Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqhi

Dosen Pengampu: Muhammad Iqbal, S.H.I., M.H.I.

Oleh Kelompok 7:
Dewi Sartika (20700122019)
Nur Azizah (20700122017)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang atas berkat
anugerah-Nya,penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Fikih dengan judul
“Kaidah-Kaidah Fikhiyah”.Salawat serta salam semoga tercurahkna atas Rasulullah SAW
beserta keluarga,sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada Bapak Muhammad Iqbal


S.H.I.,M.H.I.,pengampu mata kuliah Ilmu Fikih atas bimbingannya selama pengerjaan
makalah ini.Tidak lupa pula kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung ikut andil dalam pengerjaan makalah ini

Makalah “Kaidah-Kaidah Fikhiyah” ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Fikih.Selain itu,penulis berharap makalah inidapat bermanfaat bagi pembaca dalam
hal menambah wawasan dan pengetahuan tentang peradaban islam.

Terlepas dari semuanya,penyusun hanyalah manusia biasa,karenanya kritik


pembangun dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan sebagai bahan pelajaran dan
perbaikan penulis kedepannya.

Samata, 06 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1

C. Tujuan ............................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 2

A. Defenisi Kaidah Fiqhi .................................................................................. 2

B. Sejarah Ringkas Kaidah-Kaidah Fiqhi ..................................................... 3

1. Fase Pertama ............................................................................................ 3

2. Fase Kedua ............................................................................................... 3

3. Fase Ketiga............................................................................................... 4

C. Beberapa Kaidah Fiqhi ............................................................................... 5

1. Segala Urusan Tergantung Pada Tujuannya ............................................ 5

2. Keyakinan Tidak Dapat Dihapus Dengan Keraguan ............................... 6

3. Kesukaran Itu Menarik Kemudahan ........................................................ 7

4. Kemudharatan Itu Harus Dilenyapkan ..................................................... 8

5. Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan Sebagai Hukum ...................................... 9

D. Manfaat Mengetahui Kaidah-kaidah Fiqhi............................................... 10

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 11

A. Kesimpulan .................................................................................................... 11

B. Saran .............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 12

ii
i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dariajaran Islam.
Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari dan dilaksanakan oleh seluruh umat
Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ilmu ini menjadi sangat penting.
Apalagi untuk mengetahui hukum- hukum atau peraturan yang digunakan dalam
kehidupan manusia di dunia khususnya bagi umat Islam sendiri.

Banyak objek pembahasan di dalam ilmu fiqih. Namun makalah ini sendiri, akan
membahas mengenai kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan
perhatian untuk memecahkan suatu masalah.

B. Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah fiqhi?

b. Apa saja kaidah-kaidah fiqhi itu?

c. Apa dasar-dasar pengambilan kaidah-kaidah fiqhi tersebut?

d. Apa manfaat mengetahui kaidah-kaidah fiqhi?

C. Tujuan

a. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai kaidah-kaidah fiqhi

b. Membantu pelajar mengerti dan memahami macam-macam kaidah-kaidah fiqhi


secara umum

c. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Kaidah Fiqhi

Secara etimologi, arti kaidah adalah asas (dasar) yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Bisa juga diartikan dasar sesuatu atau fondasinya (pokoknya).
Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi,
antara lain:
1. Dalam kitab At-Ta’rifat
Artinya: “Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian- bagiannya.
2. Dalam kitab Syarah Jamu’ al-Jawami’
Artinya: “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang
berbagai hukum dan bagian-bagiannya.
3. Dalam kitab At-Talwih ‘ala at-Taudih
Artinya: “Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui
hukumnya”.
4. Dalam kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair
Artinya: “Ketentuan yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami
hukumnya dari perkara tersebut”.
5. Dalam kitab Syarh Mukhtashor al-Raudah fi Ushul Fiqih
Artinya: “Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui
penalaran”.

Jadi kaidah fiqih adalah kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-
masalah fiqih yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa
fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash maupun yang belum ada nashnya sama
sekali. Dan penggalian hukumnya bisa dilakukan dengan menyamakan sebuah kasus
yang telah ada hukumnya dalam fiqhi dengan kasus yang belum ada.
B. Sejarah Ringkas Kaidah-kaidah Fiqhi (Qawa’idul Fiqhiyah)
Tinjauan terhadap sejarah perkembangan dan penyusunan qawa’idulfiqihiyah
dapat dibagi menjadi tiga fase:
1. Fase Pertama

Fase pertama ini merupakan fase kemunculan dan berdirinya kaidah fiqih yang
dimulai dari zaman Rasulullah hingga akhir abad IIIH atau IX M.3 Jika kaidah
2
fiqih didefinisikan sebagai ketentuan hukum yang dapat mencakup berbagai
masalah furu’, maka banyak hadits yangdapat dikategorikan sebagai kaidah fiqih.
Misalnya dalam beberapahadits berikut ini:
a. “Sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang
sedikitnya juga haram”
b. “Bukti yang dinyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yanginkar
(tergugat)”
c. “Tidak madharat dan tidak memadharatkan”
2. Fase Kedua

Fase kedua ini dimulai pada abad 4 H atau 10 M sampai lahir kompilasi hukum
Islam pada masa Turki Utsmani pada abad 13 H atau 19 M. Pada masa ini, kitab-
kitab fiqih sangat banyak. Masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab pegangan
tertentu. Ketika itu, tampaknya para ulama merasa puas dengan kitab fiqih yang
ada dan melimpah ruah. Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.

Masa keemasan dari pembukuan kaidah-kaidah fiqih terjadi pada abad 8 H.


Pada abad ini banyak lahir kitab kaidah, terutama di kalangan ulama Syafi’iyah.
Kaidah-kaidah fiqih tersebut kemudian disempurnakan secara sistematis pada
abad 9 H. Hal ini terlihat jelas dari kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya Ibnu
Mulaqqin (723-804 H/1323-1402 M) atau kitab Al-Qawait karya Abu Bakr Al-
Hifshal (752-829 H/1351-1425). Dan akhirnya, puncak keemasan pembukuan
kaidah fiqih terjadi pada abad 10 H yang ditandai oleh lahirnya kitab Al-Ashbah
An-Nazhair karya Jalal Ad-Din Ay-Suyuti yang merupakan kitab kaidah fiqhi
terbaik.

Penulisan kaidah fiqih dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi dari kalangan
ulama Hanafiyah. Pada fase ini, umumnya ulama menulis kaidah fiqih dengan cara
mengutip dan menghimpun kaidah-kaidah yang terdapat pada kitab-kitab fiqih
masing-masing madzhab. Selain itu, merekapun melakukannya dengan jalan
mencantumkan kaidah- kaidah fiqih daam kitab fiqih, yaitu ketika mereka mencari
illat dan men-tarjih suatu pendapat. Sebagai contoh, ketika Al-Juwaini (w. 478
H/1085 M) menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat bergantung pada kemampuan
seseorang, ia mencantumkan kaidah yang artinya “Sesuatu yang bisa dilakukan
tak bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan” yang selanjutnya
3
berkembang dan berubah menjadi “Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur
dengan adanya yang sulit dilakukan”.

3. Fase Ketiga

Fase ini dimulai dengan kelahiran Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah


(Kompilasi Hukum Islam di masa Turki Utsmani) Kompilasi ini pada dasarnya
merupakan hasil usaha para ulama Turki di zaman Sultan ‘Abd Al-Aziz Khan Al-
Utsmani yang ditetapkan pada tanggal 26 Sya’ban 1292 H atau 28 September 1875
M. Ia merupakan ensiklopedi fiqih Islam dalam bidang mu’amalah dan hukum
acara dengan bahasa perundang-undangan. Di antara kaidah fiqih adalah:
a. Pasal 12

“Ashal dalam suatu perkataan adalah makna hakikat”.

b. Pasal 13

“Petunjuk lafazh tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna


eksplisit”.

c. Pasal 14

“tidak dibenarkan berijtihad ketika ada nash (qath’i).


C. Beberapa Kaidah Fiqhi
Ada lima kaidah fiqih yang dianggap oleh sebagian ulama menjadidasar dan
prinsip umum dari seluruh materi fiqih. Kelima kaidah itu adalah:

1. Segala Urusan Tergantung Pada Tujuannya


‫االمور بمقاصدها‬
Artinya: “Setiap perkara itu menurutmaksudnya”

Niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang


menjadikan nilai dan status hukum yang dilakukannya. Apakah nilai dari
perbuatan itu sebagai amal syari’at atau perbuatan kebiasaan dan apakah status
hukumnya jika sebagai amal syari’at wajib atau sunnah atau lainnya. Itulah
sebabnya, kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah. Dalam
kaidah ini, ulama menetapkan bahwa niat merupakan rukun (bagian yang tak
terpisahkan) dan tanpa adanya niat, suatu perbuatan tidak sah. Landasan dari

4
kaidah ini adalah beberapa ayat Al- Qur’an, misalnya:

Surah Al-Bayyinah (98) ayat 5:

‫وما امروا اال ليعيدوا هللا مخلصين له الدين حنفآء ويقيمون الصلوة ويؤتوا الزكاوة وذالك‬
٠٥٠ ‫دين القيمة‬
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Ny dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian
itulah agama yang lurus”.

Surah Ali Imran (3) ayat 145:

‫وما كان لنفس ان تموت اال بإذن هللا كتابا مسجال ومن يرد ثواب الدنيا نيته منها ومن يرد‬
٠٥٠ ‫ثواب آألخرة نؤته منها وسنجزى ٱلشاكرين‬

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki
pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)kepadanya pahala
akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur”.

Ada juga hadist Nabi SAW., tentang hal ini misalnya:

‫انما األ عمال بالنبات وانما لكل امرئ ما نوي‬

Artinya: “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niat, dan sesungguhnya


bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.

2. Keyakinan Tidak Dapat Dihapus Dengan Keraguan

‫اليقين اال يزال با لشك‬


Artinya: “keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
5
Yang dimaksud yakin adalah:
‫اليقين هو ما كان ثابتا با لنظر والدليل‬
Artinya: “Sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”.
Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah:
‫الشك هوا ماكان مترددا بين الثبوت وعدمه مع تساوى طرفى الصواب والخطباء‬
‫دون ترجيح احدهما على األ خر‬
Artinya: “Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam
ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat
dimenangkan salah satunya.”

Contoh apabila ada bukti kuitansi seseorang berhutang, kemudian timbul


perselisihan tentang sudah membayar menurut yang berhutang dan belum
membayar menurut yang mengutangkan, maka yang dipegang perkataannya
adalah dari yang berhutang karena memiliki kuitansi tersebut. Atau seseorang
ragu-ragu berapa raka’at yang ia lakukan dalam shalatnya, maka yang yakin
adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang paling sedikit itu yang yakin sedang
yang paling banyak merupakan yang diragu-ragukan.

3. Kesukaran Itu Menarik Kemudahan


‫المشقة تجلب التيسر‬
Artinya “kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.

Dalam kaidah ini, memberikan keringanan pelaksanaan aturan-aturan syari’ah


dalam keadaan khusus. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah
rukhsah. Rukhsah merupakan jalan agar syari’at Islam dapat dilakukan kapan saja
dan dimana saja. Yaitu dengan memberi kelonggaran atau keringanan dalam
menjumpai suatu kesukaran dan kesempitan5. Hal itu antara lain dikarenakan
kemampuan seorang mukallaf itu terbatas.
Contohnya, orang yang sedang bepergian jauh dibolehkan mengqashar atau
menjamak shalat, dan boleh berbuka puasa apabila sedang mengalami kesulitan
misalnya sakit atau bepergian jauh. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan kaidah ini antara lain:

6
Surah Al-Baqarah ayat 185:
‫ الفرقان فمن شهد‬٠٥٠ ‫شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى‬
‫ يريد هللا‬٠٥٠ ‫ فليصمه ومن كان ريضا او على سفر فعدة من خرأ أيام‬٠٥٠ ‫منكم الشهر‬
‫بكم اليسر واال ريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا هللا على ما هدا كم العلوم‬
٠٥٠‫تشكرون‬

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagimanusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendakikemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”.

Surah Al-Hajj ayat 78:

٠٥٠ ‫وهو ٱلذى أنشألكم ٱلسمع وٱاألبصار وٱاألفئدة قليال ما تشكرون‬

Artinya: “dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempatan”.

Dan hadist Nabi Muhammad SAW.:

‫ رواه البخارى‬٠ ‫الدين يسر احب الدين الى هللا الحنيفة السمحة‬

Artinya: “agama itu memudahkan,agama yang disenangi Allah adalah agama


yang benar dan mudah”. (HR. Bukhori).

4. Kemudharatan Itu Harus Dilenyapkan

‫االضرار يزال‬

Artinya: “kemudharatan itu harus dihilangkan”.

Kaidah ini mengharuskan menghilangkan kemudharatan serta pengaruh dari


7
kemudharatan tersebut6. Dengan kata lain, kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat
kerusakan itu atau yang dapat mendatangkan kerugian itu tidak dibolehkan oleh
agama Islam. Contohnya seperti memakan makanan yang haram dalam
keterpaksaan karena tak ada makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa
mati. Kaidah ini berdasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an antara lain:

Surah Al-A’raf ayat 56:

‫واال تفسد واال فى ٱألرض بعد اصالحها وٱدعوه خوفا وطمعا ان رحمت هللا قريب من‬
٠٥٠ ‫المحسنين‬
Artinya: “dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”.

Surah Al-Qoshosh ayat 77:

‫وابتغ فيما آتاه هللا الدار اآل خرة واال تنس نصيبك من الدنيا واحسن كما احسن هللا اليك واال‬
‫تبا الفساد في األرض ان هللا اال يحب المفسدين‬
Artinya: “sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat
kerusakan”.

Dan hadist Nabi Muhammad SAW.:

‫اال ضرر واال ضرار‬


Artinya: “tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat
kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

5. Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan Sebagai Hukum

‫العادة محكمة‬
Artinya: “kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah


hukum sering disebut sebagai ‘urf atau ‘adah. Walaupun sebagian ulama juga ada
yang membedakan keduanya. Namun, menurut jumhur ulama, suatu ‘adah bisa
diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunah.
b. Tidak mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa dan akalyang
sejahtera.
c. Tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.
8
d. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikatakan
sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
Contoh dari kaidah ini antara lain:
a) Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak
jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (‘adah) maka
ulama membolehkan.
b) Orang-orang mengajarkan Al-Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu
antara lain agar Al-Qur’an tetap eksis di kalangan umat Islam.
Dasar nash kaidah ini adalah:
Firman Allah SWT. Pada surah Al-A’raf ayat 199:
٠٥٠ ‫خذ ٱلعفو وأمر بالعرف واعرف عن الجاهلين‬
Artinya: “dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah dari orang yang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199)
Sabda Nabi SAW:
Artinya: “apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”.
(HR. Ahmad).

Inilah macam kaidah fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai pembuka jalan
untuk memahami kaidah-kaidah lainnya. Oleh karena itu kaidah fiqhi ini berkaitan
dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering digunakan secara luas,
diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan masalah-masalah yang
bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, atau juga masalah-masalah
yang terjadi didalam masyarakat pada umunya.

Jadi, apabila kita sederhanakan, pross pembentukan kaidah fiqhi dapat


digambarkan dengan skema sebagai berikut:

D. Manfaat Mengetahui Kaidah Fiqhi

Beberapa manfaat yang dapat kita peroleh dengan mengetahui kaidah-kaidah


fiqih ini antara lain:
a. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih, kita akan mengetahui prinsip-prinsip
9
umum fiqih.
b. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih, akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
c. Dengan kaidah fiqih akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqihdalam
waktu dan tempat yang berbeda serta untuk keadaan yang berbeda.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah-kaidah fiqih yang ada hingga saat ini merupakan warisan ulama
terdahulu. Termasuk lima kaidah fiqih yang telah dikemukakan di atas. Ia berupa
hasil perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena itu dapat dijadikan
solusi alternatif karena dapat dijadikan landasan dalam memecahkan persoalan-
persoalan hukum yang timbul dalammasyarakat secara benar, adil, dan arif. Hal ini
perlu karena perubahan waktu, tempat dan adat kebiasaan masyarakat dapat
mengakibatkan pengecualian atas kaidah-kaidah fiqih tertentu.

Bahkan, tidak mustahil akibat beban dan tuntutan masyarakat, akan timbul
kaidah-kaidah yang lebih baru. Barangkali, ini menjadi tugas para peminat kajian
hukum Islam untuk ikut andil dalam perkembangan hukum Islam dan pencapaian
kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku individu, dan masyarakat berdasarkan
syari’at Islam.

B. Kritik dan Saran

Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang akan datang. Dan sebagai umat
10
Islam hendaknya kita juga ikut andil dalam mengetahui kaidah-kaidah fiqih untuk
menjalani kehidupan sehari-hari danmenggunakannya untuk memecahkan masalah-
masalah yang timbul di sekitar kita.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih. 2013. Surabaya: Pena
Salsabila

Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih

The Noble Al-Qur’an

Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. 2011. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media

Syafe’I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung: Pustaka
Setia

11
12
13
14

Anda mungkin juga menyukai