Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

QAWAID, SEJARAH QAWAID DAN RAGAM QAWAID LINTAS MADZHAB

Di susun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Qowaid Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Suhadi, M.S.I.

Disusun Oleh :

Kelompok 1

Kelas HKI-D2

1. Fibry Helmalia Putri (2020110106)

2. Mujib Zuhdi (2020110122)

3. Ummu Rohmatul Maghfiroh (2020110115)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM HUKUM KELUARGA ISLAM

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum Wr Wb

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya  sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Makalah qowaid fiqhiyah ini dengan
tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya saya tidak dapat menyelesaikan Makalah ini.
Sholawat serta salam terlimpah curah kepada Nabi Muhammad SAW.

Adapun tujuan pembuatan makalah yang berjudul ”Qawaid, Sejarah Qawaid dan Ragam
Qawaid Lintas Madzhab” adalah untuk memenuhi salah satu tugas qowaid fiqhiyah dan
dengan adanya makalah ini bisa menambah ilmu kita mengenai sejarah qawaid dan dapat
mengamalkan qawaid fiqhiyah dalam kehidupan sehari-hari.

Tak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen yang sudah memberikan tugas
makalah ini dan saya mohon maaf bila banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
harap Bapak dapat memakluminya.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Wassalamua’laikum Wr Wb

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I    PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Qawaid Fiqhiyah

2.2 Sejarah Perkembangan Qawaid Fiqhiyah

2.3 Sistematika Qawaid Fiqhiyah

2.4 Urgensi Qawaid Fiqhiyah

BAB III PENUTUUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Hukum Islam yang notabene terbungkus dalam ilmu Fiqih, merupakan hal yang
dipandang esensial keberadaannya. Bila dibandingkan dengan masalah aqidah dan akhlaq,
polemik seputar fiqih lebih seru menjadi bahan obrolan, dari tingkat warung kopi, surau,
hingga kelas akademisi. Hal ini dikarenakan fiqih dalam perjalanannya lebih didominasi oleh
hasil ijtihad para ulama yang tidak menutup kemungkinan memunculkan perbedaan pendapat
dari tiap kalangan. Bahkan perbedaan zaman, letak geografis, dan karakter individu serta
komunitas memaksa fiqih mengalami evolusi. Pasca wafatnya Rasulullah SAW serta para
sahabat radiyallahu ‘anhum, belum ada formulasi tentang metode penetapan hukum Syariah
yang paten. Hingga munculah sejumlah madzhab ulama dengan produk hukumnya masing-
masing yang tak sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tokoh-tokoh madzahib
tersebut menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi
pedoman mereka dalam menetapkan sebuah hukum.

Al-Qur’an dan hadist yang menjadi sandaran utama pengambilan hukum perlu
diinterpretasikan mengingat tidak semua perkara disebutkan secara spesifik hukumnya dalam
lafadz nushus. Hingga muncullah disiplin ilmu dalam berijtihad, yang seiring berjalannya
waktu disiplin ini hadir agar tidak semua orang menginterpretasi nushus dengan caranya
sendiri. Ada rambu-rambu yang tersusun dan terkemas dalam ilmu ushul fiqh yang dijadikan
landasan para ulama untuk melakukan ijtihad dan pengambilan istinbath ahkam. Dari sekian
banyak metode yang dikeluarkan dalam bidang ilmu ini, ada sekumpulan prinsip-prinsip
umum yang merangkum hukum-hukum syara’ yang umum, yang dapat dikorelasikan dengan
masalah-masalah kontemporer, prinsip-prinsip tersebut dibungkus dalam kemasan ilmu
bernama al-qawaid al-fiqhiyyah.

