Anda di halaman 1dari 27

1

Kata pengantar
Hamdan yuafi niamahu wayukafiu mazidahu. Alhamdulillahirobbil alamin kami curahkan
dan ucapkan karna atas pertolongan dan izinnya kita bisa berinteraksi dengan sesama dan
masih bisa di beri kesempatan untuk membaca hitam di atas putih ini.
Sholatullahi wasalamuhu, semoga tetap tercurahkan atas keharibaan baginda kita nabi
besar, sayyidul mursalin, nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan dunia banyak sekali
perubahan, baik yang secara langsung berupa pengajaran di bidang tatakrama ataupun yang
tidak langsung namun di ungkapkan oleh beberapa penelitian yakni di bidang kesehatan dan
lain lain.
Kami dari para perumus dan penulis, ingin mengucapkan beribu-ribu ungkapan terima
kasih kepada segenap insan yang turut berinteraksi dan berdedikasi dalam penyelesaian
makalah ini. Dan tentunya ungkapan terima kasih tersebut kami spesifikkan kepada dosen
pengampuh kami, yang tiada bosannya memberikan banyak pengetahuan dan wawasannya
kepada kami.
Dan juga kepada segenap kawan sekalian yang selalu berada di samping kanan dan kiri
kami untuk memotifasi, dan yang berada di belakang kam untuk terus mendorong, dan yang
berada di depan kami untuk menarik kami. Yang pada esensinya adalah telah sudi bekerja
sama dengan kami dalam rangka diskusi maupun saling berargumentasi. Yang tentunya
demikian sangat bermanfaat bagi kami dan juga pembuatan makalah ini.
Semoga apa yang teah kami uraikan di atas kertas ini, bukan cuman menjadi suatu hal akan
hancur di makan tanah atau api. Tapi melekat kuat di benak kita masing-masing, sehingga
menjadi dasar utama kita dalam menentukan suatu pilihan pada sebuah hadist.
2

BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua sesudah Al-Qur’an, secara resmi ditulis
dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Azis
oleh karena itu ummat islam wajib menjadikan hadits sebagai pedoman dalam segala aktifitas,
baik dalam segala aktifitas maupun dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah maupun
khalifah di muka bumi ini.
Dari tahun wafatnya Rasulullah SAW, sampai tahun ditulisnya hadits, sangat memungkinkan
munculnya pemalsuan-pemalsuan hadits. Hal inilah yang mendorong ulama untuk mencari dan
mengumpulkan hadits-hadits. para ulama dalam melakukan penelitian menitikberatkan
perhatiannya pada sanad dan matan hadits. Oleh karena itu para ulama menetapkan kaedah
kaedah yang berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat diterimanya suatu hadits.
Suatu hadits dikategorikan shahih apabila memenuhi ketentuan-ketentuan atau kaedah-
kaedah keshahihan sanad dan matan hadits. Oleh sebab itu penulis akan memaparkan tulisan
ini dengan judul “Syarat-syarat hadits shahih “untuk pengetahuan lebih lanjut.

II. Rumusan masalah


1. Apakah pengertian dari hadist shohih ?
2. Bagaimanakah syarat-syarat dari hadist shohih ?
3. Apakah pengertian dari hadist hasan ?
4. Bagaiamana kehujjahan hadist shohih dan hadsit hasan ?

III. Tujuan penulisan


1. Mengetahui pengertian dari pada hadist shohih
2. Mengetahui syarat-syarat hadist shohih
3. Mengetahui pengertian dari pada hadist hasan
4. Mengetahui kehujjahan hadist shohih dan hadist hasan
3

BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits Shahih
Sebelum masuk pada sub pembahasan utama, yakni mengenai syarat-syarat dari hadis
shohih yang akan di paparkan perinciannya setelah ini, maka tentunya akan lebih mudah di
pahaminya, setelah kita mengetahui terlebih dahulu tentang apa itu hadis shohih, dan
bagaimana pengertiannya.
I. Definisi Hadits Shahih

kata Shahih ‫ الصحيح‬dalam bahasa (etimology)diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim
‫ السقيم‬orang yang sakit. jadi pada dasarnya, yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang
sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.

‫هو ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كامال عن مثله وخال من الشذوذ و العلة‬
hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat
daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).

Hadis sahih berarti hadis yang bersih dari cacat, hadis yang benar berasal dari Rasulullah
SAW. Sebagaimana para ulama telah menyepakati kebenarannya, bahwa hadits shahih
merupakan hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan
dhabit rawi lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal
serta tidak cacat (illat).1
Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit, hak lawan
bathil. Menurut ahli hadits, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip
oleh orang-orang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulallah
SAW, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam
menerimanya.2
Contoh hadist shohih

‫ع ْن‬ ْ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ُج َبي ِْر ب ِْن ُم‬


َ ‫ط ِع ِم‬ َ ‫ب‬
ٍ ‫ع ِن اب ِْن ِش َها‬ َ ٌ‫ف َقا َل أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلك‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ُ ‫ع ْبدُهللاِ ب ُْن ي ُْو‬
َ ‫س‬
‫الط ْو ِر "(رواه البخاري‬ ُّ ‫ب ِب‬ ِ ‫م قَ َرأ َ ِفي ْال َم ْغ ِر‬.‫س ْو َل هللاِ ص‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫)أ َ ِب ْي ِه قَا َل‬

1
Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997).hlm.2
2
M.Solahudin dan Agus Suyadi. Ulum Hadits.(Bandung, Pustaka Setia, 2010),.hlm.141
4

" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan
kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia
berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur"
(HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut
menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a) Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin.
b) Malik bin Annas = imam hafidz
c) Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz
d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e) Jubair bin muth'imi = Shahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.

Dan hadist shohih di bagi menjadi 2 macam, yakni


Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:

a. Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat
hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi semua
syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan,
keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.3 Untuk lebih jelasnya, berikut penulis
kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

، ُ‫َّللاُ َع ْنه‬
َّ ‫ضي‬ ِ ‫ َع ْن أَ ِبي ه َُري َْرة َ َر‬، َ‫ َع ْن أ َ ِبي ُز ْر َعة‬، َ‫شب ُْر َمة‬ ُ ‫ارة َ ب ِْن ْالقَ ْعقَاعِ ب ِْن‬ ُ ‫ َع ْن‬، ‫ير‬
َ ‫ع َم‬ َ ُ‫َحدَّثَنَا قُت َ ْي َبةُ ْبن‬
ٌ ‫ َحدَّثَنَا َج ِر‬، ‫س ِعي ٍد‬
: ‫ قَا َل‬. َ‫ أ ُ ُّمك‬: ‫ص َحابَتِي ؟ قَا َل‬ َ ‫اس بِ ُحس ِْن‬ ِ َّ‫َّللاِ َم ْن أ َ َح ُّق الن‬ ُ ‫ يَا َر‬: ‫ فَقَا َل‬، ‫سلَّ َم‬
َّ ‫سو َل‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َر‬: ‫قَا َل‬
‫ ث ُ َّم أَبُوك‬: ‫ ث ُ َّم َم ْن ؟ قَا َل‬: ‫ قَا َل‬. َ‫ ث ُ َّم أ ُ ُّمك‬: ‫ ث ُ َّم َم ْن ؟ قَا َل‬: ‫ قَا َل‬. َ‫ ث ُ َّم أ ُ ُّمك‬: ‫؟ قَا َل‬ ‫ث ُ َّم َم ْن‬

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak
terdapat ke-syaz-an maupun illat.

