Anda di halaman 1dari 47

KAIDAH-KAIDAH FIKIH (QAWA’ID FIQHIYYAH)

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Metode Istinbath Hukum

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A.

Oleh :
Milda Widiawati (11200360000002)
Wahda Aldonna Novita (11200360000082)
Meylin Tri Anggraeni (11200360000098)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA
1444H/2023M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah tentang Kaidah-Kaidah Fikih (Qawa’id Fiqhiyyah).

Adapun makalah tentang Kaidah-Kaidah Fikih (Qawa’id Fiqhiyyah) ini telah penyusun
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penyusun tidak lupa menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusunan bahasa maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka penyusun membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik sehingga penyusun dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya kami mengharapkan semoga makalah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Jakarta, 07 Mei 2023


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaid Fiqhiyah merupakan satu materi ilmu yang memiliki faedah dan peran yang
sangat besar dalam menganalisa hukum dari beragam perumpamaansehingga
mempermudah penetapan putusan hukum bagi seorang mujtahid.1
Dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai peristiwa
yangmenyebabkannya merasa senang, susah, gembira, sedih, aman, tenang, khawatir dan
lain sebagainya. Sebagai agama yang rohmatallil „alamin, Islam memberikan perhatian
besar pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya.
Syariat Islam menjaga sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dan subjek hukum
dalam keseluruhan hukum syar‟i yang diatur dengan kaidah-kaidah baku dandasar-dasar
permanen yang dapat dijadikan sebagai media penyimpulan hukum (istinbath) ketika tidak
ditemukan dalil syar‟i atau ketika asy-syaari‟ (pembuathukum syara‟) berdiam diri
mengenai status perkara tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qawa’id Fiqhiyyah?
2. Bagaimana sejarah Qawa’id Fiqhiyyah?
3. Apa saja Kaidah Fikih Induk yang ada 5?
4. Apa saja Kaidah Fikih Rinci yang ada 40?
5. Kaidah Fikih apa saja yang diperselisihkan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Qawa’id Fiqhiyyah
3. Untuk mengetahui macam-macam Kaidah Fikih Induk
4. Untuk mengetahui macam-macam Kaidah Fikih Rinci
5. Untuk mengetahui macam-macam Kaidah Fikih yang diperselisihkan

1
Abi al-Faid Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makky, Al-Fawaid al-Janiyyah J. 1,(Beirut: Dar el-Fikr, 1997), h. 3.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata
qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata
qaidah ‫ قاعدة‬,(jamaknya qawaid ‫ قواعد‬.(berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu,
baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah,
maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar
agama).2 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang
menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.
Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat dalam
al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :
‫سمٰ ِع ْي ُۗ ُل َربَّنَا تَقَبَّ ْل مِ نَّا ُۗ اِنَّكَ ا َ ْنتَ السَّمِ ْي ُع ا ْلعَ ِل ْي ُم‬ ِ ‫َواِ ْذ يَ ْر َف ُع اِب ْٰر ٖه ُم ا ْلقَ َوا ِع َد مِ نَ ا ْلبَ ْي‬
ْ ِ‫ت َوا‬

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail,
(seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:

‫َق ْد َمك ََر الَّ ِذ ْينَ مِ ْن َق ْب ِل ِه ْم َفاَتَى ه‬


‫ّٰللاُ بُ ْنيَانَ ُه ْم ِمنَ ا ْلقَ َوا ِع ِد‬

Artinya : Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka
Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya,….

Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh )‫ )الفقه‬ditambah dengan ya nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti
pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.3

Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :

َ ‫َو َما كَانَ ا ْل ُمؤْ مِ نُ ْونَ ِليَ ْن ِف ُر ْوا ك َۤا َّف ُۗة َفلَ ْو ََل نَفَ َر مِ ْن ك ُِل ف ِْر َق ٍة ِم ْن ُه ْم‬
ِ ‫ط ۤا ِٕىفَةٌ ِليَتَفَقَّ ُه ْوا فِى‬
‫الدي ِْن َو ِليُ ْنذ ُِر ْوا َق ْو َم ُه ْم اِذَا َر َجعُ ْْٓوا‬
َ‫اِلَ ْي ِه ْم لَعَلَّ ُه ْم يَ ْحذَ ُر ْون‬

2
Mu’jam al-lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wajid, t.tp.Wuzarah al Tarbiyah wa al-Ta’lim, t.th. h. 509.
3
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab , t.tp. Dar al-Ma’arif, t.th. jld. IV, h. 3450.
Artinya : Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama
Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.

Begitu pula dalam surah Hud ayat 91 :

َ َ‫طكَ لَ َر َج ْم ٰنكَ َۖو َما ْٓ اَ ْنت‬


‫علَ ْينَا ِبعَ ِزي ٍْز‬ ُ ‫ض ِعيْفا َُۗولَ ْو ََل َر ْه‬
َ ‫ْب َما نَ ْفقَهُ َكثِيْرا مِ َّما تَقُ ْو ُل َواِنَّا لَنَ ٰرىكَ ِف ْينَا‬ ُ ‫َقالُ ْوا ٰي‬
ُ ‫شعَي‬

Artinya : Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang
engkau katakan itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah
di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang
engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami.”

Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW. antara lain:

ِ ِ ‫َم ۡن يُ ِر ِد هللاُ ِب ِه َخ ۡيرا يُفَ ِق ۡههُ فِي‬


4‫الدين‬

Artinya : “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, akan Allah pahamkan dia
tentang agama.”

Secara terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H),
yaitu : Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya
yang terperinci.5

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah


menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.
Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany (w. 791 H.)
memberikan rumusan, yaitu: Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan
kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut
darinya.6

Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara garis besar para ulama terbagi menjadi
dua kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini berdasarkan atas realita

4
Imam Muslim, Shahih Muslim, Hadis nomor 1037, Bab alNahyi al-Masa’alah, Jilid IV, h. 108
5
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Ushûl Fiqh, Kuwait, Daru al-Qalam, 1402 H. , h. 11.
6
Al-Tahfazany, Al-Talwih “Ala al-Thadhih, Mesir, Mathba’ah Syan al-Hurriyah, jilid I, jt.th. h. 20
bahwa ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai suatu yang
bersifat universal, dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat
mayoritas (aghlabiyyah) saja.

Perbedaan ini berangkat dari perbedaan persepsi yang berpendapat bahwa qawaid
fiqhiyyah bersifat universal berpijak kepada realita bahwa pengecualian yang terdapat
dalam qawaid fiqhiyyah relatif sedikit, disamping itu mereka berpegang kepada qaidah-
qaidah bahwa pengecualian tidak mempunyai hukum, sehingga tidak mengurangi sifat
universal qawaid fiqhiyyah.

Ulama yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat mayoritas karena secara
realitas bahwa seluruh qawaid fiqhiyyah mempunyai pengecualian, sehingga penyebutan
universal terhadap qawaid fiqhiyyah kurang tepat.7 Dengan demikian, para ulama sepakat
qawaid fiqhiyyah mengandung pengecualian, namun mereka tidak satu pendapat dalam
memandang pengecualian tersebut, apakah berpengaruh terhadap keuniversalan qawaid
fiqhiyyah ataukah tidak?

Begitu pula para ulama menyebutkan istilah yang berbeda terhadap qawaid
fiqhiyyah. Ada yang menyebut dengan qadhiyah (proposisi), ada yang menyebut dengan
al-hukmu (Hukum), dan ada yang menyebut dengan alAshl (pokok). Para ulama yang
menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan qadhiyyah memandang bahwa qawaid fiqhiyyah
adalah aturan-aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf. Karena itu qawaid
fiqhiyyah merupakan aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf.
Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan rumusan hukum beralasan bahwa;
qawaid fiqhiyyah merupakan aturan yang mengatur tentang hukum-hukum syara’ sehingga
tepat sekali apabila didefinisikan sebagai hukum, karena memang mengandung hukum-
hukum syara’. Disamping itu, mayoritas hukum adalah qadhiyyah hukum merupakan
bagian penting dari sebuah qadhiyyah, karena menjadi parameter yang sangat penting dan
kebenaran sebuah qadhiyyah. Sedangkan para ulama yang mendefiniskan qawaid
fiqhiyyah dengan sebutan al-ashl, termasuk ulama kontemporer, terlebih dahulu
mengkompromikan definisi-definisi yang telah ada, kemudian mereka melihat bahwa pada

7
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta, Media Pratama, 2008, h. 12-13.
dasarnya qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan pokok tentang perbuatan mukallaf yang
dapat menampung hukum-hukum syara’.8

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa pendapat para ulama yang
memandang qawaid fiqhiyyah disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl itulah pendapat
yang tepat, karena dua istilah itu yang menjadi ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.

B. Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah


Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode sejarah
qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.9
1. Periode Kelahiran
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan
berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga
hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga
periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih,
zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih kurang 250
tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam)
merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW.
menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat
menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut,
maka Hadis Rasulullah Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga
sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga
dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-
Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-
qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki
kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang
ringkas ,namun padat makna dan berdaya cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW.
bersabda: ‫( الخرج بالضمان‬keuntungan adalah imbalan resiko); ‫( َل ضررو َل ضرار‬Tidak ada
mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan); dan ‫البينة على المدعى نايمين على‬

8
Ibid. h.13-14.
9
Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998, h. 89.
‫( من انكر‬bukti adalah kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban
orang yang telah membantahnya).10
Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum
karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi, sehingga dalam satu segi menyerupai
qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi
banyak bab fiqh.
Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab
dalam kitab shahih Bukhari mengatakan : ‫( مقاطعة الحقوق عند الشروط‬Penerimaan hak
berdasarkan kepada syarat-syarat).
Ulama tabiin antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam
kitabnya al-Umm diantaranya : ‫( اَلعظم إذا سقط ما هو أصغر منه‬apabila yang besar gugur,
yang kecilpun gugur). alQadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah: ‫من شرط‬
‫( على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه‬barang siapa membuat janji secara suka rela tanpa
paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut syaratsyarat yang
disanggupi seorang dalam bertransaksi.
Meskipun beberapa orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah,
Pada umumnya, para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis
penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama yang
membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang telah
dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj.11 Kitab tersebut telah dikarang oleh
Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika pemerintahan khalifah Harun al-
Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian
telah digunakan dan disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah
tersebut. Qaidah yang dimaksudkan adalah seperti berikut: ‫ليس لألمان يخرج شيئا من يد احد‬
‫( اَل بحق ثابت معروف‬Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari
seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui oleh mereka).

10
Ibid, h. 90-94
11
Al-Burnu, Muhammad Sidqi b. Ahmad, Abu al-Harith alGhazzi (2003), op.cit., h. 51; Ahmad b. Muhammad al-
Zarqa’
Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin alHasan al-Syaibani (w. 189 H) juga
melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak
merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna
bagi upaya pengqaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan
bisa berfungsi sebagai qaidah hukum.
Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa:
Sesungguhnya sahabatsahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai
keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti
mereka dan mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.
2. Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai
munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat
sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran
fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab
beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada
periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah
tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.12
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri,
ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah
dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan
dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.13
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan
qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang
berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan
keempat Hijrah adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada
waktu itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah.14 Usaha ini kemudian
diteruskan oleh Abu al-Hasan alKarakhi (w. 340 H.) dengan menghimpunkan sejumlah

12
Abdul Mun’im Saleh, Op.cit. h. 186.
13
Ibid. h. 191.
14
Al-Burnu, Muhammad Sidqi b. Ahmad, Abu al-Harith alGhazzi (2003), op.cit., h. 69; Ahmad b. Muhammad al-
Zarqa’ (2001), op. cit., h. 37.
15
39 qaidah. Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi
(W. 430H.), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun kelima Hijrah. Kitab ini
memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan pembahasan terperinci
berkenaan qawaid tersebut.
Kegiatan tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-
Samarqandi (w. 540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah,
penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki
(w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka
berjudul al-Qawaid fi Furu’ al- Syafi’iyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-
Anam.16 Menjelang abad kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu
ini yang telah dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah
wa al- Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh al-
Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid al-Madzhab
oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa alNazhair oleh Taj al-Din al-Subki,
al-Asybah wa alNazhair oleh Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H.), alManthur fi al-
Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-
Hanbali (w. 795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh `Ali bin Usman al-Ghazzi (w.
799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam proses penulisan dan pembukuan
ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.17
Diabad kesembilan Hijrah, yang membukunan ilmu ini antara lain: Muhammad bin
Muhammad alZubayri (w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-
Qawaid, Ibn al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah,
Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid.
Diabad kesepuluh, yang merupakan puncak usaha pembukuan ilmu ini di mana al-
Imam Jalal al-Din alSuyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam bidang
ini yang berjudul al-Asybah wa alNazhair.18 Kitab tersebut telah menggabungkan
semua qaidah yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan al-
Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun sebuah

15
Ibid. h. 113.
16
Al-Burnu, Muhammad Sidqi bin Ahmad, Abu al-Harith alGhazzi, op.cit., h. 72.
17
Ibid., h. 72
18
Ibid., h. 75.
kitab dalam bidang ini yang turut diberi nama al-Asybah wa alNazhair. Kitab ini pula
telah memuatkan 25 qaidah fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada dua bagian yaitu,
bagian pertama mengandung qaidah asas yang berjumlah enam qaidah, sedangkan
bagian kedua mengandung sembilan belas qaidah yang terperinci.
Diskripsi sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha
Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah.
Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah
mengarang kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian diikuti pula
dengan Syihab al-Din Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.) (dari kalangan
fuqaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah 548 qaidah fiqh di
dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-tiap qaidah
yang dikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan contoh-contoh masalah
cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas perbedaan di antara qaidah yang
terdapat di dalam kitab karangannya itu.
Dari kelompok fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam
menyusun kitab qawaid fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari
kalangan fukaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid
al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kelapan Hijrah Taqiy al-Din al-
Subki telah menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah waal-Nazhair yang
kemudian telah disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi
(w. 911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah wa al-
Nazhair.19
Dari kelompok fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang
terlibat dalam kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177
H) yang telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu,
terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang telah
menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd al-Rahman Ibn Rajab (w.
795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh.20

19
Ibid., h.75.
20
Ibid., h. 73.
Periode pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan tampilnya al-Majllah al-
Ahkam al-‘Adhiyyah pada abad ke 11 H.21
3. Periode Penyempurnaan
Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah alAhkam al-Adhiyyah, dalam versi
yang telah ‫ ال يجوز الحد أن يتصرف فى‬:qaidah Misalnya. disempurnakan ‫)باإلذنه الغير ملك‬
sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain
tanpa izin pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain
itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan.
Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak
milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.22
Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam
mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah
tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang
menjadi landasan dari pasal- pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah
itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi
rinciannya.
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid
fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah
mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn
Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul
Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.23
Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama
Muhammad Said alKhadimi (w. 1154H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang
diberi nama Majma‘ al-Haqaiq. Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di
dalamnya mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad
dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh
Mustafa Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.24

21
Abdul Mun’im Saleh .Op.cit, h, 192
22
Ibid., h 193
23
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, op. cit., h. 40.
24
Ibid.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas
menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga Hijrah,
telah begitu serius mengembangkan pembahasan qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah
berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut
yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah.25 Sejumlah permasalahan yang
mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di
bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di
bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah qaidah
fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat
umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk terus
mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara
keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah
tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu
yang tidak begitu lama.
C. Kaidah Induk Fiqih
Kaidah-kaidah fiqh induk, secara kuantitatif atau jumlahnya masih diperselisihkan
oleh para ulama. Menurut as-Suyuti berpendapat bahwa al-Qadhi Abu Sa'id
mengembalikan semua persoalan mazhab Syafi'i kepada empat kaidah hukum induk.
Syaikh Izzudin Ibn Abd al-Salam (Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam), mengatakan
bahwa semua masalah fiqh dapat dikembalikan kepada I'tibar al-mashalih sebab dar'u al-
mafasid termasuk bagian didalamnya. Akan tetapi para ulama mayoritan berpendapat
kaidah fiqih induk terdapat 5 diantaranya:
1. Kaidah induk pertama

ِ َ‫األ ُ ُم ْو ُر بِ َمق‬
‫اص ِد َها‬
Artinya: “Segala perkara tergantung dengan niatnya”26
Kaidah ini diambil dari sejumlah nash-nash Al-Qur'an dan hadits. Umpamanya firman
Allah SWT:
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia,

25
Ibid, h. 39.
26
Jalaluddin as-Suyuti, “Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir” (Beirut: Dar al-Fikr, 1958), 6.
niscaya kami berikan kepadanya pahal dunia, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi
balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(Qs. Ali-Imran: 145)
Firman Allah Swt:
Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur‟an) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya.” (Qs. az-Zumar: 2)
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari kaidah di atas:
Pertama, tujuan dan fungsi niat itu adalah untuk membedakan antara perbuatan ibadah
dari perbuatan adat dan untuk penentuan (at-ta'yin) spesifikasi atau kekhususan antara
mandi dan berwudhu untuk shalat dengan mandi dan mencuci anggota badan untuk
kebersihan biasa. Misal mandi biasa dengan mandi hadas yang enggan niat pasti berbeda.
Kedua, persoalan fiqh yang dapat dirujuk kepada kaidah di atas adalah hukum Islam
bidang ibadah dan bidang muamalah dalam arti luas. Misal dalam ibadah: bersuci,
berwudhu, mandi (baik wajib maupun sunnah), tayammum, sholat, zakat, puasa, haji,
umrah, dan lain-lain). Dalam Muamalah: al-uqud (transaksi-transaksi), jinayat, qadha,
(peradilan) dan segala macam amalan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).
Semua itu dapat dikembalikan kepada kaidah di atas.
Ketiga, segala amal perbuatan manusia tergantung pada niatnya.
2. Kaidah Induk Kedua
‫اليَ ِق ْينُ ََل يُ َزا ُل ِبالش َِّك‬
Artinya: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”27
Yang dimaksud yakin dalam kaidah diatas: Sesuatu yang pasti, berdasarkan pemikiran
mendalam atau berdasarkan dalil. Sedangkan yang dimaksud ragu: Sesuatu yang
keadaannya belum pasti (mutaraddid), antara kemungkinan adanya dan tidak adanya, sulit
dipastikan mana yang lebih kuat dari salah satu kedua kemungkinan tersebut.
Kaidah ini terdapat hadis sebagai berikut:
ْ ‫ ََل َي ْخ ُر َجنَّ ِم ْن ال َم‬،‫ئ أَ ْم ََل‬
ْ ‫س ِج ِد َحتَّى َي‬
‫س َم َع‬ َ ‫علَ ْي ِه أَ ْخ َر‬
َ ُ‫ج ِم ْنه‬
ٌ ‫ش ْي‬ ْ َ ‫شيْئا فَأ‬
َ ‫ش َك َل‬ َ ‫اِذَا َو َج َد أَ َح ُد ُك ْم ِف ْي َب ْط ِن ِه‬
‫ص ْوتا أَ ْو َي ِج َد ِريْحا‬ َ

27
as-Suyuti. 37
Artinya: “Apabila salah seorang kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu timbul
persoalan apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka janganlah keluar dari masjid
hingga ia mendenggar suara atau mendapatkan baunya” (Hadits Riwayat Muslim).
Hadits ini menjelaskan tentang seorang yang semula dalam keadaan berwudu lalu ia ragu
apakah telah mengeluarkan angin atau belum, maka dalam hal ini ia harus dianggap masih
keadaan berwudu. Sebab, keadaan berwudu inilah yang sejak semula sudah menjadi
keyakinan (al-yaqin) sedangkan keraguan (asy-syakk) baru muncul kemudian. Keyakinan
yang ada itu tidak dapat dihapus dengan keraguan.
Kemudian kaidah ini didukung dengan hadis berikut ini:
ْ ‫علَى َما ا‬
َ‫ستَ ْيقَن‬ ِ ‫صلَّى ث ُ ََلثَا أَ ْم أَ ْر َبعا فَ ْل َي ْط َر‬
َ ‫ح الشَّكَّ َو ْل َي ْب ِن‬ َ ‫ص ََل تِ ِه فَلَ ْم َيد ِْر ُك ْم‬
َ ‫اِذا شَكَّ اَ َح ُد ُك ْم فِي‬
Artinya: “Apabila salah seoarang di antara kamu ragu dalam shalatnya, sehingga ia tidak
mengetahui sudah berapa raka‟at shalat yang telah lakukan: tiga atau empat, maka
hendaklah dilempar (dihilangkan) yang meragukan, dan dimantapkan apa yang sudah
yakin”.
Hadits ini menegaskan bahwa dalam hal jumlah hitungan yang meragukan, maka
yang harus dipegangi adalah jumlah terkecil. Sedangkan jumlah terbesar haruslah
dihilangkan sebab hitungan terbesar masih meragukan, sedangkan yang telah yakin adalah
hitungan terkecil.
3. Kaidah Induk Ketiga
‫سي َْر‬ ُ ‫شقَّةَ تَجْ ِل‬
ِ ‫ب الت َّ ْي‬ َ ‫ال َم‬
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.28
Kaidah ini diambil dari ayat Al-Qur‟an dan hadits Rasul Allah Saw. Misalnya firman
Allah Swt. Berikut ini :
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya ) di
bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia terbuka ), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang

28
as-Suyuti. 55
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangan-bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. al-
Baqarah:185)
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahaknnya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelu kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri ma‟aflah Kami;ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkau penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Qs. al-
Baqarah:286)
Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya,
dia Telah memilih kamu dalam agama (Razali Othman 2005) suatu kesempitan. (Ikutilah
) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, supay Rasul itu menjadi saksi
atas segenap manusia, mka berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu,
Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (Qs. al-Hajj:78)
Kemudian kaidah tersebut di atas, juga didasarkan pada hadits Rasulullah Saw. berikut
ini:
َ ‫بُ ِع ْثتُ ِبال َح ِن ْي ِف َّي ِة ال‬
‫س ْم َح ِة‬
Artinya: "Aku (Rasul Allah Saw) dibangkitkan dengan membawa agama yang benar dan
mudah.
Umpamanya seseorang sulit menunaikan shalat dengan cara berdiri, maka ia dibolehkan
duduk, bila masih sulit dibolehkan berbaring, bila masih sulit maka hanya dibolehkan
dengan mengedipkan mata.
Alasan-alasan Kemudahan
1. Bepergian (al-safar).
2. Sakit (al-maradh).
3. Terpaksa (al-ikrah).
4. Lupa (al-nisyan),
5. Kebodohan (al-jahalah).
6. Tidak mampu.
7. Kesulitan umum (umum al-balwa).

Macam-Macam Keringanan Ada tujuh macam keringanan yang diatur dalam hukum
Islam, yaitu:

1. Keringanan yang bentuknya penguguran (takhfif isqath).


2. Keringanan yang bentuknya pengurangan (takhfif tanqish).
3. Keringanan yang bentuknya penggantian (takhfif ibdal).
4. Keringanan yang bentuknya mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya
(takhfif-taqdim).
5. Keringanan yang bentuknya mengakhirkan sesuatu yang telah datang waktunya
(takhfif-ta`khir).
6. Keringanan berupa pemberian kemurahan (takhfif tarkhish).
7. Keringanan berupa perubahan (takhfif-takhyir).

Macam-Macam Hukum Rukhshah (Keringanan) Dari segi hukumnya, rukhshah atau


keringanan itu dapat dibagi kepada lima macam, yaitu:

1. Rukhshah yang hukumnya wajib dikerjakan.


2. Rukhshah yang hukumnya sunnah untuk dikerjakan.
3. Rukhshah yang hukumnya mubah untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan.
4. Rukhshah yang hukumnya lebih utama untuk ditinggalkan.
5. Rukhshah yang makruh hukumnya untuk dikerjakan.
4. Kaidah Induk Keempat

‫الض ََّر ُر يُ َزا ُل‬

Artinya: “Kemudaratan itu hendaklah dihilangkan.” 29

29
as-Suyuti. 57
Kaidah ini diambil dari ayat al- Qu’an dan hadits Rasulullah Saw. Umpamanya firman
Allah Swt. Berikut ini :

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) sealain Allah. Tetapi barang
siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S al Baqarah : 173 )

Kemudian Rasulullah Saw, mengatakan:

َ ‫َل ض ََر َر َو ََل ِض َر‬


‫ار‬
Artinya: “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan"

Kaidah ini sangat berperan dalam pembinaan hukum Islam, terutama untuk
menghindari berbagai kemudharatan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
hukum Islam membolehkan pengembalian barang yang telah dibeli karena cacat,
mengajarkan khiyar dalam jual beli dan lain-lain.

5. Kaidah Induk Kelima

ٌ‫العَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬


Artinya: “Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.”30

Kaidah ini diambil dari al-Qur‟an dan hadits Rasulullah saw. Umpamanya dari ayat
Al-Qur‟an yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya: “Hai orang –orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembalian sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidakArtinya: “Hai orang –orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembalian sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila

30
as-Suyuti. 63
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaulah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.(Qs. al-
Nisa:19)

Artinya: “Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh ”. (Qs. al-A'raf : 199 )

Kaidah ini diambil juga dari hadits Rasulullah SAW. yang berbunyi:

َ ‫سنا فَ ُه َو ِع ْن َد هللاِ َح‬


ٌ‫سن‬ َ ‫س ِل ُم ْونَ َح‬
ْ ‫َما َرآهُ ال ُم‬
Artinya: “Apa yang dipandang baik kaum muslimin maka baik juga di sisi Allah”.

Atas dasar ini, maka adat yang baik (Al-urf al-shahih ), yakni yang tidak bertentangan
dengan syariat Islam dapat dijadikan sebagai aturan hukum.”

D. Kaidah-kaidah Fiqih Rinci (Cabang) yang disepakati oleh para Ulama


• Kaidah Pertama

‫اإلجتهاد َل يُنقض باإلجتهاد‬


Artinya: “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.”31
Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa pada perinsipnya suatu hasil ijtihad yang
dilakukan pada masa yang lalu tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad yang dilakukan
kemudian, baik oleh seseorang mujtahid itu sendiri maupun mujtahid yang lain.
Kaidah dirumuskan berdasarkan pendapat-pendapat para sahabat ini, dapat
dicontohkan pada masalah pembagian harta warisan yang ahli warisnya terdiri dari suami,
ibu, dan dua orang saudara seibu dan saudara sekandung. Pada mulanya ‘Umar,
berdasarkan ijtihadnya, menetapkan bahwa saudara kandung yang ashabah itu tidak
mendapat bagian karena tidak ada sisa lagi. Pada saat yang lain, dalam kasus yang sama,
‘Umar menetapkan bahwa saudara kandung tersebut sama dengan dua orang saudara seibu
dalam pembagian warisan yakni (1/3) harta peninggalan.32

31
Jalaluddin as-Suyuti, “Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir” (Beirut: Dar al-Fikr, 1958), 71
32
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 101
Keputusan berdasarkan hasil ijtihad terakhir ini, tidak membatalkan keputusan
berdasarkan hasil ijtihadnya terdahulu. Ketika ditanyakan mengenai perbedaan keputusan
ini, dia menjawab:

َ ‫ض ْينَا َو َهذَا‬
‫علَى َما نَ ْق ِضي‬ َ َ‫علَى َماق‬
َ َ‫ذَا ِلك‬
Artinya: “Itu adalah keputusan kami pada masa lalu,sedangkan ini adalah
keputusan kami pada masa sekaraang”.33
Tegasnya, hukum hasil ijtihad terdahulu tidak dapat dibatalkan oleh hukum hasil
ijtihad kemudian. Sebab, hasil ijtihad kedua tidaklah lebih kuat nilai dan bobotnya dari
hasil ijtihad pertama. Di samping itu, apabila suatu hukum hasil ijtihad dapat dibatalkan
oleh hasil ijtihad yang lain, maka akan akan terjadi ketidakpastian hukum,sehingga akan
berakibat adanya kesulitan dan kekacauan yang besar.34
• Kaidah Kedua
َ ‫ت َو ْاألَ ْق‬
‫ط ِار‬ ِ ‫ف ا ْل ِب ِينَا‬ ْ ‫اإلجْ تِ َها ِديَّ ِة ِب‬
ِ ‫اختِ ََل‬ ِ ْ ‫كام‬ ُ ِ‫إ ْخت‬
ِ ْ‫َلف ْاألح‬
Artinya: “Perbedaan hukum-hukum ijtihadiyah disebabkan perbedaan lingkungan
dan wilayah.”
Kaidah ini sesungguhnya berasal dari ungkapan 'Umar ibn al-Khaththab yang,
karena telah memenuhi kriteria, dapat dipandang sebagai kaidah fiqih. Produk hukum dari
ijtihad, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif, tidaklah dimaksudkan untuk
diberlakukan untuk setiap tempat dan sepanjang masa, melainkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, sesuai kondisi lingkungan dan wilayah mereka yang tentunya
dipengaruhi oleh tradisi yang berbeda.35
• Kaidah Ketiga
‫إذا اجتمع الحالل و الحزام غلب الحزام‬
Artinya: “Apabila berkumpul halal dan haram, maka dimenangkan yang haram.”
Yakni dipegangi hukum yang haram.36
Untuk memahami kaidah ini diilustrasikan terlebih dahulu sebagai berikut: Seorang
pemburu menembak seekor binatang buruan (umpamanya rusa), tembakannya kena tetapi

33
(as-suyuthi, 71-72)
34
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 103
35
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 103
36
(as-Suyuthi. 74)
binatang rusa itu terus belari ke suatu tempat yang tinggi. Dari tempat yang tinggi itu,
binatang tersebut tergelincir dan jatuh hingga mati. Dalam kondisi semacam ini, pemburu
tersebut diharamkan untuk makan daging binatang tersebut. Karena kematian binatang itu
ada kemungkinan karena luka tembakan (sehingga halal dimakan) dan ada kemungkinan
kematiannya itu karena terjatuh (sehingga haram dimakan). Manakala berkumpul
kemungkinan halal dan haram ini, maka menurut kaidah di atas, seorang pemburu itu tidak
dibolehkan makan binatang rusa tersebut.37
• Kaidah Keempat
‫وب‬
ٌ ُ‫ح َو في غيرها َمحْ ب‬ ِ ‫ْثار ِبالقُ ِر‬
َ ‫ب َمك ُْرو‬ ُ ‫ا ْ ِإلي‬
Artinya: “Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh dan dalam
urusan selainnya (urusan dunia) adalah disenangi.”38
Dari kaidah ini dipahami bahwa mengutamakan orang lain dalam pengambilan shaf
(barisan) terdepan untuk shalat berjama‟ah adalah makruh. Tetapi mengutamakan orang
lain dalam hal menerima infaq adalah disenangi atau dipuji agama.39
• Kaidah Kelima
‫التَّابِع تابع‬
Artinya: “Pengikut itu adalah pihak yang mengikut”40
Masuk dalam kaidah ini adalah:
‫التابع َل يُ ْف َر ُد ِبا ْل ُحكم‬
Artinya: “Pengikut hukumnya tidak tersendiri”41
Dengan ungkapan lain, hukum yang ada pada yang diikuti (matbu') diberlakukan
juga pada yang mengikut (tabi'). Dari kaidah di atas, maka dapat dicontohkan sebagai
berikut:
a. Seandainya ada ulat dalam buah-buahan, seperti dalam biji petai, jengkol, alpukat, apel
dan sayur-sayuran,maka hukumnya boleh dimakan selama tidak dipisahkan.

37
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 104
38
(as-Suyuthi. 80)
39
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 105
40
(as-Suyuthi. 81)
41
(as-Suyuthi. 81)
b. Seandainya ada transaksi jual-beli tanah, maka tanaman apapun yang ada di dalamnya
termasuk objek jual-beli, kecuali ada transaksi tersendiri. 42
• Kaidah Keenam
‫ف اإلمام على الرعية منوط بالمصلحة‬ َ َ‫ت‬
ُ ‫ص ُّر‬
Artinya: “Tindakan pemimpin (Imam) terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan
kemaslahatan.”43
Kaidah ini diambil dari makna ayat suci Al-Qur'an dan hadist Rasulullah Saw.
Umpamanya firman Allah Swt. berikut ini:
ِ َّ‫َو ِإ ِذ ا ْبتَلَى ِإب َْرا ِهي َم َربُّهُ ِب َك ِل َم ٍة فَأَتَ َّم ُهنَّ قَا َل ِإنِي َجا ِعلُكَ ِللن‬
‫اس ِإ َماما قَا َل َو ِمن ذُ ِريَّتى قَا َل ََل‬
َّ ‫ع ْهدِي ال‬
َ‫ظ ِل ِمين‬ َ ‫يَنَا ُل‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahi menunaikannya. Allah berfirman:“ Sesungguhnya aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata : “(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang
zalim.”(Q. 2 al-Baqarah:124)
Adapun hadits Rasul Allah Saw, antara lain:

َ ‫كلَك ْم َراعٍ َوكلُّك ْم َمسْئ ْو ٍل‬


‫ع ْن َر ِعيَّ ِت ِه‬
Artinya:” kamu sekalian adalah pemimpin dan semua kamu akan diminta
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.”
Kaidah ini merupakan acuan para pemimpin atau pemerintah dalam mengambil
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan rakyat. Sebagai pemegang amanat, para
pemempin diharapkan mempertimbangkan kemashlahatan rakyatnya dalam menentukan
kebijakan.
Atas dasar kaidah ini, maka:
a. Seorang wali tidak dibenarkan mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki
tanpa mempertimbangkan unsur kafa’ah (kesepadanan). Sebab, bila tidak sepadan
antara laki-laki dan perempuan itu akan mendatangkan kemafsadatan. Padahal tindakan
si wali haruslah untuk kemashlahatan kedua belah pihak, suami dan istri.

42
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 105
43
(as-Suyuthi. 83)
b. Seorang amil zakat tidak dibolehkan memberikan bagian yang lebih banyak kepada
beberapa orang tertentu, padahal yang lain juga mempunyai kebutuhan yang sama.
Sebab, tindakan semacam itu tidak akan mendatangkan kemashlahatan bagi mereka.44
• Kaidah Ketujuh
‫ت‬
ِ ‫شبُ َها‬ ُ ُ ‫سق‬
ُّ ‫ط بِال‬ ْ َ‫ا ْل ُحد ُْو ُد ت‬
Artinya: “Hukuman Had gugur karena subhat (samar-samar).”45
Kaidah ini mengandung makna bahwa manakala sebelum didapatkan bukti yang
menunjukkan perbuatan yang dilakukan seseorang itu adalah melanggar aturan maka
seseorang itu tidak dapat dijatuhi hukuman had (yang telah ditentukan syara’).
Sebelum memberikan hukuman, seorang hakim harus benar-benar yakin bahwa
yang melakukan kejahatan itu benar-benar melakukan pelanggaran nash atau undang-
undang yang jelas. Oleh karena itu, manakala masih ada keraguan (syubhat), maka
hukuman had belum dapat diterapkan terhadap pelaku.
Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan syubhat adalah suatu perbuatan
yang menurut faktanya terjadinya tetapi sebenarnya tidak terjadi. Umpamanya, seseorang
mencuri harta yang dimiliki bersama orang lain. Secara faktual seseorang itu dapat disebut
pencuri karena ia benar-benar melakukan tindakan pencurian, namun sebenarnya ia
bukanlah pencuri sungguhan yang dapat diberi sanksi hukum, karena masih ada syubhat
(kesamaran). Unsur syubhat-nya terletak pada batasan mencuri, yaitu mengambil milik
orang lain dengan cara tersembunyi dalam simpanan yang wajar. Dalam konteks ini,
batasan mencuri tersebut tidak terpenuhi, mengingat ia juga pemilik barang yang dicuri
tersebut.46
• Kaidah Kedelapan
ُ‫ا ْل َح ِري ُم لَهُ ُح ْك ُم َماه َُو َح ِريم لَه‬
Artinya: “Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi.”47
Haram dimaksudkan dalam konteks ini adalah sesuatu yang mengelilingi sesuatu
yang haram. Umpamanya, dua belah paha yang mengelilingi kemaluan. Haram dari sesuatu

44
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 111
45
(as-Suyuthi. 84)
46
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 116
47
(as-Suyuthi. 86)
perbuatan wajib adalah sesuatu yang tidak akan sempurna yang wajib itu, kecuali kalau
ada dia. Atas dasar ini, maka wajib menutup bagian pusat dan lutut, ketika menutup aurat.
Demikian juga haram istimta’ di antara pusat dan lutut ketika isteri dalam keadaan haidh,
karena terlarangnya istimta' pada kemaluan.48
• Kaidah Kesembilan
َ ‫صو ُد ُه َما َد َخ َل أَ َح ُد ُه َما فِي ْاألَ ْخ ِر‬
‫غا ِلبا‬ ُ ‫ف َم ْق‬
ُ ‫اح ٍد َولَ ْم يَ ْختَ ِل‬ ِ ‫إذَا اجْ تَ َم َع أَ ْم َر‬
ِ ‫ان ِم ْن ِج ْن ِس َو‬
Artinya: “Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari
keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain.”49
Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa apabila ada dua perkara yang masuk kepada
yang lain, maka cukup dikerjakan salah satu yang lebih besar dari dua perkara tersebut,
karena sebenarnya yang lebih besar itu telah mencakup yang lebih kecil. Umpamanya,
manakala seseorang berhadats kecil dan hadats besar (junub), maka cukup bersuci dengan
mandi saja. Demikian juga, seseorang masuk masjid kemudian shalat fardhu, dalam hal ini
sudah tercakup shalat tahiyyatul masjid.50
• Kaidah Kesepuluh
‫إِ ْع َما ُل ا ْلك َََل ِم أَ ْولَى ِم ْن إِ ْه َما ِل ِه‬
Artinya: “Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama dari pada mengabaikannya.”51
Manakala suatu perkataan itu jelas maksudnya, maka haruslah diamalkan sesuai
dengan yang dimaksud. Tetapi, manakala suatu perkataan itu belum jelas maksudnya,
maka mengamalkan lebih baik dari pada meniadakannya. Umpamanya, ada seseorang yang
mewasiatkan hartanya ditujukan kepada anak-anaknya, padahal ia tidak mempunyai anak
lagi, yang ada hanya cucu-cucunya. Maka dalam hal ini harta wasiat tersebut wajib
diberikan kepada cucu-cucunya.52
• Kaidah Kesebelas
‫ان‬
ِ ‫ض َم‬ ُ ‫ا ْل َخ َرا‬
َّ ‫ج ِبال‬
Artinya: “Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian.”53

48
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 118
49
(as-Suyuthi. 86)
50
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 119
51
(as-Suyuthi. 89)
52
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 120
53
(as-Suyuthi. 89)
Dalam kaitan ini, Abu 'Ubaid mengatakan : yang dimaksudkan dengan al-kharaj
dalam hadits ini adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli seseorang, yang kemudian orang
tersebut menyuruh menyuruh supaya hamba itu bekerja untuknya dalam waktu tertentu.
Lantas diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual, kemudian ia kembalikan
kepada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang hargaanya. Pembeli itu
sesungguhnya memang telah memanfaatkan hamba itu, dengan memperkerjakannya.
Pemanfaatan yang dilakukan pembeli tersebut dapat dibenarkan, karena ia telah
memberikan nafkah kepadanya selama berada di tangannya.54
• Kaidah Kedua belas
ُّ ‫ستَ َح‬
‫ب‬ ِ ‫ج ِمنَ ا ْل ِخ ََل‬
ْ ‫ف ُم‬ ُ ‫ا ْل ُخ ُرو‬
Artinya: “Keluar dari perselisihan itu disukai.”55
Kaidah ini dirumuskan oleh para ahli ushul al-fiqh dari dua dalil sebagai berikut:
Pertama, firman Allah dalam surat al-Hujarat ayat 12, yang artinya: Wahai orang-orang
yang beriman, jauhilah banyak berbuat prasangka, (karena) sebagian dari berprasangka itu
adalah dosa.” Kedua, hadits Nabi yang artinya: ......barangsiapa dapat memelihara dari
syubhat, niscaya bersih agama dan kehormatannya....”
Kandungan dua dalil di atas adalah bahwa kita dilarang berprasangka buruk, dan
diperintahkan menghindari hal-hal yang syubhat, sebab dari prasangka buruk dan hal yang
syubhat itulah muncul perselisihan. Dari norma-norma itulah maka dirumuskan kaidah
fiqih di atas, sehingga lari atau keluar dari perselisihan di pandang sebagai hal yang disukai
agama.

Atas dasar kaidah di atas, maka:

- Orang musafir sejauh tiga marhalah (lebih-kurang 84 km) disukai (lebih baik) meng-
qashar shalat sebagai jalan keluar dari perselisihan para ulama dalam masalah ini. Abu
Hanifah berpendapat wajib qashar, imam yang lain berpendapat tidak wajib qashar.

54
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 121
55
(as-Suyuthi. 94)
Mengqashar shalat ketika musafir dengan menganggap bukan suatu kewajiban, tapi
sebagai perbuatan yang disukai, berarti sudah memilih jalan keluar dari perselisihan.56
• Kaidah Ketiga belas
َ ِ‫شيْئا قَ ْب َل أَ َوانِ ِه ع ُْوق‬
‫ب بِ ِح ْر َمانِ ِه‬ َ ‫ستَ ْع َج َل‬
ْ ‫َم ِن ا‬
Artinya: “Barang siapa yang mepercepat sesuatu sebelum masanya niscaya diberi sanksi
haramnya sesuatu itu.”57
Kaidah ini merupakan aturan preventif untuk mencegah suatu tindakan kejahatan
dengan memberikan sanksi terhadap pelakunya berupa pencabutan hak. Atas dasar ini,
menurut as-Suyuthi, (t.t:103-104) maka:
- Khamar apabila telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya hukum meminumnya
adalah halal. Tetapi apabila perubahannya dipercepat oleh proses kimia, maka hukum
meminumnya haram. Hal ini kalau kita mengikuti pendapat ulama yang menetapkan
kenajisan wujud minuman keras itu.
- Seorang ahli waris pembunuh atau mengusahakan terbunuhnya pewaris (muwarits)
maka hak warisnya dicabut. Dengan demikian seseorang yang tergesa-gesa berbuka
puasa sebelum waktunya maka puasanya batal dan tidak berhak mendapat ganjaran
puasa.58
• Kaidah Keempat belas
‫الر ْف ِع‬
َّ َ‫ال َّد ْف ُع أَ ْق َوى ِمن‬
Artinya: “Menolak itu lebih kuat dari pada mengankat.”59
Artinya menolak agar tidak terjadi lebih kuat dari pada mengembalikan sebelum
terjadi. Atau menjaga diri agar tidak sakit lebih utama dari pada mengobati setelah sakit
(Prevention is better than cure).
Dari kaidah ini diketahui bahwa: Air musta'mal apabila sampai dua qullah,
kembalinya menjadi suci diperselisihkan, tetapi kalau sejak semula sudah dua qullah
banyaknya, disepakati sucinya. Bedanya kalau sudah banyak sejak semula berarti menolak,

56
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 122
57
(as-Suyuthi. 103)
58
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 123
59
(as-Suyuthi. 95)
dan banyak setelah musta'mal berati mengangkat. Jadi menolak lebih kuat dari pada
mengangkat.60
• Kaidah Kelima belas
ِ ‫الس َُّّوال معَادٌ فِي ْال َج َوا‬
‫ب‬
Artinya: “Pertanyaan itu dikembalikan dalam jawaban “61
Berdasarkan kaidah ini, maka ketentuan dari suatu jawaban itu sangat terikat secara
koheren dengan pertanyaan. Apabila hakim umpamanya, bertanya kepada seseorang
penggugat guna meminta penjelasan: “Apakah isterimu telah engkau talak?” Apabila
dijawab: “Ya”, maka berarti jawaban secara koheren telah sesuai dengan pertanyaan.
Dengan demikian, isteri tergugat tersebut dihukumkan telah ditalak oleh suaminya.62
• Kaidah Keenam belas
‫ت قَ ْو ٌل‬ َ ‫ب إلَى‬
ِ ‫سا ِك‬ َ ‫ََل يُ ْن‬
ُ ‫س‬

Artinya: “Tidak dapat diserupakan kepada orang yang diam, suatu perkataan”63

Kaidah ini sebenarnya adalah perkataan dari perkataan Imam Syafi‟i, yang
mengandung makna bahwa diamnya seseorang tidak menempati kedudukan sebagai orang
yang berbicara. Dengan ungkapan lain, kaidah ini mengandung makna bahwa manakala
suatu tindakan tidak dapat memberikan akibat hukum, kecuali manakala orang lain ridho
dengannya, sementara orang tersebut diam dalam segala kondisi, maka sikap diamnya itu
tidak dapat dianggap sebagai ungkapan ridho atau sesuatu bentuk izin.
Dengan demikian, umpamanya, diamnya seorang janda ketika diminta izin untuk
dinikahkan bukan berarti ia memberi izin. Juga, diamnya seorang tertuduh setelah
disumpah adalah berarti mengingkari tudahan.
Lain halnya dengan seorang gadis yang diam apalagi ada clue kerelaannya ketika
diminta izinnya untuk dikawinkan. Sebab, diamnya sama dengan ia memberi izin. Sabda
Rasul:
‫وإذنها صماتها‬

60
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 124
61
(as-Suyuthi. 97)
62
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 125
63
(as-Suyuthi. 97)
Artinya: “Izinya adalah diamnya”.64

• Kaidah Ketujuh belas


ْ َ‫َما كَانَ أَ ْكثَ ُر ِف ْعَل كَانَ أَ ْكثَ َر ف‬
‫ضَل‬

Artinya: “Sesuatu yang banyak dikerjakan, lebih banyak keutamaannya.”65

Dengan ungkapan lain, banyak kerja banyak imbalan yang akan diterima oleh
pelaku. Kaidah ini pada dasarnya dirumuskan dari makna hadits Nabi yang ditunjukannya
kepada A‟isyah. Yang berbunyi: “Pahalamu adalah sesuai dengan kepayahanmu.” Atas
dasar kaidah di atas, maka:

- Keutamaan orang shalat sunnat duduk adalah setengah keutamaan (pahala) dibanding
shalat berdiri. Karena shalat berdiri lebih banyak kerjanya dari shalat duduk.
- Keutamaan orang yang memisah-misahkan tiap-tiap rakaat dalam melaksanakan shalat
witir adalah lebih banyak dari pada menyambung beberapa rakaat dalam sekali salam.
Sebab, memisah-misahkan, berarti memperbanyak kerja yang baik, dalam bentuk niat,
takbir dan jumlah salam.66
• Kaidah Kedelapan belas
َ ‫ا ْل ُمتَعَدِى أَ ْف‬
ِ َ‫ض ُل ِمنَ ا ْلق‬
‫اص ِر‬
Artinya: “Perbuatan yang mencakup orang lain, lebih utama daripada yang hanya terbatas
untuk kepentingan sendiri”.67
Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Haramain dan ayahnya berpendapat,
bahwa bagi yang melakukan fardhu kifayah mempunyai kelebihan daripada melakukan
fardhu „ain, karena dengan melakukan fardhu kifayah itu berarti menghilangkan
kesukaran-kesukaran yang ada pada umat.

64
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 126
65
(as-Suyuthi. 98)
66
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 127
67
(as-Suyuthi. 99)
Menurut Imam as-Syafi'i, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat sunat,
karena mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnat itu
hanya manfaatnya pada diri sendiri.68
• Kaidah Kesembilan belas
َ ‫ض أَ ْف‬
‫ض ُل ِمنَ النَّ ْف ِل‬ ُ ‫ا ْلفَ ْر‬
Artinya: “Fardhu itu lebih utama dari pada sunnah.”69
Dari kaidah ini dipahami bahwa perbuatan fardhu atau wajib lebih utama dari
perbuatan sunnah. ada beberapa contoh perbuatan sunnah lebih utama dari perbuatan
wajib:
1. Pembebasan pembayaran utang orang yang dalam kesulitan, lebih utama daripada
penundaan pembayaran. Pembebasan hukumnya sunnah, sedangkan penundaan
hukumnya wajib, seperti dijelaskan dalam firman Allah surat al-baqarah: 28
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia
menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu
kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
2. Memulai memberi salam hukumnya sunnah, tetapi lebih utama dari pada yang
menjawabnya, walaupun hukum menjawab salam adalah wajib.
3. Wudhu sebelum masuk waktu shalat itu sunnah, dan itu lebih baik daripada wudhu
(yang wajib) karena telah masuk waktu, sebab wudhu sebelum masuk waktu
mengandung beberapa kemaslahatan.70
• Kaidah Kedua Puluh
ِ ‫ا ْلفَ ِض ْيلَةُ ا ْل ُمتَعَلَّقَةُ بذَا‬
‫ت ا ْل ِعبَا َد ِة أَ ْولَى ِمنَ ا ْل ُمتَعَ ِلقَ ِة بِ َمكَانِها‬
Artinya: “Keutamaan yang berhubungan dengan ibadah sendiri, lebih utama dari pada yang
berkaitan dengan tempatnya.”71
Dari kaidah di atas dipahami bahwa:

68
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 129
69
(as-Suyuthi. 99)
70
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 130
71
(as-Suyuthi. 100)
1. Shalat fardhu di masjid lebih utama dari pada di luar masjid. Tetapi shalat di luar masjid
dengan berjama'ah adalah lebih utama daripada shalat di masjid sendirian (tanpa
berjama'ah), sebab berjama‟ah adalah berkaitan dengan ibadat itu sendiri.
2. Shalat sunnah di rumah adalah lebih utama dari pada shalat di masjid, sebab adanya
keutamaan yang langsung ada pada shalat, yaitu menjadi sebab kesempurnaan khusyu',
ikhlas, jauh dari riya'. Ikhlas adalah berkaitan dengan shalat itu sendiri.72
• Kaidah Keduapuluh Satu
ُ‫شي ْْي ِرضا ِب َما يَتَ َولَّ ُد ِم ْنه‬
َّ ‫الرضَى ِبال‬
ِ
Artinya: “Rela dengan sesuatu berarti rela dengan akibat yang ditimbulkannya.73
Dari kaidah di atas, dapat dipahami bahwa manakala seseorang telah rela akan
sesuatu atau telah menerima atau mengizinkan sesuatu, maka segala akibat dari apa yang
direlakannya itu haruslah ia terima. Jadi, berarti kerelaan menerima resiko yang
ditimbulkannya. Atas dasar kaidah di atas, maka:
Apabila ada seseorang yang membeli mobil yang telah ada dan diketahui rusaknya
maka ia harus menerima akibat yang terjadi dari kerusakan itu, umpamanya sering mogok
di jalan.74
• Kaidah Keduapuluh dua
‫شغَ ُل‬ ْ ‫ْل َم‬
ْ ُ‫شغُو ُل َل ي‬
Artinya: “Yang sudah masyghul (sibuk) tidak boleh dimasygulkan (disibukkan) lagi.”75
Atas dasar kaidah di atas, maka:
1. Tidak dibolehkan ihram dengan Umrah bagi orang yang sedang berada di Mina, sebab
perhatiaannya sedang dipusatkan untuk melempar jumratul 'aqabah dan mabit atau
bermalam di Mina tersebut.
2. Barang yang dijadikan jaminan utang kepada kreditur tidak boleh dijadikan sebagai
jaminan lagi kepada kreditur yang lain, karena transaksi dengan kreditur pertama belum
selesai.

72
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 131
73
(as-Suyuthi. 97)
74
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 131
75
(as-Suyuthi. 103)
3. Tidak dibolehkan seseorang mempekerjakan orang lain yang masih terikat kontrak
kerja dengan pihak lain, hingga kontraknya berakhir.76
• Kaidah keduapuluh tiga
‫ب أَد َْونَ ُه َما بِعُ ُم ْو ِم ِه‬
ُ ‫وج‬ ُ ‫ظ َم ْاألَ ْم َري ِْن بِ ْخ‬
ِ ُ‫ص ْو ِص ِه َل ي‬ َ ‫ب أَ ْع‬
َ ‫َما أَ ْو َج‬
Artinya: “Sesuatu yang mewajibkan kepada yang lebih besar di antara dua hal secara
khusus, tidak mewajibkan kepada yang lebih kecil di antara keduanya secara umum.”77
Berdasarkan kaidah ini, manakala suatu perbuatan secara khusus dikenai tuntutan
lebih berat, dan secara umum juga dikenai tuntutan yang lebih ringan, maka seandainya
tuntutan yang lebih berat telah dilaksanakan, tuntutan yang lebih ringan tidak perlu
dilakukan lagi.
Atas dasar kaidah di atas, maka: Dalam kasus: Pelaku zina. Secara umum, sebelum
melakukan zina mereka melakukan cumbu rayu, berciuman dan berpelukan umpamanya,
dan secara khusus pelaku telah melakukan zina. Dalam hal ini, apabila telah dilaksanakan
hukuman had zina, maka tidak perlu lagi dilakukan hukuman ta‟zir karena berciuman.78
• Kaidah Keduapuluh empat
ُ‫َما ََل يُد َْركُ ُكلُّهُ َلَ يُتْ َركُ ُكلُّه‬
Artinya: “Sesuatu yang tidak didapatkan seluruhnya tidak boleh ditinggalkan seluruhnya”.
Atas dasar kaidah di atas, maka:
1. Manakala kita tidak sanggup mempelajari semua ilmu, maka tidak boleh kita
tinggalkan semuanya.
2. Apabila kita tidak dapat atau tidak mampu berbuat kebaikan yang banyak, maka
berbuat kebaikan sedikit tetap dilakukan, tidak boleh kita tinggalkan semuanya.
3. Jika kita tidak sanggup shalat malam 10 raka'at, maka 4 raka'at cukup, tidak
boleh ditinggalkan semuanya.79
• Kaidah Keduapuluh lima
‫صةُ أَ ْق َوى ِمنَ ا ْل ِو ََليَ ِة ا ْلعَا َّم ِة‬
َّ ‫ا ْل ِوَليَةُ ا ْل َخا‬
Artinya: “Perwalian khusus lebih kuat dari perwalian umum.”80

76
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 132
77
(as-Suyuthi. 101)
78
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 134
79
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 134
80
(as-Suyuthi. 104)
Atas dasar kaidah di atas, maka:
1. Seorang wali hakim tidak boleh menikahkan seorang perempuan yang masih
mempunyai wali nasab. Sebab, wali nasab sifatnya khusus sehingga lebih kuat
sedangkan wali hakim sifatnya umum.
2. Seorang wali nasab yang statusnya khusus dapat menuntut qishas atau diyat atau
meberikan pengampunan terhadap pembunuh orang yang melakukan pembunuhan
orang yang berada di bawah perwaliannya. Tetapi, wali hakim yang statusnya wali
umum tidak dapat menuntut hak-hak tersebut.81
• Kaidah Keduapuluh enam
‫طأ َ ُه‬
َ ‫ين َخ‬ َّ ‫َل ِعب َْرة ِبال‬
ِ َ‫ظنَّ ا ْلب‬
Artinya: “Tidak dianggap sebagai zhan yang jelas salahnya”82
Atas dasar kaidah di atas, maka:
1. Manakala seorang mengira (bukan meyakini) bahwa dirinya suci dari hadats, lalu ia
langsung shalat. Tetapi, ternyata perkiraanya itu salah, sebab ia sudah berhadats, maka
shalatnya tersebut tidak sah.
2. Manakala seorang shalat dengan mengira (bukan meyakini) sudah masuk waktunya.
Tetapi, ternyata belum masuk waktu, maka shalatnya itu batal.83
• Kaidah Keduapuluh tujuh
َ ‫َما ُح ِر َم أَ ْخذُ ُه ُح ِر َم ا ْع‬
ُ‫طاتُه‬
Artinya: “Sesuatu yang diharamkan mengambilnya diharamkan memberikan”84
Kaidah di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa mengambil sesuatu yang
haram, memberikannya kepada orang lain juga diharamkan.85
• Kaidah keduapuluh delapan
‫س ِت ْع َمالُهُ ُح ِر َم ِات َخاذُ ُه‬
ْ ‫َما ُح ِر َم ا‬
Artinya: “Apa yang diharamkan menggunakannya, diharamkan pula memperolehnya.”86

81
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 136
82
(as-Suyuthi. 106)
83
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 137
84
(as-Suyuthi. 102)
85
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 139
86
(as-Suyuthi. 102)
Atas dasar kaidah ini, maka diharamkan seseorang menyimpan alat/sarana
kemaksiatan juga diharamkan menyimpan wadah/bejana yang terbuat dari bahan emas atau
perak. Juga menyimpan sutra dan emas bagi laki-laki. Sebab, dikhawatirkan barang-barang
tersebut akan dipergunakan atau dipakai. Demikian juga seseorang dilarang memelihara
anjing, selain anjing untuk menjaga keamanan dan berburu.87
• Kaidah Kedua puluh Sembilan
‫ا ْل ُمك َِب ُر ََل يُ َكبَّر‬
Artinya: “Yang sudah dibesarkan tidak besarkan lagi”88
Dengan ungkapan lain, apabila suatu perkara sudah dibesarkan atau ditinggikan,
yakni sudah sampai pada hukum yang tertinggi, maka tidak perlu ditambah lagi dengan
hukum yang di bawahnya, umpamanya, seseorang telah mencuci najis Mughallazhah
(jilatan anjing dan babi) yang diangap sangat besar, karena dibasuh 7 kali dan salah satu
dengan tanah. Maka tidak disunnahkan membasuhnya masing-masing anggota terkena
najis tersebut dengan tiga-3 kali seperti yang diperintahkan pada saat bersuci yang lain.89
• Kaidah Ketiga puluh
َ ‫النفل أَ ْو‬
ِ ‫س ُع ِمنَ ا ْلفَ ْر‬
‫ض‬
Artinya: “Sunnah itu lebih longgar (luas) dari pada fardhu.”90
Dengan ungkapan lain, pelaksanaan suatu perbuatan yang sunnah lebih longgar dari
perbuatan yang fardhu atau wajib. Oleh karena itu, dalam salat sunnah tidak wajib dengan
berdiri, tidak wajib menghadap kiblat bila dilakukan di dalam perjalanan, tidak wajib
memperbaharui tayamum dalam beberapa shalat, sedangkan kalau salat fardhu semua itu
wajib dikerjakan. Demikian juga halnya puasa sunnah, tidak diwajibkan berniat di waktu
malam tetapi dibolehkan di pagi hari asalkan belum memakan suatu apapun.91
• Kaidah Ketigapuluh Satu
َ ‫ف فِ ْي ِه َو إِنَّ َما ا ْل ُم ْنك َُر ا ْل ُمجْ َم ُع‬
‫علَ ْي ِه‬ ُ َ‫ََل يُنك َُر ا ْل ُم ْختَل‬

87
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 140
88
(as-Suyuthi. 103)
89
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 141
90
(as-Suyuthi. 104)
91
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 142
Artinya: “Tidak diingkari perbuatan yang diperselisihkan (hukum-hukum haramnya), dan
sesungguhnya yang diingkari adalah yang telah disepakati (hukum haramnya).”92
Dari kaidah ini dipahami bahwa seseorang tidak dianggap berbuat perbuatan yang
mungkar, kalau perbuatan yang dikerjakan itu haramnya diperselisihkan. Mengingat
pendapat yang tidak mengharamkan. Tetapi baru dianggap mungkar kalau keharaman
perbuatan tersebut telah disepakati.93
• Kaidah Ketigapuluh dua
ُ ‫اض ع َِن ا ْل َم ْق‬
‫ص ْو ِد‬ ُ ‫شتِغَا ُل بِغَي ِْر ا ْل َم ْق‬
ُ ‫ص ْو ِد إِع َْر‬ ِْ
ْ ‫اإل‬
Artinya: “Bebuat yang bukan dimaksud, berarti berpaling dari yang dimaksud (sehingga
karenanya batal yang dimaksud).”94
Contohnya, ada orang bersumpah tidak bertempat tinggal pada suatu rumah.
Kemudian dia mondar-mandir di rumah itu, maka berarti dia telah melanggar sumpahnya.
Tetapi kalau dia mondar-mandir itu untuk mengumpulkan barang-barangnya dalam rangka
kepindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.95
• Kaidah Ketigapuluh tiga

َ ‫ع ْك‬
‫س‬ َ ‫ْف َو ََل‬ َّ ‫علَى ال‬
ِ ‫ض ِعي‬ ُّ ‫يَدْخل ْالقَو‬
َ ‫ي‬
Artinya: “Yang kuat mencakup yang lemah, tidak sebaliknya.”96
Suatu perintah atau larangan yang nilainya lebih kuat dapat atau boleh mencakup
perkara sejenis yang nilainya lebih lemah, tetapi tidak sebaliknya, yakni perintah atau
larangan lebih lemah tidak dapat mencakup yang lebih kuat. Dari kaidah ini dapat diambil
pemahaman bahwa:
1. Seseorang boleh menunaikan ibadah haji sekaligus umrah. Tetapi, seseorang tidak
boleh menunaikan ibadah umrah sekaligus ibadah haji.
2. Seseorang boleh mandi wajib sekaligus mengambil air wudhu`. Tetapi, seseorang tidak
boleh berwudhu` sekaligus mandi wajib.97
• Kaidah Ketigapuluh empat

92
(as-Suyuthi. 107)
93
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 142
94
(as-Suyuthi. 107)
95
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 143
96
(as-Suyuthi. 107)
97
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 144
ِ َ‫سائِ ِل َم ْاألَيُ ْغتَفَ ُر فِي ا ْل َمق‬
‫اص ِد‬ َ ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي ا ْل َو‬

Artinya: “Dimaafkan yang pada sarana, tidak dimaafkan yang pada maksud.”98
Dengan demikian, sesuatu yang menjadi maksud atau tujuan haruslah dipenuhi,
sedangkan cara atau wasilah untuk mencapai maksud tersebut dapat dimaafkan atau
dilonggarkan dengan menghilangkan atau mengurangi.99
• Kaidah Ketigapuluh lima
ُ ‫ط ِبا ْل َم ْع‬
‫س ْو ِر‬ ُ ُ‫سق‬
ْ ‫ور ََل َي‬
ُ ‫س‬ُ ‫ا ْل َم ْي‬
Artinya: “Yang mudah dilakukan tidak gugur dengan ada yang susah dilaksanakan”100
Kaidah di atas didasarkan sebuah hadits:
ْ ‫إِذَا أَ َم ْرت ُ ُك ْم بِأ َ ْم ٍر فَأْت ُْوا ِم ْنهُ َما ا‬
َ َ ‫ست‬
)‫ط ْعت ُ ْم (متفق عليه‬
Artinya: “Apabila aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah menurut
kemampuanmu.”
Dari hadits di atas, dipahami bahwa apapun yang diperintahkan oleh Asy-syari'
(Allah dan Rasul) untuk dikerjakan, disesuaikan dengan kemampuan yang ada pada
manusia mukallaf. Mereka tidak dipaksakan melakukan suatu perbuatan yang tidak mampu
melakukannya.
Berdasarkan kaidah di atas, ulama Syafi'iyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah
yang mengatakan bahwa orang yang tidak dapat menutup auratnya, maka gugurlah
kewajiban shalat dengan sendirinya.101
• Kaidah Ketigapuluh enam
ِ َ‫سق‬
‫اط ك ُِل ِه‬ ُ ‫سقَا‬
ْ ‫ط َب ْع ِض ِه كَا‬ ْ ‫ار َب ْع ِض ِه ك‬
ْ ‫َاختِ َي ِار ك ُِل ِه َو ِإ‬ ْ َ‫ْض ف‬
ُ ‫اختِ َي‬ َ ‫َم َاَل يُ ْق َب ُل الت َّ ْب ِعي‬
Artinya: “Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebahagiannya sama
dengan mengusahakan semuanya; dan mengugurkan sebahagiannya sama dengan
menggugurkan semuanya.”102
Berdasarkan kaidah di atas, maka dapat dipahami bahwa apapun yang memang
tidak dapat dibagi-bagi maka perlakuan atau pelaksanaannyapun harus menyeluruh, tidak

98
(as-Suyuthi. 107)
99
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 144
100
(as-Suyuthi. 107)
101
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 145
102
(as-Suyuthi. 108)
dapat hanya sebagian saja. Artinya, manakala dilaksanakan sebagiannya, maka berarti
dianggap seluruhnya. Sebaliknya, manakala digugurkan sebagiannya berarti digugurkan
seluruhnya. Sebagai contoh : Seorang suami berkata kepada istrinya : “Engkau aku talak
separuh.” Dalam hal ini dianggap jatuh talak satu, karena talak itu tidak dapat dibagi.103
• Kaidah Ketigapuluh tujuh
َ ‫علَى َما َو َج‬
‫ب بِالش َّْر ِط‬ َ ‫ع ُمقَ َّد ٌم‬
ِ ‫َماتَبَتَ بِالش َّْر‬
Artinya: “Apa yang telah tetap menurut syara' didahulukan daripada yang wajib menurut
syarat.”104
Pengamalan ketetapan yang berasal dari syara' harus didahulukan dari pengamalan
yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia, sehingga karenanya tidak boleh
bernazar dengan sesuatu yang wajib, seperti nazar berpuasa Ramadhan atau nazar shalat
fardhu dan sebagiannya. Hal yang sama, apabila ada seseorang bernazar hendak
menunaikan shalat lima waktu sehari semalam, jika keinginanya tercapai, maka nazar
semacam ini hukumnya tidak sah. Sebab, tercapai atau tidak keinginannya, kewajiban
shalat itu harus dikerjakan, karena sudah ketetapan syara’, sedangkan bernazar itu adalah
ditetapkan oleh manusia. Dalam hal ini ketetapan syara’ wajib didahulukan atas syarat yang
dibuat manusia.105
• Kaidah Ketigapuluh delapan
ِ ‫ور َو ا ْل ُمبَاش ََرةُ قُ ِد َم‬
ُ‫ت ا ْل ُمبَاش ََرة‬ ُ ‫ب َو ا ْلغُ ُر‬ َّ ‫إذَ اجْ تَ َم َع ال‬
ُ َ‫سب‬
Artinya: “Apabila berkumpul (antara) sebab, tipuan dan pelaksanaan langsung, maka
didahulukan pelaksanaan langsung itu”106
Dengan ungkapan lain, manakala dalam suatu kasus terdapat tiga faktor yang
mengakibatkan terjadinya suatu kasus, maka yang mula-mula diminta pertanggung
jawaban adalah pebuatan langsung.107
• Kaidah Ketigapuluh Sembilan
ُ ‫ا ْل ُح ْك ُم يَد‬
َ ‫ُور َم َع ِعلَّتِ ِه ُو ُج ْودا َو‬
‫عدَما‬

103
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 147
104
(as-Suyuthi. 102)
105
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 148
106
(as-Suyuthi. 109)
107
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 149
Artinya: Hukum itu berputar bersama 'illatnya, ada dan tidak adanya hukum.
Dari kaidah di atas dipahami bahwa:
- Seseorang diharamkan meminum khamar, karena ada zat yang memabukkan. Tetapi,
kalau zat yang memabukkan tersebut sudah tidak ada lagi (contohnya telah menjadi
cuka dengan sendirinya), maka seseorang dibolehkan meminumnya, karena alasan
keharaman sudah tidak ada lagi.108
• Kaidah Keempat puluh

ِ ‫ب ِإ ََّل ِب ِه فَ ُه َو َو‬
‫اجب‬ ِ ‫ما َل يت ُم ا ْل َو‬
ُ ‫اج‬
Artinya: “Sesuatu (media) yang wajib tidak akan sempurna tanpanya, maka sesuatu
(media) itu adalah wajib.”
Kaidah di atas, sejalan dengan kaidah yang berbunyi:

ِ ‫سائِ ِل ُح ْك ُم ا ْل َم‬
‫قاصد‬ َ ‫ِل ْل َو‬
Dari kaidah kaidah di atas dipahami, bahwa wajibnya suatu kewajiban itu
ditentukan oleh sesuatu yang disebut sebab dan syarat. Contohnya, kewajiban
melaksanakan shalat fardhu ditentukan oleh suatu sebab, yakni tiba atau masuk waktu
shalat dan ada syarat, yaitu baligh serta berakal.109

E. Kaidah Fiqih Yang Diperselisihkan

1. Kaidah Pertama
Artinya: “Shalat jum'at itu adalah shalat dzuhur yang dipendekan atau shalat
sebagaimana adanya.” 110
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang berpendapat
bahwa shalat jum'at itu adalah shalat zuhur yang dipendekan. Implikasinya adalah bahwa
shalat jum'at boleh dijamak (digabung) dengan shalat ashar. Kedua, ulama yang berpendapat
bahwa shalat jum'at adalah shalat sebagaimana adanya, bukan shalat zuhur yang dipendekan.
Implikasinya, shalat jum'at tidak boleh dijamak dengan shalat ashar.111
2. Kaidah Kedua

108
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 150
109
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 151
110
as-Suyuti.
111
Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 155
Artinya: “Shalat di belakang orang yang berhadats namun tidak diketahui keadaannya,
apabila menurut kita sah, apakah shalat itu adalah shalat jama'ah atau shalat sendirian.”112
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang berpendapat
bahwa dalam kasus seseorang makmum mengikuti imam yang berhadats tapi tidak diketahui
keadaannya, bila kita berpendapat sah maka shalatnya itu adalah shalat berjama'ah. Kedua,
ulama yang berpendapat bahwa dalam kasus semacam ini shalat itu dianggap shalat
sendirian.113
3. Kaidah Ketiga
Artinya: “Siapa yang melakukan sesuatu yang menafikan fardhu bukan sunnah, baik
pada awal fardhu maupun pertengahannya, niscaya batalah fardhunya. Tetapi apakah
shalatnya itu menjadi sunnat atau batal sama sekali?114
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang berpendapat
bahwa orang yang menafikan fardhu, maka batal shalat fardhu-nya (umpamnya seorang itu
meninggalkan syarat atau rukun), dan shalat yang dilaksanakannya itu menjadi shalat
sunnah. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa dalam kasus semacam ini, shalat yang
dilakukannya itu batal sama sekali.115
4. Kaidah Keempat
Artinya: “Nazar itu apakah diberlakukan sebagai wajib atau ja'iz.” 116
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang berpendapat
bahwa nazar itu diberlakukan sebagai hal yang wajib. Umpamanya, apabila seseorang
menunaikan puasa nazar, maka ia harus berniat di malam hari sebagaimana puasa wajib.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa nazar itu diberlakukan sebagai hal yang ja'iz atau
mubah. Sebab itu, apabila seseorang akan menunaikan puasa nazar maka dibolehkan berniat
di waktu pagi, tidak perlu di malam hari.117
5. Kaidah Keliama
Artinya: “Apakah yang dipertimbangkan itu lafadz akad ataukah maknanya?” 118

112
Jalaluddin as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir (Beirut: Dar al-Fikr, 1958). 110
113
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih) (Palembang: Noer Fikri, 2019). 156
114
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958. 110
115
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 157
116
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958.
117
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih).
118
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958. 111
Sebagai contoh: “Ada seseorang yang mengadakan transaksi, dengan mengatakan saya
beli laptop engkau dengan syarat model yang terbaru, harga Rp. 5.000.000,-, kemudian
penjual menjawab : Ya, jadi. Dilihat dari bentuk akadnya adalah akad jual beli, sedangkan
menurut maknanya adalah akad salam (pesanan). Demikian juga seseorang berkata kepada
temannya: ini, engkau akan aku beri uang, tetapi nanti engkau kembali dari pasar, saya minta
sehelai bajunya.
Hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Menurut sebagian ulama, ucapan semacam
ini adalah akad hibah, sedangkan menurut ulama yang lain, ucapan seseorang tersebut adalah
akad jual-beli”.119
6. Kaidah keenam
Artinya: “Barang yang dipinjam untuk gadai , apakah pantas sebagai jaminan ataukah
sebagai pinjaman?”120
Umpamanya, seseorang meminjam motor honda dari temannya dan terus terang
mengatakan bahwa motor honda tersebut akan digadaikan. Setelah motor digadaikan tiba-
tiba motor tersebut dicuri orang.
Sebahagian ulama berpendapat bahwa pihak penggadai tidak wajib mengganti,
demikian pula penerima gadai. Sebahagian lain berpendapat, bahwa penggadai sebagai
peminjam dan yang menggadaikan motor itu wajib menggantinya.121
7. Kaidah ketujuh
Artinya: “Hiwalah, apakah ia jual beli atau kewajiban yang dipenuhi?” 122
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pertama, ulama yang berpendapat bahwa
hiwalah adalah akad jual beli. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa akad hiwalah itu
dianggap sebagai pembayaran saja. Umpamanya, Ma'mun mempunyai tanggungan utang
sebesar Rp. 1.000.000,- yang harus dilunasinya kepada Abdul, sedangkan Abdul juga masih
harus membayar hutangnya sejumlah Rp.1.000.000,- kepada Rahmah. Jadi, Abdul di satu
sisi wajib membayar utang kepada Rahmah di sisi lain ia berhak menerima pembayaran
utang dari Ma'mun sejumlah yang sama. Abdul berkata kepadaMa'mun: Uang saya
Rp.1.000.000,- yang harus engkau bayarkan nanti, dibayarkan saja kepada Rahmah, sebab

119
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 158
120
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958. 113
121
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 159
122
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958. 114
saya berutang Rp 1.000.000,- kepadanya. Kepada Rahmah, Abdul berkata: Hutang saya Rp
1.000.00,- kepadamu nanti akan dibayar olehMa'mun. Akad hiwalah semacam ini, boleh
khiyar, sebab hiwalah itu berarti jual-beli. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa akad
hiwalah semacam ini tidak ada khiyar, sebab hilawah itu berarti pembayaran.123
8. Kaidah Kedelapan
Artinya: “Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang merupakan
pemberian untuk dimiliki.”124
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama, ulama yang berpendapat bahwa
pembebasan utang tersebut adalah pengguguran utang. Kedua, ulama yang berpendapat
bahwa pembebasan utang itu adalah kepemilikan saja.
Umpamanya, seorang buruh meminjam uang sebesar Rp 100.000,- kepada
majikannya. Mengingat buruh tersebut membebaskan utang buruhnya tersebut. Dalam hal
ini berbeda pendapat ulama. Pertama, ulama yang berpendapat bahwa majikan boleh
menarik kembali "pembebasan utangnya", sebab pembebasan sama dengan pemilikan.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa majikan tidak boleh menarik "pembebasan
utangnya", karena pembebasan berarti pengguguran.125
9. Kaidah Kesembilan
Artinya: “Al-'iqalah (pencabutan jual-beli terhadap orang yang menyesal) itu, apakah
fasakh (pembatalan jual-beli), ataukah bai' (jual-beli kembali).”126
Umpamanya, ada seseorang yang membeli sebuah rumah mewah, tetapi karena merasa
harganya mahal, maka pembeli merasa menyesal. Lantas si penjual menginginkan iqalah
(pencabutan jual-beli terhadap orang yang menyesal). Dalam hal ini, seandainya iqalah
dianggap sebagai fasakh (pembatalan jual-beli), maka tidak perlu ijab qabul. Tetapi, kalau
dianggap sebagai jual beli, maka harus ada ijab qabul.127
10. Kaidah Kesepuluh

123
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 159-160
124
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958. 115
125
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 160-161
126
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958.
127
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 161
Artinya: “Mas kawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman suami yang
belum diterima oleh isteri, hal itu merupakan barang yang dijamin dengan dhoman akad
ataukah dengan dhoman yad?”128
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama, ulama yang berpendapat bahwa
masalah mas kawin yang sudah ditentukan tapi masih dalam genggaman suami ditanggung
dengan dhaman akad. Konsekuensinya, mas kawin itu apabila dianggap sebagai barang yang
ditanggung akad, maka tidak sah untuk dijual sebelum diterima. Kedua, ulama yang
berpendapat bahwa masalah ini adalah ditanggung dengan dhaman yad. Konsekuensinya,
mas kawin itu apabila dianggap sebagai barang yang dianggap dhaman yad, maka boleh
dijual walaupun masih berada ditangan suami.129
11. Kaidah Kesebelas
Artinya: “Talak raj'i itu, apakah memutuskan nikah atau tidak?”130
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang menganggap
bahwa talak raj'i memutuskan nikah (memutuskan hubungan perkawinan). Kedua, ulama
yang mengganggap bahwa talak raj'i tidak memutuskan nikah, Konsekuensinya terlihat
(umpamanya) ketika ada seseorang laki-laki mentalak raj'i isterinya, tiba-tiba (mantan)
suaminya meninggal dunia sebelum habis masa idah isterinya.
Menurut pendapat pertama, isterinya tersebut tidak boleh ikut memandikan jenazah
(mantan) suaminya itu, karena nikahnya dianggap sudah putus.
Menurut pendapat kedua, isterinya tersebut boleh ikut serta memandikan jenazah
suaminya itu, sebab hubungan nikahnya dianggap belum putus.131
12. Kaidah Keduabelas
Artinya: “Zihar itu, apakah dimenangkan (dikuatkan) serupa dengan talak ataukah
serupa dengan sumpah?”132
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
menyerupakan zihar dengan talak. Kedua, ulama yang menyerupakan zihar dengan sumpah.
Konsekuensinya, kalau ada seseorang yang menzihar empat isterinya dengan satu kalimat,

128
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958. 116
129
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 162
130
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958.
131
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 163
132
as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958. 117
seperti: “Kamu semua seperti punggung ibuku”, maka menurut ulama pertama, apabila
suami ingin kembali kepada isterinya, ia wajib membayar empat kafarat, karena diserupakan
dengan talak. Menurut ulama kedua, cukup hanya membayar satu kafarat (yaitu kafarat
sumpah), karena diserupakan dengan sumpah. Selanjutnya, apabila diserupakan dengan
talak maka boleh dengan lisan atau tulisan: tetapi apabila diserupakan dengan sumpah, maka
dengan lisan.133
13. Kaidah Ketigabelas
Artinya: “Fardu kifayah (yang sedang dikerjakan) apakah menjadi fardu ain atau
tidak.”
Dalam hal ini terdapat pendapat ulama. Pertama, sebahagian ulama ada yang
menganggapnya tetap sebagai fardu kifayah, Kedua, sebahagian ulama ada yang
menganggapnya sebagai fardu'ain. Konsekuensinya dapat dilihat dalam contoh shalat
jenazah. Apabila shalat jenazah (yang sedang dikerjakan itu) dianggap fardu ain, maka
haram dibatalkan kalau sedang dikerjakan. Tetapi kalau shalat itu dianggap sebagai fardu
kifayah, maka tidak diharamkan dibatalkan walaupun sedang dikerjakan.
14. Kaidah Keempatbelas
Artinya: “Sesuatu yang telah hilang kemudian kemudian kembali lagi, apakah seperti
yang tidak hilang ataukah bagaikan yang sesuatu yang tidak kembali (sama dengan sesuatu
yang baru).”
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, ada ulama yang
menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak hilang. Kedua, ada ulama yang menganggapnya
sebagai sesuatu yang baru. Konsekuensinya, umpamnaya isteri yang telah ditalak sebelum
digauli suami, maka hilang kepemilikannya atas mahar, apabila suaminya kembali maka
kembali pula kepemilikannya terhadap mahar seperti mahar semula. Contoh lain, harta yang
pada akhir tahun perlu dizakati kemudian hilang pada tengah tahun, yang kemudian kembali,
maka tetap pada akhir tahun dizakati, seperti tidak hilang. Pendapat kedua yang mengangap
sebagaimana barang baru, seperti hakim gila atau hilang keahliannya, kemudian sembuh atau
kembali atau kekuasaan hakimnya.
15. Kaidah Kelimabelas
Artinya: “Apakah yang dipertimbangkan itu menurut keadaan atau menurut benda.”

133
Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). 163-164
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang mengatakan
bahwa yang dipertimbangkan adalah keadaan. Kedua, ulama yang mengatakan bahwa yang
dipertimbangkan adalah benda. Konsekwensinya kalau ada orang shalat memakai baju
pendek, yang ketika ia berdiri auratnya tidak kelihatan tetapi ketika rukuk nanti auratnya
pasti akan kelihatan, maka menurut pendapat pertama, tidak sah shalatnya karena
keadaannya akan tampak aurat ketika rukuk nanti. Sedangkan menurut pendapat kedua
bahwa shalat seseorang tersebut tidak sah sejak semula, karena pakaian (benda) seperti itu.
16. Kaidah Keenambelas
Artinya: “Apabila yang khusus telah batal, apakah yang umum masih tetap.”
Umpamanya, ada orang shalat yang telah mengucap takbiratul ikhram pada shalat yang
belum masuk waktunya, maka batallah kekhususannya (niat shalat wajib itu). Tetapi
menurut pendapat yang kuat masih dianggap berlaku keumuman takbir itu untuk shalat.
17. Kaidah Ketujuhbelas
Artinya: “Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti sesuatu yang
telah diketahui, ataukah sebagai sesuatu yang belum diketahui?”
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang berpendapat
dihukumi seperti sesuatu yang telah diketahui. Kedua, ulama yang berpendapat dihukumi
seperti sesuatu yang belum diketahui. Konsekuensinya, seandainya Hijjas Naini menjual
seekor sapi yang sedang bunting, lalu mengatakan: Saya jual induk sapi ini kepadamu, tetapi
aku tidak menjual anak yang ada dalam perutnya. Ulama pertama menganggapnya sah
sedangkan ulama kedua menganggapnya tidak sah. Sama halnya dengan jual beli sperma
binatang, jual beli hewan dalam kandungan.
18. Kaidah Kedelapanbelas
Artinya: “Hal yang jarang terjadi apakah dihubungkan dengan jenisnya atau
dihubungkan dengan keadaan sendiri?”
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, Ulama yang mengatakan
dihubungkan dengan jenisnya. Kedua, ulama yang mengatakan dihubungkan dengan
keadaannya sendiri. Konsekwensinya, apabila ada anggota badan seorang perempuan
terputus lalu anggota badan yang telah terpisah tersebut dipegang oleh seorang laki-laki,
maka menurut ulama yang pertama dapat membatalkan wudhunya. Sedangkan menurut
pendapat ulama yang kedua tidak membatalkan wudhunya.
19. Kaidah Kesembilanbelas
Artinya: “Orang yang mampu secara yakin, apakah ia dibolehkan ijtihad dan
mengambil perkiraan yang kuat?”
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang berpendapat
dibolehkan berijtihad dan mengambil perkiraan yang kuat. Kedua, ulama yang berpendapat
tidak dibolehkan berijtihad. Pemahaman dan konsekwensinya dapat dilihat dalam kasus
sebagai berikut: Abdul Aziz memilki dua helai kain yang satunya suci dan yang satunya
terkena najis tetapi karena najisnya telah kering maka sulit untuk menentukan secara pasti
mana yang suci dan mana yang najis. Sementara itu, Abdul Aziz itu juga mempunyai kain
lain yang sudah pasti sucinya, masih disimpan dilemari. Dalam menanggapi hal ini ulama
pertama membolehkan Abdul Aziz berijtihad menetukan tentang dua kain yang masih
diragukan itu, untuk dipakai shalat. Ulama kedua, tidak membolehkannya berijtihad tapi
wajib mengambil kain yang ada dilemari.
20. Kaidah Keduapuluh
Artinya: “Penghalang yang datang kemudian, apakah dia seperti bercampur (dengan
yang dihalangi) atau tidak?”
Dalam hal ini terjadi perbedaan ulama. Pertama, ulama yang berpendapat bahwa
penghalang yang datang kemudian seperti bercampur. Atas dasar ini, maka penambahan
terhadap air musta‟mal sehingga menjadi banyak hukumnya suci dan menyucikan.
Sembuhnya perempuan istihadhah ketika sedang shalat, hukum shalatnya batal; murtadnya
orang yang sedang ihram, ihramnya batal; adanya niat maksiat dalam perjalanan taat tidak
ada hukum rukhshah. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa halangan yang datang
kemudian tidak seperti bercampur. Atas dasar ini, maka datangnya air ketika sedang
shalatnya orang tayamum, hukum shalatnya tidak batal; melakukan maksiat di tengah
perjalanan taat hukumnya tetap ada rukhshah; niat berdagang setelah membeli barang-
barang (yang semula tidak dimaksudkan untuk berdagang); hukumnya bahwa bagi pembeli
barang kewajiban zakatnya tidak dihitung mulai dari waktu pembelian, tetapi mulai dari
adanya niat berdagang.
Sekaitan dengan kaidah di atas, perlu dikemukakan kaidah sebagai berikut:
Artinya: “Dapat diampuni pada kelanjutan, sesuatu yang tidak diampuni pada
permulaan.
Umpamanya, menurut peraturan daerah, rumah baru tidak boleh dibangun dalam jarak
kurang empat meter dari jalan raya. Tetapi, bagi rumah yang telah dibangun sebelum
peraturan itu, tidak boleh dibongkar walau kurang dari jarak dimaksud, karena peraturan saat
itu belum ada. Kalaupun mau dibongkar, maka harus dilakukan musyawarah dengan
pemiliknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-
dasar bagi fiqh. Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-
Taftazany (w. 791 H.) memberikan rumusan, yaitu: Suatu hukum yang bersifat universal
yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-
hukum bagian tersebut darinya.
• Sejarah Perkembangan Qawaid fiqhiyyah terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Periode kelahiran
2. Periode pembukuan
3. Periode penyempurnaan
• Kaidah fikih induk terbagi menjadi 5 kaidah
• Kaidah fikih rinci terbagi menjadi 40 kaidah
• Kaidah yang diperselisihkan terbagi menjadi 20 kaidah
DAFTAR PUSTAKA

Abi al-Faid Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makky, Al-Fawaid al-Janiyyah J. 1,(Beirut:
Dar el-Fikr, 1997

Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Ushûl Fiqh, Kuwait, Daru al-Qalam, 1402 H

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta, Media Pratama, 2008

Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998

Duski Ibrahim, AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH) (Palembang: Noer


Fikri, 2019)

as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nazhar’ir, 1958.

Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih).

Anda mungkin juga menyukai