Anda di halaman 1dari 6

Nama

: Rakhmat Nur Ilmi

NIM

: 14250007

Prodi

: IKS

Kelas

:A

Tugas Ringkasan
Ke-hujjah-an Hadis/Sunnah
Para ulama sepakat bahwa al-Quran menempati kedudukan tertinggi atas semua orang Muslim.
Sedangkan Hadis atau Sunnah menempati kedudukan kedua setelah al-Quran. Meskipun demikian, alQuran tidak pernah menyatakan bahwa sumber dasar hukum kedua adalah Hadis atau Sunnah. Hanya
saja, al-Quran selalau menyinggung tentang kepatuhan terhadap Rasulullah saw, bahkan ini merupakan
suatu kewajiban. Ia juga menegaskan kewajiban mengikuti segala perilaku beliau. Dengan demikian,
sumber hukum Islam kedua bukanlah istilah khusus tersebut, tetapi konsep yang menelurkan
kewenangannya secara langsung dari al-Quran. Allah swt juta telah menjelaskan kedudukan Nabi Saw
dalam artian hadis/sunnah beliau sebagai berikut:

Sebagai pens-syarah (penafsir) al-Quran.


Sebagi pembuat hukum
Sebagi teladan kaum muslimin
Wajib dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin
Dengan demikian seorang muslim tidak bisa hanya memakai al-Quran saja dan meninggalakan

Sunnah. Sebab, di samping hal itu tidak mungkin, juga tidak dibenarkan menurut ketentuan syariah. Oleh
karena itu, Imam SyafiI mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan
oleh Allah, maka berarti ia menerima Sunnnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Pun
sebaliknya, orang yang menerima Sunnah-sunnah Rasul, berarti ia menerima perintah-perintah Allah.
Kodifikasi Hadis
Penulisan hadis pada zaman Nabi memang sudah ada, namun hal itu dilakukan oleh sahabat
secara individu untuk kepentingan pribadi dan tidak dibukukan secara massal. Para Sahabat Nabi saw
menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh HadisHadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau
nasihat yang disampaikan beliau.

Namun sejarah penulisan hadis secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah
barulah terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis (memerintah 99 H/717 M- 124 H/
742 M). yang pada masa ini kodifikasi hadis dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Abdul Aziz
yaitu; hilangnya hadis dengan meninggalnya para ulama, bercampurnya hadis yang shahih dengan yang
palsu, semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam. kiranya akibat dari pergolakan politik yang ada saat
itu.
Dalam durasi waktu yang lama telah terjadi banyak pemalsuan hadis yang dilakukan oleh
berbagai golongan dengan beragam kepentingan dan tujuan. Kenyataan inilah yang kemudian membuat
ulama hadis dalam usaha membukukan hadis harus melakukan perjalanan menghubungi periwayat yang
tersebar di berbagai daerah yang jauh. Juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap
semua hadis yang akan mereka bukukan. Karena itulah proses pembukuan hadis secara menyeluruh
memakan waktu cukup panjang.
Kemudian usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besarbesaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Turmudzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan hadis-hadis Nabi saw
oleh para ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para ulama yang
datang kemudian.
Hadis Ditinjau Dari Segi Kualitas dan Kuantitas Periwayat
Apabila kita berbicara mengenai hadis berdasarkan kuantitas (banyaknya) periwayat. Memiliki
beberapa syarat maka hadis ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
1. Hadis Mutawatir
Kata mutawatir secara etimologi ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut
antara satu dengan yang lain.
Sedangkan secara terminologi hadis mutawatir adalah hadis yang merupakan tanggapan pancaindera,
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat untuk dusta
Dalam definisi lain, hadis mutawatir ialah suatu (hadis) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan (tabaqah).
Syarat-syarat hadis mutawatir;

a. Hadis yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap)
pancaindera. Tidak dapat dikategorikan dalam hadis mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifatsifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela.
b. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
-

Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan


jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.

Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan


ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji,
yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat
65).

Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.

c. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya.
Hadis mutawatir ini dibagi ke dalam dua macam yakni; mutawatir lafdzi, dan mutawatir
maknawi.
2. Hadis Ahad
Secara etimologi ahad mempunyai arti wahid, satu, artinya hadis yang diriwayatkan oleh seorang
diri. Akan tetapi secara terminologi, hadis ahad didefinisikan sebagai hadis yang tidak memenuhi syaratsyarat hadis mutawatir. Atau dapat dikatakan hadis ahad adalah hadis yang bukan mutawatir.
Hadis Ahad ini dibagi menjadi 3 bagian:
a. Hadis Masyhur
Masyhur artinya yang disiarkan, yang diterangkan, yang diunjukkan. Secara istilah
hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga sanad yang berlainan rawi-rawinya.
b. Hadis Aziz

Aziz artinya sedikit, gagah, kuat. Menurut istilah ilmu hadis, hadis aziz adalah suatu
hadis yang diriwayatkan oleh dua sanad yang berlainan rawi-rawinya.
c. Hadis Gharib
Secara etimologi gharib berarti al-munfarid (menyendiri), atau al-baid an aqarib
(jauh dari karib kerabat). Sedangkan menurut terminologi, hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi, tidak ada orang lain yang menceritakan selain dia.
Sebagian ulama menyebut hadis ini dengan al-fard.
Kemudian hadis ditinjau dari kualitas sanadnya, para ulama membagi hadis menjadi tiga bagian,
yaitu hadis shahih, hasan, dan dhaif.
1. Hadis Shahih
Shahih secara etimologi berarti benar, sah. Sedangkan secara terminologi ada beberapa
pendapat di kalangan para ahli hadis.
Menurut Ibnu Shalah, hadis shahih adalah hadis yang musnad, yang sanadnya
bersambung , diceritakan oleh orang-orang yang adil dan dlabith sampai akhir, tidak ada syadz
dan tidak berillat.
Menurut Imam Nawawi, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, rawirawinya adil dan dlabith, tidak syadz dan tidak berillat.
Al-Baghawi mendefinisikan hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh
keduanya (Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya.
Al-Khataby mendefinisikan hadis shahih secara lebih sederhana yakni hadis shahih
adalah hadis yang sanadnya bersambung dan penyampaiannya adil.
Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqat (adil dan dlabith) dari permulaan sampai
akhir, tidak syadz dan tidak berillat.
Syarat-syaratnya;
Berdasarkan beberapa definisi muhadisin tersebut, suatu hadis dikategorikan dalam hadis
shahih jika telah memenuhi syarat; sanadnya bersambung, rawinya adil, rawi kuat hafalan, tidak
syadz, dan tidak berillat.
a. Sanadnya Bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung (ittishal al-sanad) adalah sanad yang selamat dari
keguguran. Dengan kata lain, tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru
yang memberinya.
b. Rawi Bersifat Adil

Definisi adil kaitannya dengan periwayatan berbeda dengan adil dalam persaksian. Menurut
muhadisin, adil adalah istiqamatu al-din dan muru`ah . Istiqamatu al-din adalah
melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram yang
mengakibatkan pelakunya fasik. Sedangkan muru`ah adalah melaksanakan adab dan akhlak
yang terpuji dan meninggalkan perbuatan yang menyebabkan orang lain mencelanya.
c. Rawi Dlabith
Dlabith ada dua macam yakni dlabith al-shadri dan dlabith al-kitab. Dlabith al-shadri adalah
kuat ingatannya, ingatnya lebih banyak dari pada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak
dari kesalahannya. Jika seseorang memiliki ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai
menyampaikan kepada orang lain, dan igatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana
saja dikehendaki, disebut orang yang dlabith al-shadri. Sedangkan dlabith al-kitabah adalah
orang yang menyampaikan berdasarkan buku catatannya.
d. Tidak Syadz
Syadz secara bahasa artinya rusak. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, syadz/syudzudz
adalah suatu riwayat yang sama mengenai suatu permasalahan yang bertentangan dengan
riwayat yang lebih kuat dan sulit untuk dikompromikan antara dua riwayat tersebut.
e. Tidak Ber-illat
Illat artinya penyakit, cacat. Illat hadis adalah sutau penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai kesahihan suatu hadis. Misalnya meriwayatkan hadis secara muttasil terhadap
hadis-hadis mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya). Demikian juga,
dapat dianggap suatu Illat hadis, yaitu suat sisipan yang terdapat pada matan hadis.
2. Hadis Hasan
Secara etimologi hasan berarti baik, bagus. Sedangkan secara terminologi hadis hasan adalah
hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kurang dlabith, sanadnya bersambung, selamat dari syadz
dan illat yang tercela.
Dari definisi di atas, yang membedakan antara hadis shahih dan hasan adalah dari segi
kedlabithannya. Hadis shahih mensyaratkan taam al-dlabith (kuat/sempurna hafalan), sedangkan hadis
hasan, khafif al-dlabith (kurang kuat/lemah hafalan).
Sebagaimana hadis shahih, hadis hasan terbagi menjadi dua macam yaitu hasan li dzatihi
dan hasan li ghairihi.

3. Hadis Dhaif
Secara etimologi dhaif artinya lemah. Menurut Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) hadis dhaif
adalah
Hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis shahih dan hasan.
Dengan demikian hadis dhaif merupakan hadis yang salah satu syarat atau lebih dari persyaratanpersyaratan hadis shahih atau hadis hasan tidak terpenuhi.
Lima persyaratan untuk menentukan kriteria sebuah hadis yakni; kesinambungan sanad, keadilan
rawi, kedlabithan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syadz), dan terhindar dari cacat (illat), dapat
dijadikan standar untuk menilai sebuah hadis apakah termasuk shahih, hasan, atau dhaif.
Dari sisi kesinambungan sanad pada hadis dhaif, terbagi dalam lima macam hadis yakni; hadis
mursal, munqathi`, mudlal, mudallas, dan mu`allal.
a. Hadis Mursal
Hadis mursal adalah hadis yang terputus sanadnya pada tingkatan shahaby (sahabat),
sehingga dari tingkat tabi`iy langsung ditarik kepada nabi Muhammad saw tanpa
menyebutkan generasi sahabat.
b. Hadis Munqathi` adalah hadis yang terputus sanadnya seorang rawi atau beberapa rawi tetapi
tidak secara berturut-turut.
c. Hadis Mudlal
Hadis Mudlal adalah hadis yang terputus sanadnya dua perawi atau lebih secara berturutturut.
d. Hadis Mudallas
Hadis mudallas adalah hadis yang isnadnya tersembunyi, baik itu tersembunyi sanadnya atau
guru (syaikh)-nya.
e. Hadis Mu`allal
Hadis muaallal adalah hadis yang memiliki cacat (illat), sehingga bisa menyingkap atas
ketidaksahihannya meski secara lahir tidak nampak memiliki cacat. Cacat tersebut bisa jadi
pada sanad hadis atau matan hadis, atau bahkan keduanya.

Anda mungkin juga menyukai