3
Ahmad Umar Hasyim, Taysir Musthalah al-Hadis, hal 24
5

b. Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-
syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau
lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain.4 Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi :

ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ قَا َل‬، َ‫ َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة‬، َ‫سلَ َمة‬


َّ ‫سو ُل‬
ِ‫َّللا‬ َ ‫ َع ْن أَ ِبي‬، ‫ َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ْم ٍرو‬، َ‫سلَ ْي َمان‬ ٍ ‫َحدَّثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
ُ ُ‫ َحدَّثَنَا َع ْبدَة ُ ْبن‬، ‫ب‬
ٍٍ .‫صالة‬ َ ‫اك ِع ْندَ ُك ِل‬ِ ‫ش َّق َع َلى أ ُ َّم ِتي أل َ َم ْرت ُ ُه ْم ِبالس َِو‬
ُ َ ‫ َل ْوال أ َ ْن أ‬: ‫سلَّ َم‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ‫َّللاُ َع َل ْي ِه َو‬ َ

Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana
dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang
jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke
tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih
tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu
Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).

Dari pendefinisian di atas, maka dapat di tarik kesimpulan, untuk mengetahui shohih
tidaknya suatu hadist, di perlukan 5 unsur, yang mana apabila salah satu dari unsur tersbut
tidak ada, maka hadist tersebut belum di kategorikan sebagai hadist shohih.
Adapun unsur-unsur keshahihan suatu hadits adalah :
1. Sanad bersambung
2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4. Sanad hadits itu terhindar dari syudzudz atau kejanggalan
5. Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat.
Demikian adalah unsur di tetapkannya suatu hadist, apakah masuk dalam
kategori shohih atau tidak. Dan yang lima tersebut bersifat berkaitan, dalam artian, apabila
salah satu dari kelima tersebut tidak ada, maka suatu hadist belum dinamakan sebagai hadist
shohih. Maka yang kelima unsur diatas bisa juga dinamakan sebagai syarat-syarat dari
keshohihan suatu hadist.

4
Taufiq Umar Sayyidi, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah,. hal 5
6

Adapun perincian tentang penjelasan dari syarat-syarat hadist shohih tersebut, akan
kami jelaskan di bawah ini.

2. Sanad yang bersambung

Sanadnya bersambung maksudnya adalah, bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan
benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai
kepada pembicara yang pertama.5 Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus
salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu
adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
Maksudnya adalah, bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang
berbeda di atasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.6
Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, di antaranya
adalah dilihat dari usianya masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya
memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima atau menyampaikannya
ialah dengan cara sama’(mendengar guru memberikan hadis dari perawi itu) atau munawalah
(seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya kepada muridnya). Atau dengan cara lain.
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung, apabila :
 Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
 Antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad
itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
ketentuan tahamul wa ada al-hadits.7
Berikut ini ada beberapa kaedah yang berkaitan dengan tata-kerja aplikasi untuk
mengetahui sisi persambungan sanad. Kaedah-kaedah yang akan dituliskan ini merupakan
hasil rumusan-rumusan yang ditemukan dalam berbagai literatur ilmu hadis yang ditulis oleh
beberapa orang ahli hadis. 8

Kaedah pertama:

5
‘Itr.Op.Cit,.h.2 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Op.Cit,.h.143
6
Al-khatib M.”Ajjaj. Al-mukhtasar al-wajiz fi ‘ulum al-hadits.( Beirut : Mu’assasah al-risalah,1991). H 305
7
Op.cit... M.Solahudin dan Agus Suyadi h.128 (Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari
seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits, sedangkann al-‘ada adalah proses menyampaikan dan
meriwayatkan hadits )
8
Kaedah-kaedah yang akan disampaikan ini hanya berlaku kepada periwayat yang berada pada level man qabla al-Sahabah,
yaitu mulai dari level guru (syaikh) mukharrij sampai kepada level tabiīn. Dengan asumsi bahwa diskursus tentang penelusuran
persambungan sanad lebih banyak terjadi dalam batasan level yang disebutkan ini.
7

‫سلَّ َم‬
َ ‫ى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ى َيتَنَاهَى ْال َخب ُْر ا‬
َ ِ ‫ِلى النَّ ِبي‬
َّ ‫صل‬ َ ٌ‫ى َي ْر ِو ْي ِه ثِقَّة‬
َّ ‫ع ْن ثِقَ ٍة َحت‬ َّ ‫سلَّ َم َحت‬
َ ‫ى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ الَ يُ ْكتَبُ ْال َخب ُْر َع ِن النَّ ِبي‬-
َّ ‫صل‬
9 َّ
.‫الصف ِة‬ ِ ‫ِبه ِذ ِه‬

Tidak (boleh) ditulis hadis dari Nabi Saw. sehingga (diketahui) seorang siqqah
meriwayatkan hadis itu dari seorang siqqah (pula), sehingga (jalur) hadis ini sampai kepada
Nabi Saw, dengan kondisi yang seperti ini.

Kaedah kedua,

‫ص ٍر َوا ِح ٍد َوإِ ْن لَ ْم‬


ْ ‫ع ِم ْنهُ ِلك َْو ِن ِه َما َج ِميعًا كَانَا فِى َع‬ َّ ‫ أ َ َّن ُك َّل َر ُج ٍل ثِقَ ٍة َر َوى َع ْن ِمثْ ِل ِه َحدِيثًا َو َجائِ ٌز ُم ْم ِك ٌن لَهُ ِلقَا ُؤهُ َوال‬-
ُ ‫س َما‬
‫ى َل ْم‬ َّ ‫الر َوايَةُ ثَا ِبت َةٌ َو ْال ُح َّجةُ ِب َها الَ ِز َمةٌ ِإالَّ أ َ ْن يَ ُكونَ ُهنَاكَ دَالَلَةٌ بَ ِينَةٌ أَ َّن َهذَا‬
َ ‫الرا ِو‬ ِ َ‫ط أَنَّ ُه َما اجْ ت َ َم َعا َوالَ تَشَافَ َها ِب َكالَ ٍم ف‬ ِ ْ ‫يَأ‬
ُّ َ‫ت فِى َخبَ ٍر ق‬
10
َ ُ‫َي ْلقَ َم ْن َر َوى َع ْنهُ أ َ ْو لَ ْم َي ْس َم ْع ِم ْنه‬
‫ش ْيئًا‬

Sesungguhnya setiap periwayat yang siqqah (tentulah) meriwayatkan hadis dari yang siqqah
(pula), boleh jadi ada pertemuan dan sama'i (antara keduanya) karena hidup pada masa yang
sama, walaupun tidak ada informasi bahwa keduanya pernah berkumpul pada satu majelis atau
berbicara secara langsung. Maka riwayatnya kuat dan pasti menjadi hujjah. Kecuali ada
informasi yang jelas bahwa periwayat tersebut tidak bertemu atau tidak mendengar apapun dari
gurunya.

Kaedah ketiga,

‫ع َبل‬ َّ ‫آخ ِر ِه َوا ِْن لَ ْم يُ َب ِي ْن ِف ْي ِه ال‬


ُ ‫س َما‬ ِ ‫ى‬َ ‫ى َي ْنتَ ِهى ذلِكَ ا ِل‬
َّ ‫س َم َعهُ َم ْن فَ ْوقَهُ َحت‬ ِ ‫صا ُل اْ ِإل ْسنَا ِد ِف ْي ِه ا َ ْن َي ُك ْونَ َو‬
َ ‫احد ٌ ِم ْن ُر َوا ِت ِه‬ َ ‫ َواِ ِت‬-
11
.‫تص َر َعلى العَ ْنعَنَة‬ِ ‫ا ْق‬
Persambungan sanad terjadi pada (sanad hadis), (jika) salah seorang perawi mendengar
hadis dari orang yang berada pada level di atasnya, (kondisi seperti ini juga) terjadi sampai
pada akhir sanad, meskipun tidak diperlihatkan terjadinya sama'i, tetapi hanya dengan
periwayatan 'an'anah.

