NIM : 1917201259
1. Deskripsikan
a. Hadits sebagai hujjah
Yang dimaksud dengan kehujahan Hadis (hujjiyah hadis) adalah keadaan Hadis yang
wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an
dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut Wahbah Az-
Zuhaili dalam kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dengan
dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah
dan Al-Umm.
Kehujahan hadis sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang
menuturkan tentang kenabian Muhammad saw. Selain itu, keabsahan hadis sebagai dalil
juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa beliau saw., tidak
menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang telah
diwahyukan. Semua perkataan beliau saw., adalah wahyu yang diwahyukan. Oleh karena
itu, hadis adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Hadis
adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak ada perbedaan antara al-Quran dan
Hadis dari sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat.
Fungsi hadits sebagai al-Qur’an
1) Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2) Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan
mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan
apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Rasululloh mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an
3) Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum
yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-
Qur’an. Contohnya seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu,
haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain
sutra bagi laki-laki.
Sejarah penulisan dimulai pada awal masa kenabian, awalnya Rasulullah melarang para
sahabatnya menulis hadist, seperti riwayat dari Abu Said Al Khudry,
“Janganlah kalian menulis dari ku, dan barangsiapa yang telah menulis dari ku selain al
Quran maka hapuslah”. (HR. Muslim).
ْي ٍءb َّل َشb َأتَ ْكتُبُ ُك: الُواbbَ َريْشٌ َوقbُ فَنَهَ ْتنِي ق، ُهbَ ُد ِح ْفظbلم ُأ ِريbbه وسbbُول هللاِ صلى هللا علي ِ ت َأ ْكتُبُ ُك َّل َش ْي ٍء َأ ْس َم ُعهُ ِم ْن َرس
ُ ُك ْن
ولِ bك لِ َر ُسَ bِت َذل
ُ ْ َذكَرbَ ف، ب ِ اbbَت َع ِن ْال ِكت
ُ فََأ ْم َس ْك، ِّضا
َ َوالر، ب َ تَ ْس َم ُعهُ َو َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم بَ َش ٌر يَتَ َكلَّ ُم فِي ْالغ
ِ َض
ٌّ ا ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ ِإالَّ َح: فَقَا َل، فََأوْ َمَأ بُِأصْ بُ ِع ِه ِإلَى فِي ِه، هللاِ صلى هللا عليه وسلم.
ق
“Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah karena aku ingin
menghafalnya. Kemudian orang orang Quraisy melarangku, mereka berkata, “Engkau
menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah? Dan Rasulullah adalah seorang
manusia, kadang berbicara karena marah, kadang berbicara dalam keadaan lapang”.
Mulai dari sejak itu akupun tidak menulis lagi, sampai aku bertemu dengan Rasulullah
dan mengadukan masalah ini, kemudian beliau bersabda sambil menunjukkan jarinya ke
mulutnya, “tulislah! Demi yang jiwaku ada di tanganNya, tidak lah keluar dari mulutku ini
kecuali kebenaran”. (HR. Adu Dawud, Ahmad, Al Hakim).
b. Alasan dan tujuan penulisan hadits pada masa umar bin abdul aziz:
4. Dari segi kualitas (banaknya) hadits diriwayatkan oleh sistem sanad yang ada.
Secara bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad” yang
bermakna satu. Hadits ahad, secara bahasa adalah Hadits yang diriwayatkan oleh satu
orang. pengertian Hadits ahad secara istilah adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat
syarat Hadits mutawatir.
1) Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah popular.
Sedangkan menurut istilah Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga
orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat hadits mutawatir.
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin tidak terganggu oleh
lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi)[8]
Hadits tersebut diatas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat nabi)
sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari,
Muslim dan at-Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap
tingkatan. Bila suatu hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh tiga orang rawi
kemudian pada tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh lebih dari tiga rawi
maka hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi dan karenanya dimasukkan ke dalam kelompok hadits masyhur.
2) Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa adalah mulia atau yang kuat dan juga dapat berarti yang
jarang. Sedangkan menurut istilah ahli hadits menyebutkan Hadits Aziz adalah hadits
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja
dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
“Tidak sesungguhnya beriman salah seorang dari kamu, sehingga adalah aku (Nabi)
lebih cinta kepadanya daripada ia (mencintai) bapaknya dan anaknya.”[9]
Penamaan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi sebagai hadits Aziz
(yang secara harfiah berarti hadits yang kuat atau mulia), boleh jadi didasarkan pada
anggapan pokok bahwa hadits yang diriwayatkan oleh dua orang adalah kuat,
dibanding dengan hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang rawi.
3)Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh, terpisah atau menyendiri dari yang lain.
Para ulama memberi pengertian hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh
satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.
Dari Umar bin Khattab, beliau berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
عن النبي صلى هللا عليه و سلم إنما األعمال بالنية و إنما لكل امرئ ما نوى: خبر عمر بن الخطاب: قال أبو بكر.
“Amal perbuatan itu hanya (dinilai) menurut niat dan setiap orang hanya
(memperoleh) apa yang diniatkannya.”(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain).[10]
Kendati hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak imam hadits tetapi pada
tingkatan sahabat hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab RA. Dan begitupula
pada tingkatan selanjutnya yaitu tabi’in hanya Alqomah. Maka hadits tersebut
dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadits
gharib.
a. Pengertian
Hadits
Kata "Hadith" atau al-Hadith menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru),
lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata Hadith juga berarti al-Khabar
(berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis.
Menurut jumhur ulama’, hadith adalah sesuatu yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, ataupun sifat. Begitu juga
sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan
ataupun perbuatan. Maka dalam pengertian ini Hadith mencakup marfu’, mauquf dan
maqtu’.
Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak".
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa
bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan,
dinamai sunnah, walaupun tidak baik.[3]
Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli Hadith) ialah segala yang
dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir,
pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi
SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Khabar
Khabar menurut bahasa berarti berita yang disampaikan dari seseorang kepada
seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata
Khabar sama artinya dengan Hadits,
Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas dari sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti
nukilan (yang dinukilkan). Misalnya do'a yang dinukilkan dari Nabi disebut: do'a
ma'tsur. Menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Mayoritas ahli
hadith mengatakan bahwa Athar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa
Athar untuk yang Hadith mauquf dan khabar untuk Hadith yang marfu’.[9]
Perbedaan antara ketiganya
1. Hadits dan sunnah: hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber
pada Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya,
baik sebelum di angkat menjadi rasul maupun sesudahnya.
2. Hadits dan khabar: sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu
yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits sebagai sesuatu yang
berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.
3. Hadits dan atsar: jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar
dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu
sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.[10]