1.1 Latar Belakang

Qawaid al-fiqhiyyah atau Islamic legal maxim memiliki posisi penting dalam
metode istinbath ahkam. Dia merupakan satu disiplin ilmu untuk memformulasikan dalil-dalil
yang bersifat umum menjadi penunjang dalam menjabarkan sebuah hukum yang tak disebut
dalam nushus.
Disiplin ini dikategorikan sebagai bagian dari dalil syar’i, juga menjadi komponen
penting dalam perumusan penemuan hukum. Terlebih sejumlah ulama menegaskan bahwa
tolak ukur derajat keilmuwan seorang yang faqih salah satunya adalah penguasaan terhadap
ilmu qawaid ini. Imam al-Qarrafi bahkan meletakkan disiplin ilmu ini sebagai dasar syariat
ke-dua setelah ilmu ushul fiqh[2].

Dari sini perlu kita kaji secara detail tentang makna dari ilmu ini secara definitiv,
serta metode penemuan prinsip-prinsip qawaid fiqhiyyah dalam frame sejarah. Perlu
diketahui juga stadium pembentukannya hingga penyusunan, kemudian urgensi daripada
penggunaan ilmu ini bagi mujtahid.

1.2 Rumusan Masalah

Makalah ini akan dikonsentrasikan kepada sejumlah pemetaan pokok permasalahan


sebagai berikut :

1. Definisi qawaid fiqhiyyah

2. Sejarah perkembangan qawaid fiqhiyyah :

A. Periode Pertama

a) Periode Rasulullah SAW


b) Periode Khulafa al Rasyidin
c) Periode at tabi’in

B. Periode Kedua : masa perkembangan dan pembukuan

C. Periode ketiga : masa penyempurnaan

3. Sistematika Qawaid Fiqhiyyah

4. Urgensi Qawaid Fiqhiyyah

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Pembaca memahami definisi qawaid fiqhiyyah

2. Pembaca mengatahui sejarah perkembangannya

3. Pembaca mengerti urgensi qawaid fiqhiyyah

4. Setelah pembahasan ini diharapkan juga agar para pembaca mengetahui bagaiamana
sistematika dalam menghasilkan hukum melalui Qawaid Fiqhiyyah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah. Dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan istilah kaidah yang bermakna aturan atau patokan, bisa juga bermakna pondasi.
Seperti dikatakan dalam al-Qur’an :

)127: ‫ك أَ ْنتَ ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم (البقرة‬ ِ ‫اع َد ِمنَ ْالبَ ْي‬
َ َّ‫ت َوإِ ْس َما ِعي ُل َربَّنَا تَقَبَّلْ ِمنَّا إِن‬ ِ ‫َوإِ ْذ يَرْ فَ ُع إِ ْب َرا ِهي ُم ْالقَ َو‬

Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim bersama- sama Nabi Ismail meninggikan binaan asas-asas
(tapak) Baitullah (Ka`abah) itu.” (Al-Baqarah : 127)

Sementara mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan :

‫حكم كل ّي ينطبق على جميع جزئياته‬

Hukum umum yang berlaku atas hukum-hukum yang bersifat detail[3].

Sedangkan arti fiqhiyyah diambil dari kata “fiqh” yang diberi tambahan ya’ nisbah
yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih
dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna
tersebut diambil dari firman Allah :

ِ ‫لِيَتَفَقَّهٌوا فِي الد‬


)122 : ‫ِّين (التوبة‬

untuk memperdalam pengetahun mereka tentang agama. (at taubah : 122)

Dalam arti istilah fiqih bermakna sebagai berikut :

1. Menurut al Jurjani al Hanafi : Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum


syara’ yang bersifat amaliyahyang diambil dari dalil-dalil yang detail, dan dikongklusikan
melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan[4].

2. Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah al-Mubtada’ wal khabar : fiqh adalah ilmu
yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan
mukallaf, diistinbathkan dari al-quran dan sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan
berdasarkan syara’. Bila dikeluarkan hukum-hukum dengan ijtihad dan dari dalil-dalil maka
terjadilah apa yang dinamakan fiqh[5].

Maka, bila dicermati dua definisi tersebut, atau bahkan pada definisi yang lain dari
apa yang dikemukakan oleh fuqaha’, akan ditemukan makna fiqih berkisar pada rumusan
berikut :

a. Fiqih merupakan bagian dari syariah.

b. Hukum yang dibahas mencakup amaliyah.


c. Obyek hukumnya pada muslim mukallaf

d. Sumber hukum berdasarkan quran dan sunnah atau dalil lain yang bersumber pada
kedua sumber utama tersebut.

e. Dilakukan dengan jalan istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan
temporer adanya.

Dari ulasan tersebut, baik mengenai qawaid maupun fiqhiyyah maka yang dimaksud
dengan qawaid al fiqhiyyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Tajuddin as-
Subki :

‫األمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كثيرة يُفه ُم أحكامها منها‬

“Perkara yang bersifat general yang sesuai dengan perkara lain yang spesifik[6].”

Dengan kata lain, bisa disimpulkan dari definisi ini tentang qawaid al afiqhiyyah
adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh syar’i serta
tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya[7].

Jika kaidah-kaidah ushuliyahiyyah dicetuskan oleh ulama-ulama ushul, maka kaidah


fiqhiyyah sebenarnya dicetuskan oleh ulama ushul dan juga ulama fiqih. Namun aplikasi
masing-masing dari kaidah tersebut selalu mempunyai korelasi satu sama lain, bahkan tidak
bisa berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan kaidah ushuliyahiyah memuat pedoman penggalian
hukum dari sumber aslinya, sedang kaidah fiqhiyyah merupakan bentuk operasional dari
kaidah ushuliyahiyyah tersebut[8].

2.2 Sejarah Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid fiqhiyyah tidak serta merta ada dengan sendirinya dia berproses melalui
serangkaian periode, seperti halnya teori terjadinya madzhab fiqhiyyah. Maka akan dirinci
dalam makalah ini perjalanan dari tiap periode tersebut.

A. Periode Pertama

A.i Periode Rasulullah

Dalam periode ini dikongklusikan bahwa ternyata benih-benih qawaid al fiqhiyyah


telah ada sejak zaman risalah Muhammad SAW. Sekalipun dalam era ini Rasulullah dan para
sahabat tidak pernah menakaman hal tersebut adalah kaidah, namun dari pelafadzannya
ditemukan oleh ulama bahwa rasulpun mengeluarkan kaidah bahkan dari matan hadist yang
beliau ucapkan. Imam-imam mujtahid kemudian melakukan pengembangan terhadap nushus
yang bermakna kulliy atau general.

Secara tidak langsung banyak hal diucapkan oleh rasulullah yang memiliki esensi
qawaid fiqhiyyah, diantaranya adalah :

‫الخراج بالضمان‬
Hak yang menerima hasil karena harus menanggung kerugian

‫إنما األعمال بالنيات‬

Setiap pekerjaan tergantung pada niatnya

‫العجماء جرحها جبار‬

Kerusakan yang dilakukan binatang tidak dikenakan ganti rugi

‫ال ضرر وال ضرار‬

Tidak boleh berbahaya dan tidak membahayakan

‫ما أسكر كثيره فقليله حرام‬

Apa-apa yang memabukan dalam kadar yang banyak, maka dalam kadar sedikitpun ikut
haram.

karakter hadist yang dijadikan oleh para ulama sebagai sumber kaidah dalam
qawaid fiqhiyyah adalah yang berlafadz ringkas namun bermakna luas. Seperti pada karakter
hadist-hadist tersebut di atas.

A.ii Periode Sahabat

Para sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi nyata dalam pembentukan qawaid al


fiqhiyyah. Lagi-lagi sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai kaidah fiqhiyyah dalam
berargumen, namun ulama dengan ijma’nya sepakat mengkategorikan sejumlah riwayat para
shabat untuk menjadi landasan sumber kaidah. Di antara yang sangat terkenal dalam kitab al-
madkhol fi tasyri’ al Islamiy adalah perkataan Umar bin Khattab radiyallahu anhu.

“‫”مقاطع الحقوق عند الشروط‬

Penerimaan hak berdasarkan pada syarat-syaratnya[9].

Kemudian perkataan Ibnu Abbas Radiyallah anhu :

]10[‫ وكل شيء فإن لم تجدوا فهو األول فاألول‬،‫”كل شيء في القرآن أو أو فهو مخير‬

segala sesuatu dalam Al Qur’an yang menggunakan kata “atau, atau” maka itu adalah
berkonotasi pilihan, dan segala ayat dalam quran yang berkalimat “jika tidak
menemukannya” maka itu yang utama dan paling utama untuk dibayar.

Perkataan Ibnu Abbas RA di atas dikategorikan sebagai qaidah fiqhiyyah dalam bab kaffarah
dan pilihan dalam konsekuensi hukum. Ada juga atsar dari Ali RA yang diriwayatkan oleh
Abdul Razaq

‫من قاسم الربح فال ضمان عليه‬

“Orang yang membagi keuntungan tidak menerima kerugian”


A.iii Periode Tabi’in dan Tabi’u tabi’in

Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabiu tabi’in juga telah mengeluarkan
sejumlah qawaid al fiqhiyyah, di antaranya adalah dari perkataan imam Syafi’I rahimahullah:

]11[‫من شرط على نفسه طائعا ً غير مكره فهو عليه‬

Dari ulama di era yang sama, Khair bin Na’im juga berkata :

‫من أقر عندنا بشئ ألزمناه إياه‬

Barang siapa yang menyetujui suatu hal dari kita, maka hal tersebut wajib pula berlaku
padanya.

Yang sangat terkenal adalah kaidah yang dikeluarkan oleh imam Abu yusuf ya’qub
bin Ibrahim, dimana beliau menulis kitab “al Kharraj”. Terdapat di dalamnya serangkaian
kaidah fiqhiyyah, di antaranya adalah surat yang ditujukan untuk Harun ar Rasyid yang
berbunyi :

]12[‫ليس لإلمام ان يخرج شيئا من يد أحد إال بحق ثابت معروف‬

tiada wewenang bagi seorang imam untuk mengambil sesuatu dari seseorang kecuali dengan
dasar-dasar hukum yang berlaku”

‫ك ّل من مات من المسلمين ال وارث له فماله لبيت المال‬

Barang siapa meninggal tanpa punya ahli waris maka hartanya diserahkan kepada baitul
maal.

Kaidah di atas berlaku dalam perihal pembagian harta waris untuk baitul mal dan
regulasi finansial di dalamnya.

Imam Ibnu Hasan al-Syaibani, murid daripada imam Abu Hanifah RA juga mengemukakan
sebuah pendapat dalam eranya yaitu :

Apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya,


apakah ia sudah hadats batal atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih
baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta
keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin
bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang
terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur
terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu).
Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah:

‫اليقين ال يزال بالشك‬

keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan[13]

Telah terbit sejumlah kitab dalam era ini sebagai pondasi pertama perangkuman
qawaid al fiqhiyyah, namun semuanya tidak dinamakan sebagai kaidah fikih tapi tercampur
dalam satu kitab pembasahan fiqih. Seperti kitab al umm karangan imam Syafi’I, juga kitab
al khorroj milik imam Abu Yusuf, dan sejumlah sohifah dari tulisan imam Abu Hasan
Syaibani.

B. Periode Ke Dua : Masa Perkembangan dan Kodifikasi

Diyakini bahwa pada masa inilah dimana qawaid fiqhiyyah mempunyai posisi
tersendiri sebagai disiplin ilmu ke dua setelah ushul fiqh. Memasuki abad ke 4 Hijriah dan
setelahnya, dimana semangat Ijtihad telah melemah sementara taqlid terus mewabah karena
saat itu mulai banyak timbul perkara-perkara baru dalam kehidupan manusia. Era ini juga
menjadi awal masa di mana bidang fiqh mulai mengalami dikotomi dalam kemasan
madzhab. Pembukuan terhadap fiqih madzhab tertentu dirasa cukup menjadi penenang bagi
setiap orang saat itu untuk merujuk kepada bacaan tertentu pada masalah tertentu pula.
Seolah-olah era Ijtihad sudah mati secara total pada masa itu.

Namun, berkembangnya persoalan-persoalan baru ternyata tak mampu terjawab oleh kitab-
kitab madzhab. Ulama-ulamapun bangkit untuk membuat kumpulan kaidah yang diharapkan
dapat menjaga hukum dan fatwa ulama dari teori yang salah. Di antara yang memulai
kodifikasi terhadap qawaid al fiqhiyyah adalah :

a. imam Abu Hasan al Karkhi dengan kitab Ushul al Karakhi

b. Abu Zaid al Dabusi menyusun kitab ta’sisun Nadhar

c. Abu Thahir ad Dibas menyusun 17 kaidah yang disempurnakan Karakhi menjadi 37

d. Imam Abi Laits as-Samarqhandi dengan kitab yang terkenal hingga saat ini yaitu ta’sisu
nadhir

e. dll

Memasuki abad ke 7 dan 8 Hijriah, terlihat bahwa qawaid al fiqhiyyah mengalami


peningkatan yang signifikan. Bahkan banyak yang menjulukinya masa keemasan kodifikasi
untuk bidang ini. Semakin deras bermunculan dari setiap madzhab yang menyusun dan
mengklasifikasikan qawaidh fiqhiyyah menjadi bab tertentu dalam satu kitab. Jika yanng
memulai kodifikasi di abad ke empat adalah kebanyakan dari ulama Hanafi, maka di abad ini
yang lebih pesat menyebarkan karya ilmu qawaid adalah dari golongan Syafi’iyah. Namun
bukan berarti dari madzhab yang lain tidak sama sekali berkontribusi. Di antara karangan
yang sangat terkenal hingga sekarang adalah :

a. Zainul Abidin Ibnu Ibrahim atau dikenal ibnu wakil AsySyafi’I menyusun kitab al
asybah wa nadzoir

b. Tajuddin as Subuky juga mengarang kitab yang serupa namanya dengan karya Ibnu
Wakil yaitu al asybah wa nadzoir

c. Ibnu rajab al hanbali menulis Al-Qawaid fil fiqhi


d. Najmuddin at-Thufy menulis al-Qowaid al-kubra

e. Izzuddin bin Abdissalam menyusun kitab Qowaidul Ahkam fi Mashalihil Anam


(hingga saat ini, kitab tersebut menjadi rujukan dan muqorror dalam mata kuliah qawaid fiqih
di sejumlah perguruan tinggi di timur tengah).

Yang lebih mengesankan lagi, ulama di era abad ke sembilan dan sepuluh mencoba
mengklasifikasikan qawaid dengan mengumpulkan semua karya dari seluruh madzhab.
Seperti imam as shuyuthi yang mengumpulkan qawaid penting dari al a’lai, as subuky, dan
az-zarkasyi bahkan dengan nama kitab yang sama, yakni al asybah wan-nadzoir. Di era inilah
sangat dikenal sekali sebagai masa kodifikasi dan penyusunan maqashid al fiqhiyyah.

C. Periode Ke tiga : masa Penyempurnaan

Telah terkumpul dan terkodifikasi dalam kitab tersendiri untuk bidang qawaid al
fiqhiyyah. Namun bukan berarti qawaid fiqhiyyah telah dinyatakan sempurna. Langkah-
langkah penyempurnaan dilakukan ketika ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah
oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-
1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan
lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.

Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan
pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang
gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun
kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu
mengkonstruksinya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya[14]. Dari
era inilah kemudian qawaid al fiqhiyyah tersebar luas untuk menjadi landasan utama proses
pengambilan hukum.

2.3 Sistematika Qowaid Alfiqhiyah

Pada akhir era kodifikasi maqashid al fiqhiyyah, akan banyak kita temukan pada
kitab para ulama, dimana mereka membagi Qawaid pada qaidah asasiyah dan ghoiru
asasiyah. Kaidah asasiyah adalah lima kaidah utama yang tidak dipertentangkan oleh ulama
madzhab tanpa ada yang menyelisihi pendapat lainnya, lima kaidah utama itu adalah[15] :

a. Segala perkara tergantung tujuannya

b. Kemadaratan harus dihilangkan

c. Yakin tidak bisa dihilangkan oleh keraguan

d. Kesulitan dapat menarik kemudahan

e. Adat atau kebiasaan bisa menjadi hukum


Dari kelima kaidah asasiyah ini kemudian bercabang kaidah-kaidah lainnya yang
saling berkaitan.

Selain kaidah asasiyah, adapula kaidah ghoiru asasiyah yang menjadi pelengkap di
beberapa qodiyyah. Dalam beberapa referensi, ada yang menyebutkan jumlahnya adalah 40
untuk kaidah non asasiyah yang tidak diperselisihkan, dan 20 yang diperselisihkan[16].

Sistematika lain dalam Qawaid Fiqhiyyah, yaitu adapula sebagian ulama yang
mengurutkan kaidah-kaidah sesuai abjad, dengan kapasitas 145 jenis kaidah yang kemudian
diintisarikan menjadi 99 kaidah, hal ini bisa dilihat dalam kitab majallah al- ahkam al
adliyyah[17].

Selanjutnya, sebagian fuqoha juga mensistematis kaidah fiqhiyyah dengan


klasifikasi bab pembahasan Fiqh. Misalnya, klasifikasi kaidah berdasarkan bab Ibadah, bab
mu’amalah, bab uqubat jinayah, dan lain sebagainya. Hal ini bisa didapatkan dalam kitab “al
faraidul bahiyyah fi qawaidi wa fawaidi fiqhiyyah” karya Sayyid Muhammad Hamzah.

Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyyah dan Ushuliyyah

1. Kaidah ushuliyah pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah
para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini
menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Sedangkan,
kaidah fiqhiyyah adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah
aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa
kaidah fiqhiyyah adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar
(menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushuliyah).

2. Kaidah ushuliyah dalam teksnya tidak mengandung rahasia-rahasia syar’i tidak pula
mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqhiyyah dari teksnya terkandung kedua hal
tersebut, maka tepat bila dikatakan bahwa kaidah fiqhiyah menjadi interpretasi dari dalil dng
konotasi umum.

3. Kaidah ushuliyah merupakan kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup
seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali
atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqhiyyah yang banyak terdapat
istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).

4. Perbedaan antara kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyyah pun bisa dilihat dari
maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushuliyah maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan
kaidah fiqhiyyah maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti
sholat, zakat dan lain-lain.

5. Kaidah-kaidah ushuliyah lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqhiyyah. Seluruh ulama


sepakat bahwa kaidah-kaidah ushuliyah adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil
yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqhiyyah ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi
mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa
kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.

6. Kaidah-kaidah ushuliyah lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.

7. Perbedaan yang sangat signifikan adalah redaksional Keduanya,

Contoh Kaidah Ushuliyah:

1. ]18[‫ ال بخصوص السبب‬،‫العبرة بعموم اللفظ‬

“Yang menjadi pegangan ialah ungkapan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab”

Dalam kaidah ini dijelaskan bahwa setiap dalil nushus yang turun spesifik untuk
menghukumi kasus seseorang di zaman Nabi maka hukumnya berlaku juga pada seluruh
umat Islam pada umumnya, dan tidak dikhususkan kepada individu tersebut. Sebagai contoh
ayat tentang larangan tabarruj seperti jahiliyah di dalam surat Al-Ahzab ayat 33 yang
dikhususkan kepada istri-istri nabi, jumhur ulama sepakat bahwa hukum tersebut kemudian
eksis kepada seluruh muslimat secara keseluruhan. Maka asbab nuzul dalam hal ini tidak
mempunyai peran pada eksistensi hukumnya.

2. ]19[‫القطعيات ال تعارضها الظنيات‬

Dalil yang bersifat mutlak tidak boleh ditentang oleh yang bersifat prediktif.

Contoh qawaid fiqhiyyah:

‫الضرورات تبيح المحذورات‬

“Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”

Dilihat dari contoh-contoh di atas, secara redaksional saja bisa kita perhatikan
bahwa kaidah ushuliyah konsentrasinya adalah pada rambu-rambu penggunaan dalil,
sementara kaidah fiqhiyyah lebih kepada amaliyah sang mukallaf.

2.4 Urgensi Qawaid Al Fiqhiyyah

Qawaid al fiqhiyyah telah disepakati menduduki kedudukan ke dua dalam disiplin


ilmu syariah setelah ushul fiqh. Dengan berpegang kepada rambu-rambu yang tertata di
dalamnya, para mujtahid akan lebih sistematis dalam mengambil kesimpulan hukum atas
suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah pada lingkup satu kaidah besar yang
nanti dicabangkan pada kaidah-kaidah lainnya. banyak fuqoha berkata :

]20[‫ومن راعى القواعد كان حليقا بإدراك المقاصد‬ ‫من راعى األصول كان حقيقا بالوصول‬

Barang siapa me melihara ushul maka ia akan sampai pada maksud


Dan barang siapa memelihara qawaid maka ia selayaknya mengetahui maksud

Kemudian dalam kitab Faridhul Bahiyyah di sebuah nudzhum dikatakan :

]21[‫فحفظها من أعظم الفوائد‬ ‫إنما تُضبط الفقه بالقواعد‬

Sesungguhnya cabang-cabang masalah fiqih itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah
fiqhiyyah, maka menghafalkannya sangat besar faedahnya.

Selanjutnya, dinukil dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan
besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak
demikian, akan berpengaruh pada hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang
kulliy. Maka dengan menguasai bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah
menguasai furu’-furu’nya[22].

Terlebih di era modern ini, kita banyak dihadapkan dengan permasalahan-


permasalahan kontemporer yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan ranah fiqih. Tak
jarang dari sejumlah perkara baru tersebut belum ditemukan hukumnya karena dalil spesifik
dari nushus tidak ditemukan. Sebagai contoh, jenis kredit yang diharamkan, tidak ditemukan
nushus yang spesifik menjelaskan teknisnya. Maka para faqih mengambil kaidah :

‫كل قرض جر منفعة فهو ربا‬

setiap pinjaman dengan menarik manfaat adalah sama dengan riba

Dari situ ulama sepakat bahwa kredit yang diharamkan adalah apabila terjadi
pengambilan manfaat berlebih dari akad jual beli normal, dan apabila ada ketidakjelasan
terhadap total harga dalam pembayaran angsuran serta persyaratan-persyaratan yang
menimbulkan ghoror seperti konsekuensi bunga sekian persen bila jatuh tempo masa
pembayaran.

Contoh lain terjadi dalam transaksi bai’ salam (jual beli dengan pembayaran lunas
dimuka), ketika barang tidak sesuai pesanan, maka syariah mengatur adanya khiyar atau opsi
untuk mengakhiri atau melanjutkan akad, dengan konsekuensi jika melanjutkan maka si
pembeli menanggung kerugian. Khiyar merupakan suatu sistem yang dirancang dalam
transaksi untuk melindungi seluruh pihak agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan.
Hukum ini juga ternyata diambil dari kaidah :

‫إذا ضاق األمر اتسع‬

“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka bisa diperluas”

Atau pada seseorang yang mengatakan “saya hibahkan benda ini, nanti diganti
dengan uang”. Transaksi di atas secara lafaz adalah hibah barang, tapi secara teknis bermakna
jual beli. Maka penilaian transaksi bukan dari lafaz melainkan makna. Transaksi di atas
adalah transaksi jual beli bukan menghibahkan. Maka kaidah yang berlaku pada akad ini
adalah :