Kaedah keempat:

،‫ي ِل َم ْن َر َوى َع ْنهُ بِ ْالعَ ْنعَنَة‬ َّ ‫ أ َ ْن يَثْبُتَ ِلقَا ُء ا‬:‫ األ َ َّول‬:‫طي ِْن‬
ْ ‫لرا ِو‬ َ ِ‫ط ْوا (أ َ ْه ُل ْال َح ِد ْيثِ) ِل َك ْي يَحْ ُكم ِل ْل ُمعَ ْنعَن بِا ْ ِالت‬
َ ‫صا ِل ش َْر‬ ُ ‫ اِ ْشت ََر‬-

َ ‫والثَّانِي أ َ ْن يَ ُكونَ بَ ِر ْيئًا ِمن َو‬


.‫ص َم ِة التَّدْ ِلي ِْس‬
12

9
al-Baghdadi, Al-Kifayah, h. 20.
10
Muslim, Al-Jami' as-Sahih, Muqaddimah, h. 23.
11
al-Baghdadi, Al-Kifayah, h. 21.
12
Nur al-Din 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadis, cet. III (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), h. 351.
8

(Para pakar hadis) memberi dua persyaratan agar hadis mu'an'an bisa "dipastikan"
bersambung, (yaitu): Pertama, Adanya kepastian bahwa seorang periwayat bertemu dengan
gurunya dalam meriwayat hadis 'an'anah. Kedua, periwayat tersebut terbebas dari aib
tadlis13.

Oleh karena itu apabila ada hadis yang sanadnya munqoti’14, Mu’dhol 15, Mu’allaq16 dan
mursal17 maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih walaupun dulunya
termasuk hadist shahih

3. Rawi Bersifat Dhabit


Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang
diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya,
kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya
kembali.18 Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak
semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.

Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :
Dhabit Shadr(dhabit Fuad)
Artinya terpelihara hadis yang diterimanya dalam hafalan, sejak ia menerima hadis tersebut
sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.
Dhabit Kitab
Artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami
dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya dengan baik
dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.19
Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat berikut:

13
Tadlis adalah menyembunyikan aib yang ada dalam sanad, lalu menampakkan zhahir sanadnya baik
14
Munqothi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut. Terkadang
maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di dalamnya hadits yang empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol
dan munqothi’ itu sendiri
15
Mu’dhol adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah sanadnya, dua rowi secara berturut-turut.
16
Mu’allaq adalah hadits yang dihilangkan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang semua sanadnya, seperti
perkataan Imam Bukhori, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Allah di setiap keadaannya
17
Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabishollallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in yang tidak
mendengar langsung dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
18
Mujiyo,.Op.Cit,.hlm.3
19
Ibn al-salah. Abu ‘Amr. ‘ulumul al-hadist, Ed.Nur al-Din ‘Atr.( Madinah : Maktabat al’ilmiyyah, cet.kedua, 1972). Hal 69
9

a. Pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya dan
diterimanya
b. Kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya)
c. Ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis yang telah didengarnya dengan
baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat
hadisnya kepada orang lain.
Adapun beberapa penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(d) Ucapan yang menipu

4. Rawi bersifat adil


Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik
berikut:keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat
adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.

khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh
sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa
sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.

Term adalah (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran.20
Banyak perbedaan pendapat antara ulama, memperhatikan pendapat ulama yang telah
dipaparkan agaknya dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan adil atau bersifat ‘adalah jika
pada dirinya terkumpul criteria muslim, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak berbuat
bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat dipercaya beritanya.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan adil adalam transformasi
hadis adalah bahwa periwayat tersebut harus beragama Islam, mukallaf, melaksanakan
ketentuan agama dan memelihara citra dirinya (muru’ah). Dengan kata lain, keadilan periwayat
ini terkait erat dengan kualitas pribadinya. Sekalipun ulama mempunyai maksud yang sama
dalam mendefinisikan tentang sifat adil ini, tetapi mereka berbeda dalam redaksi dan

20
Ibn Madzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th.), jus XIII, hal 445-463
10

kriterianya. Ada beberapa cara menetapkan keadilan periwayat hadis yang disebutkan oleh
ulama, yakni berdasarkan:
a. Pertama, popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
b. Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat hadis
c. Ketiga, penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh bila para kritikus
periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.21
adapun yang pertama beberapa penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta oleh ahli hadist
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan

5. Contoh gugurnya keshohihan hadist dikarnakan sanadnya tidak bersambung,


tidak adil dan tidak dhobitnya rowi

Hadis ini merupakan potongan dari redaksi hadis yang cukup panjang dan dilengkapi dengan
sanad mulai dari Ibn Majah (mukharrij) sampai dengan Nabi saw. – seperti yang termuat
dalam Sunan Ibn Majah pada Kitab Iqamah al-Salah wa al-Sunnah fiha, Bab Fi Fard al-
Jum'ah – adalah sebagai berikut:

ُّ ‫َّللاِ ْبنُ ُم َح َّم ٍد ْال َعدَ ِو‬


‫ي َع ْن َع ِلي ِ ب ِْن زَ ْي ٍد‬ َّ ُ ‫ب ( َخبَّاب) َحدَّث َ ِني َع ْبد‬ ٍ ‫َّللاِ ب ِْن نُ َمي ٍْر َحدَّثَنَا ْال َو ِليد ُ ْبنُ بُ َكي ٍْر أَبُو َج َّنا‬
َّ ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ْبنُ َع ْب ِد‬
َّ ‫اس تُوبُوا إِلَى‬
‫َّللاِ قَبْل َل‬ ُ َّ‫سلَّ َم فَقَا َل ( يَا أَيُّ َها الن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫طبَنَا َر‬َ ‫َّللاِ قَا َل َخ‬ َّ ‫ب َع ْن َجابِ ِر ب ِْن َع ْب ِد‬ َ ‫س ِعي ِد ب ِْن ْال ُم‬
ِ َّ‫سي‬ َ ‫َع ْن‬
َّ ‫صلُوا الَّذِي بَ ْينَ ُك ْم َوبَيْنَ َربِ ُك ْم بِ َكثْ َرةِ ِذ ْك ِلر ُك ْم لَلهُ َو َكثْ َلرةِ ال‬
ِ ‫صلدَقَ ِة فِلي الس‬
‫ِلر‬ ِ ‫صا ِل َح ِة قَ ْب َل أ َ ْن ت ُ ْشغَلُوا َو‬
َّ ‫أَ ْن ت َ ُموتُوا َوبَاد ُِروا بِاْأل َ ْع َما ِل ال‬
ْ ‫ش ْه ِري َهذَا ِم‬
‫لن‬ َ ‫امي َهذَا فِي يَ ْو ِمي َهذَا فِي‬ ِ ‫ض َعلَ ْي ُك ْم ْال ُج ُمعَةَ فِي َم َق‬ َّ ‫ص ُروا َوتُجْ بَ ُروا َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬
َ ‫َّللاَ قَدْ ا ْفت ََر‬ َ ‫َو ْالعَالَنِيَ ِة ت ُ ْرزَ قُوا َوت ُ ْن‬
َّ ‫امي َهذَا ِإلَى يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة فَ َم ْن ت ََر َك َها فِي َحيَاتِي أ َ ْو بَ ْعدِي َولَهُ ِإ َما ٌم َعلا ِد ٌل أ َ ْو َجلائِ ٌر اسْلتِ ْخفَافًا ِب َهلا أَ ْو ُج ُحلودًا لَ َهلا فَلالَ َج َمل َع‬
ُ‫َّللاُ لَله‬ ِ ‫َع‬
‫َّللاُ َعلَيْل ِه‬
َّ ‫َلاب‬ َ َ ‫لن ت‬
َ ‫لاب ت‬ َ ُ ‫ص ْو َم لَهُ َوالَ ِب َّر لَهُ َحتَّى َيت‬
ْ ‫وب فَ َم‬ َ َ‫صالَة َ لَهُ َوالَ زَ كَاة َ لَهُ َوالَ َح َّج لَهُ َوال‬ َ َ‫اركَ لَهُ فِي أ َ ْم ِر ِه أَالَ َوال‬ َ ‫ش َْم َلهُ َوالَ َب‬
22 َ ‫س ْو‬
.) ُ‫طه‬ َ ‫س ْيفَهُ َو‬
َ ‫َاف‬
ُ ‫ان َيخ‬ ٍ ‫ط‬ َ ‫س ْل‬ُ ‫اج ٌر ُمؤْ ِمنًا ِإالَّ أَ ْن َي ْق َه َرهُ ِب‬
ِ َ‫اج ًرا َوالَ َي ُؤ َّم ف‬ ٌّ ‫أَالَ الَ ت َ ُؤ َّم َّن ا ْم َرأَة ٌ َر ُجالً َوالَ َي ُؤ َّم أَع َْرا ِب‬
ِ ‫ي ُم َه‬

(Ibn Majah berkata): Muhammad bin 'Abd Allah bin Numair telah menyampaikan kepada
kami (katanya): al-Walid bin Bukair, yaitu Abu Jannab (Khabbab) telah menyampaikan
kepada kami (katanya): 'Abd Allah bin Muhammad al-'Adawi telah menyampaikan kepadaku,

21
Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat
mereka.( oleh Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 260
22
Abu 'Abd al-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, pentahqiq Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi, juz I
(Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 343.
11

dari 'Ali bin Zaid dari Sa'id bin al-Musayyab dari Jabir bin 'Abd Allah, (Jabir berkata):
Rasulullah saw. telah menyampaikan khutbah kepada kami, kata Beliau: "Wahai manusia,
bertaubatlah kepada Allah sebelum ajalmu, lakukanlah segera perbuatan yang baik sebelum
waktumu disibukkan (dengan hal yang lain), jalinlah hubungan (kasih sayang) dengan
sesamamu dan hubungan (baik) dengan Rabb-Mu dengan banyak berzikir kepada-Nya, banyak
bersedekah tanpa dan dengan sepengetahuan orang, (pasti) kamu akan diberi rezeki, diberi
pertolongan dan dipenuhi (kebutuhannya). Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah telah
mewajibkan kepadamu (ibadah) Jum'at di tempat berdiriku ini, pada hariku ini, di bulan dari
tahunku ini sampai hari kiamat. Siapapun yang meninggalkan (ibadah) Jum'at karena
menganggap enteng atau karena mengingkarinya, (itu terjadi) di masa aku hidup dan setelahku,
sementara dia punya imam yang adil ataupun lalim, maka Allah tidak (akan) memberi jalan
keluar dan memberkahi urusannya. Ketahuilah, tidak ada baginya kebaikan (guna) dari salat,
zakat, haji, puasa yang dikerjakannya, sampai dia bertaubat. Maka siapa yang telah bertaubat,
Allah akan menerima taubatnya. Ketahuilah, jangan sekali-kali perempuan menjadi imam
(bagi) laki-laki, penduduk baduwi imam (bagi) penduduk urban, pelaku maksiat imam (bagi)
orang beriman, kecuali (karena) dia dipaksa oleh penguasa yang ditakuti pedang dan
cambuknya.")
12

Berdasarkan teks asal hadis di atas, maka dapat dibuatkan skema sanadnya seperti di
bawah ini

 Skema sanad hadis di atas memperlihatkan bahwa Ibn Majah (sebagai seorang mukharrij)
memperoleh hadis ini dari Muhammad bin 'Abd al-Lah bin Numair, dari Al-Walīd bin Bukair
(Abu Jannab/Khabbab), dari 'Abd al-Lah bin Muhammad al-Adawi, dari Ali bin Zaid dari
Sa'id bin al-Musayyab, dari Jabir bin 'Abd Allah, kemudian dari Rasulullah saw.
 Ibn Majah (w. 273 H) yang bernama lengkap Abu 'Abd al-Lah bin Majah Muhammad bin
Yazid al-Raba'i al-Qazwaini. Ibn Majah mengambil hadis dari Muhammad bin 'Abd al-Lah
bin Numair. Dia dikenal sebagai seorang yang siqqah kabirah, muttafaq 'alaih dan muhtaj
bihi, dengan kata lain tak satupun kritikus yang meragukan kualitas ke-siqqah-annya.I23 Ibn
Majah juga menggunakan lafal "koneksi" yang memberikan kepastian terjadinya sama', yaitu
haddasana. Maka sanad antara Ibn Majah dan Muhammad bin 'Abd al-Lah bin Numair
bersambung.
 Muhammad bin 'Abd al-Lah bin Numair (w. 234 H) yang memiliki nama lengkap: Abu 'Abd
al-Rahman Muhammad bin 'Abd al-Lah bin Numair al-Hamdani al-Kharifi al-Kufi,
memperoleh riwayat ini dari al-Walid bin Bukair (Abu Khabbab). Banyak kritikus hadis

23
Abu al-Hajjaj Jamal al-Din Yusuf al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma' al-Rijal, juz XXVII (Cet. II; Beirut: Mu'assasah al-
Risalah, 1983), h. 40, 41. Pencantuman Ibn Majah di sini tidak bermaksud menerapkan atau kaedah atau membuktikan aspek persambungan
sanad. Tetapi hanya dimaksudkan untuk memberi informasi tambahan bagi alur penelitian sanad yang biasa dilakukan. Sama halnya pada
pencantuman nama Jabir bin 'Abd Allah pada bagian selanjutnya.
13

men-tausiq Muhammad bin 'Abd al-Lah bin Numair, di antaranya adalah Abu Hatim, al-'Ijli,
24
al-Nasa'i dan lain-lain, dan tidak satupun yang mencela ke-siqqah-annya. . Berdasarkan
aspek ke-siqqahan ini serta lafal haddasana yang digunakan Muhammad bin 'Abd al-Lah bin
Numair, menunjukkan bahwa sanad hadisnya bersambung.
 Guru Muhammad bin 'Abd al-Lah bin Numair ini, nama lengkapnya adalah Abu Khabbab al-
Walid bin Bukair al-Tamimi al-Tuhawi al-Kufi. Ia memperoleh hadis dari 'Abd al-Lah bin
Muhammad al-'Adawi. Abu Hatim menilainya: Syaikh. Sementara Ibn Hibban
mencantumkan namanya di dalam al-Siqqat. Jadi, menurut al-Zahabi hanya Ibn Hibban satu-
satunya kritikus yang men-tausiq al-Walid. Ibn Majah (mukharrij hadis ini) hanya
25
meriwayatkan satu hadis saja dari al-Walid. Lafal yang digunakan al-Walid juga
menunjukkan aktifitas sama', yaitu haddasani. Dengan demikian sanad antara dia dan 'Abd
Allah bin Muhammad al-'Adawi bersambung.
 'Abd al-Lah bin Muhammad al-'Adawi mendapatkan hadis ini dari 'Ali bin Zaid bin Jud'an.
Tidak ditemukan satupun kritikus hadis yang menilai baik 'Abd al-Lah al-'Adawi. Berbagai
pandangan negatif, mulai dari syaikh majhul, munkar al-hadis sampai dengan matruk
dituduhkan kepadanya. Bahkan Waki' menuduhnya telah merekayasa-rekayasa (ramahu bi
26
al- wad'u) hadis. Selain itu 'Abd al-Lah bin Muhammad al-'Adawi menggunakan lafal
'an'anah. Akhirnya sanad antara dia dan 'Ali bin Zaid bin Jud'an dikatakan tidak bersambung.
 'Ali bin Zaid (w. 129 H) yang dikenal sebagai guru dari 'Abd al-Lah al-'Adawi ini, memiliki
nama asli Zuhair bin 'Abd al-Lah bin Jud'an bin 'Amru bin Ka'ab bin Sa'd bin Taim bin
Murrah al-Qurasyi al-Taimi. Kualitas 'Ali bin Zaid, adalah orang yang dikenal para kritikus
hadis, sehingga tak pelak lagi berbagai "tudingan miring" ditujukan kepadanya, seperti da'if
menurut al-Nasa'i, laisa bi al-qawi menurut Abu Zur'ah, dituduh syi'ah oleh Abu Hatim al-
Razi, laisa bi hujjah menurut Yahya bin Ma'in, tapi Muhammad bin Sa'ad menilai 'Ali bin
Zaid sebagai yang punya banyak hadis (kasir al-hadis), tetapi juga dituduh rusak hafalannya
(su' al-haifz) oleh Abu Bakar bin Khuzaimah. Sebenarnya ada yang menganggap 'Ali bin
Zaid siqqah tapi itupun hanya menurut Ya'qub bin Syaibah saja, bahkan ikut juga
27
mengganggap 'Ali bin Zaid layyin, seperti menurut Al-Daruqutni. . Berdasarkan sifat-sifat
yang tidak menunjukkan ke-siqqah-an ini, "diperparah" lagi dengan penggunaan lafal
'an'anah, maka sanad antara dia dan Sa'id bin al-Musayyab tidak bersambung.
24
al-Mizzi, op. cit., Juz XXV, h. 566 – 569.
25
Ibid., Juz XXXI, h. 5-6. Syams al-Din Muhammad bin Ahmad al- Zahabi, Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal, juz VII (Cet. I;
Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1995), h. 127. Syams al-Din Muhammad bin Ahmad al-Zahabi, Tazhib Tahzib al-Kamal fi Asma' al-Rijal,
jilid IX (Cet. I; Kairo: al-Faruq al-Hadisiyah li al-Taba'ah wa al-Nasyr, 2004), h. 362.
26
al-Mizzi, op. cit., juz XVI, h. 102, 103. al-Żahabi, op. cit., juz IV, h. 176. Abu Muhammad 'Abd al-Rahman bin Abi Hatim
Muhammad bin Idris al-Tamimi al-Hanzali al-Razi, Al-Jarh wa al-Ta'dil, juz V (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2002), h. 191.
27
al-Mizzi, op. cit., juz XX, h. 434, 435, 438, 439.
14

 Sa'id bin al-Musayyab (w. 94 H) adalah tabi'in yang menjadi salah seorang guru 'Ali bin
Zaid, yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad Sa'id bin al-Musayyab bin Hazn bin Abi
Wahb bin 'Amru bin 'Aiz bin 'Imran bin Makhzum al-Qurasyi al-Madani. Sa'id bin al-
Musayyab mengambil hadis (rawa 'an) dari Jabir bin 'Abd al-Lah. Selain dia dikenal sebagai
pakar hukum Islam di Madinah, Sa'id bin al-Musayyab juga telah termasyhur ke-siqqah-
annya. Ahmad bin Hanbal misalnya, memberi komentar tentang Sa'id bin al-Musayyab
sebagai orang yang siqqah dan ahli kebaikan (ahl al-khair), demikian juga menurut Abu
Zur'ah al-Razi. Akan tetapi Sa'id bin al-Musayyab juga dikenal dengan riwayat-riwayat yang
mursal-nya seperti dari Abu Bakar, walaupun masih digunakan Yahya bin Ma'in dan al-
28
Syafi'i. Hadis yang diriwayatkannya ini, tidak termasuk kepada riwayat-riwayat yang
mursal yang dimaksudkan, oleh karena itu dari sisi ke-siqqah-an tidak ada persoalan. Adapun
lafal 'an'anah yang digunakannya, tidak mempengaruhi bukti adanya pertemuan yang bisa
dibuktikan melalui perhitungan tahun kewafatan antara Sa'id bin al-Musayyab dan Jabir bin
'Abd al-Lah. Bahkan diperkuat lagi tentang adanya hubungan periwayatan antara keduanya
yang diungkapkan dalam kitab rijal al-hadis. Sa'id bin al-Musayyab juga tidak pernah
melakukan "skandal" tadlis. Oleh karena itu sanad hadis antara dia dengan Jabir bin 'Abd al-
Lah bersambung.
 Jabir bin 'Abd al-Lah (w. 73 H), memiliki nama lengkap yaitu Abu 'Abd al-Lah Jabir bin
'Abd Allah bin 'Amru bin Haram bin Sa'labah bin Ka'ab bin Ghanm bin Ka'ab bin Salimah
bin Sa'ad bin 'Ali bin Asad bin Saridah al-Ansāri al-Silmi. Seorang sahabi yang pernah
dimintakan ampunan oleh Nabi saw. pada "malam ba'ir" sebanyak dua puluh lima kali. Pada
waktu Hudaibiyah, dia termasuk salah seorang yang dinyatakan Nabi saw. sebagai sebaik-
baik penghuni dunia (khair ahl al-ard). Salah seorang sahabat yang pernah mengikuti
sembilan belas kali peperangan bersama Nabi saw. Dia juga banyak meriwayatkan hadis dari
Nabi saw. 29 Sehingga dapat dikatakan Jabir bin 'Abd al-Lah memiliki sanad bersambung
kepada Nabi saw.

Berdasarkan contoh aplikasi sederhana dari kaedah persambungan sanad hadis di atas,
terbuktilah bahwa hadist tersebut adalah dhoif(da'if al-isnad), karena adanya perawi yang
memiliki sanad yang tidak bersambung.

28
Ibid., juz XI, h. 66, 70, 71, 73, 74. Abu Mahasin Muhammad bin 'Āli al-'Alawi al-Husaini, Al-Tazkirah bi Ma'rifah Rijal al-
Kutub al-'Asyrah, juz I (Kairo: Maktabah al-Khaniji, t.th.), h. 605.
29al-Mizzi, op. cit., Juz IV, h. 443, 449, 450, 453. Abu 'Abd al-Lah Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin 'Usman bin

Qayimaz al-Zahabi, Tajrid Asmā' al-Sahabah, Juz I, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.th.), h. 73. Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajr al-'Asqalāni,
Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, juz. I (Cet. I; Beirūt: Dar al-Jail, 1412 H), h. 433.
15

6. Tidak Ber-illat
Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan.
Adapun dalam terminology ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang
didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis
Ibnu shalah, al nawawi, dan Nur al-din ‘itr menyatakan bahwa illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadist, yang menyebabkan hadist yang pada lahirnya
tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.30
Sebagian ulama menyatakan orang yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang
cerdas, memiliki hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalanya, mendalam
pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabit-an periwayat dan ahli di
bidang sanad dan matn hadits
Memang secara lahir tampak shahih. ‘Illat disini adalah cacat yang menyelinap pada
sanad hadis, sehingga kecacatan tersebut pada umumnya berbentuk:
a. Pertama, sanad yang tampak bersambung (muttashil) dan sampai kepada Nabi (marfu’)
ternyata muttashil tetapi hanya sampai kepada sahabat (mawquf)
b. Kedua, sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tetapi hanya riwayat
sahabat dari sahabat lain (mursal)
c. Ketiga, terjadi percampuran dengan hadis lain
d. Keempat, kemungkinan terjadi kesalahan penyebutan perawi yang memiliki kesamaan
nama, padahal kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya (tsiqah) tidak sama
adapun illat pada suatu hadist itu ada 2.
1. ’Illat dalam sanad
. ‫ عن الثوري عن عمرو بن دينار عن إبن عمر عن الرسول هللا صلى هللا عليه‬,‫حديث يعلى بن عبيد‬

‫ البيعان بالخيارما لم يتفرقا‬:‫وسلم‬ .


Artinya: hadits Ya’la Bin ‘Ubaid dari Tsaury dari ‘Amru bin Dinar dari Ibn ‘Umar dari
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Kedua orang penjual dan pembeli itu
mempunyai hak khiyar selama mereka belum berpisah”.
Dalam hadits ini telah salah Ya’la terhadap Sufyan dalam perkataannya ‘Amru bin Dinar,
karena imam-imam hafidz dari shahabat-shahabat Sufyan meriwayatkan dari Abdullah bin
Dinar, bukan kepada ‘Amru bin Dinar. ‘Illatnya terletak pada adanya kekeliruan Ya’la bin
‘Ubaid dalam menyandarkan periwayatannya kepada Sufyan dari ‘Amru bin Dinar.

30
Abu amr usman bin abdur rochmanibnu shalah, ulumul hadist, hlhm 81
16

Diketahui adanya kekeliruan itu setelah diadakan perbandingan dengan sanad yang lain.
Yaitu sanad-sanad Abu Nu’aim, sanad Muhammad bin yusufdan sanad Makhlad bin Yazid.
Mereka ini meriwayatkan hadits itu melalui Sufyan Ats-Tsaury, Abdullah bin Dinar dan Ibn
‘Umar.
Nyatalah sekarang bahwa sanad Ya’la bin ‘Ubaid itu ber’illat. Karena ia menyandarkan
periwayatannya dari ‘Amru bin dinar padahal sebenarnya dari Abdullah bin Dinar. Walaupun
sanad dari Ya’la ber’illat, namun matannya tetap shahih. Karena sama dengan matan hadits
yang diriwayatkan oleh sanad-sanad lain yang tidak ada ‘illatnya (shahih).
‘Illat pada sanad yang membawa pengaruh kepada kecacatan matannya itu terjadi kalau ‘illat
itu disebabkan karena memauqufkan (beritanya hanya sampai kepada shahabat),
mengirsalkan ( meninggalkan shahabat yang seharusnya dijadikan sumber pemberitaan) atau
memunqathi’kan (menggugurkan salah satu rawi yang menjadi sanadnya).
2. ‘Illat dalam Matan
‫ فإنه اليدري أين باتت يده ثم ليغترف بيمينه‬,‫إذاستيقظ أحدكم من منامه فليغسل كفيه ثالث مرات قبل أن يحعلهما في اإلناء‬
‫من أنا ءه ثم ليصب على شماله فليغسل مقعدته‬
Artinya: “Apabila salah seorang dari kamu bangun tidur, maka hendaklah ia mencuci
kedua telapak tangannya kedalam bejana (tempat air), sebab ia tidak mengetahui kemana
tangannya semalam”.
Hadits Ibrahim bin Thuhman, yang berasal dari Hisyam bin Hisan, dari Muhammad bin
Sirrin dari Abu Hurairah dan yang bersanad Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu
Hurairah.

Abu Hatim ar-Razy berkata: kalimat tsumma liyaghtarifa sampai dengan maq’adatahu,
adalah perkataan Ibrahim bin Thuhman. Karena ia menyambung perkatan itu pada akhir
matan hadits, sehingga orang yang (mendengar) menerima tidak dapa mengetahui ‘illatnya.
Perkataan seorang rawi yang disisipkan dalam suatu matan hadits itu disebut idraj. Sebagian
ketentuan idraj adalah apabila seorang rawi yang menyisipkan itu menjelaskan bahwa sisipan
atau tambahan itu untuk menjelaskan matan, maka yang demikian itu bukan merupakan ‘illat
yang dapat mencacatkan suatu hadits. Akan tetapi apabila rawi tersebut mengatakan bahwa
kata-kata yang diriwayatkan itu adalah matan hadits, maka idraj tersebut menyebabkan
cacatnya matan hadits.
17

7. Tidak Syadz (Janggal)


Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang
lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain
yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun
jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri
disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif
terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.31
Menurut al-Syafi’iy Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits itu
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat lainnya
tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah hadits dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat tersebut bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat siqat 32
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat
sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi
kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat
kekurang pastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabit-annya
sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurang pastian tersebut hanya mengurangi
keshahihan hadits yang dicurigai saja
ke-syadz-an sanad hadits baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai
berikut:
a. Semua sanad yang mengandung matn hadits yang pokok masalahnya memiliki kesamaan,
dihimpun dan diperbandingkan
b. Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya
c. Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada seorang periwayat yang sanad-nya
menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut sanad
syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad mahfuzh.
Adapun yang menjadi penyebab utama terjadinya syadz sanad hadits adalah karena
perbedaan tingkat ke-dhabith-an periwayat.Jadi sekiranya unsur sanad bersambung atau
unsur periwayat bersifat dhabith benar-benar telah terpenuhi, niscaya ke-syadz-an
sanad tidak akan terjadi

31
Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan Diriyah. (Bandung : Mimbar pustaka),.h.140
32 Diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibn al-Shalah. Lihat : al-Hakim, op. cit. , h. 119; Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 48.
18

Berdasarkan dari beberapa defenisi maka hadits syadz dibagi kepada dua
bagian, yaitu syadz pada sanad, dan syadz pada matan.
1.Contoh Syadz Pada Sanad
‫حد ثناابن ابي عمر حد ثنا سفيان عن عمروبن دينارعن عوسجةعن ابن عباس ان رجال مات على‬
‫عهدرسول هللا صلى هللا عليه وسلم ولم يدع وارثااالعبداهو اعتقه فاعطاه النبي صلى هللا عليه وسلم‬
.‫ميراثه‬
“Turmudzi berkata: Telah menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Umar, telah menceritakan
kepada kami, Sofyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang
laki-laki meninggal dunia dimasa Rosulullah saw. Serta tidak meninggalkan ahli warits,
kecuali seorag hamba sahaya yang ia merdekakan(maula), makanabi saw. Memberikan
warisanya kepada hamba itu.
Dalam sanad yang pertama, yang menjadi pokok adalah Sufyan bin ‘Uyainah. Sufyan
meriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah, dan dari Ibnu Abbas. Sedangkan disanad
yang kedua, yang menjadi pokok adalah Hammad bin Zaid.
Hammad ini meriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah dan tanpa Ibnu
Abbas.Sufyan dan Hammad adalah orang-orang kepercayaan dan ahli dibidang hafalan, tetapi
riwayat Sufyan yang memakai sebutan Ibnu Abbas itu dibantu oleh Ibnu juraij.
Muhammad bin Muslim ath-Tha-ifi dan lainya sedangkan riwayat Hammad tidak ada yang
membantunya. Maka berdasarkan keterangan tersebut dapat dikethui bahwa riwayat Sufyan
lebih patut(kuat) daripa riwayat Hammad. Karena itu Imam Abu Hatim menguatkan riwayat
sufyan. Riwayat Hammad yang menyalahi riwayat Sufyan yang lebih kuat itu
disebut Syadz, sedangkan riwayat Sufyan disebut Mahfuzh(yang terpelihara). Syadz tersebut
terjadi pada sanad karena itu disebut Syadz pada sanad
2 .Syad pada matan contohnya ialah:

‫حد ثناابن السرح حد ثناابن وهب اخبرني يونس عن ابن شهاب عن عمرة بنت عبدالرحمن عن‬
.‫ نحر عن ال محمد في حجة الوداع بقرة واحدة‬.‫ ان رسول هللا ص‬.‫عاأشة زوج النبي ص‬
Kata Abu Daud : Telah menceritakan kepada kami, Ibnu sarah, telah menceritakan kepada
kami, Ibnu Wahb telah mengkhabarkan kepada kami,Yunus, dari Ibnu Syihab dari ‘Amrah
binti Abdurahman, dari ‘Aisyah istri Nabi saw., bahwa Rosulullah saw. Berkurban untuk
keluraga Muhammad(istri-istrinya) pada Haji Wada’ seekor sapi betina.

Dengan Hadits
19

‫ يوم‬.‫رواه عما رالدهني عن عبد الرحمن بن القا سم عن ابيه عن عاءشة قالت ذبح عنا رسول هللا ص‬
.‫حججنا بقرة بقرة‬
Diriwayatkan Hadits ini oleh ‘Ammar ad-Duhani, dari ‘Abdurrahman, bin al-Qasim, dari
ayahnya(al-Qasim), dari ‘Aisyah, ia berkata Rosulullah saw. Telah menyembelih unta untuk
kami pada hari kami naik haji, seekor sapi, seekor sapi.
Yang menjadi pokok pembahasan pada hadits pertama ialah Yunus, dan dalam hadits
kedua ‘Ammar ad-Dhuni. Istri nabi berjumlah Sembilan orang. Didalam hadits yang pertama
disebutkan “seekor sapi” untuk Sembilan orang istri. Sedangkan pada hadits kedua disebutkn
“seekor sapi, seekor sapi” yang berarti untuk Sembilan orang istri Nabi berkurban Sembilan
ekor sapi. Dua Hadits ini berlawanan perlu diperiksa mana yang lebih kuat. Yunus dan
’Ammar adalah orang-orang kepercayaan, tetapai Hadits yang diriwayatkan oleh Yunus lebih
kuat daripada ‘Ammar. Riwayat Yunus dibantu oleh Ma’mar yang lafazh Haditsnya lebih
tegas dari riwayat Yunus, dan dibantu lagi dari jalan Abu Hurairoh. Pembantu-pembantu ini
meriwayatkan bahwa Nabi saw. Berkurban seekor sapi untuk Sembilan orang istrinya.

Adapun riwayat ‘Ammar tidak mendapat bantuan. Sehingga riwayat Yunus lebih kuat
dari pada riwayat ‘Ammar. Karena keganjilan terdapat pada matan maka disebut Syadz pada
matan.
Dilihat dari segi periwayat, hadist mual’al(yang terdapat illat) dengan hadist syadz itu
sama, yaitu keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat yang stiqoh. Bedanya, dalam
hadist mual’al, illatnya dapat di temukan sedang dalam hadist syadz tidak terdapat illat.

Demikianlah uraian-uraian tentang hadist shohih dan syarat-syaratnya yang lima, maka
apabila dari kelima syarat tersebut tidak terpenuhi atau mungkin tidak begitu sempurna, maka
dari demikian muncul dua kemungkinan.
1. Apabila syarat-syarat kelima sudah terpenuhi, tapi kekurangannya cuman dari segi
kedhobithan dari salah seorang perowinya kurang sempurna meskipun sedikit, tapi
tidak begitu pelupa. Maka itu dinamakan hadist hasan. Karna memang pada dasarnya
hadist hasan dan shohih itu sama, cuman diukur dari kedhobitan dari perowinya.
2. Apabila ada salah satu atau bahkan lebih, dari kelima syarat tersebut tidak terpenuhi,
maka hadist tersebut termauk hadis dhoif.
20

Pengertian hadist hasan


Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus,33 Sesuatu yang disenangi dan
dicondongi oleh nafsu34

Sedangkan secara istilah, hadits hasan didefinisikan secara beragam oleh ahli Hadits,
sebagai berikut :

1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani


‫َوخبراألحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل وال شا ذ‬

Khobar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung
sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.35 .

2. Menurut Imam at-Tirmidzi


‫كل حديث يروى ال يكو ن فى إسنا ده من يّتّهم با لكذب وال يكو ن الحديث شا دّا و يروى من غير وجه‬
‫نحو ذالك‬

Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada
matannya tidak terdapat keganjalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu
jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya

Definisi hadits hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi
hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib, sekalipun pada hakikatnya
berstatus hasan. Tidak dapat dirumuskan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut
disyariatkan tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan
periwayatan). Meskipun demikian, melalui definisi ini at-Tirmidzi tidak bermaksud
menyamakan hadits hasan dengan hadits shahih, sebab justru at-Tirmidzilah yang mula-mula
memunculkan istilah hadits hasan ini.36

3. Menurut At-Thibi
. ‫مسند من قرب من درجة الثقة أو مرسل ثقة وروي كال هما من غير وجه وسلم من شدو ٍذ ا وال علة‬

33
Syaikh Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005) hlm, 121

34
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Ghalia Indonesia,2002), 114
35
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), 145-146
36
Ob.cit. Sohari Sahrani, hlm. 114
21

Hadits musnad ( muttasil dan marfu’ ) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau
hadits mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits
itu terhindar dari syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan).37

Dengan kata lain hadits hasan adalah :

. ‫هو ما ا تصل سنده بنقل العدل الذى ق َّل ضبطه و خال من الشّذوذ والعلة‬

Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.38

Atas dasar pengertian hadits hasan tersebut, maka syarat-syarat hadits hasan itu ada lima
macam, yaitu:

1. Muttasil sanadnya
2. Rawinya adil
3. Rawinya dhabith
Kedhabitan rawi disini tingkatannya dibawah kedhabitan rawi hadits shahih, yakni kurang
sempurna kedhabitannya.
4. Tidak temasuk hadits syadz
5. Tidak terdapat illat [cacat]39

C. Klasifikasi Hadits Hasan

1. Hadits Hasan Li Dzatihii


Hadits hasan li dzatihii adalah hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan,40
hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang
ditentukan.41
Sebuah hadits dikategorikan sebagai hasan li dzatihi karena jalur periwayatannya, hanya
melalui satu jalur periwayatan saja. Sementara hadits hasan pada umumnya, ada
kemungkinan melalui jalur riwayat yang lebih dari satu. Atau didukung dengan riwayat yang
lainnya. Bila hadits hasan ini jumlah jalur riwayatnya hanya satu, maka hadits hasan itu

37
Ob. Cit, Sohari Sahrani, 115
38
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta:Amzah,2009), 159
39
Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 59
40
Ob, cit. M. Solahuddin & Agus Suyadi, 146
41
Ob, cit. Abdul Majid Khon, 161
22

disebut dengan hadits hasan li dzatihi. Tetapi jika jumlahnya banyak, maka ia akan saling
menguatkan dan akan naik derajatnya menjadi hadits shahih li ghairihi.42
Contoh hadits hasan lidzatihii :
Diriwayatkan oleh At-Tirmizi, dia berkata: telah bercerita kepada kami Qutaibah,
telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad-Dhab’I, dari Abi Imran Al-Jauni, dari
Abu Bakar bin Abu Musa Al-Asy’ari, dia berkata,” Aku telah mendengar ayahku berkata
dihadapan musuh, Rasulullah bersabda, :
‫ني عن ابي بكر بن ابي موسى اال‬ّ ‫الضبعي عن ابي عمران الجو‬
ٌّ ‫حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليما ن‬
‫شعرى قال سمعت أبي بحضر ة العد ّ ِّو يقول قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إنّ ابواب الجنّة تحت‬
ّ
‫ظالل السيوف‬
“......dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, (berkata), saya mendengar ayahku ketika
berada dihadapan musuh berkata, Rasulullah saw. Bersabda: ‘sesungguhnya pintu-pintu
surga berada dibawah bayang-bayang pedang’.” (HR. al-Tirmidzi)

