Makalah Perbedaan Fiqih Dan Syariah (Kelas 26 Senin Sore)
Makalah Perbedaan Fiqih Dan Syariah (Kelas 26 Senin Sore)
Dosen Pengampu:
Muhrian Noor, M. Ag.
Disusun oleh:
Muhammad Abdul Wahid (3101 1602 2958)
Aji Setiawan (3101 1602 2985)
Muhammad Fahmi Rizal Mawardi (3101 1602 2995)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kami semua, serta tak lupa sholawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW atas petunjuk dan risalahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami ini
dengan lancar,
Terima kasih kepada bapak Muhrian Noor, S. Ag. selaku dosen pengajar yang telah
memberikan tugas untuk mambuat makalah ini kepada kami. Terimakasih juaga kepada
teman-teman yang telah bekerja sama dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini mungkin
tidak sempurna dan terdapat banyak kekurangan, Oleh karena itu kritik dan saran dari bapak
sangat kami harapkan untuk membangun makalah ini agar lebih baik ke depannya dan jika
terdapat kesalahan kata maupun makna dalam makalah ini kami mohon maaf.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
2.1 Pengertian Fiqih .......................................................................................................... 2
2.1.1 Pencabangan Fiqih ............................................................................................... 4
2.2 Pengertian Syariah....................................................................................................... 6
2.2.1 Pembagian Hukum Syariat .................................................................................. 7
2.3 Perbedaan Fiqih dan Syariat ........................................................................................ 9
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 12
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), 2
2
Anonymous, “Pengertian Fiqih”, Sudut Hukum, diakses dari http://www.suduthukum.com/2015/01/pengertian-fiqih.html, pada tanggal 19
Mei 2017 pukul 23:55
2
3
Akan tetapi, yang dimaksud sesungguhnya adalah satu per satu dalil. Maksudnya setiap
hukum perbuatan mukallaf yang dibahas dalam ilmu fiqih itu masing-masing ada dalilnya,
sekalipun sesungguhnya dalilnya tidak bersifat rinci, atau bahkan malah bersifat mujmal atau
masih bersifat umum yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.3
Pengertian fiqih menurut sebagian para ulama adalah:
“Hukum-hukum syara-syara yang diperlukan kedalam renungan yang mendalam,
pemahaman dari ijtihad.”4
Hasil pemahaman tentang hukum islam itu disusun secara sistematis dalam kitab
fiqih dan disebut hukum fiqih. Contoh hukum fiqih islam yang ditulis dalam bahasa
Indonesia oleh orang Indonesia adalah, misalnya, Fiqih islam karya H. Sulaiman Rasjid
yang sejak di terbitkan pertama kali tahun 1954 sampai kini (1990) telah puluhan kali
dicetak ulang. Beberapa kitab hukum fikih yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Diantaranya
adalah karya Mohammad Idris as-Syafi’i, salah seorang pendiri mazhab hukum fikih islam,
yang bernama : al-Um, artinya (kitab) Induk. 5
Fiqih arti asal katanya Paham. Disini fiqih merupakan pemahaman terhadap ilmu
yang berupa wahyu (yaitu Al-Qur’an dan al-hadits sahih). Jadi fiqih sebagai suplemen dan
sekaligus perbedaan prinsip dengan ilmu. Kelanjutan pengertian seperti ini adalah bahwa
fiqih identik dengan al-ra’yi yang menjadi kebalikan ilmu tadi. Pengertian fiqih yang
demikian kemudian berkembang menjadi berarti ilmu agama. Atau ilmu yang berdasar agama
yakni fase kedua. Dalam fase ini fiqih mencakup kepada semua jenis, termasuk akidah
tasawuf, dan lain-lain. Kitab al-fiqih akbar karya Abu Hanifah sama sekali tidak
menyinggung hukum, namun isinya adalah hal-hal yang berkaitan dengan akidah. Pada
akhirnya, pada fase ketiga fiqih dipahami sebagai disiplin hukum Islam. Kalau pada awalnya
fiqih itu alat untuk memahami atau untuk mengkaji dalam fase tarkhir ini fiqih menjadi sosok
objek kajian. Suatu disiplin yang dikaji tidak lagi alat apalagi suatu proses. Fiqih berarti
hukum Islam atau ada pula yang menyebut sebagai hukum positif Islam, oleh karena adanya
dominasi akal manusia dalam memahami wahyu.6
Menurut definisi Abu Hanifah fiqh adalah marifat al-nafs malaha waman alaiha
amalan. (mengetahui hak dan kewajiban yang berkaitan dengan perilaku seseorang). Konsep
hak dan kewajiban adalah konsep etika. Sedangkan definisi yang sering diketahui adalah ilmu
tentang hukum-hukum atau etika agama syara untuk hal-hal yang berkaitan dengan
3
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, op. cit.
4
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1975, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 35
5
H. A. Qodri A.Azizy, Transformasi Fiqh dalam Hukum Nasional, Membedah Peradilan Agama, PPHIM Jawa Tengah, Semarang, 2001,
hlm. 123
6
Ibid, hlm. 102
4
amaliyah perilaku manusia yang diwujudkan dengan landasan utama dari dalil-dalil syara
yang rinci). Bisa juga didefiniskan sebagai kumpulan hukum-hukum atau etika syara untuk
hal-hal yang berkaitan dengan amaliyah perilaku manusia yang termasuk dengan landasan
utama dari dalil-dalil syara yang rinci.7
7
Ibid.,
8
Ibid., hlm. 103
5
4. Jinayat
Jinayat ialah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan dapat menimbulkan
hukuman demi untuk menjaga harta, jiwa serta hak azasi manusia.9
Keempat kelompok ini juga memiliki cakupan yang sangat luas, sehingga hal-hal
yang berkaitan dengan Negara dan politik juga tidak terlewatkan menjadi obyek pembahasan
dalam buku fiqh. Dengan kata lain, dari kandungan yang ada dalam buku-buku fiqh, sasaran
kajian fiqh meliputi banyak hal yang kemudian tidak jarang mempunyai nama sendiri.10
Kemudian muncul istilah fiqh politik (fiqh siyasah) dan fiqih-fiqih lainnya. Fiqh
siyasah sebenarnya tidak sekedar diterjemahkan sebagai ilmu tata Negara dalam Islam,
namun disejajarkan dengan ilmu politik islam atau Islamic Poltical Thought dan seterusnya
sehingga istilah-istilah tersebut menampakkan ciri fiqh yang berupa exersice pemikiran yang
tidak berhenti dan tetap berkelanjutan, tidak malah didominasi oleh ciri fiqh yang sarat
dengan nilai ibadah yang berkonsekuensi mandek. Selanjutnya ketka beribicara mengenai
hukum pidana maka sudah memakai bahasa hukum yang lazim dipergunakan dalam ilmu
hukum. Hal yang samapun juga berlaku bagi cabang fiqh yang lainnya yang sudah muncul
atau yang belum muncul, seperti fiqh ekonomi, fiqh perdagangan, fiqh keluarga, fiqh
lingkungan, fiqh perbankan dan lainnya.
Apabila hal ini bisa dikenal, maka disini tidak hanya bicara mengenai hukum, namun
hukum Islam yang menjadi ruhnya pada dasarnya berarti etika atau ruh islam, tidak diskursus
hukum dalam ilmu hukum atau perundang-undangan. Dengan demikian maka metode
induktif harus bisa dipakai dengan leluasa sambil mengakui deduktif dan bahkan landasan
wahyu yang dalam banyak sisi bisa dilihat sebagai metafisika. Ini proyek besar, dimana
mengerjakannya harus menguasai pula ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern.
Dari uraian tersebut diatas, ada dua hal yang bisa dikemukakan yaitu :
1. Cakupan fiqh baik dalam pengertiannya yang bercabang-cabang tadi maupun masih
dalam pengertian hukum Islam, adalah sangat luas, seluas perilaku manusia. Sehingga
kasus-kasus baru yang sedang dan akan bermunculan akan selalu menuntut jawaban dari
fiqh atau hukum islam.
2. Agar selalu tetap eksis, hukum Islam harus mampu memberi jawaban dengan cepat
terhadap tuntutan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Disatu sisi jawaban itu harus cepat
dan tepat, untuk itu diperlukan pemikir yang mumpuni, dari sisi lain spesialisasi cabang-
9
Hasan Husen Assagaf, “Pembagian Fiqih Islam”, Fiqih Nabi, diakses dari https://hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/26/pembagian-fiqih-
islam/, pada tanggal 20 Mei 2017 pukul 1:15
10
H. A. Qodri A.Azizy, op. cit. hlm. 103
6
cabang fiqh perlu dikembangkan sesuai dengan perkembangan sosial budaya dan
tehnologi yang ada11
terbatas pada hukum-hukum yang tegas yang tak dapat digugat lagi yang berasal dari Al-
Qur’an dan Assunnah yang sahih atau yang ditetapkan oleh ijma’.
Dengan demikian syariah bisa diartikan dalam arti yang sangat luas, dan bisa pula
diartikan dalam arti yang sempit. Hal ini penting diperhatikan, karena para ulama tidak selalu
sama mengartikan syariah. Ada yang menganggap syariah tersebut sama dengan fiqih, ada
yang menganggap syariah bahwa syariah khusus untuk hukum yang didasarkan kepada dalil
yang tegas saja. Bahkan ada yang menganggap bahwa syariah adalah keseluruhan ajaran
agama.
