Anda di halaman 1dari 200

ILMU FIKIH

Dr. Kurniati, S.Ag.,M.HI.

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022
PENGANTAR DEKAN FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM

Bagian ini akan diisi nanti oleh panitia

ii
PENGANTAR PENULIS
ِ ِ‫الرحِ ي ِْم‬ ِِ ٰ‫الرحْ م‬
َّ ِ‫ن‬ َّ ِ‫ّللا‬
ِِٰ ِ‫ِبس ِِْم‬
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah
swt. karena buku ini telah selesai disusun. Buku ini
disusun agar dapat membantu mahasiswa dalam
mempelajari konsep Ilmu Fikih beserta mempermudah
mempelajari materi ruang lingkup ilmu fikih terutama
bagi mahasiswa yang belum mengenal ilmu fikih itu
sendiri.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dekan


Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
arahan dan motivasi untuk terus menulis. Begitu juga
kepada keluarga dan rekan-rekan yang telah mendukung
hingga hari ini.

Sangat disadari bahwa buku ini masih memiliki berbagai


kekurangan, namun penulis meyakini sepenuhnya bahwa
sekecil apapun buku ini tetap akan memberikan sebuah
manfaat bagi pembaca.

Akhir kata segala kritik dan saran dari pembaca sangatlah


berguna demi penyempurnaan edisi selanjutnya.
DAFTAR ISI

PENGANTAR DEKAN FAKULTAS SYARIAH DAN


HUKUM .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ...................................................................................... iv

BAB I KONSEP DASAR ILMU FIKIH .........................................1

A. Konsep Ilmu Fikih ............................................................ 2

B. Hubungan dan Perbedaan antara Fikih, Syariah,


Ushul Fikih, Kaidah Fikihiyyah Dan Hukum ...................... 15

C. Objek Pembahasan, Metodologi, Tujuan dan


Kegunaan Ilmu Fikih................................................................. 19

D. Hubungan Ilmu Fikih Dengan Ilmu Lainnya ................. 26

BAB II PEMBIDANGAN ILMU FIKIH .................................... 34

A. Pembidangan Ilmu Fikih dalam Aspek Ibadah ....... 35

B. Pembidangan Fikih dalam Aspek Muamalah .......... 43

BAB III DALIL DAN SUMBER HUKUM ................................. 54

A. Dalil-Dalil Hukum ......................................................... 55

B. Sumber-Sumber Hukum Islam .................................... 60

BAB IV KAIDAH-KAIDAH FIKIH ............................................ 94

A. Pengertian Kaidah Fikih................................................ 94

B. Manfaat Kaidah Fikih .................................................... 96

C. Beberapa Kaidah Fikih (Kaidah Pokok)..................... 98

iv
BAB V ASBAB PERBEDAAN PENDAPAT .............................104

A. Konsep Ikhtilaf ............................................................. 105

B. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat ............................ 107

BAB VI ALIRAN-ALIRAN FIKIH .............................................121

A. Aliran Mutakallimin .................................................... 122

B. Aliran Fuqoha ................................................................ 127

C. Aliran Muta’akhirin ..................................................... 130

BAB VII PERIODISASI ILMU FIKIH .....................................134

A. Perkembangan Ilmu Fikih pada Masa Awal


Kemajuan ................................................................................... 135

B. Perkembangan Ilmu Fikih Pada Masa Awal


Kemunduran Dan Kebangkitan ............................................ 154

BAB VIII ARAH DAN PERKEMBANGAN PERTAQNINAN165

A. Pengertian Pentaqninan .............................................. 166

B. Perkembangan Taqnin ................................................ 167

C. Bidang-Bidang Pentaqninan ...................................... 175

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................190


BIOGRAFI PENULIS ...................................................................193

v
BAB I KONSEP DASAR ILMU FIKIH

DESKRIPSI MATA KULIAH

Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar


tentang konsep-konsep dasar ilmu fikih. Pada bahasan ini
akan diuraikan terkait konsep ilmu fikih meliputi: defensi,
hubungan dan perbedaan antara fikih, syariah, ushul fikih,
kaidah fikih, dan hukum Islam; Objek pembahasan,
metodologi, tujuan dan kegunaan ilmu fikih serta
menjelaskan hubungan ilmu fikih dengan ilmu lainnya.

PENDAHULUAN

Ilmu fikih merupakan salah satu bidang keilmuan


dalam syariah Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik menyangkut
individu, masyarakat, maupun hubungan manusia
dengan Penciptanya.
Fikih sendiri adalah sebuah pengetahuan yang
dimiliki oleh manusia, yang mana membahas mengenai
hak dan juga kewajiban yang dimilikinya. Fikih sendiri
juga merupakan ilmu tentang hukum yang syara dan juga
memiliki sifat yang praktis. Hal ini diperoleh dari
berbagai dalil yang telah terperinci. Pada pembahasaan ini
diharapkan bahwa:

1
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian fikih,
syariah, usul fikih, kaidah fikih dan hukum Islam.
2. Mahasiswa mampu memahami perbedaan antara
fikih, syariah, usul fikih, kaidah fikih dan hukum
Islam.
3. Mahasiswa mampu memahami objek pembahasan,
metodologi, tujuan dan kegunaan ilmu fikih.
4. Mahasiswa mampu memahami hubungan ilmu
fikih dengan ilmu lainnya.

A. Konsep Ilmu Fikih


1. Fikih
a. Bahasa
Pengertian fikih secara bahasa (etimologi) berasal
dari lafal faqiha, yafqahu, fikihan, yang berarti mengerti,
atau paham.
Kata fikih (‫ )فقه‬secara bahasa punya dua makna.
Makna pertama adalah al-fahmu al-mujarrad (‫) الفهم المجرد‬
yang artinya adalah mengerti secara langsung atau
sekedar mengerti saja. Makna yang kedua adalah al-fahmu
ad-daqiq )‫ )الفهم الد قيق‬yang artinya adalah mengerti atau
memahami secara mendalam dan lebih luas.
Kata fikih yang berarti sekedar mengerti atau
memahami, disebutkan di dalam ayat al-Quran, ketika
Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib as yang
tidak mengerti ucapannya dalam QS Hud/11:91.

2
‫ض ِع ٗيف ۖا‬
َ ‫َما ن َۡفقَهُ َك ِث ٗيرا ِم َّما تَقُو ُل َو ِإنَّا لَن ََر َٰىكَ ِفينَا‬ ‫ب‬ُ ‫َقا ُلو ْا َٰ َيشُ َع ۡي‬
َ َ‫لَ َر َجمۡ َٰ َن ۖكَ َو َما ٓ أَنت‬
‫علَ ۡينَا بِعَ ِز ٖيز‬ َ‫َولَ ۡو ََل َر ۡهطُك‬
Terjemahnya:
Mereka berkata, “Wahai Syuʻaib, Kami tidak banyak
mengerti apa yang engkau katakan itu, sedangkan
kami sesungguhnya memandang engkau sebagai
seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak
karena keluargamu, tentu kami telah melemparimu
(dengan batu), sedangkan engkau pun bukan
seorang yang berpengaruh atas kami.”

Di ayat lain juga Allah swt. berfirman menceritakan


tentang orang-orang munafik yang tidak memahami
pembicaraan. Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi
Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hamper-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?”
(QS. An Nisa: 78).
Sedangkan makna fikih dalam arti mengerti atau
memahami yang mendalam, bisa temukan di dalam al-
Quran QS. At-Taubah/9:122.
‫۞ َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ ِليَ ْن ِف ُر ْوا ك َۤافَّة فَلَ ْو ََل نَف ََر ِم ْن كُ ِل فِ ْرقَة‬
ِ ‫ط ۤا ِٕىفَة ِليَتَفَقَّ ُه ْوا فِى‬
‫الدي ِْن َو ِليُ ْنذ ُِر ْوا قَ ْو َم ُه ْم اِذَا َر َج ُع ْٓوا اِلَ ْي ِه ْم‬ َ ‫ِم ْن ُه ْم‬
ࣖ َ‫لَ َعلَّ ُه ْم يَحْ ذَ ُر ْون‬

Terjemahnya:
Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian
dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi

3
(tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?

Dan didalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh


Imam Bukhari
ُ َّ ‫َم ْن ي ُِر ْي ُد‬
‫َّللا ِب ِه َخيْرا يُفَ ِق ْههُ فِي ال ِدي ِْن‬
artinya:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi
orang yang baik di sisi-Nya niscaya diberikan
kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam
pengetahuan agama.”

Dari ayat dan hadis tersebut, dapat ditarik sebuah


pengertian bahwa fikih itu berarti mengetahui, memahami
dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Pada
prakteknya, istilah fikih ini lebih banyak digunakan untuk
ilmu agama secara umum. Seorang yang ahli di bidang
ilmu-ilmu agama sering disebut sebagai faqih, sedangkan
seorang yang ahli di bidang ilmu yang lain, kedokteran
atau arsitektur misalnya, tidak disebut sebagai faqih atau
ahli fikih.
b. Istilah
Secara istilah, kata fikih didefinisikan oleh para
ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda. Ada

4
pun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah
fikih yang dikenal para ulama adalah :
‫العلم باأل ح كام الشر عية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية‬
“Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang
amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil
secara rinci”.
Berikut penjelasan defenisi:
1) Ilmu Fikih
Fikih adalah sebuah cabang ilmu, yang tentunya
bersifat ilmiyah, logis dan memiliki obyek dan kaidah
tertentu. Fikih tidak seperti tasawuf yang lebih
merupakan gerakan hati dan perasaan dan juga bukan
seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual.
Begitu juga fikih bukan seni yang lebih bermain dengan
rasa dan keindahan. Fikih adalah sebuah cabang ilmu
yang bisa dipelajari, didirikan di atas kaidah-kaidah yang
bisa dipresentasikan dan diuji secara ilmiah.
2) Hukum-hukum
Ilmu fikih adalah salah satu cabang ilmu, yang
secara khusus termasuk ke dalam cabang ilmu hukum.
Pada intinya bahwa ilmu fikih adalah ilmu hukum. Pada
umumnya dikenal beragam cabang maupun jenis ilmu
hukum, seperti hukum adat yang secara tradisi
berkembang pada suatu masyarakat tertentu dan berbagai
jenis hukum tertentu.
3) Syariat

5
Syariat merupakan wilayah kajian ilmu fikih.
Sumber hukum syariat berasal dari Allah swt dan telah
menjadi ketetapan-Nya. Manusia diberi beban untuk
wajib mempelajari, menjalankan serta mengajarkan
hukum-hukum tersebut. Dengan kata lain, ilmu fikih
bukan ilmu hukum yang dibuat oleh manusia. Fikih
adalah hukum syariat, dan s dipastikan berasal dari Allah
swt secara keseluruhan.
Keterkaitan manusia dalam ilmu fikih hanya dalam
menganalisa, merinci, memilah serta menyimpullkan apa
yang telah Allah swt firmankan lewat al-Quran dan juga
melalui Rasulullah saw. sampaikan berupa sunnah atau
hadis nabawi.
4) Amaliyah
Hukum fikih terbatas pada hal-hal yang bersifat
amaliyah badaniyah, bukan yang bersifat ruh, perasaan,
atau wilayah kejiwaan lainnya. Sebagaimana diketahui
bahwa syariah itu memiliki banyak wilayah, misalnya
wilayah akidah yang lebih menekankan pada wilayah
keyakinan dan pondasi keimanan.
Pada bahasan ilmu hukum fikih yaitu menguraikan
hukum-hukum yang bersifat fisik berupa perbuatan
perbuatan manusia secara fisik lahiriyah. Secara
singkatnya, fikih itu hanya menilai dari segi yang
kelihatan saja, sedangkan yang ada di dalam hati, atau di
dalam benak, tidak termasuk wilayah amaliyah.

6
5) Yang diambil dari dalil-dalinya yang rinci
Pada umumnya orang beranggapan bahwa ilmu
fikih merupakan karangan atau logika para ulama dan
dianggap bahwa ulama juga manusia yang dapat
membuat aturan berdasarkan keinginan sendiri.
Sedangkan yang berasal dari Allah swt hanyalah al-
Quran, dan yang berasal dari Rasulullah saw adalah
hadis.
Cara pemahaman hal tersebut mungkin
maksudnya benar tetapi kurang tepat dalam
memahaminya yang sebenarnya. Sesungguhnya Al-Quran
dan Sunnah merupakan sebagai sumber rujukan utama
fikih.
Ilmu fikih dapat diumpamakan, ibarat ilmu terkait
perkiraan cuaca. Ilmu ini tentu bukan ilmu ramal
meramal dengan menggunakan kekuatan ghaib. Ilmu
yang mengandalkan data dan fakta dari gejala-gejala di
alam dan dapat dilihat dan dirasakan oleh semua
manusia. Contohnya arah hembusan angina,
kecepatannya, kelembaban udara, suhu, dan lainnya.
Bagi khalayak biasa, walaupun mereka dapat
melihat atau merasakan semua gejala alam itu, akan tetapi
mereka tidak bisa mengetahui bagaimana mengerjakan
data-data gejala alam dengan cermat dan akurat. Hanya
orang-orang yang telah mempelajari ilmu dengan serius
yang dapat mengolah data-data tersebut.

7
Satu hal lagi yang urgent, yaitu seringkali secara
sekilas melihat atau berpikir telah terjadi ketidaksesuaian
antara satu ayat dengan ayat lainnya. Begitu juga antara
adis yang satu dengan hadis lain. Bahkan antara ayat dan
hadis sering kali terjadi hal yang demikian. Maka buat
orang biasa, seringkali terjadi kekeliruan yang amat fatal.
Padahal yang sebenarnya terjadi bukan ketidaksesuaian,
tetapi karena tidak diketahui konteks dari dalil atau boleh
jadi Nabi saw berbicara dalam waktu dan situasi yang
berbeda.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa fikih
adalah kesimpulan hukum-hukum bersifat baku hasil
ijtihad ulama yang bersumber dari al-Quran, sunnah,
ijma, qiyas dan dalil-dalil yang ada.
2. Syariah
Kata syariah menurut bahasa, memiliki banyak arti
sesuai dengan “ushlub” kalimatnya itu sendiri. Sering kali
syari'ah berarti "ketetapan dari Allah bagi hamba-hamba-
Nya". Kadang-kadang juga berarti "jalan yang ditempuh
oleh manusia atau jalan yang menuju ke air" atau berarti
"jelas".
Dijelaskan pada QS al-Jasiyah/45:18.

َ َ‫ث ُ َّم َج َع ۡل َٰنَك‬


‫علَ َٰى ش َِري َع ٖة ِمنَ ۡٱألَمۡ ِر فَٱتَّ ِبعۡ َها َو ََل تَتَّ ِبعۡ أَ ۡه َوآ َء‬
َ‫ٱلَّذِينَ ََل َيعۡ لَ ُمون‬
Terjemahnya:

8
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Menurut istilah para ulama, syari'ah adalah:


"Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-
hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya saw.,
baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara-cara
bertingkah laku, yaitu yang disebut dengan hukum-hukum
cabang (furu)". Hukum-hukum semacam ini, dihimpunlah
dalam ilmu Fikih.
Selain itu, pada mulanya, syariah juga mencakup
cara-cara beritikad yang benar, yang disebut dengan
hukum-hukum pokok dan i'tiqadiyah. Tetapi, dalam
sejarah, hal semacam ini dihimpun dalam ilmu kalam.
Demikian pula cara-cara berakhlak dan
perbuatannya, yang kemudian dipisahkan dari ilmu fikih
dan dihimpun dalam ilmu tasawuf. Oleh karena itu, pada
dasarnya, pengertian syari'ah sepadan dengan pengertian
agama (al-millah wa al-ddin).' Inilah syari'ah dalam
pengertiannya yang sangat luas dan menyeluruh,
meliputi seluruh ajaran agama baik yang berkaitan
dengan akidah, maupun yang berkaitan dengan
perbuatan lahir manusia dan sikap batin mereka.

9
Akhir-akhir ini hubungan syariah dengan fikih
daoat dipahami secara terbatas yakni pada hukum-hukum
yang tegas (qath'i) yang tak dapat digugat lagi yang
berasal dari al-Qur'an dan sunnah yang sahih yang
ditetapkan oleh ijma.
Dengan demikian, syariah bisa diartikan dengan
arti yang sangat luas, dan dapat pula diartikan dalam arti
yang sempit. Hal ini penting diperhatikan, karena para
ulama tidak selalu sama dalam mengartikan syari'ah. Ada
mengartikan syari'ah sama dengan fikih dan adapula
yang menganggap bahwa syari'ah khusus untuk hukum
yang didasarkan kepada dalil yang qath'i saja. Bahkan,
ada yang menganggap bahwa syari'ah itu adalah
keseluruhan ajaran agama.
Syari'ah dalam arti sempit sama pengertiannya
dengan Fikih Nabawi, yaitu hukum yang ditunjukkan
dengan tegas oleh al-Qur'ân atau hadis. Fikih dalam arti
sempit sama pengertiannya dengan fikih ijtihadi, yaitu
hukum yang dihasilkan melalui ijtihad para mujtahid."
3. Ushul Fikih
Ushul itu bentuk jamak, sedang bentuk mufradnya
adalah ashl, yang mengandung makna sumber atau dalil
yang menjadi dasar sesuatu atau juga berarti yang kuat.
Disebut ilmu ushal fikih karena ilmu ini menjadi dasar
atau fondasi ilmu fikih.

10
Al-Ghazali mengartikan ushul fikih dengan “Ilmu
yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara, dan tentang
bentuk bentuk penunjukkan dalil tadi terhadap hukum".
Al-Syawkani mendefinisikan ushul fikih dengan,
"Ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah, yang kaidah tadi bisa
digunakan untuk mengeluarkan hukum syara yang berupa
hukum furu' (cabang) dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Abd al-Wahhab Khalfaf memberikan definisi ushul
fikih sebagai berikut: "Ushul fikih ialah ilmu tentang kaidah-
kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara
untuk menemukan hukum-hukum syara yang amaliah dari
dalil-dalilnya yang terperinci. Atau kumpulan-kumpulan
kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk
menemukan (mengambil) hukum syara yang amaliah dari dalil-
dalilnya yang terperinci".
Al-Hudhari Bik mendefinisikan ushul fikih dengan
sekumpulan kaidah untuk mengeluarkan hukum-hukum
syara dari dalil dalilnya." Berdasarkan definisi-definisi
tersebut, bisa diambil pengertian umum, bahwa fikih
sebagai disiplin ilmu mempunyai metode tertentu dan
metodologi ilmu fikih itu ialah ushul fikih.
Oleh karena itu, apabila mempelajari fikih tanpa
mempelajari ushul fikih, tidak akan tahu bagaimana
caranya mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya itu dan
bagaimana mengembalikan hukum fikih kepada sumber
asalnya.

11
Bagi orang yang mempersiapkan diri menjadi
mujtahid, mengetahui ushul fikih adalah merupakan
persyaratan yang pokok. Pengembangan ilmu fikih hanya
bisa terjadi apabila ilmu ushul fikih didalami dengan
sungguh sungguh.
Ditinjau dari sisi ushul fikih, seorang mujtahid
mutlak baru timbul apabila dia memiliki ushul fikih yang
mandiri, atau setidak-tidaknya satu model ushul fikih
yang berbeda dari model ushul fikih mujtahid lainnya.
4. Kaidah Fikih
Materi fikih itu beragam sekali, dan dari banyaknya
materi-materi itu ada hal-hal yang serupa, kemudian
dihimpun dalam satu ikatan. Ikatan inilah yang disebut
kaidah fikih. Oleh sebab itu Abu Zahrah mengartikan
kaidah fikih yaitu, "Kumpulan hukum hukum yang serupa
yang kembali kepada satu qiyas yang mengumpulkannya, atau
kembali kepada prinsip fikih yang mengikatnya".
Kaidah-kaidah fikih tersebut mengklasifikasikan
masalah masalah furu' (fikih) menjadi beberapa bagian
atau kelompo, dan setiap kelompok itu merupakan
kumpulan-kumpulan dari masalah masalah yang sama.
Berbagai contoh dalambidang fikih, misalnya pada
fikih ibadah: Apabila seseorang tidak mampu shalat wajib
sambil berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk,
apabila tidak sanggup duduk, diperbolehkan shalat
sambil berbaring. Pada bidang muamalah: Apabila tidak

12
ada saksi yang adil, dianjurkan memakai saksi meskipun
dinilai kurang keadilannya. Pada ranah jinayah (hukum
pidana Islam): apabila pembunuh tidak dapat dijatuhi
hukuman mati (karena dimaafkan oleh wali terbunuh
misalnya) maka ditetapkan hukuman diat, apabila diatnya
dimaafkan, dikenakan untuk hukuman ta'zir (hukuman
yang ditentukan oleh ulil amri baik macamnya maupun
jumlahnya). Lebih lanjut pada fikih siyasah: Apabila tidak
menyampaikan seluruh ajaran Islam,
dianjurkanmenyampaikan meski hanya satu ayat; Apabila
sulit menemukan pemimpin yang sesuao kriteria, maka
pilihlah pemimpin meskipun kurang memenuhi kriteria
yang diinginkan dan berbagai contoh lainnya.
Penerapan dan penggunaan kaidah fikih yang
bersifat umum, harus hati-hati dan harus memerhatikan
pengecualian. Kaidah tersebut tidak hanya berlaku bagi
satu perbuatan, dan perbuatan itu tidak sah apabila tidak
dilakukan secara sempurna. Contohnya apabila tidak kuat
puasa sehari penuh, puasalah setengah hari. Puasa
setengah hari hukumnya tidak sah.
Adapun perbedaannya fikih dan kaidah fikihiyyah
yaitu:
1) Kaidah ushul fikih merupakan satu metode yang
digunakan oleh para ahli fikih agar mengeluarkan
hukum dengan benar dari dalil yang rinci.
Sedangkan kaidah fikihiyyah merupakan kaidah

13
yang disimpulkan dari berbagai ragam aturan-
aturan fikih.
2) Mempelajari kaidah ushul fikih berangkat dari
dasar-dasar fikih atau fondasi fikih, sedangkan
mempelajari kaidah fikihiyyah berangkat dari
mempelajari materi fikih.
3) Kaidah ushul fikih lebih bercorak pemikiran di
dalam mengambil keputusan hukum, sedangkan
kaidah fikihiyyah lebih menekankan kebijakan di
dalam memutuskan ketetapan hukum.
Luasnya perbedaan ini, maka tidaklah
mengherankan bila di dalam kitab-kitab atau buku-buku
tentang kaidah fikihiyyah sering digabungkan antara
kaidah-kaidah ushul fikih dengan kaidah-kaidah fikih.
5. Hukum Islam
Di Indonesia sudah lama berkembang istilah
hukum Islam, di samping istilah fikih dan syari'ah.
Salah satu usaha dalam menjelaskan pengertian
Hukum Islam telah dicoba dalam satu Lokakarya di
Jakarta, dan berhasil merumuskan bahwa pengertian
Hukum Islam itu adalah; “Hukum fikih Muamalah dalam
arti yang luas, yakni pengertian manusia tentang kaidah-kaidah
(norma-norma) kemasyarakatan yang bersumber pertama pada
Al-Qur'ân, kedua pada Sunnah Rasulullah, dan ketiga pada
akal pikiran".

14
Pengertian hukum Islam secara luas yang diketahui
secara umum oleh masyarakat adalah yang dikemukakan
oleh al-Ghazali, yaitu hukum syara yang tertentu bagi
perbuatan mukalaf, seperti: wajib, haram, mubah
(kebolehan), sunnah, makruh, sah, fasid, batal, qadla dan
lain-lainnya.
Apabila apabila hukum Islam itu diartikan dalam
artinya yang luas, akan meliputi segala macam hal, baik
yang bersifat manusiawi maupun yang bersifat
Ketuhanan. Keduanya merupakan kesatuan rangkaian
hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam sekitarnya.
Pengertian Hukum Islam yang luas ini
mengandung arti, "Keseluruhan hukum yang tidak
dipisahkan dari kesusilaan yang dipatokkan bukan hanya
kepada hak, kewajiban dan paksaan pengokohnya, akan
tetapi juga kepada lima hukum, yaitu wajib, sunat, jaiz
(halal), makruh dan haram yang memuat pengertian
pahala, dosa, pujian, celaan, dan pembiaran.

B. Hubungan dan Perbedaan antara Fikih, Syariah,


Ushul Fikih, Kaidah Fikihiyyah Dan Hukum
Kata Syariah memiliki konotasi hukum yang suci
sepenuhnya dan mengandung nilai-nilai uluhiyah,
sedangkan fikih merupakan ilmu tentang syariah. Kata

15
syariah mengingatkan kepada wahyu atau sunnah nabi,
sedangkan fikih lebih terkait kepada ilmu hasil ijtihad.
Syariah dan fikih bisa dibedakan, tetapi tidak bisa
dipisahkan. Hal ini didasarlan pada beberapa alasan:
1. Ukuran bagi semua tingkah laku manusia, baik
didalam syariah maupun didalam fikih adalah sama
yakni mencari keridohan tuhan dengan jalan
menaati suatu sistem hukum yang sangat sempurna.
2. Seseorang mujtahid yang menghasilkan fikih, berarti
mengerahkan segala kemampuannya untuk
menggali sebanyak mungkin nilai-nilai syariah ,
karena itulah rupanya ada hadis yang menyatakan
bahwa “Apabila seorang hakim berijtihad kemudian hasil
ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala dan
apabila salah maka ia tetap mendapat satu pahala”.
3. Usaha pentarjihan terhadap beberapa hasil ijtihad
(fikih) yang berbeda, pada hakikatnya menilai
kembali pendapat-pendapat ulama yang paling kuat
dan besar bobot nilai-nilai syariahnya atau yang
paling mendekati kepada kebenaran menurut
syariah. Adapun nilai kebenaran menurut Ibn
Qayyim adakah “Adil membawa rahmat, maslahat, dan
mengandung hikmah”.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ruang lingkup
syariah dan fikih dalam pemikiran manusia itu ternyata
berkembang.

16
Awal masaIslam, ruang lingkup syariah sama
dengan fikih, yaitu meliputi seluruh ajaran Islam. Seiring
pertumbuhan dan kemajuan ilmu, ruang lingkup
keduanya dibatasi hanya mengenai perbuatan manusia
saja, membedakan antara ilmu fikih dari kalam serta
tasawuf, dan membedakan antara fikih dan syariah.
Adapun ushul fikih yaitu thuruq al-istinbath yang
diartikan yaitu cara-cara yang dilakukan oleh para
mujtahid dalam menetapkan hukum dari dalil, dengan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa (linguistik) atau
menggunakan kaidah ushuliyah lainnya agar
menghasilkan fikih sebanyak mungkin dengan meraih
nilai-nilai syariah.
Kaidah-kaidah fikih hadir setelah adanya fikih dan
merupakan prinsip-prinsip umum yang disimpulkan oleh
ulama dari aturan-aturan fikih karena kaidah fikih ini
termasuk prinsip umum fikih, maka sering pula pada
akhirnya digunakan untuk pedoman dalam penarikan
hukum.
Secara sederhana dan ilustratif, urutan sebagai
berikut:

Ushul fikh
Sumber Fikih
Metodologi
Hukum

17
Fikih merupakan hasil yang didasarkan pada
sumber hukum serta diolah melalui metodologi tertentu.
Terdapat beberapa macam fikih, kemudian fikih-fikih
tersebut disimpulkan menjadi prinsip-prinsip umum,
yang disebut kaidah-kaidah fikih. Sehingga kaidah-kaidah
fikih dapat dipandang sebagai lambang kearifan fikih
mendapmpingi ushul fikih sebagai metode berpikir
hukum di dalam fikih untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang baru muncul. Hal ini mengisi terminologi
hukum Islam, baik pengertian hukum Islam dalam arti
sempit maupun hukum Islam dalam arti luas.
Berdasarkan pemahaman diatas, dapat
diilustrasikan bahwa Allah swt menurunkan syariah
supaya manusia merasakan rahmat dan keadilan Allah
swt, hidup baik dan memiliki faedah, bahagia dunia dan
akhirat.
Ushul fikih dan kaidah-kaidah fikih digunakan
dalam mengaktualisasikan syariah. Didalam fikih sikap
dan perbuatan manusia diukur dengan “al-Ahkam al-
Khamsah” (wajib, haram, sunat, makruh dan mubah).
Semua hal tersebut diwarnai oleh rasa keindahan, tidak
kaku dan gersang. Dengan demikian, semua hal tersebut
dibangun sistem hukum Islam dalam arti yang luas.

