PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadis dari segi kuantitas periwayatnya ?
2. Bagaimana hadis dari segi kualitas sanad dan matannya ?
3. Bagaiman hadis Maudhu’?
4. Bagaimana Sunnah antara Tasyri’ dan Ghairu Tasyri’ ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pembagian hadis dari segi kuantitas periwayatnya.
2. Untuk mengetahui hadis dari segi kualitas sanad dan matannya.
3. Untuk mengetahui hadis maudhu’.
4. Untuk mengetahui Sunnah antara Tasyri’ dan Ghairu Tasyri’.
1
BAB II
PEMBAHAAN
2
Menurut M.Hasbi Ash Shaddieqy dalam bukunya Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis, definisi Hadis Mutawatir adalah:
Mutawatir ialah hadis shahih yang sejumlah besar orang menurut akal
dan adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sejak awal sanad,
tengah dan akhirnya.
Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
pada setiap tingkat sanadnya, yang menurut tradisi mustahil mereka bersepakat
untuk berdusta dan karena itu diyakini kebenarannya.
Beberapa rumusan di atas sekalipun dengan kalimat dan redaksi yang
berbeda-beda namun maksudnya sama. Pada pokoknya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi, sejak generasi sahabat hingga
generasi akhir (penulis kitab), yang mana orang banyak tersebut layaknya
mustahil sepakat untuk bohong.
Dengan demikian tidak dapat dikategorikan dalam hadis Mutawatir segala
berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pan-caindera, juga segala
berita yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi mungkin mereka bersepakat
mengadakan berita-berita itu secara dusta.
Hadis Mutawatir betul-betul bersumber dari Nabi s.a.w. Hadis Mutawatir
sama dengan Al-Quran dalam hal keutentikannya karena keduanya qat’iul wurud
3
(sesuatu yang pasti datangnya). Dan para ulama sepakat bahwa hadis Mutawatir
wajib diamalkan dalam seluruh aspek, termasuk dalam bidang akidah.
Apabila perawi itu berjumlah banyak dan secara mudah dapat diketahui
bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka
penyampaian itu secara mutawatir (jurnal Suhuf, 2008:55-56)
4
c) Sebagian ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang. Dengan alasan
mengqiyaskan bilangan 20 orang yang disebut dalam Al-Quran surat Al-
Anfal ayat : 65
5
d. Pembagian hadis Mutawatir
1) Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis Mutawatir Lafzhi adalah hadis Mutawatir yang lafalnya
bersamaan atau redaksinya sama (Abdurrahman, 1999:173).
Hadis Mutawatir Lafzhi adalah hadis yang Mutawatir riwayatnya
dengan satu redaksi, seperti hadis “Man kadzaba ‘alayya...” (Nuruddin,
2012:431)
Hadis Mutawatir Lafdhy adalah sedikt sekli jumlahnya dan terjadi pula
perselisihan pendapat tentang kemutawatirannya. Diantara hadis yang didakwa
mutawatir lafalnya oleh para muhadditsien, ialah sabda Nabi Saw:
6
hadis Mutawatir Ma’nawi secara redaksional sama tetapi maknanya sama. Ini
adalah suatu hal yang telah disepakati, tidak ada problem dan tidak ada
perbedaan (Nuruddin, 2012:431).
Hadis Mutawatir Ma’nawi ialah hadis yang lafazh dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi terdapat
persesuaian makna secara umum. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
kaidah ilmu hadis:
2. Hadis Ahad
a. Pengertian
Hadis Ahad atau hadis Asy Syafi’y menurut istilah Asy Syafi’y dan
ulama-ulama yang semasa beliau, ialah:
Segala khabar yang diriwayatkan oleh orang seorang, atau dua oarang
atau lebih, tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang
menjadikannya masyur.
Membangsakan hadis ini kepadarasul Saw adalah berdasar kepada
ersangkaan yang kuat, bukan bedasar keyakinan. Oleh karena itu, jumhur ulama
islam menerima hadis-hadis aad dariorang yang kepercayaan dan adil serta
berhujjah dengan dia dalam urusan-urusan amal tidak dalam urusan i’tiqad (M.
Hasbi Ash Shaddieqy, 205-206)
7
Terdapat banyak pengertian tentang hadis Ahad, yang antara satu dengan
yang lain tidak jauh berbeda. Di antaranya :
8
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum
mencapai derajat Mutawatir.
Hadis Masyhur tersebut juga disebut hadis Mustafidh, walaupun
terdapat perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh jumlah rawinya tiga
orang atau lebih, sejak tingkatan pertama, kedua sampai terakhir. Sedang hadis
Masyhur jumlah rawinya untuk tiap tingkatan tidak harus tiga orang. Jadi
hadis yang pada tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, maka
hadis itu adalah termasuk juga hadis Masyhur,
Contoh :
Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi
tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu,
orang-orang pada meriwayatkannya (diriwayatkan orang banyak)
9
Berdasar pengertian tersebut bahwa hadis Azis bukan yang hanya
diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, tetapi selagi pada
salah satu thabaqah saja, didapati dua orang rawi sudah bisa dikatakan hadis
Azis.
Ibnu Hibban Al-Busty berpendapat bahwa hadis Azis yang hanya
diriwayatkan oleh dan kepada dua orang perawi, sejak dari lapisan pertama
sampai pada lapisan terakhir tidak sekalikali terjadi. Kemungkinan terjadi
memang ada, hanya saja sulit untuk dibuktikan. Oleh karena itu bisa terjadi
suatu hadis yang pada mulanya tergolong sebagai hadis Azis, karena hanya
diriwayatkan oleh dua rawi, tapi berubah menjadi hadis Masyhur, karena
perawi pada thabaqat – thabaqat seterusnya berjumlah banyak.
Contoh hadis Azis:
10
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi tersebut, perawi tersebut,
maka hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan
gharib Nisbi.
Dikategorikan sebagai gharib mutlak bila penyendiriannya itu
mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat
dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di
tempat asli sanad, yakni Tabii, bukan sahabat, karena yang menjadi tujuan
memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadis ini untuk menetapkan
apakah ia dapat diterima atau tidak.
Contoh hadis gharib mutlak, yang hampir tiap thabaqahnya, rawinya
sendirian
Iman itu berbilang 70 cabang. Dan rasa malu, merupakan salah satