Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KONSEP DASAR FIQIH

Makalah ini dibuat dalam rangka penyelesaian tugas


kelompok pertama mata kuliah Fiqih.
Dosen Pengampu : Ulfah Alfiyah Darajat, S.E., M.E.

Disusun oleh Kelompok 1:

Chintya Rahma Perwadi (2351010017)

Elsa Yentika (2351010035)

Mahari Setiawan (2351010059)

Veni Nopianti (2351010271)

Kelas E.S. B / Semester 1

PRODI EKONOMI SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya pada kita semua, sehingga tim penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah yang telah ditugaskan kepada tim penulis. Salawat serta salam senantiasa kita sanjung
agungkan kepada Nabi Besar Muhammad saw., yang kita nanti-nantikan syafaatnya di yaumil
qiyamah nanti.
Rasa terima kasih secara mendalam kami haturkan kepada dosen pengampu mata kuliah
tim penulis yang telah memberikan tim penulis kesempatan untuk memulai studi, serta
membimbing tim penulis, hingga selesainya penyusunan makalah ini.
Diajukannya makalah yang berjudul “Konsep Dasar Fiqih” ini tak lain ditujukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih. Ada pun pembahasan yang dimuat pada makalah
kali ini adalah dasar-dasar pengantar, sebagai pintu gerbang yang mengawali perjalanan studi
ilmu fiqih kedepannya, yakni tentang: pengertian fiqih, sumber hukum fiqih dan ruang lingkup
fiqih.
Semoga makalah sederhana ini dapat memamparkan kontennya dengan baik, sehingga
dapat dengan mudah menghaturkan ilmu dan wawasan yang bermanfaat dunia wal akhirah bagi
siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Bandar Lampung, 17 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH KONSEP DASAR FIQIH .............................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. iii
BAB I......................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................... 2
C. Tujuan .............................................................................................................................................. 2
BAB II........................................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 3
A. Pengertian Fiqih ........................................................................................................................... 3
B. Sumber Hukum Fiqih ....................................................................................................................... 4
C. Ruang Lingkup Fiqih....................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terdapat kurang lebih 231 juta umat muslim yang hidup di Indonesia, sementara di
dunia, tercatat kurang lebih 2 miliar umat muslim yang hidup di setiap penjurunya. Terpisah
oleh jarak dan zona waktu yang berberbeda, setiap muslim di penjuru dunia memiliki
karakteristik, bahkan budayanya masing-masing. Berbagai macam diferensiasi hadir sebagai
perwujudan dampak dari kebesaran Allah SWT., yang telah menciptakan alam semesta dengan
begitu detail dan begitu luas ragamnya. Berbagai macam diferensiasi budaya dan karakteristik
ini hidup bersama nilai-nilai kehidupan yang ada pada setiap masyarakatnya, tak terlepas dari
nilai agama, dan kehidupan beagama.
Contohnya, pada negara-negara di dekat garis khatulistiwa, seperti Indonesia, umat
muslim cenderung melaksanakan ibadah puasa selama kurang lebih 12 jam lamanya.
Sementara, untuk umat muslim yang tinggal pada belahan bumi bagian utara, cenderung
berpuasa lebih lama dari itu, yakni bias mencapai sekitar lebih dari 20 jam. Hal ini hanyalah
sebuah amsal dari satu amal ibadah saja. Secara umum, dan lebih luas lagi, mungkin kita sering
mendengar tentang perbedaan-perbedaan tata cara beribadah yang lain, yang menyangkut
setiap aspek kehidupan yang ada. Seperti, ada sebagian umat muslim yang memperbolehkan
satu hal, namun juga ada sebagian umat muslim yang melarang, atau menentang hal tersebut.
Perbedaan, hingga perdebatan sering kali terjadi, karena memang faktanya, dunia tidak
sekecil telapak tangan manusia, dan konteks-konteks kehidupan yang mungkin terjadi, tidaklah
dapat dihitung dengan jari. Namun, dalam sisi lain, kita juga mengetahui, bahwa Islam, adalah
rahmatal lil ‘alamin, agama yang telah diridhai Allah SWT. untuk seluruh alam. Lantas,
bagaimana ini Islam dapat memecahkan kasus-kasus seperti ini? Pada masa inilah, esensi
pembelajaran dan pemahaman pada ilmu fiqih dibutuhkan, tepatnya untuk menjadi
pertimbangan, dan penuntun yang hakiki, supaya umat Islam tetap berada pada jalan yang
benar, meski terdapat banyak konteks-konteks kehidupan yang berjuta macam jenisnya sedang
menghantam mereka.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fiqih?

2. Apa yang dimaksud, dan apa saja sumber hukum fiqih?

3. Apa yang dimaksud, dan apa saja ruang lingkup fiqih?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang pengertian fiqih;

2. Untuk mengetahui pengertian dan ragam sumber hukum fiqih;

3. Untuk mengetahui pengertian dan ragam ruang lingkup fiqih.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqih

1. Pengertian Fiqih Secara Etimologi


Secara umum, kata fiqih berasal dari kata Arab al-fiqih berarti mengerti, paham
atau tahu. Di dalam Al-Quran tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata Fiqh
dan semuanya dalam bentuk kata kerja, seperti dalam surah At-Taubah ayat 122.

ِ ‫طاىفَةٌ ِليَتَفَقَّ ُه ْوا فِى‬


‫الدي ِْن َو ِليُ ْنذ ُِر ْوا قَ ْو َم ُه ْم اِذَا َر َجعُ ْوا‬ َ ‫فَلَ ْو ََل نَفَ َر ِم ْن ُك ِل فِ ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم‬
ࣖ َ‫اِلَ ْي ِه ْم لَعَلَّ ُه ْم يَ ْحذَ ُر ْون‬

“Hendaklah dari tiap-tiap golongan mereka ada serombongan orang yang pergi untuk
memahami (mempelajari) agama agar memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Di dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan:

ِ ‫َم ْن ي ُِر ِد هللاُ بِ ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ فِي‬


‫الدي ِْن‬

“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya niscaya
diberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
(H.R. Al-Bukhari dalam kitab Kutubul ‘Ilmy no.71)

Dari ayat dan hadits ini, dapat ditarik suatu pengertian bahwa Fiqh itu berarti
mengetahui, memahami dan mendalami ajaran agama secara keseluruhan. Inilah
pengertian Fiqh pada masa sahabat atau pada abad pertama Islam.

2. Pengertian Fiqih Menrut Istilah


Dalam perkembangan selanjutnya, yakni setelah Fiqih menjadi ilmu tersendiri,
maka Fiqh diartikan dengan: “Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan

3
perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan
ijtihad.”1
Atau, lebih jelas lagi seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani, “Menurut istilah:
Fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliah (mengenai perbuatan,
perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqh adalah ilmu yang
dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan wawasan serta
perenungan.”2
Jelas bahwa pengertian Fiqh itu berkembang. Mula-mula Fiqh meliputi
keseluruhan agama, kemudian diartikan dengan ilmu tentang perbuatan mukalaf,
sehingga tidak termasuk ilmu kalam dan tasawuf, dan terakhir dipersempit lagi, yaitu
khusus hasil ijtihad para mujtahid.
Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, ada tiga poin yang
senantiasa tersebut, yakni paham/pemahaman, hukum syara’, dan perbuatan mukalaf.
Yang mana dapat disimpulkan bahwa, definisi fiqih adalah ilmu tentang pemahaman
hukum syara’ yang berlandaskan dalil-dalil terperinci dari sumber-sumber hukum
syara’ untuk memutuskan dan menerapkan hukum pada setiap prbuatan (amaliah)
mukalaf.

B. Sumber Hukum Fiqih

Dalam memahami hukum syara’, diperlukan pengkajian yang mendalam pada


sumber-sumber hukumnya, hingga barulah ia dapat diterapkan pada tiap-tiap perbuatan
mukalaf. Sumber-sumber hukum tersebut bukanlah sembarangan. Sumber fiqh adalah
dalil-dalil yang dijadikan oleh syariat sebagai hujjah dalam pengambilan hukum.
Sumber-sumber hukum ini sebagian disepakati oleh ulama sebagai sumber hukum,
seperti Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Sebagian besar ulama juga menetapkan Qiyas
sebagai sumber hukum ke empat setelah tiga sumber di atas.

