TENTANG :
QAWAID FIQHIYYAH
Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Ushul fiqh adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum
dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya.
Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh
orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum
itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh adalah produk
operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan dari
dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul fiqh. Ini sejalan
dengan pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.
Misalnya hukum wajib shalat dan zakat yang digali dari ayat Al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 43 yang
Berbunyi:
dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat..
Tujuan Dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah
1. Periode Kelahiran.
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan
taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya
berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab
beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya
takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi
kasus-kasus hukum baru.
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya
qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai
permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan
sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga.
3. Periode Penyempurnaan
Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al- Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi
yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah: (sesungguhnya tidak berhak
bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin
pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu
hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk
perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu
penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.
Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam
mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum
pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100
adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada bagian
batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan
nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab
qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh
fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn
al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat
dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu 'Uyun al-Basa'ir.