‫العبرة في العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمباني‬

“Yang menjadi patokan dalam akad adalah substansi dan makna, bukan redaksi atau
penamaan”

Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa qawaid al fiqhiyyah merupakan


komponen penunjang terpenting bagi mujtahid, mufti, dan faqih dalam melakukan metode
istinbath ahkam atau interpretasi hukum syariat. Bahkan tak dapat diragukan lagi, penguasaan
terhadap ilmu ini merupakan tolak ukur kematangan ilmu sang mujtahid.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Qawaid al afiqhiyyah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum


yang dibangun oleh syar’i serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya. dinukil
dari pendapat Imam al Qarafy bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang kepada ilmu kaidah fiqhiyyah. Karena jika tidak demikian, akan berpengaruh pada
hasil ijtihadnya yang bertentangan dengan dalil-dalil yang kulliy. Maka dengan menguasai
bidang dan klasifikasi qawaid fiqhiyyah, akan mudah menguasai cabang disiplin ilmu
lainnya.

REFERENSI

abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji Al qorrofiy. Alfuruq-anwarul buruq fi-l-furuq. Darul
Kutub al-Ilmiyah. Beirut. 1998.

Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa al fiqhiyyah inda Ibni


qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim. Saudi Arabia. 2008.

Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah ushuliyahiyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath
hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.

Hasbi As-Shidqi. Pengantar Hukum Islam.Penerbit Bulan Bintang. 1975. Jakarta.

Az-zarqo, Asyyaikh Ahmad Bin Syaik Muhammad. Al-Asybah wa-nadzoir. Darul Qolam.
Damasqus. 1989.

As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990.


Lajnah mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul ahkam al adliyah.
Nur Muhammad publishing. Karachi.

Al asma’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala


mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh. 2000.

.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang.

[2] Al Qorofi, abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji. Alfuruq-anwarul buruq fi-l-furuq.
Darul Kutub al-Ilmiyah. Beirut. 1998. Juz 1/ hal 6

[3] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath
hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H 95

[4] As-Shidqi, Hasbi. Pengantar Hukum Islam.Penerbit Bulan Bintang. 1975. Jakarta. H 25

[5] Ibid 27

[6]Az-zarqo, Asyyaikh Ahmad Bin Syaik Muhammad. Al-Asybah wa-nadzoir. Darul Qolam.
Damasqus. 1989. Hal 35

[7]Asyafi’I, Ahmad Muhammad. Ushul-fiqh al-Islamiy. Darus-syuruq. Makkah. 1983. Hal 5

[8] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath
hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H98

[9] http://feqhweb.com/vb/t751.html

[10] ibid

[11] http://feqhweb.com/vb/t751.html

[12] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam
istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H101

[13] Khollaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulil Fiqh. Muassasah Ats-tsaqofah al jam’iyyah.
Alexandria. 1989. Hal 57

[14] http://abdulhafidzmuhammad.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-qawaid-
fiqhiyah.html

[15] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 7

[16] Ibid. 101

[17] Lajnah mukawwanah min ‘iddati ulama fil khilafah utsmaniyah. Majallatul ahkam al
adliyah. Nur Muhammad publishing. Karachi. Hal 16 – 28
[18] Al-Murainiy, aljilaliy. Al-qawaid al Ushuliyyah wa tathbiqotuhaa al fiqhiyyah inda Ibni
qudamah fi kitabihi al mughni. Dar Ibnu Qayyim. Saudi Arabia. 2008. Hal 394

[19] Ibid.539

[20] A.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976. H17

[21] Al asm’I, Sholih bin Muhammad bin Hasan. Majmu’atu-l-fu’ad al bahiyyah ‘ala
mandzumatil qowaid al fiqhiyyah. Darul Ma’any linnasyr wa tawzi’. Riyadh. 2000. Hal 33

[22] Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam
istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta. H105

Anda mungkin juga menyukai