Di samping itu ada beberapa sumber lain yang merupakan sumber turunan dari
sumber di atas, seprti Istihsan, Masalihul mursalah, Urf, dan lain-lain. Perlu diketahui
bahwa semua dalil-dalil yang ada bersumber dan berdasarkan dari satu sumber; Al
Quran. Karena Imam Syafi’i mengatakan,”Sesungguhnya hokum-hukum Islam tidak

1
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, hal. 5
2
Al-Jurjani, Abu Hasan, Al-Ta’rifat, Mustafa Al-Baab al-Halabi, Mesir,
1938, hal. 121

4
diambil kecuali dari nash Al Quran atau makna yang terkandung dalam nash.”
Menurutnya, tidak ada hukum selain dari nash atau kandungan darinya. Meski, Imam
Syafi’i membatasi maksudnya “kandungan nash” hanya dengan qiyas saja. Sementara
ahli fiqh lainnya memperluas pengertian “kandungan nash”.

1. Sumber-sumber Pokok (Muttafaq)

a. Al Quran

Al Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw


melalui malaikat Jibril. Menurut ulama Ushul Al-qur’an adalah, “Kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf,
berbahasa arab, dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir, diawali dari
surat Al-Fatihah, diakhiri dengan surat An-Nas dan membacanya merupakan
ibadah.

Banyak hukum-hukum mengenai ibadah dalam Al Quran disebutkan secara


garis besar seperti hukum-hukum shalat, puasa, zakat dan tidak dijelaskan
secara cara melakukan shalat atau kadar yang dikeluarkan dalam zakat.
Penjelasan rinci mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Sunnah baik dengan
perkataan atau perbuatan Rasulullah saw.

Al Quran menjelaskan rambu-rambu masalah akidah dengan secara rinci,


namun masalah ibadah dan hak-hak antar sesame dengan cara garis besar.
Dalam syariat Islam Al Quran adalah undang-undang dalam menetapkan aturan
social. Ia sebagai tuntutan bagi Nabi saw. dan pengikutnya. Karenanya, ia
merupakan sumber utama dan pertama.

b. As-Sunnah

Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq.
Sunnah, terbagi menjadi 3, yakni Sunnah Fi’liyah (dari perbuatan rasul),
Sunnah Qawliyah (dari perkataan rasul), dan Sunnah Taqririyah (dari diamnya
rasul, sebagai tanda setujunya beliau terhadap sesuatu). Dari sinilah, Sunnah

5
merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Sunnah berfungsi merinci
garis besar Al Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan
memberikan penjelasan hukum. Allah SWT. berfirman melalui Q.S. Al-Hasyr
ayat 7:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”

Imilah yang kemudian menjadi landasan utama dijadikannya Sunnah


sebagai sumber hukum fiqih setelah Al-Quran.

c. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu
masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik
kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah
saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka. Contohnya
ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua
rukun Islam. Ijma’ merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.

Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas
sesuatu perkara hukum syara’. Sementara itu, Abdul Karim Zaidan, dalam kitab
al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, menyatakan:

“Ijma’ ialah kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada satu masa
tentang hukum syara’ setelah wafatnya Nabi Saw.”

Memperhatikan definisi pengertian tersebut di atas, maka sesungguhnya


ijma’ yang dimaksud dalam hubungannya dengan definisi yang dikemukakan
adalah ijma’ yang didasarkan atas kesepakatan para mujtahid. Kesepakatan
yang berasal dari selain mujtahid tidak dinamakan ijma’.

Menurut Imam Ibnu Taimiyah Ijma adalah: Kesepakatan seluruh ulama


Islam terhadap suatu masalah dalam satu waktu. Apbila telah terjadi ijma’
seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang
menyelisihi ijma trsebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin
bersepakat terhadap kesesatan. Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa
Ijma’ adalah sumber dan hujjah dalam menetapkan hukum. Allah berfirman:

6
“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan
mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)

Disamping itu Ijma’ dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak


mungkin ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat.
Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui
Ijma’ maka yang dicari bukan dalil Ijma’ namun kebenaran adanya Ijma’ itu
sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.

d. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara


(yang sudah ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua
perkara ini ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut ulama ushul qiyas
adalah, “Memberlkukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum
yang tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan illat. Contoh, Allah
mengharamkan khamar karena memabukan, maka segala makanan dan
minuman yang memabukan hukumnya sama dengan khamar yaitu haram.

Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam


pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan
harus disepakai semua ulama di suatu waktu dan tempat tertenu. Sementara
Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama
memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah
disepakati oleh para ulama.

Kenapa harus ada Qiyas? Sebab teks-teks Al Quran dan Sunnah sangat
terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu
persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum
syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul
kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari
para ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.

Hukum-hukum jual beli misalnya, Al Quran dan Sunnah menyebutkan lebih


banyak dibanding dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian
melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum

7
dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki kesamaan; dari sisi
keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.

B. Sumber-sumber Tabaiyah (turunan)

Disebut turunan karena sumber-sumber sesungguhnya diambil dan bermuara dari


pemahaman baik langsung atau tidak terhadap Al Quran dan Sunnah. Sumber hokum
ini juga disebut sumber hukum Mukhtalaf (bertentangan, atau tidak disetujui bersama
oleh para ulama), yakni ada ulama yang menganggap salah satu darinya tidak cocok
dijadikan sumber hukum fiqih, sementara yang lain tidak menyutujuinya.

1. Masalih mursalah

atau dikenal juga Istislah. Yang artinya; mengambil hukum suatu masalah
berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum. Yaitu kemasalahatan yang oleh
syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam masalah adalah
menghindarkan kerusakan baik terhadap individu atau masyarakat dalam
banyak bidang.

Contoh maslahah mursalah adalah Umar bin Khatab dimasa


kekhilafahannya membuat sebuah instansi untuk menangani gaji para pasukan
kaum muslimin. Kemudian muncul instansi lainnya untuk menangani masalah-
masalah lainnya.

Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah, memelihara


maksud Syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakan makhluk.
Contohnya, menaiki bis atau pesawat ketika melaksanakan ibadah haji walau
itu tidak ada di zaman Rasulallah tidak tetapi boleh dilakkukan demi
kemashlahatan ummat. Contoh lain, mendirikan sekolah, madrasah untuk
thalabul ilmi, tegasnya melakukan hal-hal yang berhubungan dengan agama
walau tidak ada di zaman Nabi boleh kita lakukan demi kemashlahatn ummat
yang merupakan tujuan di syaria’atkanya agama.

2. Istidlal

Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, “Mencari dalil dari ketetapan-


ketetapan akal dan natijah-natijah (kesimpulan) atau dari seorang yang lain yang

8
mengetahuinya”. Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua
hukumtanpa menentukan illat (sebab)nya. Misalnya, menentukan batalnya
shalat kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat
shahnya shalat. Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk
membantu dalam kedurhakaan.

3. Istishhab

Istishhab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau yang


akan datang berdasarkan ketetapan hukum sebelumnya karena tidak ada yang
merubahnya. Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-
ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ketetapan hukum seblumnya yaitu
sudah berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih punya wudlu. Sebagian
ulama menamakan istishhab dengan “Baraatu Al-Dzimmah”.

4. Saddu Dzari’ah

Saddu Dzari’ah adalah, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan


untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang
kepada kerusakan. Contoh, diharamkan menanam ganja atau opium untuk
menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya, yaitu orang-orang
menggunakannya untuk memabukkan. Contoh lain, membuat diskotik karena
biasanya sebgai tempat maksiat dan dosa.

5. Istihsan

Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya


kepada hukum yang berlawanan karena ada suatu yang dianggap lebih kuat,
dengan pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena kondisi dengan tanpa
mengubah hukum asalnya, jika kondisi normal. Contohnya, orang yang mencuri
di musim paceklik atau musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena
dimungkinkan ia mencurinya karena terpaksa.

9
6. ‘Urf

‘Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan kaum
muslimin, misalnya jual beli yang harusnya pakai ijab qobul, pada suatu kondisi
tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana idak melakukannya. Contoh
lain, batasan safar yang membolehkan di qoshor shalat, tergantung kepada
kebiasan masyarakat menamakan istilah safar tersebut.

7. Syar’u man qoblana

Syar’u man qablana mempunyai arti Menurut bahasa berasal dari kata
syar’u atau syir’ah yang artinya sebuah aliran air sebuah agama hukum syari’at
dan qablana artinya sebelum islam.

Menurut istilah syar’u man qablana adalah syari’at yang diturunkan


Allah kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw., yaitu ajaran agama
sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara Nabi Muhammad
Saw., seperti ajaran agama Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Ibrahim, Nabi Daud as,
dan lain-lain. Maksudnya adalah syariat umat sebelum nabi Muhammad diutus,
namun syariat Muhammad tidak menghapusnya dengan jelas. Selama tidak nash
Al Quran dan hadis yang menjelaskan bahwa syariat itu tidak dihapus maka ia
termasuk syariat kita.

C. Ruang Lingkup Fiqih

Secara umum, ruang lingkup fiqih mencakup dua bidang, yakni fiqih ibadah yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti salat, zakat, haji, memenuhi
nazar, dan membayar kafarat terhadap pelanggaran sumpah. Kedua, fiqih muamalah
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kajiannya mencakup
seluruh bidang fiqih selain persoalan ubudiyah, seperti ketentuan-ketentuan jual beli,
sewa-menyewa, perkawinan, jinayah, dan lain-lain.3

Sementara itu, Mustafa A. Zarqa membagi kajian fiqih menjadi enam bidang, yakni:

1. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang ubudiyah, seperti


salat, puasa, dan ibadah haji inilah yang kemudian disebut fiqih ibadah;

3
Dr. Hafsah, M.A., Pembelajaran Fiqih, Bandung, Cipustaka Media Perintis,
2013, hl. 5

10
2. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, seperti
perkawinan, perceraian, nafkah dan ketentuan nasab. Inilah yang kemudian
disebut ahwal saykhisyah;
3. Kententuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial antara
umat Islam dan konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti jual beli, sewa-
menyewa dan gadai. Bidang ini kemudian disebut fiqih muamalah;
4. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan sangsi-sangsi terhadap
tindak kejahatan kriminal, misalnya, qiyas, diat dan hudud, bidang ini disebut
dengan fiqih jinayah;
5. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan warga negara dengan
pemerintahannya, misalnya politik dan birokrasi. Pembahasan ini dinamakan
fiqih sisayah.
6. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur etika pergaulan antara seorang
muslim dengan lainnya dalam tatanan kehidupan sosial, bidang ini disebut
Ahlam khuluqiyah.4

4
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta, Raja Grafindo,
1992, hl. 65-76

11
BAB III

KESIMPULAN

Fiqih secara etimologi berasal dari Bahasa Arab al-fiqh yang berarti paham,
mengerti, atau tahu. Lalu secara istilah, dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
menjembatani menuju pemahaman terhadap hukum syara’ yang berlandaskan dalil-
dalil terperinci dari sumber-sumber hukum tersebut, yakni sumber hukum muttafaq
atau yang disetujui bersama oleh mukalaf (Al-Quran, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma’)
dan sumber hukum turunan (Masalih Mursalah, Istidlal, Istishab, Saddu Dzari’ah,
Istishan, ‘Urf, dan Syar’u Man Qablana) untuk menerapkan hukum-hukum itu pada
tiap-tiap perbuatan mukalaf.

Setelah dikaji secara mendalam, dan menghasilkan ijtihad, lalu penerapan


hukum itu pun mulai ditempatkan pada sebuah perbuatan mukalaf tersebut, dan
diklasifikasikan menjadi beberapa ruang lingkup, yakni fiqih ibadah (amaliah
kepada Tuhan) dan fiqih muamalah (amaliah kepada sesama manusia), yang oleh
Mustafa A. Zarqa diperinci lagi menjadi 6, yakni: fiqih ibadah (tentang hubungan
manusia pada Tuhannya), ahwal saykhisyah (tentang kehidupan keluarga), fiqih
muamalah (tentang social ekonomi), fiqih jinayah (tentang sanksi kejahatan), fiqih
sisayah (tentang politik dan birokrasi, dan ahlam khuluqiyah (tentang etika
kehidupan sosial).

Setelelah berhasil mengantarkan pemahaman pada hukum syara’, hingga


menerapkan hukum syara’ tersebut pada tiap amaliah mukalaf, pada akhirnya fiqih
bertujuan untuk menghidupi pedoman Islam sebagai rahmatal lil ‘alamin yang
satu, di tengah gempuran pergolakan waktu yang semakin pelik dan ekstrem
gejolaknya.

12
DAFTAR PUSTAKA

A.H., Djazuli. 2005. Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam
Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Hafsah, M.A. 2013. Pembelajaran Fiqih. Bandung: Ciptapustaka Media Perintis.

Dewi, Masyithoh. 2020. Fiqih MA Kelas XII. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah.

13

Anda mungkin juga menyukai