Anda di halaman 1dari 242

PENGANTAR PENULIS

‫ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬

Segala puji dan syukur hanya milik Allah Swt. Tuhan


pencipta dan pemilihara semesta alam. Shalawat dan salam semoga
senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. beserta
keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia
hingga hari pembalasan.
Buku-buku fiqh lengkap, baik yang berbahasa Arab maupun
Indonesia, telah banyak diterbitkan, baik oleh penerbit luar negeri
maupun dalam negeri. Namun buku fiqh yang representative dan
mudah dipahami mahasiswa atau siapa saja yang hendak
mempelajari persoalan fiqih. Substansi buku ini dipaparkan secara
umum sebagaimana buku-buku fiqih lainnya tetapi pada beberapa
bagian diberikan pandangan dan pendekatan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia terutama pada persoalan yang
mungkin diinterpretasikan.
Hal ini menjadi penting ketika kebanyakan fiqih dipahami
dengan mengikuti pemikiran klasik yang menyodorkan secara apa
adanya tampa mengkaitkan dengan situasi dan kondisi yang
berbeda sehingga terjebak pada pemahaman yang kaku bahkan
tidak tepat.Oleh karena itu, untuk memenuhi keperluan ini, penulis
lahirkan buku Kapita Selekta Fiqh yang kiranya buku ini dapat
membantu mahasiswa dalam memahami kajian fiqih.
Dalam penyusunan buku ini, dan sistematika penulisan, dan
lain sebagainya perlunya waktu yang lama, namun berkat semangat
dan kerja keras penulis disertai dorongan dan bantuan dari berbagai
pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan
sebaik-baiknya.Oleh karena itu, seyogianyalah penulis
mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu atas terselesaikannya buku “Kapita

iii
Selekta Fiqh“ ini. Mudah-mudahan amal dan jasa baik mereka
diterima di sisi Allah Swt. Dan dibalas-Nya dengan pahala yang
berlipat ganda. Amin.
Meskipun, buku ini disusun untuk keperluan mahasiswa
pada jurusan umum pada perguruan tinggi agama Islam, namun
materi yang terkadang di dalamnya penting pula diketahui oleh
masyarakat pada umumnya.
Di samping itu, buku ini bukan merupakan satu-satunya
pegangan, tetapi sebagai sumber tambahan bacaan dan dapat
mengadakan studi perbandingan, sehingga dengan banyak
membaca dari berbagai referensi, cakrawala pengetahuan di bidang
ilmu fiqh, khususnya Kapita Selekta Fiqh, semakin luas dan
mendalam.

Batusangkar, Januari 2018

Tim Penulis,

Dr. Sri Yunarti.M.Ag

iv
KATAPENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮحﻳﻢ‬


Sejumlah kitab fiqih yang diajarkan di Perguruan Tinggi
Islam, pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab
fiqih yang ditulis para ulama abad silam. Hampir tidak pernah
ditemukan studi Plus yaitu studi yang tidak hanya membacakan
tetapi lebih jauh menyoal kembali beberapa pandangan yag telah
disampaikan para Ulama fiqih terdahulu. Buku-buku fiqh lengkap,
baik yang berbahasa Arab maupun Indonesia, telah banyak
diterbitkan, baik oleh penerbit luar negeri maupun dalam negeri.
Buku fiqh yang representative mudah dipahami mahasiswa
siapa saja hendak mempelajari persoalan fiqih. Substansi buku ini
dipaparkan secara umum sebagaimana buku-buku fiqih lainnya
pada persoalan yang mungkin diinterpretasikan. Hal ini menjadi
penting ketika kebanyakkan fiqih dipahami dengan mengikuti
pemikiran klasik yang menyodorkan secara apa adanya tampa
mengkaitkan dengan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga
terjebak pada pemahaman yang kaku bahkan tidak tepat.Oleh
karena itu, buku Kapita Selekta Fiqh yang kiranya tepat untuk
membantu mahasiswa dalam memahami kajian fiqih.
Meskipun, buku ini disusun untuk keperluan mahasiswa
pada jurusan umum pada perguruan tinggi agama Islam, namun
materi yang terkandang di dalamnya penting pula diketahui oleh
masyarakat pada umumnya. Di samping itu, buku ini bukan
merupakan satu-satunya pegangan, tetapi sebagai sumber tambahan
bacaan dan dapat mengadakan studi perbandingan, sehingga
dengan banyak membaca dari berbagai referensi, cakrawala
pengetahuan di bidang ilmu fiqh, khususnya Kapita Selekta Fiqh,
semakin luas dan mendalam.
Prof.Dr.H.Juhaya.S.Praja
Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati
Bandung

v
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS
KATA PENGANTAR ................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................ v
BAB I. FIQH DAN RUANG LINGKUPNYA ......................... 1
A. Pengertian Fiqh ........................................................... 1
B. Pertumbuhan Ilmu Fiqh ............................................... 6
C. Manfaat Mempelajari Ilmu Fiqh ................................. 7
BAB II. FIQH IBADAH ........................................................... 9
A. Thaharah ....................................................................... 9
B. Shalat ............................................................................. 29
C. Zakat ............................................................................. 53
D. Puasa ............................................................................ 81
E. Haji dan Umrah ............................................................. 97
BAB III. FIQH MUNAKAHAT................................................ 116
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah ........................... 116
B. Rukun dan Syarat Nikah.............................................. 125
C. Tujuan dan Hikmah Nikah .......................................... 145
D. Talak ............................................................................ 149
E. Taklik Talak ............................................................... 175
BAB IV. FIQH KEWARISAN ................................................. 201
A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan .................... 201
B. Asas-Asas Dalam Kewarisan ..................................... 212
C. Unsur-Unsur Kewarisan Islam .................................... 219
D. Sebab-Sebab dan Penghalang Kewarisan .................... 225
E. Orang-orang yang Berhak Menerima Kewarisan ........ 230
F. Tata Cara Pembagian Harta Waris .............................. 231
G. Masalah-masalah dalam Pembagian Warisan ............. 237

vi
BAB V. FIQH JINAYAH .......................................................... 240
A. Pengertian Jinayah ....................................................... 241
B. Pengertian Jarimah ...................................................... 242
C. Unsur-Unsur Jinayah dan Jarimah............................... 245
D. Macam-Macam Jarimah (Tindak Pidana) ................... 246
DAFTAR PUSTAKA. ................................................................ 267

vii
Kapita Selekta Fiqh

FIQH DAN RUANG


BAB
LlNGKUPNYA
I

A. PENGERTIAN FIQH
Kata fiqhu berasal dari kata fiqhan yang merupakan masdar
dari fi‟il madhi yaitu faqaha dan fi‟il mudhariknya yafqahu. Fiqh itu
sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Selain itu kata al-
fiqhu menurut al-Ghazali secara etimilogi: ‫العلم بشىء والفهم له‬
“Mengetahui dan memahami sesuatu”.1
Firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 122:
ٌ‫َوَما َكا َن الْ ُم ْؤِمنُو َن لِيَ ْن ِف ُروا َكافَّةً فَلَ ْوََل نَ َفَر ِم ْن ُك ِّل فِْرقٍَة ِمْن ُه ْم طَائَِفة‬
‫َّهوا ِِف الدِّي ِن َولِيُ ْن ِذ ُروا قَ ْوَم ُه ْم إِذَا َر َجعُوا إِلَْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم ََْي َذ ُرو َن‬ ِ
ُ ‫ليَتَ َفق‬
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya
(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya”.
Bila kata faham dapat digunakan untuk hal-hal yang
bersifat lahiriah, maka fiqh berarti faham yang menyampaikan
ilmu zhahir kepada ilmu batin, karena itulah al-Turmudzi
menyebutkan “ fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya
sampai kepada kedalamannya.
Secara istilah pengertian fiqh dapat dilihat dari pendapat
ulama berikut:

1 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1958), h. 6

1
Kapita Selekta Fiqh

a. Sayyid al-Jurjaniy, yaitu:


.‫العلم باَلحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية‬
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-
dalilnya yang terperinci."
b. Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani :
2
‫العلم باَلحكام الشر عية عن أدالتو التفصيلية باَلستدَلل‬
“Ilmu tentang hukum-hukum syara‟ yang diistinbathkan melalui
dalil-dalil yang terperinci”
Maksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah
bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum
tertentu, seperti firman Allah tentang kewajiban shalat, yakni :
.... ‫وأقيمواالصالة‬....
".....Dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)

Contoh lain tentang dalil keharaman khamar,


Rasulullah SAW bersabda :
‫ (رواه البخاري و مسلم عن‬.‫ان اهلل و رسولو حرم بيع اخلمر‬
) ‫جابربن عبد اهلل‬
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli
khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari
Jabir bin Abdillah).
c. Abu Hanifah mendefinisikan fiqh secara terminologi sebagai
berikut:
3
‫معرفة النفس ماهلا وما ىو عليها‬
“Pengenalan diri terhadap apa yang menjadi hak dan apa yang
menjadi kewajiban atasnya”.

2 Muhammad Abu Zahrah , h. 3


3 Wahbah Zuhailiy, h. 28

2
Kapita Selekta Fiqh

d. Ibnu Subki dalam kitabnya Jamu‟al- Jawami‟ mendefinisikan


fiqh yaitu ilmu tentang hukum-hukum syar‟i yang bersifat
amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ulama di


atas dapat diketahui bahwa fiqh dapat dikatakan sebagai kajian
yang menfokuskan perhatian terhadap ayat demi ayat al-
Qur‟an dan Sunnah. Dan juga dikatakan fiqh diibaratkan
dengan „ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan.
Walaupun kata fiqh itu tidak sama maknanya dengan kata
„ilmu, tetapi fiqh itu bahagian dari „ilmu itu sendiri. Di mana
fiqh merupakan hasil yang diperoleh melalui ijtihadnya para
mujtahid.
Kata “ahkam“ dalam definisi tersebut menjelaskan
bahwa fiqh itu berbicara tentang hukum-hukum. Hal ini berarti
bahwa bila yang dibicarakannya bukan hal yang menyangkut
tentang hukum, seperti tentang zat, sifat dan kejadian, maka ia
bukanlah fiqh dalam pengertian ini. Kata “ahkam” adalah
bentuk jamak dari kata hukum. Kata hukum disebut dalam
definisi ini dalam bentuk jamak adalah untuk menjelaskan
bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut
hukum.4
Penggunaan kata “syar‟iyyah” dalam definisi tersebut
menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan atau
aturan-aturan yang bersifat syar‟i, yaitu sesuatu yang berasal
dari kehendak Allah Swt.
Kata “amaliyah” yang terdapat dalam definisi di atas
menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak-tanduk
perbuatan manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian
hal-hal yang bersifat bukan amaliyah seperti masalah keimanan
atau „aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam
artian ini. Seperti ketentuan bahwa Allah Swt. itu bersifat Esa
dan Allah itu dapat dilihat nanti diakhirat kelak.
Kata “tafsili” dalam definisi ini menjelaskan tentang
dalil-dalil atau petunjuk yang digunakan oleh mujtahid dalam

4 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, ( Jakarta: Prenada Media, 2003)


h. 4

3
Kapita Selekta Fiqh

penggalian dan penemuannya. Karena itu, suatu ilmu yang


diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas
dari dalil-dalil yang terperinci tidak termasuk ke dalam
pengertian fiqh.
e. Syaifuddin al-Amidiy memberikan definisi fiqh yang berbeda
dengan definisi di atas yakni ilmu tentang seperangkat hukum-
hukum syara‟ yang bersifat furu‟iyyah yang berhasil didapatkan
melalui penalaran atau istidlal.
Kata “furu‟iyyah” dalam definisi al-Amidy ini menjelaskan
bahwa fiqh ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai
hujjah, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang
bersifat nazhari.
Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama
maksudnya dengan “digali” menurut istilah Ibnu Subki)
memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran
atau istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti
itu, seperti ilmu Nabi yang diperolehnya dengan perantaraan
wahyu bukanlah disebut fiqh.
Ketika dianalisa definisi tersebut di atas dapat
dirumuskan bahwa hakekat dari fiqh itu sebagai berikut:
a. Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah Swt.
b. Fiqh membicarakan hal-hal yang bersifat amaliyah furu‟iyyah
yang didasarkan kepada dalil-dalil terperinci
c. Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan
istidhlal dari mujtahid atau fuqahah.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa
fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam
usahanya menemukan hukum Allah Swt. Bila dilihat dari segi ilmu
pengetahuan yang berkembang dikalangan ulama Islam, fiqh itu
ialah ilmu pengetahuan yang membicarakan/membahas/memuat
hukum-hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur‟an, Sunnah
dan dalil-dalil syar‟i yang telah diformulasikan oleh para ulama
dengan mempergunakan kaidah-kaidah.
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum
wajib, sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula

4
Kapita Selekta Fiqh

dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala,
berdosa dan sebagainya.
Di samping hukum itu sebagai alat atau cara melaksanakan
suatu perbuatan dalam menempuh garis lintas hidup yang tak
dapat dipastikan oleh manusia liku dan panjangnya. Sebagai
mahluk sosial dan budaya manusia memerlukan hubungan baik,
baik dengan dirinya sendiri ataupun dengan sesuatu di luar
dirinya. Dalam bahasannya ilmu fiqh membicarakan hubungan
tersebut yang meliputi kedudukan, hukum, cara, dan alatnya.
Adapun hubungan-hubungan itu ialah:
a. Hubungan manusia dengan Allah dan para RasulNya;
b. Hubungan manusia dengan diri, keluarga dan tetangganya.
c. Hubungan manusia dengan orang lain yang seagama atau yang
tidak seagama dengan dia
d. Hubungan manusia dengan makhluk hidup yang lain seperti
binatang, atau dengan benda mati seperti alam semesta.
e. Hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungannya.
f. Hubungan manusia dengan akal fikiran dan ilmu pengetahuan.
g. Hubungan manusia dengan alam gaib seperti setan, iblis,
surga, neraka, alam barzah, hari hisab dan sebagainya.
Hubungan-hubungan ini dibicarakan dalam fiqh melalui
topik-topik bab permasalahan yang mencakup hampir seluruh
kegiatan hidup perseorangan, dan masyarakat, baik masyarakat
kecil seperti sepasang suami-isteri (keluarga), maupun masyarakat
besar seperti negara dan hubungan internasional.
Meskipun ada perbedaan pendapat para ulama dalam
menyusun urutan pembahasaan dalam membicarakan topik-topik
tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan al-
Qur‟an, Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber hukum. Walaupun
dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda,
namun mereka sama-sama mengambil dari sumber yang sama.
Jadi, fiqh merupakan hukum, ketentuan atau peraturan yang
berlaku dalam menjalankan agama yang bersumber pada al-
Qur‟an, Sunnah, dan dalil-dalil syar‟i yang lain.

5
Kapita Selekta Fiqh

B. RUANG LINGKUP ILMU FIQH


Ilmu fiqh baru muncul pada periode taabi‟ al-taabi‟in abad ke
2 Hijriah, dengan munculnya para mujtahid diberbagai kota, serta
terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum
syariah.
Obyek kajian fiqh adalah perbuatan orang mukallaf (dewasa)
dalam pandangan hukum syari‟ah, agar dapat diketahui mana yang
diwajibkan, disunnahkan, diharamkan, dimakruhkan, dan
diperbolehkan, serta mana yang batal (tidak sah), dan materi fiqh
itu sendiri dikeluarkan dari kaidah-kaidah fiqh ketika tidak
ditemukan nashnya secara khusus dalam al-Qur‟an, Sunnah atau
Ijma‟. Ilmu fiqh secara konvensional terdiri dari:
a. Fiqh ibadah yaitu tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti
Thaharah, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji, bila mampu.
b. Fiqh munakahat yaitu tentang perkawinan dan hal-hal yang
berkaitan dengan suami isteri seperti nikah, thalaq, khulu‟, iddah,
hadhanah, dan lainnya.
c. Fiqh muamalah yaitu tentang hubungan keperdataan, seperti
jual beli, sewa-menyewa, hutang piutang dan lainya.
d. Fiqh jinayah yaitu tentang tindak pidana/kriminal dan
hukumannya, seperti pembunuhan, zina, penganiayaan,
pemberontakan, dan lainnya.
Pembahasan jenis-jenis fiqh terintegrasi menjadi satu
kesatuan. Namun sebenarnya ada satu aspek dari fiqh yang sering
dibahas secar terpisah, yakni fiqh syiyasah atau disebut juga ilmu
suyasah syar‟iyah. Fiqh ini membahas tentang tata negara atau
manajemen negara menurut Islam yang meliputi aspek politik,
undang-undang, dan hubungan antar golongan dengan negara.5

C. MANFAAT MEMPELAJARI ILMU FIQH


Adapun manfaat dari mempelajari ilmu fiqh ini adalah
memberikan kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum
untuk kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan

5 Abudin Nata, Masail al-Fiqhiyah, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2001)


hal. 26

6
Kapita Selekta Fiqh

memungkinkan menghubungkannya dengan materi fiqh yang lain


yang tersebar diberbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam
memberi kepastian hukum.6
Selain itu, manfaatnya juga dapat menerapkan hukum-
hukum syari‟at Islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia.
Jadi, ilmu fiqh itu adalah rujukan (tempat kembali) seorang hakim
(qadhi) dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwa-
fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum
syariat dalam ucapan dan perbuatannya. Inilah tujuan yang
dimaksudkan dari semua undang-undang untuk umat manusia,
karena dari undang-undang itu tidak dimaksudkan kecuali untuk
menerapkan materi hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan
manusia. Selain itu juga untuk membatasi setiap mukallaf terhadap
hal-hal yang diwajibkan atau diharamkan.
Dari sisi ini jelaslah bahwa kegunaan ilmu fiqh untuk
memperoleh hukum-hukum syara' tentang suatu perbuatan
seorang mukallaf berdasarkan pada dalil-dalil yang terperinci.
Sebab, meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk
mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan
perubahan dan perkembangan zaman yang terus berjalan, serta
bervariasinya lingkungan alam, kondisi sosial pada berbagai
daerah bisa menjadi faktor yang sangat memungkinkan penyebab
timbulnya persoalan-persoalan hukum yang baru yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dan
belum pernah terpikirkan oleh para ulama terdahulu.
Untuk dapat mengeluarkan ketetapan hukum dari
persoalan-persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-
kaidah dan mampu menerapkannya pada dalil-dalilnya. Bila
kaidah-kaidah itu dijadikan sebagai rujukan untuk hukum-hukum
furu' dari hasil ijtihad para ulama, maka dari sini dapat diketahui
dalil-dalil apa yang digunakan dan cara-cara apa yang ditempuh
dalam memperoleh atau mengeluarkan hukum-hukum furu'
tersebut. Sebab, sering dijumpai dalam sebagian kitab-kitab fiqh
ketika menyebutkan hukum-hukum furu' hasil dari ijtihad seorang
ulama atau sekelompok ulama, tapi tidak disebutkan dalil-dalil
dan cara-cara pengambilan hukum itu.

6 Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 5

7
Kapita Selekta Fiqh

Begitu juga halnya tentang perbedaan pendapat di antara


para ulama, terjadinya perbedaan pendapat para ulama tersebut
pada hakekatnya berpangkal dari perbedaan dalil atau perbedaan
cara yang ditempuh untuk sampai kepada hukum furu' yang
diambilnya. Bahkan dapat pula untuk menyeleksi pendapat-
pendapat yang berbeda dari seorang ulama, dengan memilih
pendapat yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang digunakan oleh
ulama tersebut dalam menetapkan hukum.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa seseorang bisa saa
dapat memilih pendapat yang dipandang lebih kuat atau setidak-
tidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat ulama mengetahui
alasan-alasannya.

8
Kapita Selekta Fiqh

BAB FIQH IBADAH


II

A. THAHARAH

1. Pengertian Thaharah
Thaharah berasal dari asal kata thahura- thuhran, dan
thaharatan, menurut bahasa berarti bersih, artinya suci dari
kotoran dan najis. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah
mengerjakan sesuatu yang dengannya kita boleh shalat, haji,
puasa, dan ibadah lainnya.
Definisi thaharah secara terminologi sebagaimana jumhur
ulama fiqhmengatakan adalah “Suatu perbuatan yang menentukan
boleh tidaknya suatu ibadah itu dilaksanakan (sah atau batal),
walau dengan salah satu media thaharah (seperti tayammum) atau
semata mencari tambahan pahala (seperti basuhan yang kedua
atau ketiga dalam berwudlu)”.
Sedangkan Imam Nawawiy mendifinisikan thaharahsecara
istilah yaitu: “Mengangkat hadas atau menghilangkan najis atau
semisal keduanya dengan cara yang berlaku bagi masing-masing”.
2. Media Thaharah
Media atau sarana yang telah disepakati oleh para ulama
untuk bisa digunakan untuk thaharah (bersuci)terbagi ada
tiga,yaitu air mutlak (murni) yang suci, tanah suci yang berdebu,
dan batu / daun / kertas atau sejenisnya yang suci.
Untuk lebih jelaskan dapat dilihat pada penjelasan di bawah
ini :
1) Air mutlak (murni), yaitu air yang masih murni, yang belum
tercampur dengan apapun, seperti: air sumur, air mata air, air
lembah, air sungai, air salju, dan air laut yang asin.

9
Kapita Selekta Fiqh

2) Tanah suci yang berdebu, yaitu permukaan tanah yang suci,


berupa tanah, pasir, batu atau debu.
3) Batu atau daun pada saat istinja’, atau pada saat menghilangkan
najis, seperti selesai buang air dan kotoran. Istinja’ialah upaya
awal dari seseorang untuk menghilangkan kotorannya baik
dengan batu atau semacamnya maupun daun atau semacamnya
pada saat ketiadaan air.
3. Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya
Najis menurut syariat Islam adalah benda yang kotor dan
telah ada dalil yang menetapkannya. Najis wajib dibersihkan
menurut cara-cara yang telah ditentukan oleh syara’ karena akan
menjadi penghalang dalam beribadah kepada Allah Swt.
Adapun macam–macam najis dan cara mensucikannya
adalah sebagai berikut:
1) Sesuatu yang kena najis mughallazhah (berat) seperti jilatan
anjing atau babi, maka cara mensucikannya yaitu wajib dibasuh
7 kali dan salah satu diantaranya dengan tanah yang suci, baru
setelah itu dibilas dengan air bersih.
2) Sesuatu yang terkena najis mutawassithah (sedang) maka cara
mensucikannya yaitudengan dibasuh sekali, asal sifat-sifat
najisnya seperti warna, bau, dan rasanya itu hilang. Namun
lebih baik lagi bila disiram sebanyak tiga kali.
3) Sesuatu yang terkena najis mukhaffafah (ringan) seperti pipis
bayi laki-laki yang asupan makannya masih air susu ibunya,
maka cara mensucikannya yaitu cukup dipercikan air pada
tempat yang terkena najis itu.
4) Najis hukmiyah cara menghilangkannya cukup dengan
mengalirkan air saja pada najis tadi.
5) Najis ainiyah yang masih tertinggal zat, warna, rasa dan
baunya, cara mencucinya cukup dengan menghilangkan zat,
rasa, dan warnanya saja.

4. Macam–macam Hadas dan Cara Mensucikannya


Hadas adalah najis yang tidak terlihat (hukmiyah) yang
dapat disucikan dengan wudhu, mandi atau tayammum. Adapun

10
Kapita Selekta Fiqh

macam-macam hadas dan cara mensucikannya adalah sebagai


berikut:
1) Hadas besar
Sebab-sebab hadas besar adalah: haid, nifas, junub, keluar mani.
Cara mensucikannya dengan mandi besar (wajib) atau
tayammum.
2) Hadas kecil
Sebab-sebab hadas kecil adalah : buang angin, buang air besar,
buang air kecil, hilang akal (pingsan/tidur) dan menyentuh
perempuan yang halal dinikahi dan lainnya. Maka cara
mensucikannya dengan berwudhu atau tayammum.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan dari
cara membersihkan diri dari hadas yaitu sebagai berikut :
(1) Mandi
Mandi adalah meratakan air meletakkan air
kesuluruh badan dengan niat bersuci dari hadas besar.
Adapun hal-hal yang mewajibkan mandi adalah:
(a) Keluar mani disertai syahwat atau tidak.
(b) Hubungan kelamin yaitu bertemunya kelamin
perempuan dengan kelamin laki-laki.
(c) Berhentinya darah haid dan nifas.
(d) Meninggal dunia.
(e) Masuk Islam.
Adapun yang menjadi rukun dari mandi wajib tersebut
adalah:
(a) Niat melakukan mandi wajjib
(b) Menyiramkan air keseluruh kulit, kuku dan rambut dari
tubuh dengan air yang suci lagi mensucikan.
Sedangkan sunah-sunahmandi wajib, yaitu:
(a) Berwudhu
(b) Mendahulukan membasuh badan bagian kanan.
(c) Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali
(d) Beristinja’ (membersihkan kotoran)
(2) Wudhu’
Wudhu’ menurut bahasa ‫( الحسن‬baik) dan ‫النظا‬
‫(فة‬bersih). Kata tersebut adalah isim masdar, karena kata

11
Kapita Selekta Fiqh

kerjanya ‫ توضأ‬yang masdarnya berbunyi ‫ التوضؤ‬dan


adakalanya dari kata kerja ‫ وضؤ‬yang masdarnya
‫الوضاءة‬dalam keadaan apa saja kata al-wudhu’ itu adalah
sebagai nama dari bersuci atau pekerjaan wudhu’ itu
sendiri.1
Menurut Abdurrahman al-Jaziri pengertian wudhu’
secara istilah adalah:
2
‫استعماالملاءفىأعضاءخمصوصةوهيالوجهواليدان اخلبكيفيةخمصوصة‬
“Menggunakan air pada anggota badan tertentu yakni: muka,
dua tangan, dan seterusnya dengan cara yang khusus pula”.
Sedangkan Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-
Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, mengatakan wudhu’ adalah :
‫استعماملاءطهورفياألعضاءاألربعة )أايلسابقة) علىصفةخمصوصةفيالشرع‬
3

“Menggunakan air yang suci pada anggota yang empat dengan


cara yang telah ditentukan oleh syara’”.
Dalam Kamus Istilah Fikih dijelaskan pengertian wudhu’
adalah: salah satu cara bersuci dengan menggunakan air pada
tempat anggota tubuh yaitu membasuh wajah, membasuh dua
tangan, menyapu sebagian kepala, membasuh dua kaki, dengan
cara-cara yang dijelaskan oleh syara’.4
Dari keseluruhan pengertian yang dikemukakan di atas
meskipun redaksinya yang berbeda tentang wudhu’. Namun
demikian pada dasarnya mempunyai maksud yang sama, bahwa
wudhu’adalah suatu kegiatan membasuh atau membersihkan
anggota tubuh yang telah ditentukan oleh syara’ yaitu muka,
dua tangan, kepala dan dua kaki dengan menggunakan air
yang didahului dengan niat berwudhu’.

1 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir:

Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, 1997), Jilid 1, h. 47


2 Abdurrahman al-Jazirih. 46
3 Wahbah al-Zuhaili, Al- Fiqh AL-Islami wa Adillatuhu, (Lebanon: Dar al-
Fikr, t.th), Juz 1, h. 208
4 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1995), Cet ke-2, h. 421

12
Kapita Selekta Fiqh

Adapun dasar hukumnya wudhu’ itu ada tiga yaitu :


(a) Al-Qur’an
Firman Allah Swt. dalam surat al-Maidahayat 6
yang berbunyi :
‫وه ُك ْم اوأايْ ِديا ُك ْمِإ اَل‬ ِ ِ َّ ‫ايأايُّها الَّ ِذين ءامنُوا إِ اذا قُمتُم إِ اَل‬
‫الص اَلة فاا ْغسلُوا ُو ُج ا‬ ْْ ‫ا اا‬ ‫ا ا‬
‫ي‬ ِ ِ
ِ ْ ‫وس ُكم وأ ْار ُجلا ُكم إِ اَل الْ اك ْعبا‬ ِِ
ْ ‫الْ امارافق او ْام اس ُحوا ب ُرءُ ْ ا‬
“Hai orang-orangyang beriman,apabila kamau hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dengan kedua mata
kaki.”5
Ketentuan dalam berwudhu’, wajiblah membasuh
dengan jalan mengalirkan air pada rambut atau bulu dan
sebagainya, dan sebelum mengalirkannya wajib lebih
dahulu dihilangkan segala apa yang menghalangi air supaya
sampai ke kulit anggota wudhu’tersebut.6
(b) Hadis
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi :
‫قالرسوالهلل إانللهَليقبل‬:‫عنأبيهريرةرضياللهعنهقال‬
)‫صَلةأحدكمإذاأحدثحتىيتوضأ (رواه البخارى مسلم‬
“Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata: Nabi telah bersabda,
sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seorang kamu apabila
berhadas hingga ia suci. (HR. Bukhari Muslim)
(c) Ijma’
Kaum Muslim sepakat atas disyari’atkannya wudhu’
semenjak zaman Rasulullah Saw. hingga sekarang ini,
karena itu tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah
ketentuan yang berasal dari agama.7

5 Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur’an, Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan

Terjemahan, h. 158
6 Syek. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006),
Cet ke-1, h. 361
7 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Penterjemah M. Nahban Husain, (Bandung: Asl-

Ma’arif, 1996), Cet ke-19, h. 83

13
Kapita Selekta Fiqh

(3) Rukun Wudhu’, Sunnah dan Hikmahnya


Imam mazhab yang empat berbeda pendapat tentang
fardhu-fardhu wudhu’, tetapi yang terdapat dalam Al-Qur’an
adalah empat yaitu: membasuh muka, membasuh kedua
tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh kedua
kaki sampai kedua mata kaki. Berdasarkan firman Allah
Swt. dalam surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi :
‫وه ُك ْم اوأايْ ِديا ُك ْمِإ اَل‬ ِ ِ َّ ‫ايأايُّها الَّ ِذين ءامنُوا إِذاا قُمتُم إِ اَل‬
‫الص اَلة فاا ْغسلُوا ُو ُج ا‬ ْْ ‫ا اا‬ ‫ا ا‬
‫ي‬ ِ ِ
ِ ْ ‫وس ُكم وأ ْار ُجلا ُكم إِ اَل الْ اك ْعبا‬ ِِ
ْ ‫الْ امارافق او ْام اس ُحوا ب ُرءُ ْ ا‬
“Hai orang-orangyang beriman,apabila kamau hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dengan kedua mata
kaki.”
Ketetapan ayat di atas telah disepakati oleh para
imam mazhab yang empat. Untuk lebih jelasnya akan
dipaparkan satu persatu tentang fardhu-fardhu
wudhu’tersebut.
a) Membasuh muka
Berdasarkan firman Allah Swt. yang berbunyi :
‫وه ُك ْم (سورة‬ ِ ِ َّ ‫ايأايُّها الَّ ِذين ءامنُوا إِ اذا قُمتُم إِ اَل‬
‫الص اَلة فاا ْغسلُوا ُو ُج ا‬ ْْ ‫ا اا‬ ‫ا ا‬
)6 :5/ ‫الما ئدة‬
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak
melaksanakan shalat, maka basuhlah mukamu”.8 (QS. al-
Mai’dah / 5 : 6)
Batas muka yang wajib di basuh ialah antara bagian
yang kebiasaannya tumbuh rambut kepala sampai ke
bawah akhir dagu dan dari ujung rahang sampai kepada
dua anak telinga.9 Di pahami dari batas muka akhir dagu
dan rahang termasuk bagian yang wajib dibasuh, tempat

8Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur’an, Depertemen Agama RI, Al-Qur’an

dan Terjemahan, h.158


9 Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kitab Sabilah Muhtadin, (Surabaya PT.

Bina Ilmu, t. th), Jilid 1, h. 119

14
Kapita Selekta Fiqh

tumbuh rambut di dahi termasuk bagian muka, karena


tumbuh rambut di dahi menyalahi kebiasaan, tidak wajib
membasuh dalam hidung dan dalam mata, wajib
membasuh bulu yang tumbuh yang tidak keluar dari batas
muka, seperti bulu mata, bulu kening, jambang dan
jenggot.10
Adapun jenggot yang panjang keluar dari batas
muka, wajib membasuhnya menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanafiyah karena ia tumbuh pada tempat yang diwajibkan
untuk membasuhnya dan ia nampak dengan jelas, itulah
yang membedakan dengan rambut kepala, kalau
melampaui batas tidak dinamakan jenggot. Berdasarkan
hadis Nabi Saw. yang berbunyi :
‫قالرسوالللهصلىاهلل عليه وسلم‬:‫عنعمروبنعبسةقال‬
11
‫مثإذاغسلوجههكماأمرهاللهإالخرختاطاايوجههمنأطرافلحيتهمعاملاء‬
)‫(رواه مسلم‬
“Dari Umar bin Absah ia berkata: Nabi Saw. telah bersabda
kemudian apabila ia membasuh mukanya sebagaimana yang
diperintahkan Allah akan menghapuskan kesalahan dari
mukanya sampai tepi jenggotnya bersamaan dengan air. (HR.
Muslim )
b) Membasuh kedua tangan sampai siku
Berdasarkan firman Allah Swt. :
‫اوأايْ ِديا ُك ْم إِ اَل الْ امارافِ ِق‬
“Dan ke dua tanganmu sampai siku.12
Tangan ialah dari ujung jari sampai ke bahu
termasuk pergelangan, siku dan lengan yang dibawah dan
di atas siku. Sedangkan pengertian siku adalah engsel yang
menghubungkan siku dengan lengan, dan kedua siku
termasuk yang wajib dibasuh karena selalu dilakukan oleh

10 Wahbah Az-Zuhaili, Al-fiqh al-islami wa adillatuhu, h. 217


11 Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid 1, h. 570
12 Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur’an, Depertemen Agama RI, Al-Qur’an

dan Terjemahan, h. 158

15
Kapita Selekta Fiqh

Nabi Saw.. Wajib membasuh tangan yang tumbuh pada


anggota yang wajib dibasuh seperti yang tumbuh disiku
atau dibawah siku sekalipun lebih panjang dari tangan yang
asli.
Berdasarkan hadis Nabi Saw.yaitu :
‫ أهنرسوالهلل صلى هللا عليه‬:‫عنأبيهريرةحيدث‬
)‫وسلميقولوماأمرتكمبهفافعلوامنهمااستطعتم(رواه مسلم‬
“Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata: Nabi Saw. bersabda, apabila
aku memerintahkan kamu dengan sesuatu perkara, maka
kerjakanlah sekuasa kamu”.13(HR. Muslim)
Kaidah fikih menyebutkan :
14
‫إن امليسوراليسقطباملعسور‬
“Bahwa sesungguhnya yang mudah tidak terhapus karena sukar”.
Menurut mazhab Imam Hanafi sebagaimana yang
dikutip dari Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah,jika pada
tangan atau pangkal kuku seorang yang berwudhu’ terdapat
lumpur maka ia wajib menghilangkannya dan memasukan
air pada pangkal kuku itu, jika ini tidak dilakukan maka
batallah wudhu’nya.15
c) Mengusap sebagian rambut kepala
Mengusap maksudnya ialah megusap sesuatu yang
basah. Maka meletakkan tangan atau jari ke atas kepala
atau lainnya, tidak dikatakan mengusap.16 Diperbolehkan
membasuh sebagai pengganti mengusap sekalipun berlapis
asal saja air dapat sampai ke bagian kepala.
Dalil yang mewajibkan menyapu kepala, firman Allah
Swt. dalam surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi :
ِ ‫وامسحوا بِرء‬
‫وس ُك ْم‬ُُ ُ ‫ا ْ ا‬

13 Muslim, Shahih Muslim, h. 1853


14 Muhammad Arsyad al-Banjari, Kitab Sabilah Muhtadin, h. 123
15 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh “ ala Mazahib Al-Arba’ah, h. 51
16 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah , h. 83

16
Kapita Selekta Fiqh

“Sapulah kepalamu.17
Huruf )‫ب‬ba( dalam ayat di atas dapat di artikan
dengan sebahagian, sehingga terjemah: sapulah sebahagian
kepala kamu. Maka kata sebahagian itu mencakup arti
sedikit dan banyak dan perbuatan Nabi Saw. menunjukkan
memadai menyapu sebagian dari kepala. Berdasarkan hadis
Nabi Saw. yang berbunyi :
‫أن النيب صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن املغرية بنشعبة رضياهلل عنه‬
18
( ‫ وعلى العمامة واخلفي(رواه مسلم‬,‫توضأ فمسح بنصيته‬
“Dari Mugirah bin Su’ban bahwa Nabi Saw. berwudhu’ maka
disapunya ubun-ubun serta serbanya begitu pula kedua sepatunya.
( HR. Muslim)
d) Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki

Adapun fardhu wudhu’ yang terakhir yang disepakati


ulama adalah membasuh kedua kaki sampai kedua mata
kaki. Berdasarkan firman Allah Swt. :
ِ ْ ‫وأ ْار ُجلا ُكم إِ اَل الْ اك ْعبا‬
‫ي‬ ْ ‫ا‬
“Basuhlah kaki kamu sampai dua mata kaki”.19
Ulama berbeda pendapat bahwa jenis membasuh kaki
itu adalah menyapu, sebagian ulama lain berpendapat
membasuh, sebab perbedaan pendapat di antara mereka
adalah karena adanya dua bentuk bacaan dalam ayat wudhu’
yaitu wa-arjulakum dan wa-arjulikum. Bacaan wa-
arjulakumdi’athafkan kepada anggota yang dibasuh yaitu

17 Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur’an, Departemen Agama RI, Al-Qur’an

dan Terjemahan, h.158


18 Muhammad Isma’il al-Kahlani, Subulussalam, h. 51
19 Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur’an, Departemen Agama RI, Al-Qur’an

dan Terjemahan, h. 158

17
Kapita Selekta Fiqh

wujuhakum, sedangkan bacaan wa-arjulikum di athafkan


kepada anggota yang disapu yaitu wa’ msahu bi ru’usikum.20
(4) Sunah-sunahwudhu’
Sunnah dalam hal ini adalah perkataan atau
perbuatan Rasulullah Saw. dalam berwudhu’, tetapi beliau
tidak mewajibkannya dan tidak menegur orang yang tidak
melakukannya. Adapun sunnah wudhu’ tersebut terdapat
beberapa hal sebagai berikut:
a) Membaca basmalah saat akan memulai wudhu’
Mengambil wudhu’ dari air rampasan. sekurang-
kurangnya membaca basmalah dengan
mengucapkan:“Bismillahir rahmaanir rahiimi”, karena
mengikut Nabi Saw. Sebagaimana sabda Nabi Saw. yang
berbunyi:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم"ال صَلة‬:‫عن أيب هريرة قال‬
‫ملن ال وضوء له وال وضوء ملن مل يذكر إسم هللا تعاَل عليه (رواه‬
21
)‫ابوا داود‬
“Dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, Rasulullah Saw.
bersabda, tidak sah shalat seseorang yang tidak berwudhu’,
dan tidak sempurna wudhu’ orang yang tidak menyebut Asma
Allah”. (H.R. Abu Daud)
b) Menggosok gigi atau bersiwak
Siwak adalah praktek membersihkan gigi dengan
menggunakan kayu siwak atau bahan lain yang dapat
membersihkan gigi. Misalnya dengan sikat gigi.22
Berdasarkan hadis Nabi Saw. yang bunyinya adalah:

20 Ibnu Rusyid, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy-Syifa’

1990), cet ke 1, h. 26
21 Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), Jilid 1, h. 37
22Al-Imam Abi Zakariyya Yahya bin Sarful An-Nawawi Ad-Damasqi,

Raudatut At-Thalibin, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 676), Juz 1, h. 167

18
Kapita Selekta Fiqh

‫ قالرسوالهلل صلى هللا عليه وسلم لوال أن أشق‬:‫عن أيب هريرة قال‬
)‫على أميت ألمرهتم ابلسواك عند كل صَلة (رواه الرتمذى‬
Dari Abi Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
bersabda, seandainya tidak memberatkan umatku, maka aku
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak melakukan
shalat. (HR. Bukhari Muslim) 23
Para ulama sepakat bahwa hukum bersiwak adalah
Sunnah Muakkadah. Hal itu karena adanya dorongan dari
Nabi Saw. dan juga sikap beliau yang selalu melakukannya,
selalu menganjurkannya, dan telah menyebutkannya
kedalam hal-hal yang termasuk fitrah atau kesucian
manusia.24
Bersiwak dianjurkan untuk dilaksanakan setiap
waktu, akan tetapi amat diutamakan sekali pada lima waktu:
1) Saat akan berwudhu’
2) Saat akan melaksanakan shalat
3) Membaca Al-Qur’an ketika bangun tidur
4) Ketika mulut berbau tidak sedap
5) Membasuh kedua telapak tangan saat hendak berwudhu’
Sebagian dari yang disunatkan dalam berwudhu’
membasuh ke dua telapak tangan sebelum membasuh
wajah. Baik ketika bangun tidur ataupun ragu bahwa
adanya najis di tangannya, dan bermaksud mencelukkan
tangan ke dalam bejana atau tiada sesuatupun dari yang
demikian, tetapi jika ia bermaksud mencelukkan ke dua
tangannya ke dalam bejana sebelum membasuhnya itu
makruh hukumnya jika ia tidak yakin akan suci ke dua
tangannya.25 Membasuh kedua tangannya sampai dengan
pergelangan sesudah membaca basmalah dan sunat
dibarengi dengan wudhu’ pada saat membaca basmalah dan

23MuhammadNashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan At-Turmizdi, (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2007), Jilid 1, h. 32


24Ibnu Qudamah, Al-Mugni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Jilid 1, h. 170

25 Al-Imam Abi Zakariyah Yahya bin Sarfin Nawawi Damaskus, Raudah

At-Thalibin, (Beirut: Lebanon, 676), Jilid 1, h. 173

19
Kapita Selekta Fiqh

pada permulaan membasuh kedua telapak tangan.


Dimaksudkan dengan mendahulukan membaca basmalah
dari membasuh kedua telapak tangan ialah sebelum selesai
membasuhnya.Sebagaimana sabda Nabi Saw. yang
bunyinya adalah:
:‫إذا استي قظ أحدكم من نومه فليغسل يديه قبل أن يدخلها اآلانء ثَلاث‬
)‫فإن أحدكم ال يدري أين ابتت يده (رواه البخارمسلم‬
“Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka
hendaklah ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali
sebelum ia memasukan keduanya itu ke dalam bejana, karena
sesungguhnya salah seorang di antara kalian tidak tahu di mana
keberadaan tangannya tadi malah”.(HR. Bukhari Muslim)

c) Berkumur sebanyak tiga kali.


Berkumur-kumur sesudah membasuh ke dua
telapak tangan dan memasukan air ke hidung sesudah
berkumur-kumur, karena mengikuti Nabi Saw.
d) Memasukan air ke dalam hidung kemudian
mengeluarkannya sebanyak tiga kali.
Sebagaimana dasarnya adalah hadis yang
bersumber dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw.
bersabda:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه‬:‫عن أيب هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫وسلم إذا توضأ أحدكم فليستنشق مبنخرية من املاء شم لينتشر(رواه‬
)‫مسلم‬
“Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda, apabila salah seorang dari kamu berwudhu’, maka
hendaknya menghirup air dengan hidungnya kemudian
mengeluarkannya.26 (HR. Muslim)
e) Menyela-nyela jenggot

26 Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2007), Jilid 1, h. 119

20
Kapita Selekta Fiqh

Disunahkan dalam wudhu’ menyela-nyela


jenggot yang tebal atau jambang yang tebal dan
demikian juga dengan tiap-tiap bulu muka yang wajib
dibasuh luarnya tidak di dalamnya. Dan yang terbaik
dalam menyela itu dengan semua jari tangan kanan
dari bawah jenggot umpamanya dan sunat menyela itu
tiga kali dengan tiga gelas air karena mengingat
perbuatan Nabi Saw:
‫ أن النيب صلى هللا عليه وسلم كان خيلل حليته‬:‫عن عثمان بن عفان‬
27
)‫(رواه الرتمذى‬
ٌ
“Dari Usman bin Affan beliau berkata, sesungguhnya Nabi
Saw. menyela-nyela jenggotnya”. (HR. Turmizi)
f) Menyela-nyela anak jari
Disunatkan juga didalam wudhu’ menyela semua
jari tangan dan jari kaki, terutama dalam menyela jari
tangan dengan tasbikyaitu dengan memasukan semua
jari sebelah tangan ke antara semua jari tangannya
yang kedua.
‫ رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم توضأ‬:‫عن املستورد بن شداد قال‬
)‫فخلل أصابح رجليه خبنصره (رواه الرتمذى‬
Dari Al-Mustauridi bin Syaddad, dia berkata, aku melihat
Rasulullah Saw. berwudhu’ beliau menyela-nyela jari-jari
kakinya dengan jari kelikingnya.28(HR. Turmizi)
g) Membasuh tiga-tiga kali
Sebagaimana Rasulullah Saw. senantiasa
membasuh anggota badan yang harus terkena air saat
wudhu’ sebanyak tiga kali. Adapun hadis yang
bertentangan dengan kebiasaan Rasulullah Saw.
menunjukan diperbolehkan meninggalkan hal tersebut.
)‫عن علي أن النيب صلى هللا عليه وسلم توضأ ثَلاث ثَلاث (رواه الرتمذى‬

27Muhammmad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan At-Turmizdi, h. 40


28 Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan At-Turmizi, h. 51

21
Kapita Selekta Fiqh

“Dari Ali sesungguhnya Nabi Saw. wudhu’ tiga kali-tiga


kali”.29(HR. Turmizi)
h) Muwallat, artinya berturut-turut membasuh anggota
demi anggota.
Muwallat artinya adalah bersambung antara satu
perbuatan wudhu’ dengan perbuatan wudhu’ yang
lainnya bagi orang yang sehat. Umpamanya
dibasuhnya atau disapunya anggota yang kedua
sebelum kering basuhan anggota yang kedua, dan
sebelum kering basuhan anggota yang pertama dalam
suhu udara dan keadaan tubuh yang normal dan
diperkirakan anggota yang disapu dengan anggota
yang dibasuh dalam pengertian muwallat.
i) Mengusap ke dua telinga
Di dalam mengusap kedua telinga adalah
mengusap bagian dalam telinga dengan ke dua
telunjuk dan bagian luar dengan kedua ibu jari dengan
menggunakan air yang sama pada saat mengusap
kepala. Sebab telinga masih termasuk bagian kepala.
j) Berdo’a selesai berwudhu’.
Sebagaimana sabda Nabi Saw. yang berbunyi :
‫ مامنكم من‬:‫ إين قد رأيتك جئت أنفا قال‬:‫عن عمر رضي هللا عنه قال‬
‫ أشهد أن ال إال هللا وأن‬:‫أحد يتوضأ فيبلغ أو فيسبغ الوضوء مث يقول‬
‫ إال فتحت له أبواب اجلنة الشما يدخل من‬, ‫حممدا عبد هللا ورسوله‬
)‫أيها شاء (رواه املسلم‬
“Dari Umar r.a, ia berkata, saya memperhatikan kamu saat
kamu tiba.”Barang siapa diantara kalian berwudhu’ lalu
menyempurnakannya kemudian mengucapkan, Ashadu Alla
Ilaaha Illallahu wa Asyhadu anna Muhammmadan Abduhu
wa Rasuluh, (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba Allah dan
Rasul-Nya ) pasti akan dibukakan baginya delapan pintu

29Muhammad Nashiruddin Al-Bani, h. 35

22
Kapita Selekta Fiqh

surga yang dapat dimasuki dari mana saja ia kehendaki.30


(HR. Muslim).
(5) Hikmah Wudhu’
Setiap perbuatan yang disyari’atkan dan yang
dilarang Allah Swt. mengandung hikmah, mempunyai
hukum yang disertai rahasia yang biasa atau bisa
diungkapkan. Hanya saja di antara hikmah itu ada yang
dijangkau dengan daya pikir manusia dan ada pula yang
tidak bisa dijangkau. Sebahagian besar Sunnah Rasulullah
Saw. menjelaskan illat dan hikmah hukum serta
rahasianya. Penjelasan ini bertujuan untuk menyadarkan
manusia bahwa semua ketentuan hukum Islam itu tidak
sunyi dari illat dan hikmah.
Adapun diantara hikmah-hikmah wudhu’ adalah
sebagai berikut:
a) Merupakan senjata yang ampuh bagi orang yang
beriman.
Sebagaimana ungkapan Syekh Al-Jarjawi dalam
kitab Hikmah Al-Tasyari’ Wafalsafatuhu yang berbunyi:
31
‫فالوضوءمبنزلةالسَلحيقاوم هباملتوضىالثيطان‬
“Wudhu’ itu merupakan senjata yang digunakan oleh
orang yang berwudhu’ untuk memerangi setan.
b) Untuk dengan melakukan wudhu’ secara rutin orang-
orang Muslim kesehatannya akan lebih terpelihara,
karena beberapa anggota badan yang penting selalu
dibersihkan, sehingga diharapkan akan terhindar dari
penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kulit.
c) Berwudhu’ berguna untuk menumbuhkan rasa syukur
kepada Allah Swt. atas segala nikmat-Nya, antara lain
adanya air yang digunakan untuk itu merupakan hal
yang memberikan kehidupan bagi manusia.

30MuhammadNashiruddin Al-Bani, Shahih Muslim, h. 131


40 SyekhAhmadAl-Jarjawi, HikmahAl-Tasyri’ Wafalsafatuhu, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1994), h. 67

23
Kapita Selekta Fiqh

d) Untuk membiasakan hidup disiplin setiap hari yang


mana apabila telah masuk waktu shalat kita selalu
ingat kepada Allah Swt. jiwanya menjadi tenang
sehingga dalam mengerjakan shalat ia tidak merasa
bosan atau malas, karena wudhu’ itu biasa
menimbulkan semangat.
(6) Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu’
Hal-hal yang membatalkan wudhu’ para ulama
fikih sependapat berdasarkan hadis Nabi Saw. yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dijelaskan bahwa Allah
Swt. Tidak akan menerima shalat seseorang hamba
apabila dalam keadaan berhadas, baik hadas besar
maupun hadas kecil
Ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya
kesucian wudhu’ hal ini disebut dengan nawakid al-wudhu’
atau yang membatalkan wudhu’. Adapun secara umum
hal-hal yang membatalkan wudhu’ adalah :
a) Keluarnya sesuatu yang dari salah satu dua jalan.
32
‫ما خرج من أحد السلبينالقبلوالدبر‬
“Sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan baik kubul
dandubur”.
Termasuk di dalamnya yang tersebut di bawah ini :
b) Kencing
c) Buang air besar
Berdasarkan firman Allah Swt. dalam surat
al-Maidah ayat 6 yaitu:
‫اح ٌد ِمْن ُك ْم ِم ان الْغاائِ ِط‬
‫أ ْاو اجاءا أ ا‬
“Atau bila salah seorang diantaramu keluar dari kakus33
d) Keluar angin dari dubur yakni kentut
Berdasarkan hadis Nabi Saw. yang berbunyi :

32AbdurrahmanAl-Jazili, Kitab Al-Fiqh “ala Mazahib Al-Arba’ah, h. 81


Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur’an, Departemen Agama RI, Al-Qur’an
33

dan Terjemahan, h.

24
Kapita Selekta Fiqh

‫قالرسوالللهصلىاللهعليهوسلمإذاوجد‬:‫عنأبيهريرةرضياللهعنهقال‬
‫أحدكمفيبطنهشيئا فأثكل عليهأخرمجنهشيء‬
( ‫أمَلفَلخيرجنمناملسجد حتىيسمعصواتأو جيد رحيا (رواه مسلم‬
“Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata: telah bersabda Nabi
Saw., jika salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu
di dalam perutnya, kemudian ia bimbang apakah ada yang
keluar atau tidak, maka janganlah ia keluar dari mesjid
sampai ia mendengar bunyi atau mencium baunya”.34)HR.
Muslim)
e) Keluar mani, madzi, wadhi
f) Tidur nyenyak sehingga tiada kesadaran lagi, tanpa
tetapnya pinggul diatas lapis.
g) Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk atau
disebabkan obat, biar sedikit atau banyak dan
ketidaksadaran disebabkan semuaini lebih hebat dari
sewaktu tidur.
h) Menyentuh perempuan ajnabiah
Adapun dasar menyentuh wanita sebagi salah
satu yang membatalkan wudhu’ adalah ayat (atau
kamu menyentuh wanita).Oleh karena itu pada
prinsipnya ulama telah sepakat menetapkan hal itu
sebagai yang membatalkan wudhu’. Menyentuh
kemaluan tanpa ada pembatas
Berdasarkan hadis Nabi Saw:
‫منمس‬:‫وعنبسرةبنتصفوانرضياللهعنها أنرسوالللهصلىاللهعليهوسلمقال‬
)‫ )أخرجهاخلمسةوصححهالرتمذىوابن حبان‬35‫ذكرهفليتوضأ‬
“Dari Busrah binti Syafwan r.a, ia berkata: Nabi Saw.
bersabda: siapa yang menyentuh kemaluannya, maka
janganlah ia shalat sampai ia berwudhu’ terlebih dahulu.

43 Muhammad bin Isma’il, Subulussalam, h. 71


45Muhammad bin Isma’il, Subulussalam, h. 67

25
Kapita Selekta Fiqh

Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan


bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan
wudhu’ baik itu kemaluannya sendiri maupun kemaluan
orang lain. Dan hendaklah mengambil air wudhu’
kembali sebelum ia melaksanakan shalat. Di dalam hal ini
ulama berbeda pendapat tentang menyentuh kemaluan
(alat kelamin).

B. SHALAT
1. Pengertian Shalat
Pengertian shalat secara bahasa adalah:
Menurut Abdul Mujiebshalat menurut bahasa adalah:
36
‫ الدعاء‬:‫الصآلة ىف اللغة‬
“Shalat menurut bahasa adalah do’a”.
Menurut As’ad M. al-Kalani:
37
‫ الدعاء ابخلري‬: ‫الصآلة ىف اللغة‬
“Shalat menurut bahasa adalah do’a untuk kebaikan”.
Kata Shalat mempunyai banyak makna diantaranya didalam
al-Qur’an menyebutkan makna shalat adalah do’a38 sebagaimana
yang dibunyikan dalam surat al-Taubah ayat 103:
‫ك اس اك ٌن اَلُْم‬ ‫ص ِل اعلاْي ِه ْم إِ َّن ا‬
‫ص اَلتا ا‬ ‫او ا‬
“Berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka”.
Selain itu kata shalat juga dapat berarti memberi berkah 39
sebagaimana Allah Swt berfirman yang terdapat dalam surat al-
Ahzab ayat 56:
ِ ِ‫صلُّو ان اعلاى الن‬
‫َّيب‬ ِ َّ ‫إِ َّن‬
‫اَّللا اوام اَلئ اكتاهُ يُ ا‬
36M.Abdul Mujieb, Kamus Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)h.313
37As’ad M. al-Kalani, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: CV Bulan Bintang,
1995), cet ke-6, h.467
38 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta Timur: Prenada

Media, 2003) h. 20
39 Amir Syarifuddin, h. 20

26
Kapita Selekta Fiqh

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya memberi


berkah/bershalawat untuk Nabi".
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa hubungan
shalat secara bahasa dengan arti do’a adalah bahwa perbuatan-
perbuatan shalat seperti rukun-rukun dalam pelaksanaan shalat
berisikan tentang do’a yang diucapkan kepada Allah Swt.
Adapun definisi shalat menurut istilah, adalah:
a. Menurut Hanafiyah
‫الصآلةهي عبادة عن أركان خمصوصةمفتتحة ابلتكبري خمتتمة ابلتسليم‬
40
.‫بتعبد هبابشرا ئط‬
“Shalat adalah ibadah yang terdiri dari rukun-rukun tertentu
yang dimulai dengan takbir dan diahkiri dengan salam, dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan”.
b. Menurut Syafi’iyah
‫الصآلة هي أقوال وأفعال خمصوصةمفتتحة ابلتكبري خمتتمة ابلتسليم‬
41
.‫بتعبد هبابشرا ئط‬
“Shalat adalah perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan”.
c. Menurut Wahbah al-Zuhaili
.42‫ابلتسليم‬ ‫الصآلةهي أقوال وأفعال خمصوصةمفتتحة ابلتكبري خمتتمة‬
“Shalat adalah perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai
dengan takbir dan diahkiri dengan salam”.
Meskipun ulama berbeda dalam mendefenisikan
shalat, namun mereka memiliki tujuan yang sama. Dari
pendapat tersebut dapatlah disimpulkan bahwa shalat
secara bahasa berarti do’a untuk memperoleh kebaikan,
sedangkan shalat secara istilah berarti suatu ibadah yang

40 Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989),h.5


41 Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini al-Khatib asy Syafi’i, al-
Iqna, (Mesir: Umairah Qahirah,1981) cet ke-1,h.140
42 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam Wa’adilatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr,

1989)cet ke- 1,h.447

27
Kapita Selekta Fiqh

terdiri dari bacaan (do’a), perbuatan shalat, yang di mulai


dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat
dan rukun yang telah ditentukan.

