Anda di halaman 1dari 13

HADITS DARI SISI KUANTITASNYA

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah: Ulumul Hadits

Dosen Pengampu: Akhmad Muhaini, S.H.I., M.S.I.

Oleh:

M. Zidni Fadhlurrahman

Priyanto

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AN NAWAWI

PURWOREJO

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi hadis sebagai sumber syari’at Islam yang kedua atau sumber setelah
Al-qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda
dengan proses Al-qur’an, maka diperlukan penanganan lebih lanjut. Al-qur’an
ditransmisikan kepada umat Islam dengan cara mutawatir, sedangkan hadis tidak
semuanya diterima secara mutawatir bahkan lebih banyak secara ahad. Selain itu, masa
pengkodifikasian hadis jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-
qur’an.

Hadis dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-qur’an sudah
dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi
dan sistematika Al-qur’an telah tersusun dengan baik. Kondisi ini sangat berbeda dengan
apa yang dialami hadis. Dengan kondisi yang demikian, maka diperlukan netralisasi dan
sterelisasi hadis dari hal-hal yang tidak diinginkan. Perkembangan selanjutnya para ulama
hadis melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadis dengan menilai para
perawi hadis dari berbagai tabaqat secara ketat. Dari sini munculah macam-macam hadis,
baik dilihat dari sisi jumlah sanad maupun kualitas sanad. Pada unit ini akan dibahas
macam-macam hadis dilihat dari sisi jumlah sanad, yang akan menghasilkan tentang
hadis mutawatir dan ahad serta macam-macamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadis mutawatir dan hadis ahad?
2. Apa saja pembagian hadis mutawatir dan hadis ahad?
PEMBAHASAN

A. HADIS MUTAWATIR
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Tidak ada kesepakatan ulama secara menyeluruh paling tidak ada sedikit
perbedaan mengenai konsep hadis mutawatir. Kesepakatan yang dimaksud adalah
mulai dari definisi, batasan jumlah periwayat, menentukan keberadaannya (ada atau
tidaknya), sampai dengan pengkategorian atau pengklasifikasiannya yang
mengakibatkan perbedaan dalam ber-hujjah dengannya.1 Namun tentang ke-hujjah-
annya, secara umum, hadis mutawatir disepakati oleh semua golongan umat Islam
untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum.2
Secara etimologis, kata mutawatir (mutawatir: ‫واتر‬777‫ )مت‬merupakan bentuk
isim fa’il dari bentuk mashdar, tawatur (‫)تواتر‬, berarti at-tatabi’u (‫)التتابع‬, yakni datang
berturut-turut dan beriring-iringan satu dengan lainnya.3 Definisi mutawatir pertama
kali dikemukakan oleh al-Baghdadi. Sebenarnya, ulama sebelumnya (semacam as-
Syafi’i) telah mengisyaratkan akan hal itu dengan istilah “khabar ‘ammah”. Al-
Baghdadi mendefinisikan hadis mutawatir sebagai “suatu hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil
mendustakan kesaksiannya”. Sementara Ibn Salah mendefinisikannya lebih lengkap
bahwa “mutawatir adalah suatu ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh
orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya dapat dipastikan dan
sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai
akhirnya”.4

2. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir

1
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits,
Cetakan I (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 173-174.
2
Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cetakan keenam (Jakarta: UI Press,
1986), hlm. 25.
3
Ahmad ‘Umar Hashim, Qawa’id Ushul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 143.
4
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits,
Cetakan I (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 170.
Dengan definisi di atas, dipahami bahwa suatu hadis bisa dikatakan mutawatir
apabila telah memenuhi 4 syarat, yakni:
1) Jumlah perawinya harus banyak,
2) Perawi yang banyak ini harus terdapat dalam semua tabaqat (generasi) sanad,
3) Secara rasional dan menurut kebiasaan (adat), para perawi-perawi tersebut
mustahil sepakat untuk berdusta,
4) Sandaran beritanya adalah panca indera,5
5) Sebagian ulama menambahkan syarat bahwa khabar itu bisa memberi manfaat
keilmuan (pengetahuan) secara yakin dan pasti.6
Ada perbedaan di antara para ulama tentang batasan jumlah periwayat. Menurut
salah seorang ahli ushul dari golongan Mu’tazilah, Abu al-Husayn Muhammad Ibn
‘Ali Ibn at-Tayyib (w. 426 H), berpendapat bahwa di antara persyaratan mutawatir
adalah hadis yang diriwayatkan lebih dari empat orang. 7 Ada yang berpendapat,
jumlah yang layak untuk menilai suatu hadis dapat dikatakan mutawatir, mencapai
70 orang. Ada juga yang 40 orang, 12 orang, atau bahkan ada yang cukup 4 saja.

3. Macam-Macam Hadis Mutawatir


Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua macam, yaitu mutawatir
lafzy dan mutawatir ma’nawi.
a) Mutawatir lafzy
Menurut Syahrir Nuhun hadis mutawatir lafzy harus di definisikan ulang
bahwasanya hadis mutawatir lafzy adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi yang menurut kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta dengan
penggunaan lafal yang memiliki kemiripan yang tinggi dan hampir sesuai dengan
lafal yang lainnya terhadap makna yang sama.8 Contoh:
"‫"من كذب علّي متعّم دا فليتبّو أ مقعده من النار‬

5
A. Qadir Hassan, Penerangan Ilmu Hadis, Juz 1-2, (Bangil: Al-Muslimun, 1966), hlm. 37.
6
Ahmad ‘Umar Hashim, Qawa’id Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 143.
7
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits,
Cetakan I (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 172.
8
Syahrir Nuhun, “Ikhtilaf Riwayah (Upaya Konstruksi Teori dalam Metodologi Penelitian Hadis)”,
Disertasi, (Makassar: PPs UIN Alauddin Makassar, 2013), hlm. 47.
“Barang siapa yang sengaja berbuat dusta atas namaku, niscaya ia menempati
tempat duduknya di api neraka”.
Keterangan:
1. Hadis ini diriwayatkan orang dari jalan seratus sahabat Nabi SAW.
2. Lafal yang orang ceritakan hampir semua sama dengan contoh tersebut,
diantaranya ada yang berbunyi begini:
"‫"من تقول عل ما مل أقل فليتبّو أ مقعده من النار‬
‫ّي‬
Dan ada lagi begini:
"‫"ال تكذبوا علّي فإّنه من كذب علّي فليلج النار‬

Maknanya semua sama, perbedaan lafal itu timbulnya di karenakan Nabi


mengucapkannya beberapa kali.
3. Dari ketiga contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan mutawatir lafzy
tidak mesti lafalnya semua betul-betul sama, kadang-kadang ada yang sedikit
berbeda.

b) Mutawatir Ma’nawy

Mutawatir ma’nawy ialah hadis yang mutawatir pada maknanya, artinya


berbagai riwayat yang berlainan, namun mengandung satu sifat atau satu
perbuatan. Istilah lainnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu arti
atau tujuan. Contoh: Sembahyang maghrib tiga rakaat.
Keterangan:
1. Satu riwayat menerangkan, bahwa sewaktu di negeri sendiri (hazar) Nabi
sembahyang tiga rakaat.
2. Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam bepergian (safar) Nabi sembahyang
maghrib tiga rakaat.
3. Satu riwayat menyatakan bahwa di Mekkah Nabi sembahyang maghrib tiga
rakaat.
4. Satu riwayat lain mengatakan Nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga
rakaat.
5. Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat,
diketahui oleh nabi.
Jadi semua cerita tersebut berlainan, namun maksudnya satu yaitu
menunjukkan bahwa sembahyang maghrib itu tiga rakaat.9
Contoh lainnya seperti hadis mengangkat tangan ketika berdoa:

"‫ وإنه يرفع حىت يرى بياض إبطيه‬،‫"ال يرفع يديه يف شيء من دعائه إال يف االستسقاء‬

“Nabi Muhammad Saw. Tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa
beliau, selain dalam shalat istisqa’. Dan beliau mengangkat tangannya hingga
tampak putih-putih kedua ketiaknya”.

B. HADIS AHAD
1. Pengertian Hadis Ahad
Secara bahasa, dari kata Ahad ‫ ))أحاد‬jama’ dari Ahadun ‫ ))أحد‬yang berarti satu.
Hadis ahad menurut Bahasa ialah yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Menurut
istilah, hadis ahad adalah: (‫ )هو مالم يجمع شروط المتواتر‬yaitu hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawatir.10 Jadi yang dimaksud hadis ahad adalah
hadis yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya atau persyaratannya
tidak sampai mencapai batasan hadis mutawatir. Mayoritas hadis dari Rasulullah
Saw. yang terdapat dalam kitab-kitab hadis adalah jenis hadis ahad.11
Oleh Ahmad ‘Umar Hashim, disebut sebagai khabar ahad, yakni khabar yang
dinukil oleh orang banyak, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir (tidak ditemui
syarat-syarat mutawatir), entah satu, dua, tiga, empat, atau lima orang periwayat. Ada
beberapa syarat periwayat yang menerima khabar ahad, yakni:12
1. Adil.
2. Kuat dalam hapalan (dabit).
3. Faqih (cerdas dan paham).

9
A. Qadir Hassan, Penerangan Ilmu Hadis, Juz 1-2, (Bangil: Al-Muslimun, 1966), hlm. 37-42.
10
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 44-46.
11
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah), hlm. 36.
12
Ahmad ‘Umar Hashim, Qawa’id Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 153.
4. Melaksanakan amal yang sesuai dengan khabar tersebut.
5. Mendatangkan hadis sesuai dengan huruf-nya.
6. Memahami makna hadis dari lafaz-nya.

Ditambah pula beberapa syarat khusus, yakni:13

1. Sanad bersambung sampai Nabi Saw.


2. Tidak ada keraguan (shadh) dan cacat/kekurangan (‘illah).
3. Tidak bertentangan dengan sunnah masyhur, baik qauliyah ataupun fi’liyah.
4. Tidak bertentangan dengan sahabat, tabi’in dan kitab-kitab umum.
5. Tidak ada pertentangan (pencelaan) oleh sebagian ulama salaf.
6. Hadis tersebut tidak mengandung penambahan matan dan sanad yang
periwayatannya menyendiri dari segi kepercayaannya. Syarat yang terakhir ini
adalah bentuk kehati-hatian para ulama dalam menerima khabar.

2. Macam-Macam Hadis Ahad


Para ulama ahli hadis, membagi hadis ahad menjadi tiga; hadis masyhur atau
mustafid, ‘aziz, dan gharib. Gambaran sekilas bagi perbedaan pembagian tersebut,
diungkapkan oleh Subhi as-Salih (1984). Bahwa al-gharib (dalam konteks disamakan
dengan al-fard al-nisby) adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat saja
pada suatu tingkatan sanad. Apabila periwayat itu berjumlah dua atau tiga orang,
dinamakan ‘aziz. Dan apabila jumlah periwayat lebih banyak lagi, dinamakan
mashhur. Kemudian bila jumlah periwayat yang banyak itu seimbang dari awal
sampai akhir sanad, maka mashhur itu dinamakan mustafid.14
a) Hadis Masyhur
Secara bahasa, lafal masyhur berasal dari isim maf’ul, dari Shahara (‫)شهر‬
sebagaimana kalimat (ucapan) ‫( شهرت األمر‬aku memasyhurkan/mempopulerkan
sesuatu) yang berarti mengumumkan sesuatu atau dalam pengertian lain
diartikan terkenal, tenar, familiar atau populer. Secara istilah ahli hadis
adalah:

13
Ibid., 157.
14
Shubhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, Cetakan Kelimabelas (Beirut & Lebanon: Dar al-‘Ilm
li al-Malayin, 1984), hlm. 229-230.
‫ما رواه ثالثة فأكثر يف كل طبقة من طبقات السند ما مل يبلغ حد التواتر‬

“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan
(taqabaqat) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria

mutawatir”.15Contoh: (‫اض احلالل إىل اهلل الطالق‬GG G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G G ‫)أبغ‬


Artinya: Halal yang dimurka Allah adalah talaq.
b) Hadis Aziz
(‫)أن ال يقّل رواته عن اثنني يف مجيع طبقات السند‬

“Hadis yang semua tabaqat sanadnya terdiri dari dua orang perawi”.16
Definisi diatas menunjukkan bahwa pada tiap tingkatan sanad hadis ‘aziz
tidak kurang dari dua orang periwayat. Karena itu, jika pada salah satu tingkatan
sanadnya terdapat tiga orang periwayat atau lebih, maka tetap dinamakan hadis
‘aziz. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, hadis ‘aziz adalah: Hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang periwayat sehingga tidak diriwayatkan oleh kurang
dari dua orang periwayat dari dua orang periwayat.17
Ibn Hibban beranggapan bahwa periwayatan oleh dua orang dari dua
orang dari awal hingga akhir sanad sama sekali tidak dapat kita jumpai. 18 Para
ulama belum ada yang menulis kitab yang secara spesifik membahas atau
menghimpun hadis-hadis ‘aziz hal ini lebih disebabkan karena sangat sedikitnya
jumlah hadis yang masuk dalam kategori ini, kalau hadis ‘aziz diartikan dua
perawi di seluruh tabaqat.19
Berikut ini adalah contoh hadis ‘aziz:20
1. Hadis ‘aziz pada tabaqat pertama:
"‫"حنن األخرون السابقون يوم القيامة‬

Artinya: “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia, dan terdahulu pada hari
kiamat”.
15
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah), hlm. 22.
16
Ibid.
17
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 147.
18
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis: al-Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadis, terj. Drs. Mujiyo, (Cet. II, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2012), hlm. 444.
19
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah), hlm. 24.
20
Badri Khaeruman, Ulum al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 103-104.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat, yakni Hudzaifah bin al-
Yaman dan Abu Hurairah (tabaqat pertama). Hadis tersebut pada tabaqat kedua
sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadis tersebut
diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus,
al-‘Araj, Abu Shalih, Humam, dan Abdurrahman.
2. Hadis ‘aziz pada tabaqat kedua:
"‫اس‬GG G ‫ده والن‬GG G ‫ده وول‬GG G ‫ه من وال‬GG G ‫ون أحّب إلي‬GG G ‫دكم حىّت أك‬GG G ‫ؤمن أح‬GG G ‫ال ي‬

‫"أمجعني‬
Artinya: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih
dicintainya daripada orang tua, anaknya, dan manusia semuanya”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat, yaitu Anas dan Abu
Hurairah (tabaqat pertama), dari Anas diriwayatkan oleh dua orang, yaitu
Qatadah dan Abd al- ‘Aziz bin Suhaib (tabaqat kedua), dari Suhaib diriwayatkan
dua orang, yaitu Isma’il bin Ulaiyah dan Abd al-Warith bin Sa’id (tabaqat
ketiga), dan dari masing-masing diriwayatkan oleh jama’ah.
c) Hadis Gharib
Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan dengan satu jalur perawi
atau sanad; baik di semua tingkatan sanad (tabaqah) atau di sebagian tingkatan
sanad saja. Selain istilah gharib, para ulama juga mengenal hadis gharib dengan
nama hadis fard. Secara etimologi dan terminologi keduanya sama, tetapi ahli
istilah membedakan keduanya dalam pemakaiannya. Kata “fard” lebih banyak
dipakai untuk fard mutlak, sedangkan kata “gharib” untuk fard nisbi.21 Dari
ulasan ini dapat dipahami bahwa hadis gharib ada dua macam, yaitu:
1. Gharib Mutlak atau Fard Mutlak
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau satu jalur sanad saja,
walaupun hanya di salah satu tingkatan sanadnya. Hadis gharíb inilah yang
diistilahkan oleh Imam al-Turmudzi dengan ungkapan:

21
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nadlr, tahqiq Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Mathba’ah al-Shabáh, 1414
H), hlm. 57.
( ‫غريب ال نعرفه إال من هذا‬

‫)الوجه‬

“(hadis) gharib yang kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.”
diantara contohnya sebagai berikut:
"‫ اإلميان بضع وستون شعبة‬..."

“Iman memiliki enam puluh lebih cabang...”


Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Abu Shaleh dari Abu Hurairah.
Selanjutnya, yang meriwayatkan dari Abu Shaleh hanya Abdullah bin Dinar,
dan berikutnya diriwayatkan dengan jalur sanad yang lebih dari satu.
2. Gharib Nisbi atau Fard Nisbi
Hadis yang ke-ghariban-nya karena aspek-aspek tertentu.22 Artinya, hadis
tersebut pada dasarnya memiliki banyak jalur sanad atau diriwayatkan oleh
banyak perawi, tetapi dari aspek tertentu hadis tersebut dinilai gharib yang
sifatnya nisbi (anggapan, bukan sesungguhnya). Hadis gharíb nisbí ini
diistilahkan oleh Imam al-Turmudzi dengan ungkapan:
‫غريب من هذا الوجه‬

“(hadis) gharib dari jalur ini.”


diantara contoh dari hadis gharib nisbi sebagai berikut:
"‫"كان النيب صلى اهلل عليه وسلم يقرأ ىف األضحى والفطر بقاف واقرتبت الساعة‬

“Nabi Muhammad saw. membaca surat qáf dan iqtarabat al-sá’ah di shalat
idul adhha dan idul fitri.”
Tidak seorang pun dari para perawi tsiqah yang meriwayatkan hadis ini
selain Dhamrah bin Sa’id dari Ubaidillah, dari Abu Wáqid al-Laytsí perawi
yang meriwayatkan dari Rasulullah saw.23 Hadis ini juga diriwayatkan oleh
perawi lain tetapi tidak tsiqah, yaitu Ibnu Luhai’ah. Mayoritas ulama menilai
dia sebagai perawi yang dha’if. Dia meriwayatkan hadis tersebut dari Khalid
bin Yazid, dari Zuhri, dari ‘Urwah, dari Rasulullah saw. Hadis tersebut

22
Muhammad bin ‘Alawí al-Hasaní, al-Manhal al-Lathíf, hlm. 84.
23
Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawá’id ‘Ushúl al-Hadíts, hlm. 177.
diriwayatkan oleh Imam al-Dáraquthni.24 Dilihat dari jumlah jalur sanadnya
hadis ini pada dasarnya tidak gharib. Tetapi dilihat dari aspek tertentu, yaitu
tidak adanya perawi tsiqah yang meriwayatkan kecuali Dhamrah, maka hadis
ini dianggap hadis Gharib nisbi.

24
Ali bin Umar al-Dárruquthní, Sunan al-Dárruquthní, juz 2, tahqiq Abdullah Hasyim al-Yamani (Bairut:
Dár al-Ma’rifah, 1966), hlm. 46.
PENUTUP

SIMPULAN
Ulama menyatakan bahwa hadis dilihat dari kuantitas sanad secara garis besar dibagi dua
yaitu, hadis mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang memiliki jalus sanad yang
sangat banyak, sedangkan hadis ahad adalah hadis yang memiliki jalur sanad yang lebih sedikit.
Apabila memiliki tiga jalur sanad tiga atau lebih selama tidak sampai pada batas mutawatir maka
hadis ahad tersebut dikenal dengan hadis masyhur, kalau memiliki dua jalur sanad diistilahkan
dengan hadis aziz dan kalau hanya memiliki satu jalur sanad saja maka dikenal dengan hadis
gharib.
DAFTAR PUSTAKA

al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1414 H. Nuzhah al-Nadlr, tahqiq Nuruddin ‘Itr, Damaskus: Mathba’ah
al-Shabáh

al-Dárruquthní, Ali bin Umar. 1966. Sunan al-Dárruquthní, juz 2, tahqiq Abdullah Hasyim al-
Yamani, Bairut:Dár al-Ma’rifah

al-Hasaní, Muhammad bin ‘Alawí. al-Manhal al-Lathíf

al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah

Amin, Kamaruddin. 2009. Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah

as-Salih, Shubhi. 1984. ‘Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, Cetakan Kelimabelas, Beirut &
Lebanon: Dar al-‘Ilm li al-Malayin

Hassan, A. Qodir. 1966. Penerangan Ilmu Hadis, Juz 1-2, Bangil: Al-Muslimun

Idri. 2010. Studi Hadis, Jakarta: Kencana

‘Itr, Nuruddin. 2012. Ulumul Hadis: al-Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadis, terj. Drs. Mujiyo,
Cet.II, Bandung: Remaja Rosda Karya

Khaeruman, Badri. 2010. Ulum al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia

M. Abdurrahman. 2000. Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan


Status Hadits, Cetakan I, Jakarta: Paramadina

Nasution, Harun. 1986. Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cetakan keenam,
Jakarta: UI Press

Nuhun, Syahrir. 2013. “Ikhtilaf Riwayah (Upaya Konstruksi Teori dalam Metodologi Penelitian
Hadis)”, Disertasi, Makassar: PPs UIN Alauddin Makassar

‘Umar Hashim, Ahmad. Qawa’id Ushul al-Hadith, Beirut: Dar al-Fikr

Anda mungkin juga menyukai