Empat perawi hadits tersebut adalah tsiqoh kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dhab’I,
sehingga hadits ini sebagai hadits hasan.43
2. Hadits Hasan Li Gahirihi

Hadits hasan li ghairihi adalah hadits dhaif yang bukan dikarenakan perawinya
pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid,44 hadits yang
dhaif dikuatkan dengan beberapa jalan, dan sebab kedhaifannya bukan karena kefasikan
perawi (yang keluar dari jalan kebenaran) atau kedustaannya.
Seperti satu hadits yang dalam sanadnya ada perawi yang mastur (tidak diketahui
keadaannya), atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang tercampur hafalannya
karena tuanya, atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan
jalan lain yang sebanding dengannya, atau yang lebih kuat darinya. Hadits ini derjatnya lebih
rendah dari pada hasan lidzatihii dan dapat dijadikan hujjah.45

Contoh hadits hasan li ghairihi


Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan dia menilainya hasan, dari riwayat
Syu’bah dari ‘Asim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari ayahnya,
berbunyi sebagai berikut:

42
Zuhdi Rifa’i, Mengenal Ilmu Hadits,(Jakarta: al-Ghuraba, 2008), 167
43
Syaikh Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman,…122
44
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits,…146
45
Syaikh Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, 124
23

ْ َّ‫ أَن‬: ‫ ع َْن أَبِّي ِّه‬، َ‫ام ِّر ب ِّْن َربِّيعَة‬


‫ام َرأَةً ِّم ْن‬ ِّ ‫ع‬َ َ‫َّللاِّ ْبن‬
َّ ‫ع ْب َد‬ َ ‫ قَال‬، ِّ‫َّللا‬
َ ُ‫س ِّمعْت‬ َّ ‫عبَ ْي ِّد‬ ِّ ‫ ع َْن ع‬، ُ‫ش ْعبَة‬
ُ ‫َاص ِّم ب ِّْن‬ ُ ‫َح َّدثَنَا‬
ِّ ‫" أ َ َر ِّضي‬: ‫سلَّ َم‬
‫ت ِّم ْن نَ ْفس ِِّّك َو َما ِّل ِّك‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِّ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ُ ‫ فَقَا َل َر‬. ‫علَى نَ ْعلَي ِّْن‬ َ ‫بَنِّي فَ َز‬
َ ْ‫ارةَ ت َ َز َّو َجت‬
)‫(رواه الترمذي‬. ُ‫ازه‬ َ ‫ فَأ َ َج‬: ‫ قَا َل‬. ‫ نَعَ ْم‬: ْ‫بِّنَ ْعلَي ِّْن ؟" قَالَت‬
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah
bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang perempuan dari bani Fazarah
menikah dengan mahar sepasang sandal…”

Al-Turmudzi mengomentari bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat lain, yaitu


dari Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad. Dalam hal ini Al-Turmudzi menilai
hadits tersebut hasan, karena meskipun ‘Asim dalam sanad hadits yang diriwayatkannya itu
dhaif karena jelek hafalannya, hadits ini didukung oleh adanya riwayat-riwayat lain.46

D. Kedudukan Hadits Hasan

Hadits hasan sama seperti hadits shahih dalam pemakaiannya sebagai hujjah,
walaupun kekuatannya lebih rendah dibawah hadits shahih47. Hanya saja, jika terjadi
pertentangan antara hadits shahih dengan hadits hasan, maka harus mendahulukan hadits
shahih, karena tingkat kualitas hadits hasan berada dibawah hadits shahih. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari dimensi kesempurnaan kedhabitan rawi-rawi hadits hasan, yang tidak
seoptimal kesempurnaan kedhabithan rawi-rawi hadits shahih.48
Kebanyakan ulama ahli hadits dan fuqoha bersepakat untuk menggunakan hadits
shahih dan hadits hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa
hadits hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang diterima.
Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat
diterima itu ada yang tinggi, menengah dan rendah. Hadits yang sifat dapat diterimanya
tinggi dan menengah adalah hadits shahih, sedangkan hadits yang sifat dapat diterimanya
rendah adalah hadits hasan.
Hadits-hadits yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadits
maqbul, dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits
mardud.

yang termasuk hadits maqbul adalah:


1. Hadits shahih, baik shahih li dzatihi maupun shahih li ghairihi

46
Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar,…63
47
Syaikh Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman,…121
48
Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar,…60
24

2. Hadits hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi


Yang termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dhaif. Hadits mardud
tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau
pada sanadnya.49
Ringkasnya, hadits yang dapat diterima sebagai hujjah atau dalam istimbath
[konklusi] hukum hanyalah hadits shahih dan hasan. Hadits dhaif tidak dapat digunakan baik
sebagai hujjah maupun istimbath hukum.50
E. Kitab-kitab yang mengandung Hadits hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadits-hadits hasan secara terpisah
sebagaimana mereka melakukannya dalam hadits shahih, tetapi hadits hasan banyak kita
dapatkan pada sebagian kitab, diantaranya:
1. Jami’ At-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui
hadits hasan.
2. Sunan Abi Dawud
3. Sunan Ad-Daruqutni51
F. Istilah-istilah yang semakna hadits hasan
Istilah-istilah yang digunakan oleh para ahli hadits dalam menyebut hadits maqbul ialah:
1. Jayyid
2. Qowiy
3. Shalih
4. Tsabit
5. Maqbul
6. Mujawad52

49
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits,…147
50
Muhammad Ismail, Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:Khairul Bayaan, 2002), 145
51
M. Solahuddin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits,…147
52
Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan
Qohar,…60
25
26

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Hadist adalah ahwal nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
pengakuan. yang selalu dibuat acuan dan dasar oleh semua kaum muslim seluruh dunia,
namun sayangnya seluruh hadist yang beredar, tidak mesti semuanya berasal langsung dari
baginda nabi Muhammad SAW, karna pada saat itu, segenap orang mencari-cari kesempatan
karna beberapa permasalahan pribadinya dengan membuat sebuah hadist dan
menyandarkannya kepada Rosululloh SAW. Maka dari itu, disinilah pentingnya kita
mengetahui bagaimana suatu hadist yang memang benar-benar bersandar kepada nabi
Muhammad SAW dan turun temurun memang dalam keadaan seperti yang nabi sabdakan.
Dengan mempelajari syarat-syarat hadist-hadist shohih diatas kita bisa mengetahui mana
27

hadist yang shohih dan mana hadist yang tidak shohih, karna yang dinamakan hadist yang
berkualitas ialah apabila sudah menetapi syarat-syarat hadist shohih, yakni:
a. Sanad bersambung
b. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d. Sanad hadits itu terhindar dari syudzudz atau kejanggalan
e. Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat.
Maka apabila syarat-syarat diatas sudah terpenuhi, tidak dapat di ragukan lagi, hadist yang
tersebut bisa di pakai sebagai acuan dalam mengarungi kehidupan.
Saran
Sudah tentu jelas dalam hadist, bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa, maka
kamipun sebagai manusia sangat menyadarinya. Dan tentunya dalam beberapa hal yang kami
uraikan dari beberapa penjelasan diatas, mungkin atau bahkan terjadi beberapa kesalahan
baik dari segi pemahaman, metodologi penyampaian, susunan ataupun penulisan kami
memohon maaf sebesar-besarnya dan tentunya kritik dan saran yang membangun sangat
kami nantikan. Wallahu a’lam bisshowab

Surabaya. jumat 3 oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai