Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SYARAT-SYARAT HADIS SAHIH : SANAD BERSAMBUNG, RAWI ADIL,


DHABIT, TIDAK JANGGAL DAN TIDAK ADA ILLAT

Dosen Pengampu : Fauzi Rizal, S.Ag, M.A.

Disusun oleh :
kelompok VI Ulumul Hadist / Sem-III
1. Linda Nora 2140600039
2. Minda Manora 2140600041

UIN SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PADANG SIDIMPUAN
T.A 2022/2023
A. PENDAHULUAN
Hadis Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah
kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadis Nabi merupakan sumber
ajaran Islam, di samping Al-Qur’an.“Hadis atau disebut juga dengan Sunah,
adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadis sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadis tidak terpisahkan dari
sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat
ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan
pendekatan khusus”. Pada zaman Nabi, hadis diterima dengan mengandalkan
hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadis yang ditulis oleh para
sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, “Nabi pernah melarang para sahabat untuk
menulis hadis beliau. Tetapi Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk
menulis hadis beliau.

B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Hadis Sahih
Secara etimologi, kata sahih (Arab: ‫ )صحيح‬artinya: sehat. Kata ini
merupakan antonim dari kata saqim (Arab: ‫ )سقيم‬yang artinya: sakit. Bila
digunakan untuk menyakiti badan, maka makna yang digunakan adalah
makna hakiki (yang sebenarnya), tetapi bila diungkapkan di dalam hadis dan
pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Sedangkan secara istilah, pengertian yang paling bagus yang
disampaikan ulama hadis adalah:
‫ وال‬،‫ من غير شذوذ‬،‫ عن مثله إلى منتهاه‬،‫ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط‬
‫علة‬
Hadis yang bersambung sanad nya (jalur periwayatan) melalui
penyampaian para perawi yang ‘adil, dhabit, dari perawi yang semisalnya
sampai akhir jalur periwayatan, tanpa ada syudzudz, dan juga tanpa ‘illat.
Di antara pendapat para ulama tentang defenisi hadis sahih adalah sebagai
berikut.

1
Hadis sahih adalah hadis yang susunan lafalnya tidak cacat dan
maknanya tidak menyalahi ayat (Al-Qur’an) atau hadis mutawatir atau ijma’
dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabit.
Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh periwayat yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-‘illat dan tidak syaz.
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan "hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit (kuat
hafalan), tidak syadz (asing) dan tidak ber’illat (cacat)".
Defisi hadis sahih secara konkrit baru muncul setelah Imam
Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah,
yaitu:
1. Apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang
diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadis yang ia
riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas
dari tadlis (penyembuyian cacat);
2. Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW atau dapat
juga tidak sampai kepada Nabi.

Imam Bukhari dan Imam Muslim membuat kriteria hadis sahih sebagai
berikut:
• Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi
pertama sampai perawi terakhir.
• Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam
arti adil dan dhabit,
• Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
• Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.

2
Mahmud at-Tahhan dalam kitab Taisir Fi Mustalahi al-Hadis
mendefinisikan sebagai berikut.
Hadis yang sambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang adil dan
sempurna kedhabitannya disemua tingkatan sanad, tidak syaz, dan tidak ber-
‘illat.
Menurut Ibnu Salah, hadis sahih adalah hadis yang musnad, yang
sanadnya bersambung, diceritakan oleh orang-orang yang adil dan dhabit
sampai akhir, tidak ada syaz dan tidak ber-‘illat.
Menurut Imam Nawawi, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung, rawi-rawinya adil, dah dhabit, tidak syaz, dan tidak ber-‘illat.
Al-Bagawi mendefinisikan hadis sahih adalah hadis yang diriwayatkan
oleh keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya.
Al-Khatabi mendefinisikan hadis sahih secara lebih sederhana yaitu
hadis yang sanadnya bersambung dan penyampaiannya adil.
Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, hadis sahih adalah hadis yang
sanad bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang siqat (adil dan
dhabit) dari permulaan sampai akhir, tidak syaz dan tidak ber-‘illat.1
Menurut Ibnu Sholah, hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanad.
Diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabit dari orang yang adil lagi dhabit
hingga akhirnya tidak syaz (tidak bertentangan denga hadis lain yang lebih
sahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).2

Contoh Hadis Shahih


‫ع ْن‬ ْ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم‬
َ ‫ط ِع ِم‬ َ ‫ب‬
ٍ ‫ع ِن اب ِْن ِش َها‬َ ٌ‫ف قَا َل أَ ْخبَ َرنَا َما ِلك‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ُ ‫ع ْبدُهللاِ بْنُ ي ُْو‬
َ ‫س‬
)‫الط ْو ِر “(رواه البخاري‬ ُّ ‫ب ِب‬ِ ‫م قَ َرأَ فِي ْال َم ْغ ِر‬.‫هللا ص‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬
ِ ‫س ْو َل‬ َ ‫أَ ِب ْي ِه قَا َل‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair

1
Mukarom Faisal Fosidin, Ngatiman,. Menelaah Ilmu Hadis (Surakarta: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2015), h. 89.
2
Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1991), h. 16

3
bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw
membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).

Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya


kepada Nabi:
‫ قال ؟ أَبَ ُّر َم ْن ! هللاِ رسو َل يا‬: َ‫ أ ُ َّمك‬، ُ‫ قُ ْلت‬: ‫ قال ؟ أَبَ ُّر َم ْن‬: َ‫ أ ُ َّمك‬، ُ‫ قُ ْلت‬:
‫ أَبَ ُّر َم ْن‬: ‫ قال‬: َ‫ أ ُ َّمك‬، ُ‫ قُ ْلت‬: ‫ قال ؟ أَبَ ُّر َم ْن‬: ‫ أباك‬، ‫ب ث ُ َّم‬
َ ‫ب األ َ ْق َر‬
َ ‫فَاأل َ ْق َر‬
“wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan
baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu
siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu,
lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam
Adabul Mufrad, sanadnya hasan).

Ketika beliau ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:


‫ي‬
ُّ ‫َّللاِ؟ إلى أ َحبُّ العَ َم ِل أ‬ َّ ‫ علَى ال‬،‫قا َل و ْقتِها‬: ‫ي؟ ث ُ َّم‬
َّ ‫قا َل‬: ُ ‫صالة‬ ٌّ ‫قا َل أ‬: ‫بر ث ُ َّم‬
ُّ
‫قا َل الوا ِلدَي ِْن‬: ‫ي؟ ث ُ َّم‬ٌّ ‫قا َل أ‬: ُ‫الجهاد‬
ِ ‫سبي ِل في‬ َّ ‫قا َل‬: ‫ حدَّثَني‬،‫ا ْست َزَ ْدتُهُ ولَ ِو ب ِه َّن‬
َ ِ‫َّللا‬
‫لَزادَنِي‬
“Amal apa yang paling dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla?”. Nabi bersabda:
“Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”.Nabi
menjawab: “Lalu birrul walidain”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa
lagi?”. Nabi menjawab: “Jihad fi sabilillah”. Demikian yang beliau katakan,
andai aku bertanya lagi, nampaknya beliau akan menambahkan lagi (HR.
Bukhari dan Muslim).

b. Syarat-Syarat Hadis Sahih.


Hadis shahih bisa dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat
berikut:
1. Sanadnya bersambung (itishal al-sanad)
Sanad bersambung ialah setiap periwayat hadis dalam sanad hadis
menerima riwayat hadis dari periwayat yang terdekat sebelumnya;

4
keadaan semacam itu terus berlangsung demikian sampai akhir sanad
hadis. Artinya adalah sanad tersambung mulai dari mukharrij hadis
sampai pada periwayat pertama (kalangan sahabat) yang memang lansung
bersangkutan dengan nabi. Dalam istilah lain, sanad bersambung sejak
sanad pertama hingga sanad yang terakhir atau dibalik, sanad pertama
sejak dariperiwayat pertama hingga berakhir pada periwayat terakhir
(mukharrij hadist).
Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta
dikatakan hadis shahih. Sebab ada yang mengistilahkan hadis yang
bersambung sanadnya tersebut dengan istilah hadis musnad. Menurut Ibn
‘Abd al-Barr hadis musnad adalah hadis yang didasarkan pada hadis Nabi
(sebagai hadis marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung
(muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’). Hadis ini bisa
dijadikan patokan menetukan keshahihan hadis, para ulama hadis
bersepakat bahwa hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya,
tapi hadis marfu’ belum tentu hadis musnad.3
Dengan demikian hadis ini tidak bisa dijadikan patokan untuk
menentukan keshahihan hadis beda dengan hadis musnad. Dari
keterputusan tersebut di khawatirkan adanya keterputusan informasi dari
Nabi. Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad hadis, Menurut
M. Syuhudi Ismail. Para ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian
sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang
dilakukan; hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah periwayat
tersebut dikenal sebagai orang yang tsiqah (adil dan dhabith), serta
bukan termasuk dari orang yang tadlis. Juga untuk mendeteksi ada
hubungan sezaman antara guru-murid dalam periwayatan hadis.
c. Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan perawi
yang terdekat dalam sanad. Misalnya berupa: haddatsana,

3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010), h. 160-161.

5
haddatsani, akhbarani, akhbarana, sami’tu, an, anna, dan banyak
lagi yang lainnya.

Melalui cara diatas dapat diketahui ketersambungan sanad hadis. Dengan


mengetahui kedekatan perawi antara perawi satu dengan perawi sebelumnya.

2. Perawinya bersifat adil (‘adalat al-rawi)


Tentang perawi yang bersifat adil ini ada banyak pandangan
dikalangan para ulama hadis. Dan banyak pandangan ini sudah biasa
dalam menetapkan suatu ketentuan, pendapat dari Al-Hakim ia
menyatakan bahwa seorang bisa dikatakan, adil ketika ia beragama Islam,
tidak berbuat bid‟ah, dan tidak berbuat maksiat. Beda dengan Al-Irsyad
“yang dimaksud adil ialah orang yang berpegang teguh terhadap pedoman
adab-adab syara”.4 Beda pula yang keluar dari kepala seorang Ar-Razi,
‘adil baginya adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa,
menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa
kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai
muru’ah; makan sambil berdiri di jalanan, buang air kecil di tempat yang
bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebih-lebihan.5 dari
sekian pandangan tersebut M. Syuhudi Ismail dalam buku yang diramu
oleh Kasman yang berjudul Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah
meringkas semuanya menjadi empat kriteria perawi yang adil diantaranya
adalah:
a. Beragama Islam.
b. Mukallaf.
c. Melakukan ketentuan agama.
d. Memelihara mur’ah.6

4
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis (Bandung: PT Alma’arif, 1974), h. 119.
5
Badri Khaerruman, Ulumul Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 151.
6
Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012),
h. 39.

6
untuk mengetahui kualitas ke-adilan perawi, para ulama menetapkan
untuk menetukan hal tersebut berdasarkan:
a. Popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
tersebut.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis penilaian ini mencakup
kelebihan atau kekurangan yang terdapat pada periwayat hadis tersebut,
hal ini bisa ditelaah melalui, ilmu al-jarh wa al-ta’dil.
c. Penerapan ilmu al-jarh wa al-ta’dil di pakai apabila dari kalangan kritik
hadis tidak menemukan kesepakatan tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.7

3. Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi)


Dhabit menurut bahasa mempunyai makna kokoh, yang kuat, yang hafal
secara sempurna. Seorang perawi mempunyai daya ingat yang kuat dan
sempurna terhadap hadis yang diriwayatkan. Ibn Hajar Al-Asqolani
berpendapat “bahwa perawi yang dhabit itu adalah dia yang kuat hafalannya
terhadap apa yang pernah di dengarnya, kemudian mampu menyampaikan
hafalan tersebut pada saat dibutuhkan.8 Artinya, seorang perawi mempunyai
kualitas kesehatan yang maksimal mulai dari kesehatan pendengaran, otak,
psikis, dan oral. Hal ini sangat menjadi bagian penting bagi perawi sebab
dengan pendengaran yang kuat ia mampu mendengarkan secara utuh isi apa
yang didengar, mampu memahami dengan baik, tersimpan dalam memori
otaknya, kemudian mampu menyampaikan dengan fasih dan benar kepada
orang lain. Lebih spesifik lagi dhabit dibelah menjadi dua macam diantaranya
adalah dhabit hati dan dhabit kitab. Dhabit hati maksudnya ialah seorang
perawi mampu menghafal setiap hadis yang di dengarnya dan sewaktu-waktu
dia bisa mengungkapnya atau sederhanya terpelihara periwayatan dalam
ingatan sejak menerima hadis sampai menyampaikan kembali kepada orang
lain, sedangkan dhabit kitab ialah seorang perawi yang ketika meriwayatkan

7
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-MALIK PRESS, 2010), h. 116.
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 132.

7
hadis secara tertulis, tulisannya sudah mendapatkan tashhih dan selalu
terjaga.9
Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi melalui; kesaksian para ulama dan
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat orang lain yang telah
dikenal dengan kedhabitannya.

4. Terhindar dari syadz (‘adam al-syadz)


Syadz disini berarti hadis yang diriwayatkan tidak mengalami kerancuan
atau terjadi sangsi dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain yang
tingkat adil dan dhabitnya lebih tinggi.
Para ulama sepakat berikut adalah syarat syudzudz:
a. Periwayat hadis tersebut harus tsiqah.
b. Orang tsiqah meriwayatkan hadis yang berbeda dengan yang lebih
tsiqah baik dari segi hafalan, jumlah orang yang diriwayatkan atau
yang lainnya.
c. Perbedaan tersebut bisa berupa penambahan atau mengurangi dalam
hal sanad dan matan.
d. Periwayat tersebut menimbulkan kerancuan yang begitu pelik sehingga
tidak bisa dikompromikan.
e. Adanya kesamaan guru dari hadis yang diriwayatkan.10

5. Terhindar dari illat (‘adam ‘illat)


Terhindar dari illat adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya. Yakni hadis tersebut terbebas dari sifat-sifat samar yang
membuatnya cacat, meskipun secara kasat mata hadis tersebut tidak
menujukkan adanya cacat. Menurut Ibn al-Shalah, an-Nawawi, dan Nur al-Din
‘Itr menyatakan bahwa ‘illat merupakan sebab yang tersembunyi yang
menjadi benalu (merusak) kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada
lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.

9
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pusta
Pelajar, 2012), h. 53.
10
Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah, h. 42-43.

8
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis yang mengandung ‘illat bisa di lacak
ketika mengandung kriteria berikut:
a. Periwayatnya menyendiri.
b. Periwayat lain bertentangan dengannya.
c. Qarinah-qarinah lain yang berkaitan dengan keduanya. Detailnya
untuk mengetahui adanya ‘illat hadis bisa melakukan:
• Menghimpun seluruh sanad, dengan maksud untuk
mengetahui ada tidaknya tawabi‟ dan/atau syawahid.
• Melihat perbedaan di antara para periwayatnya.
• Memerhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan
dengan keadilan, maupun ke-dhabitan masing-masing
periwayat.11

Misalnya, seorang ulama yang terpercaya meriwayatkan hadis yang


katanya merupakan pernyataan Rasul saw, sementara kebanyakan ulama
menyampaikan hadis yang sama sebagai pernyataan sahabat. Di sini jelas
bahwa yang pertama melakukan kesalahan dalam menisbahkan pernyataan
itu kepada Nabi saw. Tapi, bila kita tidak menelaahnya lebih jauh, dan
hanya melihat satu isnad saja, riwayat tersebut akan kelihatan benar
berdasarkan kedudukan periwayatnya dalam penggolongan periwayat dan
terpenuhinya persyaratan lain. Istilah ini, ‘illat qadihah, mengisyaratan
bahwa tidak setiap cacat (‘illat) di perhitungkan. Ini dapat diumpamakan
sebagai berikut:
Biasanya seluruh lembaga pelayanan umum membutuhkan surat
keterangan dokter dari pelamar. Kadang seorang pelamar nampak sangat
gagah dan cocok untuk suatu tugas, namun pengujian medis menyatakan
sebaliknya. Dalam kasus lain, sebagian pelamar mempunyai cacat rupa
atau badan yang nyata tapi sesudah pengujian medis, mereka dinyatakan
memadai untuk posisi itu, karena cacatnya penampilan mereka tidak
mempengaruhi kemampuan mereka melaksanakan tugas itu. Begitu pula
11
Idri. Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Predata Group, 2010), h. 170-172.

9
dengan ‘ilal al-hadis (“penyakit” hadis). Dalam beberap kasus, penyakit
ini mempengaruhi kesahihan hadis, yang disebut ‘illat qadihah, sementara
dalam hal lain tidak.12

c. Pembagian Hadis Shahih


Hadis sahih dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut.
1. Hadits Sahih li Zatihi
Hadis sahih li zatihi adalah hadis yang sanadnya bersambung
diriwayatkan oleh rijal al-hadis yang adil dan sempurna ke-dhabit-
annya di setiap tingkatan sanad, tidak terdapat syaz, dan tidak ber-
‘illat. Contoh hadisnya adalah sebagi berikut.

‫ع ْن أَبِ ْي ِه قَا َل‬ ْ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم‬


َ ‫طع ِِم‬ َ ‫ب‬ ٍ ‫ع ِن اب ِْن ِش َها‬َ ٌ‫ف قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلك‬
َ ‫س‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ُ ‫ع ْبدُهللاِ ْب ُن ي ُْو‬
‫ط ْو ِر‬ ِ ‫م قَ َرأ َ فِي ْال َم ْغ ِر‬.‫س ْو َل هللاِ ص‬
ُّ ‫ب بِال‬ ُ ‫(رواه البخاري)“ُُ َر‬

Hadis di atas dinamakan hadis sahih li zatihi karena sebagai


berikut.
• Sanadnya muttasil, maksudnya semua periwayatnya mendengar hadis
lansung dari gurunya, adapu ‘an’anah-nya Malik dari Ibnu Syihab dan
Ibnu Jabir termasuk muttasil karena mereka bukan orang yang me-
mudallas-kan (menyamarkan cacatnya) sanad.
• Para periwayatnya semua adil, sempurna dhabit-nya, dan menjaga
muru’ah.
1. Abdullah bin Yusuf dijuluki oleh ulama’ hadis sebagai rijal yang
siqah dan muttaqin.
2. Malik bin Anas adalan imam muhaddisin dan fuqaha’, al-hafiz, dan
amirul mu’munin fi al-hadis ( hafal semua hadis yang jumlahnya
lebih dari 300.000 hadis)

12
Muhammad Musthafa Azami, Memahami Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Lentera Basritama,
1977), h. 108-109.

10
3. Ibnu Syihab az-Zuhri adalah seorang yang faqih, muttaqin, amirul
mu’minin fi al-hadis).
4. Muhamad bin Jabir adalah siqah.
5. Jabir bin Mut’im adalah sahabat yang adil dan dhabit.
6. Hadisnya tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
rijal yang lebih siqah.
7. Tidak terdapat cacat yang mengurangi derajat ke-sahih-an hadis.13

2. Hadits Sahih Lighairihi


Hadits Shahih Lighoirihi adalah hadis yang shahihnya lantaran
dibantu oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai
kepada kualitas shahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang
menguatkannya sehingga hadis tersebut meningkat hadis shahih
lighairaihi.14
yang derajatnya shahih lighoirihi sebagai berikut :
‫علَى أ ُ َّمتِ ْي‬ ُ َ ‫ لَ ْوالَ أَ ْن أ‬: ‫هللا ص م قا َ َل‬
َ ‫ش َّق‬ ُ ‫ع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ أ َ َّن َر‬
ِ ‫س ْو َل‬ َ ‫ع ْن أ َ ِب ْي‬
َ َ‫سلَ َمة‬ َ ‫ع ْم ٍرو‬ َ ‫ُم َح َّمدُ ْب ُن‬
َ ‫ص‬
“ ‫ال ٍة‬ َ ‫َأل َ َم ْرت َ ُه ْم ِبال ِس َِّواكِ ِع ْندَ ُك ِِّل‬
“Dari Muhammad bin amer dari abi salamah dari abu hurairah
sesungguhnya rasulullah saw bersabda: Kalaulah tidak memberatkan
atas umatku pasti akanku perintahkan kepada mereka bersiwak ketika
setiap shalat” (HR. Tirmidzi, Kitab Thaharah).
Berkata Ibnu Shalah: Rawi yang bernama Muhammad bin
amer bin alqomah termasuk dari kalangan termasyhur (terkenal)
karena kebenaran dan penjagaannya, akan tetapi bukan termasuk dari
“ahli itqan” sehingga sebagaian para ulama hadits mendhaifkannya
dari aspek jelek hafalannya, dan sebagiannya lagi mentsiqatkannya
karena kebenaran dan kemulyaannya, maka hadits ini hasan. Maka
ketika digabungkan dari berbagai hadits yang diriwayatkan dari jalur
lain hadits ini menjadi shahih lighoirihi.

13
Mukarom Faisal Fosidin, Ngatiman, Menelaah Ilmu Hadis, h. 92-93.
14
M.Rozali, Pengantar Kuliah Ilmu Hadis (Medan: Azhar Center, 2019), h. 70.

11
d. Tingkatan Hadis Sahih
Tingkatan hadis sahih berbeda dalam kualitasnta degan alasan
berbedanya sifat-sifat yang mempengarui kualitas kesahihhan hadis. Hadis
yang rawinya ada dalam derajat tinggi dari segi adil, dhabit dan sifat-sifat lain
yang menjadikan keunggulan suatu hadis, maka hadis itu adalah lebih sahih
dari pada hadis lainnya. Dan diantara tingkatan tinggi dalam masalah itu ada
diungkapkan oleh sebagian imam nahwa sanad itu adalah ashohul asanid
(sanad paling sahih), seperti sanad Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar, Zuhri dari
Salim ibn Abdillah ibn Umar dari bapaknya. Dan tingkatan yang lain seperti
riwayat Zayid ibn Abdillah ibn Abi Bardah dari Jada dari Bapaknya Abi
Musa al-Asyari, seperti Hamad ibn salamah dari Tsabit dari Anas, dan selain
dua tingkatan di atas seperti Suhai ibn Abi Sahih dari bapaknya dari abi
Hurairah, ‘Ala’ ibn Abdirahman dari bapaknya dari abi Hurairah.
Semuanya itu mencakup nama adil dari dhabit, kecuali derajat pertama
yang memiliki sifat yang menjadikan ia unggul dan menghendaki
didahulukan riwayatnya mengakhirkan riwayat yang meninggikannya, dan
dalam riwayat yang mengikuti dari kualitas hafalannya, dan ada alasan
lainnya adalah olehnya dikehendaki mendahulukan yang lain mengakhirkan
yang ketiga.15

1. Derajat Hadis-Hadis Bukhari-Muslim dalam Kesahihannya


Kitab hadis yang paling sahih adalah kitab sahihnya Bukhari dan Sahih
Muslim. Dilihat dari perbedaan derajat para ulama membagi dalam tujuh,
antara lain sebagai berikut:
a. Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadisnya Bukhari dan
Muslim.
b. Hadisnya Imam Bukhari.
c. Hadisnya Imam Muslim.
d. Hadis yang menetapi syaratnya Bukhari Muslim tetapi beliau tidak

15
Nur Hadi, Sulasih,. Ilmu Hadis (Semarang: Mutiara Aksara, 2019), h. 30.

12
mencantumkan dalam sahihnya.
e. Hadis yang menetapi syaratnya Bukhari saja, tetapi tidak dicantumkan
dalam sahihnya.
f. Hadis yang menetapi syaratnya Muslim saja, tetapi tidak dicantumkan dalam
sahihnya.
g. Hadis yang tidak memenuhi syarat Bukhari Muslim dan tidak memenuhi
salah satunya, tetapi sahih menurut ulama-ulama hadis.

Manfaat pembagian hadis di atas berdasarkan nomor adalah akan terlihat


ketika perselisian dan membutuhkan terjih. Sebagian ulama menukilkan dari
sabagian ulama yang lain bahwa urutan ini menimbulkan perselisihan yang
berlaku di kalangan ahli hadis. Mereka mengatakan bahwa ucapan orang yang
mengatakan bahwa hadis yang paling sahih antara lain hadis yang ada dalam
sahihnya Imam Bukhari dan Muslim ( sahihhain), hadis yang hanya dalam dalam
sahih Imam Bukhari, hadis yang hanya dalam sahihnya Imam Muslim, hadis yang
memenuhi syarat Bukhari dan Muslim, Kemudian hadis yang memenuhi syarat
salah satu dari Bukhari dan Muslim.
Al-‘Allamah Taqiyuddin bin Taimiyah telah mengungkap akan hal itu, ia
berkata bahwa adapun hadis ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan yang
diriwayatkan Muwatha’, Maka rijalul Bukhari (rawi-rawinya Imam Bukhari) itu
lebih utama. Karena terkadang rawi-rawi dan Muwatha’ itu masih perlu
dipertimbangkan dalam masalah ini terhadap rawi-rawinya hadisnya.
Meskipun mengetaui bahwa rawi-rawi yang terdapat dalam Bukhari itu lebih
baik utama dari rawi-rawi yang berada di Muwatha’ secara keseluruhan, maka ini
tak berarti pengertian secara pasti, sebab sesungguhnya orang-orang yang
muwatha’ keberatan itu diriwayatkan Bukhari, dan yang Bukhari keberatan itu
diriwayatkan muwatha’. Dan lagi satu matan yang terkadang diriwayatkan oleh
Iman Bukhari, dan ia juga diriwayatkan didalam muwatha’ dengan isnad lain yang
menetapi syarat Bukhari itu rawi-rawinya lebih baik dari rawi-rawinya Bukhari.
Jadi bila ada hadis yang terdapat didalam kedua kitab tersebut, perlu
mempertimbangkan isnad keduanya, serta tidak boleh menghukuminya secara

13
global. Namun dari segi keseluruhan bahwa rawi-rawi sanadnya yang termuat
dalam Bukhari itu lebih sahih dari rawi-rawi yang berada di muwatha” atau yang
lainya.
Demikian ini, beserta pengunggulan kitab Bukhari atas kitab muslim adalah
sesuatu yang tetap yang disampaikan oleh pembahasan para kritikus rawi-rawi
tsiqah dan penyelisikan mereka. Sungguh banyak dari mereka yang menjelaskan
hal itu, dan tidak satupun dari mereka yang berseberangan. Kecuali yang dinukil
dari Abi Ali An-Nasaburi Syaikh Al-Hakim dan sebagian ulama maghribi yang
diwahamkan mengunggulkan kitabnya Imam Muslim atau Bukhari, sungguh ibnu
Mumandah dari Abi Ali menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis di kolom
langit ini sebuah kitab yang lebih sahih dari kitab muslim.16

2. Kitab-Kitab Hadis Sahih


Kitab-kitab hadis sahih yang mansyur adalah lima kitab pokok (kutubul
khomsah) di antaranya sebagai berikut.
• Sahih Bukhari
• Sahih Muslim
• Sunan Abi Dawud
• Sunan Turmudzi
• Sunan Nasa’i

Sebagian ulama menjadikannya kitab enam sebagai kitab pokok (kutubus


sittah) dengan memasukkan kitabnya Sunan Ibnu Majah. Al ‘Allamah majduddin
bin Al-Atsir mengumpulkan lima kitab pokok tersebut dalam sebuah kitab dan
menambahkan kitab Muwatha’nya Imam Malik kedalamnya, sehingga dengan
penambahan tersebut menjadi enam kitab pokok, dan kitabnya ia beri judul jami’il
usul min hadisir rasul. Maka dalam memperoleh kepada kitab-kitab pokok
tersebut menjadi mudah jalannya dan dekat menemuinya.17
Di antara karangan-karangan yang didalamnya memuat hadist shohih adalah

16
Ibid, h. 30-32.
17
Ibid, h. 13.

14
kitab Al-Mustadrok ‘ala shohihain karya Al-Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim,
karena di dalam kitabnya ia meletakkan hadis-hadis yang tidak ada pada Sahih
Bukhori Muslim dengan hadis yang menurut hematnya adalah memenuhi syarat-
syarat Bukhari Muslim atau salah satu dari keduanya. Namun ijtihadnya tidak bisa
sampai pada pensahihan hadis meskipun hanya menetapi salah satu syarat dari
keduanya, karena ia terlalu mempermudah di dalam pensahihan hadis. Ad-dzahabi
meringkas kitab Al-Mustadroknya Al-Hakim dan ternyata di dalam kitabnya
terdapat hadis-hadis yang dhaif dan munkar yang sangat banyak. Dan ia
mengumpulkan sendiri sendiri setebal satu juz di dalam hadis-hadis yang maudhu’
yang jumlahnya sekitar seratus hadis. Kebanyakan ulama’ hadis menyatakan
bahwa hadis yang disahihkan menurut hematnya Al-Hakim sendiri itu perlu
diteliti dan dihukumi menurut tuntutan hukum-hukum hadis sahih, hasan,
ataupun dhaif. Pendapat ini adalah pendapat yang mu’tamad. Diantara kitab-kitab
yang didalamnya memuat hadis-hadis sahih adalah sahih Imam Abi Hatim bin
Hiban Attamimi. Mayoritas ulama juga merujuk terhadap Ibnu Hiban sebagai
orang yang terlalu mudah dalam menganggap sahih suatu hadis, hanya saja
olehnya menganggap mudah di dalam sahih suatu hadis itu lebih sedikit daripada
olehnya menganggap mudah Al-Hakim.
Dengan demikian, seyogyanya perlu lagi meneliti terhadap hadis yang ada
pada kitabnya. Begitu juga kitab sahihnya Ibnu Khuzaimah, sebab dalam kitab ini
banyak sekali hadis yang dihukumi sahih, padahal ia tidak sampai pada derajat
hadis Hasan. Diantara kitab yang memuat hadis sahih adalah As-Sunnah As-
Shihah karya Said bin As-Sakan dan kitab yang diduga kesahihannya serta sudah
dipilih oleh Al-hafidz Dliya’uddin Al-mudoddasi. Hadis ini adalah lebih bagus
dari Al-Mustadrok. Hanya saja ia tidak sempurna.

C. PENUTUP
Hadis shahih merupakan hadis yang di klasifikasikan berdasarkan kualitasnya
memberikan peran yang cukup besar dalam sumber hukum dan ajaran Islam.
Dengan cara penyeleksiannya yang cukup berat hadis ini memang menyajikan
kebenaran yang tidak bisa diragukan. Mulai dari sanadnya yang bersambung,

15
perawinya yang, adil, dhabit, terhindar dari kerancuan, dan terhindar dari cacat.
Sehingga hadis shahih tidak sembarangan keluar dari kepala orang-orang yang
tidak bertanggun jawab. Semunya keluar dari kepala orang yang mendekat dan
menrindukan ridha Allah serta mencintai Rasulullah Saw. hidupnya terpelihara
dari barang-barang yang membawa dirinya pada perbuatan dosa, sekecil apapun.
Kebenaran yang tidak diragukan itu menjadikan hadis shahih wajib untuk
diterima dan dilaksanakan. Hadis shahih mengajak pembaca sekaligus
pengamalnya agar mempunyai kualitas intelektual yang luas, dilihat dari
periwayat hadis shahih yang harus dhabit. Pembaca harusnya termotivasi agar
tidak berhenti belajar dan terus menggali kuriositasnya.
Akhirnya secara batiniah ataupun nanti si pembaca berkarya yang berbentuk
tulisan mampu menyampaikan kebenaran yang benar-benar benar. Dimana dalam
dirinya telah tertanam sifat rububiyah yang selalu melahirkan energi positif dan
sealu mengajak bertindak positif. Demikian tulisan ini penulis buat semoga
bermanfaat, apabila ada kesalah dan kritik silahkan di tegur dengan kritik
membangun.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al- Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar. Jakarta:
Pusta Pelajar, 2012
Azami, Muhammad Musthafa. Memahami Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 1977.
Fosidin, Mukarom Faisal, dan Ngatiman. Menelaah Ilmu Hadis. Surakarta:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2015.
Hadi, Nur, dan Sulasih. Ilmu Hadis. Semarang: Mutiara Aksara, 2019.
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Predata Group, 2010.
Kasman. Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2012.
Khaerruman, Badri. Ulumul Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Muhammad, Abu Bakar. Subulus Salam. Surabaya: Al Ikhlas, 1991.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis. Bandung: PT Alma’arif,
1974.
Rozali, M. Pengantar Kuliah Ilmu Hadis. Medan: Azhar Center, 2019.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-MALIK PRESS,
2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010.

17

Anda mungkin juga menyukai