2. Dasar Hukum Wajib Shalat


Hukum shalat adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban
yang ditujukan kepada setiap orang yang telah dikenai beban
hukum (mukallaf) dan tidak lepas kewajiban seseorang dalam
shalat kecuali bila telah dilakukannya sendiri sesuai dengan
ketentuannya dan tidak dapat diwakili pelaksanaannya.
Karena yang dikehendaki Allah dalam perbuatan ini adalah
berbuat itu sendiri sebagai tanda kepatuhannya kepada Allah
yang menyuruh43.
Dasar kewajiban shalat diantaranya:
a. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 3:
‫اه ْم يُْن ِف ُقو ان‬ ِ َّ ‫ب وي ِقيمو ان‬ ِ ِ ِ ‫الَّ ِذ‬
ُ ‫الص اَل اة اوِمَّا ارازقْ نا‬ ُ ُ ‫ين يُ ْؤمنُو ان ابلْغاْي ا‬
‫ا‬
“Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang
kami anugerahkan kepada mereka.
b. Surat at-Thaha ayat 14:
44
‫الص اَل اة لِ ِذ ْك ِري‬
َّ ‫اعبُ ْدِين اوأاقِِم‬
ْ ‫اَّللُ اال إِلاها إَِّال أا اان فا‬
َّ ‫إِن َِِّن أا اان‬
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Ku”.
c. Surat al-Baqarah ayat 43:
ِ ِ َّ ‫الزاكاةا واراكعوا مع‬ ِ
‫ي‬
‫الراكع ا‬ ‫الص اَلةا اوءااتُوا َّ ا ْ ُ ا ا‬
َّ ‫يموا‬
ُ ‫اوأاق‬
45

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah (bayarkan) zakat dan


ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”.(Qs.al-Baqarah:43)
Dari ayat tersebut Allah Swt. memberikan dua
kewajiban kepada hambanya sedangkan kewajiban lainnya
dicakup oleh ayat tersebut yaitu ruku’lah bersama orang-

43Amir Syarifuddin, h. 21
44Departemen Agama RI, al-Qur’an Dan Terjemahan, (Bandung: CV Toha
Putra, 1989), h.313
45 Departemen Agama RI,h.8

28
Kapita Selekta Fiqh

orang yang ruku’, sebagaimana orang-orang yang ta’at


dan tunduk.46
d. Surat al-Bayyinah ayat 5:
‫الص اَل اة اويُ ْؤتُوا‬
َّ ‫يموا‬ ِ ِ ِ ِ َّ ‫وما أ ُِمروا إَِّال لِي عب ُدوا‬
ُ ‫ين ُحنا افاءا اويُق‬
‫ي لاهُ الد ا‬
‫اَّللا خمُْلص ا‬ ُْ ‫ا‬ ُ ‫اا‬
47ِ ِ
‫ين الْ اقي امة‬ ِ ِ َّ
ُ ‫كد‬ ‫الزاكا اة او اذل ا‬
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian
itulah agama yang lurus”.
Adapun sunah Rasulullah Saw. yang menerangkan
tentang dasar pelaksanaan shalat yaitu:
a. Riwayat dari Anas Bin Malik :
‫وعن انس بن مالك رضى هللا عنه قال فرضت على النىب صلى هللا عليه‬
‫ اي حممد‬:‫وسلم ليلة اسرى به مخسي مث نقصت حىت جعلت مخسا مث نودي‬
‫انه اليبدل القول لدى وان لك هبذه اخلمس مخسي (رواه امحد والنسائى‬
48
.)‫والرتمذى‬
“Dari Anas bin Mailk, ia berkata: diperintahkan shalat atas
nabi Saw. pada malam isra’ mula-mula sebanyak lima puluh
waktu, kemudian dikurang-kurangi sehingga tinggal lima
waktu, kemudian dipanggil lagi, “wahai Muhammad
putusanku (Allah) tidak bisa dirubah lagi, kamu akan
mendapatkan pahalanya seperti shalat lima puluh waktu”.
(HR.Ahmad, an-Nasa’i dan al-Turmudzi ).
Kemudian di dalam Hadis yang lain, Rasulullah Saw.
juga bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad :

46 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)h.171


47 M.Quraish Shihab,h.599
48Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, (Beirut: Dar

al-Fikr, 1992) cet ke- 4, h.470

29
Kapita Selekta Fiqh

‫ العهد الذى‬:‫وعن بريدة رضي هللا قال مسعت رسول هللا عليه وسلم يقول‬
49
)‫بينناوبينهم الصآلة فمن تركها فقدكفر(رواه امحد‬
"Dan dari Buraidah r.a, ia berkata, Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: perjanjian yang menjadi pembeda
antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat,barang
siapa meninggalkan shalat berarti ia telah kafir".
(HR.Ahmad).
Di dalam hadis di atas dapat dipahami bahwa yang
menjadi pembeda antara seorang Muslim dengan kafir
adalah shalat, artinya hadis di atas memberikan
pemahaman tentang wajibnya melaksanakan shalat bagi
umat Islam., sehingga dari sisi ijma’ ulama telah sepakat
mengatakan bahwa orang yang mengingkarinya dihukum
kafir karena sesungguhnya shalat itu adalah pondasi atau
tiang agama Islam.

3. Syarat dan Rukun Shalat


Shalat harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, karena shalat tidaklah sah kecuali dengan syarat-
syarat yang telah ditentukan, syarat-syarat tersebut terbagi
kepada dua macam, yaitu syarat wajib dan syarat sahnya shalat.
a. Syarat Wajib Shalat
Muhammadal-KhatibAsy-Syarbani mengemukakan bahwa ada
lima syarat wajib shalat, di antaranya adalah:50
a) Beragama Islam
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat at-
Taubah ayat 17 sebagai berikut:

49Muhammad Bin Ismail al-Kahlani, Subulul as-Salam, (Bandung: Pustaka


Dahlan, 1995), h.151
50 Muhammad al-Khatib asy-Syarbani, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati

Ma’ani al-Fazh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980)cet ke-1, h.130

30
Kapita Selekta Fiqh

‫ين اعلاى أانْ ُف ِس ِه ْم ِابلْ ُك ْف ِر‬ ِ ِ َِّ ‫اج اد‬ ِ ‫ما اكا ان لِلْم ْش ِركِي أا ْن ي عمروا مس‬
‫اَّلل اشاهد ا‬ ‫ا ْ ُُ ا ا‬ ‫ُ ا‬ ‫ا‬
ِ ِ ِ
‫ت أ ْاع اما َُلُْم اوِف النَّار ُه ْم اخال ُدو ان‬ ِ ِ
ْ ‫ك احبطا‬
‫أُولائ ا‬
”Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan
mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka
sendiri kafir, itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya dan
mereka kekal di dalam nereka”.(Qs. at-Taubah: 17).
b) Berakal Sehat
Ibadah shalat tidak diwajibkan atas orang yang tidak
berakal sehat atau orang gila, sebagaimana hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh:
‫ رفع القلم‬:‫عن عائشة رضي هللا عنه قال رسول صلى هللا عليه وسلم‬
‫ وعن‬,‫ وعن الصغري حىت يكرب‬,‫ عن النائم حىت يستيقظ‬:‫عن ثآلثة‬
51
)‫او يفيق(روه ابوداود‬,‫اجلنون حىت يعقل‬
“Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: diangkat
hukum atas tiga orang: dari orang yang tidur hingga ia bangun,
anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang gila hingga ia
berakal”.(HR Abu Daud).
Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami bahwa
pembebanan hukum atas tiap mukallaf dicabut apabila
seseorang belum dewasa, tertidur dan gila, bahwa hukum
tersebut berlaku kembali apabila keadaan tersebut telah
hilang darinya.
c) Baligh
Menurut mayoritas ulama bahwa orang yang
dikatakan baligh adalah orang yang telah pernah
mengalami mimpi basah bagi seorang laki-laki dan datang
haid bagi seorang perempuan.52

51 Muhammad Nashiruddin Al al-Bani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2006), cet ke-3, h.91


52 Wahbah al-Zuhailiy, h.286

31
Kapita Selekta Fiqh

‫عن عبد املالك بن الربيع بن سربة عن جده هو سربة بن معبد اجلهىن‬


‫ مروا الصيب ابلصآلة اذا بلغ سبع‬:‫ قال النىب صلى هللا عليه وسلم‬:‫قال‬
53
)‫(رواه ابوداود‬.‫سني واذا بلغ عشرسني فاضربوه عليها‬
”Dari Abdul Malik bin Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari
kakeknya, kakeknya yaitu Sabrah bin Ma’bad al-Juhni r.a. Dia
berkata: berkata Rasulullah Saw., suruhlah anak-anakmu
mengerjkan shalat, apabila ia telah berumur tujuh tahun dan
pukullah dia karena meninggalkannya apabila telah berumur
sepuluh tahun”.(HR.Abu Daud).
d) Suci dari Haid dan Nifas. Setiap orang yang akan
melaksanakan shalat harus bersih badan, pakaian, dan
tempat shalat dari hadas maupun najis, karena jika shalat
dalam keadaan tidak suci atau kena najis, maka shalat akan
menjadi batal dan begitu juga bagi wanita yang sedang haid
dan nifas tidak diwajibkan melaksanakan shalat,
sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Maidah ayat
6 sebagai berikut:
‫وه ُك ْم اوأايْ ِديا ُك ْم إِ اَل‬ ِ ِ َّ ‫ايأايُّها الَّ ِذين ءامنُوا إِ اذا قُمتُم إِ اَل‬
‫الص اَلة فاا ْغسلُوا ُو ُج ا‬ ْْ ‫ا اا‬ ‫ا ا‬
‫ي اوإِ ْن ُكْن تُ ْم ُجنُبًا‬ ِ ِ
ِ ْ ‫الْمراف ِق و ْامس ُحوا بِرءوس ُكم وأ ْار ُجلا ُكم إِ اَل الْ اك ْعبا‬
ْ ‫ُُ ْ ا‬ ‫اا ا ا‬
54
.‫فااطَّ َّه ُروا‬
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai siku dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu
sampai kedua mata kakimu dan jika kamu junub maka
mandilah”.(Qs al-Maidah:6)
b. Syarat Sah Shalat
Syarat sah shalat adalah dimana keabsahan seseorang
melaksanakan shalat tergantung kepada syarat-syarat tersebut,

53Abi Daud Sulaiman Abi Ibn al-Asy’ats, h.325


54Abi Daud Sulaiman Abi Ibn al-Asy’ats.h. 415

32
Kapita Selekta Fiqh

untuk lebih jelasnya penulis merinci syarat sah shalat tersebut


sebagai berikut:
a) Mengetahui masuknya waktu shalat
Shalat lima waktu wajib dikerjakan pada waktu yang
telah ditentukan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam
surat an-Nisa’ ayat 103 sebagai berikut:
55
‫ي كِتا ًااب ام ْوقُو ًات‬ ِِ
‫ت اعلاى الْ ُم ْؤمن ا‬ َّ ‫إِ َّن‬
ْ ‫الص اَل اة اكانا‬
”Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman”.(Qs.an-
Nisa’:103)
Bagi orang yang melaksanakan shalat sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan, maka ia akan
mendapat amalan yang utama. sebagaimana sabda
Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه‬:‫عن ابن مسعود رضي هللا عنه قال‬
56
)‫ (رواه الرتمذى‬.‫وسلم افضل االعمال الصآلة فىاول وقتها‬
“Dari Ibnu Mas’ud ra, berkata, Rasulullah Saw. bersabda,
sebaik-baik amal adalah shalat pada waktunya” (HR.at-
Turmudzi).
b) Bersih Badan dari Hadas dan Najis
c) Suci pakaian, badan, dan tempat shalat dari najis
d) Menutup Aurat
e) Menghadap Kiblat
Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa menghadap
kiblat merupakan syarat sahnya shalat, kecuali dalam
dua keadaan yang membolehkan untuk tidak
menghadapnya yaitu dalam keadaan yang sangat takut
dan shalat di atas kendaraan bagi orang musafir atau
dalam perjalanan.57
Perintah untuk menghadap kiblat ini,
sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah
ayat 144 sebagai berikut:

55 Departeman Agama RI,h.96


56Muhammad Bin Ismail al-Kahlani,h.128
57 Al-Wahbah al-Zuhailiy,h.597

33
Kapita Selekta Fiqh

ِ ‫السم ِاء فالان ولِي ن‬


‫اها فا اوِل او ْج اه ا‬
‫ك‬ ‫ضا‬ ‫ك ِِف َّ ا ُ ا ا ا‬
‫َّك قْب لاةً تا ْر ا‬ ‫ب او ْج ِه ا‬ ‫قا ْد ناارى تا اقلُّ ا‬
ِِ
.58‫ك ْم‬ ُ ‫وه‬ ُ ‫اشطْار الْ ام ْسجد ا ْحلاارِام او احْي‬
‫ث اما ُكْن تُ ْم فا اولُّوا ُو ُج ا‬
”Sesungguhnya kami sering melihat mukamu menengadah ke
langit, maka kami akan memalingkanmu ke arah kiblat yang
kamu sukai, palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram
dan di mana saja kamu berada maka palingkanlah mukamu
ke arahnya”.(Qs al-Baqarah:144).

4. Rukun Shalat
Muhammad al-Khatib asy-Syarbani mengemukakan bahwa
dalam pelaksanaan shalat fardhu memiliki rukun-rukun yang
harus dilaksanakan, di antara rukun tersebut adalah:59
a. Niat
Niat merupakan sesuatu yang dikerjakan dengan penuh
keikhlasan kepada Allah Swt., sebagaimana firman Allah Swt.
dalam surat al-Baiyyinah ayat 5 sebagai berikut:
َّ ‫ين ُحنا افاءا اويُِقي ُموا‬
‫الص اَلةا اويُ ْؤتُوا‬ ِ
‫ي لاهُ الد ا‬
ِ ِ َّ ‫وما أ ُِمروا إَِّال لِي عب ُدوا‬
‫اَّللا خمُْلص ا‬ ُْ ‫ا‬ ُ ‫اا‬
60 ِ ِ
. ‫ين الْ اقي امة‬ ِ ِ َّ
ُ ‫كد‬ ‫الزاكاةا او اذل ا‬
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Hal tersebut juga dijelaskan dalam Sabda Rasulullah
Saw. yang diriwayatkan oleh:
‫ مسعرتسول هللا صلى اللهعليهوسلم يقول امنااألعمال‬:‫عن عمر بن اخلطاب قال‬
61
.)‫ (رواه مجاعة‬.‫ابلنيات وامنالكل امرئ مانوى‬

Departemen Agama RI, h.15


58

Muhammad Hasbi Ash –Shiddiqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: PT Pustaka


59
Rizki Putra, 2005), cet ke-2, h.148
60 Departemen Agama RI, h.312
61Al-Imam Asy-Syaukani,h.289

34
Kapita Selekta Fiqh

”Dari Umar bin Khatab dia berkata: Aku mendengar


Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya segala amal
perbuatan itu harus dengan niat, dan tiap-tiap manusia hanya
mendapatkan sekedar apa yang diniatkannya”.( HR.Jama’ah).
b. Takbiratul Ihram
Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw.:
‫ مفتاح‬:‫ قالرسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن علريضي هلل عنه قال‬
‫ (رواه الشافعى وامحد وابوداود‬.‫ وحتليلهاالتسليم‬,‫ وحترميهاالتكبري‬,‫الصآلةالطهور‬
62
.)‫و ابن ماجه و الرتمذي‬
“Dari Ali ra, ia berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Kunci
shalat itu adalah bersuci, pembukaannya membaca takbir dan
penutupnya adalah memberi salam”.(HR.Ahmad, Abu Daud, Ibnu
Majah dab at-Turmudzi).
Kemudian firman Allah dalam surat al-A’la ayat 15
sebagai berikut:
ِ
‫اس ام اربِه فا ا‬
‫صلَّى‬ ْ ‫اوذا اك ار‬
63

”Dan ia ingat nama Tuhannya, lalu ia shalat”.


Takbiratul Ihram merupakan rukun shalat yang kedua,
yang mana jika rukun ini tidak dilaksanakan maka shalat yang
dikerjakan tersebut tidaklah sah dalam pelaksanaannya.
c. Berdiri bagi yang mampu
Berdiri dalam melaksanakan shalat fardhu merupakan
suatu kewajiban atas ijma’ ulama bagi orang yang sanggup
untuk melaksanakannya. Namun apabila tidak sanggup berdiri
melaksanakan shalat karena sakit, maka dibolehkan
melaksanakan shalat menurut kemampuan untuk
melakukannya.64
Perintah untuk berdiri dalam melaksanakan shalat
terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 238, sebagai
berikut:

62Muhammad Bin Ismail al-Kahlani,h.151


63 Departemen Agama RI,h.575
64 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, h.150

35
Kapita Selekta Fiqh

‫ي‬ ِِ ِ ِ ُ‫الص اَلةِالْوسطاى وق‬ ِ َّ ‫حافِظُوا علاى‬


‫وموا ََّّلل قاانت ا‬
ُ ‫الصلا اوات او َّ ُ ْ ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu' “.
d. Membaca Surat al-Fatihah
Membaca surat al-Fatihah pada setiap raka’at dalam
shalat fardhu atau sunnah merupakan rukun dari pelaksanaan
shalat itu sendiri, akan tetapi jika rukun tersebut tidak
dikerjakan maka shalat yang dikerjakan itu tidak sah,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الصآلة ملن‬:‫عن عبادة بن الصامت قال‬
65
.)‫ (متفق عليه‬.‫مل يقرأام القران‬
”Dari Ubadah bin Samith berkata, bahwa Nabi Saw. bersabda:
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Ummul Qur’an
(al-Fatihah)”. (HR.Muttafaqun ‘Alaih).
Namun membaca al-Fatihah dalam pelaksanaan shalat
terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, di antaranya:66
1) Menurut Hanafiyah, membaca al-Fatihah dalam shalat tidak
diharuskan, namun dibolehkan membaca bacaan apa saja
dari ayat al-Qur’an.
2) Sedangkan menurut Syafi’iyah, membaca al-Fatihah dalam
shalat adalah wajib pada setiap raka’at ataupun pada raka’at
terakhir, baik itu shalat wajib atau shalat sunnah.
e. Ruku’
Ruku’ merupakan fardhu dalam setiap shalat bagi orang
yang mampu dalam melaksanakannya, sebagaimana firman
Allah Swt. dalam surat al-Hajj ayat 77 sebagai berikut :
‫اخلاْ اري لا اعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو ان‬
ْ ‫اس ُج ُدوا او ْاعبُ ُدوا اربَّ ُك ْم اوافْ اعلُوا‬
ْ ‫ين ءا اامنُوا ْاراكعُوا او‬
ِ َّ
‫اايأايُّ اها الذ ا‬
”Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan”(Qs. al-Hajj ayat 77)

65Muhammad Bin Ismail al-Kahlani, h.150


66Al-Wahbah al-Zuhailiy, h.596

36
Kapita Selekta Fiqh

f. I’tidal atau bangkit dari ruku’ dengan berdiri tegak atau lurus
Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan
oleh:
‫ ومابي‬,‫ ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كان سجوده وركوعه‬:‫عن الرباء‬
67
.)‫سجدتي قريبامن السواء (واخرجه البخاري والرتمذي والنسائى‬
”Dari al-Barra’ ra Rasulullah Saw. bersabda: bahwa sujud, ruku’
dan duduk diantara dua sujud rasulullah hampir sama
(lamanya)”.(HR.al-Bukhari, at-Turmudzi dan an-Nasa’i).
g. Sujud
Sujud adalah meletakkan kening di atas tanah atau
lantai. Sujud termasuk fardhu shalat yang sudah disepakati
para ulama fikih.
Sebagaiamana firman Allah Swt. dalam surat al-Hajj
ayat 77 :
68
‫اخلاْ اري لا اعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو ان‬
ْ ‫اس ُج ُدوا او ْاعبُ ُدوا اربَّ ُك ْم اوافْ اعلُوا‬
ْ ‫ين ءا اامنُوا ْاراكعُوا او‬
ِ َّ
‫اايأايُّ اها الذ ا‬
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan”. (Qs al-Hajj ayat 77).
h. Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah
i. Duduk tasyahud akhir dengan thuma’ninah
j. Membaca tasyahud akhir
Membaca tasyahud dalam melaksanakan shalat,
disunatkan untuk membaca do’a yang tujuannya untuk
kebaikan di dunia dan kebaikan ketika di ahkirat.69
Hal tersebut sebagaimana Sabda Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh:
‫ان النىب صلى هللا عليه وسلم علمهم التشهد مث قال ىف‬:‫عن عبدهللا بن مسعود‬
70
)‫(رواه مسلم‬.‫ مث لنخرتمن املسألة مانشاء‬,‫اخره‬

67 Muhammad Bin Ismail al-Kahlani,h.159


68 Departemen Agama RI, h.322
69 Kahar Masyhur, Shalat Wajib Menurut Mazhab Empat, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1995),cet ke-1, h.270


70 Muhamma Bin Ismail al-Kahlani,h.278

37
Kapita Selekta Fiqh

“Abdullah bin Mas’ud menceritakan, bahwa Nabi Saw.


mengajarkan kepada mereka tasyahud, kemudian pada ahkirnya
beliau mengatakan, kemudian hendaklah kita pilih berupa do’a
apa yang kita inginkan”.(HR.Muslim)
k. Membaca shalawat atas Nabi ketika tasyahud akhir
l. Membaca Salam
Sebagaimana dengan pengertian shalat itu sendiri,
bahwa shalat itu dimulai dengan takbir dan diahkiri dengan
salam, hal ini sesuai dengan Hadis Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh:
‫ ان النيب صلى هللا عليه وسلم كان يسلم عن ميينه وعن‬:‫عن عبدهللا بن مسعود‬
‫(واخرجه الرتمذي‬. ‫ السآلم عليكم ورمحة هللا وبركاته‬:‫ حىت يرى بياض خده‬:‫مشاله‬
71
.)‫والنسائى وابن ماجه‬
Dari Abdullah bn Mas’ud r.a, bahwa Nabi Saw. biasa memberi
salam ke kanan dan kekiri beliau, sampai terlihat putih pipi beliau ,
yaitu: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” .
(HR.at-Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
m. Tertib dalam pelaksanaannya
Tertib adalah dengan mendahulukan menurut
urutannya, berdiri sebelum ruku’ atau ruku’ sebelum sujud dan
begitu juga seterusnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
yang diriwayatkan oleh:
:‫ قال رسول اللهصلى هللا عليه وسلم‬:‫عن مالك بن احلويرث رضي هللا عنه قال‬
72
)‫ (رواه البخاري‬.‫صلوا كما رأيتموىن أصلي‬
”Dari Malik bin al-Huwairits r.a, ia berkata bahwa Rasulullah
Saw. bersabda: shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
shalat”. (HR.al-Bukhari).

5. Sunnah-Sunnah dalam Shalat

71Muhamma Bin Ismail al-Kahlani, h.426


72Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Muaram, (Bandung: PT al-
Ma’arif , 1976)h.123

38
Kapita Selekta Fiqh

Adapun sunnah shalat yaitu sebagai berikut:


1) Membaca ta’awwudz dan basmalah ketika akan melakukan
shalat.
2) Membaca lafaz niat (sebagian pendapat ulama)
3) Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ketika
akan ruku’, i’tidal, dan bangkit dari tahayat awal.
4) Bersedekap atau meletakkan telapak tangan kanan di atas
punggung tangan kiri dan keduanya diletakkan di dada.
5) Melihat ketempat sujud, kecuali saat membaca syahadat
tauhid.
6) Membaca do’a iftitah setelah sesudah takbiratul ihram
sebelum membaca al-fatihah.
7) Membaca lafaz “aamiin” setelah membaca al-Fatihah.
8) Diam sebentar sebelum dan sesudah membaca surat al-
Fatihah
9) Membaca ayat atau surat al-Qur’an sesudah membaca al-
Fatihah pada rakaat pertama dan kedua.
10) Mengeraskan bacaan surat al-Fatihah dan surat/ayat al-
Qur’an pada rakaat pertama dan kedua ketika shalat magrib,
isya, dan subuh.
11) Membaca takbir ketika turun naik(takbir intiqal), kecualai
saat i’tidal yang membaca “sami’Allahu liman hamidah”.
12) Meletakkan telapak tangan diatas lutut ketika ruku’.
13) Membaca do’a i’tidal
14) Meletakkan telapak tangan di atas paha ketika duduk antara
dua sujud, tahayat awal, dan tahayat akhir dengan ujung jari
tepat di ujung lutut.
15) Membaca tasbih tiga kali ketika ruku’ dan sujut
16) Membaca do’a ketika duduk antara dua sujut
17) Duduk iftirasyi (duduk di atas telapak kaki kiri dan telapak
kaki kanan ditegakkan) pada saat tahayat awal.
18) Duduk istirahat (sebentar) sesudah sujud kedua sebelu
berdiri.
19) Mengacungkan jari telunjuk kakan lurus ke depan ketika
membaca syahadat.
20) Tangan menumpuk ketanah ketika hendak berdiri dari sujud
21) Membaca salam kedua dan menoleh kekanan saat salam
pertama dan kekiri saat salam kedua.

39
Kapita Selekta Fiqh

6. Hal-hal yang Membatalkan Shalat


Shalat dapat menjadi batal jika terjadi hal-hal sebagai
berikut dalam pelaksanaannya:
a. Makan atau Minum dengan Sengaja
Berkata Ibnu Munzir: para ulama sepakat mengatakan
bahwa barang siapa yang makan dan minum dengan sengaja
dalam shalat fardhu, maka shalatnya batal dan ia wajib
mengulangi shalatnya.
Berbicara dengan Sengaja
Pembicaraan di luar lafaz shalat dengan sengaja dalam
keadaan shalat, termasuk hal yang membatalkan shalat,
berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
‫وعن زيدبن ارقم انه قال ان كنانتكلم فىالصآلة على عهد رسول هللا عليه وسلم‬
‫يكلم الرجل منا صاحبه وهو إَل جنبه ىف الصآلة حىت نزلت(حافظوا على‬
.‫الصآلة والصآلة الوسطى وقوموهللا قانتي)فامران ابلسكوت و هنينا عن الكآلم‬
73
.)‫(متفق عليه ومسلم‬
“Dari Zaid bin Arqam bahwa ia berkata, sesungguhnya kami
pernah berbicara dalam shalat pada masa Rasulullah Saw.,seorang
mengajak teman yang disampingnya bicara, sehingga turun ayat
(peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat whusta,
berdirilah karena Allah dengan khusu’) maka kami diperintahkan
untuk diam dan dilarang untuk berbicara”(HR.Muttafaq Alaih
dan Muslim).
b. Banyak Bergerak dengan Sengaja
c. Meninggalkan Syarat dan Rukun dengan Sengaja, Tanpa Ada
Uzur atau Halangan
Shalat harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan
rukun yang telah ditentukan, jika satu saja syarat dan rukun
itu kurang maka shalat yang dilakukan tersebut menjadi tidak

73 Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany,h.45

40
Kapita Selekta Fiqh

sempurna dan harus mengulanginya dengan memenuhi segala


kekurangan-kekurangan tersebutal.74
Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak
dikerjakan dengan secara sengaja, maka shalat tersebut
menjadi batal dengan sendirinya, harus melakukan sujud sahwi
sebelum salam.75
d. Tertawa dengan Sengaja
Tertawa dengan sengaja dalam melaksanakan shalat
adalah suatu yang dapat membatalkan shalat itu sendiri,
contoh tertawa terhadap sesuatu dengan nada yang keras atau
tertawa dengan terbahak-bahak. Menurut sebagian besar
ulama, bahwa tersenyum tidaklah membatalkan shalat.76
e. Berubah Niat
Niat adalah suatu yang dikerjakan dengan ikhlas karena
Allah Swt.. Shalat menjadi batal dengan sebab perubahan niat,
berazam membatalkan shalat atau berniat keluar dari pada
shalat, oleh karena itu niat wajib dikerjakan sampai ahkir dari
shalat itu sendiri. Jika seseorang yang melaksanakan shalat
dengan tidak adanya niat karena Allah Swt., maka shalat yang
ia kerjakan tidaklah sah dan tidak diterima oleh Allah Swt.
f. Murtad
Murtad adalah perbuatan seseorang yang dilakukanya
untuk keluar dari agama Islam, seperti mereka tidak percaya
dengan agama Islam, maka shalat orang murtad tersebut tidak
sah.77
Murtad adalah keluar dari agama Islam, baik dengan
kata-kata ataupun dengan perbuatan, maka orang yang telah
murtad shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah
Swt..78

74 Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, (Kairo: Ma’tabah al-

Istiqamah, 1994), h.199


75 Wahbah al-Zuhailiy, h.612
76Wahbah al-Zuhailiy,h.242
77Wahbah al-Zuhailiy h.612
78 Isni Bustami, ,h.154

41
Kapita Selekta Fiqh

7. Hal-Hal yang Menghalangi Pelaksanaan Shalat


Walaupun shalat itu wajib dilakukan oleh setiap mukallaf,
namun ada beberapa orang yang terhalang untuk melakukan
shalat walaupun persyaratan untuk itu terpenuhi. Bila
dilakukannya shalat itu tidak sah. Hal yang menghalangi
pelaksanaan shalat itu adalah sebagai berikut:
a. Perempuan dalam masa haid sebelum bersih dan mandi
b. Perempuan selesai melahirkan sampai bersih dari darah nifas
dan mandi
c. Laki-laki dan perempuan dalam junub atau melakukan
hubungan seksual sebelum mandi.
d. Orang kafir sebelum masuk Islam dan mandi79.

8. Hikmah Shalat
Segala sesuatu yang berbentuk perintah, larangan dan
segala macam ibadah dalam Islam mengandung hikmah yang
besar yang mendatangkan faedah bagi umat manusia yang telah
melaksanakannya, diantara hikmah shalat tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar, karena
dengan bacaan atau do’a yang dibaca ketika shalat dengan
keikhlasan, maka rasa takut akan timbul dalam jiwa untuk
meninggalkan perbuatan jahat dan maksiat, sebagaimana
firman Allah Swt. dalam Surat al-Ankabut ayat 45:
ُ‫اَّلل‬ َّ ‫الص اَل اة تا ْن اهى اع ِن الْ اف ْح اش ِاء اوالْ ُمْن اك ِر اولا ِذ ْك ُر‬
َّ ‫اَّللِ أا ْك اربُ او‬ َّ ‫اوأاقِِم‬
َّ ‫الص اَل اة إِ َّن‬
80
‫صناعُو ان‬
ْ ‫يا ْعلا ُم اما تا‬
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.

79 Amir Syarifuddin, h.31


80 Departemen Agama RI, h.402

42
Kapita Selekta Fiqh

2) Untuk mendidik manusia sabar dalam menghadapi


kesusahan dan selalu berbuat kebaikan serta menjauhi
segala perbuatan dosa, sebagaimana firman Allah Swt.
dalam Surat al-Ma’arij ayat 19 sebagai berikut:
‫وعا‬ ِ ِْ ‫إِ َّن‬
ً ُ‫النْ اسا ان ُخل اق اهل‬
81

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi


kikir”.
3) Untuk selalu mengingat Allah Swt. sehingga timbul rasa
takut dan tunduk kepada nya, dengan sendirinya jiwa
tauhid semakin tumbuh dalam jiwa, zikir yang dibaca
dalam shalat apabila dipahami dan diperhatikan sungguh-
sungguh makna dan maksudnya untuk mengingatkan
mahkluk kepada khaliqnya, oleh sebab itu shalat adalah
tali penghubung yang menghubungkan antara makhluk
(hambanya) dengan khaliq-Nya, Hal ini berdasarkan
firman Allah Swt. dalam surat Thaha ayat 14 sebagai
berikut:82
‫الص اَل اة لِ ِذ ْك ِري‬
َّ ‫اعبُ ْدِين اوأاقِِم‬
ْ ‫اَّللُ اال إِلاها إَِّال أا اان فا‬
َّ ‫إِن َِِّن أا اان‬
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku”.
Shalat dapat memperdalam rasa disiplin diri dan
membuat seseorang besifat jujur dan bependirian,
menampilkan, pribadi yang memiliki ahlak yang mulia dan
memberikan kekuatan dan ketenangan jiwa dalam
menghadapi berbagai godaan dunia.83
4) Shalat dapat menghapus segala perbuatan dosa, karena
setiap hamba tidak terlepas dari dosa, kesalahan dan lalai
dalam melaksanakan ibadah, maka dari itu jika kita
melaksanakan shalat dengan ikhlas karena lillahi ta’aladan
selalu berdo’a maka kita akan terpelihara yaitu terhindar
dari perbuatan keji dan munkar.

81Departemen Agama RI, h.570


82 Departemen Agama RI,h.314
83 Isni Bustani, h.98

43
Kapita Selekta Fiqh

5) Shalat dapat menjadikan orang yang melaksanakannya


menjadi bersih, dan tetap menjaga kebersihan baik
jasmani maupun rohaninya, sehingga dengan
melaksanakan shalat tersebut dapat menjadikannya
sebagai orang yang sehat, apa lagi setelah dilengkapi
dengan gerakan-gerakan yang teratur dan sempurna
dalam pelaksanaannya.84
6) Shalat akan menjadikan seorang memperoleh ketenangan
dalam jiwa mereka.85sebagaimana firman Allah Swt.
dalam surat ar-Ra’d ayat 28 sebagai berikut:
‫وب‬ ِ َِّ ‫اَّللِ أااال بِ ِذ ْك ِر‬
َّ ‫وهبُْم بِ ِذ ْك ِر‬
ُ ُ‫ين ءا اامنُوا اوتاطْ امئِ ُّن قُل‬
ِ َّ
ُ ُ‫اَّلل تاطْ امئ ُّن الْ ُقل‬ ‫الذ ا‬
86

”Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi


tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”.
7) Memberikan ketentraman dan ketabahan hati, sehingga
orang tak mudah kecewa atau gelisah mentalnya jika
menghadapi musibah.87Sebagaimana firman Allah Swt.
dalam surat al-Ma’arij ayat 20-22 sebagai berikut:
ِ ‫)إَِّال الْم‬21(‫اخلري منُوعا‬
)22(‫ي‬
‫صل ا‬
‫ُ ا‬ ً ‫) اوإِذاا ام َّسهُ ْاْ ُ ا‬20(‫وعا‬
ً ‫إِذاا ام َّسهُ الشَُّّر اج ُز‬
(20)“ Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, (21) dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, (22) kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat”.
8) Supaya menusia selalu mengingat Allah dengan cara
berzikir kepada Allah baik itu dalam keadaan duduk,
berdiri maupun berbaring. Hal ini bertujuaan untuk
menciptakan hubungan lansung antara manusia dengan
penciptanya (Allah). Tentang suruhan Allah untuk
memperbanyak dzikir kepadanya terdapat dalam surat Ali
Imran ayat 4188:

84 Baihaqi, h.42
85 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: CV Kencana,
2002)h.23
86 Depaerteman Agama RI, h,215
87 Masifuk Juhdi, Studi Islam, (Jakarta: CV Rajawali, 1992) h.14
88 Amir Syarifuddin, h. 22

44
Kapita Selekta Fiqh

ِْ ‫ك اكثِريا او اسبِ ْح ِابلْ اع ِش ِي او‬


‫البْ اكا ِر‬ ً ‫اواذْ ُك ْر اربَّ ا‬
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta
bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari".
Dan Allah juga berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 41:
‫اَّللا ِذ ْكًرا اكثِ ًريا‬
َّ ‫ين ءا اامنُوا اذْ ُك ُروا‬ ِ َّ
‫اايأايُّ اها الذ ا‬
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya”.
Salah satu bentuk dzikir yang formala adalah
dengan mendirikan shalat.

9. Keringanan dalam Pelaksanaan Shalat


Keringanan dalam melaksanakan shalat diberikan
oleh Allah melalui penjelasan nabi-Nya kepada mukallaf ia
mengalami sesuatu yang disebut masyaqqah dalam arti
menghadapi bahaya dan kesulitan. Keringanan itu dapat
dalam bentuk mengurangi jumlah rakaatnya, atau dilakukan
tapi tidak pada waktunya atau perubahan dalam
pelaksanaannya. Keringanan itu sebagai berikut:
b. Mengurangi jumlah rakaat yang empat, dengan arti
dijadikan dua rakaat pada shlat zhuhur, asar dan isya.
Keringanan dalam bentuk ini disebut qasar. Keringanan
untuk melaksanakan shalat itu diberikan kepada orang
yang sedang melakukan perjalanan yang mengalami
kesulitan dalam perjalanannya itu. Hal ini dijelaskan
dalam surat al-Nisa’ ayat 101:
ِ‫الص اَلة‬
َّ ‫ص ُروا ِم ان‬ ِ ِ ‫اوإِذاا ا‬
ُ ‫اح أا ْن تا ْق‬
ٌ ‫س اعلاْي ُك ْم ُجنا‬
‫ضاربْتُ ْم ِف ْاأل ْارض فالاْي ا‬
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah
mengapa kamu men-qashar shalat (mu)”.
c. Mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu secara
berketerusan, yaitu shalat zhuhur dengan ashar dan
shalat magrib dengan isya, cara mengumpulkan dua
shalat ini disebut dengan jama’, bila shalat zhuhur yang
dijama’ dengan ashar pada waktu shuhur atau magrib
dan isyapada waktu isya, disebut jama’ta’khir. Ketentuan
tentang jama’ shalat itu dijelaskan nabi dalam hadistnya
yakni sebagai berikut :
45
Kapita Selekta Fiqh

‫خرجنا مع النيب صلى هللا عليه و سلم ِف غزوة تبو ك فكان يصلى الظهر‬
‫والعصر مجيعا و املغرب و العشاء مجيعا‬
“Kami keluar melakukan perjalanan bersama nabi dalam
perang tabuk. Nabi menjama’ shalat zhuhur denagn ashar
dan menjama’ shalat magrib dengan isya.

46
Kapita Selekta Fiqh

C. ZAKAT

1. Pengertian Zakat
Zakat bersal dari kata Al-ziyadah (tambah) sehingga zakat
menurut bahasa adalah tambahan (ziyadah) dan pertumbuhan
(Nama”)zakat juga bisa diartikan membersihkan atau menyucikan
(tathhir)89Secara bahasa zakat berarti tumbuh (namuww) dan
bertambah (ziyadah). Jika diucapkan zaka Al-zar maka artinya
adalah tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan dengan kata, zakat
al-nafaqah, makaartinya nafkah tumbuh dan bertamabah jika
diberkati. Kata ini juga sering digunakan dengan makna thaharah
(suci) Allah Swt. berfirman dalam surah As-Syam ayat: 9

‫قا ْد أافْ لا اح ام ْن ازَّك ا‬


‫اها‬
”Sesungguhnya berjayalah orang Yang menjadikan dirinya – Yang
sedia bersih - bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal
kebajikan),90

Maksud kata zakka dalam ayat ini ialah menyucikan dari


kotoran91.
Zakat ditinjau dari segi bahasa , kata zakat merupakan
mashdar dari kata dzakayang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan
baik. Menurut lisan al-arab arti dasar dari kata zakat ditinjau dari
sudut bahasa adalah suci, tumbuh berkah dan terpuji.92 Menurut
Yusuf al-Qardhawy93 zakat adalah berkah, tumbuh, suci, dan baik.
Menurut Amir Syarifuddin zakat secara bahasa berarti
membersihkan, tumbuh, berkah dan pujian94. Kemudian Abu

89Rif’at Abd. Al-Latif Masyhur, Zakat Sebagai Penjana Pembangunan, (Kuala

Lumpur : Al-Hidayah 2002), h. 37


90Dep.RI.op.cit,
91 Wahbah al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Judul Asli al-Fiqh al-

Islami Wa Adillatuhu, yang diterjemahkan oleh Agus Effendi dan Bahrudin


Fannany (Bandung: PT Remaja Rosda Karya Group 1985) hal.83
92 Asnaini, zakat prodoktif dalam persefektif hukum Islam,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.2008) h.23
93Yusuf Al-Qarahdawi, Spektrum Zakat dalam membangun Ekonomi

Kerakyatan., (Jakarta: Zikrul Hakim,2005) cet ,1 h. 53


94 Amir Syarifuddin 1997op.cit h 15

47
Kapita Selekta Fiqh

Hasan Al-Wahidi mengatakan zakat itu mensucikan harta dan


memperbaikinya seperti menyuburkannya95
Zakat menurut terminologi (syar’i) adalah sejumlah Harta
tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt., untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya (mustahiq) seperti yang telah ditetapkan di dalam
al-Quran. Selalin itu zakat bisa juga berarti sejumlah harta tertentu dari
harta tertentu dibayarkan kepada orang tertentu yang berhak
menerimanya sebagai ibadah dan ketatan kepada Allah Swt.96. Hal ini
berdasarkan firman Allah Swt.. Dalam surah Al-Baqarah ayat 43:
ِ ِ َّ ‫الزاكاةا واراكعوا مع‬ ِ
‫ي‬
‫الراكع ا‬ ‫الص اَلةا اوءااتُوا َّ ا ْ ُ ا ا‬
َّ ‫يموا‬
ُ ‫اوأاق‬
“Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'97
Sayyid Sabiq mendefenisikan Zakat menurut Syara’ adalah
nama bagi suatu yang di keluarkan oleh manusia berupa hak Allah
yang diberikan kepda orang-orang fakir98 Sedangkan menurut
Yusuf Al-Qardhawy zakat dari segi Istilah fiqih adalah sejumlah
harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt., diserahkan kepada
orang yang berhak99 Al-Syaukani juga mendefinisikan bahwa
Zakat adalah pertama” faktor yang menyebabkan dikeluarkanya
zakat adalah karna adanya pertumbuhan pada harta dengan arti,
bahwa upah menjadi banyak karenanya atau berkaitan dengan
harta yang berkembang, seperti, perdagangan dan pertanian.
Kedua’ zakat sebagai penyucian jiwa dari kehinaan bakhil dan
sekaligus penyucian dari dosa.100 Kemudian menurut Imam Hanafi
zakat secara istilah adalah menjadikan sebagian harta yang khusus
dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus101
Dari beberapa defenisi zakat diatas maka zakat menurut
istilah dapat disimpulkan yaitu mengeluarkan harta tertentu yang

95 TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra,1999) h.4
96 Hikmat kurnia, panduan ointar Zakat, (Jakarta: qultumedia,2008) h. 3
97Depertemen Agama RI, h.7
98 Sayid sabiq, fiqih sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), jilid 1, cet-

III, h.
99 Yusuf Qardhawy 1979,h. 34
100 Rif’at Abd. Al-Latif Masyhur 2002, h 33
101 Wahbah al-zuhaily,h . 83

48
Kapita Selekta Fiqh

diwajibkan oleh Allah Swt. untuk diberikan kepada orang yang


berhak (mustahiq) menerimanya.

1. Dasar Hukum Zakat


Berkenaan dengan kewajiban zakat rasanya tidak perlu
dikeragui lagi bagi kita, dimana kewajiban mengeluarkan zakat
telah sangat jelas Allah tegaskan di dalam al-Quran dan Hadist.
a. Al-Qur’an
Surah Al-Baqarah ayat 43:
ِ ِ َّ ‫الزاكاةا واراكعوا مع‬ ِ
‫ي‬
‫الراكع ا‬ ‫الص اَلةا اوءااتُوا َّ ا ْ ُ ا ا‬
َّ ‫يموا‬
ُ ‫اوأاق‬
”Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku'102
Surah An-Nur ayat 56:
‫ول لا اعلَّ ُك ْم تُْر امحُو ان‬ ِ ‫الزاكاةا وأ‬ ِ
‫الر ُس ا‬
َّ ‫اطيعُوا‬ ‫الص اَلةا اوءااتُوا َّ ا‬
َّ ‫يموا‬
ُ ‫اوأاق‬
”Dan dirikanlah kamu akan sembahyan g sertaberilah zakat;
dan Taatlah kamu kepada Rasul Allah; supaya kamu
memproleh rahmat103.
Surah At-Taubah Ayat 103:
ِ ِ ِِ ِ
‫ك‬ ‫ص ِل اعلاْي ِه ْم إِ َّن ا‬
‫ص اَلتا ا‬ ‫ص ادقاةً تُطا ِه ُرُه ْم اوتُازكي ِه ْم هباا او ا‬
‫ُخ ْذ م ْن أ ْام اواَل ْم ا‬
‫يع اعلِ ٌيم‬ ِ َّ ‫س اكن اَلم و‬
ٌ ‫اَّللُ امس‬ ‫ا ٌ ُْ ا‬
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berndoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui” 104.
b. Hadis
Sabda Rasullulah Saw.:

102Depertemen Agama RI, h..7


103Depertemen Agama RI, h.285
104Depertemen Agama RIh. 162

49
Kapita Selekta Fiqh

‫ بِن السَلم على‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن ابن عمر قال‬
‫ وإيتاء‬,‫ وإقام الصَلة‬,‫ شهادة أن ال إله إال هللا وأن حممدا رسول هللا‬:‫مخس‬
)‫ وحج البيت (رواه الرتمذى‬,‫ وصوم رمضان‬,‫الزكاة‬
”Dari bin Umar berkata Rasulullah Saw. bersabda, Islam itu
ditegakkan di atas lima dasar: (1) bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang hak kecuali Allah dan bahwasanya Nabi
Muhammad itu utusan Allah, (2) mendirikan shalat lima
waktu, (3) membayar zakat, (4) berpuasa di bulan ramadhan,
(5) mengerjakan ibadah haji kebaitullah.(HR. Turmidzi)”.105
Rasullullah bersabda:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إن هللا‬:‫عن على رضى هللا عنه قال‬
‫فرض على أغنياء املسلمي ِف أمواَلم بقدر الذي يسع فقراءهم ولن جتهد‬
‫الفقراء إذا جاعوا وعروا إالمبا يصنع أغنياؤهم أال وإن هللا حياسبهم يوم‬
)‫القيامة حسااب شديدا و يعذهبم عذااب أليما (رواه الطرب ىن‬
”Dari Ali r.a berkata, bersabda Rasullulah Saw., sesungguhnya
Allah Swt. mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya
dari kaum muslimin sejumlah yang dapat melapangi orang-
oarng miskin diantara mereka, fakir miskin itu tiadalah akan
menderita menghadapi kelapangan dan kesulitan sandang,
kecuali karena perbuatan golongan yang kaya, ingatlah Allah
akan mengadili mereka pada hari kiamat nanti secara tegas dan
menyiksa dengan pedih.”(HR. Thabrani)106

2. Harta yang wajib dizakatkan


Al-Qur’an secara umum menjelaskan tentang kewajiaban
zakat dengan menggunakan kata ”Nafaqa” seperti yang terdapat
dalam surat al- Baqarah (2) ayat 267:

105 Muhammad Bin Abu Isa at-Turmidzi as- Salmi, al-Jami’ ash-Shahih

Sunan Turmidzi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al’Arabi, 1408 H), Jilid 5, h.5
106 Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Gasim at-Thabrany, al-Mu’jam

al-Shiqhir, (Beirit, al-Makhtab al-Islami, 1995), Jilid 1, h. 275

50
Kapita Selekta Fiqh

ِ ‫اخار ْجناا لا ُك ْم ِم ان ْاأل ْار‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ


‫ض اواال‬ ْ ‫ين ءا اامنُوا أانْف ُقوا م ْن طايِباات اما اك اسْب تُ ْم اوِمَّا أ‬
‫اايأايُّ اها الذ ا‬
‫اَّللا‬
َّ ‫ان‬َّ ‫ضوا فِ ِيه او ْاعلا ُموا أ‬ ِ ِ
ُ ‫يث ِمْنهُ تُْنف ُقو ان اولا ْستُ ْم ِِب ِخذ ِيه إَِّال أا ْن تُ ْغ ِم‬
‫اخلابِ ا‬
ْ ‫تايا َّم ُموا‬
ِ‫اغ ِِن ا‬
‫محي ٌد‬ ٌّ
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik- baik dan sebagian dari
apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (al-
Baqarah: 267)107
Kata ”Nafaqa” dalam ayat di atas menurut ulama tafsir
dengan bisa diartikan sebagai zakat wajib,108 berdasarkan kalimat
di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang wajib dikeluarkan
zakat adalah:
1. Apa-apa yang diperoleh melalui hasil usaha dan jasa.
2. Apa-apa yang dikeluarkan atau diusahakan dari dalam bumi.
Pada umumnya di dalam kitab-kitab hukum fiqh harta yang
wajib dizakati atau dikeluarkan zakatnya digolongkan sebagai
berikut:
1) Hewan Ternak
(a) Unta
Tidak wajib mengeluarkan zakat unta keculi telah sampai 5
ekor. Apabila sampai 5 ekor digembalakan, dan cukup masanya
setahun, zakatnya ialah seekor kambing betina. Jika jumlahnya
mecapai 10 ekor, zakatnya 2 ekor kambing betina. Demikian
seterusnya, yaitu setiap bertambah 5 ekor maka bertambah pula
zakatnya satu ekor kambing betina.
Jika jumlahnya mencapai 25 ekor, zakatnya ialah 1 ekor
anak unta betina yang berumur 1-2 tahun atau satu ekor anak

107 Depertemen Agama RI, h.37


108 Amir Syarifuddin, h. 182

51
Kapita Selekta Fiqh

unta jantan yang berumur 2-3 tahun. Jika jumlah unta itu
mencapai 36 ekor, zakatnya satu ekor anak unta betina yang
berumur 2-3 tahun.
Jika jumlahnya mencapai 46 ekor, zakatnya satu ekor unta
yang berumur 4-5 tahun. Jika jumlahnya mencapai 76 ekor,
zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun. Jika jumlahnya
91 ekor sampai 120 ekor dua ekor unta betiana umur 2-3 tahun.
Jika jumlahnya lebih dari 91 ekor tersebut, setip 50 ekor zakatnya
adala 1 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun dan setiap 50 ekor
unta maka zakatnya adalah 1 ekor unta betina berumur 3-4
tahun.109
(b) Kambing
Tidak wajib zakat atas kambing kecuali telah mencapai
jumlah mencapai 40 ekor. Jadi jika ia mencapai jumlah antara 40-
120 ekor dan digembalakan sampai 1 tahun, zaktnya ialah 1 ekor
kambing betina.
Jika jumlah mencapai antara 121-200 ekor, zakatnya ialah 2
ekor kambing betina. Jika jumlahnya mencapai antara 200-300,
zakatnya 3 ekor kambing betina. Selanjutnya, jika lebih dari 300
ekor kambing, makan setiap 100 ekor, zakatnya adalah 1 ekor
kambing betina. Bayaran zakat domba harus dikeluarkan zakat
yang berumur 1 tahun, sedangkan zakat dari kambing adalah
kambing yang berumur 3 tahun, dean demikian seterusnya.110
(c) Sapi dan Kerbau
Tidak wajib zakat terhadap sapi sebelum mencukupi jumlah
30 ekor dan dibesarkan dalam gembalaan. Jika ia telah mencukupi
30 ekor digembalakan, dan berlangsung selama satu tahun,
zakatnya 1 ekor sapi jantan atau betina umur satu tahun. Jika
telah mencukupi jumlahnya 40 ekor sapi, zakatnya 1 ekor sapi
betina umur 2 tahun dan tidak ada tambahan lain hingga jumlah
mencapai 60 ekor. Jika telah mencapai 60 ekor sapi, zakatnya 2
ekor sapi umur 1 tahun. Jika jumlahnya mencapai 70 ekor sapi,
zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun dan 1 ekor sapi umur 1
tahun. Jika jumlahnya 80 ekor sapi, zakatnya 2 ekor sapi betina

109 Sayid Sabiq 2008, h, 541-542


110Depertemen Agama RIh.543

52
Kapita Selekta Fiqh

umur 2 tahun, jika jumlahnya mencapai 90 ekor sapi, maka


zakatnya 3 ekor sapi umur 1 tahun.
Jika jumlahnya mencapai 100 ekor sapi, zakatnya 1 ekor
sapi betina 2 tahun serta 2 ekor sapi umur 1 tahun. Jika jumlanya
mencapai 110 ekor sapi, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun
dan 1 ekor umur 1 tahun.
Jika jumlahnya mencapai 120 ekor sapi, zakatnya 3 ekor
sapi betina umur 2 tahun atau 4 ekor sapi umur 1 tahun. Jika
jumlahnya banyak bertambah, setiap 30 ekor sapi maka zakatnya
adalah 1 ekor sapi umur 1 tahun. Setiap 40 ekor sapi maka
zakatnya adalah 1 ekor sapi betina umur 2 tahun.111
(d) Emas dan Perak
Zakat emas dan perak ditetapkan dengan rinci dalam hadits
Nabi dari Ali bin Abi Tahlib menurut riwayat Abu Daud :
‫اذا كانت لك مئتا درهم وحال عليه احلول ففيها مخسة درهم وليس عليك‬
‫شي حىت يكون لكعشرون دينار وحال عليه احلول ففيها نصف دينار فمازاد‬
‫فبحساب ذلك وليس مال زكاة حىت عليه احلول‬
”Bila kamu mempunyai perak sebesar 200 dirham telah berlalu masa
satu tahun, maka kewajibannya adalah 5 dirham. Tidak wajib
diatasmu menzakatkan emas kecuali bila sampai 20 dinnar dan
telah berlalu masa satu tahun, maka zakatnya adalah 1/2 dinnar.
Bila telah lebih dari itu perhitungan menurut apa adanya. Tidak
ada kewajiaban zakat harta kecuali bila telah berlalu masa satu
tahun”.112
Adapun syarat utama zakat pada emas dan perak adalah
mencapai nisab dan telah berlalu satu tahun (haul). Berdasarkan
hadits nabi dari Ali Bin Abi Thalib menurut riwayat Abu Daud di
atas, zakat emas adalah 20 dinar dan berlalu masa satu tahun,
maka zakatnya adalah ½ dinar sedangkan nisab perak adalah 200
dirham.113

111Depertemen Agama RI,h 75-78


112Depertemen Agama RI74
113 Abdul Aziz Dahlan,zakat enskolopedi hokum Islam, (Jakarta: PT ikhtiar

baru vanhoeve,1995) jilid III., h. 1991

53
Kapita Selekta Fiqh

(e) Harta Perniagaan


Harta perniagaan adalah segala sesuatu komoniti yang
dipersiapkan untuk diperjual belikan. Ulama fiqh menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan barang dagangan adalah seluruh
barang yang dibutuhkan manusia yang di perdagangkan diantara
sesama mereka yang wajib dizakati.
Para ahli fiqh mengemukakan syarat khusus terhadap
barang dagang yang dikenai zakat sebagai berkut:
(1) Mencapai Satu Nisab
Ulama sepakat bahwa penentuan nisab zakat barang
dagangan adalah dengan nilainya, bukan barang dagangan itu
sendiri. Penilaian terhadap barang-barang dagangan dilakukan
sesuai dengan harga yang berlaku pada akhir haul, bukan
ketika membeli barang tersebut. Apabila diakhir haul pedagang
dimaksudkan memiliki kekayaan berupa sejumlah uang sebagai
hasil dagangan, maka harta dagangan dinilai dengan uang,
apabila pedagang tersebut mempunyai uang 1 nisab (85 gram
emas) maka dikeluarkan zakatnya 2,5%.114
Nisab dan kadar zakat perdagangan diqiyaskan dengan
nisab zakat emas dan perak yaitu 20 miskal atau 20 dinar atau
200 dirham wajib mengeluarkan zakatnya 2,5%. Perhitungan
nisab ini menurut Ulama Mazhab Hanafi dimulai sejak awal
tahun sampai akhir tahun (haul), ulama mazhab Maliki dan
Syafi’i berpendapat bahwa perhitungan nisab hanya diakhir
haul. Sedangkan mazhab Hambali, perhitungan nisab
dilakukan dan diperiksa setiap waktu sepanjang tahun.
(2) Berlalu masa satu tahun (haul).
Setiap orang yang memiliki barang perniagaan yang
banyaknya mencapai satu nisab serta telah berjalan masa satu
tahun, hendaklah ia menghitung harganya pada akhir tahun
lalu ia mengeluarkan zakatnya, 1/40 dari harga tersebut. Jika
seandainya seorang saudagar memiliki barang dagangan yang
nilainya tidak cukup satu nisab kemudian masa berlalu dan
barang tetap seperti adanya, lalu nilainya bertambah
disebabkan perputaran perdagangannya atau harganya naik
hingga sampai satu nisab, atau dapat dijualnya dengan harga

114 Abdul Aziz Dahlan, 1995, h. 1992-1993

54
Kapita Selekta Fiqh

satu nisab, atau sementara itu ia memperoleh barang lain atau


uang sehingga mencapai hitungan senisab, maka hitungan
tahun dimulai saat itu, bukan dari waktu sebelumnya. Ini
pendapat Ats-Tsauri, Mazhab Hanafi, Syafi’i, Ishaq, Abu
Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibnu Manzir.
(3) Barang itu memang diniatkan pedagang untuk
diperdagangkan, bukan untuk dimanfaatkan sendiri.
(4) Barang dagangan itu dimiliki melalui perdagangan, bukan
melalui warisan, hibah, wasiat atau sedekah.

2) Biji-bijian dan Buah-buahan


Buah-buahan dan biji-bijian dalam bentuk makanan yang
diwajibkan dibatasi oleh Nabi pada 4 jenis makanan sebagaimana
tersebut dalam hadits Nabi dari Abu Musa Al-Ansyari menurut
riwayat Thabrani, Hakim dan Darulquthani tentang ucapan Nabi
yang ditujukan kepada Abu Musa dan Mauz Ibn Jabal:
‫ال أتخذ واِف الصدقة االمن هذه األصناف األربعة الشعري واحلنطة والزبيب‬
‫والتمر‬
”Jangan kamu zakatkan dari tanaman kecuali empat jenis:
gandum, sya’ir, anggur, kering dan kurma”.
Hasan Bashri, Ats-Tsauri, dan Asy-Sya’bi berpendapat
bahwa tidak wajib zakat kecuali jenis-jenis yang mempunyai
keterangan tegas dari Syara’: gandum, padi, biji-bijian, kurma, dan
anggur. Adapaun buah-bauhan dan tanaman yang lainnya tidak
wajib zakat karena tidak ada keterangan mengenai hal itu.
Menurut pendapat Abu Hanifah, wajib zakat setiap sesuatu
yang tumbuh di permukaan bumi, baik sayuran maupun tumbuhan
lainnya. Akan tetapi, disyaratkan bahwa tumbuhan itu ditanam
dan memang diambil hasil dari bumi, kecuali kayu bakar, pimping,
rumput dan pohon yang tidak berbuah.
Menurut mazhab Abu Yusuf bin Muhammad, zakat
diwajibkan setiap sesuatu yang tumbuh dari tanah, dengan syarat
dapat bertahan dalam satu tahun tanpa pengawetan, baik ia
ditakar seperti biji-bijian maupun ditimbang seperti kapas dan
gula.

55
Kapita Selekta Fiqh

Menurut Mazhab Maliki, hasil bumi yang wajib dikeluarkan


zakatnya disyaratkan harus dapat bertahan lama, dikeringkan dan
sengaja dapat ditanam, baik hasil bumi yang dijadikan sebagai
makanan pokok seperti gandum dan padi maupun yang tidak
dijadikan sebagai makanan seperti kunyit dan wijen. Menurut
pendapatnya tidak wajib menzakatkan sayur-sayuran dan buah-
buahan seperti buah tin, delima, dan jambu.
Menurut Imam Syafi’i bahwa wajib zakat pada sesuatu yang
dihasilkan dari bumi dengan syarat merupakan makanan pokok,
dapat disimpan seperti gandum, padi, biji-bijian dan lain
sebagainya.
3) Kekayaan Terpendam atau Rikaz
Harta terpendam atau rikaz adalah harta hasil simpanan
umat dahulu kala yang ditemukan oleh umat Islam di tanah
mereka dan digali dari perut bumi. Hasil temuan ini wajib
dizakatkan sebanyak 20% tanpa memandang perhitungan tahun.
Sesuai dengan hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat
jamaah:
‫وىف الركاز اخلمس‬
”Dalam harta terpendam wajib dizakatkan seperlimanya”.
Menurut mazhab Maliki rikaz adalah harta terpendam, baik
berupa emas, perak muapun yang lainnya. Mengenai kepemilikan
rikaz menurut Mazhab Maliki ada 4 macam:
(a) Rikaz ditemukan di tanah yang tidak dimiliki dan
merupakan pendaman jahiliyah, maka pemiliknya adalah
penemunya.
(b) Rikaz ditemukan di tanah yang ada pemiliknya, jika tanah
itu sudah berpindah keberbagai tangan melalui hibah,
kewarisan maupun jual beli.
(c) Rikaz ditemukan di tanah yang didapat melalui penaklukan,
maka rikaz ini dimiliki oleh penemunya.
(d) Rikaz ditemukan di tanah yang didapatkan melalui
perjanjian harta ini dimiliki oleh penemunya.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
rikazadalah harta terpendam di zaman jahiliyah, yang apabila
ditemukan oleh orang yang memenuhi kriteria mudzaki seperti

56
Kapita Selekta Fiqh

muslim dan telah mencapai nisab maka wajib dikeluarkan


zakatnya sebesar 20%.115
4) Zakat Barang Tambang
Barang tambang adalah harta yang dikeluarkan dari dalam
bumi yang diciptakan Allah Swt., bukan jenis bumi itu sendiri dan
bukan pula harta yang sengaja dipendam yang berwujud padat
atau cair. Barang tambang wajib dikeluarkan zakatnya, yang
nisabnya sama dengan nisab emas dan perak yaitu 20 misqal emas
atau 200 dirham perak dengan kadar zakatnya sebesar 2,5%.
Menurut mazhab Hambali terdapat 2 syarat dalam
kewajiban zakat barang tambang. Pertama, setelah dibentuk dan
dibersihkan, emas dan perak hasil penambangan tesebut telah
sampai senisab, atau jika barang tambang tersebut telah sampai
nisab tanpa dibentuk terlebih dahulu, atau jika batang tersebut
bukan emas dan perak, tetapi harganya telah mencapai nisab
kedua orang yang melakukan penambangan tersebut merupakan
orang berkewajiban mengeluarkan zakat.116
Menurut mazhab Maliki barang tambang terdiri dari 3 jenis
yaitu:
(a.) Barang tambang padat yang mencair dan dapat dicetak
dengan cara memanaskannya dengan api, seperi emas dan
perak, besi, tembaga, timah dan air raksa. Kewajiban zakat
dalam harta jenis ini adalah 1/5 walaupun harta tersebut
tidak sampai nisab.
(b.) Barang tambang padat yang tidak dapat mencair dan tidak
dapat dicetak dengan cara memanaskannya dengan api,
misalnya kapur, semua racun tikus dan semua bebatuan
termasuk garam.
(c.) Barang tambang cair, tidak padat seperti aspal dan minyak
tanah.

Terdapat 3 jenis kepemilikan barang tambang adalah:


(1) Barang tambang yang didapatkan dari tanah yang tidak
dimiliki seseorang, harta itu dimiliki oleh Negara. Harta

115Abdul Aziz Dahlan., h.52-54


116 Wahbah Zuhaily, 1985., h. 158-161

57
Kapita Selekta Fiqh

tersebut dibagikan kepada muslimin atau disimpan di Baitul


Mal untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk
kepentingan Negara.
(2) Barang tambang yang didapatkan dari tanah yang dimiliki
seseorang, harta ini dapat dimiliki pemerintah dan pemilik
tanah.
(3) Barang tambang yang didapatkan dan tanah yang dimiliki
bukan oleh seseorang misalnya, tanah penaklukan, maka
kepemilikanya oleh Negara.
Menurut mazhab Maliki, zakat wajib dikeluarkan dari
barang tambang ini jika sudah mencapai senisab, besarnya adalah
2,5%. Persyaratan wajib zakat pada barang tambang ini sama
dengan persyaratan pada objek atau sumber zakat lainya. Hanya
saja tidak ada syarat haul (berlaku 1 tahun), melainkan wajib
dikeluarkan zakatnya pada saat dihasilkannya, sama pada zakat
tanaman.117
5) Zakat Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan dengan keahlian khusus
sebagai mata pencahaian seperti: dokter, insinyur, penjahit,
pelukis, ahli hukum dan sebagainya, dan juga terkait dengan
pemerintah ( pegawai negeri) atau pegawai swata yang mendapat
gaji atau upah dalam waktu yang tetap seperti sebulan sekali.118
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut,
apabila telah mencapai nisab yaitu 5 wasaq / 652,8 Kg gabah
setara 653 Kg beras. Besar zakat profesi adalah 2,5%, maka wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Ad-Zaariyaat (51) ayat 19:
‫لسائِ ِل اوالْ ام ْحُر ِوم‬
َّ ِ‫اوِِف أ ْام اواَلِِ ْم اح ٌّق ل‬
” Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian...”119
Mengenai nisab, waktu dan kadar zakat profesi tergantung
pada qiyas (analogi) yang dilakukan:

117 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema


Insni, 2004), Cet. Ke-3, h.48-51
118 Wahbah Zuhaily,1985, h. 275
119 Depertemen Agama RI, h. 859

58
Kapita Selekta Fiqh

(a) Jika dianalogikan kepada zakat perdagangan maka nisab,


kadar dan waktu mengeluarkannya sama dengan zakat
perdagangan dan sama pula dengan zakat emas dan perak.
Nisab emas 20 misqal, berat timbangannya 4,5 gram,
zakatnya 2,5% dan nisab perak 200 dirham berat
timbangannya 642 gram zakatnya 2,5%.
(b) Jika dianalogikan pada zakat pertanian maka nisabnya
senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar
5%.120 dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau
penghasilan, misalnya sebulan sekali.
Dari sudut kadar zakat dianalogikan pada zakat uang
karena gaji, upah dan yang lainnya, pada umumnya diterima
dalam bentuk uang, karena itu zakatnya adalah 2,5%.

3. Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat (Mustahik


zakat)
Allah Swt. telah menentukan di dalam Al-Qur’an dalam surah
At-Taubah ayat 60 tentang kelompok orang yang berhak
mendapatkan harta zakat, yakni sebagai berikut :
ُ ُ‫ي اعلاْي اها اوالْ ُم اؤلَّاف ِة قُل‬
‫وهبُْم اوِِف‬ ِِ ِ ِ‫ات لِْل ُف اقر ِاء والْمساك‬
‫ي اوالْ اعامل ا‬ َّ ‫إَِّمناا‬
ُ ‫الص ادقا‬
‫ا ا اا‬
‫اَّللُ اعلِ ٌيم‬
َّ ‫اَّللِ او‬ ِ َّ ‫اب والْغا ِرِمي وِِف سبِ ِيل‬
َّ ‫يضةً ِم ان‬ َّ ‫اَّللِ اوابْ ِن‬
‫السبِ ِيل فا ِر ا‬ ‫الرقا ا ا ا ا ا‬
ِ ِ
‫اح ِك ٌيم‬
” Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus- pengurus zakat, para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat ini telah dijelaskan, adapun golongan-golongan
yang berhak menerima zakat ada delapan golongan, yang dikenal
dengan asnaf yang delapan, yaitu :

120 Yusuf Qardawy 1979,h. 327

59
Kapita Selekta Fiqh

(1) Golongan Fakir


Fakir adalah seseorang yang tidak memiliki kekayaan
yang tidak mencukupi nilai satu nisab disebut pakir, meski
harata benda kebutuhan pokok sudah dihitung.
Menurut fuqaha, fakir ialah orang yang memerlukan
bantuan di mana mereka tidak memperoleh hasil
pendapatan yang cukup untuk keperluan hidup mereka dan
mereka adalah orang yang tidak memiliki harta dan sumber
pendapatan yang halal atau orang yang memiliki harta
kurang dari kadar senisab.121
(2) Golongan Miskin
Miskin ialah orang yang memerlukan bantuan
dimana mereka tidak memperoleh hasil pendapatan yang
cukup untuk menampung keperluan kehidupan mereka
sehari-hari. Kemudian secara sederhana Imam Malik
mengatakan perbedaan orang fakir dengan orang miskin
yaitu, fakir adalah orang yang butuh tapi tidak meminta,
sedangkan miskin orang yang butuh dan meminta.122
Menurut Mazhab Hanifi orang miskin adalah orang yang
tidak memiliki sesuatu apapun, keadaannya lebih buruk dari
fakir. Menurut ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali fakir lebih
susah keadaannya dari miskin. Fakir ialah orang yang tidak
mempunyai harta atau pendapatan yang kurang sebagian
dari keperluan diri dan orang yang ditanggungnya.
Sedangkan miskin merupakan orang yang mempunyai
pendapatan separuh mencukupi.123
(3) Amil Zakat
Amil zakat adalah semua pihak yang bertugas
melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pengumpulan,
penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan pengambilan serta
penyaluran harta zakat kepada asnaf yang lain. Mereka
adalah orang-orang yang diutus oleh pemerintah untuk

121Ahmad Mushtafa. Al-Maraghi. Tafsir al-maraghi, Mesir: Dar al-Fikr.


Jil. 10.h.43 .
122 Mihammad Abu Zahrah 1985, h. 148
123 Wahbah al-Zuhayly 1985, 1998, h. 866

60
Kapita Selekta Fiqh

memungut dan memelihara harta zakat.124 Mereka bisa dari


suatu instansi yang didirikan oleh pemerintah atau yang
ditunjuk menjadi amil zakat seperti kalau di Indonesia
dikenal dengan Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga
Amil Zakat (LAZ). Bisa juga seseorang yang diberi
kepercayaan oleh suatu lembaga dalam memungut dan
memelihara harta zakat.
(4) Muallaf
Muallaf adalah mereka yang perlu dipupuk hatinya
agar cenderung untuk tetap beriman kepada Allah dan
mencegah agar mereka tidak berbuat jahat, bahkan
diharapkan mereka akan membela atau menolong kaum
muslim. Pemberian zakat terhadap muallaf ini dilihat dari
segi pembelaan terhadap Islam, sama halnya dengan
memberikan zakat kepada orang yang berjihad dan para
tentara Islam.
(5) Riqab
Menurut Syechul Hadi Permono, alasan hukum yang
terkandung dalam pengertian al-riqab ini adalah sifat
eksploitasi dari manusia ke atas manusia yang harus
dibebaskan, apakah ia sebagai individu atau sebagai
kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, yang termasuk di
dalam pengertian al-riqab ini menurutnya adalah
pembebasan dari penjajahan, ataupun golongan serta
bangsa yang sedang berusaha untuk membebaskan diri dari
eksploitasi pihak lain dan sebagainya,125 seperti untuk
menebus orang-orang Islam yang ditawan oleh musuh,
untuk membantu negara Islam atau negara yang sebagian
besar penduduknya beragama Islam yang sedang berusaha
untuk melepaskan diri dari belenggu perhambaan moderen
dan kaum penjajah moderen.
Penyaluran zakat kepada kelompok ini (riqab)
sebenarnya lebih memberi kesan untuk keadilan sosial dan
hak asasi manusia, bahwa setiap manusia tidak boleh dijajah

124Ahmad Mushtafa. Al-Maraghi, h. 45


125Ahmad Mushtafa. Al-Maraghi, h.26.

61
Kapita Selekta Fiqh

dan dieksploitasi hak-hak mereka. Hal ini sesuai dengan


tujuan pembebasan manusia dari perhambaan dengan dana
zakat, yaitu perbaikan manusiasebagaimana yang dimaksud
oleh syar’i (Maqasid al-Syari’ah) dalam menjadikan Islam
sebagai rahmat bagi sekalian alam dan menciptakan
keadilan di dalam Islam.126

(6) Gharimin
Gharimin adalah orang yang berhutang dan sukar
untuk membayarnya. Seorang penanggung hutang
kadangkala mencari hutang untuk kemaslahatan dirinya
sendiri dan kadang mencari hutang untuk kemaslahatan
orang lain. Menurut imam Syafici, Imam Malik, dan Imam
Ahmad Ibn Hambal melihat gharim dari segi motifnya yang
terdiri dari dua macam, yaitu; pertama, orang yang
berhutang untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk
maksiat, seperti berhutang untuk menafkahi keluarga,
untuk biaya berobat, untuk mengawinkan anak dan
sebagainya, kedua, orang yang berhutang untuk
kepentingan masyarakat (kemashalatan ummat). Kedua
bentuk gharimin ini boleh diberi zakat bagi menutupi
hutangnya yang banyak dan sukar baginya untuk keluar
dari belenggu hutang tersebut.
(7) Fii Sabilillah
Fii sabilillah adalah orang yang berjuang di jalan
Allah dalam artian yang sangat luas, sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh ulama-ulama fiqh yaitu dengan
maksud untuk menjaga agama dan meninggikan derjat
agama Allah seperti berperang, berdakwah, berusaha
menegakkan agama Islam, menolak fitnah-fitnah yang
ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam dan membendung
arus pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam.127 Menurut jumhur ulama fisabilillah adalah orang

126Ahmad Mushtafa al-Maraghi, h. 45


127Malik Abdul Rahman.,Ibadah zakat dan segala masalahnya.( Jasmin
Enterprise.:Kuala Lumpur2003)h.39

62
Kapita Selekta Fiqh

yang berperang dijalan Allah dan petugas-petugas jaga


perbatasan.128.
(8) Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah orang asing yang tidak memiliki
biaya untuk kembali ke tanah airnya129. Ibnu sabil pula dapat
diartikan sebagai orang yang kehabisan bekal atau belanja
untuk keperluannya selama melakukan perjalanan dari
kampung halamannya. Dalam hal ini, para ulama sepakat
untuk mensyaratkan bahwa perjalanan itu dilakukan dalam
rangka ketaatan kepada Allah Swt. dan tidak untuk maksiat.

4. Syarat Wajib Zakat


Setiap usaha yang menghasikan uang dan memenuhi syarat,
baik nisab maupun haulnya, wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun
yang termasuk syarat-syarat wajib zakat adalah:
(1) Merdeka
(2) Islam
Menurut ijma’, zakat tidak wajib atas orang kafir
karna zakat merupakan amalan mahdah yang cuci
sedangkan orang kafir bukanlah orang yang suci130. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Abu Bakar, bahwa
orang non Islam tidak wajib mengeluarkan zakat atas harta
mereka.:
‫هذه فريضة الصدقة اليت فرض رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬...
131
)‫على املسلمي (رواه البخارى‬
”...Inilah sedekah yang diwajibkan Rasullullah Saw. atas orang-
orang muslim. (HR.Bukhari)
Berdasarkan hadits ini ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa yang wajib dikenai zakat adalah orang
kaya muslim, sedangkan non muslim tidak dikenai zakat.

128 Mihammad Abu Zahrah, h. 160


129 Abdul Malik Rahman, 2003,h. 40.
130 Wahbah al-zuhaily 1985, h. 98-99
131 Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-

Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Kasir), Jilid 2, h. 527

63
Kapita Selekta Fiqh

Disamping itu zakat adalah satu rukun Islam yang hanya


diwajibkan bagi orang-orang Islam.132
(3) Baligh berakal
Mengenai syarat yang ke tiga ini para fuqaha berbeda
pandangan, yaitu sebagai berikut :
a) Kalangan Hanafi berpandangan bahwa harta orang gila
dan anak-anak tidak wajib di zakati, dengan
mengkiaskan kepada kewajiban atas shalat.
b) Sementara jumhur fuqaha berpendapat harta ke dua
belah pihak itu wajib dizakati. Dengan alasan melihat
umumnya hadist Rasulullah Saw., terhadap Muaz Bin
Jabal yang berbunyi : Ajarilah mereka bahwa Allah
mewajibkan zakat kepada mereka. Di samping itu menurut
jumhur fuqaha tujuan zakat adalah menciptakan
persaudaraan, dan menyucikan harta. Dengan alasan
tersebut jumhur fuqaha menetapkan bahwa orang gila
dan anak-anak termasuk kedalam hukum syari’at.
c) Muktamar Majmaul Buhut Al-Islamiyah sepakat bahwa
zakat di wajibkan pula kepada orang yang belum
mukallaf. Hal ini diperkuat oleh ibnu hazm’ yang mana
zakat adalah fardhu atas tiap laki-laki, wanita, anak-anak,
dan yang waras maupun yang gila. Hal ini didasari
kepada firman Allah Swt.: 133
ِ ِ ِِ ِ
‫ك‬ ‫ص ِل اعلاْي ِه ْم إِ َّن ا‬
‫ص اَلتا ا‬ ‫ص ادقاةً تُطا ِهُرُه ْم اوتُازكي ِه ْم هباا او ا‬
‫ُخ ْذ م ْن أ ْام اواَل ْم ا‬
‫يع اعلِ ٌيم‬ ِ َّ ‫س اكن اَلم و‬
ٌ ‫اَّللُ امس‬ ‫ا ٌ ُْ ا‬
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan
mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketemtraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Pendapat ini sesuai dengan hadis :

132 Abdul Aziz Dahlan 1985,, h. 1987


133Rif’at Abd. Al-Latif Masyhur 2002, h 38-39

64
Kapita Selekta Fiqh

‫عن جده عبد هللا بن عمرو بن العاص أن رسول هللا صلى هللا عليه‬
‫وسلم فقال من ويل يتيما له مال فليتجر له واليرتكه حىت أتكله‬
134
)‫الصدقة(رواه الدارقطىن‬
”Dari Jaddah Abdullah bin Umar bin Ash, Rasulullah Saw.
besabda: barang siapa menjadi wali seorang anak yatim yang
mempunyai harta, hendaknya ia memperdagangkan untuknya.
Dia tidak boleh membiarkan harta tesebut habis dimakan
zakat”. (HR. Daruquthniy)
Sedangkan syarat bagi harta yang wajib dizakatkan
adalah:
1) Milik Sempurna
Sesuatu yang belum sempurna dimiliki tidak wajib
dikeluarkan zakatnya. Milik sempurna artinya harta itu
dibawah kontrol dan kekuasaan orang yang wajib zakat
atau berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya
hak orang lain, secara penuh ia dapat bertindak hukum
dan menikmati manfaat harta itu. Berdasarkan syarat ini,
maka seorang pedagang belum dikenai zakat apabila
barang itu belum sampai ketangannya.135
2) Harta itu berkembang
Artinya harta itu dikembangkan dengan sengaja atau
memiliki potensi untuk berkembang dalam rangka
mendapatkan keuntungan.
3) Cukup nisab
Satu nisab adalah kadar minimal jumlah harta yang
wajib dizakati berdasarkan ketetapan syara’. Nisab yang
ditetapkan syara’ untuk setiap jenis harta berbeda-beda.136
4) Sampai setahun dimiliki
Rasulullah Saw. bersabda:

134 Ali bin Umar Abu al-Hasan ad-Daruquthniy, Sunan at-Dar al-Quthniy,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1996), Jilid 2, h.109
135 Abdul Aziz Dahlan1985,h.1998
136Abdul Aziz Dahlan, h. 1989

65
Kapita Selekta Fiqh

‫عن عمرة عن عائشة قالت مسعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
137
)‫يقول الزكاة ِف مال حىت حيول عليه احلول (رواه ابن جمة‬
”Dari Umar, dari Aisah berkata, mereka telah mendngar
Rasulullah Saw. bersabda: tidak ada (wajib) zakat pada
harta seseorang sebelum sampai satu tahun dimiliki”.(HR.
Ibnu Majah)
Untuk sumber-sumber zakat tertentu seperti
perdagangan, emas dan perak harus sudah berada atau
dimiliki atau diusahakan dalam waktu satu tahun.
Contohnya, tenggang waktu Muharram 1421 H sampai
1422 H inilah yang disebut al-haul (berdasarkan
penanggalan Qamariyyah ).138 sedangkan menurut
Ulama Hambali, perhitungan nisab dilakukan dan
diperiksa setiap waktu sepanjang tahun.
5) Melebihi kebutuhan pokok
Menurut mereka harta yang dizakatkan mesti terlepas
dari hutang dan kebutuhan pokok, sebab orang yang sibuk
mencari harta untuk kedua hal ini sama dengan orang
yang tidak mempunyai harta. Ibnu Abbas memahami hal
ini dalam arti telah melebihi kebutuhan individunya
sendiri, keluarga dan orang-orang yang berada di bawah
tanggungannya.
Ulama fiqh selain mazhab Hanafi tidak mensyaratkan
harta zakat itu mesti melebihi kebutuhan pokok, menurut
mereka kebutuhan pokok itu tidak boleh dihitung dan
tidak dapat diketahui secara pasti. Berdasarkan perkara
ini, maka Yusuf Al-Qardhawi menegaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan kebutuhan pokok itu adalah
keperluan rutin atau sehari-hari yang diperlukan
seseorang bersama keluarganya, diantaranya untuk
makanan, pakaian, perumahan, dan perabotnya, buku-
buku ilmu pengetahuan, dan alat atau sarana yang

137 Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Qazwiniy, Sunan ibn Majah,

(Beirit: Dar al- Fikr, [t.th]), Jilid 1, h, 571


138 Didin Hafidduddin, 2004 h. 25

66
Kapita Selekta Fiqh

diperlukan untuk keterampilan atau pekerjaan


seseorang.139
Pengertian zakat fitrah
Setiap menjelang Idul Fitri orang Islam diwajibkan
membayar zakat fitrah sebanyak 3 liter dari jenis makanan yang
dikonsumsi sehari-hari. Hal ini ditegaskan dalam hadist dari Ibnu
Umar, katanya :“Rasulullah saw mewajibkan zakat fithri, berbuka
bulan Ramadhan, sebanyak satu sha’ (3,1 liter) tamar atau gandum
atas setiap muslim merdeka atau hamba, lelaki atau
perempuan.“(H.R. Bukhari).
Zakat fitrah tidak boleh dibayar dengan dirham, ternak
potong, pakaian atau makanan ternak dan barang-barang lainya,
karena menyelisihi perintah Rasulullah saw:
‫من عمل عمَلً ليس عليه أمران فهو رد‬
"Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dari
kami, maka ia tertolak"

3. Waktu membayar zakat fitrah


Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama
Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu “fitri” adalah waktu
sejak terbenamnya matahari di hari puasa terakhir sampai
terbitnya fajar pada tanggal 1 Syawal. (Syarh Shahih Muslim An-
Nawawi, 7:58)
Fatawa Arkanul Islam Syekh Ibnu Utsaimin, hlm. 434,
jawaban beliau termuat, “Zakat fitri (zakat fitrah) dikaitkan
dengan waktu ‘fitri’ karena waktu ‘fitri’ adalah penyebab
disyariatkannya zakat ini. Jika waktu fitri setelah Ramadan
(tanggal 1 Syawal) merupakan sebab adanya zakat ini, itu
menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) ini terikat dengan
waktu fitri tersebut, sehingga kita tidak boleh mendahului waktu
fitri. Oleh karena itu, yang paling baik, waktu mengeluarkan zakat
ini adalah pada hari Idul Fitri
Berdasarkan keterangan ini, waktu menunaikan zakat fitri
(zakat fitrah) ada dua:

139Yusuf al-Qaradawi, 1979,h. 151

67
Kapita Selekta Fiqh

1. Waktu boleh, yaitu sehari atau dua hari sebelum hari raya.
2. Waktu utama, yaitu pada hari hari raya sebelum shalat.
Adapun mengakhirkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah)
sampai setelah shalat maka ini hukumnya haram dan zakatnya
tidak sah. Berdasarkan hadis Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,
‫ ومن أداها بعد الصَلة فهي‬،‫من أداها قبل الصَلة فهي زكاة مقبولة‬
‫صدقة من الصدقات‬
“Barang siapa yang menunaikan zakat fitri sebelum shalat maka itu
adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya
setelah shalat maka statusnya hanya sedekah”.(HR. Abu Daud dan
Ibnu Majah; dinilai hasan oleh Al-Albani)
Kecuali bagi orang yang tidak tahu tentang hari raya,
seperti orang yang tinggal di daratan terpencil, sehingga dia agak
telat mengetahui waktu tibanya hari raya, atau kasus semisalnya.
Dalam keadaan ini, diperbolehkan menunaikan zakat fitri setelah
shalat id, dan statusnya sah140.

4. Tujuan dan Hikmah Zakat Disyari’atkan


a. Tujuan Zakat
1) Menyucikan harta dan jiwa muzaki.
2) Mengangkat derajat fakir miskin.
3) Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil
dan mustahiq lainnya.
4) Membentangkan dan membina tali pesaudaraan sesama
ummat Islam dan manusia pada umumnya.
5) Menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta.
6) Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial)
dari hati-hati orang miskin.
7) Menjembatani jurang antara sikaya dan simiskin di
dalam masyarakat agar tidak ada kesenjangan antara
keduanya.
8) Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri
seseorang, terutama bagi yang memiliki harta.

68
Kapita Selekta Fiqh

9) Mendidik manusia agar berdisiplin menunaikan


kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya.
10) Zakat merupakan manifestasi syukur atas nikmat Allah.
11) Berakhlak dengan akhlak Allah.
12) Mengobati hati dari cinta dunia.
13) Mengembangkan kekayaan batin.
14) Mengembangkan dan memberkahkan harta.
15) Membebaskan sipenerima (mustahiq) dari kebutuhan,
sehingga dapat meningkatkan kekhusyukan ibadat pada
Allah Swt.
16) Sarana pemerataan pendapat untuk mencapai keadilan
sosial.
17) Tujuan yang meliputi moral,sosial,dan ekonomi dalam
bidang moral, zakat dapat mengikis tamak dan
keserakahan hati sikaya. Sedangkan dalam sosial, zakat
berfungsi menghapuskan kemiskinan dari masyarakat.
Dan dibidang Ekonomi, zakat dapat mencegah
penumpukan kekayaan ditengah sebagian kecil manusia
dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk
perbendaharaan negara.141
Tujuan mensucikan atau membersihkan diri dan harta nya
itu. didasarkan kepada al-Qur’an surat at-Taubah 103.
ِ ِ ِِ ِ
‫ك اس اك ٌن‬ ‫ص ِل اعلاْي ِه ْم إِ َّن ا‬
‫ص اَلتا ا‬ ‫ص ادقاةً تُطا ِه ُرُه ْم اوتُازكي ِه ْم هباا او ا‬
‫ُخ ْذ م ْن أ ْام اواَل ْم ا‬
‫يع اعلِ ٌيم‬ ِ َّ ‫اَلم و‬
ٌ ‫اَّللُ امس‬ ‫ُْ ا‬
”Ambilah (sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah
(zakat), supaya dengannya Engkau membersihkan mereka (dari
dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak Yang buruk); dan
doakanlah untuk mereka, kerana Sesungguhnya doamu itu
menjadi ketenteraman bagi mereka. dan (ingatlah) Allah Maha
Mendengar, lagi Maha mengetahui”.142

141 Hikmat kurnia 2008,h. 47


142 Depertemen Agma RI,h.203

69
Kapita Selekta Fiqh

b. Hikmah Zakat
Hikmah zakat dalam kehidupan manusia sungguh penting,
baik baik terhadap si kaya, si miskin maupun terhadap masyarakat
umum, di antaranya adalah :
(1) Menolong orang lemah dan susah agar dia dia dapat
menunaikan kewajibannya kepada Allah dan terhadap
makhluk Allah (masyarakat)
(2) Membersihkan diri dari sifat kikir dan akhlak yang tercela,
serata mendidik diri agar bersifat mulia dan pemurah
dengan membiasakan diri membayar amanat kepada orang
yang berhak dan berkepentingan. Sebagaimana firman
Allah dalam surah at-Taubah 103:
ِ ِِ ِ
‫ص ادقاةً تُطا ِه ُرُه ْم اوتُازكي ِه ْم بِها‬
‫ُخ ْذ م ْن أ ْام اواَل ْم ا‬
“Ambilah (sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat),
supaya dengannya Engkau membersihkan mereka (dari dosa) dan
mensucikan mereka”.143
(3) Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas nikmat
kekayaan yang Allah berikan kepadanya.
(4) Guna menjaga kejahatan-kejahatan yang akan timbul dari
simiskin atau yang tidak berkemapuan. Firman Allah dalam
surat Ali Imran ayat 180 :
‫ضلِ ِه ُه او اخ ْ ًريا اَلُْم با ْل‬
ْ ‫اَّللُ ِم ْن فا‬
َّ ‫ين ياْب اخلُو ان ِمباا ءاا اات ُه ُم‬ ِ َّ َّ ‫واال احيس‬
‫َب الذ ا‬ ‫ا ْ اا‬
‫ُه او اشٌّر اَلُْم‬
“Dan jangan sekali-kali orang-orang yang bakhi dengan harta
benda yang telah dikurniakan Allah kepada mereka dari
kemurahanNya - menyangka Bahwa keadaan bakhilnya itu baik
bagi mereka. bahkan ia adalah buruk bagi mereka”. 144
(5) Guna mendekatkan hubungan kasih sayang dan cinta
mencintai antara simiskin dan sikaya. Rapatnya hubungan
tersebut akan membuahkan kebaikan dan kemajuan serta

143 Depertemen Agama RI, h. 203


144 Depertemen Agama RI h. 63

70
Kapita Selekta Fiqh

bermanfaat bagi kedua golongan dan masyarakat umum.145


Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah 103 :
‫ص ادقاةً تُطا ِه ُرُه ْم اوتُازكِي ِه ْم ِهباا‬ ِِ ِ
‫ُخ ْذ م ْن أ ْام اواَل ْم ا‬
“Ambilah (sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah
(zakat), supaya dengannya membersihkan mereka (dari dosa)
dan mensucikan”146
Dari kedua penjelasan ayat di atas bisa dikatakan bahwa,
mengeluarkan zakat merupakan sebagai tuntunan dari iman dan
wajib dilaksanakan dari apa-apa yang dihasilkan oleh setiap
individu dari penghasilan pengelolaan tanah yang telah Allah
berikan kepada hamba-Nya. Serta hendaknya menunaikan (zakat)
di hari menuainya atau hari penennya.

D. PUASA

1. Pengertian Puasa, Dasar Hukum Wajib Puasa


Secara umum ulama sepakat mengatakan bahwa puasa
adalah terjemahan dari bahasa Arab shaum dan shiyam yang berarti
menahan dari sesuatu.147 Menahan dari sesuatu tersebut
mencakup menahan dari makan, menahan dari minum, dan
menahan dari jima' dari waktu subuh sampai terbenam
matahari.148
Adapun menurut istilah syar'i menurut ulama Hanafiyah
dan Hanabilah, puasa adalah menahan dari hal-hal yang
membatalkan dari terbit fajar149 sampai terbenam matahari
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sementara menurut
ulama Syafi'iyah dan ulama Malikiyah dalam istilah syar'i puasa
adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan dari terbit fajar

145 Sulaiman Rasyid, fiqih Islam, (Bndung: Sinar baru algensido 1986) 217
146 Depertemen Agama RI h. 35
147Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung,

1989) h. 224
148Nizam, al-Fatawa 'Amrikiiyah, (Beirut : Dar al-Kutub, t.t) h. 214
149Fajar sidiq atau lebih dikenal sebagai fajar subuh adalah keadaan

terbentang putih di kaki langit dengan malam terang, dalam artian jika terbit
fajar maka masuklah waktu subuh.

71
Kapita Selekta Fiqh

sampai terbenam matahari dengan memenuhi syarat-syarat


tertentu, serta dilengkapi dengan niat.150
Perbedaan defenisi menurut istilah tersebut karena niat
merupakan syarat dari puasa menurut ulama Hanafiyah dan
Hanabilah sementara menurut ulama Syafi'iyah dan ulama
Malikiyah niat merupakan rukun dari puasa. Kendatipun terjadi
perbedaan pendapat di lingkungan ulama dalam memberikan
defenisi puasa menurut syar'i tetapi mendudukan posisi niat dalam
puasa namun mayoritas ulama sepakat mengatakan bahwa niat
merupakan syarat sahnya melaksanakan puasa, jadi kalau
seandainya seseorang melaksanakan puasa tanpa dibarengi niat
maka secara otomatis puasanya tidak sah atau batal.
Dari keterangan di atas pada hakikatnya ulama sepakat
mengatakan bahwa puasa itu adalah menahan diri dari segala hal
yang membatalkan, mulai dari terbit fajar sampai terbenam
matahari. Lalu jika dikaitkan dengan ramadhan maka berarti
puasa itu dilaksanakan pada bulan ramadhan sebagai kewajiban
yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang beriman.
Dengan demikian ulama fiqih sepakat berpendapat bahwa
defenisi puasa adalah menahan dari segala hal yang membatalkan
puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

2. Dasar Hukum Wajib Puasa Ramadhan


Puasa ramadhan itu hukumnya wajib berdasarkan al-
Qur'an, al-Sunnah, dan ijma' (kesepakatan ulama). Adapun dalil-
dalinya adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur'an
Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat
183 :
‫ين ِم ْن قا ْبلِ ُك ْم‬ ِ َّ
‫ب اعلاى ال ذ ا‬
ِ ِ
‫ب اعلاْي ُك ُم الصيا ُام اك اما ُكت ا‬
ِ
‫ين ءا اامنُوا ُكت ا‬
ِ َّ
‫اايأايُّ اها الذ ا‬
‫لا اعلَّ ُك ْم تاتَّ ُقو ان‬

150 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, ( Beirut : Dar al-

Fikr, t.t) Juz II ,h. 541

72
Kapita Selekta Fiqh

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa."151
Surat al-Baqarah ayat 185 :
ِ
ُ‫ص ْمه‬ ْ ‫فا ام ْن اش ِه اد مْن ُك ُم الش‬
ُ ‫َّهار فا ْليا‬
"Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu."152

b. Al-Sunnah
‫ اخربانحنظل ة ب ن ا س فيان ع ن‬: ‫ح دثنا عب د هللا ب ن موس ى ق ال‬
‫ ق ال رس ول هللا ص لى هللا علي ه‬:‫عكرمة بن خالد عن اب ن عم ر ق ال‬
‫ ش هادة ان الال ه االهللا وان حمم دا‬: ‫وسلم بِن االس َلم عل ى مخ س‬
‫ (رواه‬.‫رس ول هللا واق ام الص َلة وايت اء الزك اة واحل ج والص وم رمض ان‬
153
)‫االبخاري‬
"Abdullah bin Musa menceritakan pada kami ia berkata : " telah
mengkhabarkan pada kami oleh Hanzhalah ibn Abi Sufyan dari
'Ikrimah ibn Khalid dari Ibn Umar ia berkata : Bersabda
Rasulullah Saw. : Islam didirikan atas lima : mengaku bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa pada bulan
Ramadhan." (HR. Bukhari)
c. Ijma' Ulama
Para ulama dari berbagai mazhab dan aliran di segenap
penjuru dunia ini berpendapat bahwa hukum melaksanakan ibadah
puasa ramadhan adalah wajib dan merupakan fardhu 'ain bagi
orang-orang yang beriman yang memenuhi persyaratan.

151 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Surabaya :

Mahkota, 1989), h. 44
152.Departemen Agama RI,h. 45
153 Imam Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,(Beirut : Dar al-Fikr,

1981), Jilid 1, h. 8

73
Kapita Selekta Fiqh

Kewajiban melaksanakan ibadah puasa ramadhan merupakan


kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar hukumnya karena
didasarkan kepada dalil-dalil yang mutawatir serta tidak
diragukan lagi keshahihannya.
Menurut Samirah Sayyid Sulaiman Bayumi, tokoh fiqh
Kontemporer dari Mesir bahwa Nabi Nuh a.s dan umatnya
berpuasa sepanjang tahun, sementara Nabi Daud a.s dan umatnya
berpuasa sehari lalu berbuka dua hari atau lebih, lain halnya Nabi
Muhammad Saw. dan umatnya hanya berpuasa di siang hari di
bulan ramadhan.154
Sedangkan pelaksanaan puasa ramadhan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw. dan umatnya bertepatan pada tahun
kedua Hijrah setelah arah kiblat dalam shalat dialihkan dari
Masjidil Aqsa' di Yerussalem ke Ka'bah atau Baitullah (Mekkah).
Sejak perintah puasa Ramadhan telah diterima oleh Nabi sampai
akhir hayatnya Nabi Muhammad Saw. telah mengerjakan puasa
Ramadhan sebanyak sembilan kali. Yaitu delapan kali dikerjakan
selama dua puluh sembilan hari dan satu kali dikerjakan selama
tiga puluh hari.155

3. Syarat-Syarat Wajib Puasa dan Rukun Puasa


Ibadah puasa ramadhan diwajibkan kepada orang-orang
yang memenuhi syarat-syarat yang tertentu. Para ulama di
kalangan Hanafiyah dan Syafi'iyah ada yang sepakat dalam
menentukan syarat-syarat wajib puasa ramadhan dan ada yang
perbedaan pendapat. Adapun yang mereka disepakati adalah
sebagai berikut :
1. Islam,
2. Berakal, Baligh, yaitu orang yang telah berusia 15 tahun
(tahun Qamariah), atau telah ada tanda-tanda baligh yang
lain, seperti keluar mani dengan sebab bermimpi jimak bagi
laki-laki, atau keluar haid bagi perempuan yang berumur
sekurang-kurangnya sembilan tahun (tahun Qamariah).

154 Abdul Azis Dahlan, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ictiar Bam
Van Hove, 1996) cet ke I, h. 1422
155 Zainuddin, Fathul Mu'in, Alih Bahasa oleh Moch Anwar dkk, (Bandung :

Sinar Baru al-Gensido, 1991 ) Cet. ke 4, h. 607

74
Kapita Selekta Fiqh

Ibnu Hazmin berpendapat anak-anak yang telah mumayyiz


itu diperintahkan untuk melakukan puasa ramadhan bila ia
sanggup berpuasa dan puasanya sah.156
3. Suci dari haid dan nifas, untuk berpuasa perempuan
disyaratkan bersih dari haid, nifas dan wiladah (bersalin),
baik pada saat darah keluar banyak, atau sedikit, baik anak
lahir itu sempurna ataupun yang dilahirkan itu segumpal
darah atau daging, maka ia tidak sah berpuasa hingga
bersih darinya. Karena itu, jika orang yang haid atau nifas
dan wiladah berpuasa, berarti ia telah melakukan perbuatan
haram. Puasa tidak sah dan harus mengqadhanya.157
4. Dalam waktu yang dibolehkan puasa, maka puasa tidak sah
apabila dilakukan di luar waktu yang telah dibolehkan oleh
syara'. Karena tidak dibenarkan oleh syar'i, seperti hari raya
idul fitri, idul adha dan puasa pada hari tasyriq.158
5. Mampu berpuasa. Orang yang lemah karena terlalu tua,
sakit atau musafir yang dapat membawa mudharat pada
dirinya dengan sebab berpuasa, maka tidak wajib puasa
baginya. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 185 :
ِ ِ
‫يضا أ ْاو اعلاى اس اف ٍر فاع َّدةٌ م ْن أ َّاايٍم أ ا‬
‫ُخار‬ ً ‫اوام ْن اكا ان ام ِر‬
"Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka)
maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya pada hari-hari yang lain."
al-Baqarah ayat 184 :
ٍ ‫و اعلاى الَّ ِذين يُ ِطي ُقوناهُ فِ ْدياةٌ طا اع ُام ِمس ِك‬
‫ي‬ ْ ‫ا‬ ‫ا‬
"Dan atas orang-orang yang merasa berat untuk berpuasa maka
ia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin."
Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa orang sakit
boleh meninggalkan puasa ramadhan bila dengan ia berpuasa akan
mengakibatkan bertambah sakit yang dideritanya. Tapi ia wajib
mengqadha puasa pada hari-hari yang lain di luar bulan ramadhan

156Muhammad Khatib as-Syarbaini, h, 436


157 Muhammad Khatib as-Syarbaini,h. 433
158 Wahbah Zuahily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Libanon : Dar al-Fikr

, 1989 ), Juz II, h. 611

75
Kapita Selekta Fiqh

sebanyak puasa yang ditinggalkannya apabila telah sembuh dari


sakitnya.
Dalam ayat di atas juga memberikan keterangan bahwa
menjadi seorang musafir juga mendapatkan keringanan untuk
boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan. Ulama Syafi'iyah
mensyaratkan bahwa perjalanan itu harus mempunyai jarak
tempuhnya sejauh dua marhalah dan memenuhi ketentuan yang
disyari'atkan untuk mengqashar shalat, tidak bermaksud untuk
melakukan perbuatan maksiat. Maka perjalanan yang seperti ini
agama membolehkan seorang musafir untuk berbuka. Akan tetapi,
bila perjalanan itu tidak membuat merasa kesulitan berpuasa
agama menganjurkan sebaiknya ia tetap berpuasa walaupun
perjalanan yang ditempuh oleh orang tersebut telah memenuhi
kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh syari'at.
Demikian pula halnya orang yang merasa berat untuk
melakukan puasa ramadhan seperti orang terlalu tua atau sakit
yang tidak diharap sembuh lagi, dan wanita hamil atau menyusui
khawatir bahwa puasa akan membahayakan dirinya, atau
membahayakan anaknya maka mereka boleh berbuka. Dalam hal
ini penulis akan membahas lebih dalam pada bab selanjutnya.
Dalam kata ‫ يطيق ون‬juga termasuk orang yang bekerja keras
untuk penghidupannya yang apabila dengan berpuasa itu akan
membinasakan dirinya dan keluarganya, maka Allah memberikan
keringanan dengan syarat membayar fidyah, dan tidak wajib
mengqhada puasa apabila ia bekerja setiap harinya.159
Adapun tujuan dari rukhsah (keringanan) yang diberikan
Allah Swt. pada hambaNya bukanlah sekedar terlepas dari
menjalankan perintah Allah tapi sebagai tanda bahwa Allah itu
sayang pada hambaNya karena memang ada beberapa kondisi
serta situasi sulit yang dialami oleh manusia yang menyebabkan
manusia itu tidak bisa dan tidak mampu untuk menjalankan
perintah yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. pada saat itu.
Semua syarat-syarat wajib puasa Ramadhan di atas
merupakan syarat-syarat puasa yang telah disepakati oleh ulama
Hanafiyah dan Syafi'iyah. Apabila semua yang tersebut di atas

159 Ibnu Muhammad, Puasa Bersama Rasulullah, (Bandung : al-Bayan, 1996),


h. 67

76
Kapita Selekta Fiqh

telah terpenuhi oleh orang yang akan berpuasa maka mereka


sepakat mengatakan puasa wajib dilaksanakan bagi setiap muslim
yang beriman.
Adapun syarat wajib puasa Ramadhan yang perselisihkan
oleh ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah hanya satu yaitu masalah niat
dalam berpuasa. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat
merupakan syarat sah puasa. Sedangkan ulama Syafi'iyah
berpendapat niat merupakan rukun puasa ramadhan. Walaupun
demikian, niat tidak boleh ditinggalkan dalam melakukan ibadah
puasa karena puasa tidak sahnya.

4. Rukun Puasa
Adapun rukun-rukun puasa ramadhan menurut pendapat
ulama para fuqaha' adalah sebagai berikut :
a. Niat, ulama fuqhah berbeda pendapat dalam memposisikan
niat sebagai rukun dari puasa. Sebagian ulama berpendapat
bahwa niat itu merupakan rukun dari puasa dan apabila
seseorang tidak berniat dalam melakukan puasa ramadhan
atau keluar dari niat puasa maka puasanya tidak sah.160
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama dari mazhab
Syafi'iyah. Sedangkan sebagian ulama yang lain
mengemukakan bahwa niat merupakan salah satu dari
syarat-syarat puasa. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah.
b. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa. Seperti
makan, minum, jimak, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya
penulis akan menjelaskannya pada bagian tentang hal-hal
yang membatalkan puasa pada skripsi ini.
c. Berpuasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Yang dimaksud dengan mulai dari fajar di sini adalah fajas
siddiq.161

160 Al-Imam Taqiddin Abi Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayatu al-

Akhyar fii Hqlli Gayatu al-Ikhtishar, (Dar al-Ihyai al-Kitab, t.t ), Juz I, h. 205
161 Fajar Siddiq yaitu cahaya putih yang memancar secara melintang di ufuk

Timur juga sebagai tanda telah masuknya waktu shalat subuh.

77
Kapita Selekta Fiqh

5. Hal-hal Yang Membatalkan Puasa


Puasa menjadi batal disebabkan beberapa hal di bawah ini :
a. Makan dan minum
Mengenai batalnya puasa karena makan dan minum
didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187 :
‫اس اوِد ِم ان‬ ِ ْ ‫ط ْاألاب يط ِم ن‬
ْ ‫اخلا ْيط ْاأل‬ ‫اخلا ْي ُ ْ ا ُ ا‬
ْ ‫ي لا ُك ُم‬ ‫اش اربُوا اح َّىت ياتا با َّ ا‬
ْ ‫اوُكلُ وا او‬
ِ ‫الْ افج ِر ُمثَّ أاِِتُّوا‬
‫الصيا اام إِ اَل اللَّْي ِل‬ ْ
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai malam".
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa makan dan
minum selama bulan Ramadhan hanya boleh di malam harinya
saja, yaitu sejak dari terbenam matahari sampai terbit fajar. Mulai
terbit fajar sampai terbenam matahari tidak boleh makan dan
minum lagi. Oleh sebab itu siapa yang melakukannya maka
puasanya batal. Akan tetapi jika seseorang makan dan minum di
siang hari bulan ramadhan karena lupa ia sedang berpuasa, maka
ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa batal puasanya. Ulama Syafi'iyah dan
Hanafiyah berpendapat bahwa puasanya tetap sah dan tidak batal.
b. Memasukkan sesuatu ke tenggorokan tanpa melalui mulut.
Seseorang yang memasukkan sesuatu ke dalam
tenggorokannya tanpa melalui mulut, seperti menyuntikkan obat
melalui perut, usus, dubur ataupun melalui lubang hidung, maka
batal puasanya dan wajib atasnya qadha. Adapun melalui telinga,
para ulama berbeda berpendapat. Menurut sebagian ulama
diqiaskan kepada makan dan minum. Ulama lain menyatakan
tidak batal puasanya.162
c. Melakukan hubungan seksual (bersetubuh) di siang hari.

162 Baihaqi, Fikih Ibadah, ( Bandung: M2S, 1996) h. 127

78
Kapita Selekta Fiqh

Seseorang yang sedang menjalankan puasa Ramadhan maka


dia dilarang melakukan hubungan badan (jimak) baik laki-laki
maupun perempuan. Baik disengaja atau lupa maka puasanya tetap
batal ketetapan hukum batalnya puasa karena melakukan
hubungan seksual bersumber dari firman Allah surat al-Baqarah
ayat 187 :
‫اس اَلُ َّن اعلِ ام‬ ِ
ٌ ‫اس لا ُك ْم اوأانْتُ ْم لبا‬
ِ ِ ِ ِ ُ ‫الرفا‬
ٌ ‫ث إ اَل ن اسائ ُك ْم ُه َّن لبا‬ َّ ‫الصيا ِام‬ ِ ‫أ ُِح َّل لا ُكم لاي لاةا‬
ْ ْ
ِ
‫وه َّن‬ ‫اَّللُ أانَّ ُك ْم ُكْن تُ ْم اختْتاانُو ان أانْ ُف اس ُك ْم فاتا ا‬
ُ ‫اب اعلاْي ُك ْم او اع افا اعْن ُك ْم فا ْاآل ان اابش ُر‬ َّ
‫اَّللُ لا ُك ْم‬
َّ ‫ب‬ ‫اوابْتا غُوا اما اكتا ا‬
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu
pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu".
Ayat ini menjelaskan bahwa hubungan seksual dengan istri
hanya dibolehkan di malam hari bulan ramadhan sedangkan di
siang harinya dilarang. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan
hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan sedangkan ia
sedang berpuasa maka batal puasanya. Akan tetapi jika seseorang
melakukan jima' dalam keadaan lupa bahwa ia sedang berpuasa
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan akibat hukumnya.
Ulama Malikiyah berpendapat batal puasanya dan ia wajib
mengqadhanya. Sedangkan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa ia
tidak dikenai hukum apapun baik itu mengqadha ataupun kafarat.
Ulama Syafi'iyah telah menentukan bahwa kafarat yang
wajib dibayar sebagai denda bagi orang melakukan jimak di siang
hari bulan Ramadhan yaitu memerdekakan satu orang budak
mukmin, bila tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, bila
ia juga tidak sanggup maka wajib memberi makan enam puluh
orang miskin satu orang satu liter sekaligus dengan lauk pauknya.
b. Muntah dengan sengaja
Jika orang berpuasa di bulan menyengaja muntah atau
berusaha agar ia muntah, batallah puasanya, sekalipun diyakini

79
Kapita Selekta Fiqh

tidak ada yang kembali masuk setelah keluar dari mulut. Namun
apabila bila ia muntah dengan tidak sengaja, atau disengaja tetapi
tidak mengetahui haramnya, atau muntah karena dipaksa maka
puasanya tidak batal.163
Rasulullah Saw. bersabda :
‫ ق ال رس ول هللا ص لى هللا علي ه وس لم م ن‬:‫ع ن ايب هري رة رض ى هللا عن ه ق ال‬
‫ (رواه اخلمس ة واعل ه‬.‫ ومن اس تقاء فعلي ه القض اء‬, ‫زرعه القيء فَلقضاء عليه‬
)‫أمحد وقواه الدارقطىن‬
"Dari Abu Hurairah r.a berkata: Bersabda Rasulullah Saw.:
Barang siapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib qadha
atasnya dan siapa yang muntah maka atasnya qadha". (H. R. al-
Khamsah dan dianggap cacat oleh Ahmad, tetapi dinyatakan
kuat oleh ad-Dar Al-quthni)
c. Keluar darah haid, nifas dan wiladah
Seorang wanita yang sedang melakukan puasa di bulan
Ramadhan di siang hari kedatangan darah haid, atau nifas dan
wiladah bagi wanita yang siap melahirkan maka puasanya batal.
Akan tetapi bila ia telah suci kembali, artinya habis masa haid dan
nifas atau wiladah mereka tetap diwajibkan untuk mengqadha
puasa yang ditinggalkan di luar bulan Ramadhan. Karena salah
satu syarat sah puasa itu adalah suci dari darah haid, nifas dan
wiladah. Said Sabiq menyebutkan bahwa walaupun hanya sebentar
pada saat terakhir sebelum matahari terbenam, maka dalam hal ini
para ulama ijma' tentang pembatalannya.164
d. Keluar mani (sperma) dengan sebab mubasyarah
(bersentuhan kulit tanpa alas) atau dengan onani.
e. Gila
'Akil (berakal) merupakan salah satu yang harus dimiliki
oleh setiap manusia dalam melakukan segala aktivitas apapun baik

163Baihaqi,Baihaqi,h. 206
164 Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Libanon: Dar-al-Fikr, 1983), cet ke 4, Jilid I,
h. 393

80
Kapita Selekta Fiqh

yang berhubungan dengan manusia begitu juga yang


berhubungan dengan sang Khaliq Allah Swt.. Ketika akal manusia
itu tidak berfungsi lagi sebagaimana semestinya lantaran
disengaja atau tidak, maka agama telah menetapkan bahwa orang
tersebut tidak dibebani kewajiban atau menjadi batal karena orang
gila tidak termasuk ahliyah al-'ibadah165. Seperti ibadah puasa,
shalat, haji dan sebagainya.
f. Berniat berbuka
Seseorang yang sedang berpuasa, lalu berniat berbuka maka
batallah puasanya meskipun ia tidak berbuka dengan makan dan
minum. Hal ini disebabkan oleh karena ia sudah membatalkan
niatnya dari semula berpuasa menjadi niat berbuka.
Sedang niat adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu
ibadah (amalan), jika niat tidak ada atau berbeda maka amalan itu
akan menjadi batal atau tidak sah.
g. Murtad
Beragama Islam adalah salah satu syarat dari syarat-syarat
wajib puasa bagi seseorang yang akan melaksanakan puasa
ramadhan. Demikian pulalah halnya bila sedang berpuasa lalu ia
berubah pikiran untuk keluar dari menganut agama Islam maka
secara otomatis puasanya batal.

Ketentuan-Ketentuan Yang Mewajibkan Qadha, dan Fidyah


Orang yang meninggalkan atau membatalkan puasa
Ramadhan, secara hukum Islam mereka tetap mendapatkan sanksi
atau kewajiban. Maksudnya orang yang meninggalkan puasa
tersebut tetap dikenakan kewajiban, akan tetapi kewajiban yang
dibebankan padanya tergantung pada sebab dan musabab ia
meninggalkan puasa itu. Adapun sanksi atau kewajiban yang
harus dibayar oleh orang yang meninggalkan puasa Ramadhan
yaitu di antaranya sebagai berikut:

165 Taqiddin Abi Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayatu al-Akhyar fii

Halli Ghayatu al-Ikhtishar, (Dar al-Akhyar al-Kutub al-'Arabiyah, t.t ), Juz 1, h.


208

81
Kapita Selekta Fiqh

Qadha dalam istilah puasa berarti mengganti atau


melaksanakan ibadah puasa pada hari-hari lain di waktu yang
telah ditentukan. Misalnya, puasa ramadhan, karena seseorang
tidak bisa melaksanakannya pada bulan ramadhan mungkin ada
uzur baginya, maka ia bisa menggantinya di luar bulan Ramadhan.
Membatalkan puasa dengan alasan yang dikenal oleh agama
(syara'), seperti sakit, musyafir, hamil, menyusui, haid, gila, mabuk
(gila dan mabuk yang disengaja) dan pingsan, kesemuanya itu
mewajibkan qadha sejumlah hari yang ditinggalkan. Dalam hal ini
yang wajib hanyalah qadha saja, tidak ada kafaratnya. Hukum ini
juga berlaku bagi orang-orang yang sengaja membatalkan
puasanya dengan selain jimak atau bersetubuh, seperti muntah
dengan secara sengaja.
Adapun mengenai makan dan minum secara sengaja maka
akibat hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Ulama
Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akibat hukumnya
adalah wajib qadha saja, sedangkan ulama Hanafiyah dan
Malikiyah mewajibkan qadha dan kafarat sekaligus. Adapun
mengenai pelaksanaannya, qadha harus dilakukan pada hari-hari
yang dibolehkan berpuasa. Dan tidak boleh pada hari-hari yang
terlarang berpuasa, misalnya dua hari raya, hari-hari tasyri' yang
tiga hari dan hari syak (ragu).
Sebaiknya mengqadha itu disegerakan, jangan ditunda-
tunda agar ia terbebas dari kewajibannya. Apabila seseorang
menunda qadha puasa atau memisah-misahkan ( tidak secara
berturut-turut ) hukumnya sah, namun jangan sampai bertemu
dengan ramadhan berikutnya. Apabila bertemu dengan bulan
ramadhan berikutnya, padahal ia belum juga mengqadha
puasanya, maka kepadanya dikenakan denda (fidyah) bersama
qadha. Denda berupa fidyah ini apabila ia menunda-nunda waktu
tanpa uzur syara', ini adalah berdasarkan pendapat ulama
Syafi'iyah. Sementara ulama Hanafiyah berpendapat tidak wajib
fidyah sama sekali, uzur atau tidak uzur. Orang yang
bersangkutan cukup dengan mengqadhanya saja.166 Qadha puasa
itu boleh dilakukan secara berurutan dan boleh juga dilakukan
secara terpisah-pisah.

166 Abdurrahman al- Jarizi,, h. 578

82
Kapita Selekta Fiqh

Fidyah adalah sesuatu yang wajib dibayarkan dalam bentuk


harta dan lainnya yang digunakan manusia untuk menebus
dirinya. Penebusan itu dilakukan karena yang bersangkutan
meninggalkan ibadah yang disebabkan oleh musyaqqah (merasa
berat). Sesuai dengan prinsip Islam yang selalu memberikan
kemudahan bagi pemeluknya, maka ada beberapa orang yang
mendapat kelonggaran untuk tidak berpuasa, namun wajib
membayar fidyahnya, mereka itu adalah :
i. Manusia lanjut usia (manula) yang tidak kuat lagi berpuasa.
ii. Orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh.
iii. Buruh kasar yang tidak kuat bekerja apabila berpuasa.167
iv. Wanita hamil dan menyusui jika takut berbahaya terhadap
dirinya atau kedua-duanya, yaitu dirinya dan anaknya.
Ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah berbeda pendapat tentang
hal ini. Masalah inilah yang akan menjadi bahasan pokok
dalam skripsi ini.
Selanjutnya mengenai cara pembayaran fidyah, yaitu
dibayarkan kira-kira satu liter makan untuk orang-orang miskin
setiap hari, dilengkapi dengan garam dan lauk pauk sekedarnya.
Fidyah tersebut sebaiknya dibayarkan setiap hari atau boleh
sekaligus di akhir bulan Ramadhan sebanyak 29 atau 30 x 1 = 30
liter.

(d.) Hikmah Puasa


Setelah menginduksi berbagai ayat dan hadist tentang
syari'at puasa, ulama fiqih menyimpulkan beberapa hikmah yang
melatarbelakangi puasa tersebut, antaranya adalah :168
1. Menajamkan perasaan terhadap nikmat Allah Swt.
kepadanya. Akrabnya nikmat bisa membuat orang
kehilangan perasaan terhadap nilainya. Ia tidak mengetahui
kadar kenikmatan, kecuali jika sudah tidak ada di
tangannya. Seseorang dapat merasakan nikmatnya kenyang
dan nikmatnya pemenuhan dahaga jika ia lapar dan
keharusan. Jika ia merasa kenyang setelah lapar, atau hilang

167 Tgk. H. Z. A. Shahib, Tuntunan Puasa Praktis, (Jakarta : Bumi Aksara,

1995) h. 38
168Abdul Azis Dahlan, (ed), h. 1423

83
Kapita Selekta Fiqh

dahaga setelah keharusan, akan keluar dari relung hatinya


ucapan Alhamdulillah. Hal itu mendorongnya untuk
mensyukuri nikmat-nikmat Allah kepadanya.
2. Melatih diri dalam mengendalikan hawa nafsu syahwat,
baik syahwat perut maupun syahwat seksual. Dalam
keadaan lapar berbagai nafsu bisa ditekan. Dalam kaitan
inilah Rasulullah menyuruh pada pemuda untuk
memperbanyak puasa itu jika belum mampu melaksanakan
perkawinan. Dalam hadist riwayat Bukhari, beliau Nabi
Saw. bersabda:
‫ايمعش ر الش باب م ن اس تطاع م نكم الب اءة فليت زوج فان ه أغ ط للبص ر‬
. ‫ ومن مل يستطع فعليه ابلصوم فانه له وجاء‬, ‫وأحصن للفرج‬
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah mampu
maka menikahkan. Sesungguhnya ia dapat menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedangkan barang
siapa tidak mampu maka berpuasalah, karena sesungguhnya
puasa itu "pengebirian" baginya".
3. Tazkiyah an-Nafs (pembersihan jiwa), dengan mematuhi
perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan melatih diri
untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah semata,
meskipun itu dilakukan dengan menahan diri dari hal-hal
yang menyenangkan dan membebaskan diri dari hal-hal
yang telah lekat sebagai kebiasaan. Kalau saja mau, ia bisa
saja makan, minum, bersetubuh dengan isterinya. Akan
tetapi ia meninggalkan semua itu semata-mata karena Allah
Swt. Tentang ini, Rasulullah Saw. bersabda, hadist riwayat
Bukhari dan Muslim:
, ‫ خللوف فم الصائم أطيب عند هللا من ريح املسك‬, ‫والذي نفسي بيده‬
‫ ك ل عم ل اب ن ادم ل ه اال الص وم فان ه يل‬,‫يرتك طعامه و ش رابه م ن أجل ي‬
.‫وأان أجزي به‬
"Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, sesungguhnya bau
mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada
bau minyak kasturi. Dia tidak makan, tidak minum, dan tidak

84
Kapita Selekta Fiqh

berhubungan dengan isterinya karena-Ku. Tiap-tiap amal bani


Adam adalah baginya, kecuali puasa. Ia (puasa) untuk-Ku dan
Aku yang akan memberinya pahala."
4. Hikmah Ijtima'iyah (hikmah sosial), khususnya puasa
Ramadhan. Ia dapat merasakan penderitaan orang-orang
miskin yang ada akhirnya membawa seseorang untuk
memikirkan nasib orang-orang miskin tersebut. Perasaan
ini akan dapat menyadarkan mereka untuk membantu fakir
miskin, sehingga jurang yang memisahkan antara kaya dan
miskin dapat dipersempit dan dapat menjalin kasih sayang
antara sesama manusia.
5. Untuk melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan bagi
orang yang berpuasa serta memperkuat tekad untuk
melakukan suatu pekerjaan.
6. Menyehatkan diri, karena pekerjaan perut tidak terlalu
berat, sebagaimana pada hari-hari biasa. Dalam sebuah
hadist Rasulullah Saw. dikatakan: "Berpuasalah kamu, maka
kamu akan sehat." (HR Abu Daud).

85
Kapita Selekta Fiqh

D. HAJI DAN UMRAH

1. Pengertian Haji
Haji menurut bahasa berasal dari kata : ‫ حج‬: ‫ يقال‬: ‫حجا‬-‫حج‬
‫ بنو فَلن فَلن‬artinya “menyengaja, dikatakan orang : si Pulan telah
mengengaja si pulan”.169
Kata haji berasal dari akar kata:
‫حج حيج – حجا اى قصد املكناستعمله فشرع عل قصد الكعبة للحاج‬
‫اوالعمرة‬
“Menuju tempat tertentu. Mengunjungi kakbah untuk
melaksanakan haji dan umrah”.
Haji menurut syara’ terdapat beberapa pengertian yang
telah dikemukakan oleh para ulama, antara lain :
a. Menurut Abdurrahman al-Jaziri
‫ اعمال خمصوصة تؤدى ِف زمن خمصوصة مكان خمصوصة على وجه‬: ‫احلج شرعا‬
.‫خمصوصة‬
“Haji menurut Syara’ adalah beberapa amalan tertentu yang
dilaksanakan pada masa tertentu”.170
b. Menurut Sayyid Sabiq
‫احلج هو قصد مكة ألداء عبادة الطواف والسعى والوقوف بعرفة وسائر املناسك‬
.‫استجابة األمر هللا ابتغاء مرضاة هللا‬
“Haji adalah mengunjungi Makkah untuk mengerjakan ibadah
tawaf, sa’I,wuquf di Arafah, serta semua pelaksanaan ibadah haji
lainnya, guna memenuhi perintah Allah SWT serta mencari
keridhaan-Nya”.171

169Abu Luis Ma’lufi, al-Munjit, (Beirut : Darul al-Masyariq, 1998), cet, ke

30, h. 118
170Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Mazahibul Arba’ah, ( Beirut :

darul al-Fikr,t.th), Jilid 1, h. 631


171Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, ( Darul Bayan, 1971), Jilid 1, h. 527

86
Kapita Selekta Fiqh

c. Menurut Wahbah al-Zuhaili


‫ قصد الكعبة الداء افعال خمصوصة‬: ‫احلج شرعا‬
“Menurut Syara’ ialah mengunjungi Ka’bah untuk melaksanakan
perbuatan tertentu”.
d. Amir Syarifuddin
Haji adalah menziarahi Ka’bah dengan melakukan serangkaian
ibadah di Masjidil Haram dan sekitarnya, baik dalam bentuk
haji ataupun umrah.172
e. Rahman Ritongga
Haji secara terminologi yaitu sebagai suatu perjalanan
mengunjungi ka’bah untuk melakukan ibadah tertentu atau
berpergian ke Ka’bah pada bulan-bulan tertentu untuk
melakukan ibadah tawaf, sa’i, wukuf, dan manasik-manasik lain
untuk memenuhi panggilan Allah Swt serta mengharapkan
keridhaannya.173

Dari pengertian tersebut, ulama membedakan istilah yang


berkunjungkarena urusan lain seperti untuk berdagang, sehingga
dikatakan:
‫فاحلج قصد لنسك والدج قصد للتجارة‬
“Kata hajju mengunjingi baitullah untuk tujuan nusuk (ibdah) dan
kata dajju untuk tujuan berniaga.”
Dari beberapa pengertian haji yang telah dikemukakan oleh
beberapa ulama fiqh tersebut dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan ibadah haji adalah kesengajaan mengunjungi
Baitullah (Makkah) untuk melaksanakan ibadah-ibadah khusus
seperti tawaf, sa’i, wuquf di Arafah serta amalan-amalan yang
termasuk dalam ibadah haji lainnya dilakukan pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan dan yang harus dilakukan.

172 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada


Media Group, 2010), h. 59
173 Rahman Ritongga, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997),

h. 209

87
Kapita Selekta Fiqh

Pengertian Umrah
Umrah berasal dari kata:
‫ عمرة اى قصد‬-‫ يعمر‬-‫عمر‬
“Bermaksud memiliki tujuan.”

Dengan kata lain haji dan umrah memiliki makna yang


sama, sehingga hanya dalam pemakaian istilah syar’inya saja yang
membedakan.
Umrah berarti mengunjungi baitullah untuk melaksanakan
ibadah sebagaima dalam haji, selain wuquf di Arafah dan amalan-
amalan pada hari tasyrik.
Pengertian lain pada sabda Rasulullah saw:
‫احلج عرفة‬
“Ibadah haji itu adalah ‘Arafah”
Maksudnya yang membedakan dengan yang lainnya karena
ada bentuk ibadah wuquf di Arafah menjadi inti utama dari ibadah
haji.

2. Dasar Hukum Haji dan Umrah


Mengunjungi Baitullah di Makkah untuk menunaikan
ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima yang difardhukan atas
setiap muslim yang memenuhi syarat-syaratnya, yang diwajibkan
hanya sekali dalam seumur hidup. Adapun dasar hukum dari
diperintahkan menunaikan haji yaitu sebagai berikut:
a. Al-Quransurat Ali Imran ayat 97:
‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيَل‬
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah.”(QS. Ali imran;97)
‫وأِتوا احلج والعمرة هلل‬
“Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”. (Q.S. Al-
Baqarah: 196)

88
Kapita Selekta Fiqh

b. Q.S. Al- Hajj’ : 27


‫وأذنفيالناسباحلجيأتوكرجاالوعلىكلضامرأيتينمنكلفجعميق‬
“Dan berusahalah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya
mereka akan datang kepada mu denga berjalan kaki dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh.” (Qs. Al- Hajj’27)

‫احلجأشهرمعلوماتفمنفرضفيهناحلجفَلرفثوالفسوقوالجدالفياحلج‬

“Musim haji adalah bebrapa bulan yang dimaklumi, (Syawal,


Zulkaidah dan Zulhijjah), barang siapa yang menetapkan hatinya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas,
berbuat fisik dan berbanta-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji.” (Qs. Al- Baqarah;197)

c. Dalam hadits Rasulullah Saw.


‫ مسعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬: ‫عن ا هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫ من حج فلم ير فث ومل يفسقرجع من ذنوبه كيوم ولدته امه (رواه البجاري‬:
)‫ومسلم‬
“Dari abu hurairah r.a berkata: aku mendengar rasulullah saw
bersabda: siapa saja yang berhaji lalu tidak rafas dan fasik, maka
kembalilah ia suci bersih bagaikan hari dilahirkan dia oleh ibunya”
(HR. Bukhari dan Muslim).

3. Perjalanan Ibadah Haji Rasulullah Saw.


Rangkaian perjalanan ibadah haji dan umrah Rasulullah
Saw.. Rasulullah Saw. dalam riwayat melaksanakan haji dan
umrahnya empat kali dalam empat tahun yang berbeda setelah ia
berada di Madinah, yaitu:
a) Umrah Rasulullah pada tahun ke 6 H dengan miqat Abyar Ali
(Zul Halaifah) beserta sahabatnya sebanyak 1.400 orang, akan
tetapi perjalanan umrah Rasulullah ini tidak terlaksana dan
hanya berakhir di Hudaibiyah, karena penduduk kota Mekah
pada saat itu tidak mengizinkan Rasulullah memasuki kota
89
Kapita Selekta Fiqh

Mekah, walaupun dengan tujuan umrah saja. Dan kemudian


lahirlah perjanjian Hudaibiyah yang terkenal dalam sejarah
yang ditulis oleh Sayidin Ali Bin Abi Thalib di depan Utusan
Arab Quraisy yaitu Zuhail Bin Amru.
b) Umrah Rasulullah Saw. pada bulan Zulkaidah tahun ke 7 H
sebagai umrah Qadha (pengganti) dengan mengambil miqat
Ya’jij, suatu tempat dekat kota Mekah dan Rasulullah Saw.
beserta sahabatnya tinggal di Mekah selama 3 hari.
c) Umrah Rasulullah pada bulan Zulkaidah tahun ke 8 H
sekembali dari penaklukan daerah Thaif, beliau singgah
dikampung yang bernama Ja’ronah dengan mengambil miqat
Ihram dan Urah disana. Karena Rasulullah bersama
sahabatnya memasuki kota Mekah pada bulan Ramadhan
(Fathu Mekkah) tanpa Ihram umrah, maka sebagian sahabat
mengatakan umrah Rasulullah Ja’ronah ini juga adalah umrah
Qadha (pengganti).
d) Umrah Rasulullah Saw. pada saat pelaksanaan ibadah haji
Wada’ sekaligus melaksanakan umrah (haji Qiran) terjadi pada
bulan Zulhijjah, dengan Ihram dari Zul Hulaifah pada tanggal
25/26 Dzulqaidah tahun ke 10 Hijriah.

4. Rangkaian pelaksanaan ibadah haji


a. Hukum Ibadah Haji
Ibadah haji di wajibkan Allah kepada kaum muslimin yang
telah mencupi syarat-syaratnya. Menunaikan ibadah haji
diwajibkan hanya sekali seumur hidup, selanjutnya yang kedua
kali dan seterusnya hukumnya sunat. Barang siapa yang
bernazar haji, wajib melaksanakannya.
b. Syarat, Rukun dan Wajib Haji
a) Syarat Haji
a. Islam
b. Baligh (dewasa)
c. Aqil (berakal sehat)
d. Merdeka (bukan budak)
e. Istitha’ah (mampu)
b) Rukun Haji
a. Niat ihram

90
Kapita Selekta Fiqh

b. Wuquf di arafah
c. Tawaf ifadah
d. Sa’i
e. Cukur
f. Tertib
Rukun haji tidak dapat di tinggalkan apabila tidak
dipenuhi, maka hajinya batal.
c) Wajib haji
1. Ihram, yakni niat berhaji dari miqat
2. Mabid di Musdalifah
3. Mabid di Mina
4. Melontar jumrah ula, wustha dan aqabah
5. Tawaf wada’ bagi yang akan meninggalkan makkah.
Wajib haji ini adalah ketentuan yang apabila
dilanggar maka hajinya tetap sah, tetapi wajib membayar
dam.
c. Waktu Ihram Haji
Menurut sebagian besar ulama ketentuan waktu memulai
berihram haji yaitu dari tanggal 1 syawal sampai terbit fajar
tanggal 10 Zulhijjah. Barang siapa yang tidak ihram haji pada
saat-saat tersebut maka tidak mendapat haji.
d. Berihram dari Miqat
Tempat berihram haji/umrah di miqat yang telah
ditentukan dan boleh juga dilakukan sebelum sampai dimiqat.
Miqat ihram jamaah haji haji Indonesia gelombang I adalah di
Zulhulaifah (Bir Ali),sedangkan bagi jemaah haji gelombang II
adalah diatas udara pada garis sejajar dengan qarnul Manazil
atau dapat berihram di King Abdul Aziz Internasional
Airport(KAAIA) atau dapat diasrama haji Embarkasi Tanah
Air.
Apabila melewati miqat yang telah ditentukan dan tidak
ihram, maka ia wajib mambayar dam yaitu memotong seekor
kambing atau mengambil cara lain sebagai berikut : kembali
lagi ke Miqat haji terdekat yang dilewati tadi sebelum
melakukan salah satu kegiatan ibadah haji atau umrah.
Contoh: jamah haji yang datang dari Madinah
seharusnya memulai ihram denga miqat Dzulhulaifah

91
Kapita Selekta Fiqh

(Bir Ali), apabila ia melewatinya tanpa berihram maka


dibolehkan mengambil Miqat dari Juhfah (Rabigh)
e. Pakaian Ihram
a) Bagi Pria
Memakai dua helai kain yang tidak berjahit
(sebagaimana pakaian biasa) satu diselendangkan
(disandangkan) di bahu dan satu lagi disarungkan. Pada
waktu melaksanakan tawaf, kain ihram dikenakan dengan
cara idtiba’, yaitu dengan membuka bahu sebelah kiri
tertutup kain ihram. Disunatkan yang berwarna putih.
Tidak boleh memakai baju, celana, (pakaian biasa) sepatu
yang tertutup tumitnya dan tutup kepala yang melekat
(menempelkan di kepala).
b) Bagi Wanita
Memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuh
kecuali muka clan kedua tangan dari pergelangan sampai
ujung jari (kaffain).
f. Larangan Selama Ihram
a) Bagi Pria Dilarang
Memakai pakaian biasa, Memakai sepatu yang
menutup tumit, menutup kepala yang melekat seperti topi
kecuali apabila sangat dingin sekali atau luka yang harus
diperban menutupi sebagian kepala atau seluruhnya.
b) Bagi Wanita Dilarang
Berkaus tangan, menutup muka (memakai cadar atau
masker)
c) Bagi Pria dan Wanita Dilarang
Memakai wangi-wangian kecuali sudah dipakai di
badan sebelum niat ihram.Memotong kuku dan mencukur
atau mencabut rambut badan. Memburu binatang buruan
darat yang liar dan boleh dimakan. Membunuh dan
menganiaya binatang buruan darat dengan cara apapun
(kecuali binatang yang membahayakan boleh dibunuh).
Nikah, menikahkan atau meminang wanita untuk
dinikahi/dinikahkan.Bercumbu atau bersetubuh dan
Mencaci, bertengkar atau mengucapkan kata-kata kotor.

92
Kapita Selekta Fiqh

g. Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah termasuk salah satu rukun haji yang
paling utama. Jamaah haji yang tidak melaksanakan wukuf di
Arafah berarti tidak mengerjakan haji.Nabi Saw menjelaskan
bahwa haji itu hadir di Arafah. Barang siapa yang datang pada
malam hari Jama’ (10 dzulhijjah sebelum terbit fajar) maka
sesungguhnya ia masih mendapatkan haji.
Wukuf dilakukan setelah khutbah dan shalat jama’ qasar
taqdim dhuhur dan ashar berjamaah. Wukuf dapat
dilaksanakan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri, dengan
memperbanyak zikir, istigfar dan doa, sesuai dengan sunah
rasul. Untuk wukuf jamaah haji tidak diisyaratkan suci dari
hadas besar atau kecil, karena itu wanita yang sedang haid atau
nifas boleh melakukan wukuf. Sedangkan bagi jamaah haji
yang sakit, pelaksanaannya dilakukan dengan pelayanan
khusus sesuai dengan kondisi kesehatannya.
h. Mabid di Musdalifah
Menurut sebagian besar ulama mabit di Musdalifah
hukumnya wajib, sebagian ulama yang lain menyatakan sunat.
Bagi yang tiba di Musdalifah sebelum tengah malam
harus menunggu sampai lewat tengah malam. Pada saat mabit
hendaknya bertalbiyah, berzikir, beriztigfar, berdoa atau
membaca alquran selanjutnya mencari kerikil sebanyak 7 atau
70 butir. Kerikil dapat diambil dari mana saja, namun
disunatkan dari Muzdalifah.
Jamaah haji yang tidak melakukan mabit di Muzdalifah
diwajibkan membayar dam dengan urutan sebagai berikut:
menyembelih seekor kambing, atau tidak mampu, berpuasa 10
hari yaitu 3 hari semasa haji di tanah suci dan 7 hari dilakukan
di tanah air. (al qur’an S. 2 : 196). Apabila tidak mampu
melaksanakan puasa 3 hari semasa haji maka harus
melaksanakan 10 hari diatanah air yang 3 hari dengan niat
qhada. Pelaksanakan dipisahkanantara yang 3 hari dengan
yang 7 hari selama 4 hari.
Bagi jamaah haji yang tidak mabit karena udzur syar’i
seperti sakit, mengurus orang sakit, tersesat jalan dan lain
sebagainya tidak diwajibkan membayar dam.

93
Kapita Selekta Fiqh

i. Mabid di Mina
a) Hukum mabid di Mina menurut jumhur ulama wajib,
sebagian ulama menyatakan sunat.
b) Waktu dan tempat mabit, waktu mabit yaitu malam tanggal
11,12 dan 13 Zulhijjah. Tempat mabit bagi sebagin besar
jamaah haji Indonesia adalah di Haratul Lisan. Haratul
Lisan adalah termasuk hukum wilayah mabit di mina.
Kemungkinan pengembagan wilayah seperti ini sama
halnya dengan pengembangan masjid Nabawi dan Masjidil
Haram. Sejak tahun 1984, pemerintah Arab Saudi telah
menetapkan Haratul Lisan sebagai tempat mabit dan
kemudian semakin meluas sesuai dengan kondisi perhajian
sehingga mulai tahun 2001 sebagian jamaah haji mendapat
perkemahan yang masuk dalam batas daerah Musdalifah.
Hukum mabit perluasan Mina ditempat tersebut sah
dan dapat diterima sebagai daerah perluasan hukum untuk
mabit di mina karena kemahnya darurat dan bersambung.
j. Melontar Jumrah
Hukumnya adalah wajib, apabila tidak dilaksanakan
maka akan dikenakan dam/fidyah. Tata cara melontar jamarat
(kata jama’ dari jumrah), yaitu :
1) Kerikil mengena marma (masuk lobang)
2) Melontar dengan kerikil satu persatu. Walaupun
melontar dengan 7 kerikil sekaligus, tetap dihitung satu
kali lontaran.
3) Melontar jamaran dengan ukuran yang benar yaitu
mulai dengan jmrah ula lalu wustha dan terakhir aqabah
4) Sesuatu yang dipakai untuk melontar adalah batu kerikil,
selain itu tidak sah seperti sandal, payung, dsb.

k. Waktu Melontar
1) Pada tanggal 10 Zulhijjah yang dilontar jamrah aqaba saja.
Waktu afdalnya setelah terbit matahari hari nahr, waktu
ikhtiar (memilih) ba’da dhuhur sampai terbenam matahari

94
Kapita Selekta Fiqh

dan waktu jawas (diperbolehkan) adalah mulai lewat tengah


malam 10 Zulhijjah sampai dengan terbit fajar tanggal 11
Zulhijjah.
2) Pada hari tasyrik (11,12,13 Zulhijjah) melontar ketiga
jamarat, yaitu : Ula, Wustha, dan Aqabah. Waktunya sebagai
berikut:
a) Waktu afdhal (utama) ba’da sawal
b) Waktu ikhtiar (memilih) sore sampai terbenam matahari
c) Waktu jawaz (diperbolehkan) yaitu selain waktu afdhal dan
waktu ikhtiar dimulai terbit fajar hari bersangkutan. Bagi
yang nafar awal melontar tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah,
sedangkan yang nafar tsani melontar tanggal 11, 12 dan 13
Dzulhijjah.
l. Thawaf
Syarat-syarat thawaf
a) Menutup aurat
b) Suci dari hadast
c) Dimulai dari arah hajar aswad
d) Menjadi baitullah (ka’bah) di sebelah kiri
e) Dilaksanakan tujuh kali putaran
f) Berada didalam masjidil haram
g) Tidak ada tujuan lain selain tawaf
h) Niat tawaf, yaitu dikala mengerjakan tawaf sunnah. Adapun
tawaf rukun dan tawaf Qudum tidak diperlukan niat.
m. Jenis-Jenis Tawaf
Tawaf ada 4 macam yaitu tawaf rukun, qudum, wada’,
dan sunat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan
berikut :
1. Thawaf Rukun. Thawaf rukun terbagi dua yaitu:
a) Tawaf rukun haji disebut juga thawaf ifadah atau thawaf
ziarah
b) Tawaf rukun umrah

2. Thawaf Qudum
Merupakan penghormatan pada Baitullah. Thawaf
qudum tidak termasuk rukun atau wajib haji. Waktu
melakukan tawaf qudum pada hari pertama kedatangan di

95
Kapita Selekta Fiqh

Mekkah. Hukumnya adalah sunat bagi jemaah haji yang


melakukan haji Ifarat atau Qiran. Jamaah haji yang
melakukan haji Tamattu’ tidak disunatkan tawaf Qudum,
karena tawaf Qudum sudah termasuk pada tawaf umrah.
3. Thawaf Sunat
Thawaf yang dapat dikerjakan di setiap kesempatan
dan tidak diikuti dengan sa’i.
4. Thawaf wada’
Hukumnya adalah wjib bagi jamaah haji yang
meninggalkan Mekkah. Bagi jamaah haji yang tidak
mengerjakan thawaf Wada’ diwajibkan membayarkan dam
(menyembelih kambing).
Bagi wanita yang sedang haid atau nifas dan sakit
tidak diwajibkan thawaf Wada’. Penghormatan pada
baitullah cukup dengan memandangnya dari pintu Masjidil
Haram. Orang yag hendak berangkat keluar dari Mekkah,
belum boleh meninggalkan Mekkah sebelum melakukan
thawaf Wada’ lebih dahulu.
Apabila keberangkatannya tidak dapat ditunda atau
karena ada alasan lainyang bisa diterima syara’, maka
sebagian dari ulama boleh meninggalkan mekkah tanpa
thawaf wada’. Kewajiban thawaf wada’nya sudah masuk
dalam thawaf ifadahnya atau thawaf sunat lainnya yang
dilaksanakan setelah thawaf ifadah.
n. Sa’i
Syarat Sah Sa’i
a) Didahului dengan tawaf
b) Tertib
c) Menyempurnakan tujuh kali perjalanan di antara bukit safa
dan marwah
d) Dilaksanakan di tempat sa’i
Sa’i antara bukit Safa dan Marwah termasuk salah satu
dari beberapa rukun haji/umrah. sedangkan menurut ulama
abu hanafiah termasuk wajib haji. Dan tidak ada sa’i sunat.
Waktu melaksanakan sa’i setelah melaksanakan tawaf
ifadah/umrah. Menurut kebayakan ulama tidak disyaratkan
suci pada waktu mengerjakan sa’i.

96
Kapita Selekta Fiqh

o. Tahallul (Mencukur/Menggunting Rambut)


Menggunting atau mecukur rambut paling sedikit 3
helei rambut adalah salah satu amalan ibadah dalam manasik
haji dan umrah.
Beberapa pendapat ulama tentang
mencukur/menggunting rambut adalah sebagai berikut:
(1) Sebagian besar ulama menyatakan amalan tersebut
termasuk wajib haji, sehingga apabila ditinggalkan wajib
membayar dam.
(2) Ulama syafi’iyah menyatakan bahwa amalan tersebut
termasuk rukun haji, sehingga apanila ditinggalkan hajinya
tidak sah.
Pelaksanaan mencukur atau memotong rambut adalah
sebagai berikut:
(1) Dalam ibadah haji pelaksanaannya pada hari nahar sesuadah
melontar jamrah aqabah, bagi yang mendahulukan tawaf
ifadah dan sa’i atau boleh diundur sampai hari-hari tasyrik.
(2) Dalam ibadah umrah mencukur/memotong rambut
dilaksanakan pada waktu selesai sa’i.
p. Dam/Fidyah
Ketentuan dam/fidyah bagi yang melanggar ihram adalah
sbb:
(1) Apabila melanggar larangan ihram berupa mencukur
rambut, memotong kuku, atau memakai pakaian yang
bertangkup bagi laki-laki, dan menutup muka
(cadari/masker) atau memakai sarung tangan bagi wanita
dan wang-wangian bagi laki-laki/wanita wajib membayar
fidyah dengan jalan memilih diantara menyembelih seekor
kambing, bersedekah pada 6 orang miskin clan setiap orang
setengah sha’ (=2 mud lebih kurang 15 kg beras/ makanan
yang mengenyangkan) atau beruasa 3 hari.
(2) Apabila melanggar larangan ihram berupa membunuh
hewan buruan darat yang halal dimakan, maka wajib
membayar fidyah atau bersedekah dengan makanan seharga
hewan tersebut. Apabila tidak mampu boleh diganti dengan
puasa. Bilangan puasa disesuaikan dengan banyaknya

97
Kapita Selekta Fiqh

makanan yang harus disediakan, yaitu satu hari puasa sama


dengan satu mud makanan (+- ¾ kg)
(3) Apabila suami istri melanggar ihram dengan bersetubuh
sebelum tahallul awal, maka batal hajinya dan wajib
membayar dam kifarat menyembelih seekor unta atau sapi
atau 7 ekor kambing.
(4) Apabila suami istri melanggar ihram dengan bersetubuh
sebelum tahallul awal, maka tidak batal hajinya tetapi wajib
membyar dam yaitu menyembelih seekor unta atau sapi,
pendapat lain mengatakan cukup seekor kambing.
(5) Apabila mengadakan akad nikah diwaktu ihram, maka
pernikahannya itu batal, tetapi yang bersangkutan tidak
membayar dam dan ihramnya tidak batal.
(6) Apabila melakukan rafas, fusuk danjidal ibadah hajinya sah
akan tetapi gugur pahala hajinya dan tidak kena
dam/fidyah.
q. Badal Haji
Menghajikan orang lain hukumnya boleh dengan
ketentuan bahwa orang yang menjadi wakil harus sudah
melakukan haji wajib baginya, dan yang diwaan yang diwakili
(dihajikan) telah mampu untuk pergi haji tetapi ia tidak dapat
melaksanakan sendiri karena sakit yang tidak dapat diharapkan
kesembuhannya, yang menghilangkan istitha’ahnya
(kemampuannya) atau meninggal dunia setelah berniat haji.
Orang laki-laki boleh mngerjakan untuk laki-laki atau
perorang laki-laki boleh mngerjakan untuk laki-laki atau
perempuan, demikian pula sebaliknya. Di utamakan orang
yang mengerjakan itu adalah keluarganya.

5. Haji Mabrur
Haji mabrur berasal dari bahasa arab hajjun mabrurdan
dalam bahasa Indonesia “haji mabrur”. Hajjun mabrur terdiri dari
kata hajju dan mabrur yang berarti “menyengaja” atau
“bermaksud”. Berkunjung kebaitullah dengan sengaja semata-
mata untuk berbudiyah kepada Allah dengan niat menunaikan

98
Kapita Selekta Fiqh

ibadah haji dan umrah tanpa ada maksud lain, seperti berdagang
dll.
Haji yang diterima diberi batasan sebagai ibadah yang tidak
dicampur dengan dosa, sunyi dari riya’ dan tidak dinodai dari
Rofas, Fusuk dan Jidal.
Kata “Mabrur” berarti Maqbul (diterima). Dari kedua
pengertian diatas dapat disimpulkan secara bebas bahwa haji
mabrur yaitu ibadah haji yang diterima oleh Allah Swt.

6. Hikmah Haji
Ibadah haji merupakan ibadah puncak bagi seorang
muslimin sejati. Dalam melaksanakan ibadahini, ketangguhan
pribadi dan ketangguhan sosial diuji dan hasilnya akan dapat
terlihat ditengah kehidupan sosial kelak. Apakah akan menjadi
haji yang mabrur atau sebaliknya.
Ari Ginanjar Gustian, dalam buku emotion spritual qoution
(buku 1) menulis, secara prinsip, haji merupakan suatu konsep
berfikir yang berpusat kepada allah semata-mata.
Secara sosial, haji merupakan simbol dari kolaborasi yang
tertinggi, yaitu suatu pertemuan pada skala tertinggi, dimana
seluruh umat islam sedunia melaksanakan langkah yang sama
dengan landasan prinsip yang sama.
Haji merupakan simbol dari lingkaran kehidupan” manusia,
yang diawali oleh proses kelahuran yang fitrah (ihram) dan
diakhiri dengan kematian yang fitrah pula (thawaf wada’).

7. Ibadah Umrah dan Hukumnya


Ibadah Umrah ialah ibadah yang dilakukan dengan
berihram dari miqat, kemudian tawaf, sa’i dan diakhiri dengan
memotong rambut/bercukur dilaksanakan dengan tertib. Ibadah
umrahdigolongkan sebagai ibadah wajib atau sunat.
1. Umrah Wajib
(a) Umrah yang baru pertama kali dilaksanakandisebut juga
Umratul Islam.
(b) Umrah yang dilaksanakan karena nazar.
2. Umrah Sunat

99
Kapita Selekta Fiqh

Umrah sunnah ialah umrah yang dilaksanakan untuk


yang kedua kalinya dan seterusnya dan bukan karena nazar.174
Syarat, rukun, dan wajib Umrah
1) Syarat-syarat umrah
a. Islam
b. Baligh (dewasa)
c. Aqil (berakal sehat)
d. Merdeka (bukan budak)
e. Istitha’ah (mampu)175
Bila terpenuhi syarat ini, maka gugurlah kewajiban
umrah seseorang.
2) Rukun Umrah
a. Niat ihram
b. Tawaf umrah
c. Sa’i
d. Cukur
e. Tertib

8. Rute Perjalanan Haji


Adapun rute perjalanan ibadah hajji adalah:
Mekah =>Mina =>Arafah =>Muzdalifah =>Mina =>Mekkah
9. Rute perjalanan Sa’i
Marwa=> Lintasan Sa’i (Pitu Marwa, Pintu Murat, Tangga
Elektronik, Pintu Al Mahsyah, Pintu Arafah, Pintu Ma’lat,
Jembatan, Pintu Mina, Tangga Elektronik, Pintu Bani Syaibah,
Jembatan Babusalam, Pintu Eslair, Jembatan Pintu Nati Saw,
Pintu Nabi Saw, Jembatan Pintu Abbas Ra, Landa Hijau, Pintu Ali
Ra, Sumur Zam-Zam,Tanda Hijau, Jembatan Pintu Bani Hasyim,
Pintu Bani Hasyim, Jembatan, Tangga Elektronik) => Bukit
Syafa176

174Deperteman agama RI, Bimbingan Manasik Haji,2003


175 Labib Mz dan Harniawati, Risalah Fiqih Islam, (Surabaya: Bintang Usaha
Jaya, 2005), hal. 324
176 Ghani, M. Ilyas Abdul; Sejarah Mekah, Al-Rasheed Printers, Madina,

2003, Animasi, Ariasdi

100
Kapita Selekta Fiqh

BAB
FIQH MUNAKAHAT
III

A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM NIKAH

1. Pengertian Nikah
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengatur tingkah laku
manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat, termasuk di
dalamnya hubungan antar jenis kelamin yang berbeda yang
disebut dengan pernikahan. Pernikahan akan berperan setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri.1
Dalam memberikan pengertian nikah penulis akan
mengemukakan pendapat para Ulama dan Undang-Undang No. 1
tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana
tersebut di bawah ini:
a. Secara Bahasa
1) Menurut Muhammad bin Ismail al-Khahlani
2
‫ الضم والتداخل‬:‫النكاح لغة‬
“Nikah menurut bahasa adalah bercampur dan saling
memasukkan”.
2) Menurut Abdurrahman al-Jaziri
‫ الوطء والضم‬:‫النكاح لغة‬
3

1 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 1999), Cet


I, h. 9
2 Muhammad bin Ismail al-Khahlani, Subulussalam, (Bandung: Dahlan, t.th),
Jilid III, h. 109
3 Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Mazahib Arba’ah, (Mesir: Maktabah al-

Tijarah al-Kubra, 1969), Juz IV, h. 1

101
Kapita Selekta Fiqh

“Nikah menurut bahasa adalah watha’ danberkumpul”.


3) Menurut Jalaluddin al-Mahalli
4
‫ الضم والوطء‬:‫النكاح لغة‬
“Nikah menurut Bahasa adalah bercampur dan
bersetubuh”.
4) Menurut Muhammad Syatha al-Dimyaty
5
‫ الضم واجلماع‬:‫النكاح لغة‬
“Nikah menurut bahasa artinya bercampul dan bergaul”.
5) Menurut Wahbah al-Zuhaily
6
‫ الضم واجلمع او عبارة عن الوطء والعقدمجيعا‬:‫النكاح لغة‬
“Nikah adalah bercampul dan berkumpul atau ungkapan
dari watha’ dan akad.
Berdasarkan beberapa pendapat Ulama tersebut
jelaslah pada dasarnya pengertian nikah secara bahasa
mempunyai prinsip yang sama yaitu bersetubuh,
bercampur dan berkumpul.
b. Secara Istilah
1) Menurut Jalaluddin al-Mahalli
7
‫ عقد يتضمن اابجة وطء بلفظ انكاح أوتزويج‬:‫النكاح‬
“Pernikahan ialah akad yang melegalkan hubungam
biologis dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij”.
2) Menurut Abdurrahman al-Jaziri
8
‫ عقد يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح أوتزويج أومعنهما‬:‫النكاح‬

4 Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi,

1956), Juz III, h. 206


5 Muhammad Syatha al-Dimyaty, I’anah al-Thalibin, (Khairo: Masyadul

Husaini,
1300 H), h. 254
6 Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Mesir: Darul Fikr,
1978), h. 29
7 Jalaluddin al-Mahalli, Op.Cit, h. 226
8 Abdurrahman al-Jaziri, Op.Cit, h. 1

102
Kapita Selekta Fiqh

“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan


watha’ dengan lafaz inkah atau tazwij atau yang semakna
dengan itu.
3) Menurut Abu Zahrah
‫ أنه عقد يفيد حل العشرة بني الرجل واملراة وتعاوهنما وحيد‬:‫النكاح‬
9
‫مالكليهما من حقوق وما عليهما من واجبات‬
“Sesungguhnya pernikahan itu ialah akad yang
mengandung kebolehan bergaul antara laki-laki dan
perempuan dan saling tolong-menolong serta membatasi
hak-hak dan kewajiban masing-masing”.
4) Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Psl. 1
Pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.10
5) Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Psl. 2
Pernikahan ialah akad yang sangat kuat
(mitsaqan gholidhon) untuk mentaati perintah Allah
Swt., dan melaksanakannya merupakan ibadah.11
Berdasarkan pengertian pernikahan menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi
hukum Islam (KHI) dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa pernikahan itu adalah akad yang membolehkan
bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan bukan hanya sekedar melepas nafsu
seksual saja tetapi merupakan suatu ibadah untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.

2. Dasar Hukum Dan Hukum Nikah

9 Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhshiyyah, (Mesir: Darul Fikri, 1957), h. 19


10 Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang perkawinan, (Bandung: Fokus
Media, 2005), Cet. I, h. 2
11 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Karya Anda, 1991), h. 19

103
Kapita Selekta Fiqh

Islam dalam ajarannya telah banyak memberikan penjelasan


dan anjuran tentang pentingnya menikah. Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah Saw. merupakan landasan hukum yang konkrit dari
pelaksanaan pernikahan. Dasar hukum pernikahan adalah sebagai
berikut:
a. Al-Quran, di antaranya:
1. Surat adz-Zaariyat (51): 49:
ِ ْ ‫وِم ْن ُك ِل َشي ٍء َخلَ ْقنَا َزْو َج‬
‫ني لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن‬ ْ َ
”Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah”.
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap makhluk yang
diciptakan kemuka bumi ini untuk melangsungkan kehidupannya
tidak hanya sendiri agar bisa berkembang. Allah menciptakan
segala sesuatu secara berpasang-pasangan seperti diciptakanNya
laki-laki dan perempuan. Dengan adanya hal demikian maka akan
bisa saling melengkapi.
2. Surat An-Nahl (16): 72:
ً‫ني َو َح َف َدة‬ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫اجا َو َج َع َل لَ ُك ْم م ْن أ َْزَواج ُك ْم بَن‬ ً ‫اَّللُ َج َع َل لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
َّ ‫َو‬
‫اَّللِ ُه ْم يَ ْك ُف ُرو َن‬
َّ ‫اط ِل يُ ْؤِمنُو َن َوبِنِ ْع َم ِة‬ ِ ‫ورزقَ ُكم ِمن الطَّيِب‬
ِ ‫ات أَفَبِالْب‬
َ َ َ ْ َََ
”Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?”.
3. Surat Ar-Ruum (30):21 :
‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم‬ ِ ِ ِِ
ً ‫َوم ْن ءَ َاَيته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
ِ
‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬
ٍ ‫ك ََلَي‬ ِ
َ َ ‫َم َوَّد ًة َوَر ْْحَةً إِ َّن ِِف َذل‬
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada

104
Kapita Selekta Fiqh

yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum


yang berfikir”.
4. Surat An-Nur (24): 32
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِِ‫الصاِل‬ َّ ‫َوأَنْ ِك ُحوا ْاْل َََي َمى ِمنْ ُك ْم َو‬
َ‫ني م ْن عبَاد ُك ْم َوإ َمائ ُك ْم إ ْن يَ ُكونُوا فُ َقَراء‬
‫اَّللُ َو ِاس ٌع َعلِ ٌيم‬
َّ ‫ضلِ ِه َو‬
ْ َ‫اَّللُ ِم ْن ف‬
َّ ‫يُغْنِ ِه ُم‬
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui”.

5. Surat An-Nisa’ (4): 3 :


‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِ َس ِاء َمثْ ََن‬ ِ ِ
َ َ‫َوإِ ْن خ ْفتُ ْم أَََّّل تُ ْقسطُوا ِِف الْيَ تَ َامى فَانْك ُحوا َما ط‬
ِ
ِ ِ ِ ِ
‫ك أ َْد ََن‬ ْ ‫ع فَِإ ْن خ ْفتُ ْم أَََّّل تَ ْعدلُوا فَ َواح َد ًة أ َْو َما َملَ َك‬
َ ‫ت أ َْْيَانُ ُك ْم َذل‬ َ ‫ث َوُرَاب‬ َ ‫َوثََُل‬
‫أَََّّل تَعُولُوا‬
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa,


Allah Swt. menciptakan makhlukNya secara berpasang-
pasangan agar bisa saling melengkapi. Hal ini bisa
direalisasikan melalui pernikahan untuk mencapai keluarga
yang sakinah dan sebagai sarana berkembangnya manusia.
Semua itu merupakan bukti ke-Mahakuasaan Allah Swt.
yang dapat diketahui melalui tanda-tanda yang
diciptakanNya.
b. Hadits Rasulullah Saw.:

105
Kapita Selekta Fiqh

Hadits yang diriwatkan oleh Bukhari :


‫سعيد ابن مرمي اخربان حممد بن جعفر أخربان ْحيد بن ْحيد الطويل أنه مسع‬
‫أنس ابن مالك رضي هللا عنه يقول جاء ثَلثة رهط إىل بيوت ازواج النيب‬
‫ م فلم اخربوا كأهنم تقالوها‬.‫صلى هللا عليه وسلم يسألون عن عبادة النىب ص‬
‫م قد غفر له ما تقدم من ذنبه وما أتخر قال‬.‫فقالوا فأين حنن من النيب ص‬
‫احدهم اما اان فأان أصلى الليل ابدا وقال آخر أان أصوم الدهر وَّل أفطر وقال‬
‫م فقال أنتم الذي‬.‫آخر أان أعتزل النساء فَل أتزوج ابدا فجاء رسول هللا ص‬
‫قلتم كذا وكذا اما وهللا اَن ْلخشاكم هللا واتقاكم له لكَن أصوم وأفطر‬
12
‫وأصلى وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنىت فليس من‬
“ Said bin Abi Maryam menceritakan kepada kami muhammad
bin ja’far menceritakan kepada kami Humaid bin Abi Humaid
Al Thawil sesungguhnya ia mendengar anas bin malik r.a
katanya ada tiga orang laki-laki datang berkunjung kerumah
istri-istri nabi Saw. bertanya tentang ibadah beliau setelah
diterangkan kepada mereka, kelihatan mereka menganggap
bahwa apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit. Mereka
berkata kita tidak dapat disamakan dengan Nabi, semua dosa
beliau telah diampuni oleh Allah, salah seorang dari mereka
berkata : untuk saya, saya akan selalu sembahyang sepanjang
malam selama-lamanya, orang kedua berkata : saya akan
berpuasa setiap hari, tidak pernah berbuka. Orang yang ketiga
saya tidak akan pernah mendekati perempuan, saya tidak akan
kawin selama-lamanya. Setelah itu Rasulullah Saw. datang
beliau berkata: kamukah yang berkata begini dan begitu? Demi
Allah! Saya lebih kuat dan lebih bertakwa dibandingkan kamu.
Tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya sembahyang dan tidur,
dan saya kawin. Barang siapa tidak mengikuti sunahku tidak
termasuk kedalam golangan ku”.
12 Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail bin Ibrahim ibnu

Maghiratibni Bardazaba Bukhari, Shahih al- Bukhari, (Beirut: Darul Fikri, 1981),
Juz VI, h. 116

106
Kapita Selekta Fiqh

Hadits ini menerangkan bahwa ada tiga orang yang


datang ke rumah Nabi. Mereka menanyakan kepada Aisyah
bagaimana dengan ibadah Nabi, setelah Aisyah menjelaskan,
mereka ingin menandingi ibadah Nabi. Orang yang pertama
mengatakan saya akan sholat malam untuk selamanya, orang
yang ke dua berkata: saya akan berpuasa selama hidup dan
tidak akan berbuka, orang ketiga berkata: saya tidak akan
menikah. Kemudian Nabi datang dan berkata Demi Allah! Saya
lebih kuat dan lebih bertakwa dibandingkan kamu. Tetapi saya
berpuasa dan berbuka, saya sembahyang dan tidur, dan saya
kawin. Barang siapa tidak mengikuti sunahku tidak termasuk
kedalam golangan ku.
Hadits yang diriwayatkan oleh Mutaffaq ‘Alaih
‫م‬.‫ قال لنا رسول هللا ص‬:‫ع ن عبد هللا بن مسعود رضي هللا عنه تعاىل عنه قال‬
‫ َي معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه اغض للبصر واحصن‬:
13
)‫للفرج ومن مل يستطع فعليه ابلصوم فإنه له وجاء (متفق عليه‬
“Dari abdullah bin Mas’ud r.a beliau berkata, bahwa Rasulullah
Saw. bersabda: Wahai generasi muda siapa yang telah sanggup
diantara kamu untuk menikah maka menikahlah!, maka
sesungguhnya perkawinan itu dapat memelihara pandangan dan
menjaga kemaluan dan jika kamu tidak sanggup maka hendaklah
kamu berpuasa, karena puasa itu perisai baginya”. (Mutaffaq
‘Alaih)
Hadits ini menganjurkan kepada para pemuda yang telah
sanggup untuk menikah agar segera menikah, karena dengan
menikah dapat memelihara pandangan mata dari melihat yang
dilarang, serta menjaga kemaluan dari hal yang diharamkan.

Menurut hukum Islam nikah itu hukum asalnya adalah


mubah, tetapi dapat berubah sesuai keadaan tertentu. Oleh
karena itu Ahli Fiqh mengelompokkan hukum nikah kepada
lima:

13 Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, (Mutiara Ilmu:

Surabaya, 1995), Cet. I, h. 413

107
Kapita Selekta Fiqh

1. Wajib
Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu dan
memiliki keinginan untuk menikah sementara ia takut akan
terjerumus pada zina apabila tidak segera menikah. Karena
menjaga jiwa dan menyelamatkan diri dari perbuatan yang
haram adalah wajib. Kewajiban itu tidak akan terlaksana
kecuali dengan nikah.14
2. Haram
Haram nikah bagi orang yang tidak ada keinginan
untuk menikah dan tidak ada kemampuan atau menikah
untuk maksud jahat.15 Sebagaiman firman Allah Swt. dalam
surat al-Baqarah (2):195
ُّ ‫اَّللَ ُِحي‬
َّ ‫َح ِسنُوا إِ َّن‬ ِ ‫اَّللِ وََّل تُ ْل ُقوا ِِبَي ِدي ُكم إِ َىل الت‬ ِ ِ
‫ب‬ ْ ‫َّهلُ َكة َوأ‬
ْ ْ ْ َ َّ ‫َوأَنْف ُقوا ِِف َسب ِيل‬
‫ني‬ ِِ
َ ‫الْ ُم ْحسن‬
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
3. Sunnah
Nikah sunnah bagi orang yang sudah mampu tetapi
ia sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram.
Dalam hal ini nikah lebih baik dari pada membujang.16
4. Mubah
Nikah mubah bagi orang yang tidak ada halangan
untuk menikah dan dorongan menikah belum
membahayakan dirinya, maka ia tidak wajib nikah dan tidak
haram baginya menikah.
5. Makruh
Ketentuan ini berlaku bila seseorang itu jelas
dipandang wajar baginya untuk menikah tetapi belum ada

14H.S.A al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta:Pustaka Amani, 2002), h.8


15Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian Dalam Islam, (Padang: IAIN “IB”
Press, 1999), h. 38
16
H.S.A al-Hamdani, , h. 8

108
Kapita Selekta Fiqh

biaya untuk menghidupi rumah tangga. Jika ia akan


membawa kesengsaraan adalah kehidupan berumah tangga
maka makruh baginya untuk menikah. Oleh karena itu
sebaiknya ia tidak melakukan pernikahan.17

B. RUKUN DAN SYARAT NIKAH


Perkawinan dapat dilaksanakan bila telah memenuhi rukun
dan syarat yang diatur oleh agama dan undang-undang yang
berlaku. Dalam hal ini penulis akan menguraikan rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum Islam dan undang-undang.
Rukun pernikahan menurut para ulama:
a. Ulama Syafi’iyah
18
‫ زوجة وزوج وويل وشاهدان وصيغة‬:‫ قالوا أركان النكاح مخسة‬:‫الشافعية‬
“Rukun nikah itu ada lima macam: Calon istri, calon suami, wali,
dua orang saksi dan shighat (ijab qabul)”.
b. Ulama Malikiyah
‫ احداها ويل اثنيها الصداق اثلثها زوج رابيعها‬:‫عدوا أركان النكاح مخسة‬
19
‫زوجة خامسها الصيغة‬
“Rukun nikah itu ada lima macam: pertama wali, kedua
mahar, ketiga suami, keempat istri dan kelima shighat”.
c. Dalam kitab Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu dijelaskan,
menurut ulama Hanafiah rukun nikah hanyalah akad
nikah yang dilakukan oleh dua pihak yang
melangsungkan pernikahan, sedangkan yang lainnya
seperti saksi, mahar dikelompokkan kepada syarat
pernikahan.20
d. Imam al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazali rukun perkawinan itu ada empat
macam:
1) Adanya calon istri dan calon suami

17 Muhammad Idris Mulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi

Aksara, 1996), h. 22
18 Abdurrahman al-Jaziri,h. 21
19 Abdurrahman al-Jaziri, h. 25
20Wahbah al-Zuhaily, Jilid VII, h. 6533

109
Kapita Selekta Fiqh

2) Adanya wali
3) Adanya dua orang saksi
4) Adanya lafaz ijab dan qabul secara seimbang21
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang
menjadi rukun pernikahan itu yang terdapat dalam pasal 14
adalah:
1) Calon suami
2) Calon istri
3) Wali nikah
4) Dua orang saksi
5) Ijab dan qabul.
Undang-undang Perkawinan sama sekali tidak
berbicara tentang rukun perkawianan, namun hanya
membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana
syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan
unsur-unsur perkawinan atau rukun perkawinan.
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1. Syarat calon suami
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
calon suami:
a. Beragama Islam
Dalam ajaran Islam laki-laki merupakan pemimpin
dalam rumah tangga, supaya peran dari seorang pemimpin
berjalan dengan baik, maka perlu orang yang memimpin
tersebut sama kepercayaannya dengan orang yang dipimpin.
Artinya calon suami itu mesti orang yang beragama Islam.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah
(2):221:
‫يُ ْؤِم َّن َوَْل ََمةٌ ُم ْؤِمنَةٌ َخ ْْيٌ ِم ْن ُم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو أ َْع َجبَ ْت ُك ْم‬ ِ ‫تَ ْن ِكحوا الْم ْش ِرَك‬
‫ات َح َّىت‬ ‫َوََّل‬
ُ ُ
‫يُ ْؤِمنُو َاولَ َعْب ٌد ُم ْؤِم ٌن َخ ْْيٌ ِم ْن ُم ْش ِرٍك َولَ ْو أ َْع َجبَ ُك ْم‬ ِ ِ
َ ‫تُْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك‬
‫ني َح َّىت‬ ‫َوََّل‬

21 Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat perkawinan, (Bandung: Kerisma, 1996), h.


63

110
Kapita Selekta Fiqh

ِ َّ‫ني ءَ َاَيتِِه لِلن‬


‫اس‬ ِِ ِ ِ ْ ‫اَّلل ي ْدعو إِ َىل‬
ُ َِ‫اجلَنَّة َوالْ َمغْفَرةِ ِبِِ ْذنه َويُب‬ ُ َ َُّ ‫ك يَ ْدعُو َن إِ َىل النَّا ِر َو‬ َ ِ‫أُولَئ‬
22
‫لَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َذ َّك ُرو َن‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Dari potongan ayat di atas jelaslah bahwa wanita yang
beriman dilarang menikah dengan seorang pria musyrik. Karena
boleh jadi dengan kemusyrikan akan dapat mempengaruhi aqidah
wanita beriman yang dinikahkannya itu.
b. Calon suami itu betul seorang laki-laki
Calon suami itu jelas bahwa ia benar-benar laki-laki
karena tidak tertutup kemungkinan laki-laki itu menyukai
sesama jenis (untuk memuaskan hubungan seksualnya).
c. Tidak ada paksaan, artinya atas kemauan sendiri
Hal ini perlu diperhatikan karena apabila perkawinan
dilakukan dengan terpaksa maka akan dapat menimbulkan
masalah bagi keutuhan rumah tangga.
d. Tidak sedang melakukan ihram atau haji
Di dalam ajaran Islam orang yang sedang
melaksanakan haji dan umrah tidak boleh melaksanakan
aqad nikah atau menikahkan orang lain. Sebagaimana hadist
Rasulullah Saw.:

22 Depag, Op. Cit, h. 53

111
Kapita Selekta Fiqh

‫م َّل ينكح احملرم‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن عثمان رضي هللا تعاىل عنه قال‬
‫وَّل ينكح (رواه مسلم وِف رواية له وَّل خيطب وزاد ابن حبان وَّل خيطب‬
23
)‫عليه‬
“Dan dari Usman r.a: Rasul Saw. bersabda: Orang yang sedang
ihram tidak boleh menikah dan menikahkan. Riwayat Muslim.
(Dalam riwayat Muslim yang lain dilarang meminang, Ibnu
Hiban menambah dan tidak boleh dilamar”).
e. Tidak sedang mempunyai istri empat orang
Bagi seorang laki-laki boleh beristri empat orang,
asalkan dapat berlaku adil. Sebagaimana terdapat dalam al-
Quran surat an-Nisa’ (4): 3 yang berbunyi:
‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِ َس ِاء َمثْ ََن‬ ِ ِ
َ َ‫َوإِ ْن خ ْفتُ ْم أَََّّل تُ ْقسطُوا ِِف الْيَ تَ َامى فَانْك ُحوا َما ط‬
ِ
ِ ِ ِ ِ
‫ك أ َْد ََن‬ ْ ‫ع فَِإ ْن خ ْفتُ ْم أَََّّل تَ ْعدلُوا فَ َواح َد ًة أ َْو َما َملَ َك‬
َ ‫ت أ َْْيَانُ ُك ْم َذل‬ َ ‫ث َوُرَاب‬ َ ‫َوثََُل‬
24
.‫أَََّّل تَعُولُوا‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
2. Syarat Wali
Perwalian dalam pernikahan adalah suatu kekuasaan
atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang
dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan
tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi
kemaslahatannya. Jumhur Ulama mengatakan bahwa wali
25

23Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani,h. 425


24Depag h 115
25 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera,

2008), h. 345

112
Kapita Selekta Fiqh

dalam nikah merupakan syarat sahnya nikah26. Walilah yang


mengakadnikahkan wanita yang berada dibawah perwaliannya
dengan laki-laki yang akan mengawininya. Nikah baru sah
apabila yang mengakadkan adalah walinya. Sebagaimana
firman Allah dalam surat an-Nuur (24) :32
‫ني ِم ْن ِعبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فُ َقَراءَ يُ ْغنِ ِه ُم‬ِِ َّ ‫وأَنْ ِكحوا ْاْلََيمى ِمْن ُكم و‬
َ ‫الصاِل‬ َ ْ ََ ُ َ
ِ ِ َّ ‫ضلِ ِه َو‬
‫اَّللُ َواس ٌع َعل ٌيم‬ ْ َ‫اَّللُ ِم ْن ف‬
َّ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui”.
Ayat ini menganjurkan terhadap para wali untuk
menikahkan orang yang berada dibawah perwaliannya yang
belum kawin baik janda atau bikir (perawan), karena itu ayat
ini berhubungan dengan pernikahan yang dialamatkan kepada
wali, dapat pula dipahami keharusan adanya wali dalam
pernikahan.27 Rasulullah Saw. bersabda :
‫ قال رسول هللا صلى‬:‫عن أىب بردة عن أيب موسى عن أبيه رضي هللا عنهم قال‬
‫ )رواه اإلمام أْحد واْلربعة وصححه ابن‬.‫هللا عليه وسلم َّل نكاح إَّل بويل‬
(‫املديَن والرتمذى وابن حبان‬
“Dari Abu Bardah dari Abu Musa dari ayahnya r.a ia berkata
Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan
wali”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam yang empat
dan disahihkan oleh Ibnu Madiny, Tirmizi dan Ibnu Hibban)”.28
Jumhur ulama mengartikan hadits ini dengan tidak sah
nikah tanpa adanya wali, setiap pernikahan dilakukan oleh

26 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar

Baru Van Hoeve, 1997), Cet. 4, Jilid 4, h. 36


27 Amir Syarifuddin, h. 71
28 Muh. Sjarief Sukandi, Terjemahan Buluqul Maram, (Bandung: Al-Maarif,

1976), Jilid II, h. 362

113
Kapita Selekta Fiqh

wali. Wali adalah suatu yang mesti dalam akad nikah.29 Namun
menurut ulama Hanafiyah keberadaan wali hanya dianjurkan
saja, jadi pada hadits di atas tidak sempurna nikah tanpa
adanya wali. Bila kata tidak itu diartikan dengan tidak sah
maka arahnya adalah kepada perempuan yang masih kecil atau
tidak sehat akalnya, karena kepada dua perempuan tersebut
ulama Hanafiyah sependapat dengan ulama jumhur yakni juga
mewajibkan adanya wali.30
Dalam Ensiklopedi Islam dinyatakan bahwa Imam Abu
Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat jika wanita itu telah baliq
dan berakal maka dia punya hak untuk langsung
mengakadnikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Walaupun
demikian mereka menganjurkan adanya wali agar wanita
tersebut terhindar dari fitnah yang mungkin terjadi.31
Serta hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah:
‫ أْيا‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫وعن عائشة رضي هللا عنها قالت‬
‫ فإن دخل هبا فلها املهر مبا‬,‫امرأة نكحت بغْي اذن وليها فنكاحها ابطل‬
‫ (أخرجه اْلربعة‬.‫استحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ويل من َّل ويل هلا‬
)‫ وصححه أبو عوانه وابن حبان واِلاكم‬,‫إَّل النسائى‬
"Dari Aisyah rasulullah Saw. bersabda: Siapa diantara wanita
yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, jika
lelakinya telah menyenggamainya, maka ia berhak atas
maharnya, karena ia telah menghalalkan kehormatannya, jika
pihak wali enggan menikahkan maka hakimlah yang bertindak
menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.
(Diriwayatkan oleh empat imam kecuali an-Nasai, hadist ini
dipandang sahih oleh Abu Iwanah, Ibnu Hiban dan al-
Hakim)".32

29 Al-Mahally, h. 221
30 Ibnu al-Human, al-Mahalla, (Mesir: Mathba’ahnaljumhuriyahbal-
Arabiyah, 1970), h. 162
31 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
32 Muhammad bin Ismail al-Khailani, , h. 118

114
Kapita Selekta Fiqh

Hadits ini menyatakan keharusan izin wali dalam


pernikahan dengan akad nikah bagi anak perempuannya atau
akad oleh wakilnya. Menurut zahirnya perempuan berhak atas
mahar apabila telah melakukan hubungan suami istri.
Adapun yang dimaksud dengan pertengkaran dalam
hadits ini ialah penolakan atau keengganan mereka para wali
untuk mengakadkan pernikahan perempuan dibawah
perwaliannya, oleh karena penolakan para wali itu, maka
perwaliannya pindah kepada sultan. Sultan yang dimaksud
ialah orang yang diberi wewenang mengurusi pernikahan
Orang yang berhak menempati kedudukan sebagai
wali ada tiga kelompok :
1. Wali nasab, yaitu wali yang berhubungan tali
kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah
2. Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap
perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya
3. Wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali karena
kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.33
Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa
hak perwalian bisa terjadi karena lima hal:
1. Hubungan kekerabatan, baik kerabat dekat seperti ayah,
kakek, anak laki-laki maupun kerabat jauh seperti anak
laki-laki paman (saudara ayah atau saudara ibu)
2. Hubungan pemilikan, seperti hamba sahaya dengan
tuannya.
3. Hubungan yang ditimbulkan karena memerdekakan
budak.
4. Hubungan mawali yaitu hubungan yang disebabkan
perjanjian antara dua orang yang mengikatkan diri
untuk saling membantu apabila salah satu pihak
dikenakan denda karena melakukan suatu tindak pidana.
Seperti pembunuhan, pihak yang membantu ikut
menanggung beban biaya denda tersebut dan berhak
mewarisi maulanya dan menjadi wali nikahnya.
5. Hubungan antara penguasa dan warga negara.

33 Amir Syarifuddin, op.cit,, h. 75

115
Kapita Selekta Fiqh

Di dalam al-Quran maupun sunnah tidak terdapat


urutan yang menerangkan perwalian secara jelas sehingga
para ahli fiqh berbeda pendapat dalam meetapkannya sesuai
dengan dasar-dasar yang mereka gunakan:
a. Menurut Mazhab Hanafiyah:
Menurut ulama Hanafiyah urutan wali dalam
perkawianan adalah ashabah dengan nasab atau ashabah
dengan sebab seperti orang yang memerdekakan budak,
kemudian zawil arham, kemudian sulthan, kemudian
qadhi. Adapun urutan wali menurut ashabah adalah:
1) Anak laki-laki dari anak perempuan meskipun anak
tersebut dari akibat perzinaan
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah
3) Bapak
4) Kakek dan seterusnya keatas
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki sebapak
7) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
8) Anak saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke
bawah
9) Paman kandung dengan bapak
10) Paman sebapak
11) Anak paman kandung
12) Anak paman sebapak dan seterusnya sampai ke
bawah
13) Paman bapak kandung
14) Paman bapak seayah
15) Anak paman bapak sekandung dan seayah
16) Paman kakek kandung
17) Paman kakek sebapak
18) Anak paman kakek sekandung dan seayah.34
b. Menurut Mazhab Maliki
1) Bapak
2) Bapak dari bapak

34 Abdurrahman al-Jaziri,, h. 27

116
Kapita Selekta Fiqh

3) Washi (orang yang diberi wasiat oleh bapak)


4) Anak laki-laki
5) Cucu laki-laki
6) Saudara laki-laki kandung
7) Saudara laki-laki seayah
8) Anak laki-laki dari saudara kandung
9) Anak laki-laki dari saudara seayah
10) Saudara kandung laki-laki dari bapak
11) Paman yang sebapak dengan bapak
12) Anak paman kandung
13) Anak paman seayah
14) Hakim.
c. Meurut Mazhab Hanabilah
1) Bapak
2) Kakek dan seterusnya ke atas
3) Anak laki-laki
4) Cucu laki-laki dari anak laki-laki
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki sebapak
7) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
9) Paman kandung
10) Paman sebapak dengan bapak
11) Anak paman kandung
12) Anak paman sebapak dengan bapak
13) Maula (wali yang menikahkan budaknya)
14) Wali hakim.
d. Menurut Mazhab Syafi’i
1) Bapak
2) Kakek dan seterusnya ke atas
3) Saudara laki-laki kandung
4) Saudara laki-laki sebapak
5) Anak saudara laki-laki kandung
6) Anak saudara laki-laki sebapak
7) Paman yang sekandung dengan bapak
8) Paman yang sebapak dengan bapak
9) Anak laki-laki paman yang sekandung dengan
bapak

117
Kapita Selekta Fiqh

10) Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak


11) Orang yang memerdekakan hamba
12) Hakim.
Pasal 21 KHI menjelaskan bahwa urutan wali adalah
sebagai berikut:
1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan
kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari
kelompk yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita:
Pertama: Kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas
yakni:ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
Ketiga: Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka
Keempat: Kelompok saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki
mereka.
2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat
beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali,
maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih
dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita.
3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat
kekerabatannya maka yang palilng berhak menjadi wali
nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya
seayah.
4) Apabila dalam satu kelompok, derjat kekerabatannya sama
yakni sama-sama derjat kandung atau sama-sama derjat
seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi
syarat-syarat wali.

3. Syarat saksi

118
Kapita Selekta Fiqh

Saksi merupakan salah satu rukun nikah yang harus hadir


dalam aqad nikah, saksi ini bertujuan untuk
mempertanggungjawabkan kesaksian dihadapan Allah Swt. dan
masyarakat banyak. Sebagaiman dalam firman Allah dalam surat
at-Thalaq ayat 2 dan juga dijelaskan oleh hadist Nabi Saw.:
ٍ ‫وف أَو فَا ِرقُوه َّن ِمبَعر‬
‫وف َوأَ ْش ِه ُدوا ذَ َو ْي َع ْد ٍل‬ ٍ ِ ‫فَِإذَا ب لَ ْغن أَجلَه َّن فَأَم ِس ُك‬
ُْ ُ ْ ‫وه َّن مبَْعُر‬ ُ ْ َُ َ َ
35 ِ ِ ِ ِ ٍ ِ
‫َّه َاد َة ََّّلل‬
َ ‫يموا الش‬
ُ ‫َوأَ ْشه ُدوا َذ َو ْي َع ْدل مْن ُك ْم َوأَق‬
"Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah".
‫ الوايل‬:‫ َّلبد ِف النكاح من اربعة‬:‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن عائشة قالت‬
36
)‫والزوج والشاهدين (رواه الدار قطن‬
“Dari Aisyah r.a beliau berkata: bahwasanya Rasul Saw. bersabda:
Mestilah dalam pernikahan itu dihadiri oleh empat orang yaitu:
wali, memepelai pria, dan dua orang saksi”. (HR. Ad-
Daruqudhni)
Dari hadist di atas dapatlah disimpulkan bahwa tanpa
adanya saksi pernikahan tidak sah. Adapun syarat-syarat menjadi
saksi adalah:37
a. Beragama Islam
b. Berakal sehat
c. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang
d. Dewasa
e. Mendengarkan perkataan dari kedua pihak yang beraqad
f. Dapat memahami ucapan-ucapan ijab qabul
g. Laki-laki
h. Adil, maksudnya yang menjadi saksi itu adalah dua orang
laki-laki dan tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak
selalu melakukan dosa kecil.38

35 Depag, 945
36 Ali Umar ad-Daruqudhni, Sunan ad-daruqudhni, (Beirut: Daar al-Fikri,
t.th), Jilid II, h. 138-139
37 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), Jilid VII, h. 9

119
Kapita Selekta Fiqh

Undang-undang perkawinan tidak menempatkan kehadiran


saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun undang-undang
perkawian menyinggung kehadiran saksi itu dalam pembatalan
perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang
membolehkan pembatalan perkawinan, sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 26 ayat 1: “Perkawinan yang dilangsungkan
dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali
nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2
(dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri,
jaksa dan suami atau istri”.39
Ketentuan saksi dalam perkawinan diatur KHI terdapat
dalam pasal 24, 25 dan 26 dengan rumusan sebagai berikut:
Pasal 24:
1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah
2. Setiap perkawinan harus dipersaksikan oleh dua
orang saksi.
Pasal 25: Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad
nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil
baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak
tuna rungu atau tuli.
Pasal 26: Saksi harus hadir menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani akta nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.40

4. Syarat Shighat (Ijab Qabul)

Abdul Aziz Dahlan (ed), Op.cit.


38
39Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2005), h. 545
40 Depag RI, Op. cit, h.29

120
Kapita Selekta Fiqh

Shiqat terdiri dari ijab dan qabul yakni perjanjian yang


berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan.41
Ijab adalah pernyataan pertama sebagai penunjukkan kemauan
untuk membentuk hubungan suami istri atau lafaz yang diucapkan
oleh wali dari pihak perempuan yang ditujukan kepada mempelai
pria.42 Sedangkan qabul adalah pernyataan kedua yang dinyatakan
oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan
rasa ridha dan selanjutnya atau jawaban yang diucapkan oleh
mempelai pria.43
Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang akad
perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Namun
secara jelas dalam KHI diatur akad perkawinan dalam pasal 27,
28, dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat
dalam fikih, dengan rumusan:
Pasal 27: Ijab dan qabul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas dan tidak
berselang waktu.
Pasal 28: Akad nikah dilaksanakan sendiri secara
pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat
mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29:
a. Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon
mempelai pria secara pribadi
b. Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan
calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad
nikah itu adalah untuk mempelai pria
c. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali
keberatan calon mempelai pria diwakili, maka
akad nikah tidak boleh dilangsungkan.44

41 Amir Syarifuddin, h. 61
42 Abdurrahman al-Jaziri, , h. 16
43 Sayyid Sabiq, , h. 53
44 Depag RI,, h. 30

121
Kapita Selekta Fiqh

Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib


dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang
dilangsungkan tidak sah. Nikah fasid yaitu nikah yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah bathil adalah nikah
yang tidak memenuhi rukunnya. Dalam hukum nikah fasid dan
nikah bathil adalah sama yaitu tidak sah. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam rukun dan syarat perkawinan yaitu :
1. Calon suami,
2. Calon isteri,
3. Wali nikah,
4. Dua orang saksi, dan
5. Ijab dan Kabul.
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah :45
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua
orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang tua yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah
seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6

122
Kapita Selekta Fiqh

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah


lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2),(3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkuatan tidak
menentukan lain.

C. TUJUAN DAN HIKMAH NIKAH


1. Tujuan Nikah
Ada beberapa tujuan disyariatkan pernikahan, iantaranya:
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi
melanjutkan generasi pada masa yang akan datang. Sesuai
dengan firman Allah dalam surat an-Nisa (4)’:1

‫اح َدةٍ َو َخلَ َق ِمْن َها َزْو َج َها‬ ِ‫سو‬ ِ ِ َّ


َ ٍ ‫َّاس اتَّ ُقوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف‬ ُ ‫ََيأَيُّ َها الن‬
َّ ‫اَّللَ الَّ ِذي تَ َساءَلُو َن بِِه َو ْاْل َْر َح َام إِ َّن‬
َ‫اَّلل‬ َّ ‫ث ِمْن ُه َما ِر َج ًاَّل َكثِ ًْيا َونِ َساءً َواتَّ ُقوا‬َّ َ‫َوب‬
‫َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan
hidup dan rasa kasih sayang.46 Hal ini terlihat dalam surat ar-
Ruum:21
ً‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َم َوَّدة‬ ِ ِ ِِ ِ
ً ‫َوم ْن ءَ َاَيته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
47
.‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬
ٍ ‫ك ََلَي‬ ِ
َ َ ‫َوَر ْْحَةً إِ َّن ِِف َذل‬
46 Amir Syarifudin, h. 46-67

123
Kapita Selekta Fiqh

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”.
c. Untuk Mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah.
d. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang
berdasarkan tanggung jawab.
Sudah menjadi kodrat iradat Allah Swt., manusia
diciptakan berjodoh-jodoh dan mempunyai keinginan untuk
berhubungan antara pria dan wanita. Sebagaimana firman
Allah Swt. dalam surat Ali Imran (3) ayat 14
‫ب‬ ِ َ‫ات ِمن النِس ِاء والْبنِني والْ َقن‬
َّ ‫اط ِْي الْ ُم َقنْطَرةِ ِم َن‬
ِ ‫الذ َه‬ ِ ‫ب الشَّهو‬ ِ ‫ُزيِ َن لِلن‬
َ َ َ ََ َ َ َ َ ُّ ‫َّاس ُح‬
ِ َّ ‫اِلياةِ الدُّنْيا و‬ ِ ِ ‫اِلر‬ ِ ِ ْ ‫َوالْ ِفض َِّة َو‬
ُ‫اَّللُ عنْ َده‬َ َ ََْ ُ‫ك َمتَاع‬ َ ‫ث ذَل‬ َْْ ‫اْلَْي ِل الْ ُم َس َّوَمة َو ْاْلَنْ َعام َو‬
‫آب‬ِ ‫حسن الْم‬
َ ُُْ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Dari ayat ini jelas bahwa menusia mempunyai
kecendrungan untuk cinta wanita, cinta anak keturunan dan
harta kekayaan.
e. Memelihara diri dari kerusakan
f. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari
harta yang halal.

2. Hikmah Nikah

47 Depaq, h. 644

124
Kapita Selekta Fiqh

Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi48 hikmah-hikmah hukum


perkawinan itu antara lain:
a. Dengan adanya perkawinan maka akan memperbanyak
keturunan.
b. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika
keadaan rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan
tenang kecuali dengan adanya
c. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cendrung mengasihi
orang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan
kesedihan dan ketakutan, istri berfungsi sebagai teman dalam
suka dan penolong dalam mengatur kehidupan, serta untuk
mengatur rumah tangga yang merupakan sendi penting bagi
kesejahteraannya, Allah berfirman dalam surat al-A’raf (7): 189
‫إِلَْي َها فَلَ َّما‬ ‫َزْو َج َها لِيَ ْس ُك َن‬ ‫س َو ِاح َدةٍ َو َج َع َل ِمْن َها‬ٍ ‫ُه َو الَّ ِذي َخلَ َق ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
‫لَئِ ْن ءَاتَ ْي تَ نَا‬ ِ ْ ‫تَغَشَّاها َْحلَت ْحَْ ًَل خ ِفي ًفا فَمَّر‬
‫اَّللَ َرَّهبَُما‬
َّ ‫َد َع َوا‬ ْ َ‫ت بِه فَلَ َّما أَثْ َقل‬
‫ت‬ َ َ ْ َ َ
‫ين‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫صاِلًا لَنَ ُكونَ َّن م َن الشَّاكر‬
َ
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari
padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang
kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung
kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa
waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-
isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata:
"Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh,
tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".
d. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah
(kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan.
Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat
terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya.
e. Pernikahan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Di
dalamnya terdapat faedah yang banyak diantaranya seorang
laki-laki yang tidak mempunyai istri tidak mungkin

48 Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuh (Filsafah dan

Hikmah Hukum Islam), penerjemah: Hadi Mulyo dan Sobahus Surur, (Semarang:
Asy-Syifa, 1992), h. 256-258

125
Kapita Selekta Fiqh

mendapatkan anak, tidak pula dapat mengetahui pokok-pokok


serta cabangnya diantara sesama manusia.
f. Manusia itu jika telah mati maka terputuslah seluruh amal
perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala
kepadanya, namun apabila masih meninggalkan anak dan istri
mereka akan medoakannya dengan kebaikan hingga amalnya
tidak terputus dan pahalanyapun tidak ditolak. Anak yang
shaleh merupakan amalnya yang tetap yang masih tertinggal
meskipun dia telah meninggal dunia.

D. TALAK
Pada dasarnya proses penyelesaian perkara perceraian
dilakukan dengan dua cara yaitu : dengan cerai talak dan cerai
gugat.

1. Cerai Talak
Cerai talak berasal dari dua kata yakni kata cerai dan talak.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, cerai diartikan dengan
perpisahan, perihal bercerai (antara suami isteri) dan perpecahan.
Perceraian merupakan sebuah proses, cara dan perbuatan
menceraikan.49
Sedangkan dalam istilah fikih cerai talak identik
dipadupadankan dengan kata "al-farqu" atau "firaq", sama dengan
talak, yaitu istilah untuk perceraian antara suami isteri.50
Dalam kamus bahasa Arab, talak diambil dari kata thalaqa,
yathluqu, thalaaqan, ‫طََلَقًا‬-‫يَطْلُ ُق‬-‫ طَلَ َق‬artinya bercerai51.
Pengertian talak menurut bahasa, didefenisikan para ulama
sebagai berikut:
1) Talak menurut bahasa,

49 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Jakarta:Balai Pustaka,1997), h.209


50 M.Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fikih (Jakarta:Pustaka Firdaus,1994) h.78
51 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,

1990), h. 239. (Buku I)

126
Kapita Selekta Fiqh

‫معناه ِف اللغة حل القيد‬


52

Talak menurut bahasa yaitu melepaskan atau menguraikan


tali pengikat.
2) Dalam bahasa Arab, pengertian talak menurut bahasa
diambil dari kata ‫ اإلطَلق‬artinya melepaskan atau
meninggalkan.53
3) Menurut Ibnu Sayyid Muhammad Syath al-Dimyathiy
dalam kitab I’anah al-Thalibin, talak menurut bahasa
yaitu , talak menurut bahasa adalah 54‫ حل قيد‬:‫الطَلق لغة‬
melepaskan hubungan perkawinan.
4) Menurut Ali Zakaria Syarif: Melepaskan buhul.55
5) Menurut Prof.Dr.H. Amir Syarifuddin: Lepas dan
bebas.56
Menurut istilah, talak oleh para ulama fikih diartikan
dengan:
a) Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah:
.‫ وإهناء العَلقة الزوجية‬,‫ حل رابطة الزواج‬:‫الطَلق ِف الشرعى‬
57

Talak menurut istilah artinya melepaskan ikatan perkawinan


atau bubarnya hubungan perkawinan.58
b) Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal asy-
Syakhshiyyah memberikan defenisi:
‫الطَلق ِف اإلصطَلح الفقهاء رفع قيد النكاح ِف اِلال أو ِف املال بلفظ‬
59
.‫مشتق من مادة الطَلق أو ِف معناها‬

52 Abdullah al-Jaziri, al-Fiqh ala Mazdahibil al-arba’ah, (Mesir: Tijariyatul

Kubra, 1989), juz IV, h.278


53 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa Moh. Thalib dari Fiqh al-

Sunnah, Bandung: PT al-Ma'arif, jilid 8, h. 9


54 Ibnu Sayyid Muhammad Syath al-Dimyathiy, I’anah al-Thalibin, (Beirut:

Dar al-Fikri, Tanpa tahun) juz IV, h. 5


55 Imam Zakaria Ibnu Syarif al-Nawawi, al-Muqni al-Muhtaj-juz IV, (Beirut:

Dar al-Fikri, tanpa tahun), h 275


56 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006) h. 198
57 Sayyid Sabiq, “Fiqh Sunnah”, (Beirut: Darul Fikri, 1990), h. 155
58 Sayyid Sabid, (Alih Bahasa), op.cit, jilid VIII, h. 9

127
Kapita Selekta Fiqh

“Talak menurut istilah fuqaha’ adalah mengangkatkan akad


pernikahan saat itu juga atau pada masa yang akan datang
dengan lafaz talak atau bentuk kata yang semakna dengan
itu.”
c) Wahbah Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al-Islam wa
adillatuhu:
.‫ أو حل عقد النكاح بلفظ طَلق وحنوه‬,‫حل قيد النكاح‬
60

“Melepaskan hubungan perkawinan dengan menggunakan


lafaz talak dan sejenisnya”.
Sedangkan menurut para ahli hukum Indonesia
memberikan pengertian perceraian sebagai berikut:
1) Menurut Subekti
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
tuntutan itu. 61
2). Happy Marpaung
Perceraian adalah pembubaran perkawinan ketika masih
terdapat alasan yang dapat dibenarkan untuk terjadinya
perceraian dan ditetapkan oleh keputusan pengadilan.62
Cerai talak juga memiliki pengertian yang didasarkan
pada Undang-Undang, yaitu:
1) UU no.7/1989 pasal 66 ayat 1
Cerai talak adalah seorang suami yang beragama Islam
yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan
sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2) Cerai talak menurut KHI pasal 117 yaitu:
Talak adalah ikrar suami di depan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya

59 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr,

1948), h. 326
60 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Beirut: al-Fikri, tanpa

tahun), juz.VII, h.356


61 Subekti, ”Pokok-Pokok Hukum Perdata” (Jakarta: Intermasa,1995),h.42
62 Happy Marpaung, ”Masalah Perceraian”(Bandung: Balai
Pustaka,1983),h.24

128
Kapita Selekta Fiqh

perkawinan dengan cara yang sebagaimana dimaksud


dalam pasal 129,130,131.63
1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil
pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
maksud menjatuhkan talak.
2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati
kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak
mungkin lagihidup rukun dalamrumah tangga,
pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang
izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3) Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap
suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan
Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6
(enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama
tentang izin ikrar talak baginya mempunyai
kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant
tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap
empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas
suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan
pencatatan, helai kedua dan ketiga masingmasing
diberikan kepada suami isteri dan helai keempat
disimpan oleh Pengadilan Agama.

2. Cerai Gugat

63 Departemen Agama Repuplik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan


Kelembagaan Agama Islam, 1994), h. 60. (Buku I)

129
Kapita Selekta Fiqh

Cerai gugat terdiri dari dua kata, yakni cerai dan gugat.
Cerai gugat merupakan sebuah metode perceraian yang
merupakan kewenangan isteri untuk mengakhiri ikatan
perkawinan dengan suaminya. Cerai gugat dalam istilah fikih,
digolongkan kepada khuluk.
Khuluk berasal dari bahasa Arab ‫ َخلْ ًعا‬,‫ خيَْلَ ُع‬,‫ َخلَ َع‬yang searti
dengan: ‫ إزالة‬,‫ يزيل‬,‫ ازال‬atau ‫ نزعا‬,‫ ينزع‬,‫ نزع‬dan biasa diartikan dengan
menanggalkan, melepaskan, mencabut atau menghilangkan.
Pengertian khuluk menurut bahasa adalah:
64
‫اْللوع لغة النزع‬
Khuluk menurut bahasa yaitu menanggalkan.
Khulu’ dengan menggunakan harkat dhammah pada huruf
“kha” dan sukun pada huruf “lam” adalah permintaan cerai dari
pihak isteri dengan mengajukan ganti rugi berupa harta. Kata
tersebut diambil dari kata “khala’a al-Tsaub”, artinya
menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai pakaian laki-
laki dan laki-laki pun pakaian bagi perempuan. Allah berfirman
Q.S al-Baqarah(2):187:
...‫باس لكم وأنتم لباس هلم‬ِ َّ ...
ٌ ‫هن ل‬
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka”. 65
Khulu’ dinamakan juga tebusan. Karena isteri menebus
dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah
diterimanya atau mahar kepada suaminya. Sebagai contoh dapat
dikemukakan firman Allah dalam surat Thaha (20) ayat 12:
‫إين أان ربك فا خلع نعليك‬
“Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua
terompahmu”. 66

64Mahmud Yunus, h. 448. (Buku I)


65Departeman Agama Repuplik Indonesia, h. 45. (Buku II)
66Departemen Agama Repuplik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan al-Qur’an, 197), h. 477. (Buku


II)

130
Kapita Selekta Fiqh

Sedangkan khuluk menurut istilah adalah isteri


memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.
Defenisi khulu’ menurut beberapa ulama mazhab yaitu:
a. Imam Hanafi.
Khuluk adalah melepaskan ikatan perkawinan yang
tergantung penerimaan isteri dengan menggunakan lafal
khulu’ atau yang semakna dengannya. Akibat akad ini
baru berlaku apabila mendapat persetujuan isteri dan
mengisyaratkan ganti rugi bagi pihak suami.
b. Imam Maliki
Ulama mazhab Maliki mendefenisikan khulu’ dengan
“talak dengan ganti rugi, baik datangnya dari pihak
isteri maupun dari wali dan orang lain”. Artinya aspek
ganti rugi sangat menentukan akad ini disamping lafal
khulu’ menghendaki terjadinya perpisahan suami isteri
tersebut dengan ganti rugi. Menurut mereka apabila
lafal yang digunakan adalah lafal talak, maka harus
disebutkan ganti ruginya, tetapi apabila digunakan lafal
khuluk maka tidak perlu disebutkan ganti rugi, karena
lafal khulu’ sudah mengandung pengertian ganti rugi.
c. Imam Syafi’i
Khulu’ adalah perceraian antara suami isteri dengan
ganti rugi baik dengan lafal talak maupun dengan lafal
khulu’. Contohnya, suami mengatakan kepada isterinya
“ saya talak engkau atau saya khulu’ engkau dengan
membayar ganti rugi kepada saya sebesar..”, lalu isteri
menerimanya.
d. Imam Hanbali
Khulu’ adalah tindakan menceraikan isterinya dengan
ganti rugi yang dari isteri atau orang lain dengan
menggunakan lafal khusus.
e. Wahbah Zuhaili, pengertian khuluk sebagaimana
pengertian yang dijelaskan oleh Syafi’i, karena sangat
sesuai dengan pengertian bahasa dari khulu’ itu sendiri.
67

67 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1997), jilid III, h. 932

131
Kapita Selekta Fiqh

Dalam perundang-undang Indonesia, istilah khuluk,


diidentikkan dengan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri.
Oleh karena itu perceraian ini digolongkan kepada cerai gugat.
Menurut Undang-Undang dan ahli hukum Indonesia, khuluk atau
cerai gugat diartikan dengan:
1) UU no.7/1989 Pasal 73 (1) dan KHI Pasal 132 ayat (1),
Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya
ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat (isteri), kecuali apabila
penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin tergugat. 68
2) Menurut Zainuddin Ali
Cerai Gugat yaitu ikatan perkawinan yang putus akibat
permohonan yang diajukan isteri ke Pengadilan
Agama yang kemudian disetujui oleh termohon (suami)
sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan
yang dimaksud.69

3. Dasar Hukum Cerai Talak dan Cerai Gugat


a. Dasar Hukum Cerai Talak.
Perceraian sebagai ”pintu darurat” dianggap sebagai
perbuatan yang kufur terhadap nikmat Allah. Pada perkawinan
Allah juga memberikan kemampuan bagi manusia agar bisa
berketurunan sesuai dengan fitrah dan naluri kemanusiaannya,
agar manusia merasa tentram dan senang jiwa raganya.
Sebagaimana firman Allah surat ar-rum (30) ayat 21:
ً‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َم َوَّدة‬ ِ ِ ِِ ِ
ً ‫َوم ْن ءَ َاَيته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬
ٍ ‫ك ََلَي‬ ِ
َ َ ‫َوَر ْْحَةً إِ َّن ِِف ذَل‬
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu

68Departeman Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h. 218. (Buku I)


69Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h.81

132
Kapita Selekta Fiqh

rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu


benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”70
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah Swt.
menciptakan makhuk hidup berpasang-pasangan adalah agar
manusia semakin yakin akan kebesaran Allah Swt. Dengan
keyakinan tersebut akan membuat manusia menjadi makhluk yang
bertakwa kepada Allah Swt.
Namun dalam beberapa keadaan perceraian dianggap
sebagai solusi terbaik. Oleh karena itu, perceraian diatur
sedemikian rupa dalam al-Qur’an, Hadits dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang telah berkekuatan hukum kuat
dan mengikat. Landasan hukum yang mengatur tentang
perceraian atau putusnya perceraian yakni;
1) Al-qur’an surat al-Baqarah (2): 229:
ٍ ِ ٌ ‫الطَََّل ُق مَّرََت ِن فَِإمس‬
ٍ ‫وف أَو تَس ِريح ِبِِحس‬
‫ان‬ َ ْ ٌ ْ ْ ‫اك مبَْعُر‬ َْ َ
”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik.”.
2). Al-Baqarah (2): 236
ِ
َ ‫ضوا َهلُ َّن فَ ِر‬
ً‫يضة‬ ُ ‫اح َعلَْي ُك ْم إِ ْن طَلَّ ْقتُ ُم الن َساءَ َما َملْ َتََ ُّس‬
ُ ‫وه َّن أ َْو تَ ْف ِر‬ َ َ‫ََّل ُجن‬
‫وف َحقًّا َعلَى‬ ِ ‫وس ِع قَ َدره وعلَى الْم ْقِ ِرت قَ َدره متاعا ِابلْمعر‬ ِ ‫ومتِعوه َّن علَى الْم‬
ُ ْ َ ً َ َ ُُ ُ َ َ ُُ ُ َ ُ ُ ََ
‫ني‬ِِ
َ ‫الْ ُم ْحسن‬
”Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang
yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan
bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”71
Isteri-isteri yang diceraikan sebelum didukhul,
tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberikan mahar.

70 Departemen Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h.644. (Buku II)


71 Departemen Agama Repuplik Indonesia, , h. 56.(Buku II)

133
Kapita Selekta Fiqh

Namun ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa


apabila mahar telah ditentukan, sedangkan isteri belum
dicampuri, maka wajib menyerahkan seperdua dari mahar
itu. 72
3). Surat al-Thalaq (65):1
َّ ‫صوا الْعِ َّد َة َواتَّ ُقوا‬ ِِ ِ ِ ‫َيأَيُّها النَِّيب إِذَا طَلَّ ْقتم النِساء فَطَلِ ُق‬
َ‫اَّلل‬ ُ ‫َح‬ْ ‫وه َّن لعدَِّت َّن َوأ‬ ُ َ َ ُُ ُّ َ َ
ِ ٍ ٍ ِ ِ ِِ ِ
‫ك‬َ ْ‫ني بَِفاح َشة ُمبَ يِنَة َوتل‬ َ ‫وه َّن م ْن بُيُوِت َّن َوََّل َخيُْر ْج َن إََِّّل أَ ْن ََيْت‬ُ ‫َربَّ ُك ْم ََّل ُُتْ ِر ُج‬
‫ث‬ُ ‫اَّللَ ُْحي ِد‬
َّ ‫اَّللِ فَ َق ْد ظَلَ َم نَ ْف َسهُ ََّل تَ ْد ِري لَ َع َّل‬
َّ ‫ود‬ َِّ ‫ح ُدود‬
َ ‫اَّلل َوَم ْن يَتَ َع َّد ُح ُد‬ ُ ُ
‫ك أ َْمًرا‬ ِ
َ ‫بَ ْع َد ذَل‬
”Hai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu
iddah itu serta bertakwalah kepada Allah. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Maka sesungguhnya
dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu
hal yang baru.”73
4). Dalam Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Abu Daud dari Umar:
‫ض‬ ِ
ُ َ‫م أَبْغ‬.‫عن إبن عمر أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال رسول هللا ص‬
74
)‫اِلََلَ ِل إىل هللاِ عز وجل الطََّلَق (رواه أبو داود وإبن ماجة وصحيحه‬
“Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Saw. bersabda: “Perbuatan halal
yang paling dibenci Allah adalah Talak.(HR. Abu Daud dan
Ibnu Majah)

72 R. Lubis Zamakhsyari, , h. 314


73 Departemen Agama Repuplik Indonesia, h. 930. (Buku II)
74 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Maktabah Dahlan, Tanpa Tahun), h.

225

134
Kapita Selekta Fiqh

Di Indonesia, juga terdapat undang-undang yang


men5gatur tentang perceraian, seperti pasal 39 dan 40 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 39:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan
diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 40:
1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat
(1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.75
Setiap perceraian harus dilakukan di persidangan
Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang cukup setelah
Hakim Pengadilan Agama mengusahakan perdamaian, namun
tidak berhasil dengan tata cara yang diatur dalam perundang-
undangan. Sehingga setiap perceraian yang dilakukan di luar
pengadilan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum.
b. Dasar Hukum Cerai Gugat
Khulu’ sebagai hak isteri untuk mengakhiri ikatan
perkawinan dengan suaminya memiliki dasar hukum kuat yang
bersumber dari al-Qur’an, Hadis, yaitu:
1) Q.S. Al-Baqarah: 229
ِ ِ ِ ِ ٍ
‫يما‬ ُ ‫ِبِِ ْح َسان َوََّل َحي ُّل لَ ُك ْم أَ ْن َأتْ ُخ ُذوا ِمَّا ءَاتَ ْي تُ ُم‬
َ ‫وه َّن َشْي ئًا إََّّل أَ ْن َخيَافَا أَََّّل يُق‬
‫ت بِِه‬ ِ ِ َِّ ‫ح ُدود اللَّه َفِإ ْن ِخ ْفتم أَََّّل ي ِقيما ح ُدود‬
ْ ‫يما افْ تَ َد‬ َ ‫اح َعلَْيه َما ف‬ َ َ‫اَّلل فَ ََل ُجن‬ َ ُ َ ُ ُْ َ ُ
ِ ِ ِ ِ
َّ
‫ك ُه ُم الظال ُمو َن‬ َ ‫اَّلل فَأُولَئ‬ َ ‫وها َوَم ْن يَتَ َع َّد ُح ُد‬
َّ ‫ود‬ َ ‫اَّلل فَ ََل تَ ْعتَ ُد‬
َّ ‫ود‬ُ ‫ك ُح ُد‬ َ ْ‫تِل‬

75 Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan


Peradilan Agama, (Jakarta: al-Hikmah, 1993), h. 132

135
Kapita Selekta Fiqh

“...Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang


telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-
hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.76
2) Hadits dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas:
‫ب الثَّ َق ِف ُّي َحدَّثَنَا َخالِ ٌد َع ْن ِع ْك ِرَمةَ َع ْن ابْ ِن‬ ِ
ِ َ‫مجْي ٍل حدَّثَنَا َعْب ُد الوها‬
َ َ َ ‫ْأزَه ُر ابْ ُن‬
ِ ِ ٍ ‫ت اب ِن قَي‬ ِ
‫ت‬ُ ِ‫ ََي َر ُس ْو َل هللا َاثب‬:‫ت‬ ْ َ‫م فَ َقال‬.‫ص‬
َ ‫َّيب‬ َّ ِ‫س أَتَت الن‬ ْ ْ ِ‫َن ْامَرءَ َة َاثب‬ َّ ‫اس أ‬ ٍ َّ‫َعب‬
.‫اإلسَلَِم‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫ِف ُخلُ ٍق َوَّلَديْ ٍن َولك ِ ْن أَ ْكَرهُ ال ُك ْفَر ِِف‬ ْ ِ ‫ب َعلَْيه‬ ُ ‫س َما أَعْي‬ ٍ ‫ابْ ُن قَ ْي‬
‫ال َر َس ْو ُل هللا‬َ َ‫ نَ َع ْم ق‬: ‫ت‬ ِ ِ ِ
ْ َ‫ أَتَ ُرديْ َن َعلَْيه َحديْ َقتَهُ؟ قَال‬:‫م‬.‫ص‬
َ ‫فَ َقال َر ُس ْو ُل هللا‬
77
)‫ أَقْ بَ ِل اِلَ ِديْ َقةَ َوطَلَّ ْق َهاتَطْلِْي َقةً)رواه البخارى‬:‫م‬.‫ص‬
َ
“Azhar Bin Jamil bercerita kepada kami Abdul Wahhab al-
Tsaqafiy bercerita kepada kami Khalid dari ‘ikrimah dari Ibnu
Abbas RA, istri Tsabit Bin Qais Bin Syammas datang kepada
Rasulullah Saw. sambil berkata: Hai Rasulullah: saya tidak
mencela akhlaq dan agamanya, tapi aku tidak ingin mengingkari
ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah Saw.: Maukah engkau
mengembalikan kebunnya (Tsabit, suaminya)? Jawabnya: Mau.
Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Terimalah (Tsabit) kebun itu
dan talaklah dia satu kali”. (HR.Bukhari).
Allah Swt. menyuruh melepaskan wanita dengan
baik-baik atau merujuknya dengan cara yang baik pula.
Kemudian Allah melarang pula supaya tidak mengambil
atau meminta kembali mahar yang telah diberikan

76 Departemen Agama Repuplik Indonesia,, h.55. (Buku II)


77Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim dan Ibnu al-
Mughirah Bin Bardaziyyah Al-Bukhari Al-Ja’fiy, Shahih Bukhariy, Beirut: Daarul
Fikri, juz V, h.170

136
Kapita Selekta Fiqh

kepadanya. Tapi bila dikhawatirkan, bahwa mereka tidak


dapat menjalankan hukum Allah Swt., maka dibolehkan
meminta kembali mahar atau wanita itu sendiri yang
membayar tebusan.
Khuluk pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw.
yang terjadi pada saudara perempuan ‘Abdullah Bin Ubai,
Jamilah. Dia datang mengadu kepada Rasulullah, kepalaku
dan kepalanya tidak bisa untuk berkumpul lagi selama-
lamanya. Setelah mendengar penjelasan tersebut, maka nabi
memerintahkan kepada Jamilah untuk beriddah satu kali
haid. 78
Di Indonesia, Khuluk juga telah memiliki landasan
hukum yang kuat seperti yang dijelaskan dalam PP no.9
tahun 1975 pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam. Lembaga
khuluk diatur dalam KHI pasal 116, 124,148 ayat (1) s/d
ayat (6), pasal 161 dan pasal 163 ayat (2) huruf b. Pasal-
pasal itulah yang telah mengakui eksistensi khuluk dengan
bahasa undang-undang. KHI pasal 124,Khuluk harus
berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal
116. PP no.9 tahun 1975 pasal 19 dan KHI pasal 116.
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
alasan, sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sumkar
disembuhkan.
b. Salah satu pihak meningalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain.

78 Al-Sha’aniy, Subulussalam, (Terjemahan, alih bahasa oleh Abu Bakar

Muhammad), (Surabaya, al-Ikhlas, 1995), jilid 3, h. 607

137
Kapita Selekta Fiqh

e. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit


dengan akibat tidak menjalankan kewajiban sebagai
suami isteri.
f. Antara suami isteri terus menerus terjadi pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup lagi dalam rumah
tangga.
Selain alasan-alasan di atas, Kompilasi Hukum Islam
Pasal 116 menambahkan dengan: Suami melanggar taklik
talak. Dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
ketidakrukunan dalam rumah tangga. 79
Selain atas dasar hukum sebagaimana yang dijelaskan
PP no.9/1975 dan KHI pasal 116 dan 124 di atas, maka
perceraian dengan fasakh juga memiliki dasar hukum yang
dijelaskan dalam hadits, sebagai berikut,
‫ال‬َ َ‫ني ق‬ ٍ ْ ‫أخ َربَان عُمر بْن َسعِْيد بْ ِن أَِىب ُخس‬
َ ُ ُ َ َ ْ ‫ال‬ َ َ‫َخ ََربَان َعْب ُدهللاِ ق‬ ِ
ْ ‫بن ُمقات ٍل قَ َال أ‬ ُ ‫حممد‬
‫اب بْ ِن‬ ِ ‫ث أنَّهُ تَ َزَّوج ابْنَةً ِْلَِىب إِ َه‬ ِ ‫خ َّدثََِن عب ُد هللاِ بن أَِىب ملَي َكةَ عن ع ْقبةَ ب ِن اِلا ِر‬
َ َ ْ َُ ْ ُ ُْ َْ َ
ِ
َ ‫ت عُ ْقبَةَ َوالَِّىت تَ َزَّو َج هبَا فَ َق‬
‫ال َهلَا عُ ْقبَةُ َما‬ ُ ‫ض ْع‬َ ‫ت ِإَن قَ ْد أ َْر‬ ْ َ‫َع ِزيْ ٍز فَأَتَ ْتهُ ْامَرأَةٌ فَ َقال‬
‫صلَّى هللاُ علَيه وسلَّ َم ِاب‬ ِ ِ ِ ِ ‫ضعتَِِن وَّل أ‬ ِ ‫أ َْعلَم أَن‬
َ ‫ب إىل رسول هللا‬ َ ‫َخ َ ْربت َِن فََرك‬
ْ َ ْ َ ‫َّك أ َْر‬ ُ
‫ف َوقَ ْد قِْي َل فَ َف َارقَ َها عُ ْقبَ ُة‬ ‫ي‬ ‫ك‬ ‫م‬ َّ
‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬
َ ْ َ َ َ َ َْ َ ُ َ
ِ
‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫هللا‬ ‫ى‬ َّ
‫ل‬ ‫ص‬ ِ
‫هللا‬ ‫ل‬ُ ْ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ َْ‫امل ِدي‬
‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ل‬َ‫أ‬ ‫س‬ ‫ف‬ ِ
‫ه‬ ‫ن‬
َ
80
)‫(أخرجه البخارى‬.ُ‫ت َزْو ًجا َغ ْ َْيه‬ ْ َ َ‫َون‬
‫ح‬ ‫ك‬
َ
“Muhammad Bin Muqatil berkata: Mengkhabarkan kepada kami
Abdullah dia berkata: Menceritakan kepada kami Umar Bin Said
Bin Abi Husain dia berkata: Menceritakan kepada saya Abdullah
Bin Abi Mulaikah dari Uqbah Bin Harits, Bahwa dia (Uqbah)
menikahi anak perempuan Abi Ihab Bin ‘Aziz maka datang (kepada
Uqbah) seorang perempuan. Maka dia berkata: Sesungguhnya aku
telah menyusui engkau ‘Uqbah dan perempuan yang engkau nikahi.
Maka ‘Uqbah berkata kepada perempuan itu, “Aku tidak mengetahui
nahwa engkau telah menyusui aku dan tidak ada yang

Departemen Agama Repuplik Indonesia, h. 56, (Buku I)


79

Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim dan Ibnu al-
80

Mughirah Bin Bardaziyyah Al-Bukhari Al-Ja’fiy,t, h. 30

138
Kapita Selekta Fiqh

memberitahuku”. Maka ‘Uqbah pergi menemui nabi SAW di


Madinah, dia menanyakan kepadaNya, Maka nabi SAW berkata
sebagaimana yang telah dikatakan, maka ‘Uqbah
menceraikannyadan menikahi wanita lain. (Diriwayatkan oleh
Bukhari).

3. Alasan Mengajukan Cerai Talak dan Cerai Gugat


Dalam perkawinan menurut agama Islam, perceraian dapat
berupa gugatan karena suami melanggar taklik talak, gugatan
karena syiqaq, gugatan karena fasakh, dan gugatan karena alasan-
alasan sebagaimana yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dan KHI Pasal 116. Meskipun
gugat cerai ini diperuntukkan untuk isteri, tetapi setelah lahirnya
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
lembaga gugat cerai ini dapat dipergunakan oleh suami untuk
menggugat isteri ke Pengadilan agar perkawinan mereka
dibubarkan sebab suami telah berpindah agama (riddah). Di sini,
suami tidak diperkenankan untuk menggunakan lembaga cerai
talak, karena lembaga ini hanya diperuntukkan untuk perceraian
yang dilaksanakan secara lisan.81
Untuk melakukan perceraian harus ada alasan atau alasan-
alasan:
1. UU no.1/1974 Pasal 39 (2)
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri.82
2. PP no.9/1975 Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan mengadakan sidang
Pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud
dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat antara suami

81 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:


Kencana, 2006), h. 19. (Buku I)
82 Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan
Peradilan Agama, h. 132

139
Kapita Selekta Fiqh

isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan


untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 83
3. Pasal 19 PP no.9/1975 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal
116. Pasal-pasal ini menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
a. berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, diatur
dalam:
1) PP No.9/1975, Pasal 19 (a) dan KHI Pasal 116 (a)
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
2) UU no7/1989 Pasal 87
Pasal 88
a) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami,
maka penyelesaian dapat dilakukan dengan
cara li’an.
b) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 87 ayat 1 dilakukan oleh istei
maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan
hukum acara yang berlaku.
b. Cerai gugat dengan alasan suami meninggalkan isteri
selama 2 tahun, diatur dalam:
1). PP no.9/1975 Pasal 19 (b) dan KHI Pasal 116 (b):
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama
2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
Dalam KHI Pasal 133 di paparkan :
a) Gugatan perceraian diajukan karena alasan-alasan
tersebut dalam Pasal 116 huruf (b), dapat diajukan
setelah lewat masa 2 tahun terhitung sejak tergugat
meninggalkan rumah.

83 Ibid, h.155

140
Kapita Selekta Fiqh

b) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan


atau mengajukan sikap tidak mau lagi kembali ke
rumah kediaman bersama.
Gugat cerai dapat diajukan jika suami hilang, ghaib
atau mafqud keberadaanya. Hal ini untuk melepaskan isteri
dari kesusahan yang dideritanya. Hal ini dapat terjadi
dengan syarat perginya suami dari isterinya tanpa alasan
yang dapat diterima, perginya dengan maksud
menyusahkan isteri, perginya keluar negeri dari negeri
tempat tinggalnya, lebih dari satu tahun, dan isteri sudah
dibuat susah.
c. Cerai Gugat dengan alasan suami mendapat hukuman
penjara lima (5) tahun, diatur dalam:
(1) PP no.9/1975, pasal 19 (c) dan KHI Pasal 1116 (c) dan
KHI Pasal 135:
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
(2). UU no.7/1989 Pasal 74
”Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah
satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk
memperoleh putusan perceraian sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang
berwenang yang memutuskan perkara disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Menurut Malik, jika kesusahan itu terbukti, maka
jatuhlah talak satu ba’in. Menurut Ahmad, perkawinan
mereka difasakh.
d. Cerai Gugat dengan alasan suami melakukan kekejaman
atau penganiayaan, diatur dalam:
PP no.9/1975 Pasal 19 (d) dan KHI Pasal 116 (d):
e. Cerai Gugat dengan alasan suami mendapat cacat badan
atau penyakit:
(1). PP no.9/1975 Pasal 19 (e) dan KHI Pasal 116 (e),
diatur dalam:

141
Kapita Selekta Fiqh

Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit


dengan akibat tidak menjalankan kewajiban sebagai
suami isteri.
(2). UU no. 7/1989 Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagi suami, maka Hakim dapat memerintahkan
tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.
Mahmud Yunus dalam bukunya Hukum
Perkawinan Dalam Islam mengulas lebih dalam
mengenai alasan-alasan fasakh seperti Pasal 98
menyebutkan bahwa atas permintaan isteri, hakim
memutuskan suatu perkawinan dengan jalan fasakh.
Sebagaimana hadits Zaid Bin Ka’ab, ia berkata:
‫َح ِديْث كعب بن زيد أو زيد بن كعب رضي هللا تعاىل عنه قال‬
‫حدثناعبد هللا حدثَن أىب ثَن القاسم بن مالك املزَن أبو جعفر قال‬
‫أخربَن مجيل بن زيد قال صحبت شيخامن اْلنصار كرانه كانت له‬
‫صحبة يقال له كعب بن زيد أو زيد بن كعب فحدثَن أن رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه وسلم تزوج امرأة من بَن غفار فلمادخل عليهاوضع ثوبه‬
‫وقعد على الفراس أبصر بكشحها بياض فاحتازعن الفراش مث قال خذى‬
84
.)‫عليك ثيابك ومل َيخذ ِما أان ها شيئا (رواه إبن كثْي‬
“Hadits dari Ka’ab Bin Zaid atau Zaid Bin Ka’ab redha
Allah Ta’ala atasnya, dikatakan, menceritakan kepada kami
Abdullah, menceritakan kepada kami bapakku, menceritakan
kepada kami Qasim Bin Malik al-Muzniy Abu Ja’far,
dikatakan, mengkhabarkan kepada kami Jamil Bin Zaid
dikatakan aku berteman dengan seorang guru dari Bani
Anshar disebutkan bahwa dia mempunyai seorang teman

84 Ahmad Bin Hanbal, Musnad Ahmad Bin Hanbal, (Beirut: Darul Fikri,

Tanpa Tahun), jilid III, h. 493

142
Kapita Selekta Fiqh

perempuan, dikatakan kepadanya Ka’ab Bin Zaid atau Zaid


Bin Ka’ab, maka diceritakan kepadaku bahwa Rasulullah
SAW menikahi perempuan dari Bani Ghiffar, maka ketika
nabi mendukhulnya, nabi meletakkan pakaiannya dan duduk
di atas tikar, maka nabi melihat disebelah rusuknya warna
putih (sopak), maka nabi menolak (mengembalikan) dia
kepada keluarganya.(HR.Ibnu Katsir)”
Menurut hadits tersebut, perkawinan dapat
difasakh atau dibatalkan karena penyakit sopak,
sedangkan penyakit-penyakit selain dari itu diqiyaskan
kepadanya, karena sama-sama menghalangi untuk
melakukan pergaulan secara ma’ruf .
Menurut Hanbali, apabila suami berpenyakit
sopak, kusta atau gila boleh difasakh perkawinan
seketika itu juga tetapi harus di muka hakim. Menurut
Syafi’i, Maliki dan Hanbali, bahwa suami boleh
memfasakh perkawinan jika isteri menderita penyakit
yang tidak dapat melakukan hasrat kelamin, seperti
rataq (tertutup lubang kemaluannya).
Alasan lain fasakh adalah suami menderita
penyakit yang tidak dapat melakukan hasrat kelamin
seperti ‘unnah atau terpotong kemaluannya. Menurut
Syafi’i, memfasakh perkawinan karena ‘unnah , maka
harus menuggu setahun lamanya.85
f. Cerai gugat dengan alasan antara suami isteri terjadi
perselisihan terus-menerus, diatur dalam PP no.9/1975
Pasal 19 (f) dan KHI pasal 116 (f), “antara suami isteri terus
menerus terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
lagi dalam rumah tangga.”
g. Cerai gugat dengan alasan suami melakukan pelanggaran
taklik talak, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116
(g).
h. Cerai gugat dengan alasan suami murtad, diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 116 (h), ”Peralihan agama
atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam
rumah tangga. “

85 Mahmud Yunus,, h.136. (Buku II)

143
Kapita Selekta Fiqh

i. Cerai gugat dengan alasan suami melalaikan kewajibannya,


diatur dalam:
a. UU no.1/1974 Pasal 34:
a) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.
b) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-
baiknya.
c) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya,
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan.
b. Kompilasi Hukum Islam Pasal 77
a) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat.
b) Suami isteri wajib saling mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan
batim yang satu kepada yang lain.
c) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh
dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani, maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
d) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya,
e) Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat 4
mengenai kewajiban suami dijelaskan bahwa ,”Sesuai dengan
penghasilannya suami menanggung:
a) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
pengobatan bagi isteri dan anak;
c) Biaya pendidikan anak. ”

4. Akibat Hukum Cerai Talak dan Cerai Gugat Terhadap


Masa Iddah.

144
Kapita Selekta Fiqh

Baik cerai talak maupun cerai gugat memiliki akibat hukum


yang sama terhadap masa iddah. Bagi isteri yang telah dicerai oleh
suaminya, bagi mereka berlaku waktu tunggu yang
pelaksanaannya tergantung pada keadaan mereka sewaktu dicerai
oleh suaminya. Ketentuan ini , bertujuan untuk mengetahui
kondisi isteri apakah mereka hamil/tidak. Hal ini merupakan
perintah oleh Allah Swt. yang ditujukan langsung kepada hamba-
Nya. Allah Swt. telah mengatur perbuatan ini dengan sangat
sempurna dalam beberapa firman-Nya yang termaktub dalam
kitab suci yang mulia, yakni:
a. Q.S al-Baqarah (2) : 228
ٍ ‫والْمطَلَّ َقات يرتبَّصن ِِبَنْ ُف ِس ِه َّن ثَََلثَةَ قُر‬
َّ ‫وء َوََّل َِحي ُّل َهلُ َّن أَ ْن يَكْتُ ْم َن َما َخلَ َق‬
‫اَّللُ ِِف‬ ُ َ ْ َََ ُ ُ َ
‫ك إِ ْن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َح ُّق بَرده َّن ِِف َذل‬ َ ‫أ َْر َحام ِه َّن إِ ْن ُك َّن يُ ْؤم َّن ِاب ََّّلل َوالْيَ ْوم ْاَلخ ِر َوبُعُولَتُ ُه َّن أ‬
َّ ‫وف َولِ ِلر َج ِال َعلَْي ِه َّن َد َر َجةٌ َو‬
ُ‫اَّلل‬
ِ ‫أَرادوا إِص ََلحا وَهل َّن ِمثْل الَّ ِذي علَي ِه َّن ِابلْمعر‬
ُْ َ َْ ُ ُ َ ً ْ َُ
‫َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai saru
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”86

b. Q.S al-Baqarah (2): 234

86 Departemen Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h. 55. (Buku II)

145
Kapita Selekta Fiqh

‫ص َن ِِبَنْ ُف ِس ِه َّن أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا فَِإ َذا‬ ِ ِ َّ


ً ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو‬
ْ َّ‫اجا يَََرتب‬ َ ‫َوالذ‬
‫اَّللُ ِمبَا‬
َّ ‫وف َو‬ ِ ‫ب لَ ْغن أَجلَه َّن فَ ََل جنَاح علَي ُكم فِيما فَع ْلن ِِف أَنْ ُف ِس ِه َّن ِابلْمعر‬
ُْ َ َ َ َ ْ َْ َ ُ َُ َ َ
ٌ‫تَ ْع َملُو َن َخبِْي‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”87
c. Q.S ath-Thalaq (65) :4
‫الَلئِي‬
َّ ‫يض ِم ْن نِ َسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَ ْب تُ ْم فَعِ َّد ُِتُ َّن ثَََلثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو‬
ِ ‫الَلئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح‬ َّ ‫َو‬
‫اَّللَ ََْي َع ْل لَهُ ِم ْن‬
َّ ‫ض ْع َن ْحَْلَ ُه َّن َوَم ْن يَت َِّق‬ َ َ‫َجلُ ُه َّن أَ ْن ي‬ ِ ْ ‫ت ْاْل‬
َ ‫َْحَال أ‬ ُ ‫ض َن َوأُوََّل‬ ْ ‫َملْ َِحي‬
‫أ َْم ِرهِ يُ ْسًرا‬
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -
siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.”88
Perceraian karena alasan pelanggaran taklik talak, memiliki
akibat hukum terhadap masa iddah isteri. Bagi isteri-isteri yang
dicerai mati oleh suami mereka, maka mereka ber'iddah empat
bulan sepuluh hari. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid
lagi/monopause, maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan
begitu pula dengan isteri-isteri yang tidak haid. Dan perempuan-

87 Ibid
88 Ibid, h.930

146
Kapita Selekta Fiqh

perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai


mereka melahirkan kandungannya.
. Perceraian yang ditimbulkan oleh khulu’ memilki akibat
hukum tersendiri yaitu:
a. Terjadinya talak ba’in apabila ganti ruginya terpenuhi.
Apabila ganti ruginya tidak ada maka perceraian itu
menjadi talak biasa.
b. Menurut Jumhur Ulama suami yang mengkhulu’ tidak
berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddahnya,
tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa mantan suaminya
boleh mengawininya kembali dalam masa iddahnya. 89
c. Isteri tertalak satu kali (Penjelasan Hadits tentang Tsabit
Bin Qais yang mengkhuluk isterinya)
Berdasarkan beberapa uraian di atas, perundang-undangan
Indonesia juga mengulas mengenai akibat hukum perceraian yang
terjadi karena cerai talak dan cerai gugat. Semua hukum yang
diulas dalam perundang-undangan itu dipedomani dari al-Qur’an
dan ijtihad para ulama yang diramu dalam sebuah kumpulan
perundang-undangan Indonesia. Diantara perundang-undangan
yang mengatur hal di atas yakni PP no.9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU no.1/1974 tentang Perkawinan pasal 39 dan
Kompilasi Hukum Islam pasal 153

E. TAKLIK TALAK

1. Pengertian Taklik Talak


Taklik talak menurut bahasa merupakan lafaz yang terdiri
dari dua kata, yaitu kata taklik dan kata talak. Taklik berasal dari
bahasa Arab yaitu masdar dari kata ‫يعلِ ُق‬-‫‘( علق‬allaqa-yu’alliqu),
artinya penggantungan. 90
Sedangkan pengertian taklik talak secara istilah menurut
pendapat ulama berikut adalah:
a. Menurut Sayyid Sabiq

89 Abdul Aziz Dahlan, h. 934


90 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 272

147
Kapita Selekta Fiqh

‫ وهوماجعل الزوج فيه حصول الطَلق معلقا على شرط مثل أن‬: ‫وأما املعلقة‬
91
.‫ فأنت طالق‬,‫ إن ذهبت إىل مكان كذا‬:‫يقول الزوج لزوجته‬
”Adapun talak yang bergantung (Mu’allaq), yaitu suami di dalam
menjatuhkan talaknya digantungkan kepada sesuatu syarat,
umpamanya suami berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke
tempat si anu, maka engkau tertalak.
b. Menurut Sayuti Thalib: Taklik talak adalah suatu talak yang
digantungkan jatuhnya kepada terjadinya sesuatu hal yang
memang mungkin terjadi yang telah disebutkan terlebih
dahulu dalam suatu perjanjian /telah diperjanjikan lebih
dahulu. 92
c. Menurut Hamdani dalam bukunya Risalah Nikah: Taklik talak
adalah talak yang diucapkan suami dengan suatu syarat.
Misalnya suami berkata, ”jika saya pergi meninggalkanmu
lebih dari 2(dua) tahun maka engkau tertalak. 93

2. Dasar Hukum Taklik Talak


Keberadaan taklik talak di Indonesia sebagai salah satu
penyebab perceraian merupakan perkara yang mendominasi
maraknya perceraian di Indonesia. Oleh karena itu, keberadaannya
di Indonesia perlu mendapat perhatian serius dari para praktisi
hukum dan dikuatkan dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk menghadapi masalah tersebut, maka taklik talak yang
dijalankan di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat,
yakni:
1) Taklik Talak dilihat dari segi esensinya sebagai perjanjian
yang digantungkan kepada syarat dengan tujuan utamanya
melindungi isteri dari kemudharatan karena tindakan
sewenang-wenang suami, mempunyai landasan hukum
yang kuat, yaitu dalil-dalil dari kitab suci al-Qur'an dan

91Sayyid Sabiq,(Beirut), jilid II, op.cit, h.168


92 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1974), h..106
93 H.S.A.Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 190

148
Kapita Selekta Fiqh

telah pernah terjadi pada masa sahabat. Adapun dalil-dalil


itu yakni:
a) QS al-Baqarah(2) ayat 229:
‫ان َوََّل َِحي ُّل لَ ُك ْم أَ ْن َأتْ ُخ ُذوا ِِمَّا‬ٍ ‫وف أَو تَس ِريح ِبِِحس‬
َ ْ ٌ ْ ْ ‫اك مبَْع ُر‬
ٍ ِ ٌ ‫الطَََّل ُق مَّرََت ِن فَِإمس‬
َْ َ
ِ‫اَّلل‬
َّ ‫ود‬ ِ َّ ِ ِ َّ ِ َّ َِّ
َ ‫يما ُح ُد‬ َ ‫ود الله َفإ ْن خ ْفتُ ْم أََّل يُق‬ َ ‫يما ُح ُد‬
َ ‫وه َّن َشْي ئًا إَّل أَ ْن َخيَافَا أََّل يُق‬
ُ ‫ءَاتَ ْي تُ ُم‬
َِّ ‫فَ ََل جنَاح علَي ِهما فِيما افْ ت َدت بِِه تِلْك ح ُدود‬
َ ‫وها َوَم ْن يَتَ َع َّد ُح ُد‬
‫ود‬ َ ‫اَّلل فَ ََل تَ ْعتَ ُد‬ ُ ُ َ ْ َ َ َ َْ َ ُ
‫ك ُه ُم الظَّالِ ُمو َن‬ َِّ
َ ِ‫اَّلل فَأُولَئ‬
”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya kahwatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri utuk menbus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah,
maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang zalim.94
2) Taklik Talak sebagai alasan perceraian telah melembaga
dalam hukum Islam sejak lama, sejak zaman sahabat.
3) Substansi sighat Taklik Talak yang ditetapkan oleh
Menteri Agama Repuplik Indonesia terakhir dengan
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1990
dipandang telah cukup memadai, baik jika dipandang dari
asas hukum Islam atau pun jiwa Undang-Undang
Perkawinan.
4). Lembaga Taklik Talak di Indonesia secara yuridis formal
telah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda, berdasarkan
Staatsblad 1882 Nomor 152 sampai setelah merdeka
menjelang diundangkannya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 bahkan sampai menjelang diundangkannya

94Departemen Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h.55. (Buku II)

149
Kapita Selekta Fiqh

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan termuat pula


dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam pasal 45 menyatakan:
“Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk:
1) Taklik talak, dan
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
Pasal 46 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lebih lanjut:
1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum
Islam.
2) Apabila taklik talak yang diisyaratkan dalam taklik talak
betul-betul terjadi kemudian, tidak sendirinya talak jatuh,
isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan
Agama.
3) Perjanjian Taklik talak bukanlah perjanjian yang wajib
diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik
talak telah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.95
Substansi taklik talak menurut Kompilasi Hukum Islam
dapat dilihat dari dua segi, yaitu sebagai perjanjian perkawinan
dan sebagai alasan perceraian. Jika dilihat dari sistematika
penyusunan Kompilasi, nampaknya KHI lebih menitikberatkan
eksistensinya sebagai perjanjian perkawinan. Hal ini dapat
dilihat dari pemuatannya dalam KHI pasal 45 dan 46 di atas
tentang Putusnya Perkawinan. 96

3. Bentuk-Bentuk Taklik Talak dan Syarat-Syarat Taklik


Talak.
Menurut ketentuan ilmu Fikih, pengucapan taklik talak
hukumnya jaiz, artinya diperbolehkan, tidak diwajibkan ataupun
dilarang. Dalam pelaksanaannya, taklik talak memiliki bentuk-
bentuk dan syarat-syarat tersendiri yang membedakannya dengan
alasan-alasan perceraian lain. Bentuk-bentuk taklik talak dilihat
dari segi kalimatnya digolongkan kepada dua bentuk, yaitu:

95 Departemen Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h. 33. (Buku I)


96 Abdul Manan, op.cit, h. 248. (Buku II)

150
Kapita Selekta Fiqh

a. Taklik Qasami adalah taklik dimaksudkan seperti janji, karena


mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau
meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.
Taklik qasami ini disebut juga dengan sumpah. Seperti seorang
suami berkata kepada isterinya: ”Jika aku keluar rumah maka
engkau tertalak.” Maksudnya suami melarang isteri keluar
ketika dia keluar, bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan
talak.
b. Taklik Syarthiy yaitu taklik yang dimaksudkan untuk
menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syarat. Taklik ini
disebut dengan taklik bersyarat. Seperti suami berkata kepada
isterinya : Jika engkau membebaskan aku dari membayar sisa
maharmu, maka engkau tertalak.97

Melihat dua bentuk taklik talak di atas, sudah jelas antara


keduanya terdapat perbedaan. Taklik qasami bertujuan untuk
memberikan pelajaran, mendidik isteri atau mencegah melakukan
perbuatan yang tidak diingini. Karena dalam perbuatan ini talak
hanya bertujuan sebagai bahan ajaran, didikan atau alat untuk
mencegah isteri melakukan perbuatan yang tidak diingini.
Maka dalam palaksanaannya ketika suami menjatuhkan
talak, talak bukanlah tujuan suami. Sehingga akibat dari talak itu
tidak berlaku/jatuh. Sedangkan taklik talak syarti memang
bertujuan untuk menjatuhkan talak. Sehingga apabila syarat yang
dimaksud telah terpenuhi, maka talak dipandang jatuh/sah. Hal
inilah yang dimaksud dengan talak yang digantungkan. Talak
yang diucapkan seketika waktu akan berlaku apabila syarat telah
terpenuhi.
Taklik talak sebagai sebuah salah satu perjanjian
perkawinan baru berlaku apabila syarat sahnya telah terpenuhi.
Syarat sah taklik talak ada dua yaitu:
a. Perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi kemudian. Jika
perkaranya telah nyata ada dan sungguh-sungguh ketika
diucapkan seperti: Jika matahari terbit, maka engkau tertalak.
Sedang kenyataannya matahari sudah nyata terbit, maka
ucapan yang seperti ini digolongkan tanjiz (seketika berlaku),

97 Sayyid Sabiq, h. 37

151
Kapita Selekta Fiqh

sekalipun diucapkan dalam bentuk ta’lik. Jika takliknya kepada


hal yang mustahil, maka hal ini dipandang main-main.
Umpamanya: Jika ada onta yang masuk lobang jarum, maka
engkau tertalak.
b. Ketika terjadinya perkara yang dita’likkan, isteri berada dalam
pemeliharaan suami.
Berdasarkan syarat-syarat taklik talak di atas, dapat
diketahui bahwa taklik talak akan berlaku apabila syarat-
syaratnya telah terpenuhi. Talak itu harus berupa kalimat yang
masuk akal dan mungkin terjadi. Baik berupa talak yang tanjiz
(langsung terjadi) ataupun berupa taklik talak yang digantungkan
. Menurut Ibnu Hazm, baik taklik qasami maupun taklik syarti
tidak sah dan ucapannya tidak mempunyai akibat apa-apa.
Alasannya karena Allah telah mengatur secara jelas mengenai
talak. Sedangkan taklik talak tidak ada tuntunannya dalam al-
Qur’an. Seperti firman Allah QS al-Thalaq(65): 1
َِّ ‫ومن ي ت ع َّد ح ُدود‬
ُ‫اَّلل فَ َق ْد ظَلَ َم نَ ْف َسه‬ َ ُ َ ََ ْ َ َ
”Dan barang siapa yang melanggar hukum Allah, maka
sesungguhnya ia telah menganiaya diri sendiri.”98
a. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim menguraikan lebih jauh,
bahwa Taklik qasamy yang mengandung maksud, tidak
mempunyai akibat jatuhnya talak. Faham ini dianut di
Mesir yang dimuat dalam pasal 2 Undang-undang Nomor
25 tahun 1929 yang berisi: ”Talak tidak tunai tidak terjadi
jika dengan talak tersebut yang dimaksud ialah menyuruh
berbuat sesuatu atau meninggalkannya semata-mata.”
Ketentuan yang sama juga dipakai di Sudan sejak Tahun
1935, dengan Maklumat Syar'i nomor 21. 99 Talak taklik
yang mengandung arti janji dipandang tidak berlaku, sedang
orang yang mengucapkannya wajib membayar kafarah
sumpah, jika yang dijanjikannya itu nyata terjadi, yaitu ia
harus membayar kafarah dengan memberi makan sepuluh

98 Departemen Agama Repuplik Indonesia, , h.945. (Buku II)


99Abdul Manan, , h. 280. (Buku II)

152
Kapita Selekta Fiqh

orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka. Dan jika


tidak dapat, maka ia wajib berpuasa tiga hari.100
b. Jumhur ulama, baik taklik qasami maupun taklik syarti
keduanya berlaku.

4. Mahmud Syaltut dalam bukunya Perbandingan Mazhab


menjelaskan, bahwa perceraian dengan perjanjian Taklik
Talak adalah jalan terbaik dalam melindungi kaum
wanita dari perbuatan tidak baik suami. Jika suami telah
mengadakan perjanjian Taklik Talak ketika akad nikah
dan bentuk perjanjian itu telah disepakti bersama, maka
perjanjian Taklik Talak itu dianggap sah untuk semua
bentuk Taklik.

5. Sejarah Taklik Talak di Indonesia


Mengenai sejarah taklik talak dan pelembagaannya di
Indonesia sudah dimulai dari perintah Sultan Agung
Hanyakrakusuma, raja Mataram (1554 Jawa-1630 Masehi). Taklik
itu disebut Taklek Janji Dalem, atau, ”taklek janjining ratu”,
artinya “taklik talak dalam kaitan dengan tugas negara”, yang
berbunyi: “Wahai penganten, dikau memperoleh Taklik Janji
Dalem; sewaktu-waktu dikau menambang (meninggalkan pergi)
isterimu bernama...............selama tujuh bulan perjalanan darat atau
menyeberang lautan dua tahun, kecuali dalam menjalankan tugas
negara, dan isterimu tidak rela sehingga mengajukan rapak
(menghadap) ke pengadilan hukum, setelah jelas dalam
pemeriksaannya, maka jatuhlah talakmu satu. “
Taklik ini tidak dibaca oleh penganten pria , tetapi
diucapkan oleh Penghulu Naib dan cukup dijawab dengan:
Hinggih sendika (Saya bersedia). Bentuk itu dulu berlaku di
daerah Surakarta sampai masa menjelang kemerdekaan. 101

100 Sayyid Sabiq, alih bahasa,,, h.39


101 Mimbar Hukum no.30, oleh Zaini Ahmad Noeh,”Pembacaan Sighat
Taklik Talak Setelah Akad Nikah”, Jurnal Mimbar Hukum,op.cit, h.67. Yang
diambil dari buku karangan Mohd. Adnan, Mardi Kintoko, Tata cara Islam,
(Surakarta: penerbit tidak ada, 1924), h. 70

153
Kapita Selekta Fiqh

Dalam ketentuan Ilmu Fikih, ditegaskan bahwa talak satu


dan talak dua bersifat Raj’i, artinya “dengan talak satu dan dua ,
seorang suami berhak untuk merujuk isterinya yang ditalak itu
selama masa iddah”. Ini berarti upaya isteri untuk bercerai
menjadi sia-sia. Maka untuk menjamin agar jatuhnya talak karena
taklik itu menjadi Talak Bai’n, yakni “bekas suami tidak dapat
merujuk isterinya , kecuali dengan akad nikah baru”. Oleh para
ulama disarankan agar dalam sighat akad ditambahkan dengan
ketentuan tentang iwadl, yakni uang pengganti. Dengan
pembayaran Iwadl, jatuhnya talak karena taklik menjadi Talak
Khulu’i (verstootingskoop-Belanda) atau Talak Ba’in. Maka suami
yang mempunyai niat buruk tidak dapat serta merta merujuk
bekas isterinya, yang selama itu telah menderita akibat perbuatan
suami dan bersusah payah mengupayakan perceraian di hadapan
pengadilan.
a. Tentang Rumusan Perjanjian Taklik Talak.
Dalam fakta yuridis yang dihimpun dapat diketahui
bahwa sejak tahun 1940 sampai sekarang, rumusan sighat
Taklik Talak telah mengalami beberapa kali perubahan,
seperti:
1) Suami meninggalkan isteri, atau;
2) Suami tidak memberi nafkah kepada isteri, atau;
3) Suami menyakiti isteri, atau;
4) Suami membiarkan, tidak (memperdulikan) isteri;
5) Isteri tidak ridha;
6) Isteri mengadukan halnya kepada Pengadilan;
7) Pengaduan isteri diterima oleh Pengadilan;
8) Isteri membayar uang iwadh;
9) Jatuhnya talak suami (talak satu) kepada isteri;
10) Uang iwadh oleh suami diterimakan (diserahkan)
kepada Pengadilan untuk selanjutnya diserahkan
kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah sosial.

Perubahan tersebut dapat ditunjukkan misalnya pada


rumusan ayat (3) sighat taklik talak. Pada rumusan Tahun
1950 disebutkan ”atau saya menyakiti isteri saya itu dengan
memukul”, sehingga semua pengertiannya dibatasi pada
154
Kapita Selekta Fiqh

memukul saja. Sedang pada sighat tahun 1956 tidak dibatasi


dengan memukul, sehingga perbuatan yang dapat
dikategorikan menyakiti badan jasmani misalnya
menendang, mendorong sampai jatuh, menjambak rambut
dan sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian karena
terpenuhinya syarat taklik (faktor perlindungan terhadap
isteri).
Dalam praktek Peradilan Agama, penafsiran
terhadap ayat (1) dan ayat (4) sighat taklik terdapat
berbagai pendapat. Sebagian Hakim Pengadilan Agama
mengartikan kata "meninggalkan" bahwa suami tidak
jelas alamatnya tetapi pergi jauh dari tempat tinggal
bersama. Sedangkan kata "membiarkan” diartikan bahwa
suami dapat diketahui alamatnya tetapi tidak mau
kembali ke tempat isterinya dan ia acuh tak acuh serta
tidak memperdulikannya sama sekali terhadap isterinya
itu.
Abdul Manan, yang di tahun 1995 menjabat
sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu
berpendapat bahwa untuk menafsirkan rumusan kata
meninggalkan ini kiranya relevan jika dipakai analogi
(qiyas) terhadap pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, sehingga rumusan meninggalkan
berarti meninggalkan tempat kediaman bersama,
sebagai yang dimaksud dalam pasa1 32 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974:
a) Suami isteri harus mempunyai tempat tinggal yang
tetap ;
b) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Sedang rumusan kata membiarkan sepadan dengan
tidak memperdulikan, tidak memelihara baik-baik. Maka
dapat dipakai analogi (qiyas) terhadap pasal 34 ayat (3)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni jika suami
atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Rumusan ayat (4)
sighat Taklik substansinya terletak pada : suami tidak
memperdulikan hak-hak isteri, sehingga dalam rumusan

155
Kapita Selekta Fiqh

tersebut lebih mendekati pada pengertian melalaikan


kewajiban dalam pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Perkawinan daripada jika diterapkan pasa1 19 huruf e
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yakni : tidak
dapat melaksanakan kewajiban. 102
Pendapat yang mengatakan bahwa sighat taklik itu
harus diberi arti sesuai dengan jiwa tasyrik (hakekat
syar'iyah) dan oleh karena itu harus dilihat secara
kasuistik. Terhadap hal ini mereka mengemukakan alasan
sebagai berikut :
a. Ka'idah fiqhiyah yang berbunyi :
. ‫ب ِاب الش َّْر ِط‬
َ ‫لى َم ا َو َج‬
ِ ِ ‫م ا ثَي‬
َ َ‫ت اب لش َّْرع ى ُم َق دَّمٌ ع‬
ََ َ
"Apa yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan
dari pada wajib menurut syarat". 103
Berdasarkan kaidah ini, dapat diketahui bahwa
segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’ harus
didahulukan dalam pelaksanaan/penggunaan
dibanding dengan syara’-syara’ yang dibuat oleh
manusia. Semua ketetapan syara’ itu harus
didahulukan dari pada Undang-Undang yang dibuat
oleh manusia.
Dalam kaitannya dengan taklik talak, maka
syarat taklik yang diperjanjikan oleh para pihak (suami
terhadap isteri) adalah merupakan sumber hukum yang
mengikat terhadap para pihak tersebut. Namun
sumber hukum ini harus didudukkan dalam urutan di
bawah nash qath'i. Bahwa isteri taat kepada suami
adalah ketetapan syara' yang telah jelas. Banyak dalil
nash tentang hal ini, antara lain surat al-Baqarah (2):
228,
َّ ‫َولِ ِلر َج ِال َعلَْي ِه َّن َد َر َجةٌ َو‬
‫اَّللُ َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم‬

102Abdul Manan, op.cit, h. 281. (Buku II)


103Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), h.160

156
Kapita Selekta Fiqh

.....” Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan


kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”104
QS An-Nisa (4) : 34.
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬
‫ض‬ َ ‫اَّللُ بَ ْع‬
َّ ‫َّل‬ ِِ ِ ِ
َ ‫ال قَ َّو ُامو َن َعلَى الن َساء مبَا فَض‬
ُ ‫الر َج‬
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki -
laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”.... 105
b. Berkaitan dengan substansi maksud dari si suami
mengucapkan sighat taklik talak.
Bahwa rumusan sighat taklik yang ditetapkan
oleh Menteri Agama dalam Peraturan Menteri Agama
Nomor 2 Tahun 1990 dilandasi maksud untuk
terselenggaranya mu'asyarah bil ma'ruf yang dimotivasi
dengan syarat taklik (meninggalkan dan membiarkan),
maka dalam hal ini talak tidak jatuh, karena motivasi
dan i'tikad baik harus memperoleh perlindungan hukum.
c. Berdasarkan qa'idah fiqhiyah :
ِ ‫اْلُروج ِاب لضَّم‬
‫ان‬ َ ُ ُْ
”Hak mendapatkan hasil itu karena ada keharusan
mengganti kerugian.” 106
Bahwa hak itu dilengkapi dengan kewajiban.
Dalam hubungan dengan taklik talak maka isteri yang
berhak atas perlakuan mu'syarah bil ma'ruf dari suami
harus dilihat seberapa jauh ia menunaikan kewajibannya
sebagai isteri (sebagai ketetapan syar'i). Dengan kata
lain nusyuznya isteri merupakan sikap yang dapat
menggugurkan kewajiban perlakuan ma’ruf dari suami
(sebagai ketetapan syar'i).
d. Mashalihul mursalah dapat ditetapkan dalam hal ini.

104 Departemen Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h. 55. (Buku II)


105 Ibid, h.123
106 Imam Musbikin, op.cit, h. 135

157
Kapita Selekta Fiqh

Tanpa taklik talak yang berjiwa tasyrik, maka


dalam keadaan sosial dengan akhlak yang rendah, orang
dengan mudahnya menceraikan pasangan hidupnya
melalui jalan perjanjian taklik talak dengan perbuatan
yang sekecil-kecilnya sampai dengan sebesar-besarnya
dan fiqh harus dapat memberikan jalan keluarnya.
e. Para praktisi hukum Islam dalam dunia peradilan
khususnya.
Sebagian ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zahiriyah dan juga
Undang-undang Mesir Nomor 25 Tahun 1992 setuju
kalau taklik talak harus diberi arti sesuai dengan jiwa
tasyrik. 107
Dengan memperhatikan alasan-alasan tersebut di
atas, maka pendapat yang tepat dewasa ini adalah
pendapat yang kedua karena telah didukung oleh
ketetapan Menteri Agama. Oleh karena itu maka sighat
taklik talak harus diberi arti sesuai maksud syari'at
(hakekat syar'iyah) bukan dengan interpretasi gramatikal
(hakekat lughawiyah) semata dan harus sejalan dengan
dalil-dalil ilmu ushul fiqh. Sehingga tujuan untuk
melindungi perempuan terlaksana.
Abdurrahman al Jaziri sebagaimana yang dikutip
oleh Abdul Manan dalam artikelnya ”Masalah Taklik Talak
Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”, mengemukakan
bahwa pendapat yang masyhur di kalangan fuqaha
mutaakhirin mengenai nafkah isteri ini, di samping
meliputi nafkah dalam arti sempit (makanan dan minuman)
juga termasuk kiswah (pakaian) dan maskan (tempat
tinggal).
Sedangkan Muhammad Zakaria Al-Bardasy dalam
kutipan yang sama mengemukakan antara lain bahwa
(tentang nafkah isteri) sebagian dari hak-hak yang wajib
dipenuhi suami terhadap isterinya adalah nafkah, yakni :
apa yang dibutuhkan oleh isteri meliputi makanan, pakaian,

107 Mimbar Hukum, no 23, op.cit, h. 79

158
Kapita Selekta Fiqh

tempat tinggal, tutup kepala, obat-obatan,


khadim/pembantu dan lain-lain yang lazim baginya. 108
Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 menentukan
tentang kewajiban suami terhadap isteri yang salah
satunya menentukan tentang nafkah yang harus ia
tanggung, antara lain sebagai berikut :
(a) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah
tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami
isteri bersama.
(b) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya.
(c) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
isterinya dan memberikan kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,
nusa dan bangsa.
(d) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. Biaya
rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi isteri dan anak dan biaya pendidikan bagi anak.109
d. Tentang Rumusan Menyakiti Badan/Jasmani Isteri.
Rumusan ayat (3) sighat taklik talak berbunyi : " Atau
saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu ". Mengenai
pernyataan ini dibutuhkan penjelasan tentang perbuatan apa
saja dan kadar sakit yang bagaimana yang dapat
dikategorikan menyakiti badan/jasmani.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyakiti
berasal dari kata sakit, yang diberi awal men- dan akhiran i.
Pengertian menyakiti adalah sebagai berikut menyebabkan
orang terasa sakit, menyengsarakan, merundung, sakit hati,
melukai hati, menyakiti diri, bekerja (berusaha) dengan tidak
mengenal lelah, mengusahakan dirinya dengan keras.

108 Abdul Manan, op.cit, h.285. (Buku II)


109 Departemen Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h. 47. (Buku I)

159
Kapita Selekta Fiqh

Sedang arti kata "sakit" adalah : merasa tidak nyaman


pada tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu. 110
Alasan perceraian yang sejenis dengan ayat (3) dari
sighat Taklik Talak ini ialah pasal l9 Peraturan Pemerintah
Tahun 1975, yaitu: ”Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain”.
Menurut M. Yahya Harahap, pasal 19 huruf d Peraturan
Pemerintah Tahun 1975 tersebut pada dasarnya unsur-
unsur menyakiti dapat berupa, penganiayaan fisik dan
mental (mental cruelty), yang membahayakan kehidupan
jasmani atau menyengsarakan jiwa/rohani.
Kata ”wa'asyiruhunna bil ma'ruf”, dalam masalah ini
harus benar-benar diteliti. Karena hal ini berkaitan erat
dengan ketentuan dalam surat an-Nisa' ayat 34 tentang
ta'dib ( pemberian pelajaran terhadap isteri) sebagai berikut
:
ِ ‫الَلِِت َُتافُو َن نُشوزه َّن فَعِظُوه َّن واهجروه َّن ِِف الْمض‬
ُ ُ‫اض ِرب‬
‫وه َّن‬ ْ ‫اج ِع َو‬ َ َ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ َ َّ ‫َو‬
”Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka, dan pisahkan dari tempat tidur mereka
dan pukullah mereka”. 111
Dalam kaedah fiqhiyah alasan pembenaran itu
merupakan ketetapan nash yang tidak boleh disimpangi
oleh perjanjian pihak-pihak dalam taklik talak. Oleh karena
adanya hierarki sumber hukum dalam syari'at Islam. Dalam
tafsir an-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh Abdul
Manan dalam artikelnya, Masalah Taklik Talak Dalam
Hukum Perkawinan di Indonesia, diterangkan bahwa : arti
”pukul mereka ", yakni sekiranya tindakan pemisahan dari
tempat tidur juga tidak mempan, maka pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak
merusak kecantikan tubuh mereka (isteri-isteri).
Akibat Hukum Taklik Talak Terhadap Masa Iddah.

110 Kamus Besar Bahasa Indonesia, op,cit, h. 980


111 Departemen Agama Repuplik Indonesia, op.cit, h. 123 (Buku II)

160
Kapita Selekta Fiqh

Jika terjadi perceraian antara suami isteri, baik karena cerai


gugat maupun cerai talak, biasanya akan timbul masalah sekitar
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri selama ditinggal,
nafkah iddah dan harta bersama. Namun akibat hukum perceraian
karena pelanggaran taklik talak akan menimbulkan akibat hukum
tersendiri terhadap masa iddah isteri. Hal ini dijelaskan dalam al-
Qur’an sebagai rujukan pertama umat Islam, yakni:
1. Q.S al-Baqarah (2) : 228
ٍ ‫والْمطَلَّ َقات يرتبَّصن ِِبَنْ ُف ِس ِه َّن ثَََلثَةَ قُر‬
‫وء َوََّل َِحي ُّل َهلُ َّن أَ ْن يَكْتُ ْم َن َما َخلَ َق‬ ُ َ ْ َََ ُ ُ َ
ِ ِ
‫َح ُّق بَِرده َّن ِِف‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫اَّللُ ِِف أ َْر َحام ِه َّن إِ ْن ُك َّن يُ ْؤم َّن ِاب ََّّلل َوالْيَ ْوم ْاَلخ ِر َوبُعُولَتُ ُه َّن أ‬
َّ
ِ
ْ ِ‫ك إِ ْن أ ََر ُادوا إ‬
‫ص ََل ًحا‬ َ ‫ذَل‬
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru', tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf.”112
2. Q.S al-Baqarah (2): 234
‫ص َن ِِبَنْ ُف ِس ِه َّن أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا‬ ِ ِ َّ
ً ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو‬
ْ َّ‫اجا يَََرتب‬ َ ‫َوالذ‬
‫وف‬ِ ‫فَِإ َذا ب لَ ْغن أَجلَه َّن فَ ََل جنَاح علَي ُكم فِيما فَعلْن ِِف أَنْ ُف ِس ِه َّن ِابلْمعر‬
ُْ َ َ َ َ ْ َْ َ ُ َُ َ َ
ِ َّ ‫و‬
ٌ‫اَّللُ مبَا تَ ْع َملُو َن َخبِْي‬ َ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.”
3. Q.S ath-Thalaq (65) :4

112 Departemen Agama Repuplik Indonesia, h.55. (Buku II)

161
Kapita Selekta Fiqh

‫يض ِم ْن نِ َسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَ ْب تُ ْم فَعِ َّد ُِتُ َّن ثَََلثَةُ أَ ْش ُه ٍر‬


ِ ‫الَلئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح‬ َّ ‫َو‬
َّ ‫ض ْع َن ْحَْلَ ُه َّن َوَم ْن يَت َِّق‬
َ‫اَّلل‬ َ َ‫َجلُ ُه َّن أَ ْن ي‬ ِ ْ ‫ت ْاْل‬
َ ‫َْحَال أ‬ ُ ‫ض َن َوأُوََّل‬ ْ ‫الَلئِي َملْ َِحي‬ َّ ‫َو‬
‫ََْي َع ْل لَهُ ِم ْن أ َْم ِرهِ يُ ْسًرا‬
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya.”
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku
waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Waktu
tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla
al-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 hari.
c) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan.
d) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil , waktu tunggu yang
ditetapkan ialah sampai melahirkan.
Perceraian dengan taklik talak memiliki akibat hukum
terhadap masa iddah isteri. Isteri menjalani masa iddah yang
pelaksanaannya dilihat dari keadaan isteri. Apabila isteri yang
dicerai itu ba’da dukhul, maka isteri tidak menjalani masa
iddah. Sedangkan waktu tunggu bagi seorang janda yang
putus perkawinan karena kematian, walaupun qabla al-dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Apabila perkawinan putus

162
Kapita Selekta Fiqh

karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid


ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari
dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari. Apabila
perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan. Apabila perkawinan putus karena kematian,
sedang janda tersebut dalam keadaan hamil , waktu tunggu
yang ditetapkan ialah sampai melahirkan.

163
Kapita Selekta Fiqh

BAB FIQH KEWARISAN


IV

A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM KEWARISAN.

1. Pengertian Kewarisan Islam.


Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah
untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris ,
ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan penamaan ini
terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam
pembahasan. Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa
arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui,
memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu
sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-
sungguh. Daud Ali, seperti dikutip Amir Syarifudin menjelaskan
bahwa fiqh adalah memahami dan mengetahui wahyu (al-Qur’an
dan Hadis) dengan menggunakan penalaran akal dan metode
tertentu, sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil
secara rinci.1 Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat
122 sebagai berikut:
ِ ‫فَلَوََل نَ َفر ِمن ُك ِل فِرقٍَة ِمْن هم طَائَِفةٌ لِي ت َفقَّهوا ِِف‬
‫الدين‬ ُ ََ ُْ ْ ْ َ ْ
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama".2
Kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk
jamak dari miiraats yang berarti harta peninggalan yang diwarisi

1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam.( Jakarta. Kencana: 2005), Cet


Ke- III, hal.6.
2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV

Diponegoro, 2005). hal 187.

164
Kapita Selekta Fiqh

oleh ahli warisnya. Jadi, fiqh mawaris adalah salah satu disiplin
ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang
bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima
harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.3
Lafaz faraid merupakan jamak dari lafaz faridhah, yang
mengandung arti mafrudhah, yang sama artinya dengan
muqaddarah yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas.
Dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an,
lebih banyak terdapat bahagian yang ditentukan dibandingkan
bahagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini
dinamakan dengan faraidh. Dengan demikian penyebutan faraidh
didasarkan pada bahagian yang diterima oleh ahli waris.4 Dengan
demikian dapat dipahami ilmu faraidh adalah ilmu yang
membahas tentang bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli
waris dari harta peninggalan orang yang meninggal.
Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan,
dengan mengambil kata asal ‘waris’ dengan tambahan awal ‘ke’
dan akhiran ‘an’. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang
pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti
pertama mengandung makna “hal ihwal orang yang menerima
harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung makna “hal
ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup”.
Arti yang terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum.5
Penggunaan kata ‘hukum’ diawalnya mengandung arti
seperangkat aturan yang mengikat dan penggunaan kata Islam
dibelakang mengandung arti ‘dasar yang menjadi rujukan’.
Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam dapat diartikan
“Seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud
harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui
dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama
Islam”.6

3 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,( Jakarta. Sinar Grafika. 2009). hal. 5-7.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Ibid.

165
Kapita Selekta Fiqh
Kemudian Wahbah Zuhailiy memberikan pengertian
kewarisan dengan:
7 ‫ما خلفه امليت من اَلموال واحلقوق الىت يستحقها مبوته الوارث الشرعى‬
“Sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia baik
berupa harta maupun berupa hak-hak yang akan menjadi hak milik
ahli waris secara syar’i disebabkan oleh kematian tersebut”.
Selain kata mirats, waris juga dikenal dengan istilah faraidh
sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya
sebagai berikut:
‫ والفرض‬,‫ والفريضة مأخوذة من الفرض مبعىن التقدير‬,‫الفرائض مجع فريضة‬
8‫ع هوا النصيب املقدر للوارث‬‫ِف الشر‬
“Faraidh adalah jamak dari faridhah dan diambil dari kata faradh
yang artinya takdir (ketentuan), sedangkan fardh dalam istilah
syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris."

Sayyid ibnu Abu Bakar Mansyur dan Sayyid Bakri


mendefenisikannya dengan kalimat yang cukup singkat yaitu:
‫الفرائض لغة التقدير وشرعا هنا نصيب مقدر للوارث الفرائض لغة التقدير‬
‫وشرعا هنا نصيب مقدر للوارث‬
“Faraidh menurut lughot (bahasa) adalah ketentuan, sedangkan
menurut syara’ (faraidh) di sini adalah bagian yang telah ditentukan
untuk ahli waris”.9

Berbicara masalah kewarisan dalam bahasa Indonesia belum


ada istilah yang sama, ada yang menggunakan istilah fiqih
mawaris, hukum kewarisan Islam, ilmu faraidh dan sebagainya.

7Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,

1989), Juz. 8, Cet. Ke-3, hal. 243


8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, [t.th]), hal. 424
9Sayyid ibnu Abu Bakar Mansur dan Sayyid Bakri, ‘Ianat al-Thalibin,

(Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.th), Juz. III, hal. 224

166
Kapita Selekta Fiqh

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 point a disebutkan


bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.10
Amir Syarifuddin juga memberikan pengertian tentang
hukum kewarisan dengan seperangkat ketentuan yang mengatur
cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal
dunia kepada orang yang masih hidup, yang ketentuan-ketentuan
tersebut berdasarkan kepada wahyu Ilahi yang terdapat di dalam
al-Quran dan penjelasan yang diberikan oleh nabi Muhammad
saw, dalam istilah bahasa Arab disebut dengan faraidh11

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam.


Hukum waris Islam sangat kokoh kedudukannya dalam
ajaran agama Islam, karena mempunyai sumber dan dasar hukum
yang kuat. Sumber dan dasar hukum tersebut adalah al-Quran,
Hadits. Dan juga bisa juga dipedomani berdasarkan pada pendapat
para sahabat Rasulullah Saw., dan pendapat ahli hukum Islam, dan
Per-Undang-Undangan atau Kompilasi Hukum Islam,.12

a. Al-Quran
Banyak sekali ayat al-Quran yang menjelaskan tentang
kewarisan, baik berupa penjelasan langsung maupun secara tidak
langsung. Di antaranya terdapat di dalam surat al-Nisa ayat 7, 11,
12, 34 dan ayat 176. :

a. Surat an-Nisa’ ayat 7.


‫يب ِِمَّا تَ َرَك الْ َوالِ َد ِان‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫ص‬ ِ ِ ِ
ٌ َ‫ل ِلر َجال ن‬
ٌ ‫يب ِمَّا تَ َرَك الْ َوال َدان َو ْاْلَقْ َربُو َن َوللن َساء نَص‬
‫وضا‬
ً ‫صيبًا َم ْف ُر‬ ِ َ‫و ْاْلَقْ ربو َن ِِمَّا قَ َّل ِمْنه أَو َكثُر ن‬
َ ْ ُ َُ َ
10Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999), hal. 81


11Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan

Adat Minangkabau, (Jakarta : PT. Gunung Agung , 1984), hal. 3


12 Zainuddin Ali. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia.(Jakarta: Sinar

Grafika.2008) Cet ke-I. hal. 33.

167
Kapita Selekta Fiqh

"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan


ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.13

Seorang yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan


mempunyai hak terhadap harta peninggalan yang ditinggal mati
kedua orang tuanya dan kerabatnya. Mengenai bahagian yang
diterima laki-laki dan perempuan berdasarkan kepada bahagian
yang telah Allah tetapkan, yaitu bahagian laki-laki adalah dua kali
bahagian perempuan.

b. Surat An-Nisa’ ayat 11.


ِ ْ َ‫ْي فَِإ ْن ُك َّن نِساء فَ ْو َق اثْنَ ت‬
‫ْي‬ ِ ْ َ‫لذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاْلُنْثَي‬ َّ ِ‫اَّللُ ِِف أ َْوََل ِد ُكم ل‬
َّ ‫وصي ُك ُم‬ ِ ‫ي‬
ُ
ًَ ُ ْ
ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ف َوِْلَبَ َويْه ل ُك ِل َواحد مْن ُه َما‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫ت َواح َد ًة فَلَ َها الن‬ ْ َ‫فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما تََرَك َوإِ ْن َكان‬
ِ ‫السد‬
‫ث‬ُ ُ‫س ِمَّا تَ َرَك إِ ْن َكا َن لَهُ َولَ ٌد فَِإ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َوَوِرثَهُ أَبَ َواهُ فَِِل ُِم ِه الثُّل‬ ُ ُ ُّ
‫وصي ِِبَا أ َْو َديْ ٍن ءَ َاَب ُؤُك ْم‬ ِ ‫الس ُدس ِمن ب ع ِد و ِصيَّ ٍة ي‬ ِِ ِ
ُ َ ْ َ ْ ُ ُّ ‫فَِإ ْن َكا َن لَهُ إِ ْخ َوةٌ فَِلُمه‬
ِ َّ ‫اَّللِ إِ َّن‬َّ ‫يضةً ِم َن‬
‫يما‬
ً ‫اَّللَ َكا َن َعل‬ َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًعا فَ ِر‬ ُ ‫َوأَبْنَا ُؤُك ْم ََل تَ ْد ُرو َن أَيُّ ُه ْم أَقْ َر‬
‫يما‬ ِ
ً ‫َحك‬
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat

13
Departemen Agama RI. Op. Cit. hal 71.

168
Kapita Selekta Fiqh

sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,


Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.14
c. Surat an-Nisa’ Ayat 12:
‫اج ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلُ َّن َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن ََلُ َّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬ ِ
ُ ‫ف َما تَ َرَك أ َْزَو‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫َولَ ُك ْم ن‬
ِ ُّ ‫وصْي ِِبا أَو دي ٍن وََل َّن‬ ِ ٍِ ِ ِ ِ ُّ
ْ‫الربُ ُع ِمَّا تََرْكتُ ْم إِ ْن ََل‬ ُ َ ْ َ ْ َ َ ُ‫الربُ ُع ِمَّا تََرْك َن م ْن بَ ْعد َوصيَّة ي‬
ٍِ ِ ِ ِ
‫وصو َن‬ ُ ُ‫يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُُّم ُن ِمَّا تَ َرْكتُ ْم م ْن بَ ْعد َوصيَّة ت‬
‫اح ٍد‬ ِ ‫َخ أَو أُخت فَلِ ُك ِل و‬
َ ٌ ْ ْ ٌ ‫ث َك ََللَةً أَ ِو ْامَرأَةٌ َولَهُ أ‬ ُ ‫ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َوإِ ْن َكا َن َر ُج ٌل يُ َور‬
‫ث ِم ْن بَ ْع ِد َو ِصيَّ ٍة‬ ِ ُ‫ك فَهم ُشرَكاء ِِف الثُّل‬ ِ ِ
ُ َ ْ ُ َ ‫س فَإ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر م ْن َذل‬
ِ ‫الس ُد‬
ُ ُّ ‫مْن ُه َما‬
ِ
. ‫اَّللُ َعلِ ٌيم َحلِ ٌيم‬
َّ ‫اَّللِ َو‬
َّ ‫ار َو ِصيَّةً ِم َن‬ ٍ‫ض‬ ِ
َ ‫وصى ِبَا أ َْو َديْ ٍن َغ ْ َْي ُم‬ َ ُ‫ي‬
”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mem-
punyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika sese-
orang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-

14 Ibid. hal 72.

169
Kapita Selekta Fiqh
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari`at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

d. Surat an-Nisa’ Ayat 33:


‫وه ْم‬ ِ َّ ِ ِ ِ ِ‫ولِ ُك ٍل جعلْنا مو‬
ُ ُ‫ت أَْْيَانُ ُك ْم فَآت‬
ْ ‫ين َع َق َد‬
َ ‫اِل ِمَّا تَ َرَك الْ َوال َدان َو ْاْلَقْ َربُو َن َوالذ‬
َ ََ َ َ َ َ
ٍ ِ َ‫ن‬
َّ ‫صيبَ ُه ْم إِ َّن‬
‫يدا‬ً ‫اَّللَ َكا َن َعلَى ُك ِل َش ْيء َش ِه‬
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.
dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia
dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.15

e. Firman Allah Swt., dalam surat al-Nisa ayat 176:


‫ت‬ٌ ‫ُخ‬ ْ ‫س لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أ‬ َ ‫ك لَْي‬ َ َ‫اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم ِِف الْ َك ََللَِة إِ ِن ْام ُرٌؤ َهل‬
َّ ‫ك قُ ِل‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫ْي فَلَ ُه َما‬ِ ْ َ‫ف َما تَرَك وُهو يَ ِرثُ َها إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلَا ولَ ٌد فَِإ ْن َكانَتَا اثْنَت‬ ِ
َ َ َ َ ُ ‫ص‬ ْ ‫فَلَ َها ن‬
ُ َِ‫ْي يُب‬
‫ْي‬ ِ ْ َ‫لذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاْلُنْثَي‬ َّ ِ‫ان ِِمَّا تَرَك وإِ ْن َكانُوا إِ ْخوًة ِر َج ًاَل ونِساء فَل‬ ِ َ‫الثُّلُث‬
ُ ًَ َ َ َ َ
.‫اَّللُ بِ ُك ِل َش ْي ٍء َعلِ ٌيم‬
َّ ‫ضلُّوا َو‬ ِ َ‫اَّلل لَ ُكم أَ ْن ت‬
ْ َُّ
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara-
nya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan-
nya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan

15 Ibid. hal 76.

170
Kapita Selekta Fiqh

jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki


dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Nisa: 176)

Ayat di atas menjelaskan permasalahan kalalah artinya ahli


waris tidak meninggalkan anak dan mempunyai seorang saudara
perempuan, maka bagian saudara perempuan adalah seperdua dari
harta yang ditinggalkan. Akan tetapi jika saudara perempuan dua
orang maka bagiannya adalah dua pertiga dari harta warisan yang
ditinggalkan. Jika ahli warisnya terdiri dari saudara laki-laki dan
saudara perempuan maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua orang saudara perempuan.
Sedangkan hadis Rasulullah Saw. yang berkenaan dengan
kewarisan adalah :
Hadist riwayat dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah Saw.
Bersabda:
‫ حدثنا حممد بن عمرو‬،‫ حدثنا أيب‬،‫حدثنا سعيد بن حيىي بن سعيد اَل موي‬
‫ من‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ قال‬،‫ عن أيب هريرة‬، ‫حدثنا أبو سلمة‬
) ‫ (رواه الرتمذي‬.‫فإِل‬،‫ ومن ترك ضياعا‬، ‫ فِل هله‬،‫ترك ماَل‬
“Sa’id bin Yahya bin Sa’id al-Umawi menceritakan kepada kami,
bapakku menceritakan kepada kami, Muhammad bin Amr
menceritakan kepada kami, Abu Salamah menceritakan kepada kami,
dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa
yang meninggalkan harta karena meninggal dunia, maka harta itu
untuk keluarganya. Tapi siapa yang meninggalkan keluarga yang
tidak memiliki apapun karena meninggal dunia, maka mereka
menjadi tanggunganku.”(Hadist riwayat Turmidzi).16
Hadits dari Ibnu Abbas menurut riwayat Bukhari dan Muslim:

16 Muhammad Nashiruddin al-Albani. Terjemahan Shahih Sunan At-

Tirmidzi, Penerjemah Fahkrurrazi. ( Jakarta: Pustaka Azzam. 2006.) Cet Ke-I. hal.
168.

171
Kapita Selekta Fiqh

‫اَّللُ َعلَْي ِه‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َّ ‫اس َر ِض َي‬ ٍ َّ‫يث ابْ ِن َعب‬ ُ ‫َح ِد‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬: ‫ال‬ َ َ‫اَّللُ َعْن ُه َما ق‬
17)‫ر (متفق عليه‬ ٍ ‫ض ِِب َْهلِ َها فَ َما بَِقي فَ ُهو ِْل َْوََل َر ُج ٍل ذَ َك‬ ِ ِْ ‫وسلَّم أ‬
َ ‫َحل ُقوا الْ َفَرائ‬
َ َ َ ََ
"Dari Ibnu Abbas r.a berkata: Nabi Muhammad saw, bersabda:
“Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak.
Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki melalui garis laki-laki".
(HR. Mutafaqun'alaih)

Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Daud, at-


Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad:

‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ‫َع ْن َجابِ ٍر ق‬


َّ ‫صلَّى‬ َ ‫ َجاءَت ْامَرأَةُ َس ْعد بْ ِن الَّربِْي ِع ا ََل َر ُسول هللا‬: ‫ال‬
َّ ‫ َها ََت ِن ابْنَ تَا َس ْع ِد بْ ِن‬,ِ‫ول هللا‬
‫الربِْي ِع قَتَ َل اَبُ ْو ُُهَا‬ َ ‫ ََي َر ُس‬:‫ت‬ ٍ ِ
ْ َ‫َِببْنَ تَ ْي َها م ْن َس ْعد فَ َقال‬
‫ َوََل‬,‫ َواِ َّن َع َّم ُه َما اَ َخ َذ َما ََلَُما فَلَ ْم يَ َد ْع ََلَُما َم ًاَل‬.‫ك ِِف اُ ُح ٍد َش ِهْي ًدا‬ َ ‫َم َع‬
ِ ‫ت اَيةُ الْموا ِري‬ ِ ِ ‫ ي ْق‬:‫ال‬ ٍ ِ ِ ِ
‫ول‬
ُ ‫ فَاَْر َس َل َر ُس‬.‫ث‬ ْ َ َ َ ْ َ‫ فَنَ َزل‬,‫ك‬ َ ‫ضى هللاُِ ِف ذَل‬ َ َ ‫ فَ َق‬.‫يَْنك َحانِ َّاَل مبَال‬
‫ْي َواَُّم ُه َما الث ُُّم َن‬ِ ْ َ‫ اَ ْع ِط ابْنَ ََت َس ْع ِد الثُّلُث‬:‫اَّللُ َعلَْي ِه و َسلَّم اِ ََل َع ِم ِهما فَ َق َال‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ
َ ‫اَّلل‬
ْ َ َ َ
18) ‫ (رواه اخلمسة اَل النسائى‬.‫قى ف هولك‬ ِ
َ َ َ ُ َ َ َ‫َوَما ب‬
“Dari Jabir, dia berkata: Istri Sa’ad ibn Rabi’ datang kepada
Rasulullah saw, dengan membawa kedua anak perempuannya. Lalu
ia berkata: “Wahai Rasulullah, kedua anak perempuan ini adalah
anak Sa’ad Ibn Rabi’. Ayah keduanya mati terbunuh sebagai syahid
waktu berperang bersama engkau di Uhud, dan paman keduanya

17Al-Imam Ibn Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari,


Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, th.t), Jilid VIII, hal. 6, Lihat Ibnu Hajar al-
Asqalani, Bulugh al-Maram min Adilati al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hal.
199

18Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Cairo: Musthafa al-Babi, 1952), Jilid II, hal.

109, lihat juga Abu Isa at-Tarmidzi, Al- Jami’ as-Shahih, (Cairo: Musthafa al-
Babi, 1938), Jilid IV, hal. 414

172
Kapita Selekta Fiqh

telah mengambil harta keduanya, sehingga dia tidak lagi


meninggalkan harta bagi keduanya. Sedangkan keduanya tidak
mungkin menikah kecuali dengan harta”. Maka Rasulullah
menjawab: “Allah akan memutuskan perkara itu”. Sesudah itu
turunlah ayat tentang kewarisan. Maka Rasulullah saw, pun
mengirim utusan kepada paman dari keduanya agar ia menghadap
kepada beliau, lalu kata beliau: ”Berikan kepada kedua anak
perempuan Sa’ad ini dua per tiga, dan kepada ibu keduanya
seperdelapan; dan sisanya untukmu”. (HR. Lima Orang ahli
Hadits kecuali an-Nasa’i) “Dari Jabir, dia berkata: Istri Sa’ad ibn
Rabi’ datang kepada Rasulullah saw, dengan membawa kedua anak
perempuannya. Lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, kedua anak
perempuan ini adalah anak Sa’ad Ibn Rabi’. Ayah keduanya mati
terbunuh sebagai syahid waktu berperang bersama engkau di Uhud,
dan paman keduanya telah mengambil harta keduanya, sehingga dia
tidak lagi meninggalkan harta bagi keduanya. Sedangkan keduanya
tidak mungkin menikah kecuali dengan harta”. Maka Rasulullah
menjawab: “Allah akan memutuskan perkara itu”. Sesudah itu
turunlah ayat tentang kewarisan. Maka Rasulullah saw, pun
mengirim utusan kepada paman dari keduanya agar ia menghadap
kepada beliau, lalu kata beliau: ”Berikan kepada kedua anak
perempuan Sa’ad ini dua per tiga, dan kepada ibu keduanya
seperdelapan; dan sisanya untukmu”. (HR. Khamsah ahli Hadits
kecuali an-Nasa’i)

Selanjutnya Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat


Ibnu Majah: Selanjutnya Hadits Nabi dari Abu Hurairah
menurut riwayat Ibnu Majah:

‫ تعلموا الفرائض وعلموها فاهنا‬:‫عن اىب هريرة ان النىب صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫( رواه ابن ماجه والدار‬.‫نصف العلم وهو ينسى وهو اول شىيء ينزع من امىت‬
19.)‫قطىن واحلاكم‬

19Al-Bukhori, op. cit

173
Kapita Selekta Fiqh
“Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena
faraidh adalah separoh dari ilmu dan akan dilupakan.
Faraidhlah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku.” (HR.
Ibnu Majah, Daruquthni dan Hakim).

Nabi Saw., sangat menganjurkan kepada kita agar


mempelajari ilmu faraidh tersebut dan mengajarkannya kepada
yang lainnya, sehingga bisa terealisasi di kalangan masyarakat.

B. ASAS-ASAS DALAM KEWARISAN


Asas-asas hukum kewarisan Islam yang dapat dipahami dari
penjelasan yang terdapat di dalam al-Quran dan hadits yaitu:20

a. Asas Ijbari
Kata Ijbari berasal dari bahasa Arab yaitu kalimat
Mashdar dari kata Ajbara, yang artinya paksaan (compulsory).
Secara etimologi Ijbari berarti:
‫ اجلرب تثبيت وقوع ما‬.‫ اكرهه والزمه بفعله نسبه اَل اجلرب‬: ‫اجرب على اَلمر‬
21
‫يقدره هللا من القضاء وحيكم به‬
“Ijbar ‘ala al-‘Amr adalah terpaksa dan patuh. Ijbari
dinisbatkan kepada Jabr, pasti terjadi sesuatu yang telah
ditetapkan Allah dan ketentuan itu menjadi hukum”

Sedangkan yang dimaksud dengan ijbari sebagai asas


hukum kewarisan adalah bahwa peralihan harta dari seseorang
yang telah meninggal (pewaris) kepada ahli warisnya berlaku
dengan sendirinya menurut kehendak Allah, tanpa tergantung
kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur paksaan tersebut
terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan

20Amir Syarifuddin, op.cit., hal. 18


21Abu Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Beirut : Dar al-Masyriq, 1977),
hal. 78

174
Kapita Selekta Fiqh

pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang


telah ditentukan (Furudhul Muqaddarah).22
Berlakunya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam ini
dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
a) Peralihan harta
b) Jumlah yang beralih
c) Kepada siapa harta tersebut beralih.23

Dilihat dari segi peralihan harta berarti bahwa setiap orang


yang telah meninggal, hartanya pasti akan berpindah tangan
kepada ahli waris dengan sendirinya, karena orang tersebut tidak
mempunyai hak milik lagi. Berpindahnya harta tersebut bukan
atas kehendak pewaris juga bukan atas kehendak ahli waris,
melainkan terjadi dengan sendirinya serta berdasarkan kehendak
dan ketetapan Allah.
Dilihat dari segi jumlah yang beralih berarti bagian
masing-masing ahli waris telah ditentukan oleh Allah. Setiap ahli
waris akan menerima jumlah bagian waris sesuai dengan
bagiannya masing-masing, kecuali bila terjadi aul dan radd.
Apabila dilihat dari segi kepada siapa harta itu beralih,
berarti orang-orang yang akan menjadi ahli waris telah
ditentukan oleh Allah, mereka tidak bisa menolak statusnya
sebagai ahli waris dan orang lain tidak dapat pula meminta untuk
menjadi ahli waris. Adanya asas ijbari ini dapat dipahami dari
kelompok ahli waris sebagaimana tersebut dalam surat al-Nisa
ayat 11, 12 dan 176.

22Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata (BW) yang

peralihan hak kewarisan tergantung kepada kehendak dan kerelaan ahli waris
dan tidak berlaku dengan sendiri-nya. Adanya asas ijbari tidak memberatkan
kepada ahli waris, karena menurut Hukum Islam ahli waris tidak diberati untuk
membayar hutang pewaris dari hartanya sendiri. Kewajibannya hanya sekedar
membayarkan hutang pewaris dari harta peninggalan pewaris tersebut. Dalam
BW diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan, karena
menerima akan membawa akibat adanya kewajiban ahli waris untuk melunasi
utang pewaris, (Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1977),
hal. 84-85), lihat juga Amir Syarifuddin, Pelaksanaan... op. cit., hal. 18-19.
23Ibid

175
Kapita Selekta Fiqh
b. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti bahwa


seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak
kerabat garis keturunan perempuan. Asas ini secara nyata dapat
dilihat dari firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 7, 11 dan 176
sebagaimana yang telah dikutip di atas. Dalam ayat 7 dijelaskan
bahwa seorang anak laki-laki berhak mendapatkan warisan dari
pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang
anak perempuan mendapat warisan dari kedua pihak orang
tuanya.
Secara terperinci asas bilateral ini dapat dipahami dalam
ayat 11 dari surat al-Nisa yang telah dikutip di atas, ayat ini
menegaskan bahwa:
1. Anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tua
sebagaimana didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan
seorang anak laki-laki mendapat bagian sebanyak bagian
dua anak perempuan
2. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki
maupun perempuan sebesar seperenam. Begitu pula ayah
berhak menerima warisan dari anaknya, baik laki-laki
maupun perempuan sebesar seper-enam bagian. Jumlah
tersebut ialah bila pewaris meninggalkan anak.
Selanjutnya dalam surat an-Nisa’ ayat 12 sebagaimana yang
telah dikutip di atas menjelaskan bahwa:
1) Bila pewaris seorang laki-laki yang punah, saudaranya yang
laki-laki berhak mendapat harta peninggalannya; begitu
pula saudaranya yang perempuan berhak mendapat harta
warisannya itu
2) Bila pewaris seorang perempuan yang punah, maka
saudaranya baik yang laki-laki maupun perempuan berhak
menerima harta warisannya.
Kemudian dalam surat al-Nisa ayat 176 dijelaskan bahwa:

176
Kapita Selekta Fiqh

1) Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan,


sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, maka saudara
perempuannya berhak menerima warisannya.
2) Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan,
sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki, maka
saudaranya yang laki-laki tersebut berhak menerima harta
warisannya.
Ahli waris kerabat lainnya yang tidak tersebut di dalam
al-Quran secara nyata dapat diketahui melalui penjelasan yang
diberikan oleh Nabi dan juga dari perluasan pengertian
terhadap ahli waris yang secara jelas disebutkan di dalam al-
Quran.24

c. Asas Individual

Secara etimologi individual berarti mengenai dan


berhubungan dengan manusia secara pribadi, bersifat
perseorangan.25 Sedangkan asas individual dalam hukum
kewarisan Islam berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi
untuk dimiliki secara perorangan.26 Ajaran Islam menetapkan
bahwa setiap ahli waris berhak memiliki secara utuh bagiannya
dari harta warisan dan dia dapat bertindak hukum terhadap harta
tersebut, kecuali terhadap orang yang dipandang tidak cakap
bertindak hukum.
Di dalam al-Qur’an asas individual berdasarkan kepada
surat al-Nisa ayat 11 dan 12 sebagaimana yang telah dikutip di
atas. Ayat-ayat tersebut telah memperinci bagian masing-masing
dari setiap ahli waris. Bagian-bagian tersebut merupakan hak
milik pribadi bagi setiap ahli waris yang tidak dapat diganggu
atau diambil oleh orang lain.
Ahmad Mustafa al-Maraghi ‫وضا‬ ِ َ‫ ن‬yang terdapat dalam
ً ‫صْي بً َام ْف ُر‬
surat al-Nisa ayat 7 dengan:

24Ibid.,
hal. 19-20
25Wjs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1983), hal. 329
26Amir Syarifuddin, op.cit., hal. 21

177
Kapita Selekta Fiqh

ً ‫ِصيبًا َم ْفُر‬
‫ لبيان انه حق معْي مقطوع به ليس َل حد ان ينقص منه‬:‫وضا‬
27
‫شياء وَل حيابس فيه‬
“Nashiban Mafrudhan adalah untuk menyatakan ketentuan yang
jelas dan pasti yang tidak bisa seseorang pun mengurangi atau
merampasnya”

Dengan memperhatikan bahwa setiap ahli waris berhak


penuh atas harta yang didapatnya dari satu segi dan di antara ahli
waris itu ada yang tidak berhak menggunakan hartanya sampai ia
dewasa dari segi lain. Walaupun demikian sifat individualnya
harus tetap diperhatikan yaitu dengan mengadakan perhitungan
terhadap harta masing-masing ahli waris, memelihara harta
orang-orang yang belum pantas mengusahakannya dan
mengembalikan harta itu kepadanya pada waktu ia telah pantas
bertindak atas harta tersebut. Tidak ada pihak yang dirugikan
dengan cara tersebut, sesuai dengan petunjuk Allah dalam surat
al-Nisa ayat 2:

ِ
ُ‫ب َوََل ََتْ ُكلُوا أ َْم َوا ََلُْم إِ ََل أ َْم َوال ُك ْم إِنَّه‬
ِ ِ‫يث َِبلطَّي‬
َ ِ‫اخلَب‬
ْ ‫َوءَاتُوا الْيَ تَ َامى أ َْم َوا ََلُْم َوََل تَتَ بَ َّدلُوا‬
.‫وَب َكبِ ًْيا‬
ً ‫َكا َن ُح‬
”Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar.” (QS. al-Nisa ayat 2)

Menghilangkan bentuk individualnya dengan jalan


mencampur-adukkan tanpa perhitungan dan dengan sengaja
menjadikan hak-hak kewarisan itu bersifat kolektif,28 menyalahi

27Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr,

t.th), Jilid. II, hal. 192


28Sistem kewarisan Kolektif artinya harta peninggalan dari pewaris

dikuasai oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badan hukum di
mana harta tersebut (harta pusaka) tidak boleh dibagi-bagikan pemakaiannya

178
Kapita Selekta Fiqh

ketentuan dan akan mendapat-kan sanksi sebagaimana disebutkan


oleh ayat di atas.29

d. Asas Keadilan Berimbang

Maksud dengan asas Keadilan Berimbang dalam hukum


kewarisan adalah keadilan yang diterima oleh semua pihak, karena
keadilan tidak dapat diukur dengan pendapatan waktu menerima
hak tetapi dikaitkan juga dengan kegunaan dan kebutuhan. Orang
yang mempunyai kebutuhan dan kewajiban yang besar akan
memperoleh bagian warisan yang lebih besar pula dari pada ahli
waris lain.
Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan
kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Artinya laki-laki
mendapatkan hak kewarisan, begitu pula perempuan mendapat
hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki. Hal
ini secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 7
sebagaimana telah dikutip di atas, yang me-nyamakan kedudukan
perempuan dengan laki-laki dalam hak kewarisan.
Secara terperinci disebutkan pula dalam ayat-ayat
berikutnya yaitu hak anak laki-laki dan anak perempuan serta hak
bapak dan ibu dalam ayat 11; hak suami isteri dan hak saudara
laki-laki serta saudara perempuan pada ayat 12 dan ayat 176 surat
al-Nisa yang telah dikutip di atas.
Tentang jumlah bagian yang diperoleh laki-laki dan
perempuan, terdapat dua bentuk: 30
1) Laki-laki mendapat jumlah yang sama dengan perempuan
seperti ibu dan bapak sama mendapat seperenam dalam
keadaan pewaris ada meninggalkan anak (QS. al-Nisa ayat 11),
begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
sama-sama mendapat seperenam dalam hal pewaris kalalah
(QS. al-Nisa ayat 12)

kepada sekumpulan ahli waris tersebut, seperti dalam masyarakat matrilineal di


Minangkabau. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadits,
(Jakarta: Tinta Mas Indonesia, 1982), hal. 15
29 Amir Syarifuddin, op.cit., hal. 23
30 Ibid.

179
Kapita Selekta Fiqh
2) Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat
dari bagian yang diperoleh perempuan dalam kasus yang sama;
yaitu antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam ayat
11 surat al-Nisa, dan antara saudara laki-laki dengan saudara
perempuan yang disebutkan dalam ayat 176 surat al-Nisa.
Dalam kasus yang terpisah duda mendapat dua kali bagian
yang diperoleh janda yaitu setengah dan seperempat dalam
keadaan pewaris tidak meninggalkan anak; atau seperempat
dan seperdelapan bila pewaris meninggalkan anak.
Ditinjau dari segi jumlah bagian pada waktu menerima hak,
memang terdapat ketidaksamaan. Tetapi hal tersebut bukanlah
berarti tidak adil; karena keadilan tidak dapat diukur hanya
dengan mendapat pembagian hak akan tetapi dikaitkan juga
dengan kegunaan serta kebutuhan ahli waris yang menerima
harta warisan tersebut.
Dalam Islam dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan
materi yang lebih banyak dari pada perempuan, karena laki-laki
memikul kewajiban ganda yaitu terhadap dirinya sendiri dan
terhadap keluarganya termasuk di dalamnya perempuan,
sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 34:
‫ض َوِمبَا أَنْ َف ُقوا ِم ْن‬
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬
َ ‫اَّللُ بَ ْع‬
َّ ‫َّل‬ ِِ ِ ِ
َ ‫ال قَ َّو ُامو َن َعلَى الن َساء مبَا فَض‬
ُ ‫الر َج‬
... ‫أ َْم َواَلِِ ْم‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.”(QS. al-Nisa ayat 34)

Bila dikaitkan pendapatan dengan kewajiban dan tanggung


jawab seperti disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa laki-
laki akan merasakan manfaat dari apa yang diterimanya sama
dengan apa yang dirasakan oleh pihak perempuan. Hal inilah yang
dimaksudkan dengan keadilan dalam konsep Islam.31

31 Ibid., hal. 24

180
Kapita Selekta Fiqh

e. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian


Hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk
kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang di
dalam hukum perdata atau BW disebut kewarisan “ab intestato”
yaitu berdasarkan undang undang dan tidak mengenal kewarisan
atas dasar wasiat yang dibuatnya pada waktu masih hidup yang
disebut dengan kewarisan secara testamen.32
Asas tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan asas
Ijbari. Pada hakikatnya bila seseorang telah memenuhi syarat
sebagai subjek hukum dapat bertindak atas hartanya pribadi yang
menyangkut dengan kemauan dan keperluan selama ia hidup.
Tetapi ia tidak mempunyai kebebasan untuk mengatur harta
tersebut untuk penggunaan sesudah matinya. Walaupun ada
kebebasannya untuk bertindak itu merupakan suatu wasiat yang
hanya dalam kadar batas maksimal sepertiga dari hartanya,
namun tindakannya itu walaupun berlaku sesudah kematiannya,
tidak disebut dengan nama kewarisan.33

C. UNSUR-UNSUR KEWARISAN ISLAM.


Proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal
kepada orang yang masih hidup dalam hukum kewarisan Islam
mengenal tiga unsur, yaitu: pewaris, harta warisan, dan ahli waris.
1. Pewaris (Yang Mewariskan Harta).
Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia yang
mempunyai harta warisan yang dapat diwarisi oleh ahli warisnya.
Dalam literatur berbahasa arab disebut dengan al-Muwarist . Pada
pasal 171 b KHI dijelaskan bahwa pewaris itu adalah orang yang
pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal dunia
berdasarkan putusan Pengadilan Agama Islam.34

32 Wasiat dalam hukum Islam merupakan lembaga tersendiri terpisah dari

hukum kewarisan. Di dalam kitab-kitab fikih dibahas dalam pembahasan


tersendiri. Dalam hukum perdata (BW) wasiat termasuk salah satu cara dalam
pewarisan. Subekti, op.cit., hal. 78, lihat juga Amir Syarifuddin, op.cit., hal. 25
33Amir Syarifuddin, loc. cit
34 Surwati, Fiqih Mawaris 1. (Padang: Hayfa Press. 2010 ) Cet. Ke-II. hal.27

181
Kapita Selekta Fiqh
Pewaris (al-muwarist) dalam literatur fiqh ialah seseorang
yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang
dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan
prinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris
berlaku sesudah meninggalnya pewaris, maka kata “pewaris” itu
sebenarnya tepat untuk pengertian seseorang yang telah mati.
Atas dasar prinsip ijbari maka pewaris itu menjelang kematiannya
tidak berhak menentukan siapa yang akan mendapatkan harta
yang ditinggalkannya itu, karena semuanya telah ditentukan
secara pasti oleh Allah. Kemerdekaannya untuk bertindak atas
harta tersebut terbatas pada jumlah sepertiga dari hartanya.35
Secara garis besar dijelaskan dalam al-Qur’an, pewaris
adalah orang tua, karib kerabat dan salah seorang suami atau
isteri. Hal ini secara umum dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 7:
‫يب ِِمَّا تَ َرَك الْ َوالِ َد ِان‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫ص‬ ِ ِ ِ
ٌ َ‫ل ِلر َجال ن‬
ٌ ‫يب ِمَّا تَ َرَك الْ َوال َدان َو ْاْلَقْ َربُو َن َوللن َساء نَص‬
‫وضا‬ً ‫صيبًا َم ْف ُر‬ ِ َ‫و ْاْلَقْ ربو َن ِِمَّا قَ َّل ِمْنه أَو َكثُر ن‬
َ ْ ُ َُ َ
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.36

Tentang orang tua dan karib kerabat, dipertegas oleh ayat


33 surat an-Nisa’ dengan menambahkan suami dan isteri.
‫وه ْم‬ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ‫ولِ ُك ٍل جعلْنا مو‬
ُ ُ‫ت أ َْْيَانُ ُك ْم فَآت‬
ْ ‫ين َع َق َد‬
َ ‫اِل ِمَّا تَ َرَك الْ َوال َدان َو ْاْلَقْ َربُو َن َوالذ‬
َ ََ َ َ َ َ
‫يدا‬ ِ ٍ ِ َّ ِ ِ
ً َ ْ َ ُ َ َ َ َ ََّ ْ ُ َ َ‫ن‬
‫ه‬ ‫ش‬ ‫ء‬ ‫ي‬ ‫ش‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ك‬ ‫اَّلل‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫م‬‫ه‬ ‫يب‬ ‫ص‬
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu”.37

35 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal, 204.


36 Departemen Agama RI Loc. Cit.
37 Ibid.

182
Kapita Selekta Fiqh

Untuk suami dan isteri dalam hal ini menggunakan istilah


(walladzina ‘aqadad aimaa nukum), yang dalam tafsir al-Manar
diartikan suami atau isteri.
Perincian dari pewaris dapat dilihat pada ayat-ayat
kewarisan selanjutnya. Ayat 11 surat an-Nisa’ adalah rincian dari
orang tua dan anak-anak.
‫ْي فَلَ ُه َّن‬ِ ْ َ‫ْي فَِإ ْن ُك َّن نِساء فَ ْو َق اثْنَ ت‬ ِ ْ َ‫لذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاْلُنْثَي‬ َّ ِ‫اَّللُ ِِف أ َْوََل ِد ُكم ل‬ ِ ‫ي‬
َّ ‫وصي ُك ُم‬ ُ
ًَ ُ ْ
ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
‫س ِمَّا‬ ُّ ‫ف َوِْلَبَ َويْه ل ُك ِل َواحد مْن ُه َما‬
ُ ‫الس ُد‬ ُ ‫ص‬ْ ‫ت َواح َد ًة فَلَ َها الن‬ ْ َ‫ثُلُثَا َما تََرَك َوإِ ْن َكان‬
ٌ‫ث فَِإ ْن َكا َن لَهُ إِ ْخ َوة‬ ُ ُ‫تَ َرَك إِ ْن َكا َن لَهُ َولَ ٌد فَِإ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َوَوِرثَهُ أَبَ َواهُ فَِِل ُِم ِه الثُّل‬
‫وصي ِِبَا أ َْو َديْ ٍن ءَ َاَب ُؤُك ْم َوأَبْنَا ُؤُك ْم ََل تَ ْد ُرو َن أَيُّ ُه ْم‬ ِ ‫الس ُدس ِمن ب ع ِد و ِصيَّ ٍة ي‬ ِِ ِ
ُ َ ْ َ ْ ُ ُّ ‫فَِلُمه‬
ِ ِ َّ ‫اَّللِ إِ َّن‬
َّ ‫يضةً ِم َن‬
‫يما‬
ً ‫يما َحك‬ ً ‫اَّللَ َكا َن َعل‬ َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًعا فَ ِر‬
ُ ‫أَقْ َر‬
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuandan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana”.38

Bila diteliti dan diinterpretasi secara logis, ayat tersebut


maka terlihat tiga kelompok pengertian. Kelompok pertama
menjelaskan kewarisan anak-anak, baik laki-laki maupun

38 Ibid.

183
Kapita Selekta Fiqh
perempuan, secara bersama atau terpisah, sendiri maupun banyak.
Pemahaman yang dapat ditarik ialah pewaris adalah ibu dan
ayah.39
Kelompok kedua menjelaskan kewarisan ibu dan ayah, baik
disertai ahli waris yang lain maupun tidak. Pemahaman yang
dapat ditarik dari sini, pewaris adalah anak-anak, baik laki-laki
maupun perempuan. Kelompok ketiga menjelaskan kedudukan
yang sama antara orang tua dengan anak-anak dalam kewarisan.40
Dalam pemahaman selanjutnya terdapat dalam ayat 11
tersebut di atas, ahli tafsir mengembangkan pengertian anak
kepada cucu, karena cucu juga termasuk kepada lingkup
pengertian anak. Demikian pula pengertian ayah dikembangkan
kepada kakek saat ayah sudah tidak ada dan pengertian ibu
dikembangkan kepada nenek sewaktu nenek sudah dulu
meninggal. Dari hubungan hak kewarisan dalam ayat 11 dapat
ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi pewaris dalam kelompok
pengertian “walidani”, sebagaimana ditunjuk oleh ayat 11 dan 33
di atas adalah: ayah, ibu, kakek, nenek, anak dan cucu.41
Ayat 12 surat an-Nisa’bagian pertama menjelaskan hak
kewarisan suami atau isteri baik dalam keadaan disertai anak atau
tidak, merupakan rincian dari ayat 33 yaitu suami menjadi pewaris
bagi isteri yang ditinggalkan dan isteri adalah pewaris bagi suami
yang ditinggalkannya.42
Pewaris dengan nama “al-aqrabun” yang secaru umum
tersebut dalam ayat 7 dan atay 33 surat an-Nisa’ dirinci dalam
ayat 12 dan ayat 176.
Surat an-Nisa’Ayat 12:
‫الربُ ُع ِِمَّا‬
ُّ ‫اج ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلُ َّن َولَ ٌدفَِإ ْن َكا َن ََلُ َّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬
ُ ‫ف َما تَ َرَك أ َْزَو‬
ُ ‫ص‬
ِ
ْ ‫لَ ُك ْم ن‬
‫الربُ ُع ِِمَّا تََرْكتُ ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد‬
ُّ ‫ْي ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َوََلُ َّن‬ ِ ٍِ ِ ِ
َ ‫تَ َرْك َن م ْن بَ ْعد َوصيَّة يُوص‬

Amir Syarifuddin, Op. Cit. hal.205.


39

Ibid.
40
41 Ibid.
42 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2009). hal. 5-7.

184
Kapita Selekta Fiqh

‫وصو َن ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َوإِ ْن‬ ٍِ ِ ِ ِ


ُ ُ‫فَِإ ْن َكا َن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُُّم ُن ِمَّا تََرْكتُ ْم م ْن بَ ْعد َوصيَّة ت‬
‫س فَِإ ْن‬ ُّ ‫اح ٍد ِمْن ُه َما‬
ُ ‫الس ُد‬
ِ ‫َخ أَو أُخت فَلِ ُك ِل و‬
َ ٌ ْ ْ ٌ ‫ث َك ََللَةً أَ ِو ْامَرأَةٌ َولَهُ أ‬ ُ ‫َكا َن َر ُج ٌل يُ َور‬
‫وصى ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َغ ْ َْي‬ ٍِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن َذل‬
َ ُ‫ك فَ ُه ْم ُشَرَكاءُ ِِف الثُّلُث م ْن بَ ْعد َوصيَّة ي‬
‫اَّللُ َعلِ ٌيم َحلِ ٌيم‬
َّ ‫اَّللِ َو‬
َّ ‫ار َو ِصيَّةً ِم َن‬ ٍ‫ض‬ َ ‫ُم‬
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun”.43

Surat an-Nisa’ ayat 176:

‫ت فَلَ َها‬ٌ ‫ُخ‬ ْ ‫س لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أ‬ َ َ‫اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم ِِف الْ َك ََللَِة إِ ِن ْام ُرٌؤ َهل‬
َ ‫ك لَْي‬ َّ ‫ك قُ ِل‬
َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫ان ِِمَّا‬
ِ َ‫ْي فَلَهما الثُّلُث‬ ِ ِ ِ
َ ُ ْ َ‫ف َما تَ َرَك َوُه َو يَ ِرثُ َها إ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلَا َولَ ٌد فَإ ْن َكانَتَا اثْنَ ت‬ ُ ‫ص‬ ْ‫ن‬
ِ

43 Departemen Agama RI. Op.Cit. hal 72.

185
Kapita Selekta Fiqh

‫اَّللُ لَ ُك ْم أَ ْن‬
َّ ‫ْي‬ُ َِ‫ْي يُب‬ َّ ِ‫تَرَك وإِ ْن َكانُوا إِ ْخوًة ِر َج ًاَل ونِساء فَل‬
ِ ْ َ‫لذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاْلُنْثَي‬
ُ ًَ َ َ َ َ
ِ ٍ
‫اَّللُ بِ ُك ِل َش ْيء َعل ٌيم‬ ِ َ‫ت‬
َّ ‫ضلُّوا َو‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu”.44

Ayat 12 bagian kedua membicarakan kewarisan saudara-


saudara dalam keadaan sendiri atau bersama, terpisah atau
tergabung. Dari sini apat pula diambil kesimpulan bahwa saudara
laki-laki atau perempuan, kandung, seayah atau seibu
berkedudukan sebagai pewaris terhadap saudara yang
ditinggalkannya. Kedudukan saudara sebagai pewaris bagi
saudara-saudaranya dikuatkan pula oleh ayat 176 surat an-Nisa’.
Pengertian saudara ini dikembangkan pula kepada anak-anaknya.
Saudar-saudara sebagai pewaris inilah yang termasuk ke dalam
kata-kata “al-aqrabun” yang terdapat dalam ayat 7 dan ayat 33
surat an-Nisa’.45

2. Harta Warisan.
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih

44 Ibid. hal, 96.


45 Amir Syarifuddin. Op.Cit. hal.206.

186
Kapita Selekta Fiqh

kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan


antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta
peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau
dalam arti apa-apa yangada pada seseorang saat kematiannya,
sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara
hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya.46
Perbedaan sederhana antara harta warisan dengan harta
peninggalan adalah, harta peninggalan adalah keseluruhan harta
yang pewaris tinggalkan pada waktu dia meninggal dunia, dan
harta tersebut belum dikeluarkan biaya penyelenggaraan si mayit
atau dikeluarkan hutangnya. apabila ada selama hidup si pewaris
berhutang, dan dikeluarkan apakah ada dalam harta tersebut ada
harta bersama, atau belum dikeluarkan wasiatnya, bila ada pewaris
itu berwasiat. Setelah harta peninggalan pewaris tersebut telah
dikeluarkan untuk segala bentuk yang disebutkan diatas, maka
sisa harta yang telah dikeluarkan tersebutlah yang disebut dengan
harta warisan, dan harta warisan itulah yang akan dibagi kepada
ahli warisnya.

3. Ahli Waris.
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi karena
mempunyai hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan
pernikahan dengan pewaris.47 Ahli waris atau disebut juga warits
dalam istilah fiqh ialah orang yang berhak atas harta warisan
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak
menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang
meninggal.

Di samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan


itu, mereka baru berhak menerima warisan secarahukum dengan
terpenuhinya syarat sebagai berikut:
a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu
meninggalnya pewaris.

46 Ibid.
47 Surwati. Loc. Cit.

187
Kapita Selekta Fiqh

b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk


menerima warisan.
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang
lebih dekat.

D. SEBAB - SEBAB DAN PENGHALANG KEWARISAN.


1. Sebab-Sebab Hubungan Kewarisan.
Harta orang yang telah meninggal dunia dengan sendirinya
beralih kepada orang hidup yang memiliki hubungan dengan
orang yang telah meninggal dunia tersebut. Dalam literatur
hukum Islam atau fiqh, dinyatakan ada empat hubungan yang
menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari orang yang
telah meninggal, yatu: hubungan kerabat, hubungan perkawinan,
hubungan wala’ dan hubungan sesama Islam.48
Saat ini dua hubungan terakhir (hubungan wala’ dan
hubungan sesama Islam) hanya terdapat dalam wacana saja,
terutama hubunga wala’ yang pada saat ini tidak ditemukan lagi.
Sebab, hubungan wala’ terjadi dikarenakan oleh usaha seseorang
pemilik budak yang dengan sukarela memerdekakan budaknya
tersebut. Sebagai imbalannya, atau pendorong agar seseorang
mau memerdekakan budak-budak dengan sukarela, maka
Rasulullah Saw. memberikan hak wala’ kepada orang yang
memerdekakan budak tersebut. Jadi, di antara hak wala’ itu adalah
hak untuk mewarisi oleh seseorang yang telah memerdekakan
budaknya dengan sukarela, maka orang yang memerdekakan
budak tersebut berhak untuk mewarisi harta budak yang di
merdekakan apabila budak itu meninggal dunia dan dia tidak lagi
mempunyai kerabat.49
Sedangkan dalam hubungan sesama Islam terjadi bila
seseorang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris,

48 Surwati, hal.21.
49.Surwati

188
Kapita Selekta Fiqh

maka harta warisannya itu diserahkan ke perbendaharaan umum


yang disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh umat Islam.
Dengan demikian harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli
waris itu diwarisi oleh umat Islam.
a. Hubungan Kekerabatan (Nasab).
Adapun sebab beralihnya harta seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan
silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Adanya
hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan
darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara
yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan
dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
1) Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mati.
2) Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan
adanya si mati.
3) Hawaisyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si
meninggal dunia melalui garis menyamping, seperti
saudara, paman, bibi, dan anak turunannya dengan tidak
membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.50
b. Hubungan Perkawinan.
Adapun hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan
kekerabatan, juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan
(persemendan) dalam artian suami menjadi ahli waris bagi
isterinya yang meninggal dan isteri menjadi ahli waris bagi
suami yang meninggal.51 Perkawinan yang menjadi sebab
timbulnya hubungan kewarisan adalah perkawinan yang sah
menurut syaria’t Islam dan sah menurut Undang-Undang
yang berlaku dan perkawianan yang masih utuh.
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan
isteri didasarkan pada dua ketentuan:

50 Moh. Muhibbin. Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam Sebagai


Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009) Cet. Ke- I.
hal.72-73.
51 Moh. Muhibbin. Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009) Cet. Ke- I.
hal.72-73 .

189
Kapita Selekta Fiqh
a) Pertama, antara keduanya telah berlangsung akad nikah
yang sah. Tentang akad nikah yang sah ditetapkan dalan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1:
“Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaanya itu.”52
Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-
orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum
Islam. Pengertian sah menurut istilah hukum Islam ialah
terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian
nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan sudah
memenuhi rukun dan syarat pernikahan dan telah terlepas
dari segala halangan pernikahan itu.
b) Kedua, berkenaan dengan hubungan kewarisan disebabkan
oleh hubungan perkawinan ialah bahwa suami isteri masih
terikat perkawinan saat salah satu meninggal. Termasuk
dalam perkawinan yang putus dalam bentuk talak raj’i dan
perempuan masih berada dalam masa ‘iddah.

2. Penghalang Kewarisan.
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat
menggugurkan hak seseorang untuk hal mewarisi karena adanya
sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka
tidak dapat menerima hak waris. Hal-hal yang menyebabkan ahli
waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang adalah sebagai
berikut:
a. Pembunuhan.
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak
warisan dari orang yang dibunuhnya. Karena pembunuh itu
mencabut hak seseorang atas warisan. Hal ini didasarkan
kepada hadist Nabi yaitu:

52 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam.(Bandung: Citra Umbara. 2009) Cet Ke-III. hal. 2.

190
Kapita Selekta Fiqh

‫ عن الزهري عن محيد ابن‬, ‫ عن اسحاق ابن عبد هللا‬, ‫ حدثنا الليث‬,‫حدثنا قتيبة‬
.‫ القاتل َل يرث‬:‫ قال‬,‫ عن آيب هريرة عن النيب صلى هللا عليه وسلم‬,‫عبدر محان‬
)‫(رواه الرتمذي‬
Qutaibah menceritakan kepada kami, Al-Laits menceritakan kepada
kami, dari ishaq bin Abdullah, dari az-Zuhri, dari Humaid bin
Abdurrahman, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Seseorang pembunuh tidak mewarisi (harta orang yang
dibunuh)” (Hadist riwayat Tarmidzi).53

Mengingat banyaknya bentuk tindak pembunuhan, para


fuqaha’ berbeda pendapat tentang jenis pembunuhan mana
yang menjadi penghalang untuk mewarisi.
Menurut mazhab Syafi’i dengan berpegang kepada
keumuman hadist diatas berpendapat bahwa segala bentuk
pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
pewarisnya, adalah menjadi penghalang baginya untuk
mewarisi.
Menurut mazhab Hanafi jenis pembunuhan yang
menglangi untuk mewarisi adalah:
a. Pembunuhan dengan sengaja.
b. Pembunuhan mirip sengaja. Seperti sengaja melakukan
penganiayaan tanpa adanya niat untuk membunuh, tetapi
dengan sikap aniaya tersebut ternyata pewaris meninggal.
c. Pembunuhan karena khilaf.
d. Pembunuhan dianggap khilaf. Seperti seseorang yang
sedang membawa barang berat tanpa sengaja terlepas
menjatuhi saudaranya hingga mati, maka si pembunuh tidak
mendapat warisan.54

Menurut mazhab Maliki, jenis pembunuhan yang


menjadi penghalang mewarisi ada tiga, yaitu:
a) Pembunuhan dengan sengaja.

53 Muhammad Nashiruddin al-Albani. Terjemahan Shahih Sunan At-

Tirmidzi.(Jakarta: Pustaka Azzam. 2006) Cet Ke-I. hal. 635.


54 Amir Syarifuddin, Op. Cit. hal.193.

191
Kapita Selekta Fiqh
b) Pembunuhan mirip sengaja.
c) Pembunuhan tidak langsung yang disengaja, misalkan
melepaskan binatang buas atau persaksian palsu yang
menyebabkan kematian seseorang.55

Menurut aliran Hanabilah, jenis pembunuhan yang


menjadi penghalang hak mewarisi adalah sebagai berikut:
a) Pembunuhan sengaja.
b) Pembunuhan mirip sengaja.
c) Pembunuhan karena khilaf.
d) Pembunuhan dianggap khilaf.
e) Pembunuhan tidak langsung.
f) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang tidak cakap
bertindak (anak kecil atau orang gila).56

b. Berbeda Agama.
Berlainan agama yang dimaksud adalah perbedaan
keyakinan (aqidah) atau berbeda kepercayaan antara orang
yang mewarisi dengan ahli waris. Dasar hukumnya adalah
hadist Rasulullah Saw.:

،‫ عن الزهري‬،‫ حدثنا سفيان‬:‫ قالوا‬، ‫حدثنا سعيد بن عبد الرمحن املخزومي وغْي‬
‫عن‬،‫ عن علي آبن حسان‬،‫ عن الزهري‬،‫ أخربان هشيم‬، ‫وحدثنا علي بن حجر‬
‫ َل‬:‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬،‫ عن أسامة بن زيد‬،‫عم رو بن عسمان‬
)‫ (متفق عليه‬.‫وَل الكافر املسلم‬, ‫يرث املسلم الكافر‬
“Sa’ad bin Abdurrahman Al Makhzumi dan yang lainnya
menceritakan kepada kami, mereka berkata, Sufyan menceritakan
kepada kami, dari Zuhri. Ali bin Hujr juga menceritakan kepada
kami, Husyaim mengabarkan kepada kami, dari Zuhri, dari Ali bin
Hasan, dari Amr bin Ustman, dari Usamah bin Zaid bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim mewarisi

55 Ibid.
56 Moh. Muhibbin. Abdul Wahid. Op. Cit. hal.76-77.

192
Kapita Selekta Fiqh

(harta pusaka) seorang kafir, dan tidak pula seorang kafir mewarisi
seorang muslim”. (Hadist Diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih).57

Walaupun seseorang ahli waris yang berbeda agama


dengan pewaris itu masuk Islam setelah pewaris meninggal
sedangkan harta warisan belum dibagikan, maka dia tetap tidak
mendapat harta warisan dan tetap terhalang. Sebab timbulnya hak
warisan itu pada waktu saat pewaris meninggal dunia, bukan pada
saat harta warisan dibagikan.
Jika pembunuhan dapat memutuskan hubungan
kekerabatan atau hubungan perkawinan sehingga mencabut hak
kewarisan, maka perbedaan agama juga mencabut sebab wilayah ,
yang dengan sendirinya mencabut sebab kewarisan.58

E. ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA


WARISAN
Secara umum dapat dikemukakan bahwa jumlah
keseluruhan ahli waris itu ada 25 yang terdiri dari:
a) Lima belas kelompok laki-laki, yaitu :
(1) Anak laki-laki
(2) Cucu laki-laki (dari anak laki-laki)
(3) Bapak
(4) Kakek (dari pihak bapak)
(5) Saudara kandung laki-laki
(6) Saudara laki-laki seayah
(7) Saudara laki-laki seibu
(8) Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki
(9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu
(10)Paman (saudara kandung bapak)
(11)Paman (saudara bapak seayah)
(12)Anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah)
(13)Anak laki-laki paman seayah
(14)Suami
(15)Laki-laki yang memerdekakan budak

57Muhammad Nashiruddin al-Albani. Op. Cit. hal. 576.


58 Ibid. hal.197.

193
Kapita Selekta Fiqh

b) Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh yaitunya:


(1) Anak perempuan
(2) Ibu
(3) Anak perempuan(dari keturunan anak laki-laki)
(4) Nenek (ibu dari ibu)
(5) Nenek (ibu dari bapak)
(6) Saudara kandung perempuan
(7) Saudara perempuan seayah
(8) Saudara perempuan seibu
(9) Istri
(10) Perempuan yang memerdekakan budak

F. TATA CARA PEMBAGIAN HARTA WARIS


Jika kita menghadapi persoalan kewarisan dan hendak
diselesaikan pembagiannya menurut syariat Islam, maka kita
harus melalui sistematika atau tahapan-tahapan. Tahap-tahap
yang harus dilalui tersebut adalah:

Tahap I : Menentukan ahli waris


Tahap II : Masalah hijab / haling menghalangi
Tahap III : Menentukan ‘ashabah
Tahap IV :Menentukan porsi (Furudhul Muqaddarah)
Tahap V : Melakukan pembagian harta waris.

Berikut penjelasan dari tahap-tahap di atas :

Tahap I : Menentukan ahli waris, yang menjadi patokan


dalam dalam penentuan ahli waris dari orang yang
meninggal dunia.
Tahap II : Cara menentukan hijab/saling menghalangi
Secara bahasa kata Hijab berasal dari
bahas Arab “al hujub” bermakna penghalang atau
penggugur. Selain itu, dalam bahasa arab kita
kenal kata hajib yang berarti tukang atau penjaga
pintu, disebabksn ia menghalangi orang untuk

194
Kapita Selekta Fiqh

memasuki tempat trtentu tanpa izin guna


menemui penguasa atau pemimpin. Maka makna
kata al-hajib menurut istilah adalah oranng yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan
warisan, dan al mahjub berarti orang yang
terhalang mendapatkan warisan.59.

Sedangkan yang menjadi dasar hukum


hijab terdapat dalam firman Allah surat Al
Muthafifin ayat 15 :
ٍ ِ ِِ
ُ ‫َك ََّل إِ َّهنُْم َع ْن َرِب ْم يَ ْوَمئذ لَ َم ْح‬
‫جوبُو َن‬
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu
benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.

Maksud ayat ini adalah kaum kafir yang


benar-banar terhalang, tidak dapat melihat Tuhan
mereka di hari kiamat nanti.

Macam- macan Hijab itu dalam hukum


waris Islam, hijab itu dapat dikualifikasikan
kepada 2 jenis, yaitu:
1) Hijab Hirman, yaitu penghalang yang
menyebabkan seorang ahli waris tidak
memperoleh sama sekali warisan disebabkan
ahli waris yang lain.

Adapun ahli waris yang mengalami hijab hirman sebagai


berikut :

No Ahli Waris Terhijab oleh


1 Kakek Ayah
2 Nenek dari ibu Ibu

59 Muhazzmad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1995), h. 75

195
Kapita Selekta Fiqh
3 Nenek dari ayah a. Ayah
b. Ibu
4 Cucu laki-laki dari anak Anak laki-laki
laki-laki
5 Cucu perempuan dari a. Anak laki-laki
anak laki-laki b. Anak perempuan dua orang
/lebih

6 Saudara laki- a. Anak laki-laki


laki/perempuan b. Cucu laki-laki
sekandung c. Ayah
7 Saudara laki- a. Anak laki-laki
laki/perempuan seayah b. Cucu laki-laki
c. Ayah
d. Saudara laki-laki sekandung
e. Saudara perempuan
sekandung/ seayah yang
menerima Asabah ma’al
ghair
8 Saudara laki- a. Anak laki-laki dan anak
laki/perempuan seibu perempuan
b. Cucu laki-laki dan cucu
perempuan
c. Ayah
d. Kakek
9 Anak laki-laki dari a. anak laki-laki
saudara laki-laki b. cucu laki- laki
sekandung c. ayah atau kakek
d. saudara laki-laki
sekandung/ seayah
e. saudara perempuan
sekandung/seayah yang
menerima Asabah ma’al
ghair
10 Anak laki-laki dari a. Anak laki-laki/cucu laki-laki
saudara laki-laki seayah b. Ayah/kakek
c. saudara laki-laki
196
Kapita Selekta Fiqh

sekandung/ seayah
d. Anak laki-laki saudara laki-
laki sekandung
e. saudara perempuan
sekandung/seayah yang
menerima Asabah ma’al
ghair
11 Paman sekandung a. Anak laki-laki/cucu laki-laki
b. Ayah/kakek
c. saudara laki-laki
sekandung/ seayah
d. anak laki-laki saudara laki-
laki sekandung
e. saudara perempuan
sekandung/ seayah yang
menerima Asabah ma’al
ghair
12 Paman seayah a. Anak/ cucu laki-laki
b. Ayah/kakek
c. Saudara laki-laki
sekandung/ seayah
d. Anak laki-laki saudara
sekandung
e. Saudara perempuan
sekandung/seayah yang
menerima Asabah ma’al
ghair
f. Paman sekandung
13 Anak laki-laki paman a. Anak/ cucu laki-laki
sekandung b. Ayah/kakek
c. Anak laki-laki
sekandung/seayah
d. Anak laki-laki saudara
e. Saudara perempuan
sekandung/ seayah yang
menerima Asabah ma’al
ghair
f. Paman sekandung/seayah

197
Kapita Selekta Fiqh
14 Anak laki-laki paman a. Anak/ cucu laki-laki
seayah b. Ayah/ kakek
c. Saudara laki-laki
sekandung/seayah
d. Anak laki-laki saudara laki-
laki sekandung
e. Saudara perempuan
sekandung/seayah yang
menerima Asabah ma’al
ghair
f. Paman sekandung/ seayah
g. Anak laki-laki paman
sekandung.

2) Hijab Nuqsan, yaitu penghalang yang menyebabkan


berkurangnya bagian seseorang ahli waris.

Tahap III : Menentukan Asabah


Menurut arti bahasa, asabah adalah
kerabat seseorang dari pihak ayah. Jadi yang
dimaksud ahli waris asabah adalah ahli waris yang
mengambil semua harta warisan apabila seorang
diri atau mengambil semua harta waris setelah
diambil lebih dahulu oleh ahli waris ashabul furud
sehingga apabila tidak ada sisanya maka ia tidak
mendapat bagian, dapat diketahui bahwa ahli
waris asabah baru berhak menerima bagian
setelah ashabul furud mengambil bagiannya,
kecuali apabila ashabul furub mahjub. Ashabul
furud adalah orang-orang yang mendapatkan
bagian tertentu dalam waris menurut hukum
islam. Secara umum asabah ini terbagi kepada dua,
yaitu:
a. Asabah Nasabiah, yaitu menjadi asabah
disebabkan adanya hubungan darah dengan si
pewaris, asabah nasabiah ini terbagi kepada 3
bagian pula yaitu:

198
Kapita Selekta Fiqh

(1) Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah


dengan dirinya sendiri, yaitu disebabkan
karena kedudukannya. ( seluruh ahli waris
yang laki-laki kecuali suami dan saudara laki-
laki seibu)
(2) Ashabah bil ghair, yaitu menjadi ashabah
karena disebabkan oleh orang lain.
(3) Ashabah ma’al ghair, yaitu menjadi ashabah
karena mewaris bersama dengan orang lain.
Yang menjadi ashabah ma’al ghair ini adalah
saudara perempuan seibu sebapak karena
mewaris bersama dengan anak perempuan ,
cucu perempuan, cicit perempuan dan
seterusnya. Jelasnya ashabah ma’al ghair ini
kemungkinannya hanyalah saudara
perempuan seibu sebapak dan saudara
perempuan sebapak saja,
b. Ashabah Sababiyah, yaitu menjadi ashabah
dikarenakan adanya sesuatu sebab, sebab yang
dimaksud di sini adalah karena ada perbuatan
memerdekakan si mayat dari perbudakan
(lazimnya sekarang ini tidak ada lagi ditemui).
Tahap IV: Menentukan porsi atau furudhul muqaddarah
(ketentuan bagian-bagian masing-masing)
Furudhul muqaddarah adalah bagian
masing-masing atau pendapatan ahli waris yang
telah ada ketentuannya dalam ketentuan Al Quran
dan Al Hadis.
Tahap V: Mengerjakan pembagian
a) Menentukan asal masalah yaitu angka yang
menjadi dasar pembagian harta pusaka dalam
suatu masalah, yakni di bagi menjadi berapa
bagiankah keseluruhan harta pusaka itu, sehingga
bagian masing-masing ahli waris dapat
diterimakan sebagai mana mestinya.
b) Menentukan angka yang menjadi asal masalah
adalah dengan memperhatikan angka-angka

199
Kapita Selekta Fiqh
pemecah yang terdapat pada bagian-bagian ahli
waris Dzawil furud.

G. MASALAH-MASALAH DALAM PEMBAGIAN WARIS


Ada dua yang juga termasuk kepada kajian kewarisan, yaitu
menyangkut perhitungan hak waris. Persoalan yang dimaksud
adalah :

a. ‘Aul .
Al-‘Aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya
jumlah bagian faradh dan berkurangnya nashib (bagian) para
ahli waris. Masalah ‘aul muncul ketika pada pembagian wris
dzaw al-furudh tidak ada anak laki-laki, sehinga jumlah
harta yang harus dibagikan masih kurang dari ketentuan
yang seharusnya.
Contohnya : ahli waris terdiri dari : 2 anak
perempuan, ibu, ayah, dan suami. Maka perhitungannya:
Dua anak perempuan : 2/3 = 8/12
Ayah : 1/6 = 2/12
Ibu : 1/6 = 2/12
Suami : 1/4 = 3/12
Jumlah keseluruhan adalah 15/12, sedangkan harta
warisan 12/12. Maka berlakulah hukum al-‘aul dengan
cara :
Dua anak perempuan : 2/3 (8/12) menjadi 8/15
Ayah : 1/6 (2/12) menjadi 2/15
Ibu : 1/6 (2/12) menjadi 2/15
Suami : 1/4 (3/12) menjadi 3/15

b. Radd
Ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah
berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/ lebihnya
jumlah bagian ashabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan
dari al-aul. Masalah ini sama dengan aul , tetapi bedanya
jumlah harta yang harus di bagikan melebihi ketentuan.

200
Kapita Selekta Fiqh

1. Anak dalam kandungan .


Janin dalam kandungan berhak menerima waris
dengan memenuhi dua persyaratan :
a. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya
dalam kandungan ibunya ketika pewarisnya wafat.
b. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut
ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang
berhak mendapat warisan. Kedudukan anak dalam
kandungan sebagai ahli waris tergantung keadaannya
setelah lahir. Dalam suatu hadist Nabi dari jabir
menurut riwayat abu daud dan di sah kan oleh Ibnu
Hibban yang artinya: Bila menangis anak yang
dilahirkan , ia berhak menjadi ahli waris.60

2. Kewarisan orang hilang atau mafqud


Mafqud yaitu orang hilang atau orang yang
tidak tahu kabar beritanya , ahli waris mafqud
mengandung arti ahli waris yang pada waktu
terjadinya kematian pewaris ia dalam keaadaan
mafqud.
Para fuqaha telah menetapkan beberapa
hukum yang berkenaan dengan orang yang
hilang/menghilang, diantaranya : istrinya tidak
boleh dinikahi/ dinikahkan, hartanya tidak boleh
diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh
diusik, sampai benar-benar diketahui keberadaannya
dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati.
Dalam mazhab Syafi’i dinyatakan bahwa
batas waktu orang yang hilang adalah Sembilan
puluh tahun, yakni dengan melihat umur-umur
orang yang sebaya diwilayahnya. Namun, pendapat
yang paling sahih menurut anggapan imam syafi’i
ialah batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan
atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa
yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian
divonisnya sebagai orang yang telah mati.

60 Ibid, h.166-167

201
Kapita Selekta Fiqh
Sementara itu, mazhab Hambali
berpendapat bahwa orang yang hilang itu dalam
keadaan yang dimungkinkkan kematiannya seperti
jika terjadi perperangan, atau menjadi salah seorang
penumpang kapal yang tenggelam. Maka
hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun.
Apabila setelah empat tahun belum juga
diketemukan atau belum juga diketahui beritanya,
maa hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya.
Demikiannya juga istrinya, ia dapat menempuh
masa iddahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah
masa iddah yang dijalaninya selesai.

H. HIKMAH PEMBAGIAN HARTA WARISAN


Adapun hikmah dari berlakunya kewarisan dalam Islam
adalah :
a. Menghindari terjadinya persengketaan dalam keluarga
b. Mewujudkan keadilan dalam keluarga berdasarkan syari’at
islam
c. Dapat memelihara harta benda dari satu generasi ke
generasi lain.
d. Dapat menegakkan nilai-nilai perikemanusiaan,
kebersamaan, dan demokratis di antara manusia, khususnya
dalam soal yang menyangkut harta benda.

202
Kapita Selekta Fiqh

BAB
V FIQH JINAYAH

Para fuqaha’ menyatakan bahwa lafal jinayah sama artinya


dengan jarimah. Akan tetapi bila kita selidiki kitab-kitab fiqih
klasik maka akan kita dapati suatu kenyataan bahwa kata jinayah
oleh para fuqaha’ hanya digunakan untuk pengertian tindak
pidana yang mengenai jiwa atau anggota badan saja, seperti
pembunuhan dan menganiayaan. Kata jinayah juga digunakan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Mesir, tetapi
pengertiannya berbeda dengan pengertian yang dikemukakan oleh
para fuqaha’ tersebut. Dalam KUH Pidana Mesir, tindak pidana
itu dibagi kepada tiga bagian yaitu jinayah, janhah, dan
mukhalafah.1
Dalam pasal 10 KUHP Mesir disebutkan bahwa jinayah
yaitu suatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati,
kerja berat seumur hidup, kerja berat sementara, atau penjara.
Dalam pasal 11 disebutkan bahwa yang janhah adalah suatu tindak
pidana yang diancam dengan hukuman kurungan lebih dari satu
minggu atau denda lebih dari seratus piaster ( qirsy). Dalam pasal
12 mukhalafah adalah suatu tindak pidana yang diancama dengan
hukuman kurung tidak lebih dari satu minggu atau hukuman
denda tidak lebih dari seratus piaster ( qirsy)
Ketiga macam tindak pidana menurut KUHP Mesir
tersebut dalam hukum pidana Islam dinamakan jinayah atau
jarimah, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas jinayah itu

1 Ahmad Wardi Mukhlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih

Jinayah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), Cet 1 , h. 14

203
Kapita Selekta Fiqh

setiap perbuatan yang dilarang dengan tidak memandang berat


ringannya hukuman yang diancamkan kepadanya.

A. PENGERTIAN JINAYAH
Dalam mempelajari Fiqih Jinayah, ada dua istilah penting
yang terlebih dahulu harus dipahami yaitu Jinayah dan Jarimah.
Kedua masalah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah
yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi muradif (sinonim)
bagi istilah lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Walaupun
demikian, kedua istilah tersebut berbeda dalam penerapan
kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus
diperhatikan dan dipahami agar penggunaannya tidak keliru.
Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat.
Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) Janaa
yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukan bagi laki–
laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu
sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk singular bagi
laki–laki atau bentuk mufrad mudzakkara sebagai pembuat
kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan bagi pelaku kejahatan
wanita adalah jaaniah, yang artinya dia ( wanita) yang telah
berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran objek perbuatan si
jaani atau mereka yang terkena dampak dari perbuatan si pelaku
dinamai mujnaa alaih atau korban.2
Dr. Abdul Qadir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-Jina’i
Al Islamy menjelaskan arti kata jinayah sebagai berikut :
‫ص ِطالَ ًحا اِ جس ٌم‬ ِ ِِ ِ ِ
‫ وإلَ ج‬. ُ‫اْلنَا يَةُ لُغَةً ا جس ٌم ل َما َجَينجيه اجملَجرءُ م جن َش ّرَما اجكتَ َسبَه‬
ِ‫ج‬
3
‫ك‬ ِ ٍ ‫لِِف جع ِل ُُمََّرٍم َشجر ًعا َس َواءٌ َوقَ َع اج ِلف جع ِل َعلى نَ جف‬
َ ‫س اَجوَم ٍال اَجو َغ جٍْي ذَال‬ َ
“Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan
jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu

2 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka


Setia, 2000) Cet.I, h 11
3Abdul Al-Qadir Audah, Al Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I, (Kairo: Dār al

Urubah, 1963) h.67.

204
Kapita Selekta Fiqh

perbuatan yang diharamkan Syara’, baik perbuatan itu mengenai


jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda”.
Jadi, pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang
diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang
dilarang atau dicegah olah Syara’ (Hukum Islam). Apabila
dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi
membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.

B. PENGERTIAN JARIMAH
Jarimah menurut bahasa adalah berusaha dan bekerja. Hanya
saja pengertian berusaha di sini khusus usaha yang tidak baik atau
usaha yang dibenci oleh manusia.4 Jarimah menurut istilah
adalah:
‫اركاب كل ما هو خمالف للحق والعدل والطريق املستقيم‬
Melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran,
keadilan dan jalan yang lurus.
Jarimah disebut juga dengan tindak pidana. Menurut Imam
Al-Mawardi pengertian jarimah adalah

5 .‫اْلرائم ُمظورات شرعية زجر هللا تعاىل عنها جبد أو تعزير‬


Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’
yang di ancam oleh Allah Swt. dengan hukuman had atau ta’zir.
Jarimah dalam istilah lain disebut juga dengan jinayah.
Menurut Abdul Qadir Audah, pengertian jinayah adalah :

‫ سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غْي‬,‫فاْلناية اسم لفعل ُمرم شرعا‬
6 ‫ذلك‬

4 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004), h 9
5 Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Mesir : Mushthafa

Al-Baby Al-Halaby, 1975), Cet. Ke III, h 219

205
Kapita Selekta Fiqh

Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh


syara’ baik perbuatan tersebut mengenai masalah jiwa, harta atau
lainnya.
Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa antara
jinayah dan jarimah mempunyai perbedaan. Kalau jinayah adalah
kumpulan seluruh perbuatan yang dilarang dan diancam oleh
Allah, dimana perbuatan tersebut tidak terpisahkan, sementara
jarimah yaitu istilah satu bagian dari perbuatan yang dilarang dan
diancam oleh Allah, seperti jarimah zina, jarimah pencurian. Kalau
seluruh jarimah yang ada ancamannya maka disebut dengan
jinayah. Selain itu antara jinayah dan jarimah merupakan ungkapan
terhadap perbuatan yang buruk yang dilarang untuk
mengerjakannya. Perbuatan tersebut dipandang tidak baik, sangat
dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan,
kebenaran dan ajaran agama. Para fuqaha menyatakan bahwa lafaz
jinayah dan jarimah adalah sama artinya.
Larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan
perbuatan yang dilarang atau meningggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Dengan kata- kata “ Syara’ ” pada pengertian
tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan
baru bisa dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara’. Juga
berbuat atau tidak berbuat tidak diangggap sebagai jarimah,
kecuali bila diancam hukuman terhadapnya.7
Had adalah suatu kata yang berasal dari bahasa Arab yang
dalam bentuk jamaknya dikenal dengan kata hudud. Had yang
secara harfiah ada beberapa kemungkinan arti antara lain batasan
atau definisi, siksaan, ketentuan atau hukum. Had dalam
pembahasan fiqih (hukum Islam) adalah ketentuan tentang sanksi
terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral.
Sedangkan menurut syari’at Islam, yaitu ketetapan Allah yang
terdapat dalam Al-Quran dan kenyataan yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw. Tindak kejahatan yang dimaksud, baik dilakukan

6 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami,Juz I (Beirut : Dar Al-


Kitab Al-Arabi, tt), h 67
7 Ahmad Hanafi, Asas- Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,

1993) Cet.5, h.1

206
Kapita Selekta Fiqh

oleh seseorang atau kelompok, sengaja atau tidak sengaja, dalam


istilah fiqih disebut dengan jarimah.
Jenis- jenis had yang terdapat di dalam syari’at Islam, yaitu
rajam, jilid atau dera, eksekusi bunuh, pengasingan/deportasi, dan salib.
Adapun jarimah, yaitu delik pidana yang pelakunya diancam sanksi
had, yaitu zina (pelecehan seksual), qadzaf (tuduhan zina), sariqah
(pencurian), hirabah (penodongan, perampokan), khamar (minuman
dan obat-obat terlarang), bughah (pemberontakan), dan
riddah/murtad (keluar dari agama Islam). Selain jarimah hudud
dalam hukum pidana Islam, ada juga jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir
secara harfiah bermakna menolong atau memuliakan.
Ta’zir dalam pengertian istilah hukum pidana Islam adalah
hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan
pelakunya dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffarat
atau diat. Tindak pidana yang dikelompokkan atau yang menjadi
objek pembahasan ta’zir adalah tindak pidana ringan seperti
pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, tuduhan kejahatan
yang tidak termasuk zina, tuduhan berbuat kejahatan selain zina,
pencurian yang tidak sampai satu nisab harta.
Jarimah biasa dipakai sebagai perbuatan dosa baik dari segi
bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan dosa. Misalnya,
pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, atau perbuatan yang
berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut
dengan istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan
satuan atau sifat dari perbuatan tadi. Oleh karena itu, digunakan
istilah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah
pemerkosaan, dan jarimah politik dan bukan istilah jinayah
pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah pemerkosaan, dan jinayah
politik.
UNSUR-UNSUR JINAYAH DAN JARIMAH
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana
apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur yang
dimaksud adalah sebagai berikut :

207
Kapita Selekta Fiqh

a. Unsur jinayah
a) Al-Rukn Al-Syar’i yaitu unsur dalil yang terdapat di
dalam nash (Al-Qur’an dan Sunnah) yang melarang
perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman
hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini
dikenal dengan istilah unsur formal.
b) Al-Rukn Al-Maddi yaitu unsur perbuatan yang
membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan
yang dilarang atau meningggalkan perbuatan yang
diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur
material.
c) Al-Rukn al-Adabi yaitu Pelaku kejahatan adalah orang
yang dapat menerima khitbah atau dapat memahami
taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf,
sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang
mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur
moral”.
b. Unsur Jarimah
Unsur jarimah ini terbagi kepada dua, yaitu ada unsur
yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Unsur
umum berlaku untuk semua jarimah , sedangkan unsur
khusus hanya berlaku untuk masing-masing dari jarimah
dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang
lain. Dua unsur tersebut adalah :
a) Unsur Umum
Unsur umum jarimah adalah unsur-unsur yang
terdapat pada setiap jenis jarimah, unsur umum jarimah
itu terdiri dari :
1) Unsur formal ( al-Rukn al-Syar’iy), yakni telah ada
aturannya.
Unsur formal adalah adanya ketentuan syara’
atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang
dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum
dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau
adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman
terhadap perbuatan yang dimaksud.

208
Kapita Selekta Fiqh

2) Unsur material atau (al-Rukn al-Maddi)


Unsur material adalah adanya perilaku yang
membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun
tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat
melawan hukum.
3) Unsur moril (rukun adaby)
Unsur ini juga disebut dengan al-mas’uliyyah al
jiniyyah atau pertanggung jawaban pidana.
Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat
tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
b) Unsur Khusus
Unsur khusus jarimah adalah unsur yang terdapat
pada sesuatu jarimah, namun tidak terdapat pada jarimah
lain. Sebagai contoh, mengambil harta orang lain secara
diam-diam dari tempatnya dalam jarimah pencurian,
atau menghilangkan nyawa manusia oleh manusia
lainnya dalam jarimah pembunuhan.

C. MACAM – MACAM JARIMAH


Berdasarkan sudut pandang dalam melihat bentuk jarimah
atau aspek yang ditonjolkan, jarimah dapat dibagi manjadi
bermacam-macam bentuk dan jenis. Macam-macam jarimah sesuai
aspek yang dilihat terbagi atas:

a. Dilihat Dari Pelaksanaannya


Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah
bagaimana pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah
itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan yang terlarang
ataukah si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang
diperintahkan. Kalau si pelaku mengerjakan perbuatan yang
terlarang, ia telah melakukan jarimah secara ijabiyyah, artinya aktif
dalam melakukan suatu jarimah, atau dalam Hukum Pidana
Indonesia dinamakan dengan delict commisionis. Pelaku jarimah
jenis ini telah melakukan perbuatan maksiat, mengerjakan

209
Kapita Selekta Fiqh

perbuatan yang dilarang melaksanakannya, seperti berzina,


mencuri, mabuk-mabukkan, membunuh dan sebagainya. Bentuk
kebalikannya adalah si pelaku jarimah salabiyyah, artinya pelaku
pasif, tidak berbuat sesuatu atau dalam Hukum Pidana Indonesia
disebut dengan delict ommisionis, seperti tidak melakukan sholat,
tidak membayar zakat, tidak menolong orang lain yang sangat
membutuhkan padahal ia sanggup melaksanakannya.

b. Ditinjau Dari Segi Niat Pelaku


Ditinjau dari segi niatnya, jarimah itu dapat dibagi kepada
dua bagian, yaitu: jarimah sengaja dan tidak sengaja.

a) Jarimah Sengaja (Jaraim Maqshudah)


Masalah sengaja atau tidak disengaja berkaitan erat
dengan niat pelaku. Menurut Muhammad Abu Zahra, yang
dimaksud dengan jarimah yang disengaja adalah sebagai
berikut.

‫ص َعا ِم ًدا ُم ِريج ًدا ََلَا َعا لِ ًما‬ ِ ِ ِ


َ ‫ص جوَدةُه َي اجْلََراء ُم الَِِّت يُبَا ِش ُرَها اج‬
ُ ‫لش جخ‬ ُ ‫فَاجْلََراء ُم اجملَجق‬
.‫ب َعلَجي َها‬ ٌ َ‫َّه ِي َعجن َها َو ِِبَ ََّّنَا َم َعاق‬
‫ِبلن ج‬
8

Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh


seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia
mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan
hukuman.

b) Jarimah Tidak Sengaja (Jaraim Ghairu Maqshudah)


Pelaku jarimah tidak sengaja mengerjakan sesuatu
perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut terjadi
sebagai akibat kekeliruan dan kelalaiannya.
Abdul Qadir Audah mengemukakan pengertian jarimah
tidak sengaja sebagai berikut:

8 Muhammad Abu Zahrah, al Uquubah: al Jarimah Wa al Uqubah fi al Fiqh al

Islam (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), h. 143.

210
Kapita Selekta Fiqh

‫ص جوَدةُ ِه َي الَِّ جِت ََليَجن تَ ِوى فِجي َها اجْلَاِِن اِتج يَا َن اج ِلف جع ِل اجمل َحَّرَم َولَ ِك جن يَ َق ُع‬ ِ
ُ ‫اجْلََراء ُم اجملَجق‬
ُ ِ ِ ِ
ُ‫الجف جع ُل نَتجي َجةَ َخطَِإ مجنه‬
9

Jarimah tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja


(berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan
tertsebut terjadi akibat kelalaiannya (kesalahannya).10

c. Dilihat Dari Objeknya


Pembagian jarimah berdasarkan objeknya terbagi atas dua
bentuk yakni; jarimah masyarakat dan jarimah perseorangan.

a) Jarimah masyarakat
Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman
terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan
masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai perseorangan atau
mengenai ketentraman masyarakat dan keamananya. Menurut
para fuqaha, penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut
menjadi hak Allah dan hal ini berarti bahwa terhadap hukuman
tersebut tidak ada pengampunan, keringanan atau menunda-
nunda pelaksanaan hukuman. Hudud termasuk kedalam jarimah
masyarakat, meskipun pada ghalibnya lebih banyak mengenai
perseorangan. Seperti mencuri dan menuduh orang lain
berbuat zina.
Penggolongan pada jarimah masyarakat bukan berarti
bahwa kerugian dari perseorangan tidak masuk dalam
pertimbangan, melainkan sekedar menguatkan kepentingan
masyarakat atas kepentingan perseorangan, sehingga apabila
korban memberikan pengampunan, maka ini tidak berpengaruh
terhadap penjatuhan hukuman.

b) Jarimah perseorangan
Jarimah perseorangan yaitu suatu jarimah, dimana
hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi
kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang

9Abdul Al-Qadir Audah, h. 83.


10Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2004) Cet.I, h.22

211
Kapita Selekta Fiqh

menyinggung perseorangan juga berarti menyinggung


masyarakat. Jarimah qishas diyat termasuk jarimah perseorangan.
Hal ini tidak berarti masyarakat tidak dirugikan oleh adanya
jarimah tersebut, melainkan sekedar lebih menguatkan hak
perseoarangan atas hak masyarakat. Oleh karena itu, korban
dapat menghapuskan hukuman-hukuman qisas sebagai
hukuman pokok untuk jarimah-jarimah qisas diyat. Kemudian
diganti dengan hukuman ta’zir, dengan maksud untuk
memelihara hak masyarakat yang telah dirugikan pembuat
jarimah tersebut dengan tidak langsung. 11

d. Dilihat Dari Segi Motifnya


Ditinjau dari segi motifnya (tabiatnya) jarimah terbagi atas
dua bagian yaitu:
1) Jarimah Biasa yaitu jarimah yang dilakukan oleh seseorang
tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik seperti;
membunuh, mencuri, penganiayaan, dan lain sebagainya.
2) Jarimah politik yaitu jarimah yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap peraturan pemeritah dan pejabat-pejabat
pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah
ditetapkan pemerintah.12

e. Dilihat Dari Segi Berat Ringannya Hukuman


Berdasarkan berat ringannya hukuman, jarimah terbagi atas
tiga bagian yaitu:
1) Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang
telah ditentukan oleh Syara’ dan menjadi hak Allah (dan hak
masyarakat). Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu
adalah sebagai berikut:
a) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa
hukumannya telah ditentukan oleh Syara’ dan tidak ada
batas maksimal dan minimal.

11 Ahmad Hanafi, h.18


12 Ahmad Wardi Muslich, h.27

212
Kapita Selekta Fiqh

b) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau


kalau ada hak manusia disamping hak Allah, maka hak Allah
yang lebih menonjol.
Pengertian hak Allah sebagaimana yang diungkapkan
oleh Muhammad Syaltut adalah sebagai berikut.

‫ص بَِوا ِح ٍد ِم َن‬
َّ َ‫ َوََلج ََيجت‬،‫ َما تَ َعلَّ َق بِِه النّ جف ُع اج َلعا ُّم لِلج َج َما َع ِة اجلبَ َش ِريَِّة‬:ِ‫ َح ُّق هللا‬...
13 ِ
‫النَّاس‬
Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kaepada
masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang.

Dalam hubungannya dengan hukuman had maka


pengertian hak Allah disini adalah bahwa hukuman tersebut
tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi
korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili
oleh negara
Jarimah hudud ini ada tujuh macam yaitu antara lain:
Jarimah zina Jarimah qadzaf, Jarimah syurbul khamr, Jarimah
sariqah, Jarimah hirabah, Jarimah riddah, Jarimah Al Bagyu
(pamberontakan).14Untuk lebih jelasnya maka penulis akan
memaparkannya satu persatu.
a) Jarimah Zina
Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan
keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin
antara seorang lelaki dengan seorang prempuan yang satu
dengan yang lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.15
Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu
melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar

13 Mahmud Syaltut, Al Islam ‘Aqidah wa Syar’iah, (Darul Qalam, 1966) h.


296
Abdul Qadir Audah, h. 79
14

Abdurrahman Doi, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka


15

Cipta, 1991), h. 31

213
Kapita Selekta Fiqh

(kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram,


bukan karena syubhat, dan atasa dasar syahwat16.
Terhadap pelaku perzinaan, ditentukan tiga bentuk
hukuman, yaitu hukuman cambuk (dera atau jilid), pengasingan
dan rajam. Dua hukuman yang pertama (jilid dan pengasingan)
dikenakan bagi pelaku perzinaan ghairu muhsan, yaitu pelaku
zina yang belum menikah, sedangkan bagi pezina muhsan, yang
telah menikah baik dalam status masih menikah, atau telah
putus perkawinanya, berlaku hukuman rajam.17 Sebagaimana
yang terdapat dalam firman Allah dan hadis Nabi berikut ini.
a. Qs. An-Nur: 2

‫اح ٍد ِمجن ُه َما ِمائَةَ َجلج َدةٍ َوََل ََتج ُخ جذ ُك جم ِبِِ َما َرأجفَةٌ ِِف ِدي ِن‬
ِ ‫الزِاِن فَاجلِ ُدوا ُك َّل و‬
َ ‫ج‬ َّ ‫الزانِيَةُ َو‬
َّ
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ
َ ‫اَّلل إِ جن ُكجن تُ جم تُ جؤمنُو َن ِب ََّّلل َوالجيَ جوم جاْلخ ِر َولجيَ جش َه جد َع َذ َاِبَُما طَائ َفةٌ م َن الج ُم جؤمن‬
‫ي‬
"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, hendaklah kamu jilid
masing-masing seratus kali jilid dan janganlah kamu merasa
belas kasihan kepada keduanya hingga mencegah kamu dalam
menjalankan agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhir dan hendaklah hukuman itu disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman".18

a. Hadis Nabi Saw :

‫ قال رسول هللا صلّى هللا‬:‫الصامت رضى هللا تعاىل عنه قال‬
ّ ‫وعن عبادةبن‬
‫َلن سبيال‬
ّ ‫ فقد جعل هللا‬. ‫عّن‬
ّ ‫ خخذوا‬، ‫عّن‬ ّ ‫اعّن خخذوا‬
ّ ‫عليه وسلّم خذو‬

16 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika,2007), Cet. I,


h. 37
17 Rahmat Hakim, h. 73
18 Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahan, (CV Diponegoro: Jawa Barat, 2005),
h. 279

214
Kapita Selekta Fiqh

‫ البكر بلبكرجلد مائة ونفي سنة والثيب ب لثيب جلد مائة والرجم ب‬،
19
)‫حلجارة (رواه مسلم‬
"Dari ‘Ubadah bin Shamid menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda. “Ambillah hukum dariku, karena Tuhan telah
memberikan jalan penyelesaian bagi mereka (wanita yang
berzina) gadis dan pemuda seratus kali jilid dan pengasingan
selama setahun, sedangkan janda seratus kali jilid dan lemparan
batu (rajam).” (HR. Muslim)

Hadis ini tidak disepakati kesahihannya, maka para


fuqaha berbeda-beda pendapatnya. Menurut Imam Abu
Hanifah beserta murid-muridnya, hadis tersebut telah
dibatalkan (mansukh) atau tidak terkenal (ghairu masyhur).
Mereka tidak mengakui hukuman pengasingan sebagai
hukuman had, melainkan sebagai hukuman ta’zir yang boleh
dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh penguasa. Imam Malik
menganggap pengasingan sebagai hukuman had yang harus
dijatuhkan atas orang laki-laki maupun orang perempuan.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menganggap pengasingan
sebagai hukuman had atas pelaku zina bukan muhshan (ghairu
muhshan)20

b) Jarimah Qadzaf
Qadzaf menurut bahasa adalah ram’yusyain artinya
melempar sesuatu. Maksud yang dikehendaki oleh Syara’
adalah melemparkan tuduhan (wath’i) zina kepada orang lain
yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh
(makdzuf). Bagi pelaku jarimah qadzaf atau menuduh orang lain
berzina dan tidak terbukti, dikenakan dua hukuman, hukuman
pokok berupa dera ( jilid) delapan puluh kali (80x) dan
hukuman tambahan berupa tidak diterima kesaksiannya selama

19 K.H. Kahar Masyhur (Penerjemah), Bulughul Maram, ( Jakarta: Rieneka

Cipta, 1992), Cet.I Jilid II, h. 194


20 Ahmad Hanafi, , h.18

215
Kapita Selekta Fiqh

seumur hidup.21 Firman Allah Qs. An-Nur ayat 4 yang


berbunyi:

‫ي َج جل َد ًة َوََل‬ ِ ِ َ‫ات ُثَّ ََل َيجتُوا ِِبَرب ع ِة ُشه َداء ف‬ِ َ‫والَّ ِذين ي رمو َن الجمحصن‬
َ ‫وه جم ََثَان‬
ُ ‫اجل ُد‬
‫ج َ جَ َ َ َ ج‬ َ ‫َ َ َج ُ ُ ج‬
ِ ‫ك هم الج َف‬
‫اس ُقو َن‬ ِ
ُ ُ َ ‫تَ جقبَ لُوا ََلُجم َش َه َادةً أَبَ ًدا َوأُولَئ‬
"Mereka menuduh perempuan baik-baik, kemudian mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka jilidlah mereka delapan
puluh kali dan janganlah kamu terima kesaksiannya selamanya,
mereka itulah orang-orang yang fasik".22

Banyak faktor yang mendorong dilakukannya jarimah


qadzaf, antara lain rasa dengki, balas dendam, dan persaingan.
Akan tetapi kesemuanya itu bermuara pada satu tujuan, yaitu
menghina korban dan melukai hatinya. Dengan jarimah qadzaf,
pembuat bermaksud menimbulkan derita kejiwaan dengan
jalan menjatuhkan nama baiknya, dan oleh karena itu
perbutannya itu harus diimbangi pula dengan perbuatan yang
telah dilakukannya, di samping derita kejiwaan yang harus
diterimanya dari masyarakat, yaitu dinyatakan hilang
kejujurannya, sehingga ia tidak bisa menjadi saksi serta di cap
sebagai orang fasik selama hidupnya.

c) Jarimah Syurbul Khamr


Ada beberapa nama yang diberikan para Ulama
berkenaan dengan jarimah ini. Al-Bukhari memberikan nama
syaribul khamr, Abu Daud menamakannya al-hadu fil khamr.
Ibnu Majah menyebutnya dengan haddus sakran, Imam Syafi’i
menyebutnya haddul khamr, dan Imam Hanafi menamainya
dengan haddus syurb.
Asyribah adalah bentuk jama’ (plural) dari kata syurbun.
Yang dimaksud dengan asyribah atau minum-minuman keras

21 Rahmat Hakim, h. 79-80


22 Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahan, h. 279

216
Kapita Selekta Fiqh

adalah minuman yang bisa membuat mabuk, apapun asal


minuman. Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad,
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan khamr adalah
minuman yang memabukkan, baik disebut dengan khamr atau
dengan nama lain. Adapun Abu Hanifah membedakan antara
khamr dengan mabuk. Khamr diharamkan meminumnya, baik
sedikit maupun banyak, dan keharamannya terletak pada
zatnya. Minuman lain yang bukan khamr tapi memabukkan,
keharamannya tidak terletak pada minuman itu sendiri
(zatnya), tetapi pada minuman terakhir yang menyebabkan
mabuk. Jadi menurut Abu Hanifah, minum-minuman
memabukkan selain khamr, sebelum minuman terakhir tidak
diharamkan.23
Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, hukuman
untuk peminum minuman keras (khamr) adalah dera delapan
puluh kali. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan satu riwayat
dari Imam Ahmad, hukuman untuk peminum minuman keras
tersebut adalah dera empat puluh kali. Akan tetapi, mereka ini
membolehkan dera delapan puluh kali apabila hakim (Imam)
memandang perlu. Dengan demikian, menurut pendapat Imam
Syafi’i, hukuman hadnya empat puluh kali dera, sedangkan
kelebihannya, yaitu empat puluh kali dera untuk hukuman
ta’zir.24
Azas legalitas dari pengharaman khamr, surat Al-
Maidah ayat 90 yang berbunyi:
‫س ِم جن َع َم ِل‬ ِ ِ ‫ين ءَ َامنُوا إََِّّنَا ج‬ ِ َّ
ٌ ‫اب َو جاْل جَزََل ُم ر جج‬
ُ ‫ص‬َ ‫اْلَ جم ُر َوالج َمجيس ُر َو جاْلَنج‬ َ ‫ََيأَيُّ َها الذ‬
‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك جم تُ جفلِ ُحو َن‬ ِ
‫الشجَّيطَان فَ ج‬
"Hai 0rang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi,
(berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak

23 Rahmat Hakim, h. 95
24 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika,
2005), Cet. II, h. 76

217
Kapita Selekta Fiqh

panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan Syetan,


maka hindarilah, mudah-mudahan kamu beruntung".25

Hadis Nabi saw:

‫يب صلى هللا عليه وسلّم ايت برجل‬


ّ ّ‫عن ا نس ابن ما لك رضي هللا عنه ا ّن الن‬
‫فلما كان‬
ّ ‫ وفعله ابوبكر‬:‫ قل‬،‫قد شرب اْلمر فجلد ه جبريدتي حنو اربعي‬
‫اخف احلدود َثانون فامربه عمر‬
ّ :‫عبدالرمحن بن عوف‬ ّ ‫فقال‬. ‫عمراستشارالناس‬
)‫(متفق عليه‬
"Dari Anas bin Malik r.a bahwa Nabi Saw. pernah didatangi
laki-laki yang telah meminum khamr, maka Nabi menderanya
dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali, hal ini juga
dilakukan oleh Abu Bakar. Akan tetapi kata Abdurrahman bin
Auf, paling rendah hukuman itu adalah delapan puluh kali, maka
Umar memerintahkan begitu". (Mutafaqun Alaih)26

Menurut pendapat yang kuat hukuman delapan puluh


kali jilid, baru di tetapkan pada masa khalifah Umar bin
Khattab r.a, dimana ketika itu ia bermusyawarah dengan para
sahabat tentang hukuman tersebut, maka Ali menyarankan
delapan puluh kali jilid, dengan alasan apabila orang mabuk,
dan jika mabuk ia mengigau maka ia memfitnah (membuat
kedustaan) sedangkan hukuman pembuat fitnah (pembuat
qadzaf) adalah delapan puluh kali jilid. Dan saran tersebut
diterima oleh para sahabat. Jadi sumber larangan minuman
keras adalah al Qur’an dan sumber besarnya hukuman dari
ijma’ para sahabat.27

d) Jarimah Sirqah (pencurian)


Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil
harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi dilakukan oleh

25 Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahan, , h. 96


26 Rahmat Hakim, h.100
27 Ahmad Hanafi, h. 270

218
Kapita Selekta Fiqh

orang yang tidak dipercayai menjaga harta tersebut. Dengan


demikian, menggelapkan harta orang lain tidak dianggap
sebagai jarimah pencurian, dan tidak dihukum dengan
hukuman potong tangan..28
H.A.Djazuli membedakan antara pencurian dengan
penggelapan sebagai berikut:
Pertama, dilihat dari segi hukuman. Pencurian dikenai
hukuman had potong tangan, sedangkan penggelapan dikenai
hukuman ta’zir dan hal ini tentu menjadi wewenang hakim
dalam menjatuhkan hukuman tersebut.
Kedua, dilihat dari segi pelaksanaan pengambilan harta
tersebut. Pada pencurian, pengambilan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, dan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Sedangkan pada kasus penggelapan dilakukan dengan terang-
terangan. Dalam hal ini pemilik mengira harta tersebut masih
ada dan dijaga oleh orang yang dipercayainya. Oleh karena itu,
kalau menjaganya, mengambilnya, dia dianggap telah berbuat
terang-terangan.
Ketiga, dilihat dari segi tempat objek harta tersebut.
dalam pencurian, harta yang diambil tersimpa pada tempat
tertentu yang memang sengaja disimpan pemiliknya.,
sedangkan pada penggelapan, penyimpanan harta tersebut
tidak diketahui pemiliknya dan hanya diketahui orang yang
dipercayai, sedangkan pemiliknya hanya mengetahui bahwa
harta itu ada. Oleh karena itu, persyaratan tempat dalam kasus
penggelapan tidak disyaratkan.
Keempat, dilihat dari ukuran harta. Pada pencurian
dikenal ukuran-ukuran tertentu yang mengakibatkan jatuhnya
hukuman had atau yang dikenal dengan term nishab. Adapun
pada kasus penggelapan tidak dikenal ukuran-ukuran tertentu,
sejauh mana penggelapan itu bisa dikenakan hukuman.
Pencurian dalam Syari’at Islam ada dua macam, yaitu
pencurian ringan dan pencurian berat. Pencurian ringan adalah
mengambil harta orang lain dengan cara diam-diam, yaitu
dengan jalan sembunyi-sembunyi. Sedangkan pencurian berat
adalah mengambil harta orang lain dengan cara kekerasan.

28 K.H. Kahar Masyhur (Penerjemah, h. 224

219
Kapita Selekta Fiqh

Perbedaan dari keduanya, yaitu pada pencurian ringan,


pencurian harta itu dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik dan
tanpa persetujuannya.. Dalam istilah lain, pencurian berat ini
disebut jarimah hirabah atau perampokan. Pencurian yang
hukumannya ta’zir juga dibagi kepada dua bagian sebagai
berikut.
1. Semua jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat.
Contohnya pengambilan harta milik anak oleh ayahnya.
2. Pengambilan harta milik orang lain dengan sepengetahuan
pemiliknya, tanpa kerelaan dan tanpa kekerasan. Contohnya
seperti menjambret kalung dari leher seorang wanita, lalu
penjambret itu melarikan diri dan pemilik barang tersebut
melihatnya sambil berteriak minta bantuaan. 29
Asas legalitas berikut hukuman pencurian tertera
dalam surat Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:

َّ ‫اَّللِ َو‬
‫اَّللُ َع ِز ٌيز‬ َّ ‫السا ِرقَةُ فَاقجطَعُوا أَيج ِديَ ُه َما َجَزاءً ِِبَا َك َسبَا نَ َك ًاَل ِم َن‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
‫َح ِك ٌيم‬
"Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan
keduanya, sebagai pembalasan bagi apa yang dia kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".30

Mengenai batas yang menyebabkan hukuman potong


tangan terjadi perbedaan diantara ulama. Di antara ulama,
ada yang meniadakan nisab pencurian, artinya sedikit
apalagi banyak, sama-sama dihukum potong tangan.
Adapun jumhur fuqaha mensyaratkan adanya nisab ( batas
tertentu) sehingga seorang pencuri dapat dikenai hukuman
potong tangan. Inipun terdapat perbedaan tentang batasan
atau nisab tersebut. Imam Syafi’i dan Imam Malik
mengatakan seperempat dinar, sedangkan Imam Abu

29 Ahmad Wardi Muslich, Hukum pidana islam, h.81


30 Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahan, h.90

220
Kapita Selekta Fiqh

Hanifah mengatakan sepuluh dirham atau satu dinar,


berdasarkan Hadist Nabi:

‫َل تقطع يدالسارق اَلّ ىف دينار او عشر دراهم‬


"Tidaklah dipotong tangan pencuri, kecuali pada satu dinar
atau sepuluh dirham".
Di samping itu, ada yang mengatakan (seperti Ibnu
Rusyd) batasan tersebut adalah Seperempat dinar, seperti
hadis yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Imam Muslim,
melalui perawi Siti Aisyah, yang berbunyi:31
‫ قال رسول هللا صلّى هللا عليه‬:‫عن عا ئشة رضى هللا تعاىل عنها قالت‬
)‫وسلّم َل تقطع يد سارق اَلّ ِف ربع دينار فصاعدا (رواه خبارى و مسلم‬
"Dari Aisah R.A menceritakan, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: ”Janganlah dipotong tangan pencuri, kecuali pada
seperempat dinar atau lebih.” (HR. Bukhari dan Muslim)32

e) Jarimah Hirabah (Perampokan)


. Imam Hanafi, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah sama
dalam memberikan definisi hirabah yaitu sebagai berikut:
Hirabah adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan
kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di
jalan, mengambil harta atau membunuh orang.
Sedangkan Imam Syafi’i memberikan definisi hirabah itu
adalah sebagai berikut:
Hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, membunuh,
atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang
dengan kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan).

Imam Malik lain lagi, menurut beliau hirabah itu adalah:


Mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik dengan
menggunakan kekuatan atau tidak

31 Rahmad Hakim,h. 86-87


32 K.H. Kahar Masyhur (Penerjemah),, h. 215

221
Kapita Selekta Fiqh

Sementara itu golongan Zhahiriyah memberikan definisi


yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan
sebagai berikut:
Perampok adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan
mengintimidasi orang yang lewat.33

Hukuman terhadap jarimah hirabah ini ada empat


bentuk, yaitu: hukuman mati biasa, hukuman mati disalib,
hukum potong tangan dan kaki secara bersilangan,
hukuman pengasingan. Ketentuan itu terdapat dalam surat
Al Maidah ayat 33 sebagai berikut:

َّ ‫ين ُُيَا ِربُو َن‬


ِ ‫اَّللَ َوَر ُسولَهُ َويَ جس َع جو َن ِِف جاْل جَر‬ ِ َّ ِ
‫ض فَ َس ًادا أَ جن يُ َقتَّلُوا أ جَو‬ َ ‫إََّّنَا َجَزاءُ الذ‬
ِ ِ ‫ف أَو ي جن َفوا ِمن جاْلَر‬ ٍ ِ ِ ِ
‫ك ََلُجم‬َ ‫ض ذَل‬ ‫صلَّبُوا أ جَو تُ َقطَّ َع أَيجدي ِه جم َوأ جَر ُجلُ ُه جم م جن خ َال ج ُ ج َ ج‬ َ ُ‫ي‬
‫اب َع ِظ ٌيم‬ ِ
ٌ ‫ي ِِف الدُّنجيَ َاوََلُجم ِِف جاْلخَرةِ َع َذ‬
ِ
ٌ ‫خ جز‬
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar".34

Pertama, hukuman mati . Hukuman mati ini dijatuhkan untuk


pelaku jarimah hirabah apabila melakukan pembunuhan.
Hukuman nya disini adalah hukuman had dan bukan hukuman
qishas. Oleh karena itu hukuman ini tidak boleh dimaafkan.
Kedua, hukuman mati dengan disalib. Hukuman ini dijatuhkan
apabila pelaku jarimah hirabah melakukan pembunuhan serta
merampas harta korbannya. Jadi hukuman ini dijatuhkan atas
pembunuhan dan disertai pencuriaan, dimana pembunuhan
tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta.

33 Ahmad Wardi Muslich, h.94


34 Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahan, h.90

222
Kapita Selekta Fiqh

Hukuman tersebut juga merupakan hukuman had dan tidak


bisa dimaafkan.
Ketiga, hukuman pemotongan tangan dan kaki secara
bersilangan. Hukuman ini dijatuhkan atas pelaku jarimah
hirabah yang mengambil harta tetapi tidak melakukan
pembunuhan, pemotongan tangan kanan dan kaki kiri secara
bersilangan sekaligus. Pada dasarnya tujuan penjatuhan
hukuman tersebut sama dengan penjatuhan hukuman
pencurian. Akan tetapi karena jarimah hirabah biasanya
dilakukan di jalan-jalan umum yang jauh dari keramaian, maka
hukuman yang dijatuhkan harus lebih berat pula.
Keempat, Hukuman pengasingan. Hukuman ini dijatuhkan
apabila pelaku jarimah hirabah hanya menakut-nakuti orang
yang berlalu-lintas, tetapi tidak mengambil harta dan tidak
pula membunuh. Boleh jadi dengan perbuatannya itu pelaku
bermaksud mencari ketenaran nama, oleh karena itu maka
pelaku harus diasingkan, sebagai salah satu cara untuk
menghapus ketenarannya dan agar pelaku tidak mengganggu
keamanan lagi.35
f) Jarimah Riddah
Riddah menurut bahasa artinya kembali dari sesuatu ke
sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah Syara’, riddah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah
sebagai berikut:
“Riddah adalah kembali dari agama islam kepada kekafiran, baik
dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan
ucapan”.
Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Abdul
Qadir Audah, bahwa riddah itu adalah kembali (keluar) dari
agama Islam atau memutuskan (keluar) dari agama Islam.36
Hukuman untuk jarimah riddah ada tiga tiga macam,
yaitu hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman
tambahan.
(1) Hukuman pokok

35 Ahmad Hanafi. h.274-275


36 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam , h.119

223
Kapita Selekta Fiqh

Hukuman pokok untuk jarimah riddah adalah


hukuman mati dan statusnya adalah sebagai hukuman had.
Hal ini di dasarkan pada hadis Nabi SAW:

‫ من ب ّدل د ينه فاقتلوه‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم‬: ‫وعن ابن عباس رضى هللا عنه قال‬
)‫(رواه البخاري‬

Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: telah bersabda Rasulullah


SAW: “ Barang siapa yang menukar Agamanya maka
bunuhlah ia”. (HR. Bukhari)37

Hukuman mati ini adalah hukuman yang berlaku


umum untuk semua orang yang murtad, baik laki-laki
maupun perempuan, tua ataupun muda. Akan tetapi Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan tidak
dihukum mati karena murtad, melainkan dipaksa kembali
kepada Islam, dengan jalan ditahan, dan dikeluarkan setiap
hari untuk diminta bertobat dan ditawari untuk kembali
ke dalam Islam. Apabila ia menyatakan masuk Islam maka
dibebaskan, jika tidak maka ditahan sampai mati.
Sedangkan Ulama yang lain tidak membedakan antara
laki-laki dengan perempuan, keduanya tetap dihukum
mati.

(2) Hukuman pengganti.


Hukuman pengganti untuk jarimah riddah berlaku
dalam dua keadaan sebagai berikut:

(a) Apabila hukuman pokok gugur karena tobat maka


hakim menggantinya dengan hukuman ta’zir yang
sesuai dengan keadaan perbuatan pelaku tersebut.
Seperti, jilid, denda, penjara.
(b) Apabila hukuman pokok gugur karena syubahat,
seperti pandangan Imam Abu Hanifah yang
menggugurkan hukuman mati bagi pelaku jarimah
riddah perempuan dan anak-anak.

37 K.H. Kahar Masyhur (Penerjemah), h. 188

224
Kapita Selekta Fiqh

(3) Hukuman tambahan


Hukuman tambahan yang diberlakukan adalah
perampasan harta. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i
dan pendapat yang kuat dalam Mazhab Hambali, semua
harta orang yng murtad harus dirampas.38

Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah,


dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah
semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencuriaan dan
qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung disamping hak
Allah juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi
hak Allah lebih menonjol.39

2) Jarimah Qishash Dan Diat


Jarimah Qishash Dan Diat adalah perbuatan–
perbuatan yang diancamkan hukuman qishash atau hukuman
diyat. Qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang
telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas
terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak
perseorangan, dengan pengertian bahwa korban bisa
memaafkan si pembuat, dan apabila dimaafkan, maka
hukuman tersebut menjadi hapus.40

Jarimah qishas dan diyat ini hanya ada dua macam,


yaitu pembunuhan dan penganiayaan, namun apabila
diperluas ada lima macam, yaitu;41

a) Pembunuhan sengaja (‫) اَلج َقتج ُل اج َلع جم ُد‬

Pembunuhan disengaja adalah suatu perbuatan


yang disertai niat (direncanakan) sebelumnya untuk
menghilangkan nyawa orang lain, dengan menggunakn
alat-alat yang dapat mematikan, seperti golok, kayu

38 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam , h.129-130


39 Ahmad Wardi Muslich, h.18
40 Ahmad Hanafi. h.8
41 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam , h.148-178

225
Kapita Selekta Fiqh

runcing, besi pemukul, dan sebagainya, dengan sebab-


sebab yang tidak dibenarkan oleh ketentuan hukum.

Pembunuhan sengaja dalam Syari’at Islam


diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian
merupakan hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian
lagi merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokok
untuk pembunuhan sengaja adalah qishas dan kifarat,
sedangkan penggantinya adalah diat dan ta’zir. Adapun
hukuman tambahannya adalah penghapusan hak waris
dan hak wasiat.

b) Pembunuhan seperti disengaja ( ‫) اَلج َقتج ُل ِشجبهُ اج َلع جم ُد‬

Pembunuhan seperti disengaja adalah sengaja


dalam melakukan perbuatan yang dilarang, dengan alat
yang pada galibnya tidak akan mematikan, dan tidak ada
niat dari pelaku untuk membunuh korban, namun
kenyataannya korban mati karenanya.

Pembunuhan seperti disengaja dalam Hukum


Pidana Islam diancam dengan beberapa hukuman,
sebagian hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian
lagi hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk tindak
pidana pembunuhan seperti disengaja adalah diat dan
kifarat. Sedangkan hukuman pengganti adalah ta’zir.
Hukuman tambahan yaitu pencabutan hak waris dan
wasit.
c) Pembunuhan karena kesalahan (ُ‫)اَلج َقجت ُل اجْلَطَأ‬
Pembunuhan karena kesalahan adalah
pembunuhan yang sama sekali tidak ada unsur
kesengajaan untuk melakukan perbuatan tersebut, dan
tindak pidana pembunuhan terjadi karena kurang hati-
hati atau karena kelalaian dari pelaku. Hukuman untuk
pembunuhan karena kesalahan ini sama dengan
pembunuhan seperti disengaja, yaitu diat dan kifarat

226
Kapita Selekta Fiqh

sebagai hukuman pokok, sedangkan hukuman


tambahannya adalah penghapusan hak waris dan wasiat
d) Penganiayaan sengaja ( ‫)اَ جْلَجر ُح اج َلع جمد‬
Penganiayaan sengaja yaitu seseorang yang
sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan
maksud supaya perbuatannya itu mengenai dan
menyakiti orang lain. Adapun yang menjadi hukuman
pokoknya adalah qishas, sedangkan hukuman
penggantinya adalah hukuman diat atau ta’zir.
e) Penganiayan tidak sengaja ( ُ‫)اَ جْلَجر ُح اجْلَطَأ‬
Penganiayaan tidak sengaja adalah seseorang
yang memang sengaja melakukan suatu perbuatan,
tetapi perbuatan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan
untuk mengenai atau menyakiti orang lain. Hukuman
pokoknya adalah diat, sedangkan hukuman penggantinya
adalah hukuman ta’zir.
3. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa adalah
ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan Ar Rad Al
Man’u, artinya menolak dan mencegah. Sedangkan menurut
istilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Mawardi,
pengertiannya adalah sebagai berikut.
42
‫ب ََلج تُ جشَر جع فِجي َها ا جحلُ ُد جو ُد‬
ِ ‫والَّ جتع ِزيجر تَ جع ِديجب َعلَى ذُنُو‬
‫ج‬ ُ ُ َ
"Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana)
yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’".

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman


ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditentukan oleh Syara’,
melainkan diserahkan kepada Ulil Amri, baik penentuannya
maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman

42 Abu Al Hasan Ali Ibn Muhammad Al Mawardi.h 236

227
Kapita Selekta Fiqh

tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global


saja. Artinya pembuat.
Undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk
masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan
sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai
yang seberat-beratnya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir itu
adalah sebagai berikut;
(a) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya
hukuman tersebut belum ditentukan oleh Syara’ dan ada
batas minimal dan ada batas maksimal.
(b) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
Berbeda dengan jarimah qishas dan jarimah hudud,
maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya. Hal ini oleh
karena jarimah ta’zir ini adalah setiap perbuatan maksiat
yang tidak dikenakan hukuman had dan qishas, yang
jumlahnya sangat banyak seperti; riba, menggelapkan
titipan, memaki-maki orang dan lain sebagainya.

228
Kapita Selekta Fiqh

DAFTAR PUSTAKA

A.Munir dan Sudarsono. Dasar-Dasar Agama Islam, Jakarta:


Rineka Cipta, 1992.
Abdul Al-Qadir Audah, Al Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I,
(Kairo: Dār al Urubah, 1963).
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiar
Baru Van Hoave, 1997 Jilid IV.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2006 19. (Buku I).
--------, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: al-Hikmah, 2000. 248. (Buku II).
Abdullah al-Jaziri, al-Fiqh ala Mazdahibil al-arba’ah, Mesir:
Tijariyatul Kubra, 1989, juz IV.
Abdurrahman al-Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Prenada
Media, 2003, Cet. I.
Abdurrahman Doi, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1991).
Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Mesir :
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1975), Cet. Ke III.
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Cairo: Musthafa al-Babi, 1952, Jilid
II.
Abu Isa at-Tarmidzi, Al- Jami’ as-Shahih, Cairo: Musthafa al-Babi,
1938, Jilid IV.
Abu Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Beirut : Dar al-Masyriq,
1977.
--------, al-Munjit, Beirut : Darul al-Masyariq, 1998, cet, ke 30.
Abu Malik Kamal, Fiqh Sunah Wanita, Jakarta, Pena Pundi
Aksara, 2007.
Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhshiyyah, Mesir: Darul Fikri, 1957.
Abudin Nata, Masail al-Fiqhiyah, Jakarta Timur: Prenada Media,
2001.
Ahmad Bin Hanbal, Musnad Ahmad Bin Hanbal, Beirut: Darul
Fikri, Tanpa Tahun, jilid III.
Ahmad Hanafi, Asas- Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1993) Cet. 5.

229
Kapita Selekta Fiqh

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-


Fikr, t.t, Jilid. II.
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Ahmad Wardi Mukhlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
Fikih Jinayah, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, Cet 1.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2005), Cet. II.
Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat perkawinan, Bandung: Kerisma,
1996.
Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu:
Surabaya, 1995, Cet. I.
Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuh Filsafah
dan Hikmah Hukum Islam, Al-Imam Abi Zakariyya Yahya
bin Sarful An-Nawawi Ad-Damasqi, Raudatut At-Thalibin,
Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 676, Juz 1.
Al-Imam Ibn Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-
Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, th.t, Jilid VIII.
Al-Sha’aniy, Subulussalam, Terjemahan, alih bahasa oleh Abu
Bakar Muhammad, Surabaya, al-Ikhlas, 1995, jilid 3.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
-------, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta : PT. Gunung Agung , 1984.
As’ad M. al-Kalani, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: CV Bulan
Bintang, 1995, Cet ke-6.
Asnaini, Zakat Produktif dalam Persefektif Hukum Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Dendi Sugono.Kamus Pelajar, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2003 524
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Karya Anda, 1991
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Cet. 4, Jilid 4.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 1999.

230
Kapita Selekta Fiqh

Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana, 2006.


Drs. Ahmad Rafiq, M.A, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta Raja
Grafindo, 1998.
Drs.H.Arymuni A.Rahman, Ilmu Fiqih, Jakarta: P3DS, 1986.
Ghani, M. Ilyas Abdul; Sejarah Mekah, Al-Rasheed Printers,
Madina, 2003, Animasi, Ariasdi.
Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Bandung: Balai Pustaka,
1983.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadits,
Jakarta: Tinta Mas Indonesia, 1982.
Hikmat kurnia, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: Qultumedia, 2008.
Ibnu al-Human, al-Mahalla, Mesir: Mathba’ahnaljumhuriyahbal-
Arabiyah, 1970.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram min Adilati al-Ahkam,
Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Ibnu Rusyid, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Semarang: CV. Asy-
Syifa’ 1990, cet ke 1.
Ibnu Sayyid Muhammad Syath al-Dimyathiy, I’anah al-Thalibin,
Beirut: Dar al-Fikri, Tanpa tahun juz IV.
Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim dan
Ibnu al-Mughirah Bin Bardaziyyah Al-Bukhari Al-Ja’fiy,
Shahih Bukhariy, Beirut: Daarul Fikri, juz V.
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal,
Beirut: Dar al-Fikr, 1992cet ke- 4.
Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Imam Zakaria Ibnu Syarif al-Nawawi, al-Muqni al-Muhtaj-juz IV,
Beirut: Dar al-Fikri, tanpa tahun.
Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, Mesir: Mustafa al-Bab al-
Halabi, 1956, Juz III.
K.H. Kahar Masyhur (Penerjemah), Bulughul Maram, ( Jakarta:
Rieneka Cipta, 1992), Cet. I Jilid II.
K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk, Asbabun Nuzul (Latar
Belakang Hitoris Turunnya ayat-ayat Alqu’an), Bandung : CV
Penerbit Diponegoro, 2000.
Kahar Masyhur, Shalat Wajib Menurut Mazhab Empat, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1995, cet ke-1.

231
Kapita Selekta Fiqh

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan,


Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur’an, Depertemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Terjemahan.
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fikih, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995, Cet ke-2.
Maftuh Anan, ”Risalah Fiqih Wanita , Surabaya: Terbit Terang.
Mahmud Syaltut, Al Islam ‘Aqidah wa Syar’iah, (Darul Qalam,
1966).
Malik Abdul Rahman.Ibadah Zakat dan Segala Masalahnya.Jasmin
Enterprise.: Kuala Lumpur2003.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta. Sinar
Grafika. 2009. 5.
Muh. Sjarief Sukandi, Terjemahan Buluqul Maram, Bandung: Al-
Maarif, 1976, Jilid II.
Muhammad Nashiruddin Al al-Bani, Shahih Sunan Abu Daud,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, Cet ke-3.
Muhammad Abu Zahrah, al Uquubah: al Jarimah Wa al Uqubah fi
al Fiqh al Islam (Beirut: Dar al Fikr, t.t.).
Muhammad al-Khatib asy-Syarbani, Mughni al-Muhtaj Ila
Ma’rifati Ma’ani al-Fazh al-Minhaj, Beirut: Dar al-Fikr,
1980cet ke-1.
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kitab Sabilah Muhtadin, Surabaya
PT. Bina Ilmu, t. t, Jilid 1.
Muhammad Bin Abu Isa at-Turmidzi as-Salmi, al-Jami’ ash-
Shahih Sunan Turmidzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al’Arabi,
1408 H, Jilid 5.
Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Qazwiniy, Sunan ibn
Majah, Beirit: Dar al- Fikr, t.th, Jilid 1.
Muhammad Hasbi Ash –Shiddiqy, Pedoman Shalat, Jakarta: PT
Pustaka Rizki Putra, 2005, cet ke-2.
Muhammad Idris Mulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1996.
--------, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Muhammad Isma’il al-Kahlani, Subulussalam.

232
Kapita Selekta Fiqh

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta:


Lentera, 2008.
Muhammad Muhyiddin Abd al- Hamid, Ahkam al-Mawaris fi al-
Syari’ah al-Islamyah, tt, Dar al-Kitab al Araby, 1404/184.
Muhammad Nashiruddin al-Albani. Terjemahan Shahih Sunan At-
Tirmidzi, Penerjemah Fahkrurrazi. Jakarta: Pustaka Azzam.
2006. Cet Ke-I.
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Abu Daud,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 Jilid 1.
Muhammad Syatha al-Dimyaty, I’anah al-Thalibin, Khairo:
Masyadul Husaini, 1300.
Muhazzmmad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 1.
Musthafa Dib Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, Surakarta: Media
Zikir, 2010.
R. Lubis Zamakhsyari, Tafsir Ayat-Ayat Hukum I, Bandung: al-
Ma’arif, 1980.
Rahman Ritongga, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung:
Pustaka Setia, 2000) Cet. I.
Rif’at Abd. Al-Latif Masyhur, Zakat sebagai Penjana Pembangunan,
Kuala Lumpur : Al-Hidayah 2002.
Sayid sabiq, fiqih sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008, jilid 1,
cet-III.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1974..
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Penterjemah M. Nahban Husain,
Bandung: Al-Ma’arif, 1996, Cet ke-19.
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat I, Bandung: Cv Pustaka Setia,
1999, Cet I.
Sobhan Lubis, Tafsir Ayat Hukum, Padang: Suluh Padang, 2006,
cet ke-I.
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2005.
Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, ”Hukum
WarisIslam”.(Jakarta: Sinar Grafika, 1995).
233
Kapita Selekta Fiqh

Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Gasim at-Thabrany, al-


Mu’jam al-Shiqhir, Beirut, al-Makhtab al-Islami, 1995, Jilid
1.
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah. Fiqih Wanita Edisi
Lengkap,Jakarta Timur: Pustaka Al kautsar, 2008.
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini al-Khatib asy
Syafi’i, al-Iqna, Mesir: Umairah Qahirah, 1981cet ke-1.
Syek. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana,
2006, Cet ke-1.
Syekh Ahmad Al-Jarjawi, HikmahAl-Tasyri’ Wafalsafatuhu, Beirut:
Dar al- Fikr, 1994.
TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
6Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung:
Citra Umbara. 2009 Cet Ke-III.
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Mesir: Darul
Fikr, 1978.
--------, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, judul asli al-fiqh al-Islami
wa adillatuhu, yang diterjemahkan oleh Agus Effendi dan
Bahrudin Fannany Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Group 1985.
--------, al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989,
Juz. 8, Cet. Ke-3.
Wjs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1983.
Yusuf Al-Qarahdawi, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi
Kerakyatan., Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.Cet, 1.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
--------. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia.Jakarta: Sinar
Grafika.2008 Cet ke-I.

234
Kapita Selekta Fiqih

KAPITA SELEKTA FIQiH


Dr.Hj. Sri Yunarti, M.Ag

Sri Yunarti, lahir di kota Palembang 03 November 1967 anak dari pasangan H
Radius(Alm) dan Hj Syamsinar. Menyelesaikan studi S1 di IAIN Imam Bonjol Padang 1992, S2
IAIN Imam Bonjol Padang 2000. Program Doktor S3 Hukum Islam UIN SGJ Bandung 2017.

Kitab-kitab fiqih sebagai tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan


zamannya pada kerangka ruang dan waktu. hukum Islam bersifat menyeluruh dan meliputi semua
aspek kehidupan. Aturan-aturan hukum Islam yang berbentuk adalah fiqih yang memiliki daya
saing yang efektif, pleksibel,berinteraktif secara dinamis dengan problemtika sosial yang beragam,
disamping menawarkan kebaikan kehidupan di dunia dan memberikan jaminan kebahagiaan
ukhrawi.
Ketentuan mengenai adanya sanksi di dunia dengan peringatan akan datangnya sanksi akhirat
yang lebih dahsyat, oleh karena itu orang yang beriman akan merasa memperoleh dorongan,
kejiwaan yang kuat untuk melaksanakan hukum Islam dengan cara mentaati perintah dan menjahi
laranganNya.
Buku Kapita Selekta Fiqih yang berada di tangan pembaca disusun secara sistematis yang
menghadirkan beberapa tema sentral: Fiqih dan ruang lingkupnya, fiqih ibadah
(Tharah,Sholat, Puasa, Zakat Haji dan umrah), fiqih munakahat, fiqih warisan, fiqih
jinayah.
Buku ini sangat berguna bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah Fiqih, atau Hukum
Islam di jurusan umum, UIN, IAIN, STAIN.maupun Praktisi Hukum dan masyarakat Umum.
Kapita Selekta Fiqih

Anda mungkin juga menyukai