Adalah sesuatu yang wajar dalam dunia keilmuan, satu peristilahan bisa diartikan
secara luas atau sempit, tergantung kepada materi pembahasan serta dalam hubungan apa
peristilahan tersebut digunakan.13
13
Ibid., 140
14
Anonymous, “Pembagian Hukum Syariah Islam”, Bina Syifa, diakses dari http://www.binasyifa.com/099/93/25/pembagian-hukum-
syariah-islam.htm, pada tanggal 20 Mei 2017 pukul 2:31
15
“Al-Ikhlas 1-4, Surah Ikhlas (112/Al-Ikhlas)”, The Noble Qur’an, diakses dari http://id.noblequran.org/quran/surah-al-ikhlas/, pada tanggal
20 Mei 2017 pukul 2:41
8
shalat yang benar, puasa yang akan diterima, zakat yang sinkron aturan, dan bentuk-
bentuk ibadah lainnya.
2) Hukum yang Mengatur Interaksi Manusia dengan Dirinya Sendiri
Hukum ini meliputi tentang masalah makanan, minuman, dan pakaian. Hukum syariah
Islam juga mengatur tentang masalah-masalah tersebut. Ketiga hal ini ialah segala
sesuatu yang langsung berkenaan dengan manusia itu sendiri. Apakah makanan yang ia
makan halal atau tidak? Apakah minuman yang ia minum boleh buat diminum atau
tidak? Dan apakah baju yang ia kenakan memang sahih sinkron anggaran Allah? Hal-hal
seperti ini juga diatur dalam Islam.
3) Hukum yang Mengatur Interaksi Manusia dengan Orang Lain
Hukum ini meliputi masalah muamalah (hubungan manusia dengan manusia yang lain,
seperti masalah ekonomi, pendidikan, pergaulan antara pria dan wanita, pemerintahan,
dan sebagainya). Juga masalah uqubat (sanksi atau hukuman).
Islam memang mengatur bagaimana tentang menjalankan ekonomi. Contohnya ialah
diperbolehkannya jual beli dan tak bolehnya riba. Juga masalah pendidikan yang
menyangkut hal-hal apa yang boleh dipelajari dan tak boleh. Serta segala hal dalam
sistem pendidikan. Contohnya ialah penentuan besarnya harta yang diperoleh oleh
seorang penulis buku. Karya bukunya tersebut akan dihadiahi dengan emas seberat buku
tersebut.
Untuk masalah uqubat atau sanksi, juga diatur dalam hukum syariah Islam. Contohnya
ialah sanksi buat pencuri yang harus dipotong tangannya.
Sedangkan hukum syariah Islam berisi tentang segala tuntutan untuk melakukan sesuatu
atau untuk meninggalkan sesuatu.16
Lalu, hukum-hukum syariat (Al-Ahkam al-Syar’iy) itu dibagi lagi menjadi sembilan
sifat (hukum), yaitu: wajib, mandub, mubah, haram, makruh, sahih, bathil, rukhshah dan
‘azimah. Adapun definisi masing-masing sembilan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Wajib, yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan akan diberi pahala dan ketika ditinggalkan
akan disiksa. Seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.
2. Mandub, yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan akan diberi pahala dan apabila
ditinggalkan tidak akan disiksa. Seperti shalat tahiyat masjid.
3. Haram, yaitu sesuatu yang apabila ditinggalkan akan diberi pahala dan apabila
dikerjakan akan disiksa. Seperti riba dan melakukan kerusakan.
16
Anonymous, loc. cit.
9
4. Makruh, yaitu sesuatu yang diberi pahala apabila ditinggalkan, tapi tidak disiksa apabila
dikerjakan. Seperti mendahulukan bagian yang kiri dalam wudhu.
5. Mubah, yaitu sesuatu yang apabila ditinggalkan dan dikerjakan tidak mendapat pahala
dan siksa. Seperti tidur siang hari.
6. Shahih, yaitu sesuatu yang didalamnya mencakup rukun dan syarat.
7. Bathil, yaitu sesuatu yang didalamnya tidak mencakup rukun dan syarat. Rukun adalah
sesuatu yang menyebabakan sahnya sesuatu (pekerjaan) dan ia merupakan bagian (juz)
dari sesuatu (pekerjaan) itu. Seperti membasuh wajah dalam berwudhu dan takbiratul
ihram dalam shalat. Adapun syarat adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu
(pekerjaan), namun ia bukanlah bagian (juz) dari sesuatu (pekerjaan) tersebut.
8. Rukhshah, yaitu perubahan hukum dari berat menjadi ringan, sedangkan sebab hukum
asalnya masih tetap. Seperti diperbolehkannya membatalkan puasa bagi musafir
meskipun ia tidak merasa keberatan untuk melanjutkan puasanya. Dan diperbolehkan
memakan bangkai bagi orang yang terpaksa.
9. ‘Azimah, yaitu hukum seperti kewajiban shalat lima waktu dan haramnya memakan
bangkai bagi yang tidak terpaksa.17
17
Redaksi, “Pembagian Hukum Syariat”, Ponpes Al-Badar Parepare, diakses dari http://al-badar.net/pembagian-hukum-syariat/, pada
tanggal 20 Mei 2017 pukul 15:18
10
Objek pembahasan fiqih juga keluar dari pembahasan tentang akhlaq mulia atau
sebaliknya. Fiqih tidak membicarakan hal-hal yang terkait dengan menjaga diri dari sifat
sombong, riya’, ingin dipuji, membanggakan diri, hasad, dengki, iri hati, atau ujub.
Sedangkan syariah, termasuk di dalamnya semua objek pembahasan dalam ilmu fiqih
itu, plus dengan semua hal di atas, yaitu masalah aqidah, akhlaq dan juga hukum-hukum
fiqih.
Jadi pada hakikatnya, fiqih itu adalah hasil dari sebuah ijtihad, tentunya yang telah
lulus dari penyimpangan kaidah-kaidah dalam berijtihad, atas suatu urusan dan perkara.
Sehingga sangat dimungkin hasil ijithad itu berbeda antara seorang mujtahid dengan
mujtahid lainnya.
Sedangkan syariah lebih sering dipahami sebagai hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT dalam kehidupan ini. Pembicaraan tentang syariah belum
menyentuh wilayah perbedaan pendapat dan pemahaman dari para ahli fiqih.18
18
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA, “Perbedaan antara Syariah dan Fiqih”, Rumah Fiqih Indonesia, diakses dari
http://rumahfiqih.com/x.php?id=1337656513&=perbedaan-antara-syariah-dan-fiqih.htm, pada tanggal 20 Mei 2017 pukul 15:24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara etimologis, fiqih merupakan bentuk mashdar dari tashrifan kata faqiha-yaqafu-
fiqihan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat. Sehingga dapat memahami
tujuan ucapan dan atau tindakan (tertentu). Sedangkan secara terminologis, fiqih lebih
populer didefinisikan sebagai berikut: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.”
Ruang lingkup fiqih terbatas masalah teknis hukum yang bersifat amaliyah atau
praktis saja, seperti hukum-hukum tentang najis, hadats, wudhu’, mandi janabah, tayammum,
istinja’, shalat, zakat, puasa, jual-beli, sewa, gadai, kehalalan makanan dan seterusnya. Fiqih
itu adalah hasil dari sebuah ijtihad, tentunya yang telah lulus dari penyimpangan kaidah-
kaidah dalam berijtihad, atas suatu urusan dan perkara.
Syariah menurut pengertian hukum Islam berarti hukum-hukum dan tata aturan yang
disampaikan Allah agar ditaati hamba-hamba-Nya. Syariah juga diartikan sebagai satu sistem
norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
sesama manusia, serta hubungan manusia dengan alam lainnya. Syariah adalah ketentuan
Allah SWT yang bersifat universal, bukan hanya berlaku buat suatu tempat dan masa yang
terbatas, tetapi menembus ruang dan waktu. Syariah lebih sering dipahami sebagai hukum-
hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam kehidupan ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada. 2008. Fiqih Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga
Anonymous. 2015. “Pengertian Fiqih”. http://www.suduthukum.com/2015/01/pengertian-
fiqih.html
Muhammad, Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Qodri, Ahmad A. Azizy. 2001. Transformasi Fiqh dalam Hukum Nasional: Membedah
Peradilan Agama. Semarang
Husen, Hasan Assagaf. 2012. “Pembagian Fiqih Islam”.
https://hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/26/pembagian-fiqih-islam/
Alim, Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim. PT. Remaja Rosdakarya
Anonymous. Tanpa Tahun. “Pembagian Hukum Syariah Islam”.
http://www.binasyifa.com/099/93/25/pembagian-hukum-syariah-islam.htm
Anonymous. Tanpa Tahun. “Al-Ikhlas 1-4, Surah Ikhlas (112/Al-Ikhlas)”.
http://id.noblequran.org/quran/surah-al-ikhlas/
Redaksi. 2014. “Pembagian Hukum Syariat”. http://al-badar.net/pembagian-hukum-syariat/
Sarwat, Ahmad. 2013. “Perbedaan antara Syariah dan Fiqih”.
http://rumahfiqih.com/x.php?id=1337656513&=perbedaan-antara-syariah-dan-
fiqih.htm
13