Disusun oleh :
kelompok VI Ulumul Hadist / Sem-III
1. Linda Nora 2140600039
2. Minda Manora 2140600041
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Hadis Sahih
Secara etimologi, kata sahih (Arab: )صحيحartinya: sehat. Kata ini
merupakan antonim dari kata saqim (Arab: )سقيمyang artinya: sakit. Bila
digunakan untuk menyakiti badan, maka makna yang digunakan adalah
makna hakiki (yang sebenarnya), tetapi bila diungkapkan di dalam hadis dan
pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Sedangkan secara istilah, pengertian yang paling bagus yang
disampaikan ulama hadis adalah:
وال، من غير شذوذ، عن مثله إلى منتهاه،ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط
علة
Hadis yang bersambung sanad nya (jalur periwayatan) melalui
penyampaian para perawi yang ‘adil, dhabit, dari perawi yang semisalnya
sampai akhir jalur periwayatan, tanpa ada syudzudz, dan juga tanpa ‘illat.
Di antara pendapat para ulama tentang defenisi hadis sahih adalah sebagai
berikut.
1
Hadis sahih adalah hadis yang susunan lafalnya tidak cacat dan
maknanya tidak menyalahi ayat (Al-Qur’an) atau hadis mutawatir atau ijma’
dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabit.
Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh periwayat yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-‘illat dan tidak syaz.
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan "hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit (kuat
hafalan), tidak syadz (asing) dan tidak ber’illat (cacat)".
Defisi hadis sahih secara konkrit baru muncul setelah Imam
Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah,
yaitu:
1. Apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang
diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadis yang ia
riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas
dari tadlis (penyembuyian cacat);
2. Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW atau dapat
juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhari dan Imam Muslim membuat kriteria hadis sahih sebagai
berikut:
• Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi
pertama sampai perawi terakhir.
• Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam
arti adil dan dhabit,
• Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
• Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
2
Mahmud at-Tahhan dalam kitab Taisir Fi Mustalahi al-Hadis
mendefinisikan sebagai berikut.
Hadis yang sambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang adil dan
sempurna kedhabitannya disemua tingkatan sanad, tidak syaz, dan tidak ber-
‘illat.
Menurut Ibnu Salah, hadis sahih adalah hadis yang musnad, yang
sanadnya bersambung, diceritakan oleh orang-orang yang adil dan dhabit
sampai akhir, tidak ada syaz dan tidak ber-‘illat.
Menurut Imam Nawawi, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung, rawi-rawinya adil, dah dhabit, tidak syaz, dan tidak ber-‘illat.
Al-Bagawi mendefinisikan hadis sahih adalah hadis yang diriwayatkan
oleh keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya.
Al-Khatabi mendefinisikan hadis sahih secara lebih sederhana yaitu
hadis yang sanadnya bersambung dan penyampaiannya adil.
Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, hadis sahih adalah hadis yang
sanad bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang siqat (adil dan
dhabit) dari permulaan sampai akhir, tidak syaz dan tidak ber-‘illat.1
Menurut Ibnu Sholah, hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanad.
Diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabit dari orang yang adil lagi dhabit
hingga akhirnya tidak syaz (tidak bertentangan denga hadis lain yang lebih
sahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).2
1
Mukarom Faisal Fosidin, Ngatiman,. Menelaah Ilmu Hadis (Surakarta: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2015), h. 89.
2
Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1991), h. 16
3
bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw
membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
4
keadaan semacam itu terus berlangsung demikian sampai akhir sanad
hadis. Artinya adalah sanad tersambung mulai dari mukharrij hadis
sampai pada periwayat pertama (kalangan sahabat) yang memang lansung
bersangkutan dengan nabi. Dalam istilah lain, sanad bersambung sejak
sanad pertama hingga sanad yang terakhir atau dibalik, sanad pertama
sejak dariperiwayat pertama hingga berakhir pada periwayat terakhir
(mukharrij hadist).
Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta
dikatakan hadis shahih. Sebab ada yang mengistilahkan hadis yang
bersambung sanadnya tersebut dengan istilah hadis musnad. Menurut Ibn
‘Abd al-Barr hadis musnad adalah hadis yang didasarkan pada hadis Nabi
(sebagai hadis marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung
(muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’). Hadis ini bisa
dijadikan patokan menetukan keshahihan hadis, para ulama hadis
bersepakat bahwa hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya,
tapi hadis marfu’ belum tentu hadis musnad.3
Dengan demikian hadis ini tidak bisa dijadikan patokan untuk
menentukan keshahihan hadis beda dengan hadis musnad. Dari
keterputusan tersebut di khawatirkan adanya keterputusan informasi dari
Nabi. Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad hadis, Menurut
M. Syuhudi Ismail. Para ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian
sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang
dilakukan; hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah periwayat
tersebut dikenal sebagai orang yang tsiqah (adil dan dhabith), serta
bukan termasuk dari orang yang tadlis. Juga untuk mendeteksi ada
hubungan sezaman antara guru-murid dalam periwayatan hadis.
c. Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan perawi
yang terdekat dalam sanad. Misalnya berupa: haddatsana,
3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010), h. 160-161.
5
haddatsani, akhbarani, akhbarana, sami’tu, an, anna, dan banyak
lagi yang lainnya.
4
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis (Bandung: PT Alma’arif, 1974), h. 119.
5
Badri Khaerruman, Ulumul Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 151.
6
Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012),
h. 39.
6
untuk mengetahui kualitas ke-adilan perawi, para ulama menetapkan
untuk menetukan hal tersebut berdasarkan:
a. Popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
tersebut.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis penilaian ini mencakup
kelebihan atau kekurangan yang terdapat pada periwayat hadis tersebut,
hal ini bisa ditelaah melalui, ilmu al-jarh wa al-ta’dil.
c. Penerapan ilmu al-jarh wa al-ta’dil di pakai apabila dari kalangan kritik
hadis tidak menemukan kesepakatan tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.7
7
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-MALIK PRESS, 2010), h. 116.
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 132.
7
hadis secara tertulis, tulisannya sudah mendapatkan tashhih dan selalu
terjaga.9
Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi melalui; kesaksian para ulama dan
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat orang lain yang telah
dikenal dengan kedhabitannya.
9
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pusta
Pelajar, 2012), h. 53.
10
Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah, h. 42-43.
8
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis yang mengandung ‘illat bisa di lacak
ketika mengandung kriteria berikut:
a. Periwayatnya menyendiri.
b. Periwayat lain bertentangan dengannya.
c. Qarinah-qarinah lain yang berkaitan dengan keduanya. Detailnya
untuk mengetahui adanya ‘illat hadis bisa melakukan:
• Menghimpun seluruh sanad, dengan maksud untuk
mengetahui ada tidaknya tawabi‟ dan/atau syawahid.
• Melihat perbedaan di antara para periwayatnya.
• Memerhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan
dengan keadilan, maupun ke-dhabitan masing-masing
periwayat.11
9
dengan ‘ilal al-hadis (“penyakit” hadis). Dalam beberap kasus, penyakit
ini mempengaruhi kesahihan hadis, yang disebut ‘illat qadihah, sementara
dalam hal lain tidak.12
12
Muhammad Musthafa Azami, Memahami Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Lentera Basritama,
1977), h. 108-109.
10
3. Ibnu Syihab az-Zuhri adalah seorang yang faqih, muttaqin, amirul
mu’minin fi al-hadis).
4. Muhamad bin Jabir adalah siqah.
5. Jabir bin Mut’im adalah sahabat yang adil dan dhabit.
6. Hadisnya tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
rijal yang lebih siqah.
7. Tidak terdapat cacat yang mengurangi derajat ke-sahih-an hadis.13
13
Mukarom Faisal Fosidin, Ngatiman, Menelaah Ilmu Hadis, h. 92-93.
14
M.Rozali, Pengantar Kuliah Ilmu Hadis (Medan: Azhar Center, 2019), h. 70.
11
d. Tingkatan Hadis Sahih
Tingkatan hadis sahih berbeda dalam kualitasnta degan alasan
berbedanya sifat-sifat yang mempengarui kualitas kesahihhan hadis. Hadis
yang rawinya ada dalam derajat tinggi dari segi adil, dhabit dan sifat-sifat lain
yang menjadikan keunggulan suatu hadis, maka hadis itu adalah lebih sahih
dari pada hadis lainnya. Dan diantara tingkatan tinggi dalam masalah itu ada
diungkapkan oleh sebagian imam nahwa sanad itu adalah ashohul asanid
(sanad paling sahih), seperti sanad Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar, Zuhri dari
Salim ibn Abdillah ibn Umar dari bapaknya. Dan tingkatan yang lain seperti
riwayat Zayid ibn Abdillah ibn Abi Bardah dari Jada dari Bapaknya Abi
Musa al-Asyari, seperti Hamad ibn salamah dari Tsabit dari Anas, dan selain
dua tingkatan di atas seperti Suhai ibn Abi Sahih dari bapaknya dari abi
Hurairah, ‘Ala’ ibn Abdirahman dari bapaknya dari abi Hurairah.
Semuanya itu mencakup nama adil dari dhabit, kecuali derajat pertama
yang memiliki sifat yang menjadikan ia unggul dan menghendaki
didahulukan riwayatnya mengakhirkan riwayat yang meninggikannya, dan
dalam riwayat yang mengikuti dari kualitas hafalannya, dan ada alasan
lainnya adalah olehnya dikehendaki mendahulukan yang lain mengakhirkan
yang ketiga.15
15
Nur Hadi, Sulasih,. Ilmu Hadis (Semarang: Mutiara Aksara, 2019), h. 30.
12
mencantumkan dalam sahihnya.
e. Hadis yang menetapi syaratnya Bukhari saja, tetapi tidak dicantumkan
dalam sahihnya.
f. Hadis yang menetapi syaratnya Muslim saja, tetapi tidak dicantumkan dalam
sahihnya.
g. Hadis yang tidak memenuhi syarat Bukhari Muslim dan tidak memenuhi
salah satunya, tetapi sahih menurut ulama-ulama hadis.
13
global. Namun dari segi keseluruhan bahwa rawi-rawi sanadnya yang termuat
dalam Bukhari itu lebih sahih dari rawi-rawi yang berada di muwatha” atau yang
lainya.
Demikian ini, beserta pengunggulan kitab Bukhari atas kitab muslim adalah
sesuatu yang tetap yang disampaikan oleh pembahasan para kritikus rawi-rawi
tsiqah dan penyelisikan mereka. Sungguh banyak dari mereka yang menjelaskan
hal itu, dan tidak satupun dari mereka yang berseberangan. Kecuali yang dinukil
dari Abi Ali An-Nasaburi Syaikh Al-Hakim dan sebagian ulama maghribi yang
diwahamkan mengunggulkan kitabnya Imam Muslim atau Bukhari, sungguh ibnu
Mumandah dari Abi Ali menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis di kolom
langit ini sebuah kitab yang lebih sahih dari kitab muslim.16
16
Ibid, h. 30-32.
17
Ibid, h. 13.
14
kitab Al-Mustadrok ‘ala shohihain karya Al-Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim,
karena di dalam kitabnya ia meletakkan hadis-hadis yang tidak ada pada Sahih
Bukhori Muslim dengan hadis yang menurut hematnya adalah memenuhi syarat-
syarat Bukhari Muslim atau salah satu dari keduanya. Namun ijtihadnya tidak bisa
sampai pada pensahihan hadis meskipun hanya menetapi salah satu syarat dari
keduanya, karena ia terlalu mempermudah di dalam pensahihan hadis. Ad-dzahabi
meringkas kitab Al-Mustadroknya Al-Hakim dan ternyata di dalam kitabnya
terdapat hadis-hadis yang dhaif dan munkar yang sangat banyak. Dan ia
mengumpulkan sendiri sendiri setebal satu juz di dalam hadis-hadis yang maudhu’
yang jumlahnya sekitar seratus hadis. Kebanyakan ulama’ hadis menyatakan
bahwa hadis yang disahihkan menurut hematnya Al-Hakim sendiri itu perlu
diteliti dan dihukumi menurut tuntutan hukum-hukum hadis sahih, hasan,
ataupun dhaif. Pendapat ini adalah pendapat yang mu’tamad. Diantara kitab-kitab
yang didalamnya memuat hadis-hadis sahih adalah sahih Imam Abi Hatim bin
Hiban Attamimi. Mayoritas ulama juga merujuk terhadap Ibnu Hiban sebagai
orang yang terlalu mudah dalam menganggap sahih suatu hadis, hanya saja
olehnya menganggap mudah di dalam sahih suatu hadis itu lebih sedikit daripada
olehnya menganggap mudah Al-Hakim.
Dengan demikian, seyogyanya perlu lagi meneliti terhadap hadis yang ada
pada kitabnya. Begitu juga kitab sahihnya Ibnu Khuzaimah, sebab dalam kitab ini
banyak sekali hadis yang dihukumi sahih, padahal ia tidak sampai pada derajat
hadis Hasan. Diantara kitab yang memuat hadis sahih adalah As-Sunnah As-
Shihah karya Said bin As-Sakan dan kitab yang diduga kesahihannya serta sudah
dipilih oleh Al-hafidz Dliya’uddin Al-mudoddasi. Hadis ini adalah lebih bagus
dari Al-Mustadrok. Hanya saja ia tidak sempurna.
C. PENUTUP
Hadis shahih merupakan hadis yang di klasifikasikan berdasarkan kualitasnya
memberikan peran yang cukup besar dalam sumber hukum dan ajaran Islam.
Dengan cara penyeleksiannya yang cukup berat hadis ini memang menyajikan
kebenaran yang tidak bisa diragukan. Mulai dari sanadnya yang bersambung,
15
perawinya yang, adil, dhabit, terhindar dari kerancuan, dan terhindar dari cacat.
Sehingga hadis shahih tidak sembarangan keluar dari kepala orang-orang yang
tidak bertanggun jawab. Semunya keluar dari kepala orang yang mendekat dan
menrindukan ridha Allah serta mencintai Rasulullah Saw. hidupnya terpelihara
dari barang-barang yang membawa dirinya pada perbuatan dosa, sekecil apapun.
Kebenaran yang tidak diragukan itu menjadikan hadis shahih wajib untuk
diterima dan dilaksanakan. Hadis shahih mengajak pembaca sekaligus
pengamalnya agar mempunyai kualitas intelektual yang luas, dilihat dari
periwayat hadis shahih yang harus dhabit. Pembaca harusnya termotivasi agar
tidak berhenti belajar dan terus menggali kuriositasnya.
Akhirnya secara batiniah ataupun nanti si pembaca berkarya yang berbentuk
tulisan mampu menyampaikan kebenaran yang benar-benar benar. Dimana dalam
dirinya telah tertanam sifat rububiyah yang selalu melahirkan energi positif dan
sealu mengajak bertindak positif. Demikian tulisan ini penulis buat semoga
bermanfaat, apabila ada kesalah dan kritik silahkan di tegur dengan kritik
membangun.
16
DAFTAR PUSTAKA
Al- Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar. Jakarta:
Pusta Pelajar, 2012
Azami, Muhammad Musthafa. Memahami Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 1977.
Fosidin, Mukarom Faisal, dan Ngatiman. Menelaah Ilmu Hadis. Surakarta:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2015.
Hadi, Nur, dan Sulasih. Ilmu Hadis. Semarang: Mutiara Aksara, 2019.
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Predata Group, 2010.
Kasman. Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2012.
Khaerruman, Badri. Ulumul Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Muhammad, Abu Bakar. Subulus Salam. Surabaya: Al Ikhlas, 1991.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis. Bandung: PT Alma’arif,
1974.
Rozali, M. Pengantar Kuliah Ilmu Hadis. Medan: Azhar Center, 2019.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-MALIK PRESS,
2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010.
17