Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AL-QAWAID AL-FIQHIYAH

DI SUSUN OLEH :

Salsabila Putri Noviana

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT UMMUL WUQO AL-ISLAMI BOGOR
2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayat yang telah ia
berikan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya. Kemudian ucapan terimakasih kami haturkan kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalalm penyusunan makalah ini, baik berupa sarana
prasarana maupun berupa ide-ide atau gagasan-gagasan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Qawaid
fiqhiyah sebagai bahan diskusi mengenai pengertian dan ruang lingkup qaawaid
fiqhiyah. Demikianlah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kesalahan dan
kekurangan kami mohon maaf. Kritik maupun saran kami buka demi perbaikan
makalah ini untuk selanjutnya. Atas perhatiannya kami haturkan ungkapan
terimakasih.
BAB l
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai landasan aktivitas umat islam sehari-hari dalam usaha memahami
maksud-maksud ajaran islam (maqasidusy syari’ah) secara lebih menyeluruh,
keberadaan qawaid fiqhiyah menjadi sesuatu yang amat penting . baik dimata
para ahli usul (usuliyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawaid fiqhiyah
adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan
pemikiran dalam permasalahan-permasalahan kehidupan manusia. Manfaat
keberadaan qaw’id fiqhiyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih
praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu Al-qur’an dan Al-hadits kepada
masyarakat. Maqasidusy syari’ah diturunkan kepada manusia untuk memberi
kemudahan dalam pencapaian pemecahan masalah hukum.
Nah, salah satu solusi untuk mengurangi benang kusut itu, adalah dengan
mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita
mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi, kita juga dituntut untuk menguasai
pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya adalah dengan
mempelajari kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah.
Dengan kedua kaidah tersebut nilai-niai esensial syari’at terurai dengan sangat
lugas, logis, tuntas, dan rasional.
Fiqh adalah sebuah produk. Ia diolah dari bahan wahyu, yaitu Alquran, dan
sunnah Rasulullah. Adapun cara agar Alquran dan sunnah itu dapat dinikmati
sebagai fiqh adalah dengan dengan ushul fiqh. Jadi, ushul fiqh adalah
membicarakan bagaimana (how) Alquran dan sunnah dipahami. Hasil
pemahaman itulah yang disebut dengan fiqh. Meskipun ushul fiqh sangat
penting, tetapi seringkali pelajaran ushul fiqh kurang mendapatkan perhatian
yang semestinya. Orang lebih senang mencari hasil jadinya, yaitu hukum-hukum
fiqh. Ushul fiqh kemudian hanya dipelajari sambil lalu tanpa pemahaman arti
penting kegunaannya, padahal melalui ushul fiqh akan diketahui sebab-sebab
perbedaan pendapat para ulama dalam memahami Alquran dan sunnah serta
bagaimana hukum Islam diformulasikan. Dengan cara tersebut, ushul fiqh
mengantarkan umat Islam untuk lebih memahami ajaran agamanya secara
bijaksana dan ilmiah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Qawaid fiqhiyahZ
2. Apa saja ruang lingkup Qawaid fiqhiyah?
3. Apa tujuan dan fungsi dari mempelajari Qawaid fiqhiyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Qawaid fiqhiyah
2. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup Qawaid fiqhiyah
3. Untuk mengetahui apa tujuan dan fungsi dari mempelajari Qawaid fiqhiyah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawaid Fiqhiyah


Qawaid fiqhiyah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua suku
kata, yaitu Qawaid dan fiqhiyah. Qawaid adalah bentuk jama’ dari kata
qa’idah yang secara etimologi berarti dasar atau fondasi (al-asas). Jadi
qawaid berarti dasar-dasar sesuatu. Ada dasar atau fondasi yang bersifat
hissin (kongkrit, bias dilihat) seperti dasar atau fondasi rumah, dan ada juga
yang bersifat ma’nawi (abstrak, tak bias dilihat) seperti dasar-dasar agama.
Secara terminologi, al-Taftazani mendefinisikan qa’idah dengan
“hukum yang bersifat universal dan dapat diterapkan pada seluruh bagian-
bagiannya, yang mana persoalan-persoalan bagian tersebut dapat dikenali
darinya.”Sedangkan al-jurjani dengan lebih sederhana mendefinisikan
qa’idah sebagai proposisi/ peristiwa (qodhiyyah) universal yang dapat
diterapkan pada seluruh bagian-bagiannya.
Sedangkan fiqhiyah berassal dari kata fiqh yang ditambah ya nisbah,
gunanya untuk menunjukkan jenis. Secara etimologi, kata fiqh berasal dari
kata fiqhan yang merupakan madzhar dari fi’il madhi faqiha yang berarti
paham. Selain itu, fiqh juga dimaknai sebagai pemahaman mendalam yang
untuk sampai padanya diperlukan pengerahan pemikiran secara sungguh-
sungguh. Oleh sebab itu, pemahaman disini tidak hanya pemahaman secara
lahir, tetapi secara batin.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka ulama terbagi dua dalam
memaknai qawa’id fiqhiyyah. Bagi ulama yang memandang bahwa qawa’id
fiqhiyyah bersifat aghlabi, mereka beralasan bahwa realitanya memang
qawa’id fiqhiyyah memiliki pengecualian, sehingga penyebutan kulli terhadap
Qawa’id fiqhiyyah menjadi kurang tepat. Sedang bagi ulama yang
memandang qawaid fiqhiyyah sebagai besifat kulli, mereka beralasan pada
kenyataan bahwa pengecualian yang terdapat pada qawa’id fiqhiyyah
tidaklah banyak.
Disamping itu, mereka juga beralasan bahwa pengecualian (al-istitsna’)
tidak memiliki hukum , sehingga tidak mengurangi sifat kulli pada qawa’id
fiqhiyyah. Dengan demikian, qawa’id fiqhiyyah merupakan kaedah-kaedah
yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat
diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya.
1. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dan kaidah Ushul Fiqh. Secara lebih rinci
dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini.
a. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum)
yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya.
Sedangkan al-qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang
biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun,
kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum
tersebut.
b. Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan metode melahirkan hukum dari dalil-dalil
terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar hukum secara
benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama
dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan
tulisan yang benar. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai tentang dalil dan
hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan
setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sedangkan al-
qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli
(umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian
masalah fiqh. Objek kajian al-qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut
perbuatan mukallaf.
c. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan
hukum syara’ yang bersifat amaliyyah. Sedangkan al-qawaid al-
fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang
serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara
bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan
memudahkan memahami fiqh.
d. Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, al-
qawaid al-ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum
(furu’). Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul dan ada setelah ada
furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan
sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama
substansinya.
e. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang
meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan
hukum. Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan
sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di
bawah cakupannya semata.
2. Penerapan kaidah fiqhiyyah
Kaidah-kaidah fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh
penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan
ibadah ataupun mu’amalah (intraksi antara sesama manusia). Diantara
contohnya. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan,
“Tanah ini saya wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi
dari perkataan ini adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf
tersebut hanyalah orang-orang yang tergolong fakir, tidak selainnya.
Karena dalam perkataan tersebut ada pengikatnya secara khusus,
sehingga harus diterapkan sesuai dengan ikatannya tersebut. Ini adalah
contoh pengikat dan menyebutkan sifat.
Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini
untuk Ahmad dan Zaid, dengan perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid
sepertiga”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai
dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Apabila seseorang
mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk anak-anak Ahmad
kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus
diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Contoh
tersebut merupakan penerapan dari salah satu Qawa’id Fiqhiyah yang
berbunyi: “Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah Kalimat”.
B. Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah
berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh,
serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah
tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4
bagian, yaitu :
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra
Yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup
berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh
seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
1) Al-Umuru bi maqashidiha.
Kaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal
perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun
perbuatan diukur menurut niat si pelaku. Untuk mengetahui sejauh
mana niat si pelaku, haruslah dilihat adanya qarinah-qarinah yang
dapat dijadikan petenjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
Adapun dasar kaidah ini salah satunya adalah QS: Ali Imran:145
(Barang siapa yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan
kepadanya pahala di dunia itu, dan barang siapa yang menghendaki
pahala akhirat niscaya kami berikan pula pahala akhirat itu.) Sabda
Nabi SAW : “Innama al-a’mà lu bi al-niyyà t wa innama likulli imri’in mà
nawà ”: Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan
sesungguhnya bagi seorang itu hanyalah apa yang ia niati (HR Perawi
Enam dari Umar bin Khattab) Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan
menurut niatnya (HR Ibnu Majah dari Abu Harairah).
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan,
bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan
pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu
melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah
dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada
Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan.
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut: Pertama,
Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. Kedua, Untuk
membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
Dan yang ketiga, Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan
ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Contoh: ibadah sholat membutuhkan niat, dengan niat menjadi
perbedaan antara adat istiadat, sah dan tidaknya, serta penentuan
kwalitas ibadah tersebut. Begitu juga dengan puasa, zakat, haji dll.
2) Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
Dalam kajian Ilmu Hukum modern, kaidah ini sama dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocent). Selain itu, secara
moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka
baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.
Contoh, apabila seseorang mengalami keraguan dalam jumlah rakaat,
apakah 3 atau 4, maka diambil yang pasti yaitu 3 rakaat, karena yang
pasti diyakini adalah yang 3 rakaat. Bila mengambil keputusan yang
empat rakaat, bisa jadi sholat yang dia lakukan masih 3 rakaat.
3) Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk
melakukan sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau
sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati nuraninya.
Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik syari’ah
yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah Islam.
Contoh : Apabila kita melakukan perjalanan yang mana
perjalana tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya
mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena
apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak
akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya.
Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan
dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk
pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat
pada waktu sholat tersebut.

4) Adh-Dhararu Yuzal,
Kaidah ini kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-
Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan
kemudhoratan atau setidaktidaknya meringankannya. Batasan
kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi
kemanusiaan yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
(al-Dlaruriyyat alKhamsah).
Contoh: Kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang
banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai
kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa
ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon
tersebut harus di tebang. Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-
Qur’an surat Al-A’raf ayat 56: Artinya: Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik
5) Al- ’Adatu Muhakkamah.
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat
bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada
dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan
hukum. Oleh karena itu, sebelum mengurai kaidah ini, perlu diketahui
terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( ‫ ( العود‬atau al-
mu'awadah ( ‫( المؤدة‬yang artinya berulang ( ‫ (التكرار‬. Oleh karena itu,
tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan
dikatakan sebagai adat.

b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah
Yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-
madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada
qawa’id yang lalu. Seperti kaidah: al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak
mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian,
dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-
Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan.
Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di
bawah kaidah yg lebih umum.
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab)
Yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak
pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :
1) Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2) Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi
tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan
madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci
di kalangan madzhab Maliki.
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid
Yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-
kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg
lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab. Contoh,
kaidah: Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal? Apakah hukum yang
dianggap itu atau waktu nanti? waktu sekarang Kaidah ini diperselisihkan
pada madzhab pada Syafi’i.
C. Tujuan Mempelajari Qawaid Fiqhiyah
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan
manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:
1. Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-
prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai
fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan
dan adat yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan
oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya
mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak
langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan
analogi (ilhaq) dantakhrij untuk memahami permasalahan-
permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami)
bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
D. Fungsi Kaidah Fiqhiyah
Para Imam Madzhab dalam mengistinbathkan suatu hukum memiliki
pola pikir tertentu yang dapat dijadikan aturan pokok, sehingga hasil
istinbath-nya dapat dievaluasi secara objektif oleh para pengikutnya. Kaidah-
kaidah dasar merupakan acuan dalam beristinbath. Dengan demikian pada
dataran epistemology, kaidah fiqhiyah berfungsi sebagai alat untuk
mengetahui dan menelusuri pola dan kerangka berpikir para imam dalam
beristinbath, sekaligus dapat diketahui titik relevansi antara ijtihad yang satu
dengan yang lain. Akhirnya dapat diketahui metode yang digunakan oleh
para imam madzhab dalam beristinbath hokum, yaitu
Pertama, pada dataran aksiologis, qawaid al-fiqhiyyah berfungsi
untuk memudahkan mujtahid dalam mengistinbathkan hukum yang
bersesuaian dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia, karena dengan
adanya kaidah tersebut, para mujtahid dapat menggolongkan masalah serupa
dalam lingkup suatu kaidah.
Kedua, dari qawaid al-fiqhiyyah adalah agar para mujtahid dapat
mengistinbathkan hukum - hukum syara dengan baik dan benar, orang tidak
akan dapat menetapkan hukum dengan baik apabila tidak mengetahui kaidah
fiqih.
Ketiga, qawaidh al-fiqhiyyah berfungsi untuk membina hukum Islam.
Hal ini ditegaskan oleh Hasbi As-Shiddiqie, yang menyatakan bahwa qawaid
al-fiqhiyyah berfungsi untuk memelihara ruh Islam dalam membina hokum,
mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak keadilan persamaan,
maupun dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat serta
memperhatikan keadaan dan suasana.
Keempat, qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu akan mengikat atau
mengekang furu’ yang bermacam-macam, dan meletakkan furu’ itu dalam
satu kandungan umum yang lengkap, karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah
adalah himpunan hukum-hukum syara yang serupa atau sejenis, lantaran
adanya titik persamaan atau adanya ketetapan fiqih yang merangkaikan
kaidah tersebut
BAB lll
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Qawaid fiqhiyah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua suku kata,
yaitu Qawaid dan fiqhiyah. Qawaid adalah bentuk jama’ dari kata qa’idah
yang secara etimologi berarti dasar atau fondasi (al-asas). Secara
terminologi, al-Taftazani mendefinisikan qa’idah dengan “hukum yang
bersifat universal (kulli) dan dapat diterapkan pada seluruh bagian-
bagiannya, yang mana persoalan-persoalan bagian(juz’i) tersebut dapat
dikenali darinya.”
2. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang
dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sedangkan al-
qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat
diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
3. Kaidah-kaidah fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh penerapan
yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun
mu’amalah (intraksi antara sesama manusia). Diantara contohnya. Apabila
seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan, “Tanah ini saya
wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi dari perkataan ini
adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut hanyalah orang-
orang yang tergolong fakir, tidak selainnya.
4. Ruang lingkup qawaid fiqhiyyah
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab),
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid
5. Tujuan qawaid fiqhiyyah Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan
mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah
yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai