Anda di halaman 1dari 10

A.

Latar Belakang
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan
sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini,
kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk
mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan
sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
Hal yang pertama yang dilakukan oleh para ulama adalah menanyakan dari siapa seseorang
mendapatkan hadis tersebut (sanad). Oleh karena itulah para ulama mulai mengadakan penelitian
hadis dengan meneliti sanad dengan cara meneliti para rawi-rawinya. Seperti perkataan Ibnu
Sirrîn ( w.110 H) yang dikutif oleh Musthafa al-Sibâ„i, bahwa Ibnu Sirrîn berkata;
“Pada mulanya para sahabat tidak pernah mempersoalkan sanad , akan tetapi
setelah fitnah melanda mereka , merekapun langsung menuntut nama-nama rawi-nya
kemudian mereka menelitinya. Hadis yang diriwayatkan oleh Ahl al-sunnah mereka
terima sedangkan yang diriwayatkan oleh Ahl al- bid„ah mereka tolak.1
Dan pada masa itu para ulama hadis belum menciptakan kaidah atau syarat-syarat penerimaan
sebuah hadis. Para ahli hadis pada saat itu hanya bisa menggunakan istilah hadis maqbul dan
hadis mardud belum menggunakan istilah shahîh dan dha„îf. Oleh karena itu para ulama masih
simpang siur dalam menentukan sebuah hadis dapat diterima atau ditolak. Belum selesai
permasalahan tentang kaidah penerimaan hadis, para ulama hadis sudah disibukkan lagi dengan
munculnya para inkar al-sunnah, yaitu sebuah golongan yang menolak hadis-hadis Nabi dan
hanya berpegang kepada al-Qur‟an.
Dalam penentuan suatu hadis itu dilihat dari kualitas dan kuantitas rawi, telaah ini dilakukan
ulama dalam upaya menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadis yang
dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua aspek inilah, upaya pembuktian shahih tidaknya suatu
hadis lebih dapat dipertimbangkan ketika orang membicarakan hadis yang tidak mutawatir, maka
saat itulah telaah hadis dilihat dari kuantitas rawi sangat diperlukan.
Pembagian hadis dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkan menjadi dua bagian
yang besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafziy,
mutawatir manawiy dan mutawatir amaliy. Ketiga bagian ini menjadi hukum dalam bidang
akidah dan syariah, hadis ahad pula terbagi menjadi tiga bagian yaitu masyhur, aziz dan gharib.
Dalam pembagian hadits tersebut, hadits mutawatir ini diriwayatkan oleh sejumlah orang
yang banyak, sedangkan hadits Ahad diriwayatkan oleh orang yang banyak, tapi tidak sampai
sejumlah hadits mutawatir. Jadi hadits ahad itu bukanlah hadits palsu atau hadits bohong, namun

1
Musthafa al-Siba‟i. “Hadis sebagai Sumber Hukum “, (Bandung : Diponegoro, [tth] ), hlm. 144.
hadits yang shahih pun bisa termasuk hadits ahad juga. Meski tidak sampai derajat mutawatir.
Hadits ahad tidak ditempatkan secara berlawanan dengan hadits shahih, melainkan ditempatkan
berlawanan dengan hadits mutawatir.2

B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui pengertian hadist ahad, pembagian hadist ahad dan kedudukan hadist ahad.

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui dan memahami mengenai hadist ahad hingga kedudukannya.

