Sahabat Nabi ( ( أص حاب الن بيaṣḥāb al-nabī)) adalah sebutan orang Muslim kepada
orang-orang yang mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad S A W, membantu
perjuangannya dan meninggal dalam keadaan muslim. Secara terminologi, kata ṣahabat (
)ص حابةmerupakan bentuk jama'/plural dari kata ṣahabi ( )ص حابيyang bermakna
membersamai, mendampingi, dan berinteraksi langsung. Para Sahabat yang utama
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Muhammad, sebab mereka merupakan
penolongnya dan juga merupakan murid dan penerusnya. Bagi dunia Islam saat ini, sahabat
Nabi berperan amat penting, yaitu sebagai jembatan penyampaian hadis dan sunnah
Muhammad yang mereka riwayatkan.
Ibnu Fâris rahimahullah, seorang ahli bahasa, menjelaskan dalam Mu’jamu
Maqâyisil-Lughah (III/335) pasal Sha-ha-ba, mengatakan: “(Himpunan tiga huruf itu)
menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan seseorang yang bersamanya.
Bentuk jamaknya ialah shuhhâb sebagaimana kata râkib bentuk jamaknya rukkâb. Sama
َ ‘( َأصْ َحashhaba fulân), artinya menjadi tunduk’. Dan kalimat ‘ashhabar
seperti kalimat ب فُالَ ٌن
rajulu, artinya jika anaknya telah berusia baligh’, dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu
maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya”.
Kebanyakan ulama secara umum mendefinisikan sahabat Nabi sebagai orang-orang
yang mengenal Nabi Muhammad, mempercayai ajarannya, dan meninggal dalam keadaan
Islam. Dalam bukunya “al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah”, Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852
H/1449 M) menyampaikan bahwa:
"Sahabat (ص حابي, ash-shahabi) adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam
keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam."
Terdapat definisi yang lebih ketat yang menganggap bahwa hanya mereka yang
berhubungan erat dengan Nabi Muhammad saja yang layak disebut sebagai sahabat Nabi.
Dalam kitab “Muqadimmah” karya Ibnu ash-Shalah (w. 643 H/1245 M),
Dikatakan kepada Anas, “Engkau adalah sahabat Rasulullah dan yang paling terakhir
yang masih hidup". Anas menjawab, “Kaum Arab (badui) masih tersisa, adapun dari sahabat
beliau, maka saya adalah orang yang paling akhir yang masih hidup.”
Demikian pula ulama tabi'in Said bin al-Musayyib (w. 94 H/715 M) berpendapat
bahwa: “Sahabat Nabi adalah mereka yang pernah hidup bersama Nabi setidaknya selama
setahun, dan turut serta dalam beberapa peperangan bersamanya.”
Sementara Imam an-Nawawi (w. 676 H /1277 M) juga menyatakan bahwa: “Beberapa
ahli hadis berpendapat kehormatan ini (sebagai Sahabat Nabi) terbatas bagi mereka yang
hidup bersamanya (Nabi Muhammad) dalam waktu yang lama, telah menyumbang (harta
untuk perjuangannya), dan mereka yang berhijrah (ke Madinah) dan aktif menolongnya; dan
bukan mereka yang hanya menjumpainya sewaktu-waktu, misalnya para utusan Arab badui;
serta bukan mereka yang bersama dengannya setelah Pembebasan Mekkah, ketika Islam telah
menjadi kuat.”
Keutamaan Sahabat Nabi
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: Muhammad itu adalah utusan
Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injîl; yaitu seperti
tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-
penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. Al-Fath
48:29.
Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, karena mereka
seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, hadits-
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan para sahabat tidak
sedikit. Dalam kitab Shahîhain, al-Bukhâri dan Muslim diriwayatkan dari hadits ‘Abdullah
bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya, dan kemudian zaman
berikutnya. Lalu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan
sumpahnya mendahului persaksian.
Para shahabat itu kita pastikan punya sifat al-adalah, maknanya bahwa mereka
bukan lah orang yang sengaja berdusta tentang Rasulullah SAW. Sebab mereka adalah
orang-orang yang secara resmi disebutkan di dalam Al-Quran punya iman yang kuat,
berpegang teguh pada taqwa, menjaga muru'ah, serta berakhlaq yang agung.
Namun bukan berarti mereka orang yang ma'shum dan kebal dosa. Bisa saja para
shahabat itu punya sifat manusiawi, karena pada hakikatnya mereka memang manusia. Jadi
tidak tertutup kemungkinan mereka juga keliru, salah, berdosa bahkan saling berperang satu
sama lain.
Namun harap diingat bahwa kalau pun ada kasus dimana ada shahabat yang
melakukan dosa besar, mereka adalah orang yang dengan cepat langsung bertaubat. Selain itu
jumlah shahabat itu terlalu banyak, jumlahnya mencapai 124.000 orang. Sedangkan yang
tercatat pernah salah cuma beberapa gelintir orang saja. Maka generalisasi bahwa semua
shahabat itu tukang bikin dosa, tentu sebuah kesimpulan yang salah kaprah.
Menambahi pengertian al-'adalah apa yang telah dikatakan oleh Al-Imam Al-Abyari :
َ ِر َواي قَبُو ُل :َ ْال ُم َراد َوِإنَّ َما ، َعلَ ْيهُ ْم صيَ ِةِ ْال َم ْع َ َواِ ْستِ َحالَة ،لَهُ ْم ْال ِعصْ َم ِة َثُبُوت بِ َعدَالَتِ ِه ْم ْال ُم َرا ُد ْس َ َولَي
ي ُْث َولَ ْم ،ُقَا ِدح ُاِرْ تِ َكاب تُ ِي ُْثب َأ َّن ِإاَّل ،التَّ ْز ِكيَ ِة ب
ِ َ َوطَل ْال َعدَالَ ِة ب
ِ أ ْسبَا ع َْن ثٍ ْبَح ف ِ ُّتَ َكل َغي ِْر ِم ْن تِ ِه ْم
َّ ْال َح ْم ُد َهَلَل َو َ َذلِك ت
ْ ِب
Keadilan para shahabat itu maksudnya bukan kemakshuman atau halalnya mereka
dari perbuatan maksiat. Tetapi yang dimaksud adalah diterimanya periwayatan mereka
tanpa harus dibebani dengan penyelidikan atas sebab sifat al-adalah mereka, juga tanpa
membutuhkan rekomendasi (dari pihak lain). Dengan pengecualian bila memang ada
kepastian dilakukannya dosa besar, namun hal itu tidak terjadi, walhamdulillah.