnah merupakan sumber kedua itu memuat hal-hal baru yang belum
setelah Alquran, karena Sunnah ada dalam
merupakan penjelasan dari Alquran, Alquran
maka yang dijelaskan berkedudukan 2) Sunnah tidak memuat hal-hal
lebih tinggi yang tidak ada dalam Alquran,
daripada yang menjelaskan. tetapi hanya memuat hal-hal yang
Kedudukan Sunnah terhadap ada landasanya dalam
Alquran sekurang- Alquran.
kurangnya ada tiga hal sebagaimana Ditinjau dari segi periwayatannya,
berikut : maka sunnah dapat dibagi menjadi
1. Sunnah sebagai ta`qid (penguat) dua macam
nash Alquran. Dalam hal ini, Sunnah yaitu:
memberi ketegasan hukum sesuai 1. Sunnah yang bersambung mata
dengan ketegasan nash Alquran, rantai perawinya (muttasil al-
sebagai Sunnah)
contoh : Sunnah banyak yang 2. Sunnah yang tidak bersambung
menerangkan tentang kewajiban mata rantai perawinya (ghairu
dan muttasil al-
keutamaan puasa, shalat dan sanad)
sebagainya. Sunnah yang bersambung mata
2. Sunnah sebagai bayanu tasyri` rantai perawinya (muttashil al-
(penjelas) nash Alquran. Dalam hal sanad) jika
ini sunnah dilihat dari segi jumlah perawinya
berfungsi untuk menjelaskan secara terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
praktis dari nash Alquran, sehingga 1) Sunnah mutawatir ialah Sunnah
menghindarkan dari kekeliruan yang diriwayatkan dari Rsulullah
dalam mengklasifikasikan apa yang Saw. oleh
terkandung dalam Alquran. sekelompok perawi yang menurut
Menurut Rachmat Syafe`I47, kebiasaannya mereka tidak
penjelasan Sunnah mungkin
terhadap Alquran dapat bersepakat untuk berbohong. Hal ini
dikatagorikan menjadi empat disebabkan jumlah mereka yang
bagian : banyak
a. Penjelasan terhadap hal yang dan diperoleh dari perawi yang
global, seperti diperintahkannya terdahulu, yang sifatnya juga
salat demikian
dalam Alquran tidak diiringi sehingga sampai sanadnya kepada
penjelasan mengenai rukun, syarat, Rasulullah Saw.
dan 2) Sunnah Masyhur ialah sunnah
ketentuan lainnya. Maka hal ini yang diriwayatkan dari Rasulullah
dijelaskan oleh Rasulullah Saw. : Saw. oleh
seseorang atau dua orang atau ditemukannya hadis lain pada kasus
kelompok yang keadaannya tidak tersebut, Imam Syafi`I juga tidak
sampai memakainya
kepada tingkatan mutawatir yang kecuali apabila tabi`in yang
kemudian tersebar luas sehingga meriwayatkan hadis tersebiut telah
diriwayatkan oleh orang banyak tersohor dan banyak
yang tidak mungkin bersepakat bertemu dengan kalangan sahabat.
bohong. 3. Ijma` (konsensus)
Sunnah atau hadis masyhur Ijma` adalah kesepakatan para
menurut Abu Hanifah menunjukkan imam mujtahid dari umat Islam atas
ilmu yang hukum
pasti (al-`Ilm al-Yaqin) walaupun syara` (mengenai suatu masalah)
derajadnya masih dibawah Sunnah pada suatu masa sesudah Nabi
Mutawatir, dan menurut mazhab ini Muhammad Saw.
pula, hadis masyhur dapat berfungsi wafat.49
memperkuat ayat Alquran, Pengertian lain dari ijma`
sedangkan sebagian ahli fiqh sebagaimana diungkapkan oleh
menganggapnya Abdul Wahhab
sebagai dasar yang zhan Khallaf, yaitu : “Kesepakatan seluruh
sebagaimana Hadis Ahad. Imam mujtahid dari kalangan kaum
3) Sunnah Ahad atau khabar muslimin
khassash menurut Imam Syafi`I dalam salah satu kurun dari kurun-
ialah setiap hadis kurun yang banyak sesudah wafat
yang diriwayatkan dari Rasulullah Rasulullah
Saw. oleh seorang atau dua orang Saw. terhadap suatu peristiwa
yang hukum syara`”.
belum mencapai tingkatan syarat 50
hadis masyhur. Adapun Ibnu Taimiyyah memberi
48 Sunnah Ahad memberi faidah batasan pengertian ijma`
ilmu yang pasti. Tentang sebagaimana
kehujjahannya, para ulama berikut: “Makna Ijma` adalah
berpendapat kesepakatan ulama kaum muslimin
bahwa Sunnah Ahad itu bisa mengenai suatu
dijadikan hujjah jika tidak ada dalil hukum dari beberapa hukum”.51
yang lain Ijma` merupakn sumber yang kuat
yang lebih kuat, namun tidak dalam dan merupakan salah satu metode
hal akidah, karena masalah akidah pengembangan ijtihad untuk
memerlukan dasar yang pasti. meneruskan dan menerapkan
Adapun dengan sunnah yang tidak hukum-hukum Islam. Jika
bersambung mata rantai perawinya sudah terjadi kemufakatan atas
(ghair suatu hukum, maka sudah barang
muttasil al-sanad) kepada tentu ada dalil
Rasulullah Saw. dinamakan oleh (alasan) yang menjadi sandarannya,
sebagian ulama dengan sebab tidak masuk akal kalau para
sebutan Sunnah/Hadis Mursal, ulama bersepakat atas sesuatu
sedangkan sebagian ulama lain hukum tanpa mempunyai dalil
menamakannya Hadis syara`. Hal ini sesuai dengan hadis
Munqathi`, dalam hal Rasulullah Saw. : “Ummatku tidak
penggunaannya sebagai hujjah akan bersepakat untuk melakukan
terjadi perbedaan pendapat. kesalahan”. (H.R. Abu Daud dan al-
Imam Ahmad tidak memakai hadis Turmudji).52
mursal ini sebagai hujjah kecuali Alasan menempatkan ijma` sebagai
tidak dasar hukum setelah Alquran dan
Sunnah
juga dikuatkan oleh beberapa Asar dua, yaitu Ijma` Bayani (disebut juga
sahabat Nabi Muhammad Saw. Ijma` Qauli, Ijma` Sharih atau Ijma`
diantaranya Haqiqi)
sebagaimana disampaikan Umar ibn yaitu kemufakatan yang dinyatakan
al-Khattab kepada Syuraih : “ atau diucapkan oleh mujtahidin,
Putuskanlah termasuk dalam
(perkara itu) menurut hukum yang katagori ini tulisan mujtahidin yang
ada dalam kitab Allah, kalau tidak diakui oleh para mujtahidin lainnya.
ada (dalam Yang kedua
Alquran), maka putuskanlah sesuai Ijma` Sukuti disebut juga dengan
dengan hukum yang ada dalam Ijma` I`tibari, yaitu kebulatan yang
Sunnah dianggap ada apabila seseorang
Rasulullah Saw. kalau tidak ada mujtahid mengeluarkan
(dalam sunnah Rasulullah Saw.) pendapatnya dan diketahui oleh
putuskanlah mujtahid
berdasarkan hukum yang telah lainnya, akan tetapi mereka tidak
disepakati oleh (ummat) manusia”. menyatakan persetujuan atau
Dalam riwayat lain : “Putuskanlah bantahannya.55
menurut hukum yang telah Sedangkan Abdu al-Rahman dalam
ditetapkan oleh orang- bukunya Shari`ah The Islamic
orang saleh”. menambahkan pembagian tersebut
Dasar lain, sebagaimana yang dengan Ijma` Fi`li, yaitu kesepakatan
dikatakan Ibn Mas`ud : “Siapa yang para
ditanya tentang mujtahid dengan melakukan
(hukum) suatu masalah seyogyanya tindakan yang tidak dinyatakan
ia memberikan fatwa berdasarkan bantahan atau
hukum yang persetujuan terhadap tindakan
ada dalam kitab Allah, Kalau tidak tersebut.56
ada (dalam Alquran), maka
berfatwalah menurut Adapun kriteria Ijma` menurut
hukum yang ada dalam Sunnah sebagian ulama ushul adalah :
Rasulullah Saw. dan kalau tidak ada 1) Kesepakatan sekelompok fuqaha
(dalam Hadis), /ulama
hendaklah berfatwa menurut 2) Pada kurun waktu tertentu
hukum yang telah disepakati oleh 3) Di ruang lingkup suatu wilayah
umat manusia (umat atau kawasan tertentu pula.
Islam).53 Dengan penjelasan di atas, maka
Objek ijma` ialah semua peristiwa sebenarnya Ijma` sangat efektif
atau kejadian yang tidak ditemukan untuk :
dasarnya dalam Alquran dan 1) Menjadi asas Ijtihad Jama`I
Sunnah atau peristiwa yang (Ijtihad kolektif)
berhubungan dengan 2) Melandasi penemuan serta
ibadah ghairu mahdah (ibadah yang pengembangan hukum kontekstual
tidak langsung ditujukan kepada menurut
Allah Swt.) kondisi ruang dan waktu. Dari sini
bidang muamalah, bidang lebih jelas tampak bahwa hukum
kemasyarakatan atau semua hal-hal Islam
yang berhubungan memiliki sifat kelenturan (elastisitas
dengan urusan duniawi tetapi tidak dan Fleksibelitas).
ada dasarnya dalam Alquran dan 4. Qiyas (Analogi)
Hadis.54 I. Pengertian Qiyas
Ijma` ditinjau dari cara terjadinya, Kata qiyas merupakan derivasi
menurut ahli Ushul Fiqh dibagi (bentukan) dari “ ‫ لباا‬- ‫ ٌمباي‬, "artinya
menjadi mengukur.57
Secara etimologi, term al-qiyas ada nas hukumnya kepada perkara
mengandung beberapa makna, dan baru yang ada nas hukumnya
yang terpenting ialah makna karena keduanya
“persamaan” (al-musawah) dan berserikat dalam ‘illat hukum.
“pengukuran” (al- Sedangkan menurut Ibnu Qudamah
taqdir). Makna “persamaan” itu qiyas adalah:
dalam arti mutlak, baik yang ‫ّب‬ٍٕٙ‫دُ فشع عٍى أص فى دىُ ثجبُِ ث‬
bersifat indrawi, Artinya: Menghubungkan furu’
misalnya, ungkapan “qasa al-tsaub kepada asl dalam hukum karena ada
bi al-tsaub”( pakaian ini menyamai hal yang sama
pakaian itu) (yang menyatukan) antara
dan ungkapan “qistu al-burtuqalah keduanya.
bi al-burtuqalah” ( saya 61
menyamakan jeruk ini Para ahli usul menyatakan bahwa
dengan jeruk itu). Sedangkan makna qiyas adalah menerangkan hukum
persamaan yang bersifat non sesuatu
indrawi terlihat yang tidak ada nasnya baik dalam
pada ungkapan “fulan yuqasu bi Alquran maupun hadis dengan cara
fulan” (si fulan tidak disamakan membandingkannya dengan sesuatu
dengan si fulan). yang ditetapkan hukumnya
Sedangkan makna pengukuran (al- berdasarkan nas.62
taqdir) terdapat pada ungkapan Dapat dipahami secara tidak
“qasa al-tsaub bi al-mitr” ( dia langsung bahwa qiyas adalah
mengukur pakaian itu dengan alat menghubungkan sesuatu
meteran), dan ungkapan “qasa al- yang tidak disebutkan nas (Alquran
ard bi al-qasbah” ( dia mengukur dan hadis) kepada sesuatu yang
tanah itu dengan bambu). 58 disebutkan
Sedangkan secara terminologi, hukumnya karena serupa makna
terdapat berbagai rumusan yang hukum yang disebutkan. Dengan
dikemukakan demikian, ketetapan hukum suatu
oleh para ulama ushul fiqh, berbagai peristiwa yang tidak ada nasnya
rumusan definisi qiyas yang mereka dapat dikatagorikan sebagai qiyas,
kemukakan dengan dalil harus memenuhi
dapat dikategorisasikan sebagai keempat rukunnya.
berikut : II. Rukun Qiyas
ّٗ‫ح فشع أٌض فى عٍخ دى‬ٚ‫ِغب‬ Rukun qiyas terdiri dari empat
Artinya: Persamaan far`u dengan asl unsur, yaitu:
dalam hal `illat hukumnya.59 1. AL-Asl (pokok) yaitu sumber
ٍٖٛ‫ ٔف‬ٚ‫ا أ‬ٌّٛٙ َٛ‫دُ ِعٍٍُ عٍى ِعٍٍُ فى إثجبد دى‬ hukum yang terdiri dari nas yang
ٚ‫َ أ‬ٛ‫اد دى‬ٛ‫ْ إثج‬ِٛ ‫ا‬ٍّٕٛٙ‫اُِ ث‬ٛ‫أِش ج‬ٛ‫ا ث‬ّٕٛٙ‫ع‬ menjelaskan
‫ا‬ٍّٛٙ‫ٔف‬ٚ‫فخ أ‬ٛ‫ط‬ tentang hukum, sebagian besar
60 ‫ّب‬ٕٙ‫ع‬. ulama menyebutkan bahwa, sumber
Artinya: Menghubungkan sesuatu hukum yang
kepada sesuatu yang lain perihal dipergunakan sebagai dasar qiyas
ada atau tidak harus berupa nas, baik nas Alquran,
adanya hukum berdasarkan unsur hadis
yang mempersatukan keduanya, maupun ijma`, dan tidak boleh
baik mengqiyaskan sesuatu dengan
berupa penetapan maupun hukum yang
peniadaan hukum /sifat dari ditetapkan dengan qiyas.
keduanya. 63 Asl disebut juga maqis ‘alaih
Menurut Abu Zahrah, qiyas adalah (yang menjadi ukuran),
menghubungkan suatu perkara Mahmul `alaih atau musyabbah bih
yang tidak (tempat menyamakan).
2. Al-Far`u (cabang) yaitu sesuatu itu wasf yang zahir, mundabit dan
yang tidak ada ketentuan nasnya. mu`arrif . hukum furu` sama dengan
Artinya, kasus hukum pada
yang ada tidak diketahui hukumnya asl. Artinya, bahwa `illat itu harus
secara pasti. Al-Syafi`i, dalam hal ini dapat dicerna oleh panca indra dan
mengatakan, bahwa far` itu adalah harus nyata.
suatu kasus yang tidak disebutkan Bilamana sifat ini ditemukan pada
hukumnya furu`, status hukum yang terdapat
secara tegas dan diqiyaskan kepada pada asl
hukum aslnya. menjadi berlaku pula pada furu.
64 Al-Far’u disebut juga maqis Inilah maksud dari ungkapan : al-
(yang diukur), mahmul atau hukm yaduru ma`a
musyabbah (yang diserupakan). `illatihi wujud-an wa `adam-an
3. Al-Hukm, yaitu hukum yang (keberadaan hukum itu mengikuti
terdapat pada asl. Hukum disini keberadaan
adalah hukum yang `illat).67
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, Untuk lebih jelasnya pemahaman
baik secara tegas maupun ma`nawi. terhadap masing-masing rukun
Ini berarti, qiyas
hukumnya harus berdasarkan tersebut dikemukakan contoh
Alquran dan Hadis, harus dapat sebagai berikut: Bagaimana hukum
dicerna akal menjual harta
tentang tujuannya dan hukum yang anak yatim. Nasnya tidak ada; yang
ditetapkan bukan masalah rukhsah ada makan harta anak yatim. Jadi
dan hukumnya
khusus. haram berdasarkan Surah an-Nisa`
4. ‘Illat, secara bahasa dapat berarti ayat 10.
al-maradh, yaitu penyakit, atau al- 1. Makan harta anak yatim disebut
sabab, yaitu asl.
sebab yang melahirkan atau 2. Menjual harta anak yatim disebut
menyebabkan adanya sesuatu furu’.
Dalam konteks qiyas, maka 3. Haram makan harta anak yatim
pengertianya yang kedua, yaitu disebut hukum asl.
“sebab” adalah lebih sesuai, karena 4. Makan harta anak yatim itu
`illat sifatnya mengurangi atau
tersebut menyebabkan tetapnya menghabiskan harta anak
hukum pada far`u yang dituntut yatim, disebut ‘illat. Menjual harta
untuk anak yatim sifatnya juga
menetapkan hukumnya.65 mengurangi atau menghabiskan
Al-Juwayni mendefenisikan Illat harta
sebagai berikut : anak yatim tersebut. Berarti
66 ٌٗ ‫ب‬ٙ‫اٌعٍخ ٘ى اٌجبٌجخ ٌٍذىُ ثّٕبعجز‬ٚ. menjual harta anak yatim sama
Artinya: `Illat itu adalah sesuatu sifatnya (‘illatnya)
yang melahirkan ketentuan hukum dengan makan harta anak yatim.
karena Dengan demikian menjual harta
keserasiannya bagi ketentuan anak yatim
hukum tersebut. hukumnya haram menurut Qiyas”.
Menurut al-Ghazali, bahwa `illat itu 68
adalah sifat yang berpengaruh Alquran dan hadis secara eksplisit
terhadap tidak pernah membicarakan qiyas,
adanya hukum dengan sebab namun
ditetapkan Allah, sedangkan sebagaimana diketahui, bahwa
menurut al-Syafi`i, `illat keduanya adalah sumber hukum
utama yang sifatnya
terbatas dan hanya memuat kansep- adalah ijtihad, termasuk
konsep umum dalam rangka menganalogikan peristiwa yang
menjawab setiap tidak ada nasnya kepada
persoalan yang muncul. Keduanya yang ada nasnya dengan persamaan
memberi peluang bagi para `illat70
mujtahid untuk .
melakukan ijtihad dengan qiyas. G. Dalil hukum Ghairu Muttafa`
Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa` (tidak disepakati) a. Istihsan
(4:59) yang berbunyi : Sebelum lebih lanjut membicarakan
‫ي‬ٛ‫ا اٌشع‬ٛ‫اؽٍع‬ٚ ‫ا ٍ٘ال‬ٛ‫ا اؽٍع‬ِٕٛ‫ب اٌزٌٓ ا‬ٌٙ‫ٌب‬ istihsan, perlu diutarakan
‫ٖ اٌى‬ٚ‫ٌى اأٌّش ِٕىُ فبْ رٕبصعزُ فً شٍئ فشد‬ٚ‫ا‬ٚ pengertian
‫ٍ٘ال‬ metode ijtihad. Metode ijtihad
‫َ اأٌخش رٌه‬ٌٍٛ‫ا‬ٚ ًٍ٘‫ْ ثب‬ِٕٛ‫ي اْ وٕزُ رؤ‬ٛ‫اٌشع‬ٚ adalah jalan yang ditempuh
‫ٌبي‬ٚ‫ادغٓ رؤ‬ٚ ‫خٍش‬. seseorang mujtahid dalam
Artinya: Hai orang-orang yang memahami, merencanakan dan
beriman taatilah Allah dan taatilah merumuskan suatu hukum syara’
rasul dan amaly. Ada
pemimpin-pemimpin diantara beberapa macam metode ijtihad
kamu. Jika kamu berlainan pendapat sebagai hasil rumusan mujtahidin.
tentang Ada metode
sesuatu, maka kembalikanlah ia ijtihad yang merupakan ciri khas
kepada Allah (Alqur`an) dan Rasul seseorang mujtahid yang tidak
(al- digunakan oleh
Hadis) jika kamu benar-benar mujtahidin lainnya, sehingga
beriman kepada Allah dan hari berimplikasi munculnya perbedaan
kiamat. Yang hasil ijtihad antara
demikian itu lebih utama bagimu seorang mujtahid dengan mujtahid
dan lebih baik akibatnya. lainnya.
Kata-kata " ٖٚ‫ي ٍ٘ال اٌى فشد‬ٛ‫اٌشع‬ٚ " Metode ijtihad lazim digunakan dan
mengandung arti, mengembalikan dipandang sebagai metode ijtihad
semua yang
peristiwa yang muncul kepada paling tinggi kualitasnya dan
Alqur`an dan hadis meliputi digunakan hampir semua ulama
berbagai cara, termasuk fikih adalah qiyas.
dengan menghubungkan suatu Metode-metode ijtihad itu cukup
peristiwa yang tidak ada nas banyak, yaitu istihsan, maslahat
hukumnya karena ada mursalah, istishab,
kesamaan `illat. Hal ini ‘ urf, saddu al-zari’ah, qaul al-
menunjukkan bahwa sebenarnya sahabi dan syar’u man qablana.
Alquran maupun hadis telah 71
menjawab segala persoalan yang Istihsan menurut lughawi berarti
muncul baik secara tekstual memperhitungkan sesuatu lebih
maupun isyarat.69 baik atau
Disamping itu, hadis juga mencari yang lebih baik untuk
menggambarkan praktek qiyas diikuti. Secara istilah, istihsan
melalui ijtihad. menurut pendapat Ibnu
Seperti peristiwa Muaz bin Jabal Subki adalah beralih dari
ketika diutus Rasul ke Yaman. penggunaan suatu qiyas kepada
Sebagaimana qiyas lain yang lebih kuat
disebutkan, salah satu landasan dari padanya. Menurut pendapat
menetapkan hukum disamping asy-Satibi dari Malikiyyah adalah
Alquran dan hadis menggunakan
kemaslahatan yang bersifat juz`i lain.
sebagai pengganti yang bersifat 73