18
C. Objek Pembahasan, Metodologi, Tujuan dan
Kegunaan Ilmu Fikih
1. Objek Pembahasan Ilmu Fikih
Objek pembahasan ilmu fikih adalah aspek hukum
setiap perbuatan mukalaf serta dari perbuatan tersebut.
Seorang ahli fikih membahas tentang cara mukalaf
menunaikan shakat, puasa, naik haji dan lain sebagainya
yang berkaitan dengan fikih ibadah mahdah,
melaksanakan kewajiban rumah tangga, warisan, dan lain
sebagainya yang masuk ke dalam pembahasan hukum
keluarga (akhwal syaksiyyah). Selain itu juga, para ahli fikih
juga membahas cara melakukan muamalah dalam arti
sempit, seperti jual beli, sewa menyewa dan lain
sebagainya.
Lebih lanjut, dibahas mengenai sanksi bagi para
pelanggar suatu aturan atau tidak melaksanakan
kewajiban (fikih jinayah). Lembaga yang menangani
perkara mukalaf apabila merasa dirugikan atau merasa
tidak mendapatkan keadilan (ahkam qadha atau peradilan
Islam). Bagaimana perbuatan seorang mukalaf dalam
melakukan hubungan hukum dengan masyarakat
maupun berbagai lembaga, lembaga-lembaga yang
berkaitan dengan masyarakat, pimpinan (fikih siyasah).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dipahami
bahwa hal tersebut merupakan gambaran pokok akan
luas objek pembahasan terkait ilmu fikih. Semua hal

19
tersebut dibahas oleh para fuqaha pada berbagai kitab-
kitab yang ribuan judul dan setiap judul memiliki
banyak jilid dan setiap jilid memilki ratusan bahkan
ribuan lembaran halaman.
Aspek hukum setiap perbuatan mukalaf serta dalil-
dalil yang menunjuk kepada tiap perbuatan itu menjadik
objek pembahasan ilmu fikih. Kemudian menghasilkan
penilaian terhadap perbuatan mukalaf tersebut, yaitu al-
ahkam al-khamsah (wajib, sunnah, kebolehan, makruh dan
haram)
2. Metodologi Ilmu Fikih
Adapun objek pembahasan ushul fikih adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan metode yang
digunakan oleh faqih (ahli hukum Islam), didalam
mengeluarkan hukum dan dalilnya. Jadi, ushul fikih
membahas dan menjelaskan cara-cara beristinbath:
bagaimana cara menetapkan hukum dari dalil-dalinya.
Pada intinya bahwa ushul fikih berbicara mengenai
bagaimana cara hukum itu dikeluarkan dari dalil-dalinya.
Selain itu, juga dibahas tentang dalil-dalil hukum seperti
al-Quran, sunnah, ijma, qiyas, istishan, maslahah
mursalah, al urf, istishab dan lain sebagainya.
Berikut ini diuraikan cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil, dibahas tentang kaidah bahasa:
a. Tinjauan tentang jelas dan tidak jelasnya satu kata
yang menunjukkan kepada maksud tertentu, seperti

20
ada kata yang dhahir, nash, mufashar, muhkam, dan ada
pula yang khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.
b. Tinjauan tentang cara tentang memahami kata-kata
dari satu nash, apakah mantuhq nya atau dengan
mahfumnya (dengan tersurat atau tersirat)
c. Tinjauan tentang ruang lingkup satu atau kata
tertentu seperti lafal yang am atau yang khas
d. Tinjauan tentang bentuk katanya seperti amr
(perintah), nahyu (larangan)
e. Dibahas pula kaidah-kaidah atau prinsip yang perlu
mendapatkan perhatian serius dalam memecahkan
masalah–masalah yang tidak ada nashnya seperti
maqashid syariah, hak Allah, hak adami. Dan sudah
tentu dibicarakan pula hal-hal sekitar ijtihad dan yang
berkaitan dengan ijtihad seperti tingkatan-tingkatan
mujtahid, tentang taqlid dan ibtida’.
f. Pembahasan disekitar hakim, yaitu pembahasan yang
menjelaskan bahwa Allah swt. Sebagai zat yang
menetapkan hukum. Hukum Allah swt disampaikan
melalui Rasulullah saw.
g. Pembahasan tentang mahkum fih, yaitu pembahasan
sekitar perbuatan mukalaf yang diberi hukum
(perbuatan hukum). Diantaranya dibicarakan tentang
syarat sah taklif, seperti taklif itu harus diketahui oleh
mukalaf, harus mungkin dilaksanakan, dan taklif

21
tersebut harus dating dari yang mempunyai
kewenangan mentaklif,
h. Pembahasan tentang mahkum alayh yaitu orang
mukalaf yang dibebani hukum atau biasa dikenal
subjek hukum.
i. Pembahasan yang menjelaskan manusia itu memiliki
ahliyah al-wujub, karena kemanusiaannya, janin
sekalipun harus dihormati hak-haknya. Pembahasan
mengenai ahliyah al-ada yaitu orang yang memiliki
kewenangan bertindak hukum tertentu; orang
mukalaf mempunyai ahliyah al-ada secara penuh.
Selain itu dibahas juga tentang orang-orang
ahliyahnya kurang, serta hambatan-hambatan
ahliyahnya seperti orang gila.
Pada ushul fikih sering satu masalah bisa didekati
dengan berbagai cara. Untuk memilih cara-cara yang
paling tepat dalam memcahkan satu kasus tertentu sangat
tergantung pada kecermatandan pengamatan yang tajam
dari seorang mujtahid terhadap masalah tersebut dan
kepada seni ijtihad yang diharapkan hasil ijtihadnya tidak
hanya benar dan akurat, tetapi juga baik dan indah,
memiliki kearifan yang tinggi. Oleh sebab itu, para
mujtahid melakukan shalat istikharah sebelum
memberikan fatwanya, sebagai usaha terakhir didalam
proses ijtihad.

22
Dengan demikian dalam proses dalam ijtihad itu
segala potensi insasni seorang mujtahid dikerahkan untuk
meraih sebanyak mungkin nilai-nilai samawi. Sebab pada
akhirnya hasil ijtihad yang paling mendekati pada
kebenanran, kebaikan, keindahan dan kearifan adalah
yang paling banyak meraih nilai-nilai uluhiyah.
3. Tujuan dan Kegunaan Ilmu Fikih
Tujuan akhir ilmu fikih adalah untuk mencapai
keridhohan Allah swt., dengan melaksanakan syariahnya
dimuka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual,
hidup berkeluarga maupun hidup bermasyarakat. Agar
hidup ini sesuai dengan syariah, maka dalam kehidupan
harus terlaksana nilai-nilai keadilan, kemaslahatan,
mengandung rahmat dan hikmah.
Imam As-Syatibi menyimpulkan bahwa tujuan
hukum Islam (Maqashid syariah) di dunia ada lima hal
yang dikenal dengan al-maqashid al-khamsah yaitu:
a. Memelihara agama (hifdz al-Din). Yang dimaksud
dengan agama disini adalah agama dalam arti sempit
(ibadah mahdah) yaitu hubungan manusia dengan
Allah swt (termasuk didalamnya aturan tentang
syahadat, shalat, zakat,puasa, haji dan aturan lainnya
yang meliputi hubungan manusia dengan Allah swt
dan larangan yang meninggalkannya.
b. Memelihara diri (hifdz al-Nafs). Termasuk larangan
membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain,

23
larangan menghina, kewajiban menjaga diri dan lain
sebagainya.
c. Memelihara keturunan dan kehormatan (hifdz al-Nas),
seperti aturan-aturan tentang pernikahan, larangan
perzinahan dan lain-lain.
d. Memelihara harta (hifdz al-Mal) termasuk kewajiban
kasb al-halal, larangan mencuri dan menghasab harta
orang.
e. Memelihara akal (hifdz al-Aql), termasuk larangan
meminum minuman keras, dan kewajiban menuntut
ilmu.
Pengertian al-Hifdz didalam maqashid memiliki dua
aspek yaitu:
a. Aspek yang menguatkan unsur-unsur maqashid dan
mengokohkan prinsip-prinsipnya. Melaksanakan
segala perintah serta meninggalkan yang dilarang
sesuai dengan aturannya termasuk dalam aspek
pertama ini. Aspek ini disebut aspek min janib al wujud
yaitu segala segala pengaturan dan usaha yang
menguatkan dan mengembangkan eksistensi maqashid
syariah.
b. Aspek yang menhalangi hilangnya maqashid.
Disinliah letaknya fikih jinayat yang memberikan
sanksi kepada setiap orang yang melakukan jarimah
(tindak pidana), dan disini pula letaknya nahi dan
mungkar . Aspek ini disebut aspek min janib al-adm,

24
yaitu segala pengaturan dan usaha agar maqashid
syraiah ini tidak sirna dari muka bumi.
Berdasarkan kelima diatas, ada aturan-aturan yang
bersifat dharuriyyat yaitu aturan pokok, ada aturan yang
bersifat hajiyyat yaitu bersifat keringanan, dan ada aturan
tahsiniyyat yaitu aturan-aturan yang membawa kepada
keindahan didalam hidup.
Dharuriyyat adalah aturan yang tidak bisa tidak
mesti ada agar tercapai kemaslahatan hidup. Apabila
aturan dharuriyyat ini hilang, maka kemaslahatan tidak
akan mantap bahkan akan mengarah kemafsadatan.
Termasuk dharuriyyat adalah masalah-masalah keimanan,
aturan-aturan pokok di ibadah mahdah, memelihara diri,
akal, keturunan dan harta.
Hajiyyat adalah aturan-aturan yang bertujuan agar
hidup ini tidak dirasakan sempit dan sulit, tetapi memiliki
keluasan dan fleksibilitas. Contohnya aturan yang
berkaitan dengan rukhsah, boleh jama dan qashar yang
bepergian, boleh melakukan bay salam bagi yang
melakukan muamalah, dan aturan-aturan lainnya.
Tahsiniyyat adalah aturan-aturan yang terkait erat
dengan sikap dan tingkah laku yang terpuji , mendorong
manusia untuk bertingkah laku terpuji, berakhlak
karimah dan menjauhkan dari sikap tercela. Contoh
aturan terkait menutup aurat, sopan santun dalam makan
dan lain sebagainya.

25
Adapun Kegunaan mempelajari ilmu fikih
dirumuskan sebagai berikut:
1) Mempelajari fikih berguna dalam memberi
pemahaman tentang berbagai aturan secara
mendalam. Dengan itu kita tahu aturan-aturan
secara rinci mengenai kewajiban dan tangung
jawab manusia terhadap tuhannya, hak dan
kewajiban dalam rumah tangga dan
bermasyarakat mengetahui cara bersuci, shalat,
zakat, puasa, haji, nikah, talak, rujuk, warisan
dan lain-lain.
2) Mempelajari ilmu fikih berguna sebagai
patokan untuk brsikap dalam menjalani hidup
dan kehidupan dengan mengetahui fikih kita
tahu perbuatan wajib, sunnah, mubah, makruh,
haram, sah, batal. Dengan memahami ilmu kita
kita berusaha untuk bersikap dan bertingkah
laku menuju pada ridha allah swt.

D. Hubungan Ilmu Fikih Dengan Ilmu Lainnya


1. Hubungan Ilmu Fikih dengan Ilmu Tauhid
Terdapat hubungan yang sangat erat antara Ilmu
Tauhid dengan Ilmu Fikih. Demikian ini karena ilmu
Tauhid mengarahkan objek kajiannya pada soal-soal
kepercayaan (aqidah) sedangkan fikih objek kajiannya
adalah hukum hukum perbuatan lahiriyah mukallaf

26
(alahkam al-amaliah). Jika objek ilmu tauhid adalah soal
ushul, maka objek ilmu fikih adalah furu’. Sasaran Ilmu
Tauhid hanya menyangkut soal-soal furu.
2. Hubungan Ilmu Fikih dengan Ilmu Tasawwuf
Terkait dengan tasawuf, fikih ibarat jasad dan
tasawuf adalah ruhnya. Jasad tanpa ruh adalah tidak
dapat hidup. Sementara ruh tanpa jasad juga tidak bisa
berfungsi. Keduanya harus saling melengkapi satu
dengan lainnya. Sekadar ilustrasi, fikih tidak membahas
ikhlas dalam sholat karena itu bahasan tasawuf. Fikih
hanya membahas syarat dan rukun sholat apa saja tidak
peduli sholatnya dilakukan dengan ikhlas atau riya’.
Berkaitan dengan dua hal ini, tak heran jika Imam
Malik mengatakan, Barang siapa mendalami fikih, tetapi
belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa
bertasawuf, tetapi belum mendalami fikih, berarti ia zindiq
dan barang siapa melakukan keduanya, berarti ia
melakukan kebenaran.
Tasawuf dan fikih adalah dua disiplin ilmu yang
saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara
keduanya, berarti disitu terjadi kesalahan dan
penyimpangan, yang maksudnya bahwa boleh jadi
seorang sufi berjalan tanpa fikih, atau seorang ahli
mengabaikan ilmu tasawufnya. Jadi, seorang ahli sufi
harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti

27
aturan fikih. Sebaliknya, seorang ahli fikih harus
berpegangan pada tasawuf agar ada kendali moralnya
3. Hubungan Ilmu Fikih dengan Ushul Fikih
Ilmu Fikih merupakan produk dari Ushul Fikih.
Ilmu Fikih berkembang seiring berkembangnya Ilmu
Ushul Fikih. Ilmu fikih akan bertambah maju jika ilmu
Ushul Fikih mengalami kemajuan. Ilmu Ushul Fikih
adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-
macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh
ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.
Logikanya, kalau ilmu alatnya maju, maka pastinya
produknya dalam hal ini fikih juga maju
4. Hubungan Ilmu Fikih dengan Ilmu Kaidah Fikih
(al-Qawaid al-Fikihiyyah)
Kaidah fikih merupakan kaidah yang diambil dan
digali dari diktum-diktum fikih secara induktif. Diktum
fikih yang sangat banyak ini memiliki kesamaan sehingga
dapat diambil kaidah umumnya yang membawahi
diktum-diktum fikih tersebut. Kaidah ini jumlahnya
sangat banyak. Misalnya kaidah: al-umuru bi maqasidiha,
an-naflu ausau minal fardli, al-yaqinu la yuzalu bissyakki dan
lain-lain. Dari kaidah ini, mujtahid dapat melakukan
penggalian hukum yang lain dengan cara ilhaq,
menyamakan sebuah kasus yang telah ada hukumnya
dalam fikih dengan kasus yang belum ada

28
5. Hubungan Ilmu Fikih dengan Filsafat Hukum
Islam
Ilmu Fikih juga memiliki erat dengan falsafah
hukum Islam. Falsafah hukum Islam, secara objektif,
berusaha mengungkapkan nilai-nilai, hikmah-hikmah,
manfaat dan kegunaan syariat bagi kehidupan manusia.
Sehingga, dalam implementasinya, kesadaran dan
pengertian mendalam akan dimiliki umat Islam dalam
mengamalkan atau mempraktekkan hukum Islam.
Falsafah hukum Islam sangat menentukan dan
menguatkan kesadaran hukum umat Islam karena
falsafah Hukum Islam akan menuntun umat Islam untuk
memahami hikmah dan manfaat disyariatkannya sebuah
hukum Islam. Sehingga, umat Islam akan sadar dengan
sendirinya dalam mengimlementasikan Syari’at. Dengan
adanya kesadaran hukum ini, implementasi fikih dalam
kehidupan umat Islam akan semakin semarak. Begitupun,
pelanggaran terhadap ketentuan dalam fikih dapat
dieliminasi frekuensinya
6. Hubungan Ilmu Fikih dengan Tarikh Tasyri’
(Sejarah)
Ilmu tarikh memiliki tiga dimensi: masa lalu, masa
kini, dan kemungkinan-kemungkinan masa yang akan
datang. Untuk mengetahui bagaimana ilmu fikih di masa
lalu, bagaimana sekarang dan bagaimana kemungkinan-
kemungkinannya pada masa yang akan datang bisa

29
ditelusuri dari ilmu sejarah Islam dan sejarah hukum
Islam atau lebih dikenal dengan Tarikh al-Tasyri.
Masa lalu dan masa sekarang memberikan data
dan fakta. Dengan fakta ini dicari latar belakangnya serta
ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan
benang merahnya yang merupakan semangat ajaran Islam
pada umumnya dan semangat ilmu fikih pada khususnya
berlaku sepanjang masa. Penerapan semangat ajaran ini
tentu akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya karena kemaslahatan yang
juga berubah-ubah. Perubahan hukum bergantung pada
perubahan waktu, tempat dan keadaan atau individu,
karena itu dibutuhkan ijtihad.
Demikianlah, apa yang dianggap sebuah maslahah
di masa lalu bisa dianggap tidak maslahah di masa kini.
Sebaliknya, apa yang tidak dianggap maslahah pada masa
lalu bisa dianggap maslahah di masa sekarang. Di sinilah
letak pentingnya tarikh tasyri’ dalam hubungannya
dengan fikih.
7. Hubungan Ilmu Fikih dengan Tafsir Ahkam
Untuk mendukung fikih, maka dalil-dalil al-Qur’an
menjadi sangat penting. Hanya saja, memahami al-Qur’an
langsung dari kitab al-Qur’an secara komprehensif tidak
mudah. Diperlukan tafsir yang merupakan penjelasan
para ulama tentang ayat-ayat al Qur’an. Di sinilah, maka

30
ilmu tafsir ahkam sangat urgen digunakan sebagai
penguat fikih itu sendiri.
Tidak semua ayat al-Qur’an merupakan ayat
ahkam. Dari 6666 ayat al-Qur’an, menurut sejumlah
ulama, hanya sekitar 600 ayat yang berkaitan hukum.
Karena itu, tafsir ahkam sangat penting digunakan
sebagai dalil yang menopang diktum-diktum fikih,
berikut cara dan logika istinbat hukumnya.
8. Hubungan Ilmu Fikih dengan Hadis Ahkam
Selain tafsir ahkam, hadits ahkam juga merupakan
dalil yang digunakan dan berkaitan dengan ilmu fikih.
Hadis ahkam merupakan hadis-hadis yang berkaitan
dengan hukum Islam (fikih). Demikian ini sangat penting
karena tidak semua hadits merupakan hadis ahkam.
Sebagian hadis berisi motivasi beragama, nasihat-nasihat,
kisah dan sebagainya. Secara praktis, hadis ahkam ini
digunakan dalam kitab-kitab fikih. Sebagaimana
diketahui, bahwa sebagian ulama menguatkan diktum-
diktukm fikih dengan hadis-hadis ahkam yang
mendasarinya sehingga dapat diketahui hukum fikih
yang berkaitan dengan hal tersebut.
9. Hubungan Ilmu Fikih dengan Ilmu Hukum
Maksud ilmu Hukum di sini adalah ilmu hukum
sistem Romawi dan sistem hukum Adat. Seperti sering
terjadi, sistem hukum Idam dalam masyarakat bertemu
dengan sistem hukum Romawi dan atau sistem hukum

31
Adat, misalnya di Indonesia Hukum Islam menghargai
sistem hukum lain yang telah menjadi adat kebiasaan
masyarakat, selama tidak bertentangan dengan ketentuan
ketentuan yang telah digariskan dengan tegas di dalam
hukum Islam. Tidak bertentangan dengan identitas
hukum Islam. Dalam kaitan ini dalam hukum Islam ada
kaidah:

‫ا َ ْل َع َدةُ ُمحْ َك َمة‬


"Adat kebiasaan itu bisa ditetapkan sebagai hukum"

Dari kaidah tersebut jelas bahwa hukum islam


tidak menganut sistem yang tertutup yang
menyebabkannya statis dan tidak memiliki dinamika,
tetapi juga tidak menganut sistem yang terbuka secara
mutlak yang mengakibatkan hilangnya identitas sebagai
hukum Islam. Oleh karena itu dalam batas-batas tertentu
ada hubungan antara ilmu Fiqh dengan ilmu hukum
lainnya, terutama di dalam mengamati pengaturan-
pengaturan manakah yang sama, sesuai atau tidak
bertentangan dengan hukum Islam dan pengaturan-
pengaturan manakah yang bertentangan. Hal ini sangat
penting diketahui dalam rangka penterapan hukum di
lingkungan masyarakat tertentu.

32
LATIHAN / SOAL / PRAKTIK

1. Jelaskan pengertian ilmu fikih secara bahasa dan


istilah!
2. Jelaskan hubungan fikih, syariah, ushul fikih, dan
kaidah fikih!
3. Jelaskan objek pembahasan ilmu fikih!
4. Jelaskan manfaat mempelajari ilmu fikih !
5. Jelaskan 3 hubungan ilmu fikih dengan ilmu
pengetahuan lainnya !

33
BAB II PEMBIDANGAN ILMU FIKIH

DESKRIPSI MATA KULIAH

Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar


tentang pembidangan ilmu fikih. Pada bahasan ini akan
diuraikan terkait pembidangan ilmu fikih dalam aspek
ibadah yang akan dijelaskan mengenai pengertian ibadah,
hakikat ibadah dan ruang lingkup ibadah. Selain itu juga
pembidangan ilmu fikih dalam aspek muamalah yang
meliputi pengertian muamalah secara sempit dan luas
dan pembagian fikih dalam bidang muamalah.

PENDAHULUAN
Pada fikih, diatur segenap perbuatan manusia
dalam dimensi hubungan vertikal (hubungan antara
manusia dengan Allah) dan dimensi hubungan horizontal
(hubungan manusia dengan sesamanya dan makhluk-
makhluk lainnya). Pembidangan tentang fikih akan terus
berkembang sesuai dengan perkembangan manusia itu
sendiri.
Pada hukum Islam terdapat dua bidang pokok
yang disepakati oleh para Fuqaha yakni bidang Ibadah
dan bidang Muamalah. Berbeda dengan bidang ibadah,
bidang muamalah biasanya disebut bidang adat (al-idah).
Isinya berupa aturan yang mengatur interaksi antara

34
manusia, baik hubungan antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok
dengan kelompok untuk mencapai sebuah tatanan hidup
yang baik. Dengan perkataan lain, aturan tesebut untuk
mewujudkan kepentingan duniawi. Pada bahasan ini
diharapkan bahwa:
1. Mahasiswa mampu memahami ilmu fikih dalam
aspek fikih
2. Mahasiswa mampu memahami ilmu fikih dalam
aspek muamalah
A. Pembidangan Ilmu Fikih dalam Aspek Ibadah
1. Pengertian Ibadah
Seluruh aktivitas seorang hamba yang dilakukan
karena mengharap keridhaan Allah Swt yang meliputi
hukum syariat merupakan cakupan fikih ibadah.
Aktivitas tersebut tidak terbatas hanya yang berkaitan
dengan kegiatan yang menghubungkan seorang Hamba
dengan Allah Swt. Akan tetapi, meliputi semua kegiatan
yang dilakukan seorang hamba dalam hubungannya
dengan sesama manusia, seperti bergeraknya seorang
hamba dalam rangka berikhtiar untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari drinya dan anggota keluarganya.
Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‫)عبادة‬
yang berarti pengabdian, penghambaan, ketundukkan,
dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama kita mengenal
istilah ‘‫( عبد‬hamba, budak) yang menghimpun makna

35
kekurangan, kehinaan, dan kerendahan. Oleh karenanya,
inti ibadah ialah pengungkapan rasa kekurangan,
kehinaan dan kerendahan diri dalam bentuk
pengagungan, penyucian dan syukur atas segala nikmat.
Kata ‘‫ عبد‬diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi abdi, seorang yang mengabdi dengan tunduk dan
patuh kepada orang lain. Dengan demikian, segala bentuk
sikap pengabdian dan kepatuhan merupakan ibadah
walaupun tidak dilandasi suatu keyakinan
Kata “Ibadah” menurut bahasa berarti “taat,
tunduk, merendahkan diri dan menghambakan diri”.
Adapun kata “Ibadah” menurut istilah berarti
penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk
mencapai keridhoan Allah dan mengharap pahala-Nya di
akhirat”.
Sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau
penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan manusia di dunia,
yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba
hanya kepada Allah. Jadi, semua tindakan mukmin yang
dilandasi oleh niat tulus untuk mencapai ridha Allah swt.
dipandang sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung
dalam firman Allah swt dalam QS. al-Dzariyat/51:56.
‫س ا ََِّل ِليَ ْعبُد ُْو ِن‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ا ْل ِج َّن َو‬
َ ‫اَل ْن‬

36
Terjemahnya:
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku.
Sehingga dapat dipahami bahwa seluruh perbuatan
mukmin yang dilakukan sepanjang hari dan malam tidak
terlepas dari nilai ibadah.
Hukum Ibadah (fikih ibadah) yaitu meliputi tata
cara bersuci,shalat, puasa, haji, zakat,nadzar, sumpah, dan
aktivitas sejenis terkait dengan hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya. Pandangan ulama fikih, ibadah
merupakan semua bentuk pekerjaan yang bertujuan
memperoleh keridahan Allah Swt dan akan medapat
pahala untuk di akhirat kelak.
Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-
Quran, antara lain dalam QS. Yasin/36:60.
َ ‫شي َْٰطنَ اِنَّهٗ لَكُ ْم‬
‫عدُو ُّمبِيْن‬ َّ ‫۞ اَلَ ْم اَ ْع َه ْد اِلَ ْيكُ ْم َٰيبَنِ ْٓي َٰا َد َم اَ ْن ََّل تَ ْعبُدُوا ال‬
Terjemahnya:
Bukankah Aku telah berpesan kepadamu dengan
sungguh-sungguh, wahai anak cucu Adam, bahwa
janganlah kamu menyembah setan? Sesungguhnya
setan itu musuh yang nyata bagi kamu.

Para ulama tafsir menafsirkan bahwa kata


menyembah dengan makna menaati. Imam Ibnu Kasir
menjelaskan, ayat ke 60 dari surat yasin ini menjadi
teguran bagi orang-orang yang tidak beriman dari
keturunan Nabi Adam AS yang lebih memilih untuk

37
mentaaati setan, padahal mereka adalah musuh yang
nyata, dan bermaksiat kepada Allah swt, padahal Ia yang
menciptakan segala sesuatu dan memberikan rezeki.

2. Hakikat Ibadah
Beribadah kepada Allah swt merupakan tujuan
diciptakannya manusia di Bumi. Allah swt sebenarnya
telah menetapkan perintah ibadah yang merupakan suatu
kemampuan yang besar kepada makhluknya, karena
apabila direnungkan, hakikat perintah beribadah itu
berupa peringatan agar manusia menunaikan kewajiban
karunia yang telah dilimpahkan oleh Allah swt. . Hakikat
ibadah itu antara lain firman Allah swt dalam QS al-
Baqarah/2:21.
‫ي َخلَقَكُ ْم َوالَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِلكُ ْم لَ َعلَّكُ ْم‬ ُ َّ‫َٰيٓاَيُّ َها الن‬
ْ ‫اس ا ْعبُد ُْوا َربَّكُ ُم الَّ ِذ‬
َ‫تَتَّقُ ْون‬
Terjemahnya:
Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.

Adapun hakikat ibadah yaitu:


a. Ibadah adalah tujuan hidup kita.
b. Melaksanakan apa yang Allah swt cintai dan ridhai
dengan penuh ketundukkan dan perendahan diri
kepada Allah swt.

38
c. Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan
perintah Allah swt dan meniggalkan larangan-Nya.
d. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang
mengandung makna mendahulukan kehendak Allah
dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-
tandanya : mengikuti sunnah Rasulullah saw.
e. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk
meraih segala sesuatu yang dicintai Allah swt).
f. Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun
ketakutan kepada segala bentuk dan jenis makhluk
melebihi ketakutannya kepada Allah swt.
Dengan demikian orang-orang yang benar-benar
mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya
dengan berbagai macam bentuk ketaatan baik dengan
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan.
Sebab dengan cara itu tujuan hidupnya akan terwujud.
3. Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah
Berbicara terkait ruang lingkup ibadah, tentunya
tidak dapat melepaskan diri dari pemahaman terhadap
pengertian ruang lingkup itu sendiri. Oleh karena itu,
menurut Ibnu Taimiyah (661-726 H/ 1262-1371 M) yang
dikemukakan oleh Ritonga, bahwa ruang lingkup ibadah
mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah,
swt baik dalam perkataan maupun batin; termasuk dalam
pengertian ini adalah salat, zakat, haji, benar dalam
pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada

39
orang tua, menjalin silahturrahmi, memenuhi janji, amar
ma’ruf nahi munkar, jihad terhadap orang kafir, berbuat
baik pada tetangga, anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil,
berdo’a, zikir, baca Al-qur’an, rela menerima ketentuan
Allah dan lain sebagainya. Ruang lingkup ibadah pada
dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Ibadah Umum, artinya ibadah yang mencakup segala
aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhoan
Allah. Unsur terpenting agar dalam melaksanakan
segala aktivitas kehidupan di dunia agar benar-benar
bernilai ibadah adalah “niat” yang ikhlas untuk
memenuhi tuntutan agama dengan menempuh jalan
yang halal dan menjauhi jalan yang haram.
b. Ibadah Khusus, artinya ibadah yang macam dan cara
pelaksanaannya ditentukan dalam syara’ (ditentukan
oleh Allah dan Nabi Muhammad Saw). Ibadah khusus
ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal
melaksanakan sesuai dengan peraturan dan tuntutan
yang ada, tidak boleh mengubah, menambah, dan
mengurangi, seperti tuntutan bersuci (wudhu), salat,
puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat.
4. Tujuan Ibadah
Ada lima tujuan yang dicapai melalui pelaksanaan
ibadah:
a. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya
yang mutlak, seperti ilmu, kekuasaan, dan kehendak-

40
Nya. Artinya, kesempurnaan sifat-sifat Allah tak
terbatas, tak terikat syarat, dan meniscayakan-Nya
tanpa membutuhkan yang lain.
b. Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan,
seperti kemungkinan untuk binasa, terbatas, bodoh,
lemah, kikir, semena-mena, dan sifat-sifat tercela
lainnya
c. Bersyukur kepada Allah sebagai sumber segala
kebaikan yang kita dapatkan berasal dari-Nya,
sedangkan segala sesuatu selain kebaikan hanyalah
perantara yang dia ciptakan.
d. Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan
menaati-Nya secara mutlak. Mengakui bahwa Dialah
yang layak ditaati dan dijadikan tempat berserah diri.
Dialah yang yang berhak memerintah dan melarang,
karena dialah Tuhan kita. Semua hamba wajib taat dan
menyerahkan diri kepada-Nya, sebab kita adalah
hamba-Nya.
e. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah apapun
yang disebutkan di atas, dialah satu-satunya yang
Maha sempurna. Dialah satu-satunya yang Mahasuci
dari segala cela dan kekurangan. Dan dialah satu-
satunya pemberi nikmat yang sebenarnya, serta
pencipta segala kenikmatan. Oleh karena itu, segala
bentuk syukur layak dipanjatkan hanya kepada-Nya.

41
Dialah satu-satunya yang layak ditaati dan dijadikan
tempat berserah diri secara tulus
5. Macam-Macam Ibadah ditinjau dari Berbagai
Segi
a. Dilihat dari segi umum dan khusus, maka ibadah
dibagi dua macam:
1) Ibadah Khoshoh adalah ibadah yang ketentuannya
telah ditetapkan dalam nash (dalil/dasar hukum)
yang jelas, yaitu sholat, zakat, puasa dan haji.
2) Ibadah Ammah adalah semua perilaku baik yang
dilakukan semata-mata karena Allah swt. seperti
bekerja, makan, minum dan tidur sebab semua itu
untuk menjaga kelangsungan hidup dan kesehatan
jasmani supaya dapat mengabdi kepada-Nya.
b. Ditinjau dari segi kepentingan perseorangan atau
masyarakat, ibadah ada dua macam:
1) Ibadah wajib (fardhu) seperti sholat dan puasa.
2) Ibadah ijtima’i, seperti zakat dan haji.
c. Dilihat dari cara pelaksanaannya, ibadah dibagi
menjadi tiga:
1) Ibadah jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan
puasa
2) Ibadah ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
3) Ibadah jasmaniyah, ruhiyah dan amaliyah seperti
pergi haji.

42
d. Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dibagi
menjadi:
1) Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu dengan
perkataan dan perbuatan, seperti sholat, zakat,
puasa dan haji.
2) Ibadah yang berupa ucapan, seperti membaca Al-
Qur’an, berdo’a dan berdzikir.
3) Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak
ditentukan bentuknya, seperti membela diri,
menolong orang lain, mengurus jenazah dan jihad.
4) Ibadah yang berupa menahan diri, seperti ihrom,
berpuasa dan i’tikaf (duduk di masjid).
5) Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti
membebaskan hutang atau membebaskan hutang
orang lain.
B. Pembidangan Fikih dalam Aspek Muamalah
1. Pengertian Muamalah
Kata muamalat )‫ (المعا مالت‬yang kata tunggalnya
)‫ (المعاملة‬yang berakar pada kata ‫ عامل‬yang mengandung
arti “saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik.
Secara sederhana muamalah dapat diartikan “hubungan
antara orang dengan orang lain”. Bila dihubungkan
dengan lafal fikih berarti “aturan yang mengatur
hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam
kehidupan sehari-hari”.

43
Secara istilah, muamalah merupakan sistem
kehidupan. Kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang
dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa
orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Lebih
lanjut, pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan
pengertian muamalah dalam arti sempit.
Muamalah dalam arti luas adalah peraturan-
peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam
hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan
manusia. Muamalah dalam arti sempit adalah semua akad
yang membolehkan manusia saling tukar menukar
manfaatnya.
Kata muamalah adalah bentuk masdar dari ‘amala
yan artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling
beramal. Secara istilah, muamalah merupakan sistem
kehidupan. Islam memberikan warna pada setiap dimensi
kehidupan manusia, tak terkecuali pada ekonomi, bisnis,
dan masalah sosial. Sistem Islam ini mencoba
mendialektikan nilai-nilai ekonomi dengan nilai-nilai
kaidah atau etika.
Konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah atau
ekonomi dan bisnis juga sangat concren dengan nilai-nilai
humanisme yang bersifat Islami. Hukum Muamalah (fikih
muamalah) Meliputi: tata cara akad, transaksi, hukum
pidana atau perdata, dan yang lainnya, yang terkait

44
dengan hubungan antaramanusia atau dengan
masyarakat luas. Diantaranya adalah kaidah-kaidah
dasar fikih muamalah yang diungkapkan oleh Jawaini
yaitu sabagai berikut :
1) Hukum asal muamalah adalah diperbolehkan.
2) Konsep fikih muamalah untuk mewujudkan
kemasalahatan.
3) Menetapkan harga yang kompetitif.
4) Meninggalkan intervensi yang terlarang.
5) Menghindari eksploitasi.
6) Memberikan kelenturan dan toleransi.
Fikih Muamalah menurut para ahli dalam arti luas:
a. Menurut Ad-Dimyati, fikih muamalah adalah aktifitas
untuk menghasilkan duniawi menyebabkan
keberhasilan masalah ukhrawi.
b. Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu
ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan
perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan
pinjaman, ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian
perkara lewat pengadilan, bahkan soal distribusi harta
waris.
c. Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu
ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan
perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat,
dan bertendensikan kepentingan material yang saling
menguntungkan satu sama lain.

45
d. H. Lammens, S.J., guru besar bidang bahasa Arab di
Universitas Joseph, Beirut memaknai fikih sama
dengan syari’ah. Fikih, secara bahasa menurut
Lammens adalah wisdom (hukum). Dalam
pemahamannya, fikih adalah rerum divinarum atque
humanarum notitia (pengetahuan dan batasan-batasan
lembaga dan hukum baik dimensi ketuhanan maupun
dimensi manusia).
e. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fikih dengan
pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia yang diuraikan dari dalil-dalil
yang terinci atau kumpulan hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil
yang terinci.
2. Bidang Fikih Muamalah
Adapun yang meliputi Fikih Muamalah dalam arti
luas sebagai berikut
a. Bidang Al-Ahwal Asyakhsiyah
Bidang al-ahwal asyakhsiyah, yaitu hukum keluarga,
yang mengatur hubungan antara suami, istri, anak, dan
keluarganya. Pokok kajiannya meliputi : Fikih munakahat,
fikih mawaris, wasiat, dan wakaf. Tentang wakaf ini ada
kemungkinan masuk bidang ibadah apabila dilihat dari
maksud yang mewakafkan, ada kemungkinan masuk al-
ahwal asyakhsiyah apabila itu wakaf dzuri yaitu wakaf
keluarga. Adapun yang terkait akhwal Syakhsiyah yaitu

46
pertama, bidang munakahat yaitu “aqad yang
menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan seorang
perempuan serta menetapkan hak-hak dan kewajiban
diantara keduanya”. Pembahasan fikih munakahat,
meliputi topik-topik hukum nikah, meminang, aqad
nikah, wali nikah, saksi nikah, mahar (mas kawin).
Wanita-wanita yang haram dinikahi baik haram maupun
nasab, mushaharah (persemendaan), dan radha’ah
(persesusuan) dan hadhanah. Soal-soal yang berkaitan
dengan putusnya pernikahan, dengan iddah, rujuk,
hakamain, ila, dzhihar, li’an, nafakahah, dan iddah, yaitu
berkabung dan masa berkabung.
Di Indonesia, masalah-masalah yang berkaitan
dengan masalah pernikahan ini diatur didalam Undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun
1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun
1952 dan No. 4 tahun 1952, kedua-duanya tentang wali
hakim.
Kedua, mawaris mengandung pengertian tentang
hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan,
menentukan siapa saja yang berhak terhadap warisan,
bagaimana cara pembagiannya dan berapa bagiannya
masing-masing. Fikih mawaris disebut juga ilmu faraidh,
karena berbicara tentang bagian-bagian tertentu yang
menjadi hal ahli waris. Pembahasan fikih mawaris,

47
meliputi masalah-masalah ta’hij yaitu pengurusan mayat,
pembayaran utang dan wasiat, kemudian pembagian
harta. Dibahas pula tentang halangan-halangan mendapat
warisan. Kemudian dibicarakan tentang orang-orang yang
mendapat bagian-bagian tertentu dari harta waris yang
disebut Ashabul Furudh, tentang ashabah, hijab pewarisan
dzawil arkam, hak anak didalam kandungan, masalah
mafqud/orang yang hilang, anak hasil zina/li’an, serta
masalah-masalah khusus, seperti aul, masalah
musyarakah, dan lain sebagainya.
Ketiga, wasiat adalah pesan seseorang terhadap
sebagian hartanya yang diberikan kepada oranglain atau
lembaga tertentu, sedangkan pelaksanaannya
ditangguhkan setelah ia meninggal dunia. Dalam wasiat
dibicarakan tentang orang yang berwasiat serta syarat-
syaratnya, tentang orang-orang yang diberi wasiat dan
bagaimana hukumnya apabila yang diberi wasiat itu
membunuh pemberi wasiat. Dibicarakan pula tentang
harta yang diwasiatkan dan bagaimana apabila yang
diwasiatkan itu berupa manfaat, serta hubungan antara
wasiat dan harta waris. Tentang lafal wasiat yang
disyaratkan dengan kalimat yang dapat dipahamkan
untuk wasiat. Tentang penarikan wasiat dan lain
sebagainya.
Keempat, wakaf adalah penyisihan sebagian harta
benda yang kekal zatnya dan mungkin diambil

48
manfaatnya untuk maksud kebaikan. Dalam kitab-kitab
fikih dikenal dengan adanya wakaf dzuri (keluarga) dan
wakaf khairi yaitu wakaf untuk kepentingan umum.
Dibahas pula tentang orang yang mewakafkan serta
syarat-syaratnya, barang yang diwakafkan dan syarat-
syaratnya, orang yang menerima wakaf, dan syarat-
syaratnya, shigat atau ucapan yang mewakafkan dan
syarat-syaratnya.
Kemudian dibicarakan tentang macam-macam
wakaf dan siapa yang mengatur wakaf dan siapa yang
mengatur barang wakaf, serta kewajiban dan hak-haknya.
Selanjutnya dibicarakan tentang penggunaan harta wakaf
dan lain sebagainya. Di Indonesia khusus tentang wakaf
tanah milik telah diatur dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 28 tahun 1977. Dalam peraturan
pemerintah tersebut ditegaskan tentang fungsi wakaf
tanah, tatacara mewakafkan dan pendaftarannya,
perubahan, penyelesaian, perselisihan, dan pengawasan
perwakafan tanah milik, ketentuan pidana, ketentuan
peralihan dan ketentuan penutup.
b. Bidang fikih muamalah (dalam arti sempit) al-Ahkam
al-Madaniyah
Bidang ini membahas tentang jual beli (bayi),
membeli barang yang belum jadi, dengan disebutkan
sifat-sifatmya dan jenisnya (salam) gadai (ar-Rahn),
kepailitan (taflis), pengampunan (hajru), perdamaian (al-

49
sulh), pemindahan utang (al-hiwalah), jaminan
hutang,(addhaman alkafalah), perorangan dagang
(syarikah), perwakilan (wakalah), titipan (al- wadi’ah),
pinjaman-meminjam, (alijarah), merampas atau merusak
harta orang lain, (al-qhash), hak membeli paksa, (syuf’ah),
memberi modal dengan bagi untung, (qiradh),
penggarapan tanah, (almuzaroh’ah musaqoh), sewa-
menyewa (alji’alah), membuka tanah baru, (ihya al-mawat)
dan barang temuan (luqathah)
c. Bidang Jinayah
Fikih Jinayah membahas pengertian tindakan
pidana (jarimah), macam jarimah, unsurunsur jarimah
yang meliputi aturan pidana, perbuatan pidana, dan
pelaku pidana. Kaidah kaidah dalam penafsiran hukum,
asas legalitas, masa berlakunya aturan pidana dan
lingkungan berlakunya aturan pidana. fikih jinayah juga
membahas hukuman Qishas untuk pembunuhan sengaja,
semi sengaja, dan kesalahan disertai dengan rukun dan
syaratnya.
Fikih jinayah juga mengkaji tentang hudud seperti
had perzinahan, unsurnya, sanksinya, pembuktiannya,
pelaksanaan hukuman dan hapusnya hukuman zina, juga
tentang had menuduh zina (qadhzaf), unsur-unsurnya,
gugatannya, pembuktiannya, sanksinya, dan hapusannya
hukuman qadzaf. Demikian juga tentang had minuman
keras beserta unsurunsurnya, hukumannya dan cara

50
melaksanakan hukumannya, bukti-buktinya dan
halangan-halangannya pelaksanaan hukuman.
Selain itu juga, ikih Jinayah juga membahas jarimah
takzir sebagai sanksi yang dibuat oleh ulil Amri yang
memiliki daya preventif dan represif (al-radd wa al-jazm)
yang diancamkan kepada kejahatan-kejahatan hudud,
qishash, dan diyat yang tidak memenuhi syarat, kejahatan
yang ditentukan di dalam al-Qur’an dan al-hadis yang di
tentukan di dalam al-Qur’an dan atau alHadits yang tidak
disebutkan sanksinya.
d. Bidang Qadha
Fikih Qadha ini membahas tentang proses
penyelesaian perkara di pengadilan. Fikih ini membahas
tentang hakim, putusan yang dijatuhkan, hak yan di
langgar, penggugat dalam kasus perdata atau penguasa
dalam kasus pidana dan tergugat dalam kasus perdata
atau tersangka dalam kasus pidana dan tergugat dalam
kasus perdata atau tersangka dalam kasus pidana. Fikih
ini juga membincang syarat-syarat seorang hakim, tentang
pembuktian, seperti pengakuan, keterangan dan saksi,
sumpah, qorinah, keputusan hakim dengan mengikuti
mazhab tertentu, gugatan terhadap hak yang dilanggar
haruslah jelas. Kedudukan yang sama antara penggugat
dan tergugat, kedua-duanya harus didengar
keterangannya
e. Bidang Siyasah

51
FIkih siyasah membahas tentang hubungan antara
seseorang pemimpin dengan yang di pimpinnya atau
antara lembaga-lembaga kekuasaaan di dalam masyarakat
dengan rakyatnya. Pembahsan fikih siyasah ini luas
sekali, yang meliputi antara ahlul halli wal-aqdi, hak dan
kewajiban rakyat, kekuasaaan peradilan, pengaturan
orang-orang yang pergi haji, kekuasaan yang
berhubungan dengan peraturan ekonomi, harta fai,
ghanimah, jizyah, kharaj, baitul mal, hubungan muslim
dan non muslim dalam akad, hubungan muslim dan non
muslim dalam kasus pidana, hubungan internasional
dalm keadaan perang dan damai, perjanjian internasional,
penyerahan penjahat, perwakilanperwakilan asing serta
tamu-tamu asing.
Secara global, kumpulan materi fikih siyasah dapat
dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, siyasah
dusturiah yang membahas tentang hubungan rakyat
dengan pemerintah. Kedua, Siyasah Maliyah yang
membahas tentang perekonomian dalam masyarakat. Dan
Ketiga, siyasah dauliyah yang membahas tentang
hubungan-hubungan Internasional baik dalam keadaan
perang maupun dalam keadaan damai.

52
LATIHAN / SOAL / PRAKTIK

1. Jelaskan pengertian ibadah !


2. Jelaskan hakikat ibadah !
3. Jelaskan macam-macam ibadah !
4. Jelaskan pengertian muamalah !
5. Tuliskan 3 bidang muamalah !

53
BAB III DALIL DAN SUMBER HUKUM

DESKRIPSI MATA KULIAH


Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar
tentang dalil-dalil dan sumber hukum. Pada bahasan ini
akan diuraikan terkait pengertian dalil, macam-macam
dalil yang dapat ditinjau dari berbagai segi. Selain itu
akan dibahas mengenai pengertian sumber hukum,
sumber hukum yang disepakati maupun yang tidak
disepakati.

PENDAHULUAN
Sumber hukum dalam agama Islam yang paling
utama dan pokok dalam menetapkan hukum dan
memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah
al-Qur’an dan al-Hadis. Sebagai sumber paling utama
dalam Islam. alQur`an merupakan sumber pokok dalam
berbagai hukum Islam. Al-Qur’an sebagai sumber hukum
isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap.

Jika berbicara mengenai ijtihad, maka sisi ra’yu


(logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Oleh karena itu, dalam Ushul fikih
sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah
beberapa landasan penetapan hukum yang

54
berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para
fuqaha diantaranya maslahah mursalah, Urf, Istihsan,
Istishab, dan Qaul Sohabi.

Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada


yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir
Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi‟iyah (sumber yang
dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang
disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas.
Ada pula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad
sendiri yaitu: Urf, Istihsan, Istishab, Qaul Sohabi dan
lainnya. Pada bahasan ini diharapkan bahwa:
1. Mahasiswa mampu memahami dalil-dalil
hukum.
2. Mahasiswa mampu memahami sumber-sumebr
hukum.

A. Dalil-Dalil Hukum
Secara bahasa artinya petunjuk pada sesuatu baik
yang bersifat material maupun yang bersifat nonmaterial.
Sedangkan menurut Istilah, suatu petunjuk yang
dijadikan landasan berfikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara' yang bersifat praktis, baik
yang kedudukannya qath'i ( pasti ) atau Dhani (relatif)
atau dengan kata lain, dalil adalah segala sesuatu yang
menunjukan kepada madlul. Madlul itu adalah hukum

55
syara' yang amaliyah dari dalil. Untuk sampai kepada
madlul memerlukan pemahaman atau tanda penunjuknya
(dalalah ).
Dalil dapat dilihat dari berbagai segi : Dari segi
asalnya, dari segi ruang lingkupnya, dari segi
kekuatannya.
1. Dalil ditinjau dari segi asalnya
Ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:
a. Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nash
langsung, yaitu Alquran dan Sunnah.
b. Dalil aqli, yaitu dalil-dalil yang berasal bukan dari nash
langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal
pikiran, yaitu Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fikih dalil akal itu
bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan
al-Sunnah, tetapi prinsip-Prisnip umumnya terdapat
dalam Alquran dan Sunnah.
2. Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya
Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya ada dua
macam, yaitu:
a. Dalil Kully yaitu dalil yang mencakup banyak satuan
hukum. Dalil Kulli ini adakalaya berupa ayat Alquran,
dan berupa hadits, juga adakalanya berupa kaidah-
kaidah Kully. Contoh berikut dari dalil kulli didalam
al-Qur’an QS al-Baqarah/2:11.

56
ِ ‫ ََل ت ُ ۡف ِسدُواْ فِي ۡٱأل َ ۡر‬. . .
. . .‫ض‬
Terjemahnya:
…"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi"…
Dalil ini disebut dalil kully dari Alquran karena
mencakup berbagai macam kerusakan yang dilarang oleh
Allah Swt.
Adapun contoh dalil kulli didalam hadis.
ِ ‫اِنَّ َما اْالَ ْع َم ُل بِا لنِيَا‬
ٍ ‫ت َواِنَّ َما ِلكُ ِل إِ ْم ِر‬
‫ئ َمان ََوي‬
Artinya:
Segala perbutaan itu semata-mata menurut niatnya
dan bagi setiap manusia semata-mata dengan
niatnya (HR. Jam’ah dari Umar)
Dalil Kully dari hadits ini, menunjukan bahwa
perbuatan apapun hendahnya disertai niat, dan amal
seseorang akan dilihat dari sisi niatnya.
Contoh kulliyah lain:
َ ‫اَ ْل َم‬
ُ ‫شقَّةُ تَ ْج ِل‬
‫ب التَّ ْي ِسي ُْر‬
Artinya: Kesulitan itu membawa kemudahan.
Dalil kully dari kaidah ini, memberi arti bahwa
segala sesuatu yang tadinya sulit akan menjadi mudah.
Dalil kulli dari kaidah kulliyah ini tetap kembali kepada
semangat atau didasari oleh isyarat Alquran dan al-
Sunnah.

57
b. Dalil Juz'i, atau Tafsili yaitu dalil yang menunjukan
kepada satu persoalan dan satu hukum tertentu,
seperti dalam QS al-Baqarah/2:183.
ِ ‫علَ ۡيكُ ُم‬
… ‫ٱلصيَا ُم‬ َ ‫َٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ كُت‬
َ ‫ِب‬
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa…
Ayat ini disebut dalil Juz'i, karena hanya
menunjukan kepada perbuatan puasa saja.
3. Dalil ditinjau dari daya kekuatannya
Dalil ditinjau dari daya kekuatannya ada dua, yaitu
Dalil Qath'i dan dalil Dhanni.
a. Dalil Qath’i
Dalil Qath'i ini terbagi kepada dua macam, yaitu :
1) Dalil Qath'i al-Wurud, yaitu dalil yang
meyakinkan bahwa datangnya dari Allah
(Alquran) atau dari Rasulullah (Hadits
Mutawatir). Alquran seluruhnya Qath'i
wurudnya, dan tidak semua hadits qath'i
wurudnya.
2) Dalil Qath'i Dalalah, yaitu dalil yang kata-
katanya atau ungkapan kata-katanya
menunjukan arti dan maksud tertentu dengan
tegas dan jelas sehingga tidak mungkin

58
dipahamkan lain. Contoh dalam QS an-
Nisa/4:12.
… ‫ف َما ت ََركَ أَ ۡز َٰ َو ُج ُكمۡ ِإن َّلمۡ َيكُن لَّ ُه َّن َولَد‬
ُ ۡ‫۞ولَ ُكمۡ ِنص‬
َ
Terjemahnya:
Dan bagimu ( para suami) separoh dari harta yang
ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak…
Ayat ini tidak bisa diartikan lain, kecuali
menunjukan bahwa suami mendapat setengah dari harta
peninggalan istri jika istrinya tidak mempunyai anak.
b. Dalil Dhanni.
Dalil Dhanni, terbagi kepada dua macam pula yaitu:
1) Dhanni al-Wurud, yaitu dalil yang memberi
kesan yang kuat atau sangkaan yang kuat
bahwa datangnya dari Nabi saw. Tidak ada ayat
Alquran yang dhanni wurud, adapun hadits
ada yang dhanni wurudnya yaitu hadits ahad.
2) Dhanni al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya
atau ungkapan kata-katanya memberi
kemungkinan-kemungkinan arti dan maksud
lebih dari satu. Tidak menunjukan kepada satu
arti dan maksud tertentu. Contoh dalam QS al-
Baqarah/2:228.
‫طلَّ َٰقَتُ يَت ََربَّصۡ نَ بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَ َٰلَثَةَ قُ ُر ٓو ٖء‬
َ ‫َو ۡٱل ُم‬

59
Terjemahnya:
Dan wanita yang ditalak hendaklah menahan
dirinya (beriddah) tiga quru
Kata Quru dalam ayat di atas bisa diartikan haid
dan bisa diartikan suci. Oleh karena itu para ulama sering
berbeda pendapat dalam menentukan hukum dari ayat
tersebut di atas.
Dari pengertian dalil yang diungkapkan di atas,
maka dapat dikatakan bahwa; Alquran dan al-Sunnah
juga disebut sebagai dalil hukum, disamping sebagai
sumber hukum Islam. Oleh karena itu dari sisi ini, apa
yang dikemukakan Abdul Wahab Khalaf bahwa al-Adillah
al-Ahkam identik dengan Mashadir al-Ahkam (sumber
hukum).
B. Sumber-Sumber Hukum Islam
Secara etimologi (bahasa) sumber berarti asal dari
segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Adapun
secara terminologi (istilah) dalam ilmu ushul, sumber
diartikan sebagai rujukan yang pokok atau utama dalam
menetapkan hukum Islam, yaitu berupa al-Qur’an dan Al-
Sunnah, Berikut ini akan diuraikan sumber-sumber
hukum Islam yang disepakati maupun tidak disepakati.

60
1. Sumber Hukum yang Disepakati
a. Al-Quran
Kata Al-Quran berdasarkan segi bahasa merupakan
bentuk masdar dari kata ‫ قرأ‬yang berarti bacaan atau apa
yang tertulis padanya. Secara istilah, al-Quran adalah:
"Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya
secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis
dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup
dengan surat AnNas”. Dari definisi diatas, kita bisa
membahas al-Qu'ran dengan beberapa kata kunci berikut:
Pertama, al-Qur'an merupakan kalam Allah yang
diturunkan kepada Muhammad saw. Dengan demikian,
apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada
Muhammad saw., tidak dinamakan Al-Quran, seperti
Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang
termasuk di antara kalam Allah, tetapi bukan diturunkan
kepada Muhammad saw., sehingga tidak dapat disebut al-
Qur’an.
Kedua, bahasa al-Quran adalah bahasa Arab
Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-
Quran, antara lain: Asy-Syu'ara (26) :192-195; Yusuf(12): 2;
Az-Zumar (39) : 28; AnNahl (16): 103;dan Ibrahim (14) : 4.
Maka para ulama sepakat para ulama bahwa penafsiran
dan terjemahan A-Qur'an tidak dinamakan al-Qur'an serta
tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak sah shalat

61
dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Quran.
Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan
bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhshah
(keringanan hukum).
Ketiga, al-Quran itu dinukilkan kepada beberapa
generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan oleh
orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang,
mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa
perubahan dan penggantian satu kata pun.
Keempat, membaca setiap kata dalam a-lQuran itu
mendapatkan pahala dari Allah swt, baik bacaan itu
berasal dari hafalan sendiri maupun dibaca langsung dari
mushhaf al-Quran.
Kelima, al-Quran dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan surat yang
terdapat dalam al-Quran, disusun sesuai dengan petunjuk
Allah swt melalui malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad saw., tidak boleh diubah dan diganti
letaknya. Oleh karena itu, doa-doa di akhir al-Quran,
tidak termasuk Al-Quran.
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-
Quran itu dapat dibagi dalam dua bagian:
Pertama, nash yang qath'i dalalah-nya. Nash yang
qathi dalalahnya adalah adalah nash yang tegas dan jelas
maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna
yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar

62
nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan di sini,
adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris,
pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman
had zina sebanyak seratus kali dera, dan lain sebagainya.
Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya
jelas dan tegas dan menunjukkan arti dan maksud
tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan
ijtihad.
Kedua, nash yang zhanni dalalah-nya. Nash yang
zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan suatu
makna yang dapat di-takwil atau nash yang mempunyai
makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak
(homonim) ataupun karena susunan kata-katanya dapat
dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya,
iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, selain berbeda pendapat tentang nash
Al- Quran mengenai penetapan yang qath'i dan zhanni
dilalah, juga berbeda pendapat mengenai jumlah ayat yang
termasuk qath ‘i atau zhanni dilalah.
Kebijaksanaan al-Qur’an dalam menetapkan
hukum menggunakan prinsip-prinsip:
1) Memberikan kemudahan dan tidak
menyulitkan
2) Meyedikitkan tuntunan
3) Bertahap dalam menetapkan hukum
4) Sejalan dengan kemaslahatan manusia

63
b. Al-Hadis (Sunnah)
Secara bahasa, sunah berasal dari kata ‫سن ـ يسن ـ سنة‬
yang berarti jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah
cara tersebut baik atau buruk. Secara terminologi,
pengertian sunah adalah “segala yang diriwayatkan dari
Nabi saw. berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum.”
Tentang kehujjahan sunah, para ulama sepakat
bahwa hadis sahih itu merupakan sumber hukum, namun
mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan suatu
hadis. Kebanyakan ulama hadis menyepakati bahwa
dilihat dari segi sanad, hadis itu terbagi dalam mutawatir
dan ahad, sedangkan hadis ahad itu terbagi lagi menjadi
tiga bagian, yaitu masyhur, 'aziz, dan gharib. Namun
menurut Hanafiyah, hadis itu terbagi tiga bagian, yaitu:
mutawatir, mashyur, dan ahad.
Ditinjau dari segi petunjuknya (dalalah), hadis sama
dengan al-Quran, yaitu bisa qath‘iah dilalah dan bisa
zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang
qat'i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama
menyepakati pembagian tersebut, namun dalam
aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat as-Sunah terhadap al-
Quran, para ulama telah sepakat bahwa as-Sunah
berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran

64
dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat mengenai kedudukan As-Sunah terhadap al-
Quran apabila as-Sunah itu tidak sejalan dengan zhahir
ayat Al-Quran.
Sementara itu, kedudukan as-Sunah merupakan
sumber kedua setelah al-Quran karena Sunah merupakan
penjelas dari al-Quran, maka yang dijelaskan
berkedudukan lebih tinggi daripada yang menjelaskan.
Namun demikian, kedudukan Sunah terhadap al-Quran
sebagaimana berikut:
Pertama, Sunah sebagai ta'kid (penguat) al-Quran.
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-
Quran dan Sunah. Tidak heran kalau banyak sekali sunah
yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat,
puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
Kedua, Sunah sebagai penjelas al-Qur’an. Diakui
bahwa sebagian umat Islam tidak mau menerima Sunah,
padahal dari mana mereka mengetahui bahwa shalat
Dhuhur itu empat raka'at, Magrib tiga raka'at, dan
sebagainya kalau bukan dari sunah. Maka jelaslah bahwa
sunah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-
maksud yang terkandung dalam Al-Quran, sehingga
dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-
Quran. Penjelasan as-Sunah kadangkala terhadap hal-hal
yang global dan mentakhsis hal-hal yang ‘am dalam al-
Qur’an.

65
Ketiga, sebagai pembuat syari’at. Sunah tidak
diragukan lagi merupakan pembuat syari'at dari yang
tidak ada dalam Al-Quran, misalnya diwajibkannya zakat
fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini,
para ulama berbeda pendapat. Sunah itu memuat hal-hal
baru yang belum ada dalam Al-Quran. Sunah tidak
memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Quran, tetapi
hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-
Quran
c. Ijma
Secara bahasa, ijma’ berarti bermaksud atau berniat.
Ijma’ juga berarti kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu
kaum dikatakan telah berijma’ bila mereka bersepakat
terhadap sesuatu.
Secara istilah, ijma’ adalah: ”Kesepakatan semua
mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw. dalam suatu masa
setelah beliau wafat terhadap hukum syara'”.
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa
ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di
bawah ini:
Pertama, bahwa yang sepakat adalah para mujtahid.
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid.
Secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama
yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath
hukum dari dalil-dalil syara'. Dalam kitab Jam 'ul Jawami
disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang

66
yang faqih. Selain pendapat di atas, ada juga yang
memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya
mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid
adalah orang Islam yang balig, berakal, mempunyai sifat
terpuji dan mampu mengistinbath hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam atau
mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa
dikatakan ijma’, begitu pula penolakan mereka karena
mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara'.
Oleh karena itu, apabila dalam suatu masa tidak
ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak
akan terjadi ijma’. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang,
itu pun tidak bisa dikatakan ijma’, karena tidak mungkin
seseorang bersepakat dengan dirinya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa suatu kesepakatan bisa dikatakan
ijma’ bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih.
Kedua, yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak,
meskipun sedikit, maka menurut Jumhur, hal itu tidak
bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah
bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang
dimaksud kesepakatan ijma’, termasuk pula kesepakatan
sebagian besar dari mereka. Begitu pula mnurut kaidah

67
fikih, sebagian besar itu telah mencakup hukum
keseluruhan.
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa
kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah,
meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’ karena
kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya
kesepakatan terhadap dalil sahili yang mereka jadikan
landasan penetapan hukum dan jarang terjadi, kelompok
kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok
besar.
Ketiga, para Mujtahid harus bagian dari umat
Muhammad saw. Para ulama berbeda pendapat tentang
arti umat Muhammad saw. Ada yang berpendapat bahwa
yang dimaksud umat Muhammad swa adalah orang-
orang mukallaf dari golongan ahlu al-halli walaqdi, ada juga
yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang
mukalaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas,
arti mukalaf adalah muslim, berakal, dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama
selain umat Muhammad saw. tidak bisa dikatakan ijma’.
Hal itu menunjukan adanya umat para Nabi lain yang
ber-ijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad sae
tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-
ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
Keempat, kesepakatan dilakukan setelah wafatnya
nabi. Dengan demikian, ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi

68
masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik,
dan itu dianggap sebagai syari'at yang berhubungan
dengan hukum syar’i. Maksudnya, kesepakatan mereka
haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari'at,
seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-
lain. Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali
yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut
dikhususkan pada masalah-masalah agama.
d. Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu
dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan
yang sejenisnya.
Secara istilah, qiyas adalah pemindahan hukum
yang terdapat pada ashl kepada furu' atas dasar illat yang
tidak dapat diketahui dengan logika bahasa. Sementara,
aI-Human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan
hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena
kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahui
melalui pemahaman bahasa secara murni.
Dengan demikian, qiyas adalah suatu proses
penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak
disebutkan dalam suatu nash dengan suatu hukum yang
disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam
illat-nya. Qiyas sangat penting di tengah-tengah
problematika manusia yang terus berkembang, bunyi nash

69
sudah selesai pada masa Rasulullah saw. Dengan qiyas,
hukum Islam bisa up to date sesuai dengan perkembangan
zaman.
Sementara itu, tentang kehujjahan ijma’, terjadi
perbedaan pendapat. Sebagian ulama menggunakan
hujjah qiyas, sebagian lagi tidak menggunakannya.
Masing-masing sama-sama menggunakan hujjahnya.
Hanya saja, dalam pandangan penulis, pendapat yang
menerima kehujahan Qiyas lebih unggul dan lebih kuat.
Adapun rukun qiyas, terdiri atas empat unsur
berikut:
1) Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada
nash-nya yang dijadikan tempat mengqiyaskan ini
berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Ashl
itu disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat
mengqiyas-kan), mahmul alaih (tempat
membandingkan), atau musyabbah bih (tempat
menyerupakan).
2) Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-
nya. Far'u itulah yang dikehendaki untuk
disamakan hukumnya dengan ashl. la disebut juga
maqis (yang dianalogikan) dan musyahbah (yang
diserupakan).
3) Hukum Ashl, yaitu hukum syara', yang ditetapkan
oleh suatu nash,

70
4) Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl.
Dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu
hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang,
sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan
hukum ashl.
Kehadiran ‘illat dalam Qiyas adalah suatu hal yang
meniscaya. Oleh karena itu, pembahasan ulama lebih
banyak difokuskan pada ‘illat berikut dengan aneka
ragamnya. Misalnya tentang sifat illat, yang dijelaskan
oleh Abd. Wahhab Khallaf sebagai berikut:
Pertama, ‘illat harus berupa sifat yang dlahir.
Artinya, sifat illat harus jelas dan kasat mata. Bukan suatu
illat jika sifat yang terdapat pada hukum itu tidak berupa
wasfan dlahiran (sifat yang dlahir).
Kedua, ‘illat berupa sifat yang relevan dengan suatu
hukum syar’i. Sebagai contoh, ‘illat memabukkan adalah
relevan dengan keharaman khamr.
Ketiga, ‘illat harus berupa sifat yang terukur karena
illat yang terukur akan menjadikan hukum stabil
(istiqamatul hukmi).
Keempat, ‘illat harus bisa digunakan pada kasus
lain. Jika ada indikasi ‘illat tidak bisa diberlakukan pada
kasus lain, maka itu tidak dapat digunakan sebagai ‘illat.
Keempat sifat ini yang membedakan ‘illat dengan
apa yang disebut Usuli sebagai hikmah. Jika ‘illat adalah
bersifat mundlabit, maka hikmah tidak mundlabit.

71
Contohnya adalah ‘illat safar bagi kebolehan rukhsoh
sholat jama’ dan qashar dalam perjalanan. Safar adalah
sesuatu yang mundlabit, terukur dan berlaku bagi siapa
saja yang melakukan masafatul qashri. Sementara hikmah
yang berlawanan dengan safar adalah daf ’ul masyaqqat
(menghilangkan kesulitan). Jika kita berpatokan pada
hikmah, maka masyaqqat menjadi sesuatu yang measurable
(tidak terukur).
Selanjutnya, untuk mencari ‘illat, para ulama
menggunakan beberapa cara, diantaranya:
Pertama, dengan nash (al-Qur’an dan alHadits).
Meski tidak semua nash ada ‘illatnya, namun sebagian nash
menyebut alasan sebuah hukum. Nash ini menjelaskan
bagi secara sharih atau ‘isyarah bahwa yang demikian ini
menjadi alasan sebuah hukum. Misalnya hukum menjauhi
istri pada waktu haid karena al-adza (kotoran) yang
terdapat dalam darah tersebut.
Kedua, Salah satu cara mengetahui ‘illat suatu
hukum adalah dengan menggunakan ijma’. Ijma’ mujtahid
terkadang menyebut suatu hukum berikut ‘illatnya. Shighr
(sifat kecil) adalah ‘illat bagi pengampuan wali terhadap
harga anak perempuan yang masih kecil.
Ketiga, as-sibru wa at-taqsiim (memilih sifat yang
paling relevan dengan hukum). Dalam konteks ini, maka
dipilih semua sifat yang mungkin melekat pada sebuah
hukum. Misalnya khamr. Dicari semua sifat: warna khamr,

72
bau khamr, rasa khamr, bentuk khamr, sifat memabukkan
khamr, dan sebagainya. Akhirnya dipilih sifat yang
relevan, yaitu iskar (sifat memabukkan).
2. Sumber Hukum yang tidak disepakati
a. Istishan
Secara etimologi, istihsan diartikan menganggap
sesuatu sebagai kebaikan. Secara istilah, istihsan ialah
“Berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jail pada
qiyas khafi atau dari hukum kulli (umum) pada hukum
pengecualian dengan menggunakan dalil yang
menguatkan perpindahan ini”. Dari definisi ini, maka
istihsan itu ada dua macam. Pertama, berpindahnya
seorang mujtahid dari qiyas jail pada qiyas khafi. Wahab
Khallaf mencontohkan ketika seorang mewakafkan tanah
persawahan, dengan menggunakan istihsan, maka
termasuk dalam wakaf ini adalah hak minum dan hak
lewat meski tidak disebutkan dalam akad wakaf.
Demikian ini karena mengqiyaskan wakaf dengan akad
sewa (qiyas khaf), bukan akad jual beli (qiyas jali)
Jika menggunakan qiyas jali, maka wakaf
diqiyaskan pada jual beli karena ada kesamaan dalam hal
mengeluarkan kepemilikan seseorang. Baik wakaf
maupun jual beli samasama mengakibatkan hilangnya
kepemilikan. Namun, dengan menggunakan istihsan,
wakaf lebih diqiyaskan pada akad sewa karena ada
kesamaan dalam hal sama-sama mengambil manfaat.

73
Dengan ini, maka wakaf diqiyaskan pada akad sewa
(ijarah).
Kedua, berpindahnya seorang mujtahid dari hukum
kulli (umum) pada hukum pengecualia. Dalam kasus jual
beli, Syari’ melarang jual beli barang yang tidak ada dan
melakukan akad atas sesuatu yang tidak ada. Namun,
berdasarkan istihsan, jual beli barang yang tidak ada dan
akad atas sesuatu yang tidak ada seperti salam, sewa,
muzara’ah, musaqah dan istishna’ diperbolehkan.
Pertimbangan kebolehan istihsan adalah karena akad-akad
yang telah tersebut ini dibutuhkan oleh manusia (hajat),.
Sementara itu, dalam hal kehujjahan istihsan, para
ulama juga berbeda pendapat. Misalnya Abu Hanifah
menurut Abu Zahrah banyak sekali menggunakan
istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam
beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa
Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam
beberapa kitab fikihnya banyak sekali terdapat
permasalahan yang menyangkut istishan.
Senada dengan Hanafiyah, ulama Malikiyah juga
mengakui istihsan. Sebagai misalnya seorang tokoh
ulama, Asy-Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya
istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu
Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam
Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.

74
Ulama Hanbali dalam beberapa kitab Ushul
disebutkan bahwa golongan Hanbali mengakui adanya
istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi
dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal al-Mahalli dalam
kitab Syarh Al-Jam' Al-Jawami' mengatakan bahwa istihsan
itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain
mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan
Hanbali.
Hanya ulama Syafi'iyah yang secara mashyur tidak
mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul
mematuhi untuk menggunakannya dalam 'istinbat
hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan,
Imam Syafi'i berkata “Barang siapa yang menggunakan
istihsan berarti ia telah membuat syari'at." Beliau juga
berkata, "Segala urusan itu telah diatur oleh Allah swt.,
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan
menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan
istihsan".
b. Istishab
Istishab secara harfiyah adalah mengakui adanya
hubungan perkawinan. Sedangkan secara istilah istishab
adalah "Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.
Kaidah ini menegaskan bahwa suatu keadaan, pada
saat Allah swt. menciptakan segala sesuatu yang ada di
bumi secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat
dalil yang menunjukkan atas perubahan dari

75
kebolehannya, keadaan segala sesuatu itu dihukumi
dengan sifat asalnya
Oleh karena itu, apabila seorang mujtahid ditanya
tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-
tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang
hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara' maka
hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah pangkal
(asal), meskipun tidak terdapat dalil yang menunjukkan
atas kebolehannya.
Tentang kehujjahan istishab, bahwa istishab adalah
akhir dalil syara' yang dijadikan tempat kembali bagi para
mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang
dihadapinya. Para ulama berkata "Sesungguhnya Istishab
adalah akhir tempat beredarnya fatwa". Yaitu mengetahui
sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya
selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah
teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi
kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai
ketetapan untuk mereka.
Singkatnya, asal sesuatu itu adalah ketetapan
sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai
terdapat sesuatu yang mengubahnya. Istishab juga telah
dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at, antara lain
sebagai berikut, "Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada
menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu
ketetapan yang mengubahnya”.

76
Ketika seorang bimbang, apakah dia harus
berwudhu ketika mau melaksanakan sholat dluhur, maka
dia harus kembali pada hukum asalnya, yakni apakah
sebelumnya dia berwudhu dan tidak ada yang
membatalkan, ataukah dia memang tidak punya wudlu.
Contoh lain yaitu seorang TKI yang bekerja di Malaysia
tetap harus dihukumi hidup, meskipun dia tidak ada
kabarnya selama 10 tahun karena hukum asal mengatakan
bahwa dia masih hidup, selama tidak ada info tentang
kematiannya. Sehingga istrinya tidak bisa menikah
dengan orang lain selama hukum keduanya masih dalam
ikatan pernikahan yang sah dan tidak ada yang merusak
pernikahan tersebut.
Istishab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah
dalil pada hukumnya. Dalam konteks inilah, makanya
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan
hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk
menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa istishab
merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut
keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang
berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas
perbedaannya.
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu
yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan
orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat

77
tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang
tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai
orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang
menunjukkan kematiannya.
c. Maslahah al-Mursalah
Secara etomologi, kata al-maslahah adalah seperti
lafazh al-manfa'at, baik artinya ataupun wajan-nya
(timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama
artinya dengan kalimat ash-Shalah.
Sementara, secara istilah, maslahah mursalah adalah:
“Maslahah-maslahah yang bersesuaian dengan tujuan-
tujuan syari’at Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil
yang khusus, baik bersifat legitimasi atau membatalkan
maslahah tersebut.
Menurut Abu Zahra, jika ditopang oleh dalil yang
khusus, maka termasuk kategori qiyas dalam arti umum.
Dan jika terdapat sumber dalil khusus yang membatalkan,
maka maslahah tersebut juga menjadi batal.
Sementara itu, asy-Syatibi, salah seorang ulama
madzhab Maliki mengatakan bahwa alMashlahah al-
Mursalah merupakan setiap prinsip syara' yang tidak
disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan
syara' yang diambil dari dalil-dalil syara'. Maka prinsip
tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat
dijadikan rujukan sepanjang ia telah menjadi prinsip dan
digunakan syara' yang qath ‘i.

78
Dengan demikian, as-Syatibi setidaknya mengambil
kesimpulan bahwa: Pertama, Al-maslahah Almursalah
merupakan suatu maslahah yang tidak ada nash tertentu,
tetapi sesuai dengan tindakan syara'. Kedua, kesesuaian
maslahah dengan syara' tidak diketahui dari satu dalil dan
tidak dari nash yang khusus, melainkan dari beberapa
dalil dan nash secara keseluruhan yang menghasilkan
hukum qathi walaupun secara bagian-bagiannya tidak
menunjukkan qath’i.
Imam Malik adalah imam yang dengan tegas
menggunakan maslahah mursalah. Hanya saja, menurut
Imam Malik, maslahah mursalah dengan definisi di atas ini
harus memiliki beberapa persyaratan berikut: Pertama,
adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang
sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan
tujuantujuan Syari’at. Dengan syarat ini, maslahah mursalah
tidak boleh bertentangan dengan dalil lain dan juga tidak
bertentangan dengan dalil qath'i. Kedua, maslahah harus
masuk akal (rationable) yang memiliki sifat dapat diterima
oleh akal. Ketiga, maslahah digunakan untuk
menghilangkan kesulitan (raf’ul haraj).
Apakah semua ulama sepakat untuk menggunakan
maslahah mursalah dalam istinbat ahkam? Jawabnya, tidak.
Ada ulama yang pro dan ada ulama yang menentangnya.
Ulama yang pro misalnya Imam Malik dan Malikiyah.

79
Sementara, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menolak
menggunakan maslahah sebagai dalil syar’i.

d. Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian dzari‘ah ditinjau dari segi bahasa adalah
"jalan menuju sesuatu". Sebagian ulama mengkhususkan
pengertian dzari‘ah dengan ‚sesuatu yang membawa pada
perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemadaratan‛.Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang
oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim
Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari ‘ah itu tidak
hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga
yang dianjurkan.
Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari'ah itu
dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari'ah (yang
dilarang), dan fath Adz-dzari ‘ah (yang dianjurkan)
Menurut Imam Asy-Syatibi, sad adz-dzari’ah adalah:
"Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula
mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan
(kemafsadatan).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sad
Adz-dzari ‘ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang
yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi
berakhir dengan suatu kerusakan
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban
zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia

80
menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia
terhindar dari kewajiban zakat. Hibah (memberikan
sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam
syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang
mengandung kemaslahatan. Akan tetapi, bila tujuannya
tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari
kewajiban zakat, maka hukumnya dilarang. Hal itu
didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat
adalah wajib, sedangkan hibah adalah sunah.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang
menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu
1) Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu
mengandung kerusakan;
2) Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan;
3) Perbuatan yang dibolehkan syara' mengandung
lebih banyak unsur kemafsadatannya
Abu Zahra membagi sad adz-dzari’ah dari aspek
akibatnya menjadi empat bagian, sebagaimana berikut ini:
Pertama, perbuatan yang secara qath’i
mendatangkan kerusakan. Contohnya menggali sumur
dibelakang pintu rumah dijalan yang gelap dimana
sekiraya ada orang yang masuk ke rumah itu dipastikan
akan terjatuh ke dalam sumur tersebut. Untuk perbuatan
bagian pertama ini perlu dilihat terlebih dahulu hal
berikut. Jika perbuatan itu termasuk yg tidak diizini atau
tidak diperbolehkan, seperti menggali disumur di jalan

81
umum, maka hal itu terlarang berdasarkan ijma ulama
ahli fikih (fuqaha).
Namun, jika hukum asal perbuatan itu ma’dzunun
fih seperti orang menggali saluran air di rumahnya dan
bisa membuat roboh pagar tetangganya, maka ada dua
hal yang dipertimbangkan: izin dan mudharat. Dalam
kontesks ijin, tidak ada masalah karena dalam rumah
sendiri. Tapi jika perbuatan ini menyebabkan mudharat,
maka ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Karena menolak mudharat itu jauh lebih penting dari pada
menarik maslahah.
Kedua, perbuatan yang kemungkinan kecil
mendatangkan mafsadah seperti menanam anggur yang
pada umumnya tidak membahayakan, meskipun pada
akhirnya buah anggur tersebut mungkin akan diproses
orang lain untuk dijadikan arak. Dalam hal ini,
kemanfaatan yang diambil lebih besar sementara
madlaratnya lebih kecil. Perbuatan seperti ini adalah halal
dan diperbolehkan.
Ketiga, perbuatan yang kadar kemungkinan
terjadinya kemaslahatan tergolong dalam kategori
persangkaan yang kuat (ghalabat ad-dhan), tidak sampai
pada kategori keyakinan yang pasti (ilm al-yaqin), dan
tidak pula terhitung nadir (jarang). Dalam konteks ini,
kedudukan ghalabat adz-dhan sama dengan ilmu alyaqin.
Contohnya menjual senjata pada orang kafir di masa

82
perang dan menjual anggur pada pembuat arak. Maka
yang demikian ini diharamkan.
Keempat, perbuatan yang kadar kemungkinan
mafsadahnya di bawah ghalabat adhan. Misalnya akad
salam yang dimungkinkan menjadi jalan untuk ke riba.
Pada saat menyerahkan barang di bawah harga yang
sesungguhnya dengan tujuan memperoleh riba. Dalam
konteks ini, kemungkinan terjadinya mafsadah sangat
besar, meskipun di bawah ghalabat ad-dhan.
Soal kehujahan Dazri’ah, di kalangan ulama ushul
terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan
kehujjahan sadd adz-dzari ‘ah sebagai dalil syara'. Ulama
Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya
sebagai salah satu dalil syara'.
Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Syi'ah dapat
menerima sadd aldzari ‘ah dalam masalah-masalah tertentu
saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain.
Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam
keadaan uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit
dibolehkan meninggalkan shalat Jum'at dan dibolehkan
menggantinya dengan shalat dzuhur. Namun, shalat
dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak
dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum'at.
Dalam memandang dzari‘ah, ada dua sisi yang
dikemukakan oleh para ulama ushul, yaitu:

83
1) Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu.
Contohnya, seorang laki-laki yang menikah
dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh
suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa
kembali pada suaminya yang pertama. Perbuatan
ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan
syara'.
2) Dari segi dampaknya (akibat), misalnya seorang
muslim mencaci maki sesembahan orang, sehingga
orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah.
Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyyah dan
Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah
di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd dzari'ah adalah
dalam masalah niat dan akad. Menurut Ulama Syafi’iyyah
dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah
akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika
sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi
tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan
kepada Allah swt.
Pandangan Ulama Malikiyah dan Hanbali, yang
menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu
perbuatan sesuai dengan niatnya, maka sah. Namun,
apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi
tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya
sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap

84
dianggap sah; tetapi ada perhitungan antara Allah dan
pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang
hanyalah Allah saja. Apabila ada indikator yang
menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan
dengan tujuan syara', maka akadnya sah. Namun apabila
niatnya bertentangan dengan syara', maka perbuatannya
dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan
sad adzdzari'ah sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara'. Hal itu sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah
saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum.
e. Urf
‘Urf secara istilah adalah Sesuatu yang dikenal oleh
manusia dan manusia biasa melakukan hal tersebut, baik
berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan. Contoh
‘urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling
pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa
mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat
ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan
lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan
juga tentang mengitlakkan lafazh al-lahm yang bermakna
daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian, ‘urf itu mencakup sikap saling
pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di

85
antara mereka, baik keumumannya ataupun kekhususan
nya. Maka ‘urf berbeda dengan ijma’ karena Ijma’
merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin
secara khusus.
Adapun macam-macam ‘urf yaitu ‘urf sahih dan ‘urf
fasid (rusak). ‘urf sahih adalah sesuatu yang telah saling
dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara', tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak
membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling
pengertian di antara manusia tentang kontrak borongan,
pembagian maskawin (mahar) yang didahulukan dan
yang diakhirkan. Begitu juga bahwa istri tidak boleh
menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia
menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu
yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada
calon istri, berupa perhiasan, pakaian, atau apa saja,
dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian
dari mahar.
Adapun ‘urf fasid, yaitu sesuatu yang telah saling
dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara', atau
menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.
Seperti adanya saling pengertian di antara manusia
tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara
kelahiran anak juga tentang memakan barang riba dan
kontrak judi.

86
Telah disepakati bahwa ‘urf sahih itu harus
dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan.
Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya
ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qadhi
(hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili.
Sesuatu yang telah saling dikenal manusia meskipun
tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan
dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia
serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara'
harus dipelihara.
Dan syari' pun telah memelihara ‘urf bangsa Arab
yang sahih dalam membentuk hukum, maka
difardukanlah diat (denda) atas perempuan yang berakal,
disyaratkan kafa'ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan,
dan diperhitungkan pula adanya 'ashabah (ahli waris yang
bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan
pembagian harta pusaka.
Di antara para ulama ada yang berkata, "Adat
adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum". Begitu
juga ‘urf menurut syara' mendapat pengakuan hukum.
Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya
pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah
bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam
beberapa hukum dengan dasar atas perbuatan ‘urf
mereka. Sedangkan Imam Syafi'i ketika sudah berada di
Mesir, mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum

87
yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada di
Baghdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tak heran
kalau beliau mempunyai dua madzhab, madzhab qadim
(terdahulu/pertama) dan madzhab jadid (baru).
Begitu pula dalam Fikih Hanafiyah, banyak
hukum-hukum yang berdasarkan atas ‘urf, di antaranya
apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak
terdapat saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang
dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang
disaksikan ‘urf. Contoh lain, apabila suami istri tidak
sepakat atas mahar yang muqaddam (ter-dahulu) atau yang
mu'akhar (terakhir) maka hukurnnya adalah ‘urf. Barang
siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia
makan ikan tawar, maka tidak berarti bahwa ia melanggar
sumpahnya menurut dasar ‘urf.
Semetara itu, urf yang rusak, tidak diharuskan
untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti
menentang dalil syara' atau membatalkan dalil syara'.
Apabila manusia telah saling mengerti akad-akad yang
rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau khathar
(tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak
mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.
Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf itu dapat
berubah menurut perubahan zaman dan perubahan
asalnya. Oleh karena itu, para Fuqaha berkata,

88
"Perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman,
bukan perselisihan hujjah dan bukti"
f. Syar’u Man Qablana (Syarat Sebelum Kita)
Jika al-Quran atau al-Sunah yang sahih
mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada
umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash
tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan
kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat
tersebut ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain,
wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT. dalam
surat Al-Baqarah/2:183.
‫علَى ٱلَّذِينَ ِمن‬ ِ ‫علَ ۡيكُ ُم‬
َ ِ‫ٱلصيَا ُم َك َما كُت‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫َٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُو ْا كُت‬
َ ‫ب‬
َ‫قَ ۡب ِلكُ ۡم لَ َعلَّكُ ۡم تَتَّقُون‬
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan
pada kamu semua berpuasa sebagaimana dwajibkan
kepada orang-orang sebelum kamu."
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah
ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum
tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat
bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita,
seperti syariat Nabi Musa bahwa seseorang yang telah
berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali
dengan membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang

89
menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan
memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.
Jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama
Malikiyah, dan Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum
tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban
mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut
telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum
yang menasakhnya. Alasannya, mereka menganggap
bahwa hal itu termasuk di antara hukum-hukum Tuhan
yang telah disyariatkan melalui para Rasul-Nya dan
diceritakan kepada kita. Maka orang-orang Mukallaf
wajib mengikutinya.
Lebih jauh, Ulama Hanafiyah mengambil dalil
bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum
dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim
atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan,
berdasarkan kemutlakan firman Allah swt.
Sebagian ulama mengatakan bahwa syariat kita itu
me-nasakh atau menghapus syariat terdahulu, kecuali
apabila dalam syariat terdapat sesuatu yang
menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah
pendapat pertama karena syariat kita hanya me-nasakh
syariat terdahulu yang bertentangan dengan syariat kita
saja.

90
g. Madzhab Sahabi
Madzhab sahabi adalah pendapat sahabat
berkaitan dengan hukum sesuatu. Menurut sebagian
ulama, pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah
bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa
dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber
langsung dari Rasulullah swa, seperti ucapan Aisyah;
"Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya
lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat
mengubah bayangan alat tenun.
Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan
lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya
benar-benar dari Rasulullah saw. maka dianggap sebagai
sunah meskipun pada zahimya merupakan ucapan
sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan
sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini
karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat
berdekatan dengan zaman Rasulullah saw.
Mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia
syari'at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari
dalil-dalil yang qath'i. Seperti kesepakatan mereka atas
pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian
seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak
diketahui adanya perselisihan dari Umat Islam.

91
Mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia
syari'at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari
dalil-dalil yang qath'i. Seperti kesepakatan mereka atas
pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian
seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak
diketahui adanya perselisihan dari Umat Islam.
Dengan demikian, Abu Hanifah tidak memandang
bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah
karena dia bisa mengambil pendapat mereka yang dia
kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk
menentang pendapat-pendapat mereka secara
keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas
terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara
nasakh (menghapus/ menghilangkan) terhadap berbagai
pendapat yang terjadi di antara mereka.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua
orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga
terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara
keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka
secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma mereka.
Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa
pendapat orang tertentu di kalangan sahabat tidak
dipandang sebagau hujjah, bahkan beliau
memperkenankan untuk menentang pendapat mereka
secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk
mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa

92
pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara
perseorangan dari orang yang tidak ma'sum (tidak terjaga
dari dosa).
Selain itu, para sahabat juga dibolehkan menentang
sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga
dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah
aneh jika Imam Syafi'i melarang untuk menetapkan
hukum atau memberi fatwa, kecuali dari Kitab dan
Sunnah atau dari pendapat yang disepakati oleh para
ulama dan tidak terdapat perselisihan di antara mereka,
atau menggunakan qiyas pada sebagiannya

LATIHAN / SOAL / PRAKTIK

1. Jelaskan pengertian dalil !


2. Jelaskan macam-macam dalil !
3. Jelaskan pengertian sumber hukum !
4. Jelaskan sumber-sumber hukum yang disepakati !
5. Jelaskan 3 sumber-sumber hukum yang tidak
disepakati !

93
BAB IV KAIDAH-KAIDAH FIKIH

DESKRIPSI MATA KULIAH


Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar
tentang kaidah-kaidah fikih. Pada bahasan ini akan
diuraikan terkait defenisi kaidah fikih, hikmah kaidah
fikih dan beberapa kaidah fikih atau 5 kaidah pokok
dalam fikih.
PENDAHULUAN
Berbagai persoalan kontemporer yang banyak
bermunculan pada era modern, tentu memerlukan
pemikiran kontemporer untuk mencari kebenaran atau
jawaban atas persoalan tersebut.. Dalam hal ini kaidah-
kaidah fikih sebagai suatu disiplin ilmu yang dapat
memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan
kontemporer yang muncul. Dalam hal ini al-Qarafi
mengatakan bahwa kaidah-kaidah fikih berfungsi sebagai
pengikat persoalan-persoalan furu’ yang bervariasi dan
berserakan. Pada bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami kaidah-kaidah fikih.
A. Pengertian Kaidah Fikih
Istilah kaidah-kaidah fikih adalah terjemahan dari
bahasa arab al-qawa‟id al-fikihiyah. Al-qawa‟id merupakan
bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara
kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum.

94
Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang
mengatakan bahwa qa`idah secara kebahasaan berarti
fondasi atau dasar. Kata alqawa`id dalam Al-Qur`an
ditemukan dalam surat alBaqarah ayat 127 dan surat an-
Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau fondasi, yang
menopang suatu bangunan. Sedangkan kata al-fikihiyah
berasal dari kata al-fikih yang berarti paham atau
pemahaman yang mendalam (al-fahm al-„amiq) yang
dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan
atau pembangsaan atau pengkategorian. Dengan
demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fikih adalah
dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan yang
bersifat umum mengenai jenis-jenis atau masalahmasalah
yang masuk dalam kategori fikih.
Sifat kaidah fiqih itu adalah kulli atau umum, yang
dirumuskan dari fiqih-fiqih yang sifatnya partikular
(juz‟iyah). Jadi kaidah fikih adalah generalisasi hukum-
hukum fikih yang partikular. Kendatipun demikian,
menurut kebiasaan, setiap sesuatu yang bersifat kulli,
termasuk kaidah-kaidah fikih ini, ditemukan
pengecualian (istitsna), pengkhususan (takhshish),
penjelasan (tabyin) dan perincian (tafshil). Hal ini
disebabkan, karena ada kemungkinan-kemungkinan
partikular-partikular atau hukum-hukum cabang tertentu
yang tidak dapat dimasukan dalam kaidah tersebut,
berdasarkan spesifikasi atau kekhususan tertentu.

95
Pengecualian tersebut akan terlihat dalam contoh-contoh
kasus dari setiap kaidah sebagaimana yang akan
dikemukakan kemudian.
Perlu dikemukakan, bahwa ada perbedaan antara
kaidah-kaidah fiqih (al-qawa‟id al-fikihiyyah) dan kaidah-
kaidah ushul (al-qawa‟id al-ushuliyyah). Kaidah fikih
adalah generalisasi fikih yang dapat dijadikan rujukan
para ulama dalam menetapkan hukum-hukum fiqih yang
tercakup dalam kaidah tersebut. Sedangkan kaidah-
kaidah ushul adalah aturan-aturan umum yang menjadi
sandaran dalam penetapan hukum fikih yang orientasinya
kepada aspek kebahasaan Al-Qur‟an dan Sunnah, yang
karenanya juga disebut dengan kaidah istinbathiyah dan
kaidah-kaidah lughawiyah. Ringkasnya, kaidah fikih
adalah generalisasi hukum fikih yang telah dirumuskan
dalam bentuk proposisi-proposisi. Sedangkan kaidah
ushul adalah generalisasi bentuk-bentuk dan makna-
makna lafaz dalam Al-Qur‟an dan Sunnah baik yang
terumuskan dalam proposisi-proposisi atau tidak.
B. Manfaat Kaidah Fikih
Kaidah-kaidah fikih sangat penting di dalam ilmu
fikih, diantara lain:
1. Dengan mengetahui kaidah fikih secara langsung
akan mengetahui prinsip-prinsip umum fikih
karena dengan kaidah-kaidahfikih berkaiatan
dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.

96
Dengan kaidah fikih, dapat diketahui benang
merah yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu
dari masalah-masalah fikih.
2. Dengan memerhatikan kaidah fikih akan lebih
mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah
yang dihadapi yaitu dengan memasukkannya atau
menggolongkannya kepada salah satu kaidah
fikih yang masih ada.
3. Dengan kaidah fikih, akan lebih arif dalam
menerapkan materi-materi fikih dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk keadaan, dan adat
yang berlainan.
4. Meskipun kaidah-kaidah fikih merupakan teori
fikih yang diciptakan oleh ulama, tetapi kaidah
fikih sudah mapan asalnya dan dalil-dalil kulli
yang ada dalam alquran dan sunnah. Dilihat dari
sisi ini penggunaan kaidah fikih yang sudah
mapan sebenarnya mengikuti alquran dan sunnah
juga meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Dengan demikian kaidah-kaidah fikih ini bersifat
umum, maka harus bemar-benar diperhatikan
pengecualiannya, kekhususannya dan syarat-syarat
penggunaannya. Sehingga perlu teliti dan kehati-hatian
dalam mengggunakan kaidah-kaidah fikih.

97
C. Beberapa Kaidah Fikih (Kaidah Pokok)
Sesungguhnya secara rinci kaidah-kaidah fikih
sangat banyak, namun terdapat lima kaidah pokok yang
melandasi kaidah lainnya. Berikut diuraikan ke lima
kaidah tersebut.
1. ِ َ‫اَاْالُ ُم ْو ُر َمق‬
‫اص ِدهَا‬
“Segala perkara tergantung niatnya”
Kandungan
Pertama, tujuan niat, Pada dasarnya, tujuan dan
fungsi niat itu adalah untuk membedakan antara
perbuatan ibadat dari perbuatan adat dan untuk
penentuan (at-ta‟yin) spesifikasi atau kekhususan antara
mandi dan berwhudu‟ untuk shalat dengan mandi dan
mencuci anggota badan untuk kebersihan biasa.
Dengan niat, maka akan terbedalah menahan lapar
karena berpuasa dengan menahan lapar untuk
menghindari penyakit atau untuk diet. Kemudian,
memberikan sebagian harta kepada fakir miskin dengan
niat zakat, akan berbeda dari memberikannya kepada
mereka tanpa niat, tindakan ini sebagai sumbangan sosial.
Menyembelih hewan untuk lauk dan untuk kurban hanya
dapat dibedakan dengan niat.
Berwhudu‟ shalat, berpuasa ada yang wajib dan
ada yang sunnat. Untuk menentukannya secara spesifik
hanya dengan niat. Bertayamum yang cara

98
pelaksanaannya sama, tetapi hanya dapat dibedakan
dengan niat untuk menentukan tujuan menghilangkan
hadas kecil atau hadats besar.
Kedua, persoalan fikih yang dapat dirujuk kepada
kaidah di atas adalah hukum Islam bidang ibadah dan
bidang muamalah dalam arti luas. Dalam bidang ibadah
umpamanya, bersuci, berwudhu‟, mandi (baik wajib
maupun sunnat), tayammum, sholat (wajib atau sunnat
rawatib, qashar, ber-ja‟maah atau munfarid, zakat,
shadaqah tathawu‟, puasa, haji, umrah, thawaf, i‟tikaf
dan lain-lain). Demikian juga halnya bidang mu‟amalah
dalam arti luas yakni munakahat, al-„uqud
(transaksitransaksi), jinayat, qadha‟, (peradilan) dan
segala macam amalan taqarrub ila Allah (mendekatkan
diri kepada Allah). Semua itu dapat dikembalikan kepada
kaidah di atas.
Ketiga, segala amal perbuatan manusia, yang
dinilai adalah niat yang melakukannya, dan amal
perbuatan itu mestilah yang masuk dalam kategori
perbuatan yang diperbolehkan. Perbuatan yang haram,
sekalipun dengan niat baik, tetap tidak boleh dilakukan,
kecuali hal-hal yang pada saat tertentu memang
dibenarkan oleh hukum. Umpamanya, pada dasarnya
berbohong adalah dilarang, kecuali berbohong dalam
peperangan (yang dikenal dengan strategi) supaya tidak
dapat dikalahkan oleh musuh, dan berbohong untuk

99
menghindari pertengkaran, umpamanya untuk keutuhan
rumah tangga. Dengan demikian berjudi dengan niat
untuk dibagikan kepada fakir miskin jelas tidak dapat
dibenarkan. Izin wali terhadap anaknya kawin dengan
laki-laki non-muslim dengan niat untuk menariknya
masuk Islam, tetap tidak dibenarkan. Dengan niat baik,
melakukan perbuatan pada dasarnya mubah, harus
dipertimbangkan efeknya.
2. َّ ‫اليَ ِقي ُن الَيُزَ ا ُل بِا ل‬
‫ش ِك‬
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
al-yaqin (yakin) dalam kaidah di atas adalah: Sesuatu yang
pasti, berdasarkan pemikiran mendalam atau berdasarkan
dalil. Sedangkan yang dimaksud dengan asy-syakk (ragu):
Sesuatu yang keadaannya belum pasti (mutaraddid), antara
kemungkinan adanya dan tidak adanya, sulit dipastikan
mana yang lebih kuat dari salah satu kedua kemungkinan
tersebut.
3. ُ ‫شقَّةَ تَجْ ِل‬
‫ب الت َّ ْي ِسي َْر‬ َ ‫ال َم‬
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
Umpamanya seseorang sulit menunaikan shalat
dengan cara berdiri, maka ia dibolehkan duduk, bila
masih sulit dibolehkan berbaring, bila masih sulit maka
hanya dibolehkan dengan mengedipkan mata.

100
Contoh lain, Sesesorang yang sulit menghindari
darah nyamuk atau percikan air yang ada pada lumpur di
jalanan, maka ia diperbolehkan shalat dengan
menggunakan pakaian berdarah tersebut. Contoh lain lagi
misalnya: Seorang laki-laki dibolehkan melihat wajah
perempuan ajnabiyah untuk tujuan melamar,
menjadikannya saksi atau mengajarinya. Apabila tidak
dilakukan maka akan mendatangkan kesulitan-kesulitan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pada prinsipnya rukhsah atau keringanan itu
adalah bertujuan untuk tetap melakukan ibadah kepada
Allah swt. Melalui pelaksanaan perintah-perintahNya.
Oleh karena itu suatu rukhsah tidak dapat diberlakukan
pada hal-hal yang sifatnya maksiat kepada Allah SWT.
Inilah kandungan makna tersebut.
Macam-Macam Hukum Rukhshah (Keringanan)
Dari segi hukumnya, rukhshah atau keringanan itu dapat
dibagi kepada lima macam, yaitu:
1) Rukhshah yang hukumnya wajib dikerjakan.
Umpamanya, orang yang terancam jiwanya
karena lapar dibolehkan untuk makan bangkai;
orang yang sangat khawatir dengan
kesehatannya dibolehkan untuk berbuka puasa
sebelum waktunya.
2) Rukhshah yang hukumnya sunnat untuk
dikerjakan. Umpamanya, meng-qashar shalat

101
bagi orang yang dalam perjalanan; tidak puasa
bagi orang yang mengalami kesulitan dalam
perjalanan; atau bagi orang yang sedang sakit.
3) Rukhshah yang hukumnya mubah untuk
dikerjakan atau untuk ditinggalkan.
Umpamanya, jual-beli dengan sistem salam,
yakni jual-beli dengan pembayaran terlebih
dahulu, sedang barangnya dikirim kemudian
menurut perjanjian yang telah disepakati
bersama.
4) Rukhshah yang hukumnya lebih utama untuk
ditinggalkan. Umpamanya, men-jama‟ kedua
shalat yang boleh di-jama‟, padahal seseorang
itu tidak mengalami kesulitan.
5) Rukhshah yang makruh hukumnya untuk
dikerjakan. Umpamnya, seseorang meng-
qashar shalat padahal jauh perjalannya tidak
sampai jarak 3 marhalah (lebih-kurang 84 Km).
Berdasarkan kaidah ini, maka orang yang sedang
bepergian untuk merampok atau mencuri atau berjudi,
tidak dibenarkan melakukan rukhsah-rukhsah yang telah
ditetapkan syara‟.

102
4. ‫الض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬
“Kemudaratan itu hendaklah dihilangkan”
Kaidah ini sangat berperan dalam pembinaan
hukum Islam, terutama untuk menghindari berbagai
kemudharatan dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, hukum Islam membolehkan
pengembalian barang yang telah dibeli karena cacat,
mengajarkan khiyar dalam jual beli, mengajarkan
perwalian untuk membantu orang yang tidak cakap,
mengajarkan hak syuf‟ah bagi tetangga.
Hukum Islam mengajarkan adanya hukum qishash,
hudud, kaffarat, ganti rugi atau diyat, membolehkan
penguasa memerangi kaum bughat (pemberontak) dan
lain-lain. Hukum Islam juga mengajarkan kebolehan
perceraian ketika sangat diperlukan. Umpamanya terjadi
syiqaq yang tidak dapat lagi untuk didamaikan dan lain-
lain.

LATIHAN / SOAL / PRAKTIK


1. Jelaskan pengertian kaidah fikih !
2. Uraikan pendapat saudara terkait manfaat dan
pentingnya mempelajari kaidah fikih !
3. Jelaskan kaidah pokok dalam fikih !

103
BAB V ASBAB PERBEDAAN
PENDAPAT

DESKRIPSI MATA KULIAH


Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar tentang
asbab perbedaan pendapat fikih. Pada bahasan ini akan
diuraikan terkait konsep Ikhtilaf (perbedaan), sebab-sebab
perbedaan pendapat yang meliputi: perbedaan sumber hukum,
mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, mengenai
perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk
memahami nash dan lain sebagainya.

PENDAHULUAN
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan
masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya
mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan
hukum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in,
hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah
Abbasiyah, akan tetapi harus diakui madzhab telah
memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam
penetapan hukum fikih Islam. Sebab-sebab terjadinya
perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan perbedaan
persepsi dalam ushul fikih dan fikih serta perbedaan
interpretasi atau penafsiran mujtahid. Pada bahasan ini

104
diharapkan mahasiswa mampu memahami sebab-sebab
perbedaan pendapat ulama.
A. Konsep Ikhtilaf
Ikhtilaf berasal dari lafad khalafa, yakhlufu, khilafa,
mukhalafah dan ikhtalafa, yakhtalifu, ikhtilafa yang makna
keduanya, tidak adanya kecocokan. Ikhtilaf menurut
istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau
beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu,
baik berlainan dalam bentuk tidak sama ataupun
bertentangan secara diametral.
Ikhtilaf yang dimaksud dalam pembahasan ini
adalah perbedaan pendapat di antara fukaha dalam
menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat
furu’iyah, bukan pada masalah yang bersifat ushuliyah,
disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan
metode dalam menetapkan suatu hukum.
Perbedaan pendapat dalam hukum Islam
(Ikhtilafatu al-fikihiyah) bagaikan buah yang banyak berasal
dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah,
bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari
berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu
adalah al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah
dalil-dalil naqli dan ‘aqli, sedangkan buahnya adalah
hukum Islam (fikih) meskipun berbeda-beda atau banyak
jumlah.

105
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua:
1. Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati)
Ikhtilaf ini termasuk kategori tafarruq (perpecahan)
dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. ini
mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan
perselisihan yang terjadi antar umat manusia, tanpa
membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab,
unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu
perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga
memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-
bara’ , dan semacamnya, maka berarti itu termasuk
tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir.
2. Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan
perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman).
a. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip) Ikhtilaf
termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan)
dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir.
b. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non
prinsip) perbedaan dan perselisihan yang secara
umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’
(perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir,
selama tidak berubah menjadi perbedaan dan
perselisihan hati.

106
B. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, berbagai
mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilaf)
dalam masalah ushul maupun furu‘ sebagai dampak
adanya berbagai diskusi (munazharat) di kalangan ulama.
Ushul terkait dengan metode penggalian (thariqah al-
istinbath), sedangkan furu‘ terkait dengan hukum-hukum
syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.
Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama
adanya perbedaan dalam ketetapan hukum di kalangan
imam mazhab meliputi:
1. Interpretasi makna kata dan susunan gramatikal;
2. Riwayat hadis, (keberadaannya, kesahihannya,
syaratsyarat penerimaan, dan interpretasi atas teks
hadith yang berbeda);
3. Diakuinya penggunaan prinsip-prinsip tertentu
(ijma’’, tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat);
4. Metode-metode qiyas.
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga
hal penyebab terjadinya ikhtilaf mazhab; (1) ,Berkaitan
dengan sumber hukum; (2). Berkaitan dengan metode
ijtihad (teori tahsin wa taqbih,tema kebahasaan) dan; (3).
Adat Istiadat.
Berikut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan
metode penetapan penggalian hukum (thariqah al-
istinbath) di kalangan Imam mujtahid, sebagai konklusi

107
dari berbagai macam pembagian menurut pendapat tokoh
diatas. Dengan demikian dapat disimpulkan secara garis
besar meliputi; Pertama: perbedaan dalam sumber hukum
(mashdar al-ahkam); Kedua: perbedaan dalam cara
memahami nash dan; Ketiga: perbedaan dalam sebagian
kaidah kebahasaan untuk memahami nash. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
Pertama; Mengenai perbedaan sumber hukum, hal
itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4
(empat) perkara berikut, yaitu: Periwayatan hadis. Hal
yang menyebabkan perbedaan hukum yang berkembang
di kalangan ahli fikih dalam hal periwayatan dan
penerapan hadith meliputi;
1. Keberadaan hadis.
Ada banyak sekali kasus di mana periwayatan
hadis-hadis tertentu tidak sampai kepada sebagian ulama
karena adanya fakta domisili sahabat yang meriwayatkan
hadis berbeda, demikian juga mazhab-mazhab besar
tumbuh dan berkembang di wilayah yang berbeda pula.
Contoh:
a. Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa sholat istisqa’
tidak termasuk sholat jamaah sunnat. Pendapatnya
didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh Anas ibn
Malik di mana Nabi saw. dalam suatu kesempatan,
berdoa secara spontan meminta hujan tanpa dengan
melakukan sholat.

108
b. Sementara, murid-muridnya, Abu Yusuf dan
Muhammad serta imam-imam lain semuanya sepakat
bahwa sholat istisqa adalah dibenarkan. Pendapat
mereka didasarkan pada riwayat Abbad ibn Tamim
dan lainnya, yang menyatakan bahwa Nabi saw. pergi
ke tempat sholat, berdoa meminta hujan dengan
menghadap kiblat, membenahi jubahnya dan
memimpin kaum muslimin mengerjakan dua rakaat
sholat.
1) Periwayatan hadis-hadis daif.
Dalam beberapa kasus di mana sebagian ahli
hukum mendasarkan ketetapannya pada hadis yang
dalam faktanya daif (lemah dan tidak dan dipercaya). Hal
ini disebabkan pendapat bahwa hadis daif digunakan
untuk melakukan qiyas (deduksi analogis). Contoh:
a) Imam Abu Hanifah, rekan-rekannya serta Ahmad ibn
Hanbal berpendapat mengenai batalnya wudhu’
karena muntah dengan mendasarkan ketetapannya
pada hadis yang diriwayatkan Aisyah di mana dia
menyatakan bahwa Rasul Allah saw. pernah berkata:
”Barang siapa yang mengalami muntah, mimisan atau
muntah karena mual-mual, hendaknya membatalkan
sholatnya. Hendaklah ia berwudhu’ dan kemudian
melanjutkan rakaat yang tersisa”.
b) Imam Syafi’i, Imam Malik berpendapat dua alasan
bahwa qay (muntah) tidak membatalkan wudhu’.

109
Pertama, hadis yang disebutkan di atas tidak sahih
dan kedua, qay (muntah) tidak secara khusus
disebutkan dalam sumber hukum Islam lainnya
sebagai suatu tindakan yang membatalkan wudhu
2) Persyaratan penerimaan hadis.
Perbedaan lain di kalangan para ahli fikih di
wilayah sunnah muncul dari beragamnya persyaratan
yang mereka tetapkan untuk menerima hadis. Para
mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya),
misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawatirah dan
sunnah masyhurah dari kalangan ahli fikih; sedangkan
para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya)
berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk
Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid lainnya
berhujjah dengan hadith yang diriwayatkan oleh perawi
yang adil dan tsiqah tanpa melihat mereka dari kalangan
ahli fikih atau bukan dan apakah sesuai amalan ahli
Madinah ataupun bertentangan.
2. Fatwa sahabat dan kedudukannya.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama,
bahwa fatwa (perkataan) sahabat yang tidak hanya
berdasarkan pikiran semata-mata, adalah menjadi hujjah
bagi umat Islam. Hampir semua ahli Ushul Fikih
menyatakan hal yang serupa ketika membahas tentang
fatwa sahabat. Alasannya, bahwa apa yang dikatakan
para sahabat tentu berdasar apa yang didengarnya dari

110
Rasul Allah. Demikian juga perkataan sahabat yang tidak
mendapat reaksi dari sahabat lain, bisa menjadi hujjah
bagi umat Islam.
Adapun yang menjadi perselisihan para ulama
terletak pada perkataan sahabat yang semata-mata
berdasar hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat
tidak berada dalam satu pendirian. Abu Hanifah,
misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa
pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak
memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara
keseluruhan. Ucapan beliau yang terkenal adalah:
“Apabila aku tidak mendapatkan ketenyuan dari
Kitabullah dan sunnah Rasul Allah, maka aku
mengambil pendapat dari sahabat beliau yang
kukehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat
yang tidak kukehendaki. Aku idak mau keluar dari
pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk
kemudian memilih pendapat selain sahabat”.
Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat
sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya
dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi
keseluruhannya.
3. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma’’
Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai
subyek (pelaku) Ijma’ dan hakikat kehujjahannya.
Sebagian memandang Ijma’ Sahabat sajalah yang menjadi

111
hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma’ Ahlul Bait-lah yang
menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma’ Ahlul
Madinah saja yang menjadi hujah.
Mengenai hakikat kehujjahan Ijma’, sebagian
menganggap Ijma’ menjadi hujjah karena merupakan titik
temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap
hakikat kehujjahan Ijma’ bukan karena merupakan titik
temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya
dalil dari as-Sunnah.
4. Ikhtilaf di sekitar Qiyas
Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah
mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum,
sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai
sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ .
Walaupun juga terdapat perbedaan dalam hal-hal yang
patut dijadikan illat hukum sebagai dasar penetapan
hukum dalam qiyas.
Sebagai contoh mengenai perkawinan gadis yang
masih di bawah umur, yang berpankal pada peristiwa Siti
Aisyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim:
“Bahwa Nabi saw. kawin dengan Aisyah berumur
enam tahun, kemudian tinggal bersama ketika
berumur sembilan tahun”.

112
Dari riwayat tersebut kita ketahui, bahwa Abu
Bakar ra. mengawinkan Aisyah ketika masih dibawah
umur tanpa persetujuannya. Hal ini telah disepakati oleh
para fuqaha. Tetapi terjadi perbedaan tentang illat
hukumnya, apakah karena di bawah umur ataukah
karena kegadisannya
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah,
illatnya adalah “kegadisan”. Alasannya, bahwa yang
mendorong syara’ memberikan wewenang kepada ayah,
karena anak gadis tersebut tidak mengetahui sebenarnya
tentang perkawinan. Oleh karenanya urusan nikahnya
diserahkan kepada yang berkepentingan, yaitu ayah atau
kakek. Namun tujuan diberikan kewenangan tersebut
oleh syara’ tidak nyata dan terang batas-batasnya. Karena
itu penetapan hukum tersebut dipertalikan dengan illat
yang tampak dan terang batas-batasnya, yaitu
“kegadisan”.
Menurut Hanafiyah, illatnya adalah “di bawah
umur”. Dimana ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa
dalam usia yang demikian diperkirakan akal pikirannya
belum cukup matang dalam urusan nikah dengan akiba-
akibatnya tidak diketahuinya. Jadi “di bawah umur”
inilah yang menjadi illat, bukan “kegadisan”. Sebab tidak
semua anak gadis tidak mengetahui mengetahui urusan
nikah, seperti halnya gadis dewasa yang telah mengetahui
masalah nikah.

113
Kedua; Mengenai perbedaan dalam cara
memahami nash. Sebagian mujtahidin membatasi makna
nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja.
Mereka disebut Ahl al-Hadis (fukaha Hijaz). Sebagian
mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash
yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang
dapat dipahami akal (ma‘qul). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi
(fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para
fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni
mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak
membolehkan menggantinya dengan harganya.
Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan
adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir
(ighna’ alfaqir), sehingga mereka membolehkan berzakat
fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘=
2,176 kg takaran gandum).
Ketiga; Mengenai perbedaan dalam sebagian
kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini
terpulang pada perbedaan dalam memahami cara
pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslub al-
lughah al-‘arabiyah). Perbedaan yang terjadi di antara
ulama fikih (Baca: Imam Mahzab) berkaitan dengan uslub
allughah al-‘arabiyah mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Kata-kata musytarak
Kata musytarak ialah kata-kata yang mempunyai
makna rangkap (multi makna). Contoh kata musytarak

114
yang menimbulkan perbedaan pendapat ialah kata-kata
quru’.
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'”
Kata quru’ adalah lafal musytarak, yaitu suci dan
haid. Menurut Imam Malik, Syafi’i ulama Madinah dan
Abu Tsaur serta pengikutnya berpendapat bahwa yang
dimaksud quru’ itu adalah suci. Begitu juga Ibn Umar,
Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Jadi iddahnya dihitung
menurut masa suci dan berakhir dengan berakhirnya
masa suci yang ketiga.
Sementara Abu Hanifah, Tsauri, Auzai, Ibn Abi
Laila dan pengikutnya berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan quru’ adalah haid.
b. Pengertian suruhan dan larangan.
Kalangan Fuqaha terdapat perselisihan tentang
penggunaan bentuk kata suruhan/larangan (biasanya
berbentuk fiil amr, fiil mudhari’ yang disertai huruf lam
amr dan kalimat berita yang bermakna suruhan), apakah
menunjukkan wajib (wajib perbuatan yang disuruh) atau
sunat, atau menunujukkan irsyad (sekedar petunjuk).
Contohnya adalah suruhan menulis perjanjian utang-
piutang dan mendatangkan dua saksi pada dalam al-
Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang

115
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...........
dan datangkan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu”
Menurut jumhur fuqaha, perintah-perintah tersebut
hanya bersifat irsyad saja/sunat, sedangkan menurut
fuqaha lainnya diartikan wajib.
c. Kata-kata mutlaq dan muqayyad
Mutlaq adalah lafal khas yang tidak diberi qayyid
(pembatasan) yang berupa lafal yang dapat
mempersempit keluasan artinya. Sedangkan muqayyad
adalah lafal khas yang diberi qayyid yang berupa lafal
yang dapat mempersempit keluasan artinya.Seperti kata
raqabah (hamba sahaya) pada ayat berikut:
“Barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena
sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh ) itu.
Jadi kata-kata hamba sahaya disebutkan dengan
batasan “mukmin”, dan dengan demikian kata mukmin
menjadi kata-kata muqayyad.
“Mereka yang menzhihar isteri mereka, Kemudian
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur”.
Kata-kata hamba sahaya di sini disebut dengan
mutlaq. Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah antara
kedua ayat tersebut tidak perlu dipertalikan. Sementara

116
menurut Ulama Syafi’iyah kata-kata mutlaq harus dibawa
kepada katakata muqayyad.
d. Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah penetapan lawan hukum
yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nash
(manthuqbih) kepada suatu yang tidak disebutkan dalam
nash (maskut’anhu). Mafhum mukhalafah terbagi tujuh;
mafhum washfi, mafhum syarat, mafhum laqab, mafhum hasyr,
mafhum ‘illat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah. Contoh
mafhum mukhalafah syarat adalah:
“Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin
Mengenai istri yang dicerai ba’in (thalaq tiga) dan
hamil, maka sudah disepakati tentang keharusan
mendapat nafkah. Akan tetapi jika ia dicerai ba’in dan
tidak hamil, maka pendapat fuqaha tidak sama. Menurut
jumhur fuqaha, tidak mendapatkan nafkah, sedangkan
ulama Hanafiyah berpendapat tetap mendapat nafkah
e. Kata-kata Haqiqiy dan Majazy
Suatu kata kadang dipakai dalam arti haqiqiy (arti
sebenarnya) dan kadang dipakai dalam arti majazy
(bukan arti sebenarnya). Sebagai aturan pokok sudah
diakui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa
memakai arti hakiki maka arti majazi tidak boleh dipakai.
Sebagai contoh dalam ayat QS al-Maidah/5:33.

117
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan rasulNya dan membuat
kerusakan di muka bumi, yaitu supayamereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya)”.

Sumber perselisihan adalah pada kata “nafa”


(pembuangan). Ada dua pendapat, jumhur ulama
mengharuskan kata nafa diartikan sesuai dengan arti yang
hakiki selama tidak ada yang menunjukkan bahwa kata
itu dipakai untuk arti lain. Sedang menurut Hanafi, kata
“nafa” dengan arti majazi, yaitu masuk penjara, sebab
disini ada petunjuk yang menghendaki tidak dipakai arti
yang hakiki, yaitu kemustahilan membuang dari
permukaan bumi, kecuali dengan cara membunuhnya.
f. Istisna’ (pengecualian) setelah serangkain perkataan
Contoh perbedaan pendapat dalam memahami QS
an-Nuur/25:4-5.
ۡ َ‫ت ث ُ َّم َل ۡم َي ۡأتُو ْا ِبأ َ ۡر َب َع ِة شُ َه َد ٓا َء ف‬
‫ٱج ِلدُوه ُۡم‬ َ ‫َوٱلَّذِينَ َي ۡر ُمونَ ۡٱل ُم ۡح‬
ِ َ‫ص َٰن‬
ٓ
‫ش َٰ َه َدة أَبَدٗ ا َوأ ُ ْو َٰلَئِكَ هُ ُم ۡٱل َٰفَ ِسقُونَ إِ ََّل‬
َ ‫ث َ َٰ َمنِينَ َج ۡل َد ٗة َو ََل ت َۡقبَلُواْ لَ ُه ۡم‬
َٰ
‫غفُور َّر ِحيم‬ َ ‫ٱَّلل‬َ َّ ‫ٱلَّذِينَ ت َابُواْ ِم ۢن بَعۡ ِد ذَلِكَ َوأَصۡ لَ ُحواْ فَإِ َّن‬

Terjemahnya:

118
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik. kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Dalam ayat ini terdapat tiga ketentuan hukum,


yaitu (1). hukuman jilid (dera), (2). penolakan persaksian
dan (3). kefasikan, kemudian ada pengecualian “kecuali
mereka yang bertaubat”. Perbedaan pendapat ulama
sebagai berikut:
1) Jumhur ulama, pengecualian itu dikaitkan
keseluruhan (tiga ketentuan hukum), karena
ketiganya memiliki nilai yang sama.
2) Sebagian ulama, pengecualian itu dipertalikan
dengan dua ketentuan hukum yang terakhir.
3) Ulama Hanafiyah, pengecualian itu hanya
dipertalikan kepada ketentuan hukum yang
terakhir.

119
LATIHAN / SOAL / PRAKTIK

1. Jelaskan pengertian ikhtilaf !


2. Apa saja yang menjadi sebab-sebab perbedaan
pendapat ulama !
3. Jelaskan hikmah adanya ikhtilaf !

120
BAB VI ALIRAN-ALIRAN FIKIH

DESKRIPSI MATA KULIAH


Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar
tentang aliran-aliran fikih. Pada bahasan ini akan
diuraikan aliran fikih yaitu aliran mutakallimin, aliran
fuqoha dan aliran muta’akhirin.
PENDAHULUAN
Para ulama tidak selalu sepakat dalam menetapkan
istilah-istilah untuk suatu pengertian dan dalam
menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam
pembahasannya. Perbedaan-perbedaan dalam hal
penetapan istilah-istilah itu menimbulkan beberapa aliran
dalam ushul fikih. Perbedaan-perbedaan yang terjadi
tersebut diakibatkan oleh berbedanya pendapat dalam
membangun ushul fikih. Ada aliran yang mengkaji ushul
fikih secara teoritis tanpa terpengaruh dengan masalah-
masalah furu’. Banyak imam-imam yang tidak sependapat
dengan hal ini sehingga terjadilah penafsiran yang
berbeda dengan kajian teoritis tersebut.
Demikian juga selanjutnya, banyak pula terjadi
pertentangan-pertentangan akibat ketidaksependapatan
dari masing-masing imam yang akhirnya muncullah
aliran-aliran dalam ushul fikih.

121
Sejarah mencatat bahwa aliran-aliran yang di
maksud terbagi menjadi dua, yaitu Aliran Mutakallimin
dan Aliran Hanafiyah. Namun ada juga membagi kedalam
tiga bagian yaitu, aliran-aliran dalam ushul fikih itu
terbagi menjadi tiga, yaitu Aliran Mutakallimin, Aliran
Fuqoha dan Aliran Muta’akhirin. Pada bahasan ini
diharapkan mahasiswa mampu memahami aliran-aliran
fikih.

A. Aliran Mutakallimin
Aliran Pemikiran ini lebih dikenal dengan thariqah
asy-Syafi'iyyah karena para tokoh thariqah ini banyak yang
berasal dari ulama mazhab asy-Syafi'i, seperti: al-Juwaini
dan al-Ghazali. Kemudian aliran tersebut dinamakan juga
thariqah Mutakallimin, karena pengembang aliran ini juga
banyak berasal dari ulama yang dikenal sebagai tokoh
dalam ilmu kalam, seperti: Abi Hasan al-Bashri dan al-
Qadhi Abdul Jabbar.
al-Juwaini dan al-Ghazali yang disebut di atas juga
dikenal sebagai tokoh dalam ilmu kalam. Lebih jauh lagi,
aliran ini juga dikenal sebagai thariqah al-jumhur dalam
ushul fikih, karena dalam masalah fikih, penganut aliran
ini bukan saja berasal dari ulama Syafi'iyyah, tetapi juga
dari ulama pengikut mazhab Maliki dan Hanbali, yang
pada umumnya adalah ulama aliran Hijaz. Bagaimanapun
juga harus dikatakan, di sana-sini terdapat perbedaan

122
dalam pembahasan ushul fikih di antara mazhab Maliki,
asy-Syafi'i, dan Hanbali. Hanya saja dalam banyak hal
mereka memiliki persamaan-persamaan, sehingga
penamaan aliran ini dengan thariqah aJ-Jumhur masih
dapat dibenarkan
Pada ushul fikih, aliran Syafi'iyyah ditandai dengan
sistematika pembahasannya yang murni bersifat ushul
fikih. Artinya, dalam melakukan pembahasan dan
pengembangan kaidah-kaidah ushul fikih, mereka tidak
terpengaruh pada persoalan-persoalan hukum fikih yang
bersifat parsial (furu) yang banyak berbeda antara satu
mazhab fikih dan mazhab fikih lainnya.
Pembahasan kaidah-kaidah Ushuliyah aliran ini
berpegang pada analisis-analisis kebebasan atau linguistik
dan analisis terhadap illat-illat hukum cara yang mereka
tempuh cenderung memakai cara yang ditempuh oleh
ulama-ulama kalam artinya kaidah-kaidah yang
ditetapkan ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik
dengan nash maupun dengan logika atau mantiq tanpa
terikat dengan hukum-hukum huruf yang telah ada
dalam satu mazhab, sehingga menyebabkan pembahasan
mereka lebih bersifat teoritis.
Oleh karena itu, pembahasan mereka hanya
diarahkan pada pengembangan ilmu ushul fikih saja. Ilmu
ushul fikih yang telah disusun inilah yang mereka jadikan
sebagai alat untuk menghasilkan hukum-hukum fikih

123
yang baru. Selanjutnya, dengan ilmu ini juga digunakan
untuk mengukur kebenaran pendapat-pendapat hukum
fikih yang bersifat parsial (furu) yang telah lebih dahulu
ada.
Penulis-penulis ushul fikih model mutakallimin
tidak hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fikih aliran
mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari
kalangan Hanbali, seperti:
a. Abu Ya’la (pengarang al-Uddah).
b. Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa
Jannah al-Munadzir).
c. Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din,
dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya
(karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-
Musawwadah).
d. Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-
Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Selain itu ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:
Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-
Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal). Bahkan ada pula penulis
dari kalangan Dzahiriyyah, seperti: Ibnu Hazm al-
Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan
karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah
orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan
teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif,

124
termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul
Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-
Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah.
Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang
menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh
Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-
Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali,
dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh
besar Asy’ariyyah penulis ushul fikih. Ada pula penulis
yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi
menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu
Ishaq al-Syirazi.
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fikih aliran
Mutakallimin, antara lain:
a. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fikih
mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai
contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang
menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah
dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath.
Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah
kebahasaan.
b. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori
pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-
Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang
sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih.
Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori

125
pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu
dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah
mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat
dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir
karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul)
karya Ibnu Hajib.
Aliran Ushul Mutakallimin ini tetap mempelajari
masalah fikihiyyah terlebih dahulu sebelum mempelajari
ushul hal ini setidak-tidaknya untuk mengetahui metode
istinbath mereka. Qadli Abu Ya`la menegaskan bahwa,
seseorang tidak boleh meneliti Ushul sebelum meneliti
orang yang belum menguasai furu' akan sulit mengetahui
istinbath Ushul.
Kelemahan dari aliran Ushul Mutakallimin ini
adalah bahwa pemikiran mereka kurang langsung
menyentuh persoalan atau realitas sosial masyarakat
mereka banyak membakukan pengandaian akan tetapi
dari segi pengembangan teori keilmuan maka cara
pandang mereka sangat menunjang perkembangan ilmu
Ushul Fikih itu sendiri. Kajian-kajian teoritik yang mereka
lakukan dapat membantu ulama-ulama untuk melakukan
penggalian penggalian hukum dan rekayasa hukum pada
masa-masa mendatang.

126
B. Aliran Fuqoha
Aliran ini disebut dengan thariqah Hanafiyyah
karena pada umumnya pengembang aliran ini adalah
ulama pengikut mazhab Hanafi, seperti: al-Karakhi, Abi
Bakr ar-Razi, ad-Dabbusi, al-Baidhawi, dan asy-
Syarakhsyi.
Selanjutnya, aliran ini disebut dengan thariqah
alfuqaha, karena dalam mengembangkan pembahasan
ushul fikih, mereka terpengaruh dan diarahkan untuk
mendukung hasil ijtihad para ulama pendahulu mereka
dalam bidang hukum fikih yang bersifat parsial (furu).
Besarnya perhatian para ulama fuqaha ini terhadap
masalah-masalah furu terlihat dalam dua aspek yaitu
teknik perumusan kaidah Ushul dan sistematika
penulisan kitab-kitab Ushul. Dalam merumuskan kaidah-
kaidah Ushul ulama Hanafiyah terlebih dahulu
mengadakan penelitian terhadap masalah furu` dan fatwa-
fatwa ulama mereka melakukan pengkajian terhadap
makna yang terkandung serta mengambil prinsip-prinsip
umum dari masalah tersebut setelah itu baru mereka
berupaya untuk menjadikannya sebagai kaidah-kaidah
Ushul.
Cara pandang atau langkah-langkah seperti ini
sering disebut cara berpikir Induktif, gambaran dari cara
berpikir seperti tersebut di atas terlihat pada cara pandang
ulama-ulama Hanafiyah seperti halnya al-Jashash,

127
alDabusi, al-Haraki dan lainnya. Mereka membicarakan
dan mengembangkan kaidah-kaidah ushul mereka untuk
digunakan dalam fikih madzhab mereka baik untuk
mempertahankan maupun untuk mengembangkannya
kaidah yang mereka susun ini harus tunduk kepada fikih
atau fatwa imam mereka orang pertama yang
merumuskan dan menggunakan cara ini adalah Imam
Abu Hanifah sehingga aliran ini juga dikenal Ushul
Hanafiyah meskipun untuk pertama kali ushul fikihiyyah
belum tertulis namun para ulama pendukung aliran ini
memahami dan menghafal cara ini.
Sistematika pembahasan mereka banyak
menyertakan uraian contoh-contoh dalam bentuk hukum
fikih. Dengan kata lain, ushul fikih yang mereka
kembangkan berperan sebagai alat untuk
mempertahankan pendapat-pendapat fikih yang telah
lebih dahulu ada.
Karya ushul fikih di kalangan Hanafi cukup banyak
dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fikih yang khas
menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
a. al-Fushul fi Ushul Fikih karya Imam Abu Bakar al
Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar
Ahkam al-Quran.
b. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
c. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-
Islam al-Bazdawi.

128
d. Ushul Fikih karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-
Syarakhsi).
Perbedaan yang menonjol antara aliran Ushul
Mutakallimin dengan aliran Ushul Fuqaha, sekurang-
kurangnya dapat dianalisis dari tiga aspek:
1) Aspek al-Taksis (formulasi akidah).
2) Aspek al-Manhaj (metodologi).
3) Aspek al-Tafkir (pemikiran).
Terdapat kecenderungan aliran ushul mutakallimin
berpegang kepada pemahaman ushul bahasa dalil-dalil
naqli dan aqli dalam memformulasikan ushul fikih,
sedangkan aliran Fuqaha ada kecenderungan
memformulasikan kaidahnya dengan menghubungan
dengan persoalan-persoalan. Pada segi metode, ulama
Ushul Mutakallimin menggunakan pola berpikir deduktif
artinya memuat kaidah yang dapat dijadikan sebagai
acuan dalam menetapkan hukum-hukum, sedangkan
aliran Ushul fuqaha mempergunakan pola pikir induktif
artinya melakukan penelitian hukum-hukum furu`
terlebih dahulu baru kemudian melahirkan kaidah.
Ushul Fikih aliran Mutakallimin merupakan aturan-
aturan istinbath yang bersifat menetapkan sedangkan
Ushul Fikih aliran fuqaha tidak bersifat menetapkan,
karena ditentukan oleh perbedaan itu tidak hanya terlihat
pada cara istinbath akan tetapi juga dalam sistematika
pembahasan kitab-kitab Ushul mereka.

129
Aliran Ushul Mutakallimin mengawali
pembahasannya dari segi kebahasaan, semantik, dan
tentang dalil-dalil syara, dengan mengembangkan
gagasan-gagasan kitab ar-Risalah as-Syafi`i aliran ini
menjadi aliran utama dalam Ushul Fikih, sedangkan
aliran Ushul Fuqaha memulai bahasan dengan
mengungkapkan dalil-dalil syara`, persyaratan ijtihad,
dan pertanggungjawaban manusia.
Jadi, berbeda dengan ushul fikih thariqah
asySyafi'iyyah yang menjadikan ilmu ushul fikih sebagai
alat untuk melahirkan hukum-hukum fikih, maka pada
aliran ini, mereka menjadikan hukum-hukum fikih yang
telah ada, terutama hukum-hukum fikih hasil ijtihad
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, sebagai
pedoman untuk menyusun kaidah-kaidah ushul fikih
mereka.
C. Aliran Muta’akhirin
Pada perkembangannya muncul tren untuk
menggabungkan kitab ushul fikih aliran mutakallimin dan
Hanafiyah. Metode penulisan ushul fikih aliran gabungan
adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas
persoalan-persoalan fikih. Persoalan hukum yang dibahas
imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah
yang menjadi sandarannya.

130
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi
dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan
Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-
Bazdawi wa alIhkam yang merupakan gabungan antara
kitab Ushul karya al-Bazdawi dan alIhkam karya al-Amidi.
Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin
Ali al-Hanafi.
Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah
al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-
Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul)
karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab
tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-
Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh alTawdlih
karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-
Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Jadi ajaran Ushul gabungan ini muncul setelah
munculnya dua aliran Ushul sebelumnya berusaha untuk
memadukan kedua corak pemikiran Ushul dari kedua
aliran tersebut dalam menetapkan kaidah-kaidah
Ushulnya mereka mengemukakan alasan-alasan yang
kuat dan juga memperhatikan persesuaiannya dengan
hukum-hukum huruf yang telah ada.
Aliran Ushul ini dalam uraian-uraiannya berupaya
untuk mengemukakan pendapat-pendapat ulama baik
ulama Ushul Mutakallimin maupun Ushul Fuqaha dengan
mengutamakan alasan dan argumentasi masing-masing

131
pendapat, kemudian mereka analisis secara cermat dan
objektif tanpa apriori pada salah satunya kemudian
dipenghujung analisisnya. Mereka kemudian
mengemukakan pendapat mereka sendiri lengkap dengan
argumentasi dan dalil yang mereka pergunakan cara
seperti ini misalnya dilakukan oleh al-Sa`ady, Ibnu Subky,
dan Ibnu Humam.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul
fikih. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-
furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain
dalam ushul fikih. Aliran takhrij alfuru’ ‘ala al-ushul
dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara
jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’
‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’
‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi.
Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang
mengkaji satu pokok bahasan ushul fikih tertentu secara
panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah
sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat
atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-
Syariah.

132
LATIHAN / SOAL / PRAKTIK
1. Uraikan secara ringkas pengertian aliran
mutakallimin, aliran fuqoha dan aliran muta’akhirin !
2. Bagaimana perbedaan antara aliran mutakallimin,
aliran fuqaha dan aliran mutakallimin !
3. Bagaimana persamaan antara aliran mutakallimin,
aliran fuqaha dan aliran mutakallimin !

133
BAB VII PERIODISASI ILMU FIKIH

DESKRIPSI MATA KULIAH


Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar tentang
Periodisasi ilmu fikih. Pada bahasan ini akan diuraikan
perkembangan ilmu fikih pada masa awal kemajuan yang
meliputi: masa Rasulullah saw, masa sahabat, masa Masa
Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan Mujtahid. Selain itu juga akan
bahas mengenai perkembangan ilmu fikih pada masa
awal kemunduran dan kebangkitan yang meliputi faktor-
faktor terjadinya hal tersebut.

PENDAHULUAN

Saat membicarakan periodesasi fikih, maka itu


berarti tidak boleh terlepas dari Hijaz, dimana ia disebut
pusat keagamaan Islam. Dua kota umat Islam yang sangat
terkenal yakni Mekkah dan Madinah. Masa Rasul saw
adalah masa yang tidak ada masalah dalam bidang
keagamaan (khusunya Fikih), artinya semua persolan
yang diajukan oleh umat atau sahabat atau musuhnya
sekalipun dapat terjawab dengan tuntas. Pada
perkembangannya fikih mengalami pasang surut pada
masanya yaitu periode kemajuan, kemunduran dan
kebangkitan kembali ilmu fikih. Pada bahasan ini
diharapkan bahwa:

134
1. Mahasiswa mampu memahami perkembangan
ilmu fikih pada awal kemajuan
2. Mahasiswa mampu memahami perkembangan
ilmu fikih pada awal kemunduran dan kebangkitan

A. Perkembangan Ilmu Fikih pada Masa Awal


Kemajuan
1. Masa Rasulullah saw
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam,
ilmu fikih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak
pada al-Qur’an dan Sunnah, ilmu fikih tidak timbul
dengan sendirinya, akan tetapi benih-benihnya sudah ada
sejak zaman Rasulullah saw dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ilmu fikih,
seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada
terperaktikkan pada zaman Rasulullah dan Sahabat.
Praktik-praktik yang di kemudian hari diteoritisasi
menjadi term-term khas inilah yang menjadi asal-usul atau
genealogi dari ilmu fikih yang sampai ke tangan kita.
Pada masa Rasulullah saw, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami
hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat
langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui
sunnah beliau.

135
Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku
kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya
telah diatur oleh hukum Islam. Aturan-aturan ini, pada
esensinya, bersifat religius. Oleh karena itu, dalam
pembinaan dan pengembangannya, selalu diupayakan
berdasarkan kepada al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang
terakhir, yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar
dicontohkan dan dioperasionalkan oleh sunnah
Rasulullah saw.
Bagi umat Islam, syari’ah adalah “tugas umat
manusia yang menyeluruh”, meliputi moral dan etika
pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan
ritual yang rinci. Syariah mencakup semua hukum publik
dan perseorangan, kesehatan bahkan kesopanan dan
akhlak. Aspek hukum mempunyai kedudukan tersendiri
yang diatur oleh Islam karena ia menyentuh langsung
kenyataan yang dihadapi umat Islam.
Sumber hukum Islam pada zaman Rasulullah saw
hanya dua, yaitu Al-Quran dan As-sunnah. Apabila suatu
kasus terjadi, Nabi menunggu turunnya wahyu yang
menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak
turun, maka Rauslullah saw menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal
dengan hadis atau sunnah.
Hasil ijtihad Rasulullah ini langsung menjadi
sunnah bagi Umat Islam. Salah satu contohnya yaitu

136
Hadis tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman
sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk
melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam
pengutusan ini Nabi bersabda
Artinya: “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu
keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang
diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil
suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-
Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab
Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan
berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah.
Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam
sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya
tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada
Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu
yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.
Hadis ini secara tersurat tidak menunjukkan
adanya upaya Nabi untuk mengembangkan Ilmu Fikih,
tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan
dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum
yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan
pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah
memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat.

137
Pada masa Rasulullah saw, para sahabat sering kali
dilatih untuk berijtihad dalam beerbagai kasus seperti
kasus shalat ashar di desa Bani Quraizah, Nabi menyuruh
para sahabat agar shalat ashar di desa Bani Quraizah,
namun ternyata sebelum mereka sampai di desa tersebut,
waktu ashar hampir habis. Maka sebagian sahabat
melakukan shalat ashar di perjalalan meskipun belum
sampai di Desa Bani Quraizhah, karena jika shalat ashar
di tempat tujuan, waktunya diprediksi sudah magrib.
Sebagian sahabat tidak mau shalat di perjalanan, karena
Nabi memerintahkan tadinya shalat ashar di Desa Bani
Quraizhah. Mereka ashar di Desa tujuan. Kepada
kelompok yang shalat, Nabi mengatakan “Anda telah kreatif
memahami Pesanku dengan melaksanakan shalat di perjalanan”
kelompok yang shalat di perjalanan ini memahani nash
Secara rasional dan kontekstual merupakan bibit Ahli
Ra’yu.
Kemudian kepada kelompok yang tidak shalat di
jalan Tapi di desa Bani Quraizah Nabi mengatakan “Anda
telah mengamalkan sabdaku” kelompok yang shalat di Desa
Tujuan, Kelompok ini mehami nash secara literal (tekstual)
merupakan bibit Ahli Hadis.
Kemudian dalam kasus lain, yakni tentang
tawanan perang. Pada suatu saat Islam menang dalam
sebuah peperangan dan memiliki tawanan perang yang
pandai membaca. Pada saat itu ada beberapa pendapat

138
para sahabat, yaitu ada kelompok yang menyatakan
sebaiknya dibunuh saja karena mereka tawanan perang
dan golongan kafir. Akan tetapi ada juga kelompok yang
menyatakan bahwa sebaiknya jangan dibunuh, karena
para tawanan perang tersebut pandai membaca
(berpendidikan) sebaiknya mereka dihukum untuk
mengajari umat Islam membaca. Pada saat itu banyak
sekali umat Islam yang tidak pandai membaca.
Akan tetapi ada keraguan yang besar dari
kelompok yang menyatakan sebaiknya dibunuh saja
bahwa kelak para tawanan tersebut akan menjadi duri
dalam daging bagi umat Islam. Setelah itu Rasulullah saw.
mendapatkan ayat yang menyatakan bahwa para tawanan
yang pandai membaca tersebut jangan dibunuh, tapi
dihukum untuk mengajar umat Islam membaca, sampai
seluruh umat Islam di daerah itu pandai membaca,
setelahnya tawanan dapat dibebaskan karena jumlah
umat Islam yang tidak pandai membaca sangat banyak,
maka butuh waktu yang sangat lama bagi para tawanan
untuk bebas. Malah akhirnya para tawanan itu menjadi
umat muslim.
Contoh lain yakni pada kasus tayamum Ibnu
Mas’ud dan Umar bin Khathab. Pada suatu hari Umar
dan Ibnu Mas’ud mau melaksanakan shalat, tapi tidak ada
air. Maka mereka bertayammum, kemudian mereka
melaksanakan shalat. Beberapa saat selesai shalat, tiba-

139
tiba mereka menemukan air. Seorang kembali berwudhu’
dan melaksakan shalat, Sementara seorang lagi tidak
mengulangi lagi wudhu’ dan shalatnya. Apa yang
dibenarkan Rasulullah ? Rasulullah tidak menyalahkan
salah satu di antara mereka. Kepada Ibnu Mas’ud ia
berkata,”Laka Ajrani” (Bagimu dua pahala), sedangkan kepada
Umar, Rasulullah berkata, “Ajzaatka Shalatuka”, (shalatmu
yang sekali itu telah memadai (cukup), tak perlu diulang lagi.
Berdasarkan contoh-contoh kasus tersebut, dapat
diketahui bahwa Ijtihad tersebut ada yang ditaqrir
(diakui) Rasulullah, ada yang turun ayat tentangnya dan
ada yang dibenarkan Rasulullah. Dorongan untuk
melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang
menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang
yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-
sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil
usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan
ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah
memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan
ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana
dapat kita temukan dalam hadits-hadits Nabi yang
artinya:
Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi
dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah
menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan

140
karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji
untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana
pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah
engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya,
Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk
dibayar”
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang
dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang
kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan
penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang
mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan
penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap
pembayaran utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi
sebagai pemegang otoritas tunggal dalam permasalahan-
permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati
disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati
yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan
hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang
berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang
peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh
oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam
bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah
penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis besar,
sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya

141
diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang
dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih banyak.
Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut
mendukung terhadap pertumbuhan ilmu fikih
selanjutnya.
Beberapa kasus, Rasulullah saw juga menggunakan
qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya
ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang
batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium
istrinya. Rasulullah bersabda:
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa,
apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-
apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka
teruskan puasamu.” (HR. al-Bukhari, muslim, dan
Abu Dawud).
Hadis ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa
Rasulullah jelas telah menggunakan qiyas dalam
menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak
batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena
mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa
karena berkumur-kumur. Rasulullah saw, dalam
memecahkan masalah yang muncul, terkadang juga
meminta pendapat para sahabat melalui forum
musyawarah. Sebagai contoh, beliau meminta
pertimbangan kepada Abu Bakar dan Umar dalam
menangani tawanan perang Badar. Pada masa itu, segala

142
masalah yang timbul di kalangan umat dapat diselesaikan
dihadapan beliau yang memiliki otoritas keagamaan.
Akan tetapi yang menjadi masalah barangkali setelah
sepeninggal Rasul, yakni perihal siapa yang mengganti
hak otoritatif tersebut. Pada satu sisi, sumber pemecahan
masalah keagamaan telah terputus, sedang pada sisi lain,
kejadian-kejadian yang timbul dalam masyarakat tentu
berlangsung tanpa mengenal batas. Untuk mengantisipasi
hal tersebut, maka dibutuhkan pranata ijtihad secara
kontinue demi pemenuhan kebutuhan masyarakat Islam.
2. Masa Sahabat (Khulafaur Rasyidin)
Semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-
persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya.
Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan
hukumnya.
Pada masa sahabat yang lebih dekat dengan tradisi
kehidupan Rasulullah saw, pemecahan masalah hukum
lebih banyak bersandar pada al-Qur’an dan tradisi yang
dibawa oleh Rasulullah saw, dan mereka saling bertukar
informasi tentang tradisi Rasul tersebut.
Apabila mereka tidak menemukannya dalam dua
sumber tersebut, mereka dengan segala upaya dan
kesungguhan berijtihad mencari pemecahan masalah
dengan selalu mengambil inspirasi dan menangkap
pesan-pesan universal alQur’an dan sunnah. Dalam
berijtihad seringkali mereka menghasilkan pemecahan

143
yang berbeda. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau
Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim yang terkenal
mengatakan: “Tidaklah sahabat itu mampu berfatwa, dan tidak
semua dari mereka itu dapat diambil dan dijadikan pedornan
dalam agama”. Lain halnya di kalangan Syi’ah yang
berkeyakinan bahwa para imam mereka memiliki hak
otoritatif sebagaimana juga yang dimiliki oleh Rasul
dalam menginter pretasikan wahyu Ilahi. Apapun yang
diputuskan olehnya melalui interpretasi dan elaborasi
adalah mengikat kaum muslimin.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu
Umar bin Khattab tidak menjatuhkan hukuman potong
tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan
(darurat atau terpaksa). Alasan rasional Umar atas kasus
ini adalah karena pada masa itu suasana ekonomi sangat
gawat (paceklik), yang disebut dengan amul maja’ah,
yaitu tahun kelaparan.
Contoh lain yaitu Kasus tanah Sawad di Iraq. Umar
tidak memberikan harta ghanimah (hasil perang) kepada
prajurit Islam, walaupun menurut Al-quran (Al-Anfal
ayat 41), bahwa 80% hasil tersebut harus diserahkan
kepada prajurit Islam yang telah berhasil membebaskan
daerah tersebut. Hal ini dilakukan karena Umar punya
alasan yang rasional, yaitu kika penduduk asli dibiarkan
mengusainya, maka mereka akan bayar kharaj yang
menjadi pemasukan (income) untuk biaya menjaga

144
perbatasan daulah Islam. Jika ghanimah diberikan, Umar
khawatir para sahabat akan menjadi tuan-tuan Tanah.
Kemudian dalam Kasus tidak memberi zakat pada
Muallaf. Umar tidak memberikan zakat kepada muallaf,
padahal menurut Al-Qur’an (surat al-Ma’idah ayat 60),
mereka berhak mendapat. Hal ini dilakukan Umar dengan
alasannya yang rasional, yaitu: dulu di masa Rasulullah
dan Abu Bakar, Islam belum kuat dan belum banyak
jumlahnya, maka diperlukan upaya pelunakan hati orang
yang baru masuk Islam agar tertarik kepada Islam dan
makin banyak yang masuk Islam, tetapi di masa Umar,
Islam telah kuat, tidak begitu dibutuhkan lagi pelunakan
hati melalui materi (dana zakat).
Pada masa Ali bin Abi Thalib pun ada beberapa
contoh Ijtihad, misalnya Ali berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri
serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak
mendapatkan mut'ah (pemberian). Ali menyamakan
kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah
dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum
ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak
mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah swt. Yang terjemahnya: :"Tidak ada sesuatupun
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan

145
mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut.
Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orangorang yang
berbuat kebajikan." (AlBaqarah : 236).
Apabila diperhatikan secara cermat, para sahabat
mengistimbath hukum, mula-mula dengan memperhatikan
teks-teks Al-Quran kemudian Sunnah. Bila hukumnya
tidak ditemukan di dalam keduanya, mereka melakukan
ijtihad dan mengumpulkan para sahabat untuk
bermusyawarah dan hasil kesepakatan mereka dikenal
dengan ijma’ sahabat. Sahabat telah menggunakan metode
qiyas dan istislah dalam berijtihad. Mereka juga telah
menggunakan ijma’sebagai sumber hukum
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh
Rasulullah saw, demikian pula oleh para sahabatnya baik
di kala Rasulullah masih hidup atau setelah beliau wafat,
tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun
tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah
(aturan-aturan) nya, sebagaimana yang dikenal dalam
Ilmu Fikih pada masa Rasulullah, demikian pula pada
masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah
dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah
dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad,
hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai

146
suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Fikih karena
pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya.
Hal tersebut dikarenakan Rasulullah saw
mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum
baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau
tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam
berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun
(asbabun nuzul) ayata-yat Al-Qur'an, sebab-sebab datang
(asbabul wurud) Al- Hadis, mempunyai ketajaman dalam
memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara'
dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena
mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan
mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang
juga bahasa AlQur'an dan As-Sunnah. Dengan
pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu
berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
3. Masa Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan Mujtahid
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam
mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah
kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke
daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan
bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak
diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu
yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya

147
agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah
tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan
hukum yang timbu yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu
para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad
mencari ketetapan hukumnya.
Banyaknya persoalan-persoalan hukum yang
timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan
dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat
yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai
kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi
perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai
hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya.
Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara
ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga
antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah.
Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para
ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-
dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah
kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan
bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari

148
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu
membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa
mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-
kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan
maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak
sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-
kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah
lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash
syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab
sewaktu turun atau datangnya nashnash tersebut.
Setelah meluasnya futuhat daulah islamiyah (abad ke-
2 dan ke-3 Hijriyah), umat Islam Arab banyak berinteraksi
dan berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain (selain
bangsa arab yang berbeda bahasa dan berbeda pula latar
belakang peradabannya, perbauran tersebut
menyebabkan lemahnya kemampuan berbahasa Arab
Fusoha di kalangan sebagian umat, terutama di Irak. Di
sisi lain, kebutuhan akan ijtihad sangatlah mendesak
karena semakin banyaknya masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi dan sangat diperlukan kejelasan
hukum fikihnya.
Pada periode inilah, munculnya dua madrasah
besar yang mencerminkan metode mereka dalam
berijtihad, yakni Madrasah ahli ra’yi di Irak dengan

149
pusatnya di Bashrah dan Kufah dan Madarasah Ahli
Hadis di Hijaz yang berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan mendasar dari kedua madrasah tersebut
terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau
penganalogian dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih
banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad,
hal ini disebabkan oleh:
1) Sedikitnya jumlah hadis yang sampai ke ulama Irak
dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan,
hal ini dikarenakan banyaknya hadits-hadits palsu
yang beredar di kalangan mereka, sehingga tidak
mudah bagi mereka untuk menerima riwayat
seseorang kecuali melalui proses seleksi yang
sangat ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka
hadapi semakin kompleks serta kebutuhan akan
ijtihad kian mendesak, maka mau tidak mau,
mereka hanya mampu mengandalkan qiyas
(penganalogian) sebagai sarana dalam menetapkan
hokum-hukum yang ada. Masalah-masalah baru
ini muncul akibat peradaban dan sosial masyarakat
Irak yang begitu beragam.
2) Pengaruh atas reaksi guru mereka, Abdullah bin
Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam
berijtihad ketika menghadapi berbagai persoalan.

150
Sedangkan ciri madrasah ahli hadis, mereka lebih
berhati-hati dalam berfatwa menggunakan qiyas, karena
setting dan latar sosial yang mereka hadapi berbeda pula,
situasi tersebut didukung oleh faktorf-aktor, yaitu
banyaknya hadis yang berada di tangan mereka dan
sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad,
pengaruh pendidikan yang mereka peroleh dari guru
mereka.
Pada masa tabi’in inilah cara mengistinbath hukum
semakin berkembang. Di antara mereka ada yang
menempuh metode maslahah atau metode qiyas di
samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya.
Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-
perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis
dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama
ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada
masa sesudah tabi’in atau pada masa Al-Aimmat Al-
Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath
yang digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya.
Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan
istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan
mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad.
Jadi dapat dipahami bahwa jika perbedaan dari
kedua madrasah diatas melahirkan perdebatan-
perdebatan yang cukup sengit. Atas dasar inilah, para

151
ulama terinspirasi dan dipandang perlu untuk membuat
kaidah-kaidah (dowabith) tertulis yang dibukukan sebagai
undang-undang bersama dalam menyatukan dua
madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai
perhatian terhadap masalah ini adalah Al-Imam Abdur
Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau
meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-
204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-
prinsip metode berfikir yang dapat digunakan sebagai
pedoman untuk berijtihad. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah
karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul
fikih.
Hal ini tidak berarti, bahwa sebelum imam Syafi’i,
prinsip prinsip ilmu fikih tidak ada sama sekali, tetapi ia
sudah ada sejak masa ulama-ulama Hanafiyah, akan
tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun secara sistematis
menjadi sebuah disiplin ilmu atau khazanah ilmu
tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fikih
para ‘ulama. Maka dari itu Ar- Risalah, kitab ushul fikih
yang ditulis oleh imam Syafi’i ini pantas menjadi rujukan
utama dan model teoritis bagi para ulama sesudahnya
untuk mengembangkan dan menyempurnakan disiplin
ilmu fikih.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan
kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II
Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Fikih. Dikatakan

152
oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali
menyusun kitab Ilmu Ushul Fikih ialah Imam Abu Yusuf -
murid Imam Abu Hanifah, akan tetapi kitab tersebut tidak
sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa
ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah
Ilmu Fikih dengan disertai alasan-alasannya adalah
Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam
sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab
tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fikih yang
pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di
kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu
Fikih.
Berdasarkan yang dikemukakan diatas
menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw,
sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam
mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau
metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai
suatu disiplin ilmu tersendiri.

153
B. Perkembangan Ilmu Fikih Pada Masa Awal
Kemunduran Dan Kebangkitan
1. Periode Kemunduran
Periode kemunduran ini memakan waktu yang
cukup panjang, yaitu sekitar Sembilan setengah abad.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat
Hijriyah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas
Hijriyah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani
memakai kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-
Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang tersebut materi-
materi fikih disusun dengan sistematis dalam satu Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Pada periode tersebut kota Baghdad jatuh ke
tangan tentara Mongol. Pada periode ini, pemerintah Bani
Abbasiyah akibat berbagai konflik dan beberapa faktor
sosiologis dalam keadaan lemah. Banyak daerah yang
melepaskan diri dari kekuasaanya dan mendirikan
kerajaan-kerajaan sendiri-sendiri, seperti kerajaan Bani
Samani di Turkistan (874M-999M), Bani Ikhsydi di Mesir
(935M1055M) dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang
antara satu dengan lain saling berebut pengaruh dan
banyak terlibat dalam situasi konflik.
Pada umumnya ulama yang berada di masa itu
sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat
mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para

154
pendahulu mereka pada periode kejayaan seperti disebut
di atas.
Situasi kenegaraan yang berada dalam konflik,
tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat
berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji
ajaran Islam langsung dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan
Hadis. Mereka merasa puas hanya dengan mengikuti
pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan
diri kepada pendapat tersebut kedalam madzhab-
madzhab fikihiyah. Sikap inilah kemudian yang
mengantarkan Dunia Islam kedalam taklid, kaum
Muslimin terperangkap kedalm pikiran yang jumud dan
statis.
Adapun faktor yang melatarbelakangi terjadinya
kemunduran sebagai berikut:
a. Timbulnya Taklid
Pada era kondisi ini perjalanan fikih Islam sangat
buruk sekali. Padahal periode ini adalah fase terpanjang
dalam sejarah fikih Islam, mengalami kemunduran dan
jumud. Jika di zaman generasi pertama bisa melihat para
fuqaha’ yang sibuk menggali fikih, mencari illat, dan
berijtihad maka pada periode ini para ulamanya sudah
beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka
memiliki kemampuan untuk menempuh jalan
pendahulunya. Mereka tidak hanya melakukan taqlid
mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun

155
sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha’ juga sangat
minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka
temukan dalam kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji,
jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan
singkat. Kegiatan Ijtihad pada masa ini terbatas pada
usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian kitab
fikih dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak
muncul lagi pendapat atau pemikiran baru.
b. Kemunduran di bidang politik
Kemunduran di bidang politik ditandai dengan
terpecahnya dunia Islam menjadi wilayah kecil yang
masing-masing pemimpin hanya sibuk saling merebut
kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesame
muslim yang mengakibatkan ketidakamanan dan
ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi semacam
ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian
terhadap ilmu dan pemikiran tentang fikih.
c. Dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran yang
kritis serta dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak
benar
Hal ini menyebabkan orang tidak mau meneliti
kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa
cukup mengikuti madzab tersebut bahkan
mempertahankannya dan membelanya tanpa
mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan Al-
Sunnah. Hal ini diperkuat lagi oleh penerapan satu

156
mazhab tertentu bagi suatu wilayah kekuasaan tertentu.
Misalnya Pemerintahan Turki termasuk para Hakim-nya
menganut dan membantu mazhab Hanafi. Kekuasaan di
sebelah barat mengokohkan madzhab Maliki dan di
sebelah timur madzhab al-Syafi’i.
d. Banyaknya kitab-kitab fikih
Para ulama dengan mudah bisa menemukan
jawaban-jawaban terhadap masalahmasalah yang
dihadapi. Hal ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi
apabila membacanya tanpa kritis dan tanpa
membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab
lain serta tanpa memerhatikan kembali Al-Qur’an dan
Sunnah, membawa akibat kehilangan kepercayaan
terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak
menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa
pendapat sendiri yang mutlak benar dalam masalah-
masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada
sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya yang
di khawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fikih adalah
disibukkanya ulama dengan kegiatan yang berkutat pada
kitab fikih melalui upaya pembuatan ringkasan (al-
mukhtashar), penjelasan (syarh), dan penjelasan atas
penjelasan (hasyisah).
Kitab Muqiddimah, Ibnu Khaldun menyatakan
bahwa melakukan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih
adalah kegiatan yang menyulitkan karena yang belajar

157
diwajibkan menguasai, menghafal dan menjaga seluruh
(isi) dan cara-cara yang ditempuhnya.
e. Berkembangnya Tasawuf
Dengan berkembagnya tasawuf yang begitu pesat,
kerja ulama fikih menjadi sangat terbatas. Bersamaan
dengan itu, muncullah problema kesenjangan dalam fikih,
yaitu bagaimana fikih yang difahami secara tekstual dan
kaku itu menjawab berbagai peersoalan yang terus
berkembang.
Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan
adanya jarak (kesenjangan) antara fikih secara teoretis
dengan kenyataan sosial secara praktis. Pertama,
kakaguman yang berlebihan dari para ulama terhadap
para imam dan guru membuat mereka membatasi kerja
hanya untuk membela dan menyebarkan pemikiran-
pemikiran fikih para imam dengan cara kodifikasi atau
pengajaran. Pola kerja seperti ini otomatis akan
memunculkan fanatisme yang tinggi terhadap hasil
pemikiran para imam.
Kedua, munculnya gerakan kodifikasi fikih para
imam. Para pengikut imam yang setia menghimpun dan
menuliskan pemikiran-pemikiran fikih yang belum ditulis
sebelumnya. Ketiga, penggunaan madzhab tertentu dalam
pengadilan. Pada zaman sahabat, tabiin, dan para imam
madzhab, pelaksanaan pengadilan tidak menggunakan
ketentuan madzhab tertentu.

158
Saat itu semua orang yang memenuhi syarat-
syarat ijtihad boleh memutuskan hukum suatu kaus,
bahkan kemampuan berijtihad menjadi syarat utama bagi
yang hendak memangku jabatan hakim. Keadaan seperti
itu menyebabkan para ulama dan fuqaha Islam sudah
merasa puas dengan usaha membuat ikhtisar karya-karya
ulama masa lalu.
f. Kerja Para Ulama (Keterpakuan tekstual)
Para ulama pada periode ini betul-betul berada
dalam keterpakuan tekstual yang sangat mencekam,
mereka juga berjasa dalam menghimpun pemikiran-
pemikiran fikih para imam sebagai suatu kekayaan
khazanah fikih Islam. Mereka menghimpun pemikiran-
pemikiran fikih, mentarjih berbagai riwayat, mencari
kekuatan hukumnya, kemudian merumuskan dasar-dasar
pijakan dan kaidahkaidah ushuliyyah yang menjadi
landasan ijtihad dan fatwa para imam.
Jadi kerja para ulama pada periode ini adalah:
1) mentarjih berbagai pendapat para madzhab
2) membela madzhab
3) merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ushul
fikih
Sebab keterpakuan tekstual, menurut Mun’im A.
Sirry terjadi karena keterbelengguan akal pikiran sebagai
akibat hilangnya kebebasan berfikir. Farouk Abu Zaid
berpendapat bahwa kebebasan berfikir hilang, antara lain

159
disebabkan oleh pemaksaan penggunaan aliran atau
madzhab tertentu oleh pihak penguasa, seperti Khalifah
al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq memaksakan
Muktazilah kepada ulama.
g. Jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan Islam di
Bara
Tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad
sebagai pusat kebudayaan Islam di Timur tahun 1258 M,
maka berhentilah denyut jantung kebudayaan Islam baik
di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan
kehancuran masyarakat Islam masa itu. Ulama-ulama di
bagian Timur berusaha mencoba untuk menyelamatkan
masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang
berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi
semua rakyat, dengan demikian diharapkan timbulnya
ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak hanya
tergantung kepada keseragaman kehidupan sosial tetapi
juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas perorangan
2. Periode Kebanngkitan
Setelah mengalami masa kemunduran, timbulah
kebangkitan kembali sebagai reaksi terhadap sikap taqlid
yang membawa pada kemunduran selama beberapa abad,
sehingga para pemikir islam memulai gerakan-gerakan
baru sebagai usaha untuk membangkitkan islam kembali.
Termasuk didalamnya hal pemikiran hukum islam.

160
Fenomena ini merupakan suatu wujud kesadaran
dari kebangkitan hukum islam. Periode ini dimulai dari
awal-awal abad kedua Hijriah hingga pertengahan abad
keempat Hijriah. Dalam kemajuannya yang sangat pesat,
fikih menghasilkan hukum perundang-undangan untuk
mengatur berbagai urusan sehingga umat islam
merasakan ketentraman dan kedamain dari hukum-
hukum tersebut. Pada periode ini muncul ulama fikih.
Para mujtahid mendirikan madzhab fikih yang masih
bertahan hingga saat ini.
Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu muncul
ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun
1798 M. kejatuhan Mesir ini menginsafkan umat islam
betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia barat telah
timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan
ancaman bagi Dunia Islam.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula
terhadap perkembangan fikih. Banyak diantara
pembaharu merupakan ulama yang berperan dalam
perkembangan fikih itu sendiri. Sebenarnya, usaha kearah
pembaharuan ini telah diawali oleh Ibn Taimiyah pada
awal abad VII H. Tokoh yang terlahir di Harran, Syiria, 12
januari 1236 M ( 10 robiul Awwal 661 H ) dan terkenal
sebagai tokoh yang sangat keras menentang
ketidakbenaran dalam praktik keagamaan umat Islam ini,

161
telah meresmikan perang terhadap taklid di peralihan
abad ketiga belas dan keempat belas Masehi.
Adapun Sebab kebangkitan fikih pada masa ini,
diantaranya:
a. Perhatian para khalifa Abbasiyah terhadap fikih dan
fuqaha.
Perhatian ini tampak pada sikap mereka mendekati
para fuqaha dan merujuk pendapatpendapat mereka.
Perhatian khalifah terhadap fuqaha dan pemberian
kebebasan yang cukup kepada mereka untuk
mengadakan kajian ilmiah telah mendorong semangat
para fuqaha dalam menghasilkan produk fikih dan kajian
ilmiah. Sehingga setiap fikih berijtihad secara leluasa dan
memunculkan hasil ijtihadnya dalam masalah-masalah
fikih.
b. Meluasnya Negara islam.
Dinegara yang luas ini terdapat beraneka ragam
tradisi yang berbeda-beda sehingga ijtihad pun menjadi
berbeda-beda pula menyesuaikan perbedaan adat dan
tradisi. Disisi lain, umat Islam sangat antusias untuk
mengetahui hukum syariat. Mereka selalu merujuk dan
meminta fatwa kepada para fuqaha dan para fuqaha
menjawab dan mengistinbathkan hukum-hukum
permasalahan mereka.

162
c. Lahirnya mujtahid-mujtahid besar yang memiliki
kemampuan fikih yang mendalam.
Guna memenuhi kebutuhan sekaligus
mengembangkan fikih dalam kebutuhan umat islam
maupun Negara, mereka memdirikan madrasah-
madrasah fikih yang melibatkan para tokoh fikih.
d. Kodifikasi Sunnah.
Sunnah telah dibukukan dan diidentifikasi antara
yang shahih dan dha’if. Hal ini memudahkan fuqaha dan
membantu merekatanpa perlu susah payah. Sunnah
merupakan materi dan sumber kedua bagi fikih.
Dari keempat sebab yang telah dijabarkan, dapat
dideskripsikan bahwa pada zaman ini, para khalifah dan
ulama sangat memperhatikan dalam bidang
perkembngan ilmu khususnya ilmu hukum islam ( fikih ).
Perkembangan hukum islam ini sebagai sarana yang
digunakan para khalifah dan ulama sebagai pengambilan
keputusan terhadap suatu hal menurut hukum-hukum
yang telah dirumuskan sebagai rujukan dan pegangan
untuk menghilangkan keluhan dan kebimbangan di
kalangan umat Islam.

163
LATIHAN / SOAL / PRAKTIK

1. Uraikan secara ringkas perkembangan ilmu fikih


pada awal kemajuan fikih !
2. Jelaskan fakor-faktor yang menyebabkan
kemunduran ilmu fikih !
3. Kemukakan pendapat saudara terkait
perkembangan ilmu fikih pada masa sekarang !

164
BAB VIII ARAH DAN
PERKEMBANGAN PERTAQNINAN

DESKRIPSI MATA KULIAH

Pada mata kuliah ini, mahasiswa akan belajar


tentang arah dan perkembangan taqnin. Pada bahasan ini
akan diuraikan pengertian taqnin, perkembangan taqnin
dan bidang-bidang taqnin.

PENDAHULUAN

Idealnya hukum itu mesti berfungsi sebagai “agent


of change” atau “alat at-taghyir” (sarana pembentuk,
penentu, pelopor dan perubah) terhadap perilaku
masyarakat. Hal ini akan tercapai bila hukum tersebut
terlebh dahulu mengambil tempat sebagai social control
dan social enginering. Suatu hal yang fital dalam
mewujudkan idealitas adalah kesadaran hukum. Terlepas
dari hal itu semua, ada hal terpenting yang tidak boleh
terabaikan yakni jika ingin memberlakukan suatu hukum
pada suatu wilayah atau negara, maka terlebih dahulu
hukum itu diproses menjadi hukum yang positif dalam
arti “legis”, “legality”, dan “Qanuniyah”, yang dalam
istilah hukum Islam disebut dengan at-Taqnin. Pada

165
bahasan ini diharapkan bahwa mahasiswa mampu
memahami arah dan perkembangan pentaqninan
A. Pengertian Pentaqninan
Secara etimologis, kata taqnin merupakan bentuk
masdar dari qannana, yang berarti membentuk undang-
undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa
Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari
Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun
yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan
atau cara. Taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum
dan kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan
dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara
sistematis, mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat
yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal,
dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan,
kemudian menetapkannya sebagai peraturan atau
undang-undang, lantas disahkan oleh pemerintah,
sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di
tengah masyarakat.
Istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama,
pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan
hukum seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti
syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus
untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam
hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan

166
hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif
membuat qanun larangan menimbun barang
Qanun dalam kontes sekarang dipandang sebagai
formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara’ yang
dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan
berlaku secara umum. Lahirnya qanun dalam era modern
ini sebagai konsekuensi dari sistem hukum yang
berkembang karena pengaruh sistem hukum Eropa.
Berdasarkan hal ini, sebagian ulama menganggap
formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting
sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu
masalah yang sama pada lembaga peradilan yang
berbeda-beda. Sementara sebagian yang lain tidak
sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi
tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang
menghasilkan pertentangan yang sengit antara kedua
kubu.
B. Perkembangan Taqnin
1. Islam Kolonialisme
Setelah dunia islam membebaskan diri dari
penjajahan Barat dan kemudian membentuk negara
nasionalnya masing-masing serta mengurus dan
mengatur sendiri bidang-bidang sosial,
politik,ekonomi,hukum dan kebudayaannya ternyata
terdapat aspek kurang ataupun tidak sesuai dengan
ketentuan ajaran Islam di satu sisi.

167
Di sis lain, tidak mungkin mengganti keseluruhan
dari apa yang sekarang telah berlaku sekaligus, kerena
akan mengakibatkan kekosongan institusi dan kekacauan
dalam kehidupan masyarakat, serta tidak realistis..
Dengan kata lain, menerapkan keseluruhan warisan
hukum Islam tidak realistik dan meninggalkan
keseluruhan warisan hukum islam juga tidak islami.
Dengan demikian, diambil jalan tengah dengan
mengambil aturan-aturan fikih yang relevan .
Menghadapi kenyataan ini, umumnya dunia Islam
menggunakan cara al-Tadrij fi al-Tasyri’ (bertahap didalam
penerapan hukum) dengan membiarkan terus
berlakumya hukum yang memenuhi persyaratan
kemaslahatan umat dan menambah atau bahkan
mengganti aturan yang dianggap tidak aspiratif dan tidak
sesuai dengan kebutuhan umat.
Seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya
bahwa dalam proses pembentukan ilmu fikih, fikih ini
menjadi bahan bagi pembentukan berbagai peraturan baik
perundang-undangan, ilmu fikih peraturan pemerintah,
bahkan didalam peraturan-peraturan daerah.
Arah semacam ini tampaknya sedang ditempuh di
seluruh dunia islam, termasuk di Indonesia, demi untuk
kepastian hukum. Di dalam fikih, sangat beragam
perbedaan pendapat para ulama. Bahkan satun mazhab
tentu pun tidak menjamin adanya kesatuan pendapat. Ini

168
pulalah yang mendorong kekhalifahan Turki Usmani
mengeluarkan Majalah al-ahkam yang memuat 1851
pasal, meskipun turki menganut mazhab Hanafi alasanya
dalam, mazhab Hanafi, banyak pendapat yang berbeda,
bahkan bertentangan. Hal ini tidak berarti warna suatu
mazhab tidak mempengaruhi dalam pen-taqnin-an.
Misalnya, warna mazhab Syafi’i tetap tampak dalam
inpres No. 11tahun 1991 di Indonesia . demikian pula
warna muzhab Hanbali di Saudi Arabia. Artinya
pembentukan perundang- undangan, terutama untuk
bidang hukum keluarga (al-Ahkwal al-Syakhiyah) artinya
pula kesadaran hukum masyarakat menjadi penting.
Bidang hukum keluarga Islam, tampaknya pen-
taqnin-an mengambil dari sebuah muzhab selama
maslahat bagi kehidupan juga mengambil dari hukum
lain selama sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,
implikasinya adalah mempelajari hukum Islam harus
dengan perbandingan hukum muqaranah madzahib
(perbandingan mazhab) bahkan dengan perbandingan
hukum, baik sistem adat maupun hukum Romawi (Barat).
Politik hukum suatu negara sangat menentukan di
dalam arah pen-taqnin-an, artinya penguasa sangat
menentukan karena perundang-undangan pada
prinsipnya adalah problem politik untuk negara-negara
yang menyatakan diri sebagai Islamic state (negara islam),
seperti: saudi arabia, iran, Pakistan, brunai Darussalam,

169
mauri tuannya, hal ini mungkin tidak jadi masalah, karna
politik hukumnya memang menerapkan hukum Islam.
Akan tetapi, bagi the muslim country (negara
muslim) atau negara yang mayoritas yang penduduknya
beragama Islam seperti Indonesia dan mesir, politik
hukum negara yang bersangkutan menjadi sangat
penting. Untuk kasus Indonesia misalnya, peluang untuk
pen-taknin-an ini menjadi terbuka setelah dalam GBHN
dinyatakan bahwa bahan didalam pembentukan hukum
nasional adalah: hukum adat, hukum barat, dan hukum
Islam.
Hubungan pen-taknin-an dan fikih seperti yang
Digambar diatas, sangat erat dengan meminjam kata-kata
Mustafa ‘ahmad zarqa yang kemudian dijadikan judul
bukunya yaitu: al-fikih al-islamy fi tsauyihial al-jadid. (“fikih
Islam didalam bajunya yang baru”) artinya: materinya
tetap materi-materi yang dibahas para ulama serta
pengkodifikasian disesuaikan dengan cara-cara ilmu
hukum yang berlaku. Subtansinya tetap, subtansi ilmu
fikih, penampilannya yang berbeda.
Dalam pen-takni-an ini, ijtihad jama’i (ijtihad
kolektif) prosesnya adalah dengan menghadirkan para
pakar dibidang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
materi yang dibahas untuk memberikan pertimbangan
dengan materi yang sesungguhnya yang dihadiri pula
oleh para ahli agama, khususnya ahli hukum Islam, untuk

170
memberikan pertimbangan hukumnya. Dengan cara ini
diharapkan ijtihadnya lebih benar, lebih baik, dan indah
serta lebih arif untuk kemaslahatan hidup Bersama.
Akhirnya bisa dinyatakan bahwa dengan pen-
takni-an ini, ilmu fikih ini sedang mengalami fase baru
perubahan, perubahan dengan tidak meninggalkan jati
dirinya yang tercermin didalam dalil-dalill kulli, kaidah-
kaidah kulliyyah, maqashid al-syariah dan semangat ajaran
yang adil, memberi rahmat, maslahat dan mengandung
makna bagi kehidupan” atau dengan ungkapan lain” al-
muhafadlha’ ala al-qodim al-sholih wa al-akhdz bi al jaded al-
ashlah (“mempertahankan yang lama yang maslahat dan
mengambil yang baru yang lebih maslahat”).
2. Fase Pentaqninan
Perkembangan ilmu fikih mencapai kepada fase
pentaqninan melalui proses yang panjang. Ada empat
prose pentaqninan yaitu sebagai berikut:
a. Tahap pembentukan mazhab yang resmi, didalam
Tarik al-tasri’ kita temukan fakta sejarah bahwa
khalifah ja’far al- mansur telah meminta kepada imam
malik untuk menjadikan mazhab malik, menjadi
mazhab resmi seluruh wilayah kekuasaannya. Imam
malik menolak permintaan khalifah ja’fat al mansur
dengan alasan akan mengganggu kebebasan
berijtihad, artinya, apabila mazhab maliki menjadi
mazhab resmi negara maka para mujtahid tidak akan

171
bebas lagi berijtihad, sebab harus mengikuti muzhab
resmi penguasa. Pada masa sekarang yang masih
menggunakan muzhab resmi negara antara lain:
Saudi Arabia dengan mazhab hambalinya dan Brunei
Darussalam dan Iran dengan mazhab syi’ah imamiah.
Sudah barang tentu kebijakan semacam ini tidak
memperkuat mazhab dan menyebarluaskannya karna
seperti yang dikatakannya ibnu Khaldun “manusia
akan mengikuti agama penguasanya” (al-nas’alah dini
mulukihim).
b. Setelah adanya mazhab yang resmi menjadi mudah
untuk pembentukan taqnin dengan mengikuti
mazhab yang resmi tadi. Contoh yang paling baik
untuk fase ini adalah majalah al ahkam al adliyah yang
dikeluarkan pada masa kekhalifaan turki Usmani
yang mengambil seluruhnya dari mazhab resmi
kekhalifaan turki Usmani yaitu mazhab Hanafi.
c. Pen-taqni-an dengan mengambil bahan-bahan dari
mazhab-mazhab lainnya, tidak mengkhususkan dari
pada satu mazhab resmi tertentu, selama sesuai
dengan kemaslahatan. Contohnya, kadang-kadang
hukum dalam hukum keluarga pada zaman
kekhalifaan turki Usmani mengambil mazhab maliki.
Misalnya, batalnya talak yang dijatuhkan karna
dipaksa atau dijatuhkan karna mabuk ( qanun hukuq
al adilah turki Usmani tahun 1917, pasal 57, 104, dan

172
105). Demikian pula hanya dalam kasus suami yang
pergi atau hilang tanpa berita serta tidak memberi
nafkah. Dan kemudian istrinya menggugat, ,maka
pengadilan harus mengabulkan gugatan istri setelah
mencari suami dengan sungguh-sungguh (pasal 126).
Pasal 185, kompilasi hukum Islam di Indonesia
“hukum kewarisan” menyatakan bahwa ahli waris
yang meninggal lebih dulu dari pengwaris maka
dudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam pasal 173 (membunuh,
mencoba membunuh, menganiaya). Bagian ahli waris
penganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti. Dalam kasus pewaris
meninggalkan anak perempuan dan anak laki-laki
yang telah meninggal, ini bukan wasiah wajibah
sehingga tidak boleh melebihi sepertiga harta warisan.
Dalam kasus diatas, jika diganti anak perempuan 1\2
cucu 1\2, sisanya ashabah. Cucu 1\2 -3\6, kalua wasiat
wajib tidak boleh lebih dari 1\3-2\6. Fase ketiga ini
kemudian diikuti oleh Sebagian negara-negara Arab
seperti Mesir, Siriyah, Irak, dan Tunisiyah.
d. Pada fase keempat ini, dunia islam tidak hanya
mengambil dari berbagai mazhab di dalam fikih,
tetapi juga mengadopsi beberapa bagian-bagian
hukum-hukum barat, misalnya didalam undang-
undang hukum dagang baik di darat maupun di laut,

173
yang dahulu belum mendapatkan perhatian yang
serius dari fuqaha, meskipun prinsip-prinsip
hukumnya telah ditemukan, tetapi rinciannya sebagai
bahan didalam pen-taqni-an masih memerlukan
penelitian, termasuk fatwa-fatwa yang kemudian
yang menjadi bahan-bahan taqnin.
Pengaruh hukum barat ini tampaknya sulit
dihindari, baik karena sekarang kita memasuki era
globalisasi, maupun karena lamanya dunia Islam dijajah
oleh barat yang menerapkan hukumnya didaerah
jajahannya.
Didalam mengadopsi hukum-hukum barat ini
perluh kehati-hatian, dalam arti perlu penelitian tentang
falsafah hukumnya, prinsip-prinsipnya, dan asas-asasnya.
Tolak ukurnya adalah: dalil-dalil kulli baik dari Al-Qur’an
maupun hadis, maqosidu syariah, kaidah-kaidah kuliah
fiqiyyah dan semangat hukum Islam, yang merupakan
identitas hukum islam. Akar filosofinya diberi landasan
filosofis islam (sayyid quthb).
Apabila tidak bertentangan dengan keempat hal
tersebut tidak ada salahnya mengadopsi dari hukum
barat, sebab kemungkinan besar hukum baratpun
mengadopsi dari hukum Islam dari zaman keemasan
islam, sedangakan barat masih dalam kegelapan.

174
C. Bidang-Bidang Pentaqninan
1. Al-Ahwal al-Syakhsiyah (Hukum Keluarga)
Hukum keluarga ini adalah hukum yang telah
dilaksanakan di dunia Islam, bahkan telah menjadi
hukum adat mereka, sehingga kesadaran untuk
menerapkan hukum keluarga di dunia Islam sangatlah
tinggi, bukan saja di negara-negara Islam atau negara-
negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam,
tetapi di sekuler di mana kaum muslimin menjadi
penduduk negara-negara minoritas hukum keluarga
Islam ini diterapkan dan yang ditaati oleh keluarga-
keluarga Muslim, seperti di Birma, Singapura, dan
Filipina Selatan (Mindanau).
Pentaqninan di bidang al-ahwal al-Syakhsiyah ini
merupakan contoh di mana pengaruh hukum Barat
terhadap materi hukum Islam relatif kecil bahkan tidak
ada, dan merupakan benteng terakhir di dalam
mempertahankan diri terhadap pengaruh hukum Barat
yang diterapkan pemerintah kolonial di dunia Islam yang
merupakan daerah jajahannya.
Dilain hal pada bidang al-ahwal al-Syakhsiyah ini
diperkenalkan oleh para ulama kepada masyarakat
melalui dakwahnya dan sekaligus memberikan contoh
pelaksanaannya di dalam kehidupan keluarga ulama
tersebut. Sosialisasi hukum semacam ini, lama kelamaan
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan

175
menjadikan hukum Islam di bidang hukum al-ahwal al-
Syakhsiyah ini menjadi hukum adatrys karena para da'i dan
contoh kehidupan serta lembaga-lembaga pendidikan
merujuk kepada mazhab tertentu, maka wajar apabila di
banyak negara warna mazhab masih tampak di dalam
undang undang hukum perkawinannya.
Bahkan, di Pakistan, prinsip hukum keluarga Islam
masuk di dalam UUD-nya (Part II, prinsip Chapter 2,
Pasal 35, menentukan, the State shall protect the mar
riage, the family, the mother, and the child). Pada masa
sekarang hampir semua negara di dunia Islam telah
memiliki undang-undang hukum keluarganya, baik di
Tim Tengah, Turki, Pakistan, dan di Asia Tenggara
termasuk di Indonesia.
Di Indonesia dengan keluarnya Undang-undang
No. 1 Tb 1974, tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, mendorong kebutuhan untuk pen-tagnin-an di
dalam hukum keluarga, di tambah dengin keluarnya
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan
Agama yang di dalam Bab III Pasal 49 Undang-undang
tersebut dinyatakan:
"Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa memutuskan dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang a. Perkawinan. b. Kewarisan,

176
wasiat, dan Hibah yang dilalak berdasarkan hukum Islam.
c. Wakaf dan Sedekah
2. Pentaqninan di Bidang Muamalah
Pen-tapin-an di bidang Muamalah dalam arti
sempit dimulai sejak dikeluarkannya Majalah Al-Ahkam
al-Adliyah pada zaman kekhalifahan Turki Usmani, yang
dimulai pada tahun 1869 dan selesai tahun 1876. Sebelum
munculnya majalah al-Ahkam, kekhalifahan Turki Usmani
dihadapkan kepada keberagaman keputusan dari
Lembaga Pengadilan Perdatanya, karena setiap
pengadilan mengambil bahan pertimbangan hukumnya
dari berbagai macam kitab fikih yang sangat banyak
jumlahnya, meskipun dari satu mazhab yaitu: Mazhab
hanafi. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa di dalam
satu mazhab pun masih banyak perbedaan pendapat Di
dalam mazhab Hanafi misalnya sering terjadi perbedaan
pendapat antara Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
Asjaebani, yang kedua-duanya bermazhab bahkan murid
dari Imam Abu Hanifah. Demikian pula di dalam mazhab
al-Syafi'i, sering terjadi perbedaan pendapat antara Imam
Nawawi, al-Muzami, al Ghozali, meskipun mereka masih
sama-sama bermazhab Syafi'i.
Maka, untuk lebih menjamin kepastian hukum,
kekhalifahan Turki Usmani membentuk suatu panitia
yang terdiri dari ulama ulama besar dan fuqoha (ahli
hukum Islam) yang diketuai oleh Ahmad Judat Basya,

177
seorang ulama ahli Hukum Islam terkenal yang pada
waktu itu menjabat sebagai menteri kehakiman. Dari jerih
payah para ulama dan pejabat negara pada zaman
kekhalifahan Turki Usmani ini, terwujudlah satu karya
besar yaitu Kodifikasi Hukum Perdata Islam yang
bersumber kepada Al-Qur'ân dan Hadits serta kitab-kitab
figh standar mazhab Hanafi yang menjadi pegangan para
hakim perdata dan warga negara di seluruh wilayah
kekhalifahan Turki Usmani.
Di Indonesia baru tahun 1992 didirikan Bank
Muamalah Indonesia, dan kemudian bermunculan Bank
Syari'ah lain di In donesia seperti Bank Syariah Mandiri,
BNI Syariah, BRI Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank
JFJ Syariah, Bank Bukopin Syariah. Sedangkan Bank
Pembangunan Daerah yang pertama mendirikan Unit
Syariah adalah Bank Jabar Syariah yang diresmikan oleh
HR Nuriana, Gubernur Jawa Barat pada tanggal 20 Mei
2000, dan sekarang sudah mulai bermunculan Bank
Syariah pada Bank Pembangunan Daerah seperti Bank
Syariah Riau, Bank Pembangunan Aceh, dan Bank Syariah
DKI Jakarta yang baru diresmikan pada tahun 2004.
Di Indonesia legitimasi hukum bagi hasil, terdapat
dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal
6(m) yang menyebutkan bahwa di antara usaha Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil

178
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Peraturan
Pemerintah. Usaha dengan cara bagi asil ini di dalam fikih
muamalah dikenal dengan istilah mudharabah Dan
ternyata di masyarakat Indonesia usaha dengan cara ini
sudah biasa dilakukan, baik di dalam usaha perdagangan
ataupun pertanian, seperti nengah atau mertelu.
Kemudian Perbankan Syariah dipertegas lagi di
dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Di dalam undang-undang No. 10
Tahun 1998 ini di dalam Pasal 6 (m) disebutkan:
"Menyediakan pembiayaan dan melakukan kegiatan lain
berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia".
Di dalam Pasal 1 ayat 33 disebut pula tentang
mudharabah, musyarakah, murabahah, ijariah, ijarah wa
iqtina. Kemudian disusul dengan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No.32/33/Kep/ Dir tentang Bank Umum.
Pada Pasal 1 (1) dan Pasal 1(m) disebutkan tentang Dewan
Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah yang
ditempatkan pada Bank yang melakukan kegiatan usaha
Syariah. Lebih tegas lagi dinyatakan di dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir
tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syari'ah pada
tahun 1999, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat

179
berdasarkan prinsip syariah tahun 1999. Di dalam kedua
surat keputusan tersebut di atas, di atur tentang
Perbankan Syariah di Indonesia.
Setelah keluarnya Undang-undang No. 10 Tahun
1995 tentang Perbankan ternyata perkembangannya
cukup pesat, baik dalam jaringan perbankan syari'ah
maupun dalam jumlah aset dan pembiayaan. Dalam
tahun 1992 jumlah kantor Bank bara 1, tahan 1999 jumlah
kantor Bank menjadi 40, tahun 2002 jumlah kantor Bank
menjadi 138, tahun 2003 jumlah kantor Bank menjadi 255.
Jumlah aset tahun 2000 sekitar 2 Triliun, tahun 2001
sekitar 3 Triliun, tahun 2002 sekitar 4 Triliun dan tahun
2003 sekitar 8 Triliun, sedangkan pembiayaan tahun 2000
baru sekitar 1 Triliun,
Tahun 2002 sekitar 3 Triliun dan tahun 2003 sekitar
5 Triliun," Rupanya Perbankan Syariah perkembangannya
cukup menggembirakan, bukan saja karena tanpa bunga
tapi juga sistemnya menguntungkan, tahan terhadap
gejolak moneter dan aman bagi yang menyimpan uang.
Walaupun demikian perbankan syari'ah masih dalam
tahap awal perkembangannya, masih memerlukan waktu
dalam proses pergulatan ekonomi untuk mampu
berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khoerot) dengan
perbankan yang sudah mapan, masih perlu kerja ekstra
keras di dalam regulasi managemen, supervisi,

180
penyediaan sumber daya manusia, dan mengantisipasi
berbagai macam risiko yang timbul.
3. Pentaqninan di bidang Siyasah
Setelah dunia Islam bebas dari penjajahan dan
membentuk negara nasionalnya masing-masing, negara
dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Mau mengadopsi
keseluruhan aturan hukum penjajah tidaklah Islami, dan
mau mengadopsi keseluruhan aturan hukum penjajah
tidaklah Islami, dan mau mengambil keseluruhan aturan
figh sering tidak realistis, akhirnya dari ijtihad masing-
masing negara, memunculkan 3 tipe besar yaitu:
a. mengambil keseluruhan hukum Barat, seperti
Turki,
b. mengambil sumber dari hukum Islam secara ketat
seperti Saudi Arabia dan Iran.
c. mencari kompromi di antara keduanya, seperti
Mesir, Indonesia, Malaysia.
Meskipun tipe ketiga ini di dalam rinciannya
berbeda, ada yang menetapkan Islam sebagai agama
resmi negara, seperti Malaysia, Libia, Mesir, dan ada pula
yang tidak menetapkan Islam sebagai agama resmi
negara, seperti Indonesia, kedua kecenderungan ini
mempunyai pengaruh di dalam kehidupan keagamaan
masyarakat masing-masing negara.

181
4. Pentaqninan di Bidang Qadha
Pada masa sekarang negara di dunia Islam telah
memiliki lembaga-lembaga peradilannya masing-masing,
meskipun di dalam proses pembentukan lembaga
peradilan, khususnya pembentukan peradilan agama,
masing-masing negara memiliki pengalamannya sendiri-
sendiri yang sering kali tidak mudah. Hal ini sangat
tergantung kepada kondisi sosial politik di negara
masing-masing,
Sebagai contoh kasus di Indonesia, meskipun telah
keluar Undang-Undang No. 14 Tahun kekuasaan
kehakiman yang di dalam Pasal 10 ayat 1 dinyatakan:
"bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
dan Peradilan Tata Usaha Negara". Setelah 18 tahun lebih,
baru keluar Undang-Undang Republik Indonesia No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada prinsipnya empat lembaga peradilan tersebut,
terdapat di negara-negara di dunia Islam meskipun ada
beberapa perbedaan dalam hal-hal tertentu. Adapun
tentang tingkatan lembaga peradilan pada umumnya
sama, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan terakhir
adalah kasasi. Pengadilan Agama merupakan tingkat
pertama, Pengadilan Tinggi Agama merupakan
pengadilan tingkat banding, dan terakhir Mahkamah
Agung untuk tingkat kasasi. Pengadilan Agama

182
berkedudukan di kota madya atau ibu kota kabupaten,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau
kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di
ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi
provinsi, (lihat Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama Pasal 3, 4, 6).
Pada zaman Nabi peradilan ditangani oleh Nabi
sendiri, dan zaman Umar Ibnu Khatab kekuasaan
peradilan mulai tampak dengan memeriksa dan memutus
perkara-perkara perselisihan, menetapkan hak-hak,
penyelewengan benda wakaf, melaksanakan wasiyat,
menjatuhkan hukuman had, dan sanksi-sanksi lainnya. Ini
semua dilakukan dalam suatu lembaga peradilan yang
disebut "Wilayah al-Madhalim", kemudian kekuasaan ini
menjadi indipenden pada zaman Usman bin Affan sudah
ada pemisahan antara pengadilan yang memeriksa dan
memutus perkara di bidang perdata dan di bidang
pidana. Kemudian muncul " Wilayah Hisbah". Semacam
lembaga yang mengawasi agar tidak terjadi penipuan di
pasar-pasar, mengawasi timbangan, lalu lintas kapal-
kapal, para pengajar di sekolah-sekolah, mirip dengan
polisi pada masa kita ini, khususnya polisi ekonomi.
Di antara prinsip-prinsip di pengadilan pada masa
itu adalah independensi hakim, hukum harus sesuai
dengan kaidah syariah, seperti: mempersamakan
kedudukan antara Penggugat dan yang Tergugat.

183
Manusia pada awalnya tidak bersalah, oleh karena itu
harus dibuktikan kesalahannya di muka sidang
pengadilan dengan meyakinkan Penggugat harus
menunjukkan bukti-bukti diajukan, dan lain sebagainya.
Hal-hal semacam ini merupakan dasar-dasar peradilan
dan pokok-pokok hukum acara pada masa sekarang.
Agama memang mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap kebebasan (independensi) peradilan, karena
agama menyentuh aspek ketakwaan dan hati serta
memerintahkan berlaku adil, menjaga hak-hak individu
dan masyarakat, menjaga jiwa, dan harta serta
kehormatan manusia.
Di dalam kepustakaan Islam ada suatu cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang disebut tahkim (arbitrase); Dasar arbitrase ini
bisa dilihat dalam Al-Qur'ân surat al-Hujurat ayat 9 dan
lebih khusus lagi dalam surat an-Nisa ayat 35, dan Hadits
yang diriwayatkan oleh al-Nasa'i, tentang Abu Suraih,
yang sering disebut Abu Hakim karena sering me
nyelesaikan perkara dengan cara mendamaikan diantara
yang bersengketa, perbuatan Abu Sureih ini mendapat
pujian Nabi Muhammad SAW. Arbitir di dalam istilah
hukum Islam disebut Hakam, Arbitrase atau tahkim ini di
dalam majalah al-Ahkam diatur di dalam Pasal 1841
sampai dengan Pasal 1851.

184
Di Indonesia MUI telah menandatangani pendirian
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (sebagai Yayasan)
pada tanggal 21 Oktober 1993, kemudian dengan SK
No.09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424 H/24
Desember 2003 M. telah menetapkan:
a. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalah
Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS)
b. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari
yayasan menjadi badan yang berada di bawah MUI
dan merupakan perangkat organisasi MUI.
c. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
lembaga hukum Badan Arbitrase Syariah Nasional
bersifat otonom dan independen.
Kedudukan Arbitrase sebagai cara penyelesaian
sengketa perdata di Indonesia, diperjelas dan dipertegas
dengan keluarnya Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa,
tanggal 12 Agustus 1999. Di dalam Pasal 5 ayat 1
disebutkan: "sengketa yang dapat diselesaikan di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Di dalam
penjelasan atas Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ini,
disebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan Lembaga

185
peradilan. Kelebihan tersebut antara lain: a). Dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak, b). Dapat dihindari
kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif., c). Para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalamanserta latar belakang yang cukup mengenai
masalah disengketakan, jujur, dan adil. d). Para pihak
dapat memilih hukum apa yang akan ditetapkan untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggara an arbitrase, e).Putusan arbiter merupakan
putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan.
5. Pentaqninan di Bidang Jinayah
Pen-taqnin-an fikih jinayah atau hukum pidana
Islam adalah yang paling sulit dilakukan dibanding
hukum keluarga (al-Ahwal al-Syakhshiyah) atau hukum
perdata, dengan mengecualikan negara-negara seperti:
Saudi Arabia. Hukum pidana Islam, hanya bisa
diterapkan untuk: Pertama: kaidah-kaidah dan asas-
asasnya yang memiliki nilai-nilai universal, Kedua:
kejahatan-kejahatan taʼzir (kejahatan-kejahatan selain
hudud dan qishash diyat). Karena sanksi taʼzir diserahkan
berat ringannya kepada ulil amri, dalam hal ini lembaga
legislatif asal memiliki daya preventif dan daya represif
(istilah para ulama al-raddlu wa al-jazru). Kejahatan ta'zir ini

186
paling banyak jumlahnya dibanding hudud dan qishash
diyat, sanksi di dalam Ta'zir terbentang antara sanksi
percobaan sampai hukuman mati.
Pemerintah Indonesia sekitar tahun 2001 telah
membuat rancangan undang-undang tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana ini terdiri dari 647 Pasal,
dan telah didiskusikan di berbagai lembaga pendidikan
perguruan tinggi, lembaga-lembaga keumatan dan MUI,
termasuk di MUI Jawa Barat pada tanggal 27 Juni 2002
yang merekomendasikan antara lain:
a. Diterapkan lagi pidana mati sebagai hukuman pokok
dalam pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang
berbahaya bagi masyarakat.
b. Penindakan yang sama terhadap seluruh warga
negara tanpa memandang jabatan/posisi sosial,
politik, ekonomi (catatan untuk pembunuhan dengan
motif politik diatur sendiri).
c. Diakuinya sanksi kompensasi jika pihak korban
memberi pemaafan.
d. Di dalam tindak pidana susila, sifat sanksi tidak
alternatif tapi harus komulatif.
e. Sanksi dikenakan terhadap semua pihak yang terkait
dalam kejahatan susila. Seperti kita ketahui,
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini
sampai sekarang masih tetap merupakan rancangan,
artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang

187
berlaku di Indonesia sampai sekarang masih tetap
warisan pemerintah kolonial Belanda, meskipun ada
beberapa pasal yang dihapus dan diubah.
Pada fikih jinayah (Hukum Pidana Islam),
menanggulangi kejahatan dilakukan secara lebih
komprehensif, dari mulai memperkokoh keimanan,
memperbaiki akhlak masyarakat, sampai menghilangkan
sebab timbulnya kejahatan seperti kemiskinan, dan
keterbelakangan dan memberikan sanksi yang memiliki
daya preventif dan represip (al-raddu wa al-jazru).
Sedangkan kejahatan-kejahatan yang sangat
mengganggu ketertiban hidup bermasyarakat yang
disebut Jarimah Hudud dan Qishash Diyat adalah
pembunuhan, pelukaan, pencurian, perampokan,
pemabukan, perzinahan, pemberontakan, yang dijelaskan
sanksinya dalam Al-Qur'an dan atau Hadits. Sedangkan
kejahatan-kejahatan lainnya sanksinya diserahkan kepada
Ulil Amri.
Di dalam taqnin berbagai negara di dunia Islam
kejahatan kejahatan tersebut di atas diancam dengan
hukuman, hanya sanksinya bervariasi. Di Saudi Arabia
sanksinya seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan
atau Hadits karena kondisi budaya masyarakat dan
politik hukumnya memungkinkan, sedangkan negara-
negara lainnya lebih banyak menggunakan sanksi ta'zit,
meskipun untuk Jarimah Hudud dan atau Qishash dryat.

188
LATIHAN / SOAL / PRAKTIK

1. Jelaskan pengertian taqnin dan qanun !


2. Jelaskan perkembangan taqnin di Indonesia !
3. Uraikan 3 bidang pentaqninan !
4. Kemukakan pendapat saudara terkait arah taqnin
diIndonesia !

189
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an al-Karim

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo, Dar al-Fikr


al-Arabiy, 1957.
Adhari, Iendy Zelviean dkk. Struktur Konseptual Ushul
Fiqh. Bandung: Widini Bhakti Persada Bandung,
2021.
Al, Abdul Hayy Abdul. Ushul Fikih Al-Islami. Terj.
Muhammad Misbah, Pengantar Ushul Fikih. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 20014.
Al-Ghazali dan Abu Hamid. Ihya Ulum al-Dien. Mesir: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt.
al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mushtasfa fi Ilm al-Ushul.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Ali, Ameer. The Spirit of Islam. Terj. H. B Yassin,
PT.Pembangunan. Jakarta cetakan II, 1967.
Al-Jaziriy dan Abd al-Rahman. Kitab al-Fiqh Ala Mazahib al
Arba'ah. Mesir, Mathba'ah Tijariyah al-Kubra, tt.
Al-Mahalliy, Jalal al-Dien, Syarh. Ala Matn Jam 'al-Jawami"
Mesir, Mustafa al-Babiy al-Halabiy, 1937.
al-Subki, Taj al-Din Aabdu al-Wahab. Jam'u al-Jawani.
Darihya al-arabiyah, t.t.
Al-Suyuthi, Jalaludin Abdurrahman. al-Asybah wa al
Nadhair. Isa al-babi al-Halabi; t.t.
Ar-Razi. al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam. Mesir: Muassasah al-
Halaby, 1937.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fikih.
Cet VII. Jakarta: PT. Bulan BIntang. 1997.
As-Syarakhsy. Ushul al-Syarakhsy. Beirut: Dar al-Maarif,
1971.
As-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut: Dar
alMaarif, 1973.
Az-Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islamy. Jilid I.
Damaskus: Darul Fikri, 2005.
Coulson, Noel, J. A History of Islamic Law. Edinlourgh:
University Press, 1944.

190
Darmawan, Nurwan. Pengantar Fiqih Islam. Jakarta: Abu
Muslim, 2020.
Dawud, Abu. Sunan Abu Dawud. Cairo: Mustafa al-Babiy
al Halabiy, 1952.
Djazuli, A. Ilmu Fikih: Penggalian Perkembangan dan
Penerapan Hukum Islam.Cet. V. Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2015.
Fyzee, Asaf. A. A., Outlines of Muhammadan Law, Terj.
Arifin Bey, Tintamas, Jakarta, Cetakan ke III, 1965.
Harisudin, M.Noor. Pengantar Ilmu Fiqih. Cet.VII. Jakarta:
CV. Salsabila Putra Pratama, 2019.
Hasaballah, Ali. Ushul at-Tasyri al-Islamy. Kairo: Dar
alMaarif, 1976.
Humam,Ibnu. Syarh Fath al-Qadir. Mesir: Mustafa al-Babiy
al-Halabiy, 1970.
Hussain, Hadi dan Imam Abu Hanibah. Life and Work.
Pakistan: Institut of Islamic Culture, 1972.
Ibnu Qudamah. al-Mughniy. Cairo: Mathba'ah al-Qahirah,
1969.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulul Fikih. Terj. Noer
Iskandar Al-Barsany, Kaidah-Kaidah Hukum Islam.
Cet VIII. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Mansur, Ali. Al-Syariah al-Islamiah wa al-Qanun al Duwali
al-Am, Majlis al'ala lisynun al-Islamiah: al-Qahirah,
1971.
Mujtaba, Saifudin. Ilmu Fiqih, Sebuah Pengantar. Jember,
STAIN Jember Press, 2010.
Musa, Muhammad Yusuf. al-Madhalu lidirasati fiqhi islamii.
Terj. Muhammad Misbah, Pengantar Studi Fikih
Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.
Norwili. Fikih Sebuah Pengantar Memahami Hukum
Islam.Yogyakarta: 2021.
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. Fiqh dan Ushul Fiqh. Cet.
I. Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Quran al-Hakim.
Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.t.

191
Sabiq, al-Sayid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al
Arabiy, 1971.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fikih. Cet III. Jakarta:
Kencana, 2010.
Syarifuddin, Amir. Ushul FIkih 1. Cet V. Jakarta: Kencana,
2014
Syarifuddin, Amir. Ushul FIkih 2. Cet V. Jakarta: Kencana,
2014.

192
BIOGRAFI PENULIS

Dr. Kurniati, S.Ag, M.Hi, lahir


di Pompanua, Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan, 27 Juni 1974 adalah
Dosen Tetap Fakultas Syari'ah dan
Hukum. Menamatkan Sekolah Dasar
Negeri No. 1 Pompanua dan MTsN
Pompanua di kampung kelahirannya,
meneruskan pendidikan Aliyah pada
PGAN Watampone, hingga tamat
tahun 1992.

Kemudian melanjutkan studi pada Jurusan


Muamalah pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone, meraih gelar sarjana (S1) pada
tahun 1997. Pada tahun 2000 mendapat kesempatan untuk
melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar dan
menyandang gelar Magister Hukum Islam (M.H.I) pada
tahun 2003. Gelar Doktor diraihnya pada Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar pada tahun 2012. Setelah meraih gelar Doktor,
penulis kembali ke Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar melakukan kegiatan belajar mengajar,
mengadakan penelitian, dan kegiatan kemasyarakatan

193
lainnya. Perempuan yang menekuni bidang Hukum
Islam, menulis banyak makalah yang disampaikan dalam
diskusi dan seminar lokal maupun regional. Selain itu
juga Penulis sudah banyak melakukan penelitian dan
telah dipublikasikan baik secara nasional maupun
Internasional.

Aktivitas intelektualnya dimulai sejak mahasiswa


hingga membawanya sebagai Alumni terbaik dan alumni
teladan di STAIN Watampone pada tahun 1997. Saat ini
selain menjadi dosen juga mendapat tugas tambahan
sebagai ketua jurusan Hukum Tatanegara (Siyasah
Syariiyyah) pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar.

194

Anda mungkin juga menyukai