i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya pada kita semua, sehingga tim penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah yang telah ditugaskan kepada tim penulis. Salawat serta salam senantiasa kita sanjung
agungkan kepada Nabi Besar Muhammad saw., yang kita nanti-nantikan syafaatnya di yaumil
qiyamah nanti.
Rasa terima kasih secara mendalam kami haturkan kepada dosen pengampu mata kuliah
tim penulis yang telah memberikan tim penulis kesempatan untuk memulai studi, serta
membimbing tim penulis, hingga selesainya penyusunan makalah ini.
Diajukannya makalah yang berjudul “Konsep Dasar Fiqih” ini tak lain ditujukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih. Ada pun pembahasan yang dimuat pada makalah
kali ini adalah dasar-dasar pengantar, sebagai pintu gerbang yang mengawali perjalanan studi
ilmu fiqih kedepannya, yakni tentang: pengertian fiqih, sumber hukum fiqih dan ruang lingkup
fiqih.
Semoga makalah sederhana ini dapat memamparkan kontennya dengan baik, sehingga
dapat dengan mudah menghaturkan ilmu dan wawasan yang bermanfaat dunia wal akhirah bagi
siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terdapat kurang lebih 231 juta umat muslim yang hidup di Indonesia, sementara di
dunia, tercatat kurang lebih 2 miliar umat muslim yang hidup di setiap penjurunya. Terpisah
oleh jarak dan zona waktu yang berberbeda, setiap muslim di penjuru dunia memiliki
karakteristik, bahkan budayanya masing-masing. Berbagai macam diferensiasi hadir sebagai
perwujudan dampak dari kebesaran Allah SWT., yang telah menciptakan alam semesta dengan
begitu detail dan begitu luas ragamnya. Berbagai macam diferensiasi budaya dan karakteristik
ini hidup bersama nilai-nilai kehidupan yang ada pada setiap masyarakatnya, tak terlepas dari
nilai agama, dan kehidupan beagama.
Contohnya, pada negara-negara di dekat garis khatulistiwa, seperti Indonesia, umat
muslim cenderung melaksanakan ibadah puasa selama kurang lebih 12 jam lamanya.
Sementara, untuk umat muslim yang tinggal pada belahan bumi bagian utara, cenderung
berpuasa lebih lama dari itu, yakni bias mencapai sekitar lebih dari 20 jam. Hal ini hanyalah
sebuah amsal dari satu amal ibadah saja. Secara umum, dan lebih luas lagi, mungkin kita sering
mendengar tentang perbedaan-perbedaan tata cara beribadah yang lain, yang menyangkut
setiap aspek kehidupan yang ada. Seperti, ada sebagian umat muslim yang memperbolehkan
satu hal, namun juga ada sebagian umat muslim yang melarang, atau menentang hal tersebut.
Perbedaan, hingga perdebatan sering kali terjadi, karena memang faktanya, dunia tidak
sekecil telapak tangan manusia, dan konteks-konteks kehidupan yang mungkin terjadi, tidaklah
dapat dihitung dengan jari. Namun, dalam sisi lain, kita juga mengetahui, bahwa Islam, adalah
rahmatal lil ‘alamin, agama yang telah diridhai Allah SWT. untuk seluruh alam. Lantas,
bagaimana ini Islam dapat memecahkan kasus-kasus seperti ini? Pada masa inilah, esensi
pembelajaran dan pemahaman pada ilmu fiqih dibutuhkan, tepatnya untuk menjadi
pertimbangan, dan penuntun yang hakiki, supaya umat Islam tetap berada pada jalan yang
benar, meski terdapat banyak konteks-konteks kehidupan yang berjuta macam jenisnya sedang
menghantam mereka.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqih
“Hendaklah dari tiap-tiap golongan mereka ada serombongan orang yang pergi untuk
memahami (mempelajari) agama agar memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya niscaya
diberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
(H.R. Al-Bukhari dalam kitab Kutubul ‘Ilmy no.71)
Dari ayat dan hadits ini, dapat ditarik suatu pengertian bahwa Fiqh itu berarti
mengetahui, memahami dan mendalami ajaran agama secara keseluruhan. Inilah
pengertian Fiqh pada masa sahabat atau pada abad pertama Islam.
3
perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan
ijtihad.”1
Atau, lebih jelas lagi seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani, “Menurut istilah:
Fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliah (mengenai perbuatan,
perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqh adalah ilmu yang
dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan wawasan serta
perenungan.”2
Jelas bahwa pengertian Fiqh itu berkembang. Mula-mula Fiqh meliputi
keseluruhan agama, kemudian diartikan dengan ilmu tentang perbuatan mukalaf,
sehingga tidak termasuk ilmu kalam dan tasawuf, dan terakhir dipersempit lagi, yaitu
khusus hasil ijtihad para mujtahid.
Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, ada tiga poin yang
senantiasa tersebut, yakni paham/pemahaman, hukum syara’, dan perbuatan mukalaf.
Yang mana dapat disimpulkan bahwa, definisi fiqih adalah ilmu tentang pemahaman
hukum syara’ yang berlandaskan dalil-dalil terperinci dari sumber-sumber hukum
syara’ untuk memutuskan dan menerapkan hukum pada setiap prbuatan (amaliah)
mukalaf.
Di samping itu ada beberapa sumber lain yang merupakan sumber turunan dari
sumber di atas, seprti Istihsan, Masalihul mursalah, Urf, dan lain-lain. Perlu diketahui
bahwa semua dalil-dalil yang ada bersumber dan berdasarkan dari satu sumber; Al
Quran. Karena Imam Syafi’i mengatakan,”Sesungguhnya hokum-hukum Islam tidak
1
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, hal. 5
2
Al-Jurjani, Abu Hasan, Al-Ta’rifat, Mustafa Al-Baab al-Halabi, Mesir,
1938, hal. 121
4
diambil kecuali dari nash Al Quran atau makna yang terkandung dalam nash.”
Menurutnya, tidak ada hukum selain dari nash atau kandungan darinya. Meski, Imam
Syafi’i membatasi maksudnya “kandungan nash” hanya dengan qiyas saja. Sementara
ahli fiqh lainnya memperluas pengertian “kandungan nash”.
a. Al Quran
b. As-Sunnah
Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq.
Sunnah, terbagi menjadi 3, yakni Sunnah Fi’liyah (dari perbuatan rasul),
Sunnah Qawliyah (dari perkataan rasul), dan Sunnah Taqririyah (dari diamnya
rasul, sebagai tanda setujunya beliau terhadap sesuatu). Dari sinilah, Sunnah
5
merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Sunnah berfungsi merinci
garis besar Al Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan
memberikan penjelasan hukum. Allah SWT. berfirman melalui Q.S. Al-Hasyr
ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
c. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu
masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik
kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah
saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka. Contohnya
ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua
rukun Islam. Ijma’ merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas
sesuatu perkara hukum syara’. Sementara itu, Abdul Karim Zaidan, dalam kitab
al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, menyatakan:
“Ijma’ ialah kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada satu masa
tentang hukum syara’ setelah wafatnya Nabi Saw.”
6
“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan
mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)
d. Qiyas
Kenapa harus ada Qiyas? Sebab teks-teks Al Quran dan Sunnah sangat
terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu
persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum
syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul
kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari
para ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.
7
dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki kesamaan; dari sisi
keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.
1. Masalih mursalah
atau dikenal juga Istislah. Yang artinya; mengambil hukum suatu masalah
berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum. Yaitu kemasalahatan yang oleh
syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam masalah adalah
menghindarkan kerusakan baik terhadap individu atau masyarakat dalam
banyak bidang.
2. Istidlal
8
mengetahuinya”. Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua
hukumtanpa menentukan illat (sebab)nya. Misalnya, menentukan batalnya
shalat kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat
shahnya shalat. Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk
membantu dalam kedurhakaan.
3. Istishhab
4. Saddu Dzari’ah
5. Istihsan
9
6. ‘Urf
‘Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan kaum
muslimin, misalnya jual beli yang harusnya pakai ijab qobul, pada suatu kondisi
tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana idak melakukannya. Contoh
lain, batasan safar yang membolehkan di qoshor shalat, tergantung kepada
kebiasan masyarakat menamakan istilah safar tersebut.
Syar’u man qablana mempunyai arti Menurut bahasa berasal dari kata
syar’u atau syir’ah yang artinya sebuah aliran air sebuah agama hukum syari’at
dan qablana artinya sebelum islam.
Secara umum, ruang lingkup fiqih mencakup dua bidang, yakni fiqih ibadah yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti salat, zakat, haji, memenuhi
nazar, dan membayar kafarat terhadap pelanggaran sumpah. Kedua, fiqih muamalah
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kajiannya mencakup
seluruh bidang fiqih selain persoalan ubudiyah, seperti ketentuan-ketentuan jual beli,
sewa-menyewa, perkawinan, jinayah, dan lain-lain.3
Sementara itu, Mustafa A. Zarqa membagi kajian fiqih menjadi enam bidang, yakni:
3
Dr. Hafsah, M.A., Pembelajaran Fiqih, Bandung, Cipustaka Media Perintis,
2013, hl. 5
10
2. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, seperti
perkawinan, perceraian, nafkah dan ketentuan nasab. Inilah yang kemudian
disebut ahwal saykhisyah;
3. Kententuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial antara
umat Islam dan konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti jual beli, sewa-
menyewa dan gadai. Bidang ini kemudian disebut fiqih muamalah;
4. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan sangsi-sangsi terhadap
tindak kejahatan kriminal, misalnya, qiyas, diat dan hudud, bidang ini disebut
dengan fiqih jinayah;
5. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan warga negara dengan
pemerintahannya, misalnya politik dan birokrasi. Pembahasan ini dinamakan
fiqih sisayah.
6. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur etika pergaulan antara seorang
muslim dengan lainnya dalam tatanan kehidupan sosial, bidang ini disebut
Ahlam khuluqiyah.4
4
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta, Raja Grafindo,
1992, hl. 65-76
11
BAB III
KESIMPULAN
Fiqih secara etimologi berasal dari Bahasa Arab al-fiqh yang berarti paham,
mengerti, atau tahu. Lalu secara istilah, dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
menjembatani menuju pemahaman terhadap hukum syara’ yang berlandaskan dalil-
dalil terperinci dari sumber-sumber hukum tersebut, yakni sumber hukum muttafaq
atau yang disetujui bersama oleh mukalaf (Al-Quran, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma’)
dan sumber hukum turunan (Masalih Mursalah, Istidlal, Istishab, Saddu Dzari’ah,
Istishan, ‘Urf, dan Syar’u Man Qablana) untuk menerapkan hukum-hukum itu pada
tiap-tiap perbuatan mukalaf.
12
DAFTAR PUSTAKA
A.H., Djazuli. 2005. Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam
Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Dewi, Masyithoh. 2020. Fiqih MA Kelas XII. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah.
13