kulli. Sedangkan Ulama-ulama Hanafiyah mengakui
Ibn Qudamah dari Hanabilah istihsan sebagaimana Abu Hanifah
menyatakan, “sesuatu yang banyak menggunakan istihsan.
dianggap lebih baik oleh Ulama-ulama Malikiyah
seorang mujtahid berdasarkan berpendapat bahwa istihsan
pendapat akal”. Al-Ghazali adalah dalil yang kuat sebagaimana
mengatakan “semua hal Imam Malik banyak berfatwa
yang dianggap baik oleh mujtahid menggunakan
menurut akalnya. istihsan.
72 74 Tetapi al-Jalal dan al-Mahalli
Dilihat dari sisi dalil yang menyatakan bahwa istihsan diakui
digunakan, istihsan terbagi tiga oleh Abu
macam, yaitu: Hanifah, tetapi ulama-ulama lain
1. Beralih dari qiyas jali kepada mengingkarinya termasuk golongan
qiyas khafi karena dipandang lebih Hanabilah.
tepat. Contoh: Adapun ulama-ulama Syafi’iyah
mewakafkan sebidang tanah yang di telah masyhur tidak mengakui
dalamnya ada jalan dan sumber air, istihsan, dan tidak
apakah menggunakannya sebagai dalil.
dengan semata mewakafkan Bahkan Imam Syafi’i berkata:
sebidang tanah tersebut termasuk “barang siapa
jalan dan sumber menggunakan istihsan berarti ia
airnya? Menurut qiyas jali telah membuat syariat”75
disamakan dengan akad jual beli, b. Istishab
berarti tidak Istishab menurut etimologi berarti
termasuk jalan dan sumber air. “selalu menemani”; selamanya
Namun lebih tepat disamakan menyertai.
dengan sewa-menyewa (qiyas khafi, Menurut terminologi istishab adalah
karena persamaan ‘illatnya lemah) “mengukuhkan apa yang pernah
sehingga jalan dan ada” (definisi
sumber air termasuk dalam akad. ini dikemukakan oleh Mhd. Rida
2. Beralih dari pengertian umum Muzaffan dari kalangan Syi’ah).
yang dituntut suatu nas kepada Menurut asy-
hukum yang Syaukani istishab adalah “apa yang
bersifat khusus. Contoh: sanksi pernah berlaku secara tetap pada
hukum terhadap pencuri. Menurut masa lalu, pada prinsipnya tetap
nas (surah al- berlaku pada masa akan datang”.
Maidah ayat 37), sanksi hukumnya 76 Sedangkan menurut asy-Syatibi,
adalah potong tangan. Namun bila istishab adalah “segala keputusan
pencurian yang telah ditetapkan pada masa
itu dilakukan pada musim lalu, hukumnya
kelaparan, maka tidak dikenakan tetap berlaku pada masa sekarang.”
hukum potong 77
tangan. Ulama Hanafiyah menyatakan
3. Beralih dari hukum yang bersifat sebenarnya istishab itu hanyalah
umum kepada hukum pengecualian. untuk
Contoh: mempertahankan berlakunya
Islam melarang memperjualbelikan hukum yang telah ada, bukan
sesuatu yang tidak dilihat. Namun menetapkan hukum yang
berdasarkan istihsan dibolehkan baru. Dengan demikian istishab
seperti jual beli saham, muzara’ah dapat dijadikan dasar hujjah
dan lain- sebagaimana digunakan
sebagian besar pengikut mazhab Maslahat mursalah secara lughawi
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan berarti manfaat atau kebaikan yang
Zahiri. tidak
Menurut Ibn qayyim istishab terbagi ada nasnya. Maslahat mursalah
tiga bentuk, yaitu: secara istilah adalah:
1. Istishab al-bara`ah al-asliyah, 1. Menurut asy-Syaukani: maslahat
berarti bersih atau bebas dari beban yang tidak diketahui apakah syara’
hukum yakni menolaknya atau
pada dasarnya seseorang bebas dari memperhatikannya.
beban hukum, kecuali ada petunjuk 2. Menurut Ibn Qudamah: maslahat
berlakunya beban hukum kepada yang tidak ada petunjuk tertentu
yang bersangkutan. membatalkanya dan
2. Istishab al-sifat, yakni memperhatikanya.
mengukuhkan berlakunya hukum 3. Menurut Abdul Wahab Khallaf:
pada suatu sifat baik maslahat yang tidak ada dalil syara’
memerintahkan maupun melarang, untuk
sampai sifat tersebut mengalami mengakuinya atau menolaknya
perubahan (Syarifuddin, 1997:333-334).
yang mengakibatkan berubahnya 4. Menurut Ibn Taimiyyah dalam
hukum. artikelnya yang dikutip Muhammad
3. Istishab hukmi al-ijma’, yakni Abu
mengukuhkan pemberlakuan Zahrah 79 “sesuatu yang dipandang
hukum yang oleh mujtahid sebagai perbuatan
ditetapkan berdasarkan ijma’. yang
78 sarat dengan manfaat dan tidak ada
ketentuan syara’ yang
Contoh-contoh hukum berdasarkan menafikannya.
istishab: Imam Malik dan pengikutnya
1) Seorang laki-laki “A” beristri “B”, menggunakan maslahat mursalah
kemudian berpisah tempat cukup sebagai
lama. metode ijtihad. Sebagian ulama
Karena cukup lama, “B” ingin kawin Hanafiyah dan Syafi’iyah juga
dengan “C”. Berdasarkan istishab, menggunakan
“B” maslahat mursalah (penjelasan Ibn
masih tetap istri “A”, dan “B” tidak Qudammah dari Hanabilah).
boleh kawin dengan “C”. Sementara al-
2) Seseorang yang telah berwudu’, Ghazali sebagai pengikut Imam
wudu’nya tetap berlaku sampai dia Syafi’i menyatakan bahwa ia
yakin menerima penggunaan
telah batal. maslahat mursalah dengan syarat
3) Pemilikan harta bagi seseorang menyangkut kebutuhan pokok
tetap berlaku selama tidak ada bukti dalam kehidupan
kepemilikannya telah beralih dan menyeluruh secara kumulatif.
kepada orang lain. 4) Dihalalkan Sedang menurut para ulama
bagi manusia makan apa saja yang Hanabilah, maslahat
ada di muka bumi ini (surah mursalah tidak memiliki kekuatan
al-Baqarah ayat 29), kecuali ada hujjah dan tidak boleh melakukan
dalil yang mengatakan haram. Maka ijtihad melalui
berdasarkan istishab, kita boleh metode ini.
makan apa saja kecuali ada dalil Dapat dilihat bahwa dalam
yang penggunaan maslahat mursalah ada
mengatakan tidak halal dimakan. yang pro dan
c. Maslahat Mursalah ada yang kontra. Menurut al-Amidi
kelompok yang menolak adalah
golongan mayoritas (jumhur). Perlu lengkapnya Alquran dan Sunnah,
ditegaskan bahwa lapangan padahal Alquran dan Sunnah sudah
maslahat mursalah adalah lengkap
mu’amalah dan adat. Ada beberapa meliputi semua hal.
argumentasi para ulama yang 2. Mengamalkan sesuatu yang tidak
menggunakan memperoleh pengakuan tersendiri
maslahat mursalah antara lain: dari nas
1. Ada persetujuan Rasulullah berarti menuruti kehendak hati dan
menurut penjelasan Mu’az bin Jabal, kemauan hawa nafsu. 3.
boleh Menggunakan maslahat dalam
menggunakan ra`yu (daya nalar) ijtihad tanpa nas berarti bebas
bila tidak menemukan ayat-ayat menetapkan
Alquran dan hukum, hal ini dilarang dalam Islam.
Sunnah dalam menyelesaikan kasus 4. Bila dibolehkan berijtihad dengan
hukum. maslahat yang tidak mendapat
2. Telah cukup meluas di kalangan dukungan dari
sahabat tentang penggunaan nas, besar kemungkinan terjadi
maslahat mursalah, perubahan hukum syara’ karena
seperti pencetakan mata uang pada perubahan
masa Umar bin Khattab; penyatuan waktu dan tempat, atau karena
qira`ah berlainan tinjauan seseorang
Alquran zaman Usman; memerangi dengan orang lain,
orang-orang yang tidak sehingga tidak ada kepastian
mengeluarkan zakat hukum. Hal ini tidak sejalan dengan
masa Abu Bakar; dan prinsip hukum
diberlakukannya azan dua kali pada syara’ yang bersifat universal dan
zaman Usman. meliputi semua umat Islam.
3. Apabila maslahat sesuatu sudah d. Saddu al-Zari’ah
cukup nyata dan sesuai dengan Saddu berarti penghalang,
maksud hukum penghambat, penutup. Zari’ah
syara’ maka menggunakan maslahat berarti jalan. Saddu
mursalah berarti memenuhi tujuan zari’ah berarti penghalang atau
syara’. penutup jalan.
Sebaliknya bila tidak digunakan 80
berarti melalaikan tujuan hukum Menurut Ibn Qayyim, istilah al-
syara’. zari’ah diartikan dengan “apa-apa
4. Bila tidak boleh menggunakan yang menjadi perantara dan jalan
maslahat mursalah sebagai metode kepada sesuatu”.
ijtihad, dalam Menurut Badran al-zari’ah adalah
masalah tertentu akan menjadikan “sesuatu yang menyampaikan
umat dalam kesulitan, padahal Allah kepada yang
menghendaki kemudahan bagi terlarang yang mengandung
hamba-Nya. kerusakan.”
Ulama-ulama yang menolak 81
maslahat mursalah sebagai metode Perlu dikemukakan bahwa menurut
ijtihad, Ibn Qayyim, zari’ah itu ada dua
mengemukakan beberapa alasan, macam,
antara lain: yaitu bertujuan kepada yang
1. Sesuatu yang tidak ada petunjuk dilarang dan bertujuan kepada yang
syara’ membenarkannya berarti dianjurkan. Yang
bukan suatu bertujuan kepada yang dianjurkan
maslahat. Mengamalkan sesuatu di disebut fathu al-zari’ah.
luar petunjuk syara’ berarti 82
mengakui kurang
Para ulama usul fikih membagi shalat Jum’at dan menggantinya
zari’ah dari dua sudut tinjauan: dengan shalat zhuhur, tetapi harus
1. Dilihat dari sisi tingkat kerusakan secara sembunyi
yang ditimbulkannya, terbagi empat supaya tidak muncul fitnah. Begitu
macam, juga boleh tidak puasa karena sakit,
yaitu: tetapi jangan
a. Membawa kepada kerusakan makan/minum di depan orang
secara pasti. Misalnya: menggali banyak. Ulama-ulama Hanafiyah dan
lobang dekat Syafi’iyah
tangga dapat, dipastikan pemilik menerima saddu al-zari’ah sebagai
rumah akan jatuh ke dalamnya. dalil hukum, bila kerusakan diyakini
b. Kemungkinan besar pasti terjadi
menimbulkan kerusakan. Contoh: atau diduga keras terjadi.
menjual anggur ke
pabrik pengolahan minuman keras.
c. Menurut kebiasaan akan
menimbulkan kerusakan. Contoh: 3. Penetapan hukum Islam didasarkan
menjual senjata kepada dalil-dalil hukum yang
kepada musuh. Jual beli secara cukup beragam, yaitu; al-Qur`an, al-
kredit, biasanya menimbulkan riba. Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, al
d. Belum tentu menimbulkan Istihsan, Maslahah al-Mursalah, al-
kerusakan tetapi dapat ‘Urf, Sadd al- Dzari’ah, al-Istishab,
menimbulkan kerusakan. Qaul al-Shahabi, dan Syar’u Man
Contoh: menggali lobang di kebun Qablana. Dalil-dalil itu perlu anda
(jarang dilalui orang) mungkin juga kuasai dan pahami agar anda
ada mampu mengistinbathkan hukum
orang yang jatuh di dalamnya Islam, atau setidaknya memahami
2. Dilihat dari sudut dampak istinbath hukum yang dilakukan
kerusakan yang ditimbulkannya oleh orang lain. Oleh karena itu
menurut Ibn Qayyim diharapkan kepada anda untuk
terbagi dua: membuat tulisan tentang dalil-dalil
a. Perbuatan itu pada dasarnya hukum dimaksud. Karena dalil-dalil
mengakibatkan kerusakan. Contoh: ini begitu banyak, anda boleh
meminum memilih 3 (tiga) di antaranya untuk
minuman keras. ditulis. Tulisan anda dibuat secara
b. Perbuatan itu pada dasarnya komprehensif sehingga dalam
boleh, tetapi dijadikan melakukan masalah yang ditulis anda betul-
yang haram. betul menguasainya ketika
Contoh: menikahi wanita yang ditanyakan tentang itu.
ditalak tiga suamianya, tujuannya JAWAB :
supaya bisa
nikah lagi dengan suami pertama
(hukumnya haram). 1. Alquran
83 Alquran dan wahyu memiliki kaitan
Saddu al-Zari’ah menurut ulama yang erat, karena
Malikiyah dan Hanabilah dapat Alquran merupakan bagian dari
diterima wahyu Allah. Menurut etimologi,
sebagai dalil hukum, sedang ulama wahyu sendiri bermakna isyarat
Hanafiyah dan Syafi’iyah dapat yang cepat (termasuk bisikan dalam
menerimanya hati dan ilham), surat, tulisan dan
dalam masalah-masalah tertentu segala sesuatu yang disampaikan
saja. Seperti, sakit dan musafir boleh kepada orang lain untuk diketahui.
meninggalkan Sedangkan secara istilah wahyu
adalah pengetahuan seseorang di ayat-ayat hukum, yakni ibadah
dalam dirinya serta diyakininya sebanyak 140 ayat, hukum
bahwa pengetahuan itu datang dari keluarga sebanyak 70 ayat, ekonomi
Allah baik dengan perantara atau dan kontrak sebanyak 70
tanpa perantara.2 ayat, pidana sebanyak 30 ayat,
Untuk definisi Alquran, meskipun peradilan sebanyak 13 ayat, hak
berbagai kalangan dan kewajiban warga negara 10
memberikan definisi yang berbeda- ayat, hubungan ummat muslimin
beda, namun tidak memiliki dengan non-muslim sebanyak 25
perbedaan yang begitu berarti. ayat, hubungan kaya dengan
Secara bahasa quran berasal dari miskin sebanyak 10 ayat.6
kata d. Dari ayat-ayat hukum tersebut
qira‟ah, yakni masdar dari kata hanya 80 ayat saja yang secara
qara‟a, qira‟atan, qur‟anan. eskplisit menggunakan kata
Sebagaimana firman Allah dalam QS. hukum.7
al Qiyamah:17-18. e. Sanksi dari pelanggaran hukum-
hukum yang ditetapkan oleh
Alquran adalah bersifat moral,
hanya ada beberapa yang bersifat
konkrit seperti potong tangan dan
rajam.
f. Dalam beberapa ayat, seperti pada
“Sesungguhnya atas tanggungan pelarangan riba‟, substansi
Kamilah mengumpulkannya (dalam pelarangannya adalah larangan
dadamu) dan (membuatmu pandai) mengambil keuntungan dari
membacanya, Apabila Kami kesusahan orang lain, bukan
telah selesai membacakannya maka pelarangan perlipatan jumlah secara
ikutilah bacaannya itu.” eksplisit.
3 Melihat beberapa hal di atas, maka
Adapun secara istilah yang banyak akan terasa sejalan
disepakati oleh para dengan apa yang diungkapkan oleh
ulama Alquran adalah kalam Allah Ahmad an Na‟im bahwa
yang bernilai mukjizat yang Alquran bukanlah kitab hukum
diturunkan kepada nabi Muhammad maupun kitab kumpulan hukum.
Saw., dengan perantaraan Namun akan lebih pantas bila
malaikat Jibril yang tertulis dalam dikatakan sebagai kitab petunjuk
mushhaf, diriwayatkan secara untuk standar moral prilaku
mutawatir, yang membacanyanya manusia, daripada dikatakan
dinilai ibadah, diawali dengan sebagai
surat al Fatiha dan dan diakhiri kitab penetapan hak dan kewajiban
dengan surat an-Nas.4 seseorang.8
Setelah menjelaskan definisi 2. Sunnah Sebelum dijelaskan lebih
Alquran baik secara bahasa jauh tentang sunnah, maka ada
maupun istilah, maka ada beberapa baiknya dijelaskan terlebih dahulu
hal yang perlu untuk digaris beberapa istilah lain yang
bawahi terhadap soal Alquran, memiliki kemiripan dengan istilah
yakni: sunnah, agar dapat terlihat
a. Alquran tidak tersusun atas perbedaan diantaranya, meskipun
masalah-masalah hukum. b. hal tersebut sebenarnya berbeda.
Legislasi Alquran bersifat prinsip a. Khabar: Khabar menurut bahasa
umum.5 berarti an-Naba‟ (berita). Yaitu
c. Dari keseluruhan ayat Alquran, segala berita yang disampiakan oleh
hanya 5,8 % saja yang merupakan seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut terminologi mudawwin, yaitu orang yang
khabar lebih bersifat umum membukukan Hadis.
dibanding Hadis, yakni sesuatu yang Sunnah yang merupakan kata
datang dari Nabi saw atau bahasa Arab berakar dari kata
orang selain Nabi.9 Ulama lain kerja sanna-yasunnu-sunnatan,16
mengatakan bahwa khabar adalah yang berarti jalan yang sering
suatu berita yang datang dari selain dilalui, adat-istiadat, kebiasaan,
Nabi, sedangkan Hadis adalah tradisi. Konsep dari arti sunnah ini
berita yang bersumber dari Nabi.10 secara bahasa adalah sesuatu yang
b. Atsar. Secara bahasa, atsar sama sering dikerjakan dan telah
artinya dengan khabar. Secara mapan.17
istilah Asar merupakan segala Makna sunnah dalam bentuk yang
sesuatu yang disandarkan kepada asli inilah yang selalu
sahabat dan tabi‟in yang terdiri dari dipahami kaum Muslimin secara
perkataan dan perbuatan.11 konseptual dan teori. Tetapi bagi
Ulama Khurasan berpendapat para Muhaddisin, „sunnah Nabi‟
bahwa atsar dipakai untuk yang dipahami sebagai segala informasi
mauquf dan khabar untuk yang "verbal" mengenai diri Nabi baik
marfu‟. berupa perkataan, perbuatan,
12 sikap, sifat-sifat alamiah (khalqiyah)
c. Sanad. Sanad menurut bahasa dan etik (khulqiyah), baik
berarti mu‟tamad, yaitu tempat yang terjadi sesudah (telah diangkat
bersandar, tempat berpegang yang menjadi Nabi), atau
dipercaya. Dikatakan sebelumnya.18
demikian, karena Hadis itu Selain kata sunah, terdapat istilah
bersandar kepadanya dan dipegangi lain yang kerap kali
atas kebenarannya. Sedangkan digunakan dan bahkan terkadang
menurut istilah, sanad adalah terkesan seperti sinonim dari
jalannya matan, yaitu silsilah para kata sunnah, yakni Hadis. Kata
perawi yang meriwayatkan Hadis berasal dari bahasa Arab; al-
matan dari sumbernya yang ¥adi£ jamaknya:al-a¥adi£, al-
pertama.13 Yang dimaksud dengan ¥id£an dan al-¥ud£an.. secara
silsilah adalah susunan atau bahasa memiliki banyak arti di
rangkaian orang-orang yang antaranya:
menyampaikan materi Hadis a. al-Jadid (yang baru), lawan dari
tersebut, mulai dari yang pertama al-qadim (yang lama). b. al-Khabar
sampai kepada Nabi saw.14 (kabar atau berita)19, seperti “ma
d. Matan. Matan menurut bahasa yuta¥adda£u bihi
adalah sesuatu yang keras dan wa yunqalu” sesuatu yang
tinggi (terangkat) dari bumi. dipindahkan dari seseorang kepada
