KAIDAH FIKHIYAH
Disusun Oleh :
1. Zulkipli (210201013)
2. M. Baehaqi (210201036)
3. Rosalinda (210201015)
FAKULTAS SYARIAH
MATARAM
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Al-
Qaidah Fiqhiyah dan al-Dhabith al-fiqhiy " dengan tepat waktu.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat pagi pembacanya.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
B. Rumusan Masalah...........................................................................................
A.
Kesimpulan..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
ii
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Cara yang kedua itu kemudian lahir ilmu yang masyhur dinamakan al-
Qawaid alFiqhiyyah. Mula-mula, seorang pemimpin ulama yang bernama
Izzuddin bin Abdul Aziz bin Abdus Salam (w. 660 H) adalah orang pertama
yang mengawali pembicaraan tentang kaidah fikih, dengan diawali sebuah
kaidah المفاسد ) ودرء المصالح إعتبارmengutamakan kemaslahatan dan menjauhkan
kerusakan). Karya-karya awalnya di bidang ini berjudul al-Qawaid al-Sughra
dan al-Qawaid al-Kubra.
Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit
sejak zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada
zaman Rasulullah SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu
kaidah. Akar kaidah fikih itu bermula dari ayat alQuran dan hadis Nabi,
karena memang setiap kaidah memiliki sumber dari keduanya sebagaimana
yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab asybah-nya.
2
B. Rumusan Masalah
4. Bagaimana p
3
BAB II
PEMBAHASAN
Secara leksikal, kaidah fiqhiyyah berasal dari dua kata: yang berarti:
dasar, asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu baik yang kongkrit, materi
atau inderawi seperti pondasi rumah maupun yang abstrak baik yang bukan
materi dan bukan inderawi seperti dasar-dasar agama. Sedangkan berasal dari
kata ditambah ya nisbah yang berfungsi sebagai makna penjenisan dan
pembangsaan, sehingga berarti hal-hal yang terkait dengan fikih.
4
Sedangkan menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah dasar-
dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang
yang berisi hukumhukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa
hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
5
4. Perbandingan antara al-qaidah al-fiqhiyyah dan al-qaidah al-ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari
Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu,
baik yang bersifat materi ataupun bukan”. Sedangkan secara terminologi, kata
ashal mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama : Dalil
(landasan hukum), seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari
wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
Kedua : Qaidah (dasar, fondasi), yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda
Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau
fondasi)”. Ketiga : Rajih (yang terkuat), yaitu yang terkuat, seperti dalam
ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu
hukum adalah arti hakikatnya” Keempat : Far’un ( cabang), seperti perkataan
ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali).
Kelima : Mustashab (memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama
tidak ada dalil yang mengubahnya). Misalnya, seseorang yang hilang, apakah
ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?
Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang
kematiannya. Ia
tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan
perkawinannya dianggap tetap.
a. Ilmu ushul fiqih merupakan parameter (tolak ukur) cara berinstinbat fikih
yang benar. Kedudukan ilmu ushul fiqih (dalam fiqih) ibarat kedudukan ilmu
nahwu dal hal pembicaraan dan penilisan, qawaid fiqhiyyah merupakan
wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawaid
fiqhiyyah adalah mengeluarkan hukum dari fdalildalil yang tafshili
6
(terperinci). Ruang lingkup qawaid ushuliyyah adalah dalil dan hukum seperti
amr itu menunjukan wajib, nahyi menunjukan haram, dan wajib mukhayar bila
telah dikjerjakan sebagaian orang, maka yang lainya bebas dari tanggung
jawab. Qawaid fiqhiyyah adalah qaidah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas)
yang juz’i-juz’inya (farsialfarsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang
lingkupnya selslu perbuatan orang mukalaf.
d. Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir setelah
furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan
mengalokasikan makna-maknanya. Adapun ushul fiqih dalam teori ditunut
eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan menjadi dasar seorang
fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya seperti al- Qur’an terhadap sunah
dan nash al-Qur’an lebih kuat dari zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’.