2
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa,1991), hlm. 136
A. Hadis Ahad3
Al-ahad jama’ dari kata ahad, menurut berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian
khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan dengan satu orang. Sedangkan yang
dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain
sebagai berikut:
َ‫َمالَ ْم تَ ْبلُ ُغ نَ ْقلَتُهُ فِى ْالك َْث َر ِة َم ْبلَ ُغ ْالخَ بَ ِر ْال ُمتَ َواتَرْ َس َوا ٌء َكانَ ْال ُم ْخبِ ُر َوا ِحدًا َأوْ اِ ْثنَي ِْن َأوْ ثَالَثًا َأوْ َأرْ بَ َعة َأوْ َخ ْم َسة أوْ إلَى غ ْي? ُر َذلِ??ك‬
‫أن ال َخبَ ِر َد َخ َّل بِهَا فِى خَ بَ ِر ْال ُمتَ َواتِ ِر‬
َّ ِ‫ِمن الأل ْعدَا ِد الَّتِى الَتَ ْش ُع ُر ب‬
“khobar yang jumlah perawinya tidak mencapai batas jumlah perawi hadis
mutawatir, baik perwi satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak
memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai pada jumlah
perawi hadis mutawatir.”
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Hadis selain hadis mutawatir. Atau hadis yang
sanad nya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandunganya
memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan yaqin.
Dari beberapa definisi diatas, jelaslah bahwa di samping jumlah perawi hadis ahad tidak
sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir,kandungan nya pun bersifat (relatif benar)
zhanni dan tidak bersifat qath’i. kecenderungan para ulama mendefinisikan hadis ahad seperti
terebut diatas, karena dilihat dari jumlah perawinya ini, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis
mutawatiri dan hadis ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadis ahad menurut
ulama yang membedakan hadis menjadi tiga, yaitum hadis mutawatir, masyhur dan ahad.
Menurut mereka (ulama yang tersebutterakhir itubahwa yang di sebut hadis ahad ialah :
“hadis yang diriwayatkan satu,dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi
persyaratan hadis masyhur, dan hadis mutawatir.
Muhammad Abu Zahra mendefinisikan sebagai berikut: “tiap-tiap khabar yang
diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih diterima dari Rasulullah SAW dan tidak
memenuhi persyaratan hadis masyhur. Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadi ahad
adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih jumlah orang tetapi jumlahnya
tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak
perawi utama sampai terakhir.
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan
maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadis
ahad bila syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah
menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya serta amaliahnya tidak menyalahi hadis
yang diriwayatkan. Oleh karena itu, hadis yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang
terkena jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya harus dicampur dengan
3
Munzier Suparta. Ilmu hadist.(jakarta:PT.RajaGrafindo Persada). Hlm 97
debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinya ini adalah Abu Hurairah, tidak meng
setelah sahabat dan amalkanya. Sedangkan imam malik menetapkan persyaratan bahwa
perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli madinah.
1. Pembagian Hadis Ahad4
Ulama ahli secara garis besarnya membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masyhur
dan ghair masyhur. Ghair masyhur terbagi menjadi dua, yaitu ‘aziz dan ghair.
a. Hadis masyhur
Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa al-dzuyu’: suatu yang sudah
tersebar dan populer. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara
lain:
Menurut ulama ushul:
‫ص َحابَ ِة َو َم ْن بَ ْع َدهُ ْم‬ َ ‫ّحا بَ ِة َع َد ُد الَيَ ْبلُ ُغ َح ّد التّ َواتُ ِر ثُ ّم‬
ّ ‫توات َربَ ْع َد ال‬ َ ‫ َما َر َواهُ ِمنَ الص‬.
“hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilanganya tidak sampai ukuran
bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir, kemudian baru mutawatir
setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”.
Ada juga yang mendefinisikan hadis masyhur secara ringkas yaitu:
‫ق َمحْ صُوْ َرةٌ بِا اَ ْكثَ ِر ِم ْن اِ ْثنَ ْي ِن َولَ ْم يَ ْيلُ ُغ َح َّد التَ َواتُ ٍر‬
ٌ ‫َما لَهَ طُ ُر‬
“hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak
sampai kepada hadis yang mutawatir.”5
Hadis ini di namakan masyur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat.
Ada ulama yang memasukan hadis masyur “segala hadis yang populer dalam
masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanat sama sekali, baik berstatus sahih atau
dha’if.” Ulama hanafi mengatakan bahwa hadis masyur yang menghasilkan
ketenangan hati, dekat pada keyakinan dan wajib di amalkan, akan tetapi bagi yang
menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadis masyur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dha’if. Yang di maksud
dengan hadis masyur sahih adalah hadis masyur yang telah memenuhi ketentuan-
ketentuan hadis sahih, baik kepada sanad maupun matannya, seperti hadis Ibnu
‘Umar:
“Idzajaa’a ahadukumul falyaghtasil”
Artinya “bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan sholat jum;at hendaknya ia
mandi.”(H.R. Bukhari)
Sedangkan yang di maksud dengan hadis masyur Hasan adalah hadis masyur
yang telah memberikan ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik sanad maupun
matannya, seperti sabda Rasulullah SAW.

4
Ibid. hlm 110
5
Al-suyuthi,Tadrib al Rawi,(bairut: Dar Al Fikr,t.t) hlm.173
“Laadhororo walaa dhirooro”
Artinya : “jangan melakukan perbuatan berbahaya(bagi diri dan orang lain)
Adapun yang dimaksud dengsn hadis masyur dha’if adalah hadis yang tidak
mempunyai syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada
matannya, seperti hadis:
“tholabul ‘ilmi fariidhotun ‘ala kulla muslimin wa muslimat(in)”
Artinya: “menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan” 6

a) Macam-macam hadis mashur


Istilah masyur yang ditetapkan pada suatu hadis, kadang-kadang untuk
menetapkan kriteria-kriteria hadis menurut ketentuan yang diatas, yakni
jumlah rawi yang meriwayatkanya akan tetapi ditetapkan pula untuk
memberikan sifat suatu hadis yang dianggap tertentu. Dari tujuan inilah
menyebabkan ada suatu hadis bila dilihat dari bilangan rawinya tidak dapat
dikatakan sebagai hadis masyur, tetapi dilihat dari kepopuleranya tergolong
hadis masyur.
Dari segi yang terakhir inilah, hadis masyur dapat di golongkan kepada:
1. Masyur dikalangan ahli hadis, seperti hadist yang menerangkan, bahwa
Rasulullah SAW. Membaca doa qunut sesudah ruku’ selama satu bulan
penuh, berdoa atas golongan ri’il dan zakwan.
Hadis ini di riwayatkan oleh imam bukhari dan imam muslim dari
riwayat sulaiman Al-Taini dari Abi Mijlas dari Anas. Hadis ini juga di
riwayatkan dari annas selain sulaiman serta dari sulaiman oleh
segolongan parawi lain.
2. Masyur dikalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama lain dan dikalangan
orang umum, seperti:
“Almuslimu man salimal muslimuna min lisaa nihii wayadihi”
Artinya: “ orang islam(yang sempurna) itu adalah orang-orang islam
lainnya selamat dari lidah dan tangannya.” (HR.Bukhari-Muslim)
3. Masyur dikalangan ahli fiqih, seperti:
“naha rasulullah shollalallahu ‘alaihi wa sallam ‘an bai’il gharari”
Artinya: “ rasullullah Saw. Melarang jual beli yang di dalamnya terdapat
tipu daya” (HR. Muslim)
4. Masyur dikalangan ahli ushul fiqh, seperti
Artinya: “apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia
berijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad
6
Hadist ini di dha’ifkan oleh imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan lainnya.
dan pahala kebenaran), dan apabila itu salah, maka dia memperoleh
suatu pahala (ijtihad)”. (HR. Muslim)
5. Masyur dikalangan ahli sufi, seperti:
Artinya: “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian
ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui aku merekapun
kenal padaKu”.
6. Mashur dikalangan ulama-ulama arab, Seperti ungkapan: ”kami atau
(orang-orang arab) yang paling fasih mengucapkan huruf dad ( ( ‫ ض‬,
sebab kami dari golongan orang Quraisy.7
7. Dan masih banyak lagi hadis-hadis yang kemasyurannya hanya dikalang
tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
b. Hadis Ghair Masyur
Hadis ghair masyur ini oleh ulama ahli hadis di golongkan menjadi ‘Aziz dan
Gharib.
a) Hadis Aziz
Aziz berasal dari azza-yaizzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa
nadar (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza-yaazzu berarti
qawiyah (kuat).
Sedangkan aziz menurut istilah, antara lain didefinisikan sebagai berikut:
“ Hadist yang perawinya tidak kurang dalam semua tabaqat sanad.”
Lebih lanjut definisi tersebut di jelaskan oleh Mahmud Al-Thahhan, bahwa
sekalipun dalam sebagian Thabaqot terdapat parawinya tiga orang atau lebih,
tidak ada masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang
jumlah parawinya hanya dua oraang. Definisi ini mirip dengan ibn Hajar. Ada
juga yang mengatakan bahwa hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh
dua atau tiga orang parawi.
Dari definisi tersebut kiranya dapat di simpulkan bahwa suatu hadis
dikatakan hadis aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada
setiap thabaqot yakni sejak dari thabaqat pertama sampai thabaqot terakhir, tapi
selagi salah satu thabaqat terdapat dua orang parawi, tetap dapat dikategorikan
sebagai hadis aziz. Dalam kaitanya dengan masalah ini Ibn Hibban mengatakan
bahwa hadis aziz yang hanya diriwayatkan dari dan kepada dua orang rawi pada
setiap thabaqat tidak mungkin terjadi. Secara teori memang ada kemungkinan
tetapi sulit dibuktikan.

7
Al Hafizh Syamsu Al-Din Muhammad bin ‘Abd, Al Rahman Al Syakhawi, Al-Maqashid-Al-hasanah fi Al-
Masyhurah, (mesir,1357 H), hlm 95.
Dari pemahaman seperti ini, bisa saja terjadi suatu hadis aziz yang pada
mulanya tergolong dalam hadis aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi,
tetapi berubah menjadi hadis masyur karena parawi pada thabaqat lainya
berjumlah banyak.
Di antara contoh hadis ‘azis adalah:
Artinya: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga akulebih
dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”. (HR.
Bukhari Muslim)
Hadist tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari Rasulullah, kemudian
di riwayatkan kepada Qatadah dan ‘Abd AL-‘Azis bin Suhaid. Selanjutnya
Qatadah meriwayatkan kepada dua oarang pula, yaitu Syu’ban dan Husain Al-
Mu’allim. Sedangkan dari Abd Al-‘Azis diriwayatkan oleh dua orang, yaitu Abd
Al-Waris dan Ismailbin ‘Ulaiyyah. Seterusnya dari Husain diriwayatkan oleh
Yahya bin Sa’id dari Syu’ban diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin
Ja’far,dan juga oleh Yahya bin Sa’id. Sedang dari Ismail diriwayatkan oleh
Zuhair bin Harb dan dari ‘Abd bin Al-Waris diriwayatkan oleh Musdad dari
Ja’far diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mutsana dan Ibn Basyar, sampai kapada
Bukhari dan Muslim.
Hadis ‘azis yang sahih, hasan dan dha’if tergantung kepada terpenuhi atau
tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis sahih, hasan dan
dha’if.

b) Hadist gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid(menyendiri) atau al-ba’id an
aqaribihi (jauh dari kerabat). Ulama ahli hadist mendefinisikan hadist gharib
sebagai berikut:
Artinya: “hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya,baik menyendiri itu imamnya maupun selainnya”
Ibnu Hajar mendefinisikan hadist gharib :
Artinya: “ hadist dalam sanadnya terdapat seseorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannyatanpa
ada orang lain yang meriwayatkannya.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa berkaitan dengan
personalianya, dan tidak ada orang yang meriwayatkannya selain perawi itu
sendiri, yakni bahwa sifat atau keadaan perawi-perawi berada dengan sifat dan
keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Di samping itu,
penyendirian seseorang perawi bisa terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi seperti dimaksud diatas, maka hadis
gharib digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
Dikategorikan sebagai gharib muthlak apabila penyendirian itu mengenai
personalinya, sekalipun penyendirian tersebut hanay terdapat dalam satu
thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal dari ashlu sanad,
yakni tabi’i, bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan
penyendirian perawi dalam hadis gharib disini ialah untuk menetapkan apakah
periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak
perlu diperbincangkan, sebab secara umum dan diakui oleh jumhur ulama ahli
hadis, bahwa sahabat-sahabat dianggap adil semua.
Contoh hadis gharib mutlak antara lain:
Artinya: “kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan
kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.”
Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibn. Umar hanya
Abdullah ibn Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah ibn Dinar adalah
seorang tabi’i yang dapat dipercaya. Sedangkan hadis gharib yang tergolong pada
gharib-nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan
tertentudari seorang rawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini, bisa terjadi
berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan (ketsiqqahan) perawi atau mengenai
tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh hadist gharib nisbi berkenaan dengan ketsiqqahan perawi antara lain:
“konon Rasululullah pada hari raya qurban dan hari raya fitrah membaca surat
Qaf dan surat al-Qamar”.(HR. Muslim)
Hadist ini diriwayatkan melalui dua jalur, yakni jalur muslim dan jalur al-
daruqutni. Melalui jalur muslim terdapat rentetan sanad,: Muslim,Malik, Dumrah
bin Said, ‘Ubaidillah dan Abu Laqid, Al-Laisi yang menerima langsung dai
rasulullah. Sementara itu melalui jalur Al-Daruqutni, terdapat rentetan sanad: Al-
daruqutni, Ibn Lahi’ah, Khalid bin Yazid, ‘Urwah, ‘Aisyah yang langsung
menerima dari nabi.
Hadist gharib dinamakan pula dengan hadist fard, baik menurut bahasa
maupun istilah. Namun dari segi penggunaannya , kedua jenis hadist tersebut
dapat dibedakan. Pada umumnya istilah fard diterapkan untuk fard mutlak (gharib
mutlak), sedang gharib diterapkan untuk fard nisbi (gharib nisbi). Dari segi kata
kerjanya, para muhaddisin tidak membedakan, seperti penggunaan kata-kata
“tafarrada bihi fulanun” sama dengan “ ‘aghraba bihi fulanun”. Hadist gharib ini
ada yang shahih, hasan, dan dha’if tergantung pada kesesuaianya dengan kriteria
sahih, hasan atau dha’ifnya. Dilihat dari bentuk penyendirian perawi tersebut,
perawi tersebut, maka hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gharib
mutlak dan gharib Nisbi.
1) Gharib mutlak
Dikategorikan sebagai gharib mutlak bila penyendiriannya itu mengenai
personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu
thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di tempat
asli sanad, yakni Tabiin, bukan sahabat, karena yang menjadi tujuan
memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadis ini untuk menetapkan
apakah ia dapat diterima atau tidak.Contohnya:
‫َأ ْخبَ َرنَا َعلِ ُّى بْنُ َأحْ َم َد َأ ْخبَ َرنَا َعلِ ُّى بْنُ َأحْ َم َد ْب ِن َع ْبدَانَ َأ ْنبََأنَا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ َأحْ َم َد اللَّ ْخ ِم ُّى َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ َع ْب ِد‬
‫?ر‬ ٍ ?َ‫ض ْم َرةُ ع َْن ُس ْفيَانَ ع َْن َع ْب? ِد هَّللا ِ ب ِْن ِدين‬
َ ?‫?ار َع ِن ا ْب ِن ُع َم‬ َ ‫َّاس َح َّدثَنَا‬ِ ‫ْالبَاقِى اَأل َذنِ ُّى َح َّدثَنَا َأبُو ُع َمي ِْر بْنُ النَّح‬
ُ‫ع َوالَ يُوهَب‬ ِ ‫ ْال َوالَ ُء لُحْ َمةٌ َكلُحْ َم ِة النَّ َس‬: ‫ َع ِن النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – قَا َل‬.
ُ ‫ب الَ يُبَا‬
Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya
Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin
Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya. 8
2) Gharib Nisbi
Sedang yang dikategorikan gharib nisbi adalah apabila keghariban terjadi
pada pertengahan sanadnya bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu
hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal
sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu
orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya:
hadits malik, dari Zuhri, dari Anas R.A, “Bahwa nabi SAW masuk kota
mekah dengan menutup kepala diatas kepalanya”. Hadits ini dinamakan
dengan Gharib Nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada
perawi tertentu. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan
dengan kesiqahan rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh dari hadis ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal
tertentu:
َ ?‫ال ُأ ِمرْ نَا َأ ْن نَ ْق‬
‫?رَأ ِبفَاتِ َح? ِة‬ َ َ‫َح َّدثَنَا َأبُو ْال َولِي ِد الطَّيَالِ ِس ُّي َح َّدثَنَا هَ َّما ٌم ع َْن قَتَا َدةَ ع َْن َأبِي نَضْ َرةَ ع َْن َأبِي َس ِعي ٍد ق‬
‫ب َو َما تَيَ َّس َر‬ِ ‫ال ِكتَا‬.ْ
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid,
Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah
dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.

8
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm. 104
2. Kedudukan Hadits Ahad
Hadis Ahad yang maqbul (berkualitas shahih), bila berhubungan dengan masalah
hukum, maka menurut jumhur ulama, wajib diamalkan.
Namun masalah yang berkaitan dengan soal aqidah, ulama berselisih pendapat. Ada
yang mengatakan, bahwa hadis Ahad dapat digunakan sebagai dalil untuk menetapkan
masalah aqidah, karena hadis Ahad yang shahih memfaedahkan ilmu dan yang
memfaedahkan ilmu wajib diamalkan. Pendapat kedua, hadis Ahad, meskipun memenuhi
syarat tetap tidak dapat dijadikan dalil terhadap penetapan aqidah. Soal aqidah adalah soal
keyakinan. Maka, yang yakin tak dapat didasarkan dengan petunjuk yang masih dhanny.
Terdapat pendapat lain (moderat) menyatakan bahwa hadis Ahad yang telah
memenuhi syarat, dapat dijadikan dalil untuk masalah aqidah selama hadis tersebut tidak
bertentangan dengan Al- Quran dan hadis-hadis yang lebih kuat. Sebagian ulama
menetapkan bahwa, hadis ahad diamalkan dalam segala bidang. Hal semacam dituturkan
pula oleh Imam Ibnu Hazm, bahwa para ulama secara keseluruhan telah menjadikan hadis
Ahad sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah aqidah syariah maupun akhlak. 9
Namun pendapat demikian ternyata tidak semua kelompok dan ulama sependapat.
Sebagian ulama menetapkan, bahwa hadis Ahad itu wajib diamalkan dalam urusan
amaliah, ibadah dan hukum badan saja, tidak boleh dipakai dalam urusan aqidah.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa hadis Ahad yang shahih dapat dijadikan
hujjah untuk masalah aqidah, ulama pendukung pendapat itu menyatakan bahwa hadis
Ahad dapat saja menjadi qath’i al-wurud. 10
Demikian pendapat bebagai ulama tentang hadis Ahad, antara yang satu dengan yang
lain saling berbeda. Bagi kita bisa menggunakan hadis untuk hujjah dalam agama, asal
hadis tersebut memenuhi syarat-syarat shahih. Karena jika hadis-hadis Ahad tidak dapat
dipakai sebagai dalil dalam masalah-masalah aqidah akan membawa konsekuensi
menggeser sebagian besar ajaran Islam yang selama ini diimani oleh umat Islam.

9
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1995), h.134
10
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm17

Anda mungkin juga menyukai