Sedangkan secara istilah, matan seseorang, sama maknanya dengan
berarti lafaz-lafaz Hadis yang di “¥adi£ul” dari makna inilah
dalamnya mengandung makna- diambil perkataan “hadis
makna tertentu.15 Dengan demikian rasulullah”.
matan adalah lafaz Hadis itu 20
sendiri. c. al-Qarib (yang dekat, yang belum
e. Rawi. Rawi adalah orang yang lama terjadi), seperti dalam
meriwayatkan atau orang yang perkataan “hadisul ahli bil Islam”
memberikan Hadis. Defenisi lain orang yang baru memeluk
mengatakan, bahwa rawi adalah agama Islam.
orang yang menerima Hadis Namun tidak selamanya apa yang
kemudian menghimpunnya dalam dikatakan Hadis hanyalah
satu kitab tadwin. Seorang rawi yang melengkapi perbuatan-
dapat juga disebut sebagai perbuatan pada Rasul semata.
Kalangan ulama seperti at-Tibby generasi setelahnya diturunkan
berpendapat bahwa, Hadis itu derajatnya sebagai sumber hukum
melengkapi sabda Nabi, perbuatan Islam yakni sebagai sumber ketiga.
dan taqrir beliau, melengkapi Semuanya diakumulasi dalam
perbuatan-perbuatan sahabat Nabi, ijmak.
sebagaimana pula melengkapi Meskipun ijmak telah diterima
perkataan, perbuatan al-tabiin sebagai sumber hukum Islam
disebut juga dengan Hadis. Sebagai sejak masa dini, akan tetapi masih
bukti telah dikenal dengan istilah banyak perdebatan di dalamnya,
Hadis marfu‟, mawquf, dan baik terkait defenisi, cakupan dan
maqtu.‟ batasan. Kontroversi ini
21 merupakan akibat dari tidak
Sebagian ulama berpendapat bahwa memadainya perangkat metodologi
kata Hadis dan sunnah yang mengantarkan ummat Islam
memiliki pengertian yang sama, kepada ijmak ke berbagai masalah.
yaitu sama-sama segala berita yang Kritiik modern terhadap ijmak
bersumber dari Nabi saw baik menyatakan bahwa defenisi ijmak
berupa perkataan, perbuatan telah gagal untuk menjadi jalan
maupun taqrir Nabi. Pendapat lain keluar untuk berbagai persoalan
mengatakan bahwa pemakaian karena terlalu lamban. Kritik awal
kata Hadis berbeda dengan sunnah. ijmak diajukan oleh ad-Dahlaw³
Kata Hadis dipakai untuk yang berpendapat ijmak seharusnya
menunjukkan segala berita dari merupakan relativitas. Dengan
Nabi secara umum. Sedang kata kata lain ijmak bukanlah konsensus
sunnah dipakai untuk menyatakan bersama tapi hanya berupa
berita yang bersumber dari Nabi kesepakatan orang atau institusi
yang berkenaan dengan hukum yang berwenang di sebuah tempat
syara‟. Atau dengan kata lain saja. Iqbal juga berpendapat bahwa
sunnah lebih kepada hasil deduksi sungguh mengherankan kenapa
hukum yang bersumber dari ijmak ini tidak menjadi otoritas
Hadis. Jadi Hadis adalah media sebuah institusi yang mapan.
pembawa sunnah. Klaim ini dapat Apakah ijmak harus bersyarat
dibuktikan dengan istilah uswah kesepakatan bulat adalah
yang dikatagorikan sebagai masalah yang sungguh berat yang
sunnah.22 dihadapi ijmak dengan defenisi
3. Ijmak yang beredar sekarang. Banyak
Seperti yang disinggung alasan untuk menyatakan bahwa
sebelumnya, adalah mengherankan ijmak tidak akan pernah tercapai
untuk memasukkan ijmak ke dalam dan bahkan tidak perlu ada. Para
sumber hukum. Karena ijmak mujtahid cukup untuk mengkaji
sebagaimana yang dipahami dalam sumber-sumber hukum dengan
literatur-literatur filsafat hukum metode lain yang layak.25 Beberapa
Islam hanyalah metode dalam tokoh yang berpendapat bahwa
mengambil keputusan hukum. Akan ijmak tidak akan mungkin
tetapi posisi ijmak sebagai sumber terpastikan ada adalah seperti an-
hukum menjadi jelas seperti yang Na§§±m, A¥mad b. ¦anb±l dan
dikemukakan oleh Ahmad an- beberapa tokoh az-¨±hir³.³ Mereka
Naim.23 lebih cenderung untuk menyatakan
Pengertian ijmak sebagai sumber ijmak sebagai konsensus para
hukum harus dipahami sahabat dan penduduk Madinah.
dari konsep awal ijmak tersebut. Dengan begitu memang ijmak
Ketika sunnah dikonotasikan dapat diterima sebagai sumber
dengan sunnah Nabi, maka tradisi hukum. Menurut al- Ghazali³ hanya
hidup sahabat dan beberapa
surah an-Nisa ayat 15 yang bisa sumber hukum ataukah metode
dijadikan dalil. Memang gagasan adalah permasalahan yang jarang
ijmak ini muncul dari konsep dikaji. Banyak literatur filsafat
persatuan masyarakat Arab dalam hukum Islam hanya menyebutnya
masalah politik sebagai sumber, ada juga yang
Lebih dasar lagi, bahkan dasar ijmak menyatakannya sebagai teknik, tapi
tidak bisa dibuktikan mengkajinya dalam bab yang sama
dengan jelas dan kuat. Semua dalil- dengan sumber hukum.
dalil ijmak lebih condong kepada Penulis tidak meragukan bahwa
perpaduan dan kesatuan ummat qiyas adalah metode
bukan dalam masalah memutskan pengambilan hukum. Qiyas ini baru
hukum. Selain itu ternyata tidak ada bisa menjadi sumber hukum
defenisi yang jelas tentang bila yang dimaksud adalah hasil
konsep ijmak, ummat dan jama‟ah deduksi dari qiyas tersebut. Akan
pada masa awal.26 tetapi itu tidak mungkin. Seorang
Bila ijmak didefenisikan sebagai mujtahid tidak bisa mengambil
kesepakatan bulat mujtahid hukum baru dari hasil deduksi
muslim dari suatu priode setelah qiyas, ia harus berqiyas kembali dari
wafatnya Muhammad, maka tidak Alquran atau Sunnah.
ada alasan yang tepat untuk Maslahah Mursalah
memasukkannya sebagai sumber 1. Definisi Maslahah Mursalah
hukum, ia lebih kepada metode Tujuan diturunkannya syariat Islam
pengambilan hukum. yaitu untuk mencapai maslahah
Meskipun banyak persoalan yang bagi seluruh umat manusia serta
menyoal ijmak, bertujuan untuk menghilangkan
sumbangannya terhadap kerusakan.
perkembangan hukum Islam Artinya: "Dan tiadalah kami
sungguh mengutus kamu, melainkan
besar. Ia tidak hanya dianggap (menjadi) rahmat
sebagai sumber hukum akan tetapi bagi semesta alam" (QS al-
juga sebagai dalil intrepretasi.27 anbiya:107)
4. Qiyas Sumber yang sering Kemaslahatan yang diberikan oleh
ditempatkan sebagai sumber ke- Allah dinamakan masalihul
empat mu'tabarah seperti hukuman rajam
adalah Qiyas. Qiyas merupakan bagi pezina, hal ini bertujuan agar
perluasan dari hukum yang ada. kehormatan manusia terpelihara.
Qiyas merupakan wadah bagi akal Sedangkan kemaslahatan yang
dalam sebagai peran dalam timbul oleh
pengambilan hukum. Qiyas ini pada kondisi setempat dinamakan
mulanya merupakan ikatan dan maslahatul mursalah seperti
batasan terhadap penggunaan ra‟yu perkawinan yang
yang telah marak hingga zaman harus dicatatkan.17
Syafi‟i. ³ Dengan tujuan Menurut istilah maslahah yaitu
menyandarkan hukum kepada manfaat. Mursalah yaitu lepas. Oleh
Alquran karena itu maslahah mursalah yaitu
maupun sunnah, maka qiyas inipun maslahah yang lepas dari dalil yang
diatur dalam sistem metode khusus.18 Sedangkan menurut ahli
pengambilan hukum.28 Ijmak dan ushul maslahah mursalah
qiyas merupakan sumber hukum merupakan
yang disepakati pada abad ke-2 dan kemaslahatan yang tidak ditetapkan
3 H. hukumnya oleh syara' dan tidak ada
Seperti disinggung sebelumnya, dalil
apakah qiyas memang
yang melarang maupun c. Apa yang di anggap baik oleh akal,
mewajibkannya.19 Selain itu, ada dan senafas dengan tujuan syara’,
beberapa macam tidak
definisi maslahah mursalah terdapat petunjuk syara’ secara
menurut ulama ushul fikih, yaitu: khusus yang menolaknya, dan tidak
a. Maslahah mursalah menurut ada
Amin Abdullah yaitu menetapkan petunjuk syara’ yang mengaturnya.
hukum 2. Kehujjahan Maslahah Mursalah
pada suatu masalah yang tidak Diantara ulama ahli fikih terdapat
disebutkan ketentuannya dalam Al- perbedaan pendapat mengenai
Qur’an maslahah mursalah yang dijadikan
maupun Sunnah. Penetapan ini di sebagai sumber hukum. Golongan
lakukan sebagai upaya mencari Madzab
kemaslahatan dan menolak Hanafi tidak menerima maslahah
kerusakan dalam kehidupan mursalah sebagai upaya penetapan
manusia.20 hukum,
b. Menurut Dr. Nasrun Rusli, akan tetapi golongan ini
maslahah mursalah yaitu suatu menerapkan konsep istihsan.
upaya dalam Sedangkan Madzhab Syafi'i tidak
menetapkan hukum yang secara tegas menerima maupun
berdasarkan atas kemaslahatan, dan menolak maslahah mursalah,
tidak namun ia mengatakan bahwa apa
ditetapkan hukumnya dalam nash saja yang tidak memiliki rujukan
maupun ijma, serta tiada penolakan nash maka
atasnya secara tegas, akan tetapi tidak dapat di terima sebagai dalil
kemaslahatan tersebut di dukung hukum. Madzhab Syafi’i dan hanafi
oleh dasar syari’at yang bersifat menganggap bahwa maslahah
umum dan pasti yang sesuai dengan mursalah dapat menjadi sumber
tujuan hukum apabila
syara’. ditemukan nash yang menajadi
21 acuan untuk qiyas.24 Selanjutnya
c. Selain itu menurut Dr. Muhammad golongan
Yusuf Musa maslahah mursalah Imam Malik dan Hambali
yaitu berpendapat bahwa maslahah
segala kemaslahatan dengan mursalah dapat
menarik manfaat atau menolak menjadi sumber hukum apabila
keburukan dan memenuhi syarat.25 Mereka
tidak ada ketentuan syari' yang menganggap,
mendukung maupun bahwa maslahah mursalah
menolaknya.22 merupakan deduksi logis terhadap
Berdasarkan beberapa uraian sekumpulan
diatas, maka dapat di tarik nash, bukan dari nash yang
kesimpulan terperinci seperti yang berlaku
tentang hakikat dari maslahah dalam qiyas.26
mursalah, yaitu:23 Menurut Mazhab Maliki maslahah
a. Sesuatu yang di anggap baik oleh mursalah dijadikan sebagai sumber
akal, dengan pertimbangan dapat fikih
mendatangkan kebaikan dan karena:
menghindarkan dari keburukan. a. Kemaslahatan manusia selalu
b. Sesuatu yang di anggap baik oleh barubah setiap waktu, oleh karena
akal harus selaras dengan tujuan itu
syara’ Mukallaf akan mengalami kesulitan
dalam menetapkan hukum. apabila dalam suatu kasus tidak
mengambil dalil maslahah.
b. Merealisasikan maslahah berarti pendekatan konvensional, karena
juga merealisasikan maqosid as- kita akan kesulitan untuk
syari' menemukan dalil
karena maslahah sesuai dengan nash ataupun petunjuk syara’ dari
tujuan syari'. Oleh karena itu jika kasus tersebut. Untuk kasus
mengabaikan maqashid as-syari'ah tertentu,
maka batal. c. Banyak ketentuan dimungkinkan akan kesulitan
fikih yang ditetapkan oleh para menggunakan metode qiyas, karena
sahabat, tabi'in, tabi'in- tidak
tabi'in dan para ulama imam ditemukan kesamaannya di dalam
mazhab yang bersumber pada nash, mapun ijma. Sebagai upaya
maslahah27 mencari
Sedangkan alasan-alasan yang solusi terhadap permasalahan
disebutkan oleh golongan yang tersebut, maslahah mursalah dapat
tidak dijadikan
menggunakan maslahah, yaitu: sebagai salah satu alternatif dasar
a. Suatu maslahah akan mengarah berijtihad.30
pada bentuk pelampiasan nafsu
apabila 3. Syarat-Syarat Menjadikan Hujjah
tidak di topang oleh dalil khusus. Maslahah Mursalah
b. Tidak dapat dibenarkan apabila Agar maslahah mursalah tidak
ada maslahah mu'tabarah yang bertentangan dengan jiwa syariat
tidak dan
termasuk kategori qiyas. Apabila hal dapat dijadikan sumber fikih maka
ini terjadi berarti menganggap harus memenuhi 3 syarat yaitu:31
bahwa a. Maslahah tersebut bukan
nash Al-Qur'an atau Hadis terbatas. merupakan dugaan namun
c. Terjadinya penyimpangan apabila maslahah yang
dalam mengambil dalil maslahah sebenarnya,
tidak b. Maslahah digunakan untuk
berpegang pada nash. kepentingan umum bukan
d. Dapat menimbulkan perbedaan kepentingan pribadi,
hukum akibat perbedaan negara c. Maslahah tersebut tidak boleh
apabila bertentangan dengan ketentuan
dalam penggunaan maslahah nash, ijma
sebagai sumber hukum pokok yang ataupun qiyas. Sedangkan Imam
berdiri Malik mengajukan tiga syarat untuk
sendiri.28 menggunakan
Jumhur fuqaha menyepakati bahwa dalil maslahah mursalah,
maslahah dapat di terima dalam diantaranya yaitu:32
fikih Islam apabila maslahah tidak a. maslahah tidak boleh
dilatarbelakangi oleh hawa nafsu bertentangan dengan tujuan-tujuan
dan tidak syari'at (maqashid
bertentangan dengan nash maupun as-syari'ah). Sesuai syarat tersebut
maqosid as-syari'. Mengingat maka maslahah harus sesuai dengan
permasalahan manusia cepat dalil yang qat'i.
berkembang dan semakin b. Maslahah harus masuk akal.
kompleks, maka umat Islam di c. Penggunaan maslahah dalam
tuntut untuk menyelesaikan rangka menghilangkan kesulitan.
permasalahan Y$Z %3WB9X ִ
tersebut. Dalam memecahkan ִ
permaslahan tersebut, tidak cukup
dengan
+ manusia.37
^ ],0ִ P*- b. Menurut Abdul Wahab Khalaf,
+ FZ[- istihsan yaitu dimaknai
\= berpindahnya
seorang mujtahid dari tuntutan
33 DV_F qiyas jali kepada qiyas khafi
Artinya:"Dan Dia tidak sekali-kali ataupun dari
menjadikan untuk kamu dalam dalil kully menuju kepada hukum
agama takhshish karena adanya dalil yang
suatu kesempitan" (QS. Al-Hajj:78) menyebabkan menyalahkan
Kemudian para ulama pikirannya, serta mementingkan
mengemukakan empat pandangan perpindahan.38
terkait Hakekatnya qiyas berbeda dengan
maslahah mursalah, yaitu: istihsan. Dalam qiyas terdapat
a. Maslahah mursalah harus dua peristiwa yaitu peristiwa yang
berdasarkan pada sumber pokok telah ditetapkan hukumnya
(asl) yang kuat, berdasarkan
seperti Al-Qur'an dan Hadist. nash dan peristiwa yang belum
b. Maslahah mursalah harus sesuai diketahui hukumnya. Apabila kedua
dengan maqashid as-syari'ah dan asl peristiwa tersebut memiliki illat
yang yang sama, maka berlakulah hukum
kuat. pada
c. Maslahah mursalah di terima jika peristiwa yang belum diketahui
mendekati makna ashl yang kuat. hukumnya. Sedangkan dalam
d. maslahah mursalah merupakan istihsan,
dharurat yang pasti (qath'iy) hanya terdapat satu peristiwa
ataupun kejadian. Pada awalnya
Istihsan peristiwa
1. Pengertian Istihsan tersebut telah ditetapkan hukumnya
Secara etimologi, istihsan yaitu berdasarkan nash, akan tetapi ada
menilai sesuatu sebagai baik.35 nash
Sedangkan istihsan menurut istilah yang lain yang mengharuskan untuk
ulama ushul fikih yaitu meninggalkan hukum yang telah
meninggalkan ditetapkan, sekalipun dalil pertama
hukum yang sudah ditetapkan pada di anggap kuat, tetapi kepentingan
suatu peristiwa ataupun kejadian menghendaki perpindahan hukum
yang tersebut.39
ditetapkan oleh dalil syara', menuju 2. Macam-Macam Istihsan
hukum yang lain dari peristiwa Ditinjau berdasarkan pengertian
ataupun istihsan yang telah dikemukakan,
kejadian tersebut, karena ada suatu pada pokoknya istihsan dapat
dalil syara' yang mengharuskan agar terbagi menjadi dua bagian, yaitu:40
meninggalkannya (sandaran a. Mengedepankan qiyas khafi (tidak
istihsan).36 Selanjutnya di bawah jelas) dari qiyas jali (jelas), karena
ini terdapat adanya dalil yang mengharuskan
beberapa definisi yang pemindahan itu, Istihsan dalam
dikemukakan ulama, antara lain: bentuk
a. Menurut Nasrun Rusli, istihsan ini, disebut dengan istihsan qiyasi.
yaitu meninggalkan qiyas dan Contoh: Sisa makanan pada
mengamalkan yang lebih kuat dari binatang yang haram di makan
pada itu, hal ini terjadi karena berdasarkan
adanya qiyas adalah najis, karena dengan
dalil yang menghendakinya, dan jalan qiyas dijelaskan bahwa sisa
lebih sesuai dengan kemaslahatan yang
masih ada pada binatang tersebut c-
hukumnya adalah haram, karena =-
hukumnya mengikuti daging % `*-
binatang buas tersebut, seperti +
harimau, sibak 44 ^ (Q3[ִ< - (
maupun serigala. Menurut istihsan, Artinya: "sesudah dipenuhi wasiat
sisa makanan binatang buas yang yang diwasiatkannya atau sesudah
dagingnya haram di makan seperti di bayar utangnya"(QS. an-Nisa:12)
burung garuda, gagak, elang dan Sedangkan contoh istihsan istitsna'i
rajawali adalah suci, karena tidak yang bersandar pada Sunnah ialah
terjadi percampuran dengan sisa tidak batalnya puasa seseorang yang
yang makan dan minum karena lupa,
masih ada pada bintang tersebut, padahal sesuai ketentuan umum
sebab ia minum menggunakan makan dan minum membatalkan
paruh yang puasa. Ketentuan umum tersebut
suci. Sedangkan binatang buas dikecualikan oleh hadis.
seperti harimau, sibak maupun ‫هللا ٘خ س ا‬
serigala
lidahnya bercampur dengan air liur,
dan ia minum menggunakan
lidahnya,
maka sisanya adalah najis.42
b. Mengecualikan juz'iyah
(khusus/parsial) dari hukum kully
(umum) yang
didasarkan atas dalil khusus yang
menghendaki demikian. Istihsan
bentuk
kedua ini di sebut dengan istihsan
istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di
bagi
menjadi beberapa macam, yaitu:43

1) Istihsan bi an-Nashash, yaitu


suatu pengalihan hukum dari
ketentuan
umum kepada ketentuan yang lain
dalam bentuk pengecualian, hal ini
disebabkan karena adanya nash
yang mengecualikannya, baik dari
Al-
Qur'an maupun Sunnah. Contoh:
Menurut ketentuan umum, ketika
seseorang meninggal maka ia tidak
berhak lagi terhadap hartanya,
karena beralih kepada ahli
warisnya. Namun, ketentuan
tersebut
dikecualikan oleh Al-Qur'an yang
menetapkan berlakunya ketentuan
wasiat setelah seseorang meninggal.
ִ:$% ?QR-
c8
d aNbW-
-0/1 & 234 5 46
,‫ي‬ ‫ي سي هللا‬ Artinya: "Jangan jual belikan
sesuatu yang belum ada padamu".
‫ هللا‬- Berdasarkan Hadis di atas, maka
ٚ melakukan transaksi terhadap
45 -$ & ٘ٚ barang
yang belum ada adalah batal.
,%+* ‫ (ة‬ٚ‫ ا‬%-' Namun, hal tersebut boleh
dilakukan,
& karena sejak dulu praktek tersebut
%$! ‫!"اؽ‬ masih berlangsung, tanpa ada
ٖ ٚ ‫هللا‬ larangan dari ulama. Sikap ulama
Artinya:"Dari Abu Hurairah ra, tersebut di pandang sebagai ijma.
katanya, Rasulallah saw 3) Istihsan bi al-Urf yaitu suatu
bersabda:"Barangsiapa yang lupa pengecualian hukum dari prinsip
padahal ia berpuasa, syari'ah
kemudian ia makan dan minum, yang bersifat umum kepada
maka hendaklah ia ketentuan yang lainnya,
menyempurnakan puasanya, karena berdasarkan atas
sesungguhnya Allah kebiasaan yang berlaku.
sedang memberi makan dan minum Contoh: Berdasarkan ketentuan
kepadanya". umum, dalam menetapkan ongkos
2) Istihsan bi al-Ijma' yaitu suatu kendaraan umum dengan harga
pengalihan hukum dari ketentuan tertentu secara pukul rata, tanpa
yang membedakan dekat maupun
umum kepada ketentuan lain dalam jauhnya jarak yang di tempuh
bentuk pengecualian, hal ini adalah
disebabkan karena adanya terlarang. Namun, kebiasaan
ketentuan ijma yang tersebut diperbolehkan
mengecualikannya. Contoh: berdasarkan
Rasullah saw bersabda kebiasaan yang berlaku, demi
‫ن‬ menghindarkan kesulitan dan
terpeliharanya kebutuhan
masyarakat terhadap transaksi
tersebut. 4) Istihsan bi ad-Dharurah
yaitu terdapatnya keadaan darurat
untuk
mengecualikan ketentuan yang
umum kepada ketentuan lain yang
memenuhi kebutuhan dalam
mengatasi keadaan darurat.
Contoh: Menurut ketentuan umum,
hukum air sumur yang kejatuhan
najis adalah tetap najis, walaupun
dengan cara menguras airnya.
Sebab,
ketika air sumur di kuras, maka
mata air akan tetap mengeluarkan
air
yang kemudian akan bercampur
dengan air yang terkana najis.
Namun,
untuk mengahapi keadaan darurat,
maka air sumur dihukumi suci
setelah di kuras. memenangkan qiyas khafi dari qiyas
5) Istihsan bi al-Maslahah al- jali, ataupun merubah hukum yang
Mursalah yaitu mengecualikan telah ditetapkan pada suatu
ketentuan peristiwa berdasarkan ketentuan
yang belaku umum kepada umum, kepada
ketentuan lain yang memenuhi ketentuan khusus karena adanya
prinsip kepentingan yang
kemaslahatan. membolehkannya.
Contoh: Berdasarkan ketentuan Mereka mengatakan bahwa apabila
umum, tindakan hukum berupa diperbolehkan menetapkan hukum
wasiat berdasarkan qiyas jali ataupun
dari orang yang berada dibawah maslahah mursalah, maka
pengampuan merupakan perbuatan menetapkan menggunakan istihsan
hukum yang tidak sah, karena akan hakekatnya sama dengan kedua hal
mengabaikan kepentingan terhadap tersebut, hanya
hartanya. Akan tetapi demi saja namanya yang berlainan.50
kemaslahatan, maka wasiat tersebut b. Kelompok yang menolak
di menggunakan istihsan sebagai dalil
pandang sah, mengingat hukum syara' yaitu
berlakunya wasiat ketika ia wafat. Asy-Syafi'i, Zahiriyyah, Mu'tazilah,
3. Kehujjahan Istihsan dan Syi'ah. Al-Syafi'i mengatakan
Kelompok yang menggunakan bahwa barangsiapa yang berhujjah
hujjah istihsan, mayoritas adalah mengunakan istihsan, maka ia telah
ulama membuat hukum syari'at sendiri
hanafiah. Mereka menganggap bersadarkan keinginan hawa
bahwa dipakainya istihsan sebagai nafsunya,
hujjah merupakan istidlal yang sedang yang berhak menetapkan
benar, sebab penggunaan istidlal hukum syara' hanyalah Allah SWT.
dengan qiyas khafi Mereka menganggap bahwa
yang diutamakan dari qiyas jali pengunaan istihsan hanya
ataupun kemenangan qiyas dikendalikan oleh
terhadap qiyas hawa nafsu, dengan cara
yang lain yang menunut adanya mengunakan nalar murni untuk
kemenangan, atau merupakan menentang dalil
istidlal dengan syara' yang telah ditetapkan.51 Asy-
jalan maslahah mursalah terhadap Syathibi mengatakan bahwa dalam
pengecualian hukum kully.47 menetapkan hukum berdasarkan
Mengenai kehujjahan istihsan, istihsan, tidak boleh berdasarkan
terdapat pendapat ulama yang rasa dan
terbagi keinginannya saja, namun harus
dalam dua kelompok, yaitu:48 berdasarkan hal-hal yang diketahui
a. Kelompok yang berpendapat bahwa
bahwa istihsan merupakan dalil penetapan hukum tersebut sesuai
syara'. dengan tujuan Allah SWT,
Mereka adalah Mazhab Hanafi, menciptakan
Maliki, dan Mazhab Imam Ahmad syara' dan sesuai dengan kaidah
bin syara' yang umum.
Hambal. Namun, mereka berbeda 52
dalam penerapannya. Ulama Hanafi Menurut Rahman Dahlan, alasan
lebih populer menerapkan istihsan para ulama menggunakan istihsan
sebagai metode ijtihad.49 sebagai dalil syara' yaitu:53
Menurut mereka istihsan a. Mengunakan istihsan sebagai dalil
sebenarnya semacam qiyas, yaitu syara' yaitu mencari kemudahan
dengan cara dan
meninggalkan kesulitan. Allah SWT c. Rasulallah dalam menetapkan
berfirman: Artinya: "Allah hukum tidak pernah menggunakan
menghendaki kemudahan bagimu, istihsan
dan tidak yang dasarnya nalar murni,
menghendaki kesukaran bagimu". melainkan menunggu
(QS. al-Baqoroh: 185) diturunkannya wahyu.
Sebab beliau tidak pernah
Artinya: "Dan ikutilah sebaik-baik menetapkan hukum berdasarkan
apa yang telah diturunkan hawa nafsu.
kepadamu d. Landasan penggunaan istihsan
dari Tuhanmu sebelum datang azab yaitu akal, dimana kedudukan orang
kepadamu dengan tiba-tiba, yang
sedang kamu tidak menyadarinya" terpelajar dengan tidak adalah
(QS. az-Zumar: 55) sama. Apabila penggunaan istihsan
b. Ucapan Abdullah bin Mas'ud diperbolehkan, berarti setiap orang
Artinya :"Sesuatu yang dipandang boleh menetapkan hukum untuk
baik oleh kaum muslimin, maka di kepentingannya sendiri.
pandang baik oleh Allah" Dalam Al-Muwafaqat, Imam Syafi'i
Lebih lanjut Rahman Dahlan yang dinukil oleh Abdul Wahab
mengungkapkan, alasan kelompok Khalaf mengatakan bahwa orang
ulama yang menggunakan istihsan dalam
yang menolak kehujjahan istihsan, penetapan hukum tidak
yaitu: diperkenankan hanya menggunakan
a. Tidak boleh menetapkan hukum perasaan dan
yang mengikuti hawa nafsu, keinginannya saja, namun harus
melainkan disandarkan dengan tujuan syara'.
dengan berdasar pada nash. 58
Artinya:" Dan hendaklah kamu Jumhur ulama dari Madzab Maliki
memutuskan perkara di antara berpendapat bahwa, terdapat
mereka perbedaan antara istihsan dan
menurut yang diturunkan Allah, dan maslahah mursalah. Istihsan
janganlah kamu mengikuti menyangkut pada
hawa nafsu mereka" (QS. al- obyek masalah yang awalnya
Maidah:49) tunduk pada dalil qiyas, kemudian
b. Allah SWT menurunkan Al- istihsan
Qur'an, dan di samping itu ada menggantikan posisi tersebut.
Hadis Sedangkan maslahah mursalah tidak
Rasulallah SWT sebagai perinci ada dalil
hukum yang terkandung dalam Al- yang melingkupi masalah tersebut.
Qur'an.
Dengan kata lain, pengunaan Pengertian adat (‘Urf)
istihsan tidak diperlukan dalam Adat adalah suatu istilah yang
menetapkan dikutip dari bahasa Arab
hukum syara'. “’A@dah” yang artinya “kebiasaan”,
yakni perilaku masyarakat yang
Artinya: "Dan kami turunkan selalu terjadi.Selain itu, ada yang
kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menyebutkan berasal dari kata
menerankan “’urf”.
kepada umat manuasia apa yang Dengan kata ‘urf dimaksudkan
telah diturunkan kepada mereka adalah semua kesusilaan dan
dan supaya mereka kebiasaan
memikirkan".(QS. an Nahl:44) Indonesia (peraturan, peraturan
hukum dalam yang mengatur hidup
bersama).1
Di kalangan masyarakat umum melainkan bersifat universal. Di
istilah hukum adat jarang mana sifat- sifat budaya itu akan
digunakan, yang sering dipakai memiliki
adalah “adat” saja. Adat yang cirri-ciri yang sama bagi semua
dimaksud kebudayaan manusia tanpa
adalah kebiasaan yang pada membedakan
umumnya harus berlaku dalam faktor ras, lingkungan alam, atau
masyarakat pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang
bersangkutan. Misalnya dikatakan berlaku umum bagi semua budaya
adat Jawa maka yang dimaksud di manapun.5
adalah Dalam hukum Islam ada empat
kebiasaan berperilaku dalam syarat adat dapat dijadikan
masyarakat Jawa. Begitu pula pijakan hukum; pertama, tidak
dengan istilah bertentangan dengan salah satu
lainnya seperti adat Minangkabau, nash
adat Batak dan lainnya.2 shari’ah; kedua, berlaku dan
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi diberlakukan secara umum dan
berulang-ulang dengan konstan;
disengaja, dan bukan terjadi secara ketiga, tradisi tersebut sudah
kebetulan. Dalam hal ini Syaikh terbentuk bersamaan dengan saat
Shalih pelaksanaannya; keempat, tidak
bin Ghanim al-Sadlan, ulama’ terdapat ucapan atau perbuatan
wahabi kontemporer dari Saudi yang
Arabia, berlawanan dengan nilai substansial
berkata: “Dalam kitab al-Durār al- yang dikandung oleh tradisi.6
Hukkām Shaykh al-Majallat al- Melanggar tradisi masyarakat
Ahkām adalah hal yang tidak baik selama
al-‘Adliyyah berkata: “Adat (tradisi) tradisi tersebut tidak diharamkan
adalah sesuatu yang menjadi oleh agama. Dalam hal ini al-Imam
keputusan pikiran banyak orang Ibn
dan diterima oleh orang-orang yang Muflih al-Hanbali, murid terbaik
memiliki karakter yang normal”.3 Syaikh Ibn Taimiyah, berkata yang
Dalam pengertian lain, adat atau‘urf artinya:
ialah sesuatu yang telah Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab
dibiasakan oleh manusia dan al-Funūn, “Tidak baik keluar
mereka telah menjalaninya dalam dari tradisi masyarakat, kecuali
berbagai tradisi yang haram, karena
aspek kehidupan.Mayoritas ulama’ Rasulullah telah
menerima ‘urf sebagai dalil hukum, membiarkan Ka’bah dan berkata,
tetapi berbeda pendapat dalam “Seandainya kaummu tidak baru
menetapkannya sebagai dalil hukum saja
yang meninggalkan masa-masa jahiliyah.”
mustaqill (mandiri).4 Sayyidina Umar berkata:
Kendati kebudayaan atau tradisi “Seandainya orang-orang tidak akan
yang dimiliki oleh setiap berkata, Umar menambah al-Qur’an,
masyarakat itu tidak sama, seperti aku akan menulis ayat rajam di
di Indonesia yang terdiri dari dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal
berbagai meninggalkan dua raka’at sebelum
macam suku bangsa yang berbeda, maghrib karena masyarakat
tetapi setiap kebudayaan mengingkarinya. Dalam kitab al-
mempunyai Fusu@l disebutkan tentang dua
ciri atau sifat yang sama. Sifat raka’at
tersebut bukan diartikan secara sebelum maghrib bahwa Imam kami
spesifik, Ahmad bin Hanbal pada awalnya
melakukannya, namun kemudian a) ‘Urf Sha@hih atau ‘adah Sha@hih,
meninggalkannya, dan beliau yaitu ‘ādah yang berulang –
berkata, ulang dilakukan, diterima oleh
“Aku melihat orang-orang tidak banyak orang, tidak bertentangan
mengetahuinya. “Ahmad bin Hanbal dengan agama, sopan santun, dan
juga budaya luhur.
memakruhkan melakukan qadha’ b) ‘Urf fa@sid atau ‘adah fa@sid,
shalat di Mushalla pada waktu yaitu ‘a@dah yang berlaku di
dilaksanakan shalat ‘id (hari raya). suatu tempat meskipun merata
Beliau berkata, “Saya khawatir pelaksanaannya, namun
orang- bertentangan dengan agama,
orang yang melihatnya akan ikut- undang-undang negara, dan sopan
ikutan melakukannya”.7 santun. Misalnya hidup bersama
2. Macam-macam Adat (‘Urf) tanpa nikah (kumpul kebo) Tehnik
a. Ditinjau dari segi materi yang Penetapan Hukum dengan Jalan ‘Urf
biasa dilakukan, ‘urf ada dua Sebagaimana yang telah dijelaskan
macam: di atas bahwa ‘urf merupakan
a) ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang tindakan menentukan masih
berlaku dalam penggunaan kata- bolehnya suatu adat-istiadat dan
kata atau ucapan. kebiasaan
b) ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang masyarakat setempat selama
berlaku dalam perbuatan. Contoh kegiatan tersebut tidak
kebiasaan saling mengambil rokok bertentangan dengan
diantara sesama teman tanpa aturan-aturan prinsipal dalam Al-
adanya ucapan meminta dan Quran dan Hadits. Sehingga dalam
memberi, tidak dianggap mencuri. b. penetapan hukum dengan jalan ‘urf
Ditinjau dari ruang lingkup peneliti menggunakan dua cara:
penggunaannya, ‘urf dibagi menjadi a. Pertentangan ‘urf dengan nash
dua yang bersifat khusus/rinci.
macam: Apabila pertentangan‘urf dengan
a) ‘A@dah atau ‘urf umum, yaitu nash khusus menyebabkan
kebiasaan yang telah umum berlaku tidak berfungsinya hukum yang
di mana-mana, hampir di seluruh dikandung nash, maka ‘urf tidak
penjuru dunia, tanpa memandang dapat
negara, bangsa dan agama. Misalnya diterima. Misalnya, kebiasaan di
menganggukkan kepala tanda zaman Jahiliyah dalam mengadopsi
setuju dan menggeleng tanda tidak anak,
setuju. dimana anak yang diadopsi itu
b) ‘A@dah atau ‘urf Khusus, yaitu statusnya sama dengan anak
kebiasaan yang dilakukan kandung,
sekelompok orang di tempat sehingga mereka mendapat warisan
tertentu atau pada waktu tertentu apabila ayah angkat wafat. ‘urf
tidak seperti
berlaku di sembarang tempat ini tidak berlaku dan tidak dapat
waktu. Misalnya menarik garis diterima.9
keturunan dari ibu untuk b. Pertentangan ‘urf dengan nash
masyarakat Minangkabau dan garis yang bersifat umum.
keturunan dari ayah untuk Dalam kaitanya pertentangan antara
masyarakat Batak. ‘urf dengan nash yang
c. Dari segi penilaian baik dan bersifat umum apabila ‘urf telah ada
buruk, ‘urf terbagi menjadi dua ketika datangnya nash yang
macam bersifat umum, maka harus
yaitu: dibedakan antara ‘urf al-lafdzi
dengan‘urf
al-‘amali. yang berlaku; di luar itu nash yang
Pertama, apabila ‘urf tersebut bersifat umum tersebut tetap
adalah ‘urf al-lafdzi maka ‘urf berlaku
tersebut bisa diterima, sehingga c. ‘Urf terbentuk belakangan dari
nash yang umum dikhususkan nash umum yang bertentangan
sebatas dengan
‘urf al-lafdzi yang telah berlaku ‘urf tersebut
tersebut, dengan syarat tidak ada Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah
indikator yang menunjukkan bahwa datangnya nash yang
nash umum tidak dapat bersifat umum dan antara keduanya
dikhususkan oleh ‘urf. Dan terjadi pertentangan, maka seluruh
berkaitan dengan materi hukum.10 ulama fiqih sepakat menyatakan
Seperti, kata shalat, puasa, haji, dan bahwa ‘urf seperti ini baik yang
jual beli, diartikan dengan bersifat lafzhi maupun yang bersifat
makna ‘urf kecuali ada indikator ‘amali, sekalipun ‘urf itu bersifat
yang menunjukkan bahwa kata-kata umum, tidak dapat diajadikan dalil
itu dimaksud sesuai dengan arti penetapan hukum syara’, karena
etimologinya.11 Contohnya jika keberadaan ‘urf ini mucul ketika
seseorang bersumpah tidak nash syara’ telah menetukan hukum
memakan daging, tetapi ternyata ia secara umum.
memakan ikan, maka ia
ditetapkanlah dia tidak melanggar Pengertian Sadd Az|-Z|ari>’ah
sumpah, (‫(ِح َعٍذُّاٌزَّ َسط‬
menurut ‘urf, ikan bukan termasuk Sadd Az|-Z|ari>’ah terdiri dari dua
daging, sedangkan dalam arti syara’ kata, yaitu saddu (‫( ِِدَط‬artinya
ikan itu termasuk daging. Dalam hal menutup, menghalangi, dan Az|-
ini, pengertian ‘urf yang dipakai Z|ari>’ah (‫ عٍبٌزَّس‬/‫( ِح َعٍبٌزَّس‬artinya
dan ditinggalkan pengertian jalan,
menurut syara’ sehingga apabila wasilah, atau yang menjadi
hanya perantara (mediator). Secara bahasa
sebuah ucapan dan bukan termasuk Az|-Z|ari>ah
kedalam nash yang berkaitan yaitu:
dengan hukum maka yang lebih ‫ب إٌَى اٌ َّشًء‬َٙ ‫طً ث‬ َّ ََٛ ‫عٍٍَخ اٌَّزً ٌَز‬َٛ ٌ‫ا‬
didahulukan adalah ‘urf.12 Wasilah yang menyampaikan pada
Kedua, apabila ‘urf yang ada ketika sesuatu1
datangnya nash umum itu Pengertian ini sejalan dengan yang
adalah ‘urf al-‘amali, maka terdapat dikemukakan Khalid Ramad}>an
perbedaan pendapat ulama tentang Hasan:
kehujahanya. Menurut ulama’ ‫اء َوبَْ َ٘زَا اٌشَىئ‬َٛ ‫ع‬ َ ,‫طشٌك إٌَى اٌ َّشىئ‬ َّ ٌ‫ا‬َٚ ‫عٍٍَخ‬َٛ ٌَ‫ا‬
Hanafiyah, apabila‘urf al-‘amali itu َ َ
‫ َِظٍ َذخ‬ٚ‫غذَح أ‬ َ ‫َِف‬
bersifat umum, maka ‘urf tersebut Wasilah atau jalan kepada sesuatu,
dapat mengkhususkan hukum nash baik yang berupa kerusakan
yang umum, karena pengkhususan maupun
nash tersebut tidak membuat nash kebaikan.2
tidak dapat diamalkan.13 Kemudian Kata Az|-Z|ari>’ah itu didahului
menurut ulma mazab Syafi’iyah dengan Sadd yang artinya menutup,
yang dikuatkan untuk mentakhsis maksudnya menutup jalan
nash yang umum itu hanyalah ‘urf terjadinya kerusakan. Sehingga,
qauli bukan ‘urf amali.14 Dalam pengertian Sadd Az|-
pendapat ulama hanafiyah Z|ari>’ah menurut para ulama ahli
Pengkhususan itu menurut ulama us}ul fiqh, yaitu: Mencegah segala
Hanafi, hanya sebatas ‘urf al-‘amali sesuatu (perkataan maupun
perbuatan) yang
menyampaikan pada sesuatu yang kebolehan dan kemudahan
dicegah/dilarang yang mengandung sementara Sadd Az|-Z|ari>‘ah
kerusakan atau bahaya.3 merupakan
Menurut Al-Syatibi, Sadd Az|- pengecualian yang merupakan
Z|ari>’ah ialah: pencegahan.6
َ ‫ َِظٍَ َذخ اٌَى َِف‬َٛ ٘ ‫طً ث َّب‬
ٙ‫غذَر‬ َّ َٛ َّ ‫اٌز‬ Salah satu kaidah Sadd Az|-Z|ari>‘ah
Melaksanakan suatu pekerjaan yang adalah:
semula mengandung kemaslahatan ‫ع شَشعب‬َِّٕٛ ‫ؽشٌمب اٌَى شٍَئ‬
َ َٚ ‫عٍٍَخ‬َٚ ْٛ‫َِب ر َى‬
menuju pada suatu kerusakan Sesuatu yang menjadi perantara dan
(kemafsadatan)4 jalan kepada sesuatu yang terlarang
Dari beberapa pengertian di atas pada syara.7
dapat diketahui bahwa Sadd Az|- Sesungguhnya segala maksud syara’
Z|ari>’ah merupakan suatu metode yaitu mendatangkan manfaat
penggalian hukum Islam dengan kepada
mencegah, manusia dan menolak mafsadat dari
melarang, menutup jalan atau mereka, tidaklah mungkin diperoleh
wasilah suatu pekerjaan yang kecuali
awalnya dibolehkan dengan melalui sebab-sebab yang
karena dapat menimbulkan sesuatu menyampaikan kita kepadanya.
yang menyebabkan terjadinya Maka kita
kerusakan atau diharuskan mengerjakan sebab-
sesuatu yang dilarang. sebab itu karena sebab itulah yang
Contohnya, seseorang yang telah menyebabkan
dikenai kewajiban zakat, namun kita kepada maksud.
sebelum Dengan demikian, kita dapat
h}aul (genap setahun) ia menetapkan bahwa pekerjaan-
menghibahkan hartanya kepada pekerjaan
anaknya sehingga dia yang menyampaikan kepada
terhindar dari kewajiban zakat. kemaslahatan, dituntut untuk
H}ibbah (memberikan sesuatu mengerjakannya, dan
kepada orang lain, pekerjaan-pekerjaan yang
tanpa ikatan apa-apa) dalam syari’at menyampaikan kita pada kerusakan
Islam merupakan perbuatan baik dan kemafsadatan
yang dilarang kita mengerjakannya.
mengandung kemashlahatan. Akan Klasifikasi Sadd Az|-Z|ari>’ah
tetapi, bila tujuannya tidak baik, Para ulama berbeda
misalnya mengklasifikasikan Sadd Az|-
untuk menghindarkan dari Z|ari>’ah dalam
kewajiban zakat maka hukumnya beberapa aspek, di antaranya:
dilarang. Hal itu didasarkan pada 1. Dilihat dari bentuknya dapat
pertimbangan bahwa hukum zakat dibagi tiga:
adalah wajib sedangkan a. Sesuatu yang jika dilakukan,
h}ibbah adalah sunnah.5 biasanya akan terbawa pada yang
M. Hasbi Ash-Shiddieqy terlarang;
menyebutkan bahwa Sadd Az|- b. Sesuatu yang jika dilakukan tidak
Z|ari>‘ah terbawa kepada yang dilarang; dan
merupakan salah satu pegecualian c. Sesutau perbuatan yang jika
dalam metode penggalian hukum dilakukan menurut pertimbangan
Islam selain adalah sama
Ih}tih}san. Di mana, Ih}tih}san kemungkinannya untuk terbawa
merupakan pengecualian yang pada yang terlarang dan yang tidak
merupakan terlarang.16
2. Dilihat dari akibat (dampak) yang kemafsadatan. Misalnya, menjual
ditimbulkannya, Ibn Qayyim senjata pada musuh, yang di
membaginya mungkinkan akan digunakan untuk
menjadi empat: membunuh;
a. Perbuatan yang memang pada d. Perbuatan yang pada dasarnya
dasarnya membawa kepada boleh dilakukan karena
kerusakan mengandung
seperti meminum khamar yang kemaslahatan, tetapi
merusak akal dan zina yang memungkinkan terjadinya
merusak tata keturunan; kemafsadatan.
b. Perbuatan yang ditentukan untuk Misalnya bai’ al-ajal (jual beli
sesuatu yang mubah, namun dengan harga yang lebih tinggi dari
ditujukan untuk perbuatan buruk harga asal karena tidak kontan).18
yang merusak, seperti nikah D. Kedudukan Sadd Az|-Z|ari>’ah
muh}allil, atau transaksi jual beli dalam Hukum Islam
yang mengantarkan pada riba; Di kalangan ulama Us}ul terjadi
c. Perbuatan yang semula perbedaan pendapat dalam
ditentukan untuk yang mubah, tidak menetapkan
ditujukan boleh atau tidaknya menggunakan
untuk kerusakan, namun biasanya Sadd Az|-Z|ari>’ah sebagai dalil
sampai juga kepada kerusakan yang syara’.
mana kerusakan itu lebih besar dari Sebagaimana dijelaskan M. Quraish
kebaikannya, seperti mencaci Shihab, Ulama Malikiyah
sembahan agama lain; dan menggunakan Q.S.
d. Perbuatan yang semula Al-An’am ayat 108 dan Q.S. An-Nu>r
ditentukan untuk mubah, namun ayat 31 yang dijadikan alasan untuk
terkadang menguatkan pendapatnya tentang
membawa kerusakan, sedang Sadd Az|-Z|ari>’ah.
kerusakannya lebih kecil dibanding 19
kebaikannya. Contoh melihat wajah Jumhur ulama menempatkan faktor
perempuan saat dipinang.17 manfaat dan mafsadat sebagai
3. Dilihat dari tingkat kerusakan pertimbangan dalam menetapkan
yang ditimbulkan, Abu Ishak Al- hukum, salah satunya dalam metode
Syatibi Sadd Az|-
membaginya ke dalam 4 macam, di Z|ari>’ah ini. Dasar pegangan
antaranya yaitu: jumhur ulama untuk menggunakan
a. Perbuatan yang dilakukan metode ini
tersebut membawa kerusakan yang adalah kehati-hatian dalam beramal
pasti. ketika menghadapi perbenturan
Misalnya menggali sumur di depan antara
rumah orang lain pada waktu maslah}at dan mafsadat. Bila
malam, yang menyebabkan pemilik maslah}at dominan, maka boleh
rumah jatuh ke dalam sumur dilakukan; dan bila mafsadat yang
tesrebut. Orang yang bersangkutan dominan, maka harus ditinggalkan.
dikenai hukuman karena Namun, jika sama-sama kuat,
melakukan perbuatan tersebut maka untuk menjaga kehati-hatian
dengan disengaja; harus mengambil prinsip yang
b. Perbuatan yang boleh dilakukan berlaku.20
karena jarang mengandung َ َّ ٌ‫عٍَى َجٍت ا‬
‫ظبٌخ‬ َ ََّ ‫رَسء اٌ َّفَبعذ ِمَذ‬
kemafsadatan, misalnya menjual Menolak kerusakan lebih
makanan yang biasanya tidak diutamakan daripada menarik
mengandung kemafsadatan; kemaslahatan21
c. Perbuatan yang dilakukan Bila antara yang halal dan yang
kemungkinan besar akan membawa haram bercampur, maka prinsipnya
dirumuskan dalam kaidah: ungkapan kata-kata pada produk
َ ٍ‫اٌ َذ َشاَ غ‬َٚ ‫إرَاجز َ َّ َع اٌ َذ َالي‬
َ‫ت اٌ َذ َشا‬ kosmetik yang merangsang
Apabila bercampur yang halal dan syahwat, yang
yang haram, maka yang haram dikhawatirkan akan menimbulkan
mengalahkan yang haram.22 rangsangan syahwat yang menjurus
Sementara itu, ulama Z}ahiriyyah, pada
Ibnu Hazm secara mutlak menolak perbuatan yang dilarang. Maka
metode Sadd Az|-Z|ar>’iah ini. Hal penggunaan nama itu pun dilarang.
ini dikarenakan ulama Z}ahiriyyah
hanya Kata Istishab berasal dari kata
menggunakan sumber nas} murni suhbah artinya 'menemani' atau
(Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalam 'menyertai', atau al-
menetapkan mushahabah: menemani, juga
suatu hukum tertentu tanpa campur istimrar al-suhbah; terus menemani.
tangan logika pemikiran manusia Kata lain dalam Bahasa
(ra’yu) Arab:
seperti pada Sadd Az|-Z|ar>’iah. Menurut Istilah ilmu Ushul Qiqih
Hasil ra’yu selalu erat dengan yang dikemukakan Abdul Hamid
adanya Hakim:
persangkaan (Z{an), dan haram Istishab yaitu menetapkan hukum
hukumya menetapkan sesuatu yang telah ada pada sejak semula
berdasarkan tetap berlaku
persangkaan, karena menghukumi sampai sekarang karena tidak ada
dengan persangkaan sangat dekat dalil yang merubah.
dengan 2. Macam-macam Istishab
kebohongan, dan kebohongan a. Istishab Al-Bara'ah al-Ashliyah.
adalah satu bentuk kebatilan.23 Istishab ini adalah terlepas dari
Namun demikian, perbedaan tanggung jawab atau
pendapat mengenai kedudukan terlepas dari suatu hukum, sehingga
Sadd Az|- ada dalil yang menunjukan.
Z|ar>’iah ini dalam b. Istishab yang ditunjukkan oleh al-
perkembangannya tidak syar'u atau al-Aqlu. Yaitu sifat yang
menjadikan Sadd Az|-Z|ari>’ah tidak melekat pada
digunakan sama sekali. Para ulama suatu hukum, sampai ditetapkannya
zaman sekarang pun dalam kegiatan hukum yang berbeda dengan hukum
tertentu menggunakan Sadd Az|- itu.
Z|ari>’ah untuk menetapkan suatu c. Istishab al-Hukmi / Dalil umum.
hukum Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan
tertentu. Salah satu lembaga dengan hukum
keagamaan yang menggunakan mubah atau haram, maka hukum itu
metode ini adalah terus berlangsung sampai ada dalil
Majelis Ulama Indonesia (MUI). yang
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan yang asalnya mubah
menggunakan metode ini dalam atau membolehkan yang asalnya
menetapkan fatwa halal atau haram. Dengan
memberikan sertifikasi halal kata lain sampai adanya dalil yang
terhadap produk- mengkhususkan atau yang
produk perdagangan baik itu membatalkannya.
makanan, kosmetik, maupun Dan asal dalam sesuatu
penggunaan nama (mu'amalah) adalah kebolehan.
produk yang beredar dan dijual di Kebolehan tersebut didasarkan
pasaran. Seperti larangan kepada firman Allah
menggunakan -
-
d. Istishab Washfi. Seperti keadaan Pendapat shahabat tidak menjadi
hidupnya seseorang dinisbahkan hujjah atas shahabat lainnya, hal ini
kepada orang yang telah disepakati
hilang. para ulama ushul. Namun yang
e. Istishab hukum yang ditetapkan masih diperselisihkan adalah
ijma' lalu terjadi perselisihan. apakah pendapat shahabat bisa
Istishab seperti ini menjadi hujjah atas Tabi'in dan
diperselisihkan ulama tentang orang-orang yang telah datang
kehujahannya. setelah tabi‟in. Ulama ushul
4. Kehujahan Istishab memiliki tiga pendapat:
Mayoritas pengikut Maliki, Syafi'i, a. Ada yang mengatakan bahwa qaul
Ahmad dan sebagian ulama Hanafi shahaby secara muthlaq tidak bisa
menyatakan dijadikan hujah.
bahwa istishab dapat jadi hujah, b. Satu pendapat mengatakan
selama tidak ada dalil yang bahwa madzhab shahabat bisa jadi
merubah. Dan sebagian besar hujah.
dari ulama muta'akhirin juga c. Pendapat lain menyatakan bahwa
demikian. Sementara segolongan pendapat shahabat itu jadi hujah,
dari ulama Mutakallimin, seperti dan apabila
'Hasan al-Basri', menyatakan bahwa pendapat shahabat bertentangan
istishab tidak bisa jadi hujah, karena dengan qiyas, maka pendapat
untuk shahabat didahulukan. Ibnu Qayyim
menetapkan hukum yang lama dan berkata, bahwa fatwa shahabat
sekarang harus berdasarkan dalil. tidak keluar dari enam bentuk:
1) Fatwa yang didengar shahabat
QAUL SHAHABI dari Nabi saw.
1. Pengertian 2) Fatwa yang didengar dari orang
Ada pengertian yang menjelaskan yang mendengar dari Nabi saw.
tentang Qaul Shahabi, yaitu: 3) Fatwa yang didasarkan atas
Yang dimaksud dengan Qaul al- pemahamannya terhadap Alqur‟an
Shahaby (Mazdhab Shahaby) adalah yang agak kabur dari
pendapat- ayat tersebut pemahamannya bagi
pendapat para shahabat dalam kita
masalah ijtihad. 4) Fatwa yang disepakati oleh
Dengan kata lain Qaul shahabi tokoh-tokoh shahabat yang sampai
adalah pendapat para shahabat kepada kita melalui
tentang suatu kasus yang salah seorang shahabat.
dinukil para ulama, baik berupa 5) Fatwa yang didasarkan kepada
fatwa maupun ketetapan hukum, kesempurnaan ilmunya baik bahasa
yang tidak dijelaskan maupun tingkah
dalam ayat atau hadis. lakunya, kesempurnaan ilmunya
Yang dimaksud dengan shahabat tentang keadaan Nabi saw. dan
menurut ulama ushul fiqih adalah maksud-
seseorang yang maksudnya. Kelima ini adalah hujah
bertemu dengan Rasulullah saw. yang diikuti.
beriman kepadanya, mengikuti serta 6) Fatwa yang berdasarkan
hidup bersamanya, pemahaman yang tidak datang dari
dalam waktu yang panjang, serta Nabi dan salah
dijadikan rujukan oleh generasi pemahamannya. Maka ini tidak bisa
sesudahnya dan jadi hujah.
mempunyai hubungan khusus Ustadz Ali Hasaballah merangkum
dengan Rasulullah saw. pendapat-pendapat di atas, bahwa
2. Kehujahan Qaul Shahaby seorang mujtahid
tidak dibebaskan untuk mencari c. Tidak disertai petunjuk tentang
dalil dari pendapat seorang nasakh atau lestarinya. Untuk ini
shahabat, bila ia ada dua pendapat:
menemukannya tidak dibenarkan Pendapat pertama, bila hukum yang
menyandarkannya pada shahabat diterangkan Allah dan Rasulnya bagi
itu, akan tetapi bila umat
tidak menemukannya, maka terdahulu, tidak ada nash yang
mengikutinya adalah lebih baik menunjukan bahwa hal itu
ketimbang mengikuti pendapat diwajibkan bagi kita sebagai
yang berdasarkan hawa nafsu. mana diwajibkan juga bagi mereka,
atau tidak ada nash bahwa hukum
SYAR’UN MAN QABLANA itu telah dihapuskan.
1. Pengertian Pendapat kedua menyatakan bahwa
Ada pengertian yang menjelaskan syariat sebelum Islam tidak menjadi
tentang syar‟un man qablana, yaitu: syariat bagi
“Segala apa yang dinukilkan kepada Rasulullah saw. dan umatnya.
kita dari hukum-hukum syara‟ yang Dengan perbedaan pendapat di atas,
telah disyaratkan maka ada hal yang disepakati ulama
Allah swt. bagi umat-umat dahulu :
melalui nabi-nabinya yang diutus 1) Hukum-hukum syara yang
kepada umat itu ditetapkan bagi umat sebelum kita,
seperti Nabi Ibrahiem, Nabi Musa, tidaklah dianggap ada
dan Nabi Isya as.” tanpa melalui sumber-sumber
2. Kedudukan syar’un man qablana hukum Islam, karena dikalangan
Sesungguhnya syari‟at samawi pada umat Islam nilai sesuatu
asalnya adalah satu, sesuai firman hukum didasarkan kepada sumber-
Allah : AS syuara 13 dan al anam sumber hukum Islam.
146 Oleh karena itu terdapat 2) Segala sesuatu hukum yang
penghapusan terhadap sebagian dihapuskan dengan syariat Islam,
hukum umat-umat yang otomatis hukum tersebut
sebelum kita (umat Islam) dengan tidak bisa berlaku lagi bagi kita.
datangnya syari‟at Islamiyah dan Demikian juga hukum-hukum yang
sebagian lagi hukum- dikhususkan bagi
hukum umat yang terdahulu tetap umat tertentu, tidak berlaku bagi
berlaku, seperti qishash. umat Islam, seperti keharaman
3. Macam-macam dan kehujjahan beberapa makanan,
Syar’un man qablana misalnya daging bagi Bani Israil.3)
Syariat atau hukum yang berlaku Segala yang ditetapkan dengan nash
dalam agama samawi yang yang dihargai oleh Islam seperti
diturunkan Allah swt juga ditetapkan
kepada para nabi sebelum Nabi oleh agama samawi yang telah lalu,
Muhammad saw. sering pula tetap berlaku bagi umat Islam,
diceritakan dalam Alqur‟an karena ketetapan
dan al Sunnah kepada umat Islam. nash Islam itu tadi bukan karena
Cerita tersebut dibedakan dalam ditetapkannya bagi umat yang telah
tiga bentuk yang lalu.
masing-masing mempunyai Sedangkan Muhammad Abu Zahrah
konsekuensi yang berbeda bagi menyatakan, apabila syariat
umat Islam: sebelum Islam itu
a. Disertai petunjuk tetap diakuinya dinyatakan dengan dalil khusus
dan lestarinya dalam syariat Islam. bahwa hukum-hukum itu khusus
b. Disertai petunjuk tentang sudah bagi mereka, maka tidak
dinasakhkannnya / dihapus dalam
syariat Islam
wajib bagi umat Islam untuk Qaul shahabi adalah pendapat para
mengikutinya. Namun apabila shahabat tentang suatu kasus yang
hukum-hukum itu bersipat dinukil para
umum, maka hukumnya juga ulama, baik berupa fatwa maupun
berlaku umum bagi seluruh umat, ketetapan hukum, yang tidak
seperti hukum qishash dan dijelaskan dalam ayat atau hadis.
puasa yang ada dalam Alquran. Pendapat shahabat tidak menjadi
4. Sandaran syariat Nabi saw. hujjah atas shahabat lainnya, hal ini
sebelum diutus telah disepakati
Untuk ini Abdul Hamid Hakim para ulama ushul. Namun yang
mengutip perkataan Imam Al- masih diperselisihkan adalah
Syaukani, yang apakah pendapat shahabat bisa
menyebutkan bahwa terdapat menjadi hujjah atas Tabi'in dan
beberapa pendapat : orang-orang yang telah datang
1) Bahwa Rasulullah saw. beribadah setelah tabi‟in.
dengan syariat Nabi Adam as. Sadd al-Dzari'ah adalah mencegah
karena syariat itu sesuatu yang menjadi jalan
merupakan syariat yang pertama. kerusakan, atau
2) Bahwa Rasulullah saw. bersyariat menyumbat jalan yang dapat
kepada syariat Nabi Nuh as. menyampaikan seseorang pada
3) Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kerusakan. Kehujjahan Sadd
kepada syariatnya nabi Ibrahim as. al-Dzara'i berdasarkan pada ayat
4) Ada pula yang menyatakan Alquran, Sunnah, dan pandangan
Rasulullah beribadah dengan syariat para imam/ulama.
Nabi Musa as. Syar'u man Qablana adalah segala
5) Dan yang menyatakan Rasulullah apa yang dinukilkan kepada kita
bersyariat kepada syariat Isa as. dari hukum-hukum
karena Nabi yang syara‟ yang telah disyaratkan Allah
paling dekat dengan Rasulullah saw. swt. bagi umat-umat dahulu melalui
6) Bahkan ada yang berpendapat, nabi-nabinya yang
bahwa Rasulullah saw. sebelum diutus kepada umat itu seperti Nabi
diutus tidak beribadah Ibrahiem, Nabi Musa, dan Nabi Isya
atas syariat, menurutnya, karena as.
kalaulah berada pada satu agama Terdapat penghapusan terhadap
tentu Nabi sebagian hukum umat-umat yang
menjelaskannya dan tidak sebelum kita (umat
menyembunyikannya. Ibnu Qusyairi Islam) dengan datangnya syari‟at
berkata, bahwa semua Islamiyah dan sebagian lagi hukum-
perkataan itu berlawanan dan tidak hukum umat yang
ada dalil yang qath‟i. terdahulu tetap berlaku.
Imam Al-Syaukani mengembalikan
kepada perkataan yang mengatakan
bahwa
Rasulullah saw. beribadah dengan
syariat Nabi Ibrahiem as.
Menurutnya, karena Rasulullah
sering mencari dari syariat
Ibrahiem as., beramal dengan apa
yang sampai kepadanya dari
syariat Ibrahiem, dan juga seperti
yang diketahui dari ayat Alqur‟an
setelah beliau diutus
untuk mengikuti Millah Ibrahiem as.
Rangkuman
4. Ayat-ayat al-Qur`an dan hadis Nabi SAW yang turun dengan bahasa Arab membutuhkan
kajian yang mendalam terhadap lafaz-lafaznya, apalagi terkadang sebuah lafaz tidak bias
dipahami hanya dengan membaca teks tertulisnya. Diperlukan kajian lain dalam memahami
sebuah lafaz sehingga menghasilkan makna yang dapat memberikan petunjuk. Dalam kajian
ushul fiqh pemahaman terhadap lafaz itu dikaji luas oleh ulama dalam berbagai tinjauannya.
Misalnya; lafaz dilihat dari segi kejelasan dan ketidakjelasan petunjuknya, perbedaan ulama
Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam melihat petunjuk yang dihasilkan oleh sebuah lafaz,
petunjuk lafaz al-‘amm dan al-khas, petunjuk lafaz al-muthlaq dan al-muqayyad, petunjuk
lafaz al-amr dan al-nahy, petunjuk lafaz hakikat dan majaz, petunjuk lafaz, dan bagaimana
memahami sebuah ta’arudh yang terjadi antara dalil-dalil, serta apa yang dimaksud dengan
takwil. Mengingat begitu banyaknya muatan dalam kajian ini, kepada anda diberikan hak
untuk memilih 3 (tiga) tema yang akan anda buatkan tulisannya.
JAWAB :

A. lafazh dilihat dari segi kejelasan dan ketidak jelasan petunjuknya !


1. Tingkatan lafazh dari segi kejelasannya

Dalam mengatasi tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasannya, ulama terbagi
kepada 2 golongan:

a) Golongan Hanafiyah : membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makana


kedalam 4 bagian: yaitu Zhahir, Nash, Muffassar dan Muhkam. Sedangkan
dari segi ketidak jelasannya terhadap makna golongan ini juga membaginya
kepada 4 bagian, yaitu : Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
b) Golongan Jumhur dari kalangan Mutakallimin di pelopori oleh Asy-Syafi‟i :
golongan ini membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua, yaitu :
Zhahir dan Nash. Kedua bentuk lafazh inni disebut kalam mubayyan.
Sedangkan dari segi ketidak jelasannya juga dibagi menjadi 2, yaitu : Mujmal
dan Mutasyabih.

Secara garis besar pembagian lafazh menurut hanafiyah dilihat dari peringkat
kejelasan lafazh tersebut. Dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas
(nash), sangat jelas (mufassar), dan superjelas (muhkam). Pembagian lafazh itu sebenarnya
dilihat dari segi mungkin atau tidaknya ditakwilkan atau dinasakh.

1) Pembagian lafazh dari segi kejelasannya menurut ulama Hanafiyyah


a) Zhahir : zhahir adalah sesuatu yang dapat diketahui jelas maksudnya bagi
pendengar tanpa harus dipikirkan terlebih dahulu. Muhammad Adib Shalih
mendefinisikan zhahir sebagai suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna
dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada di luar
lafazh itu sendiri, namum mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil dan
dinasakh.
Contoh : ‫ َد َّش ََ اٌشثَب‬َٚ ‫أ َ َد ًَّ هللا اٌجٍَ َع‬َٚ “ Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan
haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu sendiri tanpa
memerlukan qarinah lain. Masing-masing dari lafazh “Al-Bay‟a dan Ar-Riba
merupakan lafazh „amm yang mempunyai kemungkinan ditakhsis.
Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkan sesuai petunjuk
lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya,
mentakwilnya atau menasakhnya.

b) Nash : secara bahas nash adalah „‟ Raf‟u asy-syai‟ ” atau munculnya segala
sesuatu yang tampak, sedangkan menurut istilah nash adalah stau lafazh yang
menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan
(bisa diketahui dengan adanya qarinah), nash mempunyai kemungkinan
ditakhsis dan ditakwil yang kemungkinannya lemah daripada kemungkinan
yang terdapat pada lafazh zhahir. Sealin itu nash dapat dinasakh pada zaman
risalah ( zaman rasul).
Contoh nash : diambil dari contoh lafazh zhahir tadi ََ ‫ َد َّش‬َٚ ‫أ َ َد ًَّ هللا اٌجٍَ َع‬َٚ
‫اٌشثَب‬. Dilalah nash pada contoh ini adalah tidak adanya persamaan hukum
antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari kalimat yang menjelaskan
hukum. Disini nash lebih menberikan kejelasan dibandingkan yang zhahir.
Kedudukan hukum lafazh nash : sama seperti lafazh zhahir,
lafazh nash wajib diamalkan petunjuknya atau dilalahnya sepanjang tidak ada
dalil yang menakwilkan, menakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara
zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh. Pada lafazh
nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zahir. Oleh sebab
itu apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka
lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh
zhahir pada lafazh nash.
c) Muffassar : adalah lafazh yang menunjjukkan suatu hukum dengan
petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin
diyakwil atau ditakhsis, namun pada masa rasulullah masih bisa dinasakh.
Atas dasar tersebut maka kejelasan petunjuk muffassar lebih tinggi daripada
petunjuk zhahir dan nash. Hal ini karena pada petunjuk zhahir dan nash masih
terdapat kemungkinan ditakwil atau ditakhsis, sedangkan pada lafazh
muffassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Contoh :

ٍَٓ‫ا أ َ َّْ ّللاَ َِ َع اٌّزَّم‬ٍَّٛ‫اع‬َٚ ‫َٔىُ وَآفَّخ‬ٍٛ‫ا اٌّششوٍَٓ وَآفَّخ َو َّب ٌمَبر‬ٍٛ‫لَبر‬َٚ .........
“dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-
orang yang bertakwa.”

Lafazh Musyrikin pada ayat tersebut pada mulanya dapat di takhsis namun
dengan adanya lafazh Kaafatan kemungkinan itu menjadi tidak ada.

Kedudukan hukum muffassar : dilalah muffassar wajib diamalkan


secara Qath‟i , sepanjang tidak ada dalil yang menasakhkannya. Lafazh
muffassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahirnya, karena tidak
mungkin ditakwilkan atau ditakhsis, melainkan hanya bisa dinasakh atau
diubah apabila ada dalil yang mengubahnya. Dengan demikian dilalah
muffassar lebih kuat daripada dilalah zhahir dan dilalah nash. Oleh sebab itu,
apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan
zhahir maka dilalah muffssar harus didahulukan.

d) Muhkam : adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna dengan dilalah


tegas dan jelas serta qath‟i, dan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil ,
ditakhsis dan dinasakh meskipun pada masa nabu, lebih-lebih pada masa
sesudah nabi.
Contoh : ٍٍُ‫ هللا ثىً شًَء َع‬َٚ “ Dan Allah Maha mengetahui terhadap segala
sesuatu”
Pengertian dari ayat ini sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin dirubah.
muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqana
yaitu pasti dan tegas. Sedangkan muhkam menurut istilah yang dikemukakan
oleh as-sarakhsi : “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya
nasakh”.
Lafazh muhkam apabila lafazhnya khas maka tidak bisa ditakwil
dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya „amm tidak bisa ditakhsis dengan
makna khash, karena maknanya sudah jelas dan tegas. Tidak mempunyai
kemungkinan-kemungkinan lain. Contoh : firman Allah SWT tentang
haramnya menikahi janda rasulullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu
tidak bisa dinasakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat
dan muhkam ghairu dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu
sendiri atau dari luar nash.
Hukum muhkam : dilalah muhkam wajib diamalkan secara
Qath‟i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus.
Dilalah muhkam lebih kuat dari seluruh dilalah yang telah disebutkan diatas.
Dengan sendirinya apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil diatas
maka harus didahulukan adalah dilalah muhkam.

2) Tingkatan kejelasan lafazh menurut mutakallimin (syafi‟iyah)


Menurut mutakallimin kejelasan lafazh terbagi dua, yaitu zhahir dan nash.
Namun imam syafi‟i sendiri tidak membedakan antara zhahir dengan nash,
baginya zhahir dan nash itu ada dua nama untuk satu arti. Abu hasan al basri
mengatakan “ Nash menurut batasan imam syafi‟i adalah suatu khithab yang dapat
diketahui hukum yang dimaksudnya, baik yang diketahuinya itu dengan
sendirinya ataupun melalui yang lain. Dan mujmal menurutnya disebut juga
nash”.
Pada perkembangan selanjutnya setelah imam asy syafi‟i, nash dan zhahir ini
dibedakan pengertian masing-masingnya, yaitu: “Nash adalah suatu lafazh yang
tidak mempunyai kemungkinan ditakwil sedangkan zhahir mempunyai
kemungkinan untuk ditakwil”. Al-Ghazali juga membedakan definisi nash itu
dengan ungkapan “ Suatu lafazh yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan
ditakwil, baik takwil dekat maupun takwil jauh”.
Dilalah nash wajib diamalkan secara pasti dan tidak boleh menyimpang dari
dilalah nash tersebut, kecuali apabila ada nasakh. Sedangkan hukum dilalah zhahir
wajib diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali ada dalil yang
memalingkannya.

2. Tingkatan lafazh menurut ketidakjelasan


Ulama hanafiyyah membagi ketidakjelasan lafazh menjadi empat macam tingkatan,
yaitu : Khafi, Musykil, Mujmal, Mutasyabih. Sedangkan Syafiiyah (mutakallimin)
membaginya menjadi dua bagian, yaitu mujmal dan mutasyabih.
a) Tingkatan lafazh menurut ketidakjelasan menurut Hanafiyyah
1) Khafi : menurut bahasa adalah “tidak jelas atau tersembunyi” sedangkan
menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ad-Dabusi adalah suatu lafazh
yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada diluar lafazh itu
sendiri, sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.
Adib shalih memberikan penjelasan bahwa khafi adalah lafazh zhahir yang
jelas maknanya tetapi lafazh itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru
yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali
dengan penelitian yang mendalam.
َ ‫اٌغَّبسلَخ فَبل‬َٚ ‫أَاٌغَّبسق‬
Contoh : ‫ َّب‬ٌَٙ‫ا اٌَذ‬ٛ‫طع‬
Pada mulanya lafazh as sariq itu tegas, yaitu orang yang mengambil harta
berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang
terpelihara. Akan tetapi apabila pengertian ini diterapkan pada masalah lain
yang sama seperti pencopet, pencuri barang-barang dalam kuburan , korupsi
maka lafazh itu sendiri menjadi tidak tegas.
2) Musykil : menurut bahasa adalah sulit atau sesuatu yang tidak jelas
perbedaannya, sedangkan menurut istilah adalah suatu lafazh yang tidak jelas
artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qarinah. Menurut adib
shalih yang dimaksud dengan msuykil adalah suatu lafazh yang tidak jelas
maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui
maksudnya diperlukan adanya qarinah yang dapat menjelaskan kerumitan itu,
dengan jalan pembahasan yang mendalam.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antara khafi


dan musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri. Oleh karena itu
musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya daripada khafi. Contoh :

ُ‫ا َدشثَىُ أََّٔى شئز‬ٛ‫“ َفؤر‬maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki”

Lafazh anna dalam bahasa arab bisa berarti ,kaifa, aina dan mata . dari
sini timbul kemusykilan untuk menentukan makna yang lebih cocok dari
ketiga makna tersebut
3) Mujmal : menurut bahasa adalah global atau tidak terperinci. Meurut
istilah adalah lafazh yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada
penafsiran dari pembuat mujmal (syari‟). Dipahami bahwa mujmal itu adalah
suatu lafazh yang dzatiahnya khafi tidak bisa dipahami maksudnya kecuali
bila ada penjelasan dari syara‟ baik ketidakjelasannya itu akibat peralihan
lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara‟
ataupun karena sinonim lafazh itu sendiri ataupun karena lafazh itu ganjil
artinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar
khafanya daripada musykil, sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara‟
bukan hasil ijtihad. Contoh : lafazh shalat menurut bahasa artinya do‟a
tetapi menurut istilah syara‟ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya
dijelaskan oleh rasulullah SAW. Sunnah dapat memberikan penjelasan
mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash alqur‟an. Oleh sebab itu untuk
mencari penjelasan muhmal terlebih dahulu harus melihat nash alqur‟an.
4) Mutasyabih : menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan
atau simpang siur. Sedangkan menurut istilah adalah suatu lafazh yang
maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara‟ baik alqur‟an
maupun sunnah. Sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali
orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya.

Para ulama sepakat bahwa dalam alqur‟an terdapat ayat-ayat


mutasyabih , namun mereka berbeda pendapat mengenai tempat-tempatnya.
Menurut ibnu hazm tidak ada ayat-ayat mutasyabih dalam alqur‟an kecuali
pada dua tempat. Pertama huruf hijaiyyah pada awal surat, kedua qasam Allah.
Contoh: ‫َ اٌمٍَب َِخ‬ٍَٛ‫الَ ألغُ ث‬

‫اٌمَ َّش ارَا رَالََ٘ب‬َٚ ‫ػ َذبَ٘ب‬َٚ ‫اٌ َّشّظ‬َٚ

Menurut ulama lain selain yang disebutkan ibnu hazm tempat ayat-ayat
mutasayabih juga meliputi ayat-ayat yang mempunyai makna yang berakitan
dengan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.

b) Tingkat lafazh dari segi ketidakjelasannya menurut ulama mutakallimin


(syafi‟iyah)
Golongan mutakallimin tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi
lafazh ditinjau dari segi ketidakjelasannya. Namun dapat disimpulkan bahwa
mereka membagi lafazh ini dalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.
Secara umum mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang
dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas. Artinya makna yang dimaksud lafazh itu
memerlukan penjelasan / penjabaran yang lebih luas. Contoh :
َّ ٌ‫ أَلٍُ ا‬lafazh shalat dan zakat disini adalah mujmal sehingga
َّ ٛ‫اَر‬َٚ َ ‫ح‬ٍٛ‫ظ‬
‫ح‬َٛ‫اٌضو‬
memerlukan penjabaran yang lebih jelas. Sebagian mereka ada yang menyamakan
lafaz mutasyabih dengan mujmal, yaitu suatu lafazh yang tidak jelas makna nya.

B. Petunjuk lafazh ‘amm dan khas


1. Khas : adalah lafaz yang dipasangkan pada satu arti yang tersendiri dan
terhindar dari makna lain yang musytarak. Contoh lafazh khas adalah “insaanun
yang dipasangkan pada hewan yang berpikir (manusia), atau yang menunjukkan
spesies (laki-laki atau wanita), atau yang menunjukkan individual yang berbeda
tetapi terbatas, seperti bilangan angka.

Hukum lafazh khas : apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq
tanpa ada batasan apapun maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum
secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan apabila lafazh itu
dikekukakan dalam bentuk perintah maka ia memberikan faedah berupa hukum
wajib bagi yang diperintahkan, selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada
makna lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk
larangan, maka ia memberi faedah berupa hukum haram terhadap hal yang
dilarang itu, selama tidak ada qarinah yang memalingkannya dari hal itu. Contoh
:

َ‫فَ َّٓ ٌَُّ ٌَجذ فَظ ٍَبَ ثَالثَةِ أٌََّب‬


Kata salasatin mengandung pengertian khas, karena tidak mungkin mengandung
arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri yaitu
tiga. Oleh karena itu dilalah maknanya adalah Qath‟iyah.

Perbedaan pendapat akibat keqath‟ian dilalah khas :para ulama sepakat


bahwa dilalah lafazh khas adalah qath‟i, namun mereka berbeda pendapat dalam
sifat keqath‟ian tersebut, yakni apakah sudah jelas keqath‟ian tersebut dengan
sendirinya sehingga tidak memerlukan kemungkinan penjelasan lain atau
perubahan makna, atau sekalipun lafazh itu qath‟i tetapi kemungkinan mempunyai
perubahan dan penjelasan yang lain.
Golongan hanafiyyah berpendapat : lafazh khas sepanjang telah memiliki
arti secara tersendiri berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh itu
sendiri, sehingga tidak memerlukan hadits-hadits yang berhubungan dengan
lafazh khas tersebut sebagai penjelasannya. Menurut mereka lafazh khas dalam
alqur‟an adalah qaht‟i dilalahnya dan tidak memerlukan penjelasan (bayan) , maka
apabila ada perubahan hukum dengan nash yang lain makan dipandang sebagai
penghapusan hukum, bukan sebagai penjelas.
Sedangkan Golongan Jumhur ulama antara lain Syafi‟iyyah, dan Malikiyah
: berpendapat bahwa walaupun lafazh khas itu sudah qath‟i dilalahnya namun
tetap mempunyai kemungkinan perubahan asal pemasangannta, sehingga apabila
ada nash yang mengubah dilalah khas itu, maka ia dipandang sebagai penjelasan
terhadap lafazh khas itu. Dari pendapat ini ditemuilah perbedaan pendapat antara
golongan jumhur dengan hanafiyyah. Golongan jumhur berkesimpulan bahwa :
Nash khas menerima penjelasan dan perubahan.

Macam-macam lafazh khas : Lafazh khas itu bentuknya banyak sesuai


dengan keadaan dan yang dipakai dalam lafazh itu sendiri. Kadang-kadang ia
berbentuk mutlak tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-
kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid. Kadang-kadang
berbentuk amar (perintah), kadang-kadang berbentuk nahi (larangan).

2. „amm : adalah lafazh yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh
satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Ualam –ulama ushul fiqh
mendefinisikan „am sebagai berikut :
- Hanafiyyah :Setiap lafazh yang mencakup banyak baik secara lafazh
maupun makna
- Syafi‟iyyah : satu lafazh dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.
- Albazdawi : lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh
tersebut dengan satu kata.

Dilalah Lafazh „amm : para ulama sepakat bahwa lafazh „amm yang disertai qarinah
yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath‟i dilalah. Mereka pun
sepakat bahwa lafazh „amm yang disertai qarinah yang menunjukkan yang
dimaksudnya itu khusus mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi
perdebatan pendapat disini adalah lafaz „amm yang mutlaq tanpa disertai suatu
qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang
mencakup satuan-satuannya.

Menurut Hanafiyyah dilalah „amm itu qath‟i , maksud qaht‟i menurut


hanafiyyah adalah : “ tidak mencakup suatu kandungan yang menimbulkan suatu
dalil”. Namun bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena
itu untuk menetapkan ke qath‟ian lafaz „amm pada mulanya tidak boleh ditakhsis
sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis maka dilalahnya zhanni.

Menurut jumhur ulama ( Malikiyyah, syafi‟iyyah dan hanabilah) dilalah „amm


adalah zhanni. Mereka beralasan dilalah „amm itu termasuk bagian dari dilalah zhahir
yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhsis.

C. Ta’arrud antara dalil-dalil


1. Pengertian Ta‟arrud adillah : Ta‟arrud secara bahasa berarti pertentangan ,
adillah merupakan jamak dari kata adil yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Secara istilah ta‟arrud adillah adalah pertentangan hukum yang dikandung oleh
suatu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya.
2. Cara menyelesaikan ta‟arrud adillah :
a. Menurut hanafiyyah : nasakh, tarjih, al-jam‟u wa at-taufiq, tasaqut ad
dalilain
1) Nasakh : adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan alasan
adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang
berbeda.
2) Tarjih : menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Untuk
melakukan tarjih dapat dilihat dari tiga sisi.:
- Petunjuk terhadap kandungan lafazh suatu nash , seperti menguatkan
nash yang hukumnya pasti dan tidak bisa dihapus (muhkam), daripada
nash yang hukumnya pasti namun bisa diubah (muffassar).
- Dari segi kandungannya, misalnya menguatkan dalil yang mengandung
hukumnya haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
- Dari segi keadilan periwayatan suatu hadits.
3) Al-jam‟u wat taufiq :mengkompromikan dalil-dalil yang
bertentangan setelah mengumpulkan keduanya , ini berdasarkan kaidah
“ mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain”.
4) Tasaqud ad dalilain :menggugurkan kedua dalil yang bertentangan
dan mencari yang lebih rendah. Hal ini dilakukan apabila tidak mungkin
menggunakan ketiga cara diatas. Menurut golongan hanafiyyah, metode
penyelesaian ta‟arrud adillah harus dilakukan secara berurutan.
b. Menurut syafi‟iyyah, malikiyah, zhahiriyyah
1) Jam‟u wal taufiq : mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan
tersebut. Cara yang digunakan untuk mengkompromikan kedua dalil
tersebut ada tiga:
- Membagi kedua hukum yang bertentangan
- Memilih salah satu hukum
- Mengambil dalil yang lebih khusus.
2) Tarjih : menguatkan salah satu dalil
3) Nasakh : membatalkan salah satu hukum yang dikandung oleh kedua
dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui dahulu mana dalil yang
datang dahulu dan mana dalil yang datang kemudian.
4) Tasaqud ad dalalain : meninggalkan kedua dalil yang bertentangan
dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah. Keempat cara
oini harus ditempuh secara berurutan.

5. Metode istinbath hukum tidak hanya membutuhkan teori ushul fiqh saja, tetapi dibutuhkan
penguasaan terhadap ilmu kaidah-kaidah fiqhiyyah, karena kepiawaian seorang fuqaha`
belum sempurna ketika ia tidak mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fiqqhiyyah. Oleh
karena itu kepada anda diwajibkan membuat tulisan tentang ilmu kaidah fiqhiyyah ini dan
seberapa pentingnya ilmu ini dalam proses istinbath hukum Islam.
JAWAB :

Kaidah fiqh merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz‟i)
dan terpisah-pisah sebagai hasil dari ijtihad para fuqaha, kemudian bagian yang terpisah-
pisah ini diikat menjadi satu ikatan atau kaidah. kaidah-kaidah fiqh perlu dipelajari guna
mengetahui prinsip-prinsip umum dalam melakukan istimbath hukum atas masalah-masalah
baru yang tidak ditunjuk oleh nash syara‟ (alqur‟an dan Sunnah) secara sharih (jelas) dan
sangat memerlukan ketetapan hukum. Orang tidak mudah menetapkan hukum terhadap
problem baru dengan baik apabila dia tidak mengetahui kaidah-kaidah fiqh. Kaidah-kaidah
fiqh mempunyai kedudukan yang penting dalam menentukan hukum Islam. Karena kaidah-
kaidah tersebut bertujuan untuk memelihara ruh Islam dalam membina hukum dan
mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, maupun dalam
memelihara maslahat, menolak mafsadat, serta memperhatikan keadaan dan suasana. Karena
itu kaidah-kaidah fiqh tersebut harus bersifat qath‟i.

Kaidah fiqh merupakan kaidah yang berasal dari simpulan dalil Al-Quran dan sunnah terkait
hukum – hukum fiqh. Ada banyak sekali kaidah fiqh yang dihasilkan oleh para ulama. Akan
tetapi, ada 5 kaidah umum yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-qawaid al-
fiqhiyah al-kubra.

1) Perkara Tergantung Tujuannya ,Kaidah fiqh ini berasal dari hadits Nabi
yaitu:

“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya.”

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap amalan yang dilakukan seseorang akan
sangat tergantung dari niatnya. Apakah amalan itu akan diterima oleh Allah atau
tidak tergantung pada keikhlasan niat orang yang beramal. Kaidah ini juga berarti
bahwa setiap amalan mubah bisa menjadi ibadah jika dilakukan dengan niat ibadah.
Misalnya kegiatan duduk diam di masjid bisa jadi ibadah jika diniatkan untuk itikaf.

Selanjutnya, kaidah ini juga bisa dilakukan untuk membedakan antara


perbuatan biasa atau adat dengan ibadah dilihat dari niatnya. Terakhir, suatu ibadah
juga bisa dibedakan dengan ibadah lain dengan melihat pada niat yang digunakan.
Misalnya untuk membedakan shalat dzuhr, ashar, dan isya. Atau untuk membedakan
ibadah puasa daud, senin – kamis, ayaumul bidh, dan lain – lain.

2) Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan, Kaidah kedua ini


berasal dari hadits tentang orang yang ragu – ragu apakah dia telah buang
angin atau tidak dalam sholatnya. Kemudian, Rasulullah bersabda:

“Hendaknya ia tidak meninggalkan (membatalkan) sholatnya sampai ia


mendengar suara atau mendapati bau (dari kentutnya).”

Selain itu, ada pula hadits dari salah satu sahabat, yaitu Abu Sa‟id al-Khufri,
dimana Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang kalian ragu-ragu dalam
sholatnya dan dia tidak tahu apakah dia sudah sholat tiga atau empat rakaat, maka
hendaklah dia buang keraguannya dan menetapkan hatinya atas apa yang ia yakini.”

3) Kesempitan Mendatangkan Kemudahan, Kaidah ketiga ini berasal dari


firman Allah sebagai dalil, yaitu:

“Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan


kesulitan buat kalian.”

Maksudnya, apabila terdapat kesulitan dalam suatu hal, maka akan ada
kemudahan atas sesuatu yang sebelumnya baku. Dengan kaidah ini, maka hadirlah
berbagai macam rukhshah atau keringanan dalam beribadah apabila seorang muslim
mengalami kesulitan.

Misalnya saja keringanan shalat qashar dan tidak berpuasa pada orang yang
berada dalam kondisi safar atau sedang melakukan perjalanan. Atau keringanan
kepada orang yang sedang sakit untuk melakukan shalat dalam posisi duduk atau
berbaring. Melakukan tayammum bagi orang yang sakit meskipun terdapat air. Dan
lain sebagainya.

4) Kemudharatan Hendaknya Dihilangkan, Kaidah ini hadir dari observasi


ulama terhadap hadits Rasulullah yang mengatakan:

“Janganlah memberikan madharat kepada orang lain dan juga diri kalian sendiri.”

Dengan adanya dalil ini maka seseorang diperbolehkan melakukan sesuatu


yang sebelumnya dilarang untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.
Misalnya, orang yang sedang berada dalam kelaparan yang sangat lapar diizinkan
makan makanan yang haram untuk menghilangkan rasa laparnya. Dengan syarat,
tidak ada makanan lain selain makanan haram tersebut dan jika tidak dimakan, maka
ia akan mati.

Kondisi lainnya adalah ketika seorang muslim dipaksa untuk mengucapkan


kalimat kekafiran dengan ancaman yang nyata. Maka muslim tersebut boleh
mengucapkan kalimat tersebut dan tetap islam selama di dalam hatinya dia tetap
yakin pada ajaran Islam dan keimanannya tidak berubah.

5) Adat atau Kebiasaan Bisa Menjadi Landasan Hukum, Kaidah fiqh ini berasal
dari hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan:

“Apa yang kaum muslimin menganggapnya baik maka ia di sisi Allah juga baik.”

Islam sangat menghargai budaya atau adat yang dianggap baik. Termasuk di
dalam kaidah fiqh ini adalah penetapan masa haid, besaran nafkah, kualitas bahan
makanan untuk kafarat, dan akad jual beli.

Itulah 5 landasan umum atau kaidah fiqh yang ada dalam agama Islam.
Masing – masing kaidah ini bisa digunakan sesuai dengan waktu dan kondisi yang
sesuai. Dengan memahami kaidah fiqh, akan ada banyak manfaat yang bisa didapat.
Salah satunya adalah menjadi lebih mudah untuk menentukan hukum atau kebolehan
suatu perkara

6. Hukum Islam harus bermuara kepada maslahah dan terhindar dari mafsadah, karena
maslahah merupakan tujuan esensi dari sebuah penetapan hukum. Kajian maslahah
sebagai sebuah tujuan penetapan hukum Islam dibicarakan dalam teori maqashid alsyari’ah.
Dengan memahami dan menguasai teori maqashid al-syari’ah ini, maka
diharapkan setiap penetapan hukum Islam tidak akan melenceng dari tujuan utamanya,
yaitu maslahah. Oleh karena itu, dalil apapun yang dipergunakan dalam menetapkan
sebuah hukum, harus memperhatikan maqashid yang ditimbulkannya. Dalam bahasa lain,
kajian maqashid al-syari’ah ini merupakan bagian terpenting dan terbesar dalam
pembahasan filsafat hukum Islam. Oleh karena itu kepada anda diwajibkan membuat
tulisan seputar masalah ini, dan dari tulisan anda itu akan tergambar pentingnya
maslahah sebagai sebuah tujuan utama yang hendak dicapai dalam setiap penetapan
hukum Islam.
JAWAB :
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid al-syari'ah
merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya
maqashid al-syari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai
sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori
maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti
dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus bermuara kepada maslahat.

al-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Di situ beliau


mengatakan bahwa sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan
manusia di dunia dan di akhirat. Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan
kebahagiaan individu dan jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan
segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjangjenjang kesempurnaan, kebaikan,
budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua
manusia. Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama dalam
maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul
fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui
secara objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan
hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan
hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud
kemaslahatan bagi manusia.

Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara :

1) Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut dengan
istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini bisa dirasakan secara langsung saat itu juga atau
tidak langsung pada waktu yang akan datang.
2) Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering diistilahkan dengan
dar' al-mafasid.
Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat
dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar
bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-
tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Lebih lanjut, al-Syathibi dalam uraiannya tentang maqashid al-syari'ah
membagi tujuan syari'ah itu secara umum ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan
syari'at menurut perumusnya (syari') dan tujuan syari'at menurut pelakunya
(mukallaf). Maqashid al-syari'ah dalam konteks maqashid al-syari' meliputi empat hal,
yaitu :
1) Tujuan utama syari'at adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
2) Syari'at sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3) Syari'at sebagai hukum taklifi yang harus dijalankan.
4) Tujuan syari'at membawa manusia selalu di bawah naungan hukum.

Keempat aspek di atas saling terkait dan berhubungan dengan Allah sebagai
pembuat syari'at (syari'). Allah tidak mungkin menetapkan syari'atNya kecuali dengan
tujuan untuk kemaslahatan hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tujuan
ini akan terwujud bila ada taklif hukum, dan taklif hukum itu baru dapat dilaksanakan
apabila sebelumnya dimengerti dan dipahami oleh manusia. Oleh karena itu semua
tujuan akan tercapai bila manusia dalam perilakunya sehari-hari selalu ada di jalur
hukum dan tidak berbuat sesuatu menurut hawa nafsunya sendiri.

Maslahat sebagai substansi dari maqashid al-syari'ah dapat dibagi sesuai


dengan tinjauannya. Bila dilihat dari aspek pengaruhnya dalam kehidupan manusia,
maslahat dapat dibagi menjadi tiga tingkatan :

1) Dharuriyat, yaitu maslahat yang bersifat primer, di mana kehidupan


manusia sangat tergantung padanya, baik aspek diniyah (agama) maupun
aspek duniawi. Maka ini merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan
dalam kehidupan manusia. Jika itu tidak ada, kehidupan manusia di dunia
menjadi hancur dan kehidupan akhirat menjadi rusak (mendapat siksa). Ini
merupakan tingkatan maslahat yang paling tinggi. Di dalam Islam,
maslahat dharuriyat ini dijaga dari dua sisi: pertama, realisasi dan
perwujudannya, dan kedua, memelihara kelestariannya. Contohnya, yang
pertama menjaga agama dengan merealisasikan dan melaksanakan segala
kewajiban agama, serta yang kedua menjaga kelestarian agama dengan
berjuang dan berjihad terhadap musuh-musuh Islam.
2) Hajiyat, yaitu maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan oleh
manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan
kesulitan maupun kesempitan. Jika ia tidak ada, akan terjadi kesulitan dan
kesempitan yang implikasinya tidak sampai merusak kehidupan.
3) Tahsiniyat, yaitu maslahat yang merupakan tuntutan muru'ah (moral), dan
itu dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika ia tidak ada, maka
tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia. Maslahat
tahsiniyat ini diperlukan sebagai kebutuhan tersier untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia.

Jenis kedua adalah maslahat yang dilihat dari aspek cakupannya yang
dikaitkan dengan komunitas (jama'ah) atau individu (perorangan). Hal ini dibagi
dalam dua kategori, yaitu :

1) Maslahat kulliyat, yaitu maslahat yang bersifat universal yang kebaikan


dan manfaatnya kembali kepada orang banyak. Contohnya membela negara
dari serangan musuh, dan menjaga hadits dari usaha pemalsuan.
2) Maslahat juz'iyat, yaitu maslahat yang bersifat parsial atau individual,
seperti pensyari'atan berbagai bentuk mu'amalah.

Jenis ketiga adalah maslahat yang dipandang dari tingkat kekuatan dalil yang
mendukungnya. Maslahat dalam hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu :

1) Maslahat yang bersifat qath'i yaitu sesuatu yang diyakini membawa


kemaslahatan karena didukung oleh dalil-dalil yang tidak mungkin lagi
ditakwili, atau yang ditunjuki oleh dalil-dalil yang cukup banyak yang
dilakukan lewat penelitian induktif, atau akal secara mudah dapat
memahami adanya maslahat itu.
2) Maslahat yang bersifat zhanni, yaitu maslahat yang diputuskan oleh akal,
atau maslahat yang ditunjuki oleh dalil zhanni dari syara'.
3) Maslahat yang bersifat wahmiyah, yaitu maslahat atau kebaikan yang
dikhayalkan akan bisa dicapai, padahal kalau direnungkan lebih dalam
justru yang akan muncul adalah madharat dan mafsadat .

Pembagian maslahat seperti yang dikemukakan oleh Wahbah alZuhaili di atas,


agaknya dimaksudkan dalam rangka mempertegas maslahat mana yang boleh diambil
dan maslahat mana yang harus diprioritaskan di antara sekian banyak maslahat yang
ada. Maslahat dharuriyat harus didahulukan dari maslahat hajiyat, dan maslahat
hajiyat harus didahulukan dari maslahat tahsiniyat. Demikian pula maslahat yang
bersifat kulliyat harus diprioritaskan dari maslahat yang bersifat juz'iyat. Akhirnya,
maslahat qath'iyah harus diutamakan dari maslahat zhanniyah dan wahmiyah.
Memperhatikan kandungan dan pembagian maqashid al-syari'ah seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa maslahat yang merupakan tujuan
Tuhan dalam tasyri'-Nya itu mutlak harus diwujudkan karena keselamatan dan
kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa realisasi
maslahat itu, terutama maslahat yang bersifat dharuriyat.

Dari semua paparan di atas, tampak bahwa maqashid al-syari'ah merupakan


aspek penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini sekaligus sebagai jawaban
bahwa hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan
perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Adaptasi yang dilakukan tetap
berpijak pada landasan-landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang
lingkup syari'ah yang bersifat universal. Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam
itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.

Anda mungkin juga menyukai