KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAH
Oleh Kelompok 7:
Dewi Sartika (20700122019)
Nur Azizah (20700122017)
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang atas berkat
anugerah-Nya,penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Fikih dengan judul
“Kaidah-Kaidah Fikhiyah”.Salawat serta salam semoga tercurahkna atas Rasulullah SAW
beserta keluarga,sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah “Kaidah-Kaidah Fikhiyah” ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Fikih.Selain itu,penulis berharap makalah inidapat bermanfaat bagi pembaca dalam
hal menambah wawasan dan pengetahuan tentang peradaban islam.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 1
3. Fase Ketiga............................................................................................... 4
A. Kesimpulan .................................................................................................... 11
B. Saran .............................................................................................................. 11
ii
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dariajaran Islam.
Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari dan dilaksanakan oleh seluruh umat
Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ilmu ini menjadi sangat penting.
Apalagi untuk mengetahui hukum- hukum atau peraturan yang digunakan dalam
kehidupan manusia di dunia khususnya bagi umat Islam sendiri.
Banyak objek pembahasan di dalam ilmu fiqih. Namun makalah ini sendiri, akan
membahas mengenai kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan
perhatian untuk memecahkan suatu masalah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, arti kaidah adalah asas (dasar) yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Bisa juga diartikan dasar sesuatu atau fondasinya (pokoknya).
Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi,
antara lain:
1. Dalam kitab At-Ta’rifat
Artinya: “Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian- bagiannya.
2. Dalam kitab Syarah Jamu’ al-Jawami’
Artinya: “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang
berbagai hukum dan bagian-bagiannya.
3. Dalam kitab At-Talwih ‘ala at-Taudih
Artinya: “Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui
hukumnya”.
4. Dalam kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair
Artinya: “Ketentuan yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami
hukumnya dari perkara tersebut”.
5. Dalam kitab Syarh Mukhtashor al-Raudah fi Ushul Fiqih
Artinya: “Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui
penalaran”.
Jadi kaidah fiqih adalah kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-
masalah fiqih yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa
fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash maupun yang belum ada nashnya sama
sekali. Dan penggalian hukumnya bisa dilakukan dengan menyamakan sebuah kasus
yang telah ada hukumnya dalam fiqhi dengan kasus yang belum ada.
B. Sejarah Ringkas Kaidah-kaidah Fiqhi (Qawa’idul Fiqhiyah)
Tinjauan terhadap sejarah perkembangan dan penyusunan qawa’idulfiqihiyah
dapat dibagi menjadi tiga fase:
1. Fase Pertama
Fase pertama ini merupakan fase kemunculan dan berdirinya kaidah fiqih yang
dimulai dari zaman Rasulullah hingga akhir abad IIIH atau IX M.3 Jika kaidah
2
fiqih didefinisikan sebagai ketentuan hukum yang dapat mencakup berbagai
masalah furu’, maka banyak hadits yangdapat dikategorikan sebagai kaidah fiqih.
Misalnya dalam beberapahadits berikut ini:
a. “Sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang
sedikitnya juga haram”
b. “Bukti yang dinyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yanginkar
(tergugat)”
c. “Tidak madharat dan tidak memadharatkan”
2. Fase Kedua
Fase kedua ini dimulai pada abad 4 H atau 10 M sampai lahir kompilasi hukum
Islam pada masa Turki Utsmani pada abad 13 H atau 19 M. Pada masa ini, kitab-
kitab fiqih sangat banyak. Masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab pegangan
tertentu. Ketika itu, tampaknya para ulama merasa puas dengan kitab fiqih yang
ada dan melimpah ruah. Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.
Penulisan kaidah fiqih dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi dari kalangan
ulama Hanafiyah. Pada fase ini, umumnya ulama menulis kaidah fiqih dengan cara
mengutip dan menghimpun kaidah-kaidah yang terdapat pada kitab-kitab fiqih
masing-masing madzhab. Selain itu, merekapun melakukannya dengan jalan
mencantumkan kaidah- kaidah fiqih daam kitab fiqih, yaitu ketika mereka mencari
illat dan men-tarjih suatu pendapat. Sebagai contoh, ketika Al-Juwaini (w. 478
H/1085 M) menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat bergantung pada kemampuan
seseorang, ia mencantumkan kaidah yang artinya “Sesuatu yang bisa dilakukan
tak bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan” yang selanjutnya
3
berkembang dan berubah menjadi “Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur
dengan adanya yang sulit dilakukan”.
3. Fase Ketiga
b. Pasal 13
c. Pasal 14
4
kaidah ini adalah beberapa ayat Al- Qur’an, misalnya:
وما امروا اال ليعيدوا هللا مخلصين له الدين حنفآء ويقيمون الصلوة ويؤتوا الزكاوة وذالك
٠٥٠ دين القيمة
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Ny dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian
itulah agama yang lurus”.
وما كان لنفس ان تموت اال بإذن هللا كتابا مسجال ومن يرد ثواب الدنيا نيته منها ومن يرد
٠٥٠ ثواب آألخرة نؤته منها وسنجزى ٱلشاكرين
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki
pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)kepadanya pahala
akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur”.
6
Surah Al-Baqarah ayat 185:
الفرقان فمن شهد٠٥٠ شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى
يريد هللا٠٥٠ فليصمه ومن كان ريضا او على سفر فعدة من خرأ أيام٠٥٠ منكم الشهر
بكم اليسر واال ريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا هللا على ما هدا كم العلوم
٠٥٠تشكرون
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagimanusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendakikemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”.
Artinya: “dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempatan”.
رواه البخارى٠ الدين يسر احب الدين الى هللا الحنيفة السمحة
االضرار يزال
واال تفسد واال فى ٱألرض بعد اصالحها وٱدعوه خوفا وطمعا ان رحمت هللا قريب من
٠٥٠ المحسنين
Artinya: “dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”.
وابتغ فيما آتاه هللا الدار اآل خرة واال تنس نصيبك من الدنيا واحسن كما احسن هللا اليك واال
تبا الفساد في األرض ان هللا اال يحب المفسدين
Artinya: “sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat
kerusakan”.
العادة محكمة
Artinya: “kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Inilah macam kaidah fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai pembuka jalan
untuk memahami kaidah-kaidah lainnya. Oleh karena itu kaidah fiqhi ini berkaitan
dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering digunakan secara luas,
diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan masalah-masalah yang
bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, atau juga masalah-masalah
yang terjadi didalam masyarakat pada umunya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah-kaidah fiqih yang ada hingga saat ini merupakan warisan ulama
terdahulu. Termasuk lima kaidah fiqih yang telah dikemukakan di atas. Ia berupa
hasil perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena itu dapat dijadikan
solusi alternatif karena dapat dijadikan landasan dalam memecahkan persoalan-
persoalan hukum yang timbul dalammasyarakat secara benar, adil, dan arif. Hal ini
perlu karena perubahan waktu, tempat dan adat kebiasaan masyarakat dapat
mengakibatkan pengecualian atas kaidah-kaidah fiqih tertentu.
Bahkan, tidak mustahil akibat beban dan tuntutan masyarakat, akan timbul
kaidah-kaidah yang lebih baru. Barangkali, ini menjadi tugas para peminat kajian
hukum Islam untuk ikut andil dalam perkembangan hukum Islam dan pencapaian
kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku individu, dan masyarakat berdasarkan
syari’at Islam.
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang akan datang. Dan sebagai umat
10
Islam hendaknya kita juga ikut andil dalam mengetahui kaidah-kaidah fiqih untuk
menjalani kehidupan sehari-hari danmenggunakannya untuk memecahkan masalah-
masalah yang timbul di sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih. 2013. Surabaya: Pena
Salsabila
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. 2011. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media
Syafe’I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung: Pustaka
Setia
11
12
13
14