Posisinyaseperti anak terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman
terhadap benih.
e. Qawaid fiqhiyyah sama dengan ushul fiqih dari satu sisi dan berbeda dari
sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduannya sama-sama mempunyai
kaidah yang mencakuip berbagai juz’i, sedangkan perbedaannya yaitu kaidah
ushul adalah masalah-masalah yang dicakup oleh bermacam-macam dalil
7
tafshily yang dapat mengeluarkan hukum syara’. Kalau kaidah fiqih adalah
masalah-masalah yang mengandung hukumhukum fiqih saja. Mujtahid dapat
sampai kepadanya dengan berpegang kepada masalah-masalah yang
dijelaskan ushul fiqih. Kemudidan bila seorang fakih mengapllikasikan
hukum-hukum tersebut terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah
kaidah, namun, bila ia menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qaidah-
qaidah kuliyyah (peristiwa-peristiwa universal)yang dibawahanya terdapat
berbagai hukum juz’i maka itu disebut kaidah. Qawaid kuliyyah dan hukum-
hukum juz’i benar-benar masuk dalam madlul (kajian) fikih, keduanya
menunggu kajian mujtahid terhadap ushul fiqih yang membangunnya.
Fakta saat ini, islam telah terbagi-bagi menjadi banyak golongan. Di Indonesia
sendiri, telah begitu banyak golongan-golongan yang menamakan golongan
mereka dengan nama yang berbeda-beda,berdasarkan faham yang dianut. Nah,
apakah perbedaan-perbedaan ini yang menjadi masalah? Tentu saja bukan.
Perbedaan-perbedaan adalah sesuatu yang wajar,bahkan selalu ada.
Perbedaan ini bahkan telah terjadi sejak zaman rasulullah. Perbedaan faham
itu seringkali terjadi di antara para sahabat. Namun kendati demikian,
perbedaan yang terjadi pada masa rasulullah tidak menimbulkan perpecahan
internal karena setiap terjadi suatu perbedan, perbedaan tersebut selalu bisa
teratasi dengan adanya rasulullah SAW sebagai rujukan dan pedoman.
Perbedaan-perbedaan baru banyak terjadi setelah rasulullah wafat. Dan di
sinilah mulai terjadi banyak perpecahan. Banyaknya perubahan yang terjadi
setelah wafatnya rasulullah membuat banyak para sahabat dan ulama
melakukan ijtihad terhadap suatu hukum. Kalau saat rasulullah masih hidup,
tentunya segala hal akan berpedoman pada rasulullah. Namun dengan
8
meninggalnya rasulullah, ijtihad para ulama sangat mempengaruhi
perkembangan islam pada masa setelahnya. Perbedaan sudut pandang,
pemikiran, kondisi, dan faham membuat para ulama memiliki ijtihad yang
berbeda-beda. Karena perbedaan ini, muncullah golongan-golongan baru.
Beberapa golongan-golongan ini kemudian menganggap golongan mereka
sebagai satu-satunya golongan yang benar dan mengklaim golongan-golongan
lain sebagai golongan yang salah. Hal inilah yang sesungguhnya tidak boleh
terjadi. Dalam kondisi kita saat ini, seharusnya setiap golongan saling
menghormati kepada golongan lain. Tidak boleh ada saling menjatuhkan di
antara sesama muslim. Setiap perbedaan seharusnya bisa menjadi bahan bagi
setiap golongan untuk memperbaiki golongannya sendiri menjadi lebih baik.
Jangan selalu melihat sisi buruk dari golongan lain, karena setiap golongan
pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan dari golongan lain bisa
dimanfaatkan untuk memperbaiki golongannya sendiri menjadi lebih baik.
9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kaidah fiqhiyyah
adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum
derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitasnya. Kaidah fiqhiyyah
cabang adalah kaidah yang spesifik membidangi bab atau tema tertentu pada
permasalahan fikih, sehingga sebagian fuqahâ memasukkan dalam dlawâbith
fiqhiyyah , sebagian lagi memasukkan dalam qawâid fiqhiyyah khâshshah.
10
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jabbarsabil.com/2013/11/pengertian-kaidah-fiqhiyah.html
https://psikologi-oke.blogspot.com/2016/06/kaidah-fiqih-dhabit-fiqih-ashal-
dan.html#!
11