Anda di halaman 1dari 17

RINGKASAN MUSTHALAHUL HADITS[1]

Isnad
Isnad merupakan keistimewaan umat ini. Oleh karena itulah, umat Islam disebagai
Ummatul Isnad. Dengan isnad diketahui suatu hadits diterima atau ditolak.
Sufyan Ats Tsauriy berkata:

‫ فَبِأَىِّ َشي ٍْئ يُقَاتِ ُل ؟‬،ٌ‫ إِ َذا لَ ْم يَ ُك ْن َم َعهُ ِسالَح‬،‫اَاْل ِ ْسنَا ُد ِسالَ ُح ْال ُم ْؤ ِم ِن‬
“Isnad adalah senjata orang mukmin. Jika ia tidak punya senjata, maka dengan apa ia
berperang?” (Disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin 1/27).
Abdullah bin Al Mubarak berkata:

‫اإْل ِ ْسنَا ُد ِم ْن الدِّي ِن َولَ ْواَل اإْل ِ ْسنَا ُد لَقَا َل َم ْن َشا َء َما َشا َء‬
“Isnad itu bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, tentu orang akan berkata seenaknya.”
(Disebutkan oleh Imam Muslim dalam Mukadimah kitab shahihnya)
Ibnu Sirin berkata:

‫ت ْالفِ ْتنَةُ َسأَلُوا َع ْن اإْل ِ ْسنَا ِد لِ َك ْي يَأْ ُخ ُذوا‬


ْ ‫ون َع ْن اإْل ِ ْسنَا ِد فَلَ َّما َوقَ َع‬cَ ُ‫ان فِي ال َّز َم ِن اأْل َ َّو ِل اَل يَسْأَل‬
َ ‫َك‬
ِ ‫يث أَ ْه ِل ْالبِ َد‬
‫ع‬ َ ‫يث أَ ْه ِل ال ُّسنَّ ِة َويَ َد ُعوا َح ِد‬َ ‫َح ِد‬
“Di masa pertama, orang-orang tidak mempertanyakan isnad, tetapi ketika terjadi fitnah, maka
mereka bertanya tentang isnad, agar mereka (hanya) mengambil hadits Ahlussunnah dan
meninggalkan hadits Ahlul Bid’ah.”

Hadits Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan dari orang yang adil
yang dhabit (kuat hapalan) dari awal hingga akhir tanpa ada syadz dan ‘illat (cacat).
Contoh:
ْ ‫ر ْب ِن ُم‬c
‫ط ِع ٍم َع ْن‬ ِ c‫ب َع ْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ُجبَ ْي‬ ٍ ‫ك َع ْن ا ْب ِن ِشهَا‬ ٌ ِ‫ُف قَا َل أَ ْخبَ َرنَا َمال‬ َ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن يُوس‬
‫ور‬
ِ ‫الط‬ُّ ِ‫ب ب‬ ِ ‫م قَ َرأَ فِي ْال َم ْغ ِر‬cَ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫ْت َرس‬ ُ ‫أَبِي ِه قَا َل َس ِمع‬
Imam Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari
bapaknya, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah
Ath Thuur di shalat Maghrib.
Hadits ini adalah hadits shahih karena terpenuhi syarat-syaratnya, dimana dalam isnadnya para
perawinya (periwayatnya) tsiqah, bersambung, tidak syadz atau ber’illat.
Bersambung (ittishal) maksudnya mendengarnya setiap rawi dari rawi selanjutnya.
Isnad maksudnya silsilah para perawi yang menyampaikan nash hadits. Bisa juga maksudnya
menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya. Isnad terkadang disebut juga sanad,
kecuali ada qarinah (tanda) yang mengalihkan dari makna itu.
Syadz maksudnya riwayat rawi yang diterima menyalahi yang lebih kuat, baik jumlahnya
maupun ketsiqahannya.
‘Illat maksudnya sebab yang membuat cacat keshahihan hadits yang tampak di luarnya sebagai
hadits shahih. Biasanya ‘illat hadits hanya diketahui oleh orang yang dalam ilmunya tentang
hadits.
Orang yang adil adalah rawi yang memiliki sifat yang membuat pelakunya bertakwa, menjauhi
dosa-dosa serta merusak harga dirinya di tengah-tengah umat.
Dhabit maksudnya kuat ingatan dan hati, teguh serta bisa menjaga yang ia tulis dari sejak
menerima hadits itu dan mendengarnya sampai menyampaikan. Berdasarkan keterangan ini,
maka dhabit terbagi dua:
a. Dhabit shadr (dada), yaitu seorang rawi hapal yang ia dengar dengan hapalan
yang memungkinkan untuk menghadirkanya kapan saja ia mau.
b. Dhabit kitab (kitab), yaitu ia bisa menjaga yang ia tulis sejak mendengarnya dan
ia mengesahkannya sampai ia menyampaikannya, ia juga tidak menyerahkan
kepada orang yang tidak bisa menjaganya dan memungkinkan untuk merubahnya.

Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan orang yang adil namun
kurang kuat hapalannya, tanpa ada syadz dan ‘illat.
Contoh:

‫أَ ْكثِر ُْوا ِم ْن َشهَا َد ِة أَ ْن الَ إِلهَ إِالَّ هللاُ قَ ْب َل أَ ْن يُ َحا َل بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَهَا‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Perbanyaklah syahadat Laailaahaillallah sebelum kamu dihalangi mengucapkannya,
dan ajarkanlah kepada orang yang hampir mati di antara kamu.” (HR. Abu Ya’la (6147), Al
Khathib dalam Tarikhnya (3/38), Hamzah Al Kananiy dalam Ju’ul bithaaqah (no. 8), Ar Raafi’i
dalam Tarikh Qazwiin (4/74) dari dua jalan dari Dhimam bin Isma’il dari Musa bin Wardan dari
Abu Hurairah.)
Isnad ini adalah hasan, karena di dalamnya terdapat Dhimam bin Isma’il yang menurut Adz
Dzahabi, “Shalih haditsnya, namun sebagian mereka (ahli hadits) menganggapnya lunak tanpa
hujjah.”
Abu Zur’ah Al ‘Iraqiy dalam Dzailul Kaasyif hal. 144 menukil dari Imam Ahmad bin Hanbal
pendapatnya tentang Dhimam, ia berkata, “Shalih haditsnya,” dan dari Abu Hatim, “Shaduq
(sangat jujur) dan ahli ibadah.”, sedangkan dari Nasa’i, “Tidak apa-apa terhadapnya.”
Al Haafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shaduuq, namun terkadang ia keliru.”
Yang seperti ini derajat haditsnya adalah hasan.
Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan karena ada salah satu
syaratnya yang hilang.
Hadits dha’if banyak macamnya. Akan dijelaskan nanti macam-macamnya, Insya Allah.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dan Ibnu
Kuzaimah serta yang lainnya dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

ِ ‫ لَهُ بِاإْل ِ ي َم‬c‫إِ َذا َرأَ ْيتُ ْم ال َّر ُج َل يَتَ َعاهَ ُد ْال َم ْس ِج َد فَا ْشهَ ُدوا‬
‫ان‬
“Apabila kamu melihat seseorang rutin ke masjid, maka saksikanlah keimanannya…dst.”
Hadits ini adalah dha’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang namanya Darraj bin Sam’aan
Abus Samh.
Adz Dzahabiy berkata tentangnya, “Darraj itu banyak hadits-hadits munkarnya.”
Imam Ahmad dan lainnya berkata, “Hadits-haditsnya munkar.”
Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib (no. 1824), “Sangat jujur, namun dalam riwayatnya dari
Abul Haitsam adalah dha’if.”
Dan di sini Darraj meriwayatkan dari Abul Haitsam.

Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’


Apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan,
taqrir (diam Beliau terhadap suatu perbuatan yang disaksikannya) atau sifat fisik maupun akhlak
disebut Hadits Marfu’.
Contoh marfu’ ucapan adalah seorang rawi (periwayat) mengatakan, “Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:…dst.”
Contoh marfu’ perbuatan adalah seorang rawi mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan…dst.”
Contoh marfu’ yang berupa taqrir adalah seorang rawi mengatakan, “Dilakukan di hadapan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal ini atau itu…dst.” Dan tidak ada riwayat pengingkaran dari
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan itu.
Sedangkan contoh marfu’ yang berupa sifat adalah seorang rawi mengatakan, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya…dst.” (HR.
Bukhari dan Muslim) Atau rawi yang mengatakan:

َّ َ‫ان أَ ْبيَض َملِيحًا ُمق‬


‫صدًا‬ َ ‫َك‬
“Beliau adalah seorang yang putih, manis dan sedang.” (HR. Muslim)
Adapun yang disandarkan kepada para sahabat baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir
disebut Mauquf.
Contoh:
Mauquf pada ucapan adalah seperti perkataan Ali bin Abi Thalib  radhiyallahu 'anhu,
“Sampaikanlah kepada manusia perkara yang mereka kenali (pahami), sukakah kamu jika Allah
dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq)
Mauquf pada perbuatan adalah seperti perkataan Imam Bukhari, “Ibnu Abbas pernah
mengimami, sedangkan Beliau bersuci dengan bertayammum.” (Diriwayatkan oleh Bukhari
secara mu’allaq. Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Riwayat ini disambung oleh Ibnu Abi
Syaibah, Baihaqi dan lainnya, dan isnadnya adalah hasan).
Mauquf yang berupa taqrir adalah seperti perkataan tabi’in, “Saya melakukan perbuatan ini di
hadapan seorang sahabat, dan ia tidak mengingkariku.”
Faedah/Catatan:
Apabila seorang sahabat berkata, “ Termasuk Sunnah…dst.” Atau berkata, “Kami di zaman
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan ini dan itu…dst.” Atau ia (sahabat)
mengatakan suatu perkataan yang di sana bukan ruang berijtihad, maka hal ini tidak dihukumi
mauquf, bahkan dinamakan marfu’ hukman (dihukumi marfu’), yakni menduduki posisi
perbuatan atau ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari sisi kehujjahannya.
Jika riwayat itu disandarkan (hanya sampai) kepada tabi’in, maka disebut Maqthu’.
Maqthu’ pada ucapan adalah seperti pada perkataan Al Hasan Al Bashriy tentang shalat di
belakang Ahli Bid’ah, “Shalatlah (dengannya), sedangkan bid’ahnya adalah untuknya.”
(Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq).
Maqthu’ pada perbuatan adalah seperti pada perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Al
Muntasyir, “Masruq memasang tirai antara dia dengan keluarganya, ia menghadap kepada
shalatnya, membiarkan mereka dan dunia mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al
Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ 2/96).

Musnad
Musnad artinya hadits marfu’ yang bersambung sanadnya.
Musnad juga berarti kitab yang di sana dihimpun riwayat-riwayat setiap sahabat secara terpisah,
seperti Musnad Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, di sana disebutkan nama setiap sahabat
dan hadits-haditsnya.

Musalsal
Musalsal adalah hadits yang para perawi sanadnya bersamaan dari awal hingga akhirnya dalam
mengucapkan, atau dalam mencontohkan keadaan atau dalam melakukan perbuatan.
Dalam mengucapkan seperti masing-masing mereka bersumpah dengan nama Allah ‘Azza wa
Jalla.
Dalam mencontohkan keadaan seperti mernyampaikan hadits sambil berdiri.
Dalam melakukan perbuatan seperti tersenyum setelah menyampaikan hadits.
Hukum hadits musalsal ini adalah, bahwa hadits tersebut diterima setelah terpenuhi syarat-syarat
untuk diterima.
Ibnush Shalah dalam ‘Ulumul Hadits hal. 249 berkata, “Sedikit sekali hadits musalsal itu yang
selamat dari kelemahan, maksud saya, dalam menyifati keadaannya, bukan pada matannya.”
Contoh:
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,

‫و ُل اللَّهُ َّم أَ ِعنِّي َعلَى‬ccُ‫اَل ٍة تَق‬c‫ص‬


َ ‫ ِّل‬c‫ك يَا ُم َعا ُذ اَل تَ َد َع َّن فِي ُدب ُِر ُك‬
َ ‫صي‬ِ ‫يَا ُم َعا ُذ َوهَّللا ِ إِنِّي أَل ُ ِحب َُّك أُو‬
‫ك‬
َ ِ‫ْن ِعبَا َدت‬
cِ ‫ك َو ُحس‬َ ‫ك َو ُش ْك ِر‬ َ ‫ِذ ْك ِر‬
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku berpesan kepadamu wahai
Mu’adz, janganlah kamu tinggalkan mengucapkan di akhir setiap shalat, “Allahuumma a’inniy
‘alaa dzikrik wa syukrik wa husni ‘ibaadatik.” (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu,
untuk bersyukur kepada-Mu dan memperbaiki ibadah kepada-Mu). (HR. Ahmad 5/247, Nasa’i
(3/53), Abu Dawud (1522) dan Ibnu Khuzaimah (751) dengan sanad yang shahih).
Disebutkan dalam Musnad Ahmad:

‫ ِد‬c‫و َع ْب‬ccُ‫ى أَب‬c‫ص‬


َ ‫رَّحْ َم ِن َوأَ ْو‬c‫ ِد ال‬c‫ا َع ْب‬ccَ‫نَابِ ِح ُّي أَب‬c‫الص‬ َ ‫نَابِ ِح َّي َوأَ ْو‬c‫الص‬
ُّ ‫ى‬c‫ص‬ ُّ ‫ا ٌذ‬cc‫ك ُم َع‬ َ ِ‫صى بِ َذل‬ َ ‫َوأَ ْو‬
‫الرَّحْ َم ِن ُع ْقبَةَ ب َْن ُم ْسلِ ٍم‬
“Mu’adz berpesan seperti itu kepada Ash Shunabihi (rawi setelahnya), Ash Shunabihi berpesan
kepada Abu Abdurrahman, dan Abu ‘Abdurrahman berpesan kepada ‘Uqbah bin Muslim.
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy berkata: Syaikh Abul Faidh Al Fadaniy berkata kepadaku:
Sesungguhnya aku mencintaimu, lalu ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku beberapa orang
syaikh, yaitu Umar bin Hamdan, Muhammad bin Abdul Baqi Al Laknawi,…dst, dan masing-
masingnya berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku mencintaimu.”
Seperti itulah permisalannya.

Hadits ‘Aziz
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang dalam seluruh lapisan sanad
dari rawi pertama, dan jumlahnya tidak kurang dari itu.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, dan Bukhari
dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫اس أَجْ َم ِع‬


‫ين‬ ِ َّ‫ون أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬
َ ‫اَل ي ُْؤ ِم ُن أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُك‬
“Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kamu sampai aku lebih dicintainya
daripada bapaknya, anaknya dan manusia semuanya.”
Al Hafizh menerangkan dalam Nuz-hatun Nazhar, bahwa hadits ini diriwayatkan dari Anas oleh:
1. Qatadah dan Abdul ‘Aziz
2. Syu’bah dan Sa’id (dari Qatadah)
3. Isma’il bin ‘Ulayyah dan Abdul Warits (dari Abdul ‘Aziz)
4. Lalu dari masing-masingnya diriwayatkan oleh jamaah (banyak para perawi).
Hadits Masyhur
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dalam seluruh lapisan
sanad namun tidak sampai batasan mutawatir. Hadits ini disebut juga Masyhur Isthilahi.
Contoh:
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ْض ْال ُعلَ َما ِء َحتَّى إِ َذا لَ ْم‬ِ ‫إِ َّن هَّللا َ اَل يَ ْقبِضُ ْال ِع ْل َم ا ْنتِ َزاعًا يَ ْنتَ ِز ُعهُ ِم َن ْال ِعبَا ِد َولَ ِك ْن يَ ْقبِضُ ْال ِع ْل َم بِقَب‬
c‫ضلُّوا‬َ َ‫ضلُّوا َوأ‬ َ َ‫ْق َعالِ ًما اتَّ َخ َذ النَّاسُ ُر ُءوسًا ُجهَّااًل فَ ُسئِلُوا فَأ َ ْفتَ ْوا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم ف‬ ِ ‫يُب‬
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mencabut ilmu secara langsung Dia cabut dari hamba-hamba-
Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Dia tidak
menyisakan seorang yang berilmu, maka manusia mengangkat para tokoh yang bodoh, lalu
mereka ditanya, sehingga mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, dan akhirnya mereka sesat dan
menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Umar oleh tiga orang atau lebih dalam seluruh lapisan sanad
sebagaimana disebutkan secara rinci di semua sanad-sanadnya.
Selain Masyhur Ishthilahi di atas ada lagi masyhur yang tidak ishthilahi, dimana hadits tersebut
masyhur di kalangan golongan tertentu atau salah satu generasi karena faktor-faktor tertentu,
bahkan terkadang suatu hadits masyhur di kalangan manusia namun tidak ada asal usulnya atau
tidak ada sanadnya. Masyhur ini terkadang ada yang shahih dan terkadang mutawatir. Contoh
masyhur selain masyhur isthilahi adalah:
1. Masyhur di kalangan Ahli Hadits saja.
2. Masyhur di kalangan Ahli Hadits, ulama dan masyarakat awam.
3. Masyhur di kalangan Ahli fiqh.
4. Masyhur di kalangan Ahli Ushul.
5. Masyhur di kalangan Ahli Nahwu.
6. Masyhur di kalangan masyarakat.

Hadits Mu’an’an
Hadits Mu’an’an adalah hadits yang seorang rawinya atau lebih berkata, “Dari fulan, dari
fulan…dst.”
Jika rawinya adalah seorang mudallis dan tidak menyebutkan secara tegas tahdits (haddatasana,
yang artinya telah menceritakan kepada kami) atau tidak menyebutkan sima’(mendengar)nya,
maka hadits tersebut tertolak. Tetapi, jika rawinya tsiqah (terpercaya) dan tsabt (teguh) yang
tidak diketahui tadlisnya, maka hadits tersebut diterima, demikian pula apabila hadits itu ada
keterangan dengan tegas bahwa rawi mendengarnya berdasarkan riwayat yang lain, maka
diterima pula.
Tadlis artinya menyembunyikan cacat. Orangnya disebut mudallis, ia adalah seorang rawi yang
apabila menyampaikan melakukan tadlis dengan salah satu di antara macam-macam tadlis yang
akan diterangkan nanti, insya Allah.
Catatan:
Imam Bukhari dan gurunya Ibnul Madini serta sebagian imam ahli hadits  mensyaratkan bahwa
rawi harus benar-benar bertemu dengan rawi yang diambil riwayatnya dengan ‘an’anah (dari
fulan,…dst.), adapun mayoritas para imam, terlebih Imam Muslim, maka mereka mencukupkan
diri dengan betul-betulnya mereka berada di masa yang sama, meskipun tidak (jelas) satu berita
pun bahwa mereka berdua berkumpul dan berbicara langsung. Imam Muslim juga menukilkan
tentang adanya kesepakatan tentang hal itu dalam Mukadimah kitab shahihnya.
Mubham
Mubham adalah orang yang tidak jelas namanya dalam matan maupun isnad, baik terkait dengan
perawi atau orang yang memiliki hubungan dengan riwayat.
Mubham dalam matan contohnya hadits Ibnu Abbas, bahwa ada seorang yang berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah haji itu (wajib) setiap tahun?”
Di sini ada seorang yang masih mubham, tetapi diketahui berdasarkan riwayat yang lain, bahwa
nama penanya itu adalah Al Aqra’ bin Habis.
Adapun mubham dalam sanad contohnya hadits Rafi’ bin Khadiij dari pamannya tentang
larangan melakukan mukhabarah.
Di sanadnya terjadi mubham, yaitu pada paman Rafi’ bin Khadij, padahal riwayat itu darinya,
tetapi diketahui dari riwayat yang lain bahwa namanya adalah Zhahiir bin Raafi’.

Hadits ‘Ali Isnad dan Nazil Isnad


Hadits ‘Ali Isnad adalah hadits yang sedikit jumlah perawinya jika melihat kepada sanad yang
lain yang hadits datang dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga para perawi sanadnya
dekat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau dekat dengan salah satu dari imam
ahli hadits.
Hadits Nazil Isnad adalah kebalikan dari hadits ‘Ali Isnad.

Hadits Mursal
Hadits Mursal adalah hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’in kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir tanpa menyebutkan para perawi
yang mendengarkan hadits melalui perantaraan mereka, baik mereka sahabat atau tabi’in.
Kesimpulannya, hadits mursal adalah hadits yang terputus di akhir sanad.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Maraasil[2] dari Az Zuhri, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminta bantuan dengan beberapa orang Yahudi di Khaibar
dalam perangnya, lalu Beliau memberikan bagian untuk mereka.”
Az Zuhri adalah salah seorang imam dari kalangan tabi’in (bukan sahabat), ia meriwayatkan
hadits ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara langsung tanpa menyebutkan perantara
yang mendengar hadits itu, yaitu sahabat atau tabi’in.
Faedah:
Mursal Sahabiy adalah seorang sahabat mengabarkan perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam atau perbuatannya, namun ia tidak mendengar langsung atau menyaksikannya. Sebabnya
adalah karena usianya yang masih kecil, terlambat masuk Islamnya atau sedang tidak hadir di
hadapan Beliau. Banyak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat kecil seperti Ibnu
Abbas, Ibnuz Zubair dan lainnya. Hukum mursal sahabat adalah diterima, karena para sahabat
semuanya adil.

Hadits Gharib
Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang di tempat mana saja dari sanad.
Dinamakan dengan gharib karena ia seperti orang asing yang tidak memiliki keluarga di
dekatnya atau karena jauhnya dari tingkatan masyhur apalagi mutawatir.
Contohnya adalah hadits “Innamal a’maalu bin niyyat…dst.” Hadits ini diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Umar bin Khaththab, lalu oleh ‘Alqamah, lalu oleh
Muhammad bin At Taimiy, lalu oleh Yahya bin Sa’id Al Anshariy, kemudian setelah itu menjadi
masyhur.

Hadits Munqathi’
Hadits Munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung isnadnya disebabkan gugurnya seorang
rawi atau lebih di salah satu tempat atau beberapa tempat dengan syarat tidak berturut-turut
gugurnya.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya no. 3586, ia
berkata:

‫ب أَ َّن‬
ٍ ‫هَا‬c‫ َد َع ْن ا ْب ِن ِش‬c‫س ْب ِن يَ ِزي‬ َ ُ‫ون‬ccُ‫ب َع ْن ي‬ ٍ ‫ا اب ُْن َو ْه‬ccَ‫ريُّ أَ ْخبَ َرن‬c ِ c‫ان ب ُْن َدا ُو َد ْال َم ْه‬ ُ ‫لَ ْي َم‬c‫ َّدثَنَا ُس‬c‫َح‬
َ c‫ا َك‬cc‫ي إِنَّ َم‬
‫ان ِم ْن‬c َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل َوهُ َو َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِ َّن الر َّْأ‬ ِ ‫ب َر‬ ِ ‫ُع َم َر ب َْن ْال َخطَّا‬
‫ف‬ُ ُّ‫ان ي ُِري ِه َوإِنَّ َما هُ َو ِمنَّا الظَّ ُّن َوالتَّ َكل‬ َ ‫صيبًا أِل َ َّن هَّللا َ َك‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُم‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫َرس‬
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Mahriy, telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab, bahwa Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu berkata ketika ia berada di atas mimbar, “Wahai manusia! Sesungguh
pendapat itu jika berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka akan benar, karena
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperlihatkannya kepada Beliau, tetapi jika dari kita, maka itu
adalah sangkaan dan sikap memberatkan diri.”
Imam Al Mundziri berkata, “Hadits ini munqathi’, Az Zuhriy (Ibnu Syihab) tidak bertemu
dengan Umar radhiyallahu 'anhu.” Sehingga sanadnya tidak bersambung.

Hadits Mu’dhal
Hadits Mu’dhal adalah hadits yang gugur dalam isnadnya dua orang rawi atau lebih secara
berurutan di satu tempat dari sanad atau di tengah-tengahnya.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim[3] dengan sanadnya yang sampai
kepada Qa’nabiy, dari Malik:

ِ ‫و‬cُ‫لَّ َم لِ ْل َم ْمل‬c‫ ِه َو َس‬cْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬c‫ص‬


‫ك‬ َ ِ ‫و ُل هَّللا‬c‫ا َل َر ُس‬cَ‫ال ق‬c َ َ‫رةَ ق‬cْ َ ‫ا هُ َري‬cَ‫ك أَنَّهُ بَلَ َغهُ أَ َّن أَب‬
ٍ ِ‫َع ْن َمال‬
ُ ‫ف ِم ْن ْال َع َم ِل إِاَّل َما ي ُِطي‬
‫ق‬ ِ ‫ط َعا ُمهُ َو ِكس َْوتُهُ بِ ْال َم ْعر‬
ُ َّ‫ُوف َواَل يُ َكل‬ َ
Dari Malik, bahwa sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, “Bagi budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian secara ma’ruf, dan
tidak dibebani pekerjaan kecuali yang sesuai kesanggupannya.”
Hakim berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik, ia memu’dhalkannya dalam Al Muwaththa’[4].
Sebab mu’dhalnya adalah bahwa dalam sanadnya terdapat dua rawi yang gugur secara berurutan,
yakni antara Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan
bapaknya.

Hadits Mudallas
Hadits Mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacat dalam isnadnya agar tampak baik di
luarnya. Tadlis secara bahasa artinya menyembunyikan cacat.
Macam-macam tadlis:
1. Tadlis Taswiyah.
Tadlis Taswiyah adalah periwayatan oleh rawi dari gurunya lalu digugurkan seorang rawi yang
dha’if antara dua orang tsiqah yang satu bertemu dengan yang lain. Orang yang paling masyhur
melakukan tadlis ini adalah Baqiyyah bin Al Walid.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (‘Ilalul Hadits 2/155) ia
berkata: Aku mendengar bapakku –ia sebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq bin
Rahawaih dari Baqiyyah- : Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb Al Aasdiy dari Nafi’ dari
Ibnu Umar sebuah hadits yang berbunyi, “Janganlah kamu puji keislaman seseorang sampai
kamu mengetahui bagusnya pendapatnya.”
Bapakku (Abu Hatim) berkata, “Hadits ini ada masalah yang sedikit orang memahaminya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr –ia adalah tsiqah- dari Ishaq bin Abi Farwah –
ia adalah dha’if- dari Nafi’ –ia adalah tsiqah- dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Ubaid bin ‘Amr kunyahnya adalah Abu Wahb, yakni Asadiy, lalu Baqiyyah
menyebutnya dengan kunyah(panggilan)nya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak
disadari, sehingga ketika Ishaq bin Abi Farwah telah ditinggalkan, maka tidak ada yang tahu…
dst[5].”
2. Tadlis Isnad
Tadlis Isnad adalah seorang rawi meriwayatkan dari orang yang mendengar sebuah hadits,
namun rawi ini tidak mendengarnya darinya tanpa menyebutkan bahwa ia mendengarnya secara
tegas, yakni menyebutkan dengan lafaz yang kesannya mendengarkan, seperti kata ‘An” (dari),
“Anna” (bahwa) atau “Qaala” (ia berkata)…dst.”
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam ‘Amalul Yaumi Wal Lailah hal.
431 dengan sanadnya dari dua jalan dari Abuz Zubair dari Jabir ia berkata: Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam setiap malam tidak tidur sampai membaca surat Tanzil As Sajdah dan
Tabarakalladzii biyadihil mulk…dst.”
Lalu ia (Nasa’i) meriwayatkan setelahnya dengan sanadnya yang sampai kepada Zuhair bin
Mu’awiyah, bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Abuz Zubair, “Apakah engkau mendengar
Jabir menyebutkan bahwa Nabiyyullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak tidur sampai membaca
Alif Laam Miim Tanzil (As Sajdah) dan Tabaarak (Al Mulk)?” Ia menjawab, “Jabir tidak
menceritakannya kepadaku, tetapi yang menceritakannya kepadaku adalah Shafwan atau Abu
Shafwan.”
Ini adalah contoh Abuz Zubair melakukan tadlis, ia gugurkan perantara mendengarnya hadits ini
dari Jabir.
3. Tadlis Syuyukh
Tadlis Syuyukh adalah seorang rawi meriwayatkan dari seorang guru sebuah hadits yang ia
dengar darinya, lalu rawi itu menamai gurunya itu atau menyebut kunyahnya atau menyifatinya
dengan sifat yang tidak diketahui agar tidak diketahui dan disadari oleh orang lain.
Contohnya adalah ucapan Abu Bakar bin Mujahid –salah satu imam qari’-: Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…dst, maksudnya adalah Abu Bakar bin Abi Dawud As
Sijistaniy, perbuatannya ini memutuskan jalan bagi pendengar untuk mengetahuinya dan
menjadikannya sukar diketahui.
Ada contoh lain dari tadlis yang diterangkan oleh Ahlul Hadits, lihat Mukaddimah Ibnush
Shalah (hal. 66), Al Iqtirah (hal. 208) oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied, Tadribur Rawi (1/223) dan At
Taqyid wal Iidhah (hal. 95).

Hadits Syadz
Hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, namun menyelisihi yang
lebih kuat darinya baik dari sisi hapalan maupun jumlah yang meriwayatkan.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (1/321) ia berkata:

‫ ٍد َع ْن‬c‫ا َمةَ ب ِْن َز ْي‬c‫ان َع ْن أُ َس‬ ُ َ‫ ْفي‬c‫ َّدثَنَا ُس‬c‫ ٍام َح‬c‫ةُ ب ُْن ِه َش‬cَ‫اوي‬ِ ‫ َّدثَنَا ُم َع‬c‫ ْيبَةَ َح‬c‫ان ب ُْن أَبِي َش‬c
ُ c‫َح َّدثَنَا ُع ْث َم‬
َ ‫لَّ َم إِ َّن هَّللا‬c‫ ِه َو َس‬c‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬c‫ص‬
َ ِ ‫و ُل هَّللا‬c‫ا َل َر ُس‬ccَ‫ت ق‬ ْ َ‫ال‬ccَ‫ان ْب ِن عُرْ َوةَ َع ْن عُرْ َوةَ َع ْن َعائِ َشةَ ق‬ َ ‫ُع ْث َم‬
ِ ُ‫ون َعلَى َميَا ِم ِن الصُّ ف‬
‫وف‬ َ ُّ‫صل‬َ ُ‫َو َماَل ئِ َكتَهُ ي‬
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami
Mu’awiyah bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Usamah bin Zaid dari
Utsman bin ‘Urwah dari Urwah dari Aisyah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada shaf bagian kanan.”
Syaikh Ali bin Hasan berkata, “Isnadnya para perawinya adalah tsiqah dan zhahirnya adalah
sahih, tetapi dalam matannya Usamah bin Zaid keliru, ia meriwayatkan dengan lafaz, “Alaa
mayaaminish shufuuf.” Sedangkan jamaah para rawi yang tsiqah[6] meriwayatkan dengan
dengan lafaz:
ِ َ‫َعلَى الَّ ِذي َْن ي‬
َ ‫صلُ ْو َن الصُّ فُ ْو‬
‫ف‬
“Kepada orang-orang yang menyambung shaf.”
Oleh karena itu, Imam Baihaqi dalam Sunannya (3/103) mengisyaratkan syadznya dengan
berkata, “Itulah yang mahfuzh.”

Hadits Maqlub
Maqlub artinya terbalik. Maqlub terbagi dua:
1. Terbaliknya lafaz dengan yang lain,
Hal ini bisa terjadi dalam sanad hadits dari sisi para perawinya. Contohnya adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah, lalu rawi terbalik sehingga mengatakan dari Murrah bin
Ka’ab.
Demikian pula bisa terjadi dalam matan hadits dari sisi lafaz. Contohnya adalah hadits Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu tentang tujuh golongan orang yang mendapatkan naungan Allah di
bawah naungan ‘Arsyi-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, di sana
disebutkan:

ُ ِ‫ص َدقَ ٍة فَأ َ ْخفَاهَا َحتَّى اَل تَ ْعلَ َم يَ ِم ْينُهُ َما تُ ْنف‬
ُ‫ق ِش َمالُه‬ َ ‫ص َّد‬
َ ِ‫ق ب‬ َ َ‫َو َر ُج ٌل ت‬
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan
kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya.”
Hal ini termasuk maqlub yang terjadi oleh sebagian rawi, karena yang sahih adalah:

ُ ِ‫ص َدقَ ٍة فَأ َ ْخفَاهَا َحتَّى اَل تَ ْعلَ َم ِش َمالُهُ َما تُ ْنف‬
cُ‫ق يَ ِم ْينُه‬ َ ‫ص َّد‬
َ ِ‫ق ب‬ َ َ‫َو َر ُج ٌل ت‬
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya.”
2. Terbaliknya isnad matan dengan isnad matan yang lain, dan digantinya isnad
matan ini dengan isnad pertama dengan tujuan menguji atau lainnya.
Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh ulama Baghdad terhadap Imam Bukhari
rahimahullah, ketika mereka merubah seratus hadits kepadanya dan mereka bertanya tentangnya
untuk menguji hapalannya, lalu ia mengembalikkannya seperti ketika sebelum diganti dan tidak
keluru pada salah satunya. Hal ini menunjukkan kuatnya hapalan Imam Bukhari, encer akalnya,
teliti dan jauhnya pandangannya.

Hadits Fard
Fard artinya sendiri. Fard terbagi dua:
1.    Fard Mutlak, yaitu hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang tsiqah, yakni tidak ada
orang tsiqah yang meriwayatkan selain dia. Contohnya adalah hadits Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertanya kepada Abu Waqid Al Laitsi tentang surat yang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam baca dalam shalat Idul Adh-ha dan Idul Fitri? Maka ia menjawab:
 ) ‫ق ْالقَ َم ُر‬ ِ ْ‫ان يَ ْق َرأُ فِي ِه َما بِـ ( ق َو ْالقُر‬
ِ َ‫آن ْال َم ِجي ِد ) َو ( ا ْقتَ َرب‬
َّ ‫ت السَّا َعةُ َوا ْن َش‬ َ ‫َك‬
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kedua shalat itu membaca Qaaf wal Qur’aanil
Majiid (surat Qaaf) dan Iqtarabatis saa’atu wan syaqqal qamar (surat Al Qamar). (Hadits ini
diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
     Al Hafizh Al ‘Iraqiy (At Tabshirah wat Tadzkirah 1/220) berkata, “Hadits ini datang dari riwayat
Dhamrah bin Sa’id Al Maazinniy dari Abdullah bin Abdullah bin Abi Waqid Al Laitsi dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkannya selain
Dhamrah, dan telah diriwayatkan dari jalan-jalan yang lain yang dha’if.”
2.    Fard Muqayyad. Ia terbagi dua:
a.       Apabila penduduk suatu negeri yang meriwayatkannya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya
selain penduduk negeri ini atau itu.
Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha
ia berkata:

‫هَي ٍْل‬c ‫ْضا َء فِى ْال َم ْس ِج ِد ُس‬


َ ‫صلَّى َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم َعلَى ا ْبنَ ْى بَي‬
َ ‫َوهَّللا ِ لَقَ ْد‬
. ‫َوأَ ِخي ِه‬
“Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan dua anak
Baidha’ di Masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.”
Hakim dalam Ma’rifatu Ulumil Hadits hal. 97 berkata, “Penduduk Madinah meriwayatkannya
sendiri, para perawinya semuanya adalah Madaniyyun (orang-orang Madinah), dan telah
diriwayatkan dengan isnad yang lain dari Musa bin ‘Uqbah dari Abdul Wahid bin Hamzah dari
Abdullah bin Az Zubair dari Aisyah, dan semuanya adalah Madaniyyun, tanpa ada orang lain
yang ikut serta (di luar penduduk Madinah).”
b.      Apabila seorang rawi tertentu meriwayatkannya, yakni tidak ada yang meriwayatkan dari fulan
selain fulan, meskipun hadits itu diriwayatkan dari beberapa jalan dari selainnya.
Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunannya (1059), Abu Dawud dalam
Sunannya (3744) dari jalan Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari anaknya Bakr bin
Wa’il dari Az Zuhriy dari Anas:

 ‫ق َوتَ ْم ٍر‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْولَ َم َعلَى‬


ِ ‫صفِيَّةَ ِب ْن‬
ٍ ‫ت ُحيَ ٍّي ِب َس ِوي‬ َ ‫أَ َّن النَّبِ َّي‬
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah terhadap Shafiyyah binti Huyay
dengan sawiq (tepung) dan kurma.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib.”
Ibnu Thahir dalam Athraful Gharaa’ib berkata, “Gharib dari hadits Bakr bin Wa’il, Wa’il bin
Dawud meriwayatkan secara sendiri, dan tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Sufyan bin
‘Uyaynah.”

Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits yang tampak dalam sanadnya atau matannya ‘illat (cacat) yang
mencemarkan kesahihannya, padahal di luarnya tampak tidak ada cacat.
Imam Hakim dalam Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hal. 119 menyebutkan sepuluh jenis ‘illat dan
memberikan contohnya, di akhir ia berkata, “Kami telah menyebutkan beberapa ‘illat hadits
dengan sepuluh jenisnya, dan masih ada jenis-jenis lainnya yang belum kami sebutkan.”
Di sini akan diterangkan dua jenis saja, yaitu ;illat pada sanad berikut contohnya, dan illat pada
matan berikut contohnya.
Faedah/Catatan:
Cara mengetahui hadits Mu’allal adalah dengan mengumpulkan semua jalan hadits tersebut serta
memperhatikan perbedaan perawinya, menimbang dhabit dan itqan (kuatnya), lalu menghukumi
riwayat yang ma’lul tersebut.
Contoh Hadits Mu’allal pada sanad:
Hadits Ya’la bin ‘Ubaid dari Ats Tsauriy dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’, “Al
Bayyi’aani bil khiyar…dst[7].” (Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar…dst). Ya’la
keliru mengira (wahm) terhadap Sufyan Ats Tsauriy pada perkataannya, “Amr bin Dinar,”
padahal sebenarnya Abdullah bin Dinar. Maka sanad hadits ini mu’allal (ber’illat) meskipun
matannya shahih[8].
Contoh Hadits Mu’allal pada matan adalah penafian membaca basmalah dalam shalat, yang
diriwayatkan dari Anas, yaitu pada riwayat yang Muslim meriwayatkannya secara sendiri dalam
shahihnya dari jalan Al Walid bin Muslim. Banyak para imam seperti Syafi’i, Daruquthni,
Baihaqi dan lainnya yang mencacatkan riwayat ini, yang di sana ditegaskan penafian basmalah,
bahwa rawi di antara para perawi hadits tersebut ketika mendengar perkataan Anas radhiyallahu
'anhu:

َ c‫ َر َو ُع ْث َم‬c‫ر َو ُع َم‬c
َ ‫تَ ْفتِح‬c ‫انُوا يَ ْس‬cc‫ان فَ َك‬c
‫ُون‬ ٍ c‫م َوأَبِي بَ ْك‬cَ َّ‫ل‬c ‫ ِه َو َس‬c ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬c ‫ص‬ َ c‫ْت َخ ْل‬
َ ‫ف النَّبِ ِّي‬c ُ ‫لَّي‬c ‫ص‬
َ
} ‫ين‬ َ ‫ب{ ْال َح ْمد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِم‬ ِ
“Aku shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman,
mereka memulai dengan Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.”
Maka rawi ini mengira tidak membaca basmalah, sehingga ia meriwayatkan hadits sesuai yang ia
pahami tetapi keliru, akibatnya ia berkata di akhir hadits, “Mereka tidak menyebutkan
Bismillahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di akirnya.” Padahal riwayat yang banyak
yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim adalah tidak adanya penegasan ini. Ini adalah ‘illat
yang tersembunyi yang diketahui para ulama besar yang berpandangan dalam dan teliti.

Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah seorang rawi atau beberapa orang
rawi dengan keadaan yang berbeda-beda padahal sama kuatnya, dan tidak mungkin ditarjih
maupun digabungkan. Perbedaan yang terjadi ini menunjukkan tidak dhabit (kuatnya) rawi
maupun beberapa orang rawi, sedangkan untuk diterimanya hadits disyaratkan rawi tersebut
harus dhabit sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Pada umumnya mudhtharib terjadi pada sanad, namun terkadang terjadi pada matan.
Contoh mudtharib pada sanad adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

‫ا‬c ‫ص‬ ِ ‫صلَّى أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَجْ َعلْ تِ ْلقَا َء َوجْ ِه ِه َش ْيئًا فَإِ ْن لَ ْم يَ ِج ْد فَ ْليَ ْن‬
ً ‫ هُ َع‬c‫صبْ َعصًا فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن َم َع‬ َ ‫إِ َذا‬
ُ‫ًّا ثُ َّم اَل يَضُرُّ هُ َما َم َّر أَ َما َمه‬Á‫ًط‬c ‫ط َخ‬ْ ُ‫فَ ْليَ ْخط‬
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaknya ia adakan di depannya sesuatu.
Jika ia tidak mendapatkan, maka hendaknya ia tegakkan tongkat, dan jika tidak ada tongkat,
maka hendaknya ia buat sebuah garis, selanjutnya tidak mengapa baginya ketika ada yang lewat
di depannya[9].”
Hadits ini diperselisihkan terhadap rawinya, yaitu Isma’il bin Umayyah dengan perselisihan yang
banyak:
Dikatakan: Darinya (Isma’il bin Umayyah), dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin Huraits dari
kakeknya Huraits dari Abu Hurairah.
Dikatakan pula: Darinya, dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya
Huraits bin Sulaim dari Abu Hurairah.
Dikatakan pula dari ini, itu, dst. sampai lebih dari sepuluh jalan. Oleh karena itulah, lebih dari
seorang hafizh seperti An Nawawi dalam Al Khulashah, Ibnu ‘Abdil Hadiy dan lainnya dari
kalangan ulama muta’akhirin menghukumi mudhthraibnya sanad ini[10].
Contoh mudhtarib pada matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[11] dari Syarik
dari Abu Hamzah dari Asy Sya’biy dari Fathimah binti Qais  radhiyallahu 'anha ia berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang zakat, maka Beliau menjawab:

‫ا ِس َوى ال َّز َكا ِة‬Áًّc‫ال لَ َحًق‬


ِ ‫إِ َّن فِي ْال َم‬
“Sesungguhnya pada harta ada hak selain zakat.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah[12] dari jalan ini pula dengan lafaz:
ٌّ ‫ْس فِي ْال َما ِل َح‬
‫ق ِس َوى ال َّز َكا ِة‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada hak dalam harta selain zakat.”
Al Hafizh Al ‘Iraqiy berkata: Ini adalah mudhtharib yang tidak menanggung (butuh) ta’wil…
dst.”

Hadits Mudraj
Hadits Mudraj adalah hadits yang diketahui bahwa dalam sanadnya atau matannya ada tambahan
atau selipan yang bukan bagian darinya, tetapi merupakan tambahan dari salah satu rawi tanpa
diterangkan tentang tambahan itu.
Catatan:
Sebab adanya idraj (selipan) dalam hadits ada dua:
1. Maksudnya menafsirkan kalimat yang asing, atau menerangkan yang musykil,
atau menerangkan yang masih mujmal, atau berdalih dengan matan hadits
terhadap suatu hukum syar’i yang disebutkannya.
2. Maksudnya menyembunyikan, menjadikan salah atau menjadikannya asing.
Telah disusun beberapa karya untuk menerangkan hadits mudraj, namun belum ada yang dicetak
selain Al Madraj karya As Suyuthi.
Contoh idraj dalam sanad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[13] dari jalan Ibnu
Mahdiy dari Ats Tsauriy dari Washil Al Ahdab, Manshur dan Al Amasy dari Abu Wa’il dari
Amr bin Syurahbil dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, dosa
apa yang paling besar?” Beliau menjawab, “Yaitu kamu adakan tandingan bagi Allah, padahal
Dia telah menciptakanmu…dst.”
Washil tidak menyebutkan ‘Amr bin Syurahbil dalam riwayatnya, ia hanya meriwayatkan dari
Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud secara langsung[14]. Oleh karena itu, disebutkan ‘Amr bin
Syurahbil merupakan idraj (selipan) terhadap riwayat Manshur dan Al A’masy.
Sedangkan contoh mudraj pada matan adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’[15], “Untuk
budak yang dimiliki ada dua pahala. Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya. Seandainya tidak
ada jihad fii sabilillah, haji dan berbakti kepada ibuku, tentu aku ingin mati dalam keadaan
sebagai budak.”
Kata-kata, “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya…dst.” adalah ucapan Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu[16], karena mustahil perkataan itu muncul dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, karena Beliau tidak mungkin berharap menjadi budak, dan lagi ibunya tidak ada
sehingga tidak dapat berbakti[17].

Aqran dan Mudabbaj


Aqran adalah para perawi yang yang berdekatan usia atau isnadnya.
Mudabbaj adalah dua orang rawi yang berdekatan usia atau isnadnya yang meriwayatkan,
dimana masing-masingnya meriwayatkan dari yang lain (saling meriwayatkan).
Contoh:
1. Di kalangan sahabat, yaitu riwayat Aisyah dari Abu Hurairah, dan riwayat Abu
Hurairah dari Aisyah radhiyallahu 'anha.
2. Di kalangan tabi’in, yaitu riwayat Az Zuhriy dari Umar bin Abdul ‘Aziz, dan
riwayat Umar bin Abdul ‘Aziz dari Az Zuhriy.
3. Di kalangan Atbaa’uttaabi’in, yaitu riwayat Malik dari Al Auza’iy, dan riwayat
Al Auzaa’iy dari Malik.
Faedah:
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fat-h (1/510) berkata mengomentari hadits Bukhari no. 9 dari
jalan Sulaiman bin Hilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, “Iman itu itu ada tujuh puluh cabang lebih…dst.”:
“Di dalam isnad yang disebutkan terdapat riwayat Aqran, yaitu Abdullah bin Dinar dari Abu
Shalih, karena keduanya adalah tabi’in, dan jika ditemukan riwayat Abu Shalih darinya, maka
termasuk Mudabbaj.”

Muttafiq dan Muftariq


Muttafiq (sepakat) dan Muftariq (berbeda) adalah samanya nama-nama perawi dan nama bapak-
bapak mereka baik tulisan maupun lafaznya, namun berbeda orangnya. Ada sejumlah Ahli Ilmu
yang menyusun tentang masalah ini, di antara mereka adalah Al Khatib Al Baghdadi, namun
bukunya belum dicetak.
Contoh:
1. Al Khalil bin Ahmad: Ada enam orang yang ikut serta dalam nama ini, pertama
adalah guru Sibawaih.
2. Ahmad bin Ja’far bin Hamdan: Ada empat orang yang bernama ini dalam satu
masa.

Mu’talif dan Mukhtalif


Mu’talif dan Mukhtalif adalah sama nama atau gelar atau kunyah (panggilan) atau nasab dalam
tulisannya, namun berbeda di lafaznya, baik sumber ikhtilaf di lafaznya adalah titik maupun
syakal(harakat)nya.
Contoh:
1.       ‫ سالم‬dan ‫ سالم‬: yang pertama ditakhfifkan (tidak ditasydid) lamnya, sehingga dibaca “Salaam”,
sedangkan yang kedua ditasydidkan lamnya, sehingga dibaca “Sallam.”
2.       ‫وري‬cc‫ الث‬dan ‫وزي‬cc‫ الت‬: yang pertama dengan tsa’ dan raa’, sehingga dibaca “Ats Tsauriy”,
sedangkan yang kedua dengan taa’ dan zay, sehingga dibaca “At Tauziy.”

Hadits Munkar
Hadits Munkar menurut sebagian Ahli Musthalah adalah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh
orang yang banyak salahnya, atau banyak lengahnya atau jelas kefasikannya selain dusta.” Tetapi
yang umum di kalangan ahli hadits, terutama ahli hadits di kalangan muta’akhirin, bahwa
maksud hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah yang menyelisihi
orang-orang yang tsiqah.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Hubayyib bin Habib
–yaitu saudara Hamzah bin Habib Az Zayyat Al Muqri’- dari Abu Ishaq dari Al ‘Aizaar bin
Huraits dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Barang siapa
yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka ia akan
masuk surga…dst.”
Hadits ini adalah hadits munkar seperti yang dihukumi oleh Abu Hatim, karena selain Hubayyib
yang terdiri dari orang-orang yang tsiqah meriwayatkan dari Abu Ishaq secara mauquf (tidak
sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), dan itulah yang ma’ruf.
Matruk
Matruk adalah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang dha’if (lemah), dimana sebab
kelemahannya adalah karena tertuduh dusta dalam haditsnya atau banyak kesalahan atau sangat
lemah.
Contohnya adalah hadits ‘Amr bin Syimr Al Ju’fiy Al Kufiy Asy Syii’iy dari Jabir dari Abut
Thufail dari Ali dan ‘Ammar; keduanya berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan
qunut di waktu fajar, bertakbir pada hari ‘Arafah dari (sehabis) shalat Subuh dan memutuskan
(takbir) setelah shalat Ashar pada akhir hari tasyriq.” (Nasa’i, Daruquthni dan selainnya berkata
tentang ‘Amr bin Syimr, “Matruk haditsnya.”)

Hadits Maudhu’
Hadits Maudhu’ adalah hadits yang di dalamnya terdapat dusta atas nama Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, baik sengaja atau tidak.
Sebagian Ahli Mushthalah membedakan antara dusta yang terjadi dengan sengaja dengan yang
tidak disengaja. Jika disengaja disebut Hadits Maudhu’, sedangkan jika tidak disengaja, maka
disebut Hadits Bathil.
Contohnya adalah hadits yang dibuat untuk membela madzhab, seperti hadits, “Siraaju ummati
Abu Hanifah.” (Pelita umatku adalah Abu Hanifah) yang dibuat oleh orang yang fanatik terhadap
madzhab Hanafi. Demikian pula hadits, ‘Ali khairul basyar, man syakka fiihi kafar…dst.” Yang
dibuat oleh sebagian kaum Rafidhah.
Dan ada lagi hadits-hadits yang maudhu’ yang dibuat karena beberapa sebab yang sudah dikenal
oleh ulama, lihat sebab-sebabnya dalam kitab Al Wadh’ fil Hadits oleh Dr. Umar Fallatah.
Faedah:
Di antara kaedah umum untuk mengetahui suatu hadits sebagai hadits maudhu’ adalah:
1. Hadits tersebut ucapannya tidak mirip dengan ucapan para nabi.
2. Hadits tersebut isinya batil. Ketika isinya batil sudah dapat diketahui bahwa ia
bukanlah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Hadits tersebut menyelisihi ketegasan Al Qur’an.
4. Hadits tersebut jelek dan dijadikan bahan olok-olokan.

Anda mungkin juga menyukai