Anda di halaman 1dari 5

USHUL FIQH

Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, M.A.

A. PENDAHULUAN

Kata al-ushul adalah jamak dari kata al-ashl, menurit bahasa berarti “landasan
tempat membangun sesuatu”. Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-
Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, kata al-ashl mengandung berapa pengertian:

1. Bermakna adil, contohnya dalil wajib shalat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Bermakna kaidah umum, yaitu satu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku
pada seluruh cakupannya. Contohnya Islam dibangun di atas lima kaidah umum
3. Bermakna al-rajih, yaitu yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan. Contohnya
pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya
4. Bermakna asal tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari
rukun qiyas. Contohnya khamar merupakan asal (tempat mengqiyaskan)
narkotika.
5. Bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah.
Contohnya seseorang yang meyakini bahwa ia telah berwudhu, kemudian ia ragu
apakah wudhunya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fikih mengatakan
“yang diyakini adalah keadaan ia dalam keadaan berwudhu”, artinya dalam hal
tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu.

Kata kedua adalah kata al-fiqh yang menurut bahasa berarti “pemahaman”.
Menurut istilah, al-fiqh dalam pandangan Abu Hanifah adalah “pengetahuan diri
seseorang tentang apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya”.
Definisi yang diajukan Abu Hanifah ini sejalan dengan keadaan ilmu pengetahuan
keislaman di masanya, di mana belum ada pemilahan antara ilmu fikih dalam
pengertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh sebab itu,
istilah fikih mempunyai pengertian umum, mencakup hukum yang berhubungan
dengan akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu akhlak, dan hukum-
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti hukum ibadah dan
muamalah.

Ketika masing-masing ilmu telah mempunyai disiplin ilmu tersendiri, maka


kalangan pengikut Abu Hanifah menambah kata sehingga definisi fikih berarti
“pengetahuan diri seseorang tentang hak dan kewajibannya dari segi amal perbuatan.”
Dengan adanya tambahan tersebut, maka kata fikih tidak lagi mencakup selain
hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan.

Kata ilmu’ (pengetahuan) secara umum mencakup pengetahuan secara yakin


dan pengetahuan yang sampai ke tingkat zhan (perkiraan). Namun yang dimaksud
dengan kata al-‘ilmu dalam definisi tersebut ialah pengetahuan yang sampai ke
tingkatan zhan atau asumsi. Fikih adalah hukum Islam yang tingkat kekuaannya hanya
samoai ke tingkatan zhan, karena ditarik dari dalil-dalil yang dzanny. Bahwa hukum
fikih itu adalah dzanny sejalan pula dengan kata al-muktasab dalam definisi tersebut
yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal
pikiran manusia dalam penarikannya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Ushul Fiqh dipandang sebagai satu kesatuan dalam satu disiplin ilmu, tanpa
melihat kepada pengertian satu persatu dari dua kata yang membentuknya. Dalam
pengertian ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu ada beberapa pembahasan, yaitu yang
pertama tentang dalil-dalil fikih secara global. Kata al dalil secara etimologis berarti
sesuatu yang memberi petunjuk kepada suatu hal yang lain. Dalil itu sendiri terdiri
dari dua macam, dalil ijmali (global) dan dalil tafsili (terperinci). Yang kedua tentang
cara mengistibatkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu tentang metode istinbatnya
adalah bagian dari metode-metode istinbat secara keseluruhan. Yang ketiga tentang
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan ijtihat, tentang
ijtihad itu sendiri, dan hal-hal yang menjadi lapangannya.

Dari definisi ushul fiqh menurut Abdullah bin Umar al-Baidawi


mengemukakan tiga masalah pokok yang dibahas dalam ushul fiqh, yaitu tentang
sumber dan dalil huku, tentang metode istinbat, dan tentang ijtihad. Kajian tentang
hukum oleh ‘Abd Allah bin Umar Al-Baidlawi diletakkan pada bagian pendahuluan.
Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali, ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah
meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan, melainkan pada
bagian pertama dari masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam ushul fiqh.
Berpegang pada pendapat Al-Ghazali, objek pembahasan ushul fiqh menjadi empat
bagian, yaitu pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya
(hakim, mahkum fih, mahkum ‘alaih), pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-
dalil hukum, pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber
dan dalil-dalil itu, dan pembahasan ijtihad.

Tugas ushul fiqh untuk menemukan sifat-sifat esensial dari dalil-dalil syara’
dan sifat-sifat esensial itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kadiah
secara global. Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli ushul fiqh
ini pada gilirannya akan direrapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i
(terperinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas
mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan hukum fikih yang langsung
dikaitkan dengan satu per satu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah adlam kaitannya
dengan perbuatan mukallaf dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh.

Studi ushul fiqh akan terasa penting disaat dihadapkan kapada masalah-
masalah baru yang hukumnya tidak terdapat dalam perbendaharaan fikih lama.
Kegunaan ushul fiqh terutama baru akan terasa bilamana keyakinan bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup dapat disingkirkan dari benak umat Islam. Jika benar pintu
ijtihad pernah ditutup dalam sejarahnya, hal itu tidak lain dimaksudkan agar ijtihad
tidak dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak berkompeten untuk melakukannya.

B. HUKUM SYARA’
Secara etimologi kata hukum al-hukm berarti “mencegah” atau “memutuskan”.
Menurut terminologi ushul fiqh, hukum al-hukm berarti:
‫خطاب هللا المتعلق بأفعال المكلفين با ال قتضاء ألو التخيير أوالوضع‬
Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik
berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk mlakukan atau anjuran untuk
meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi mukallah untuk memilih antara melakukan
dan tidak melakukan), atau wadl’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau mani’ (penghalang)).
Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam,
yaitu hukum taklifi (hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan
terhadap seseorang mukallaf) dan hukum wadl’i (berupa penjelasan hubungan suatu
peristiwa dengan hukum taklifi). Istilah hukum dalam kajian ushul fiqh pada hukum
taklifi pada asalnya adalah teks ayat atau Hadits hukum, yang terbagi menjadi lima
bentuk, yaitu ijab (mewajibkan), nadb (anjuran untuk melakukan), tahrim (melarang),
karahah (ayat atau Hadits yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan),
dan ibahah (ayat atau Hadits yang memberi pilih seseorang untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan). Dalam hukum wadl’i adalah ketentuan syariat dalam
bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab (sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yang lain), syarat (sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang
lain), atau sebagai mani’ (penghalang dari sesuatu).
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam
istilah fikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di
pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, kata hakum
di sini berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Meskipun para ulama ushul fiqh sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah,
namun mereka berpendapat dalam masalah apakah humum-hukum yang dibuat Allah
hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah, atau akal
secara independen bisa juga mengetahuinya. Perbedaan pendapat ini berpangkal dari
perbedaan tentang fungsi akal dala, mengetahui baik dan buruk suatu hal.
Dari kajian ushul fiqh membahas juga tentang mahkum fih dan mahkum ‘alaih.
Mahkum fih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai menghubungkan hukum syara’”.
Dari pengertian mahkum fih terdapat syarat-syarat mahkum fih, yaitu perbuatan itu
diketahui secara sempurna dan perinci oleh orang mukalaf, sehingga dengan demikian
suatu perintah, misalnya dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki
Allah atau Rasul-Nya. Diketahui secara pasti oleh para mukallaf, bahwa perintah itu
datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah
dan Rasul-Nya. Dan perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa
perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya.
Yang kedua ada mahkum ‘alaih yang berarti “orang mukallaf (orang yang layak
dibebani hukum taklifi)”. Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklifi
bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan, yaitu mampu memahami dalil-
dalil hukum baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain minimal sebaras
memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau Hadits Rasulullah. Dan
mempunyai ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau
memikul beban taklif.
Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut mukallaf, artinya segala
perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, dan ia diperingatkan untuk
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini baru
dimiliki seseorang secara sempurna bilamana ia baligh, berakal, dan bebas dari segala
hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila,
tidur, lupa, terpaksa, dan lain-lain.
Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang baru dianggap sah di samping
sudah baligh dan berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan untuk
mengendalikan hartanya. Seseorang yang telah mencapai umur baligh dan berakal,
tetapi tidak mampu mengendalikan hartanyam seperti mubadzir, tidak dianggap cakap
mengendalikan hartanya, dan oleh karena itu ia perlu dibimbing oleh penanggung
jawabnya.

Anda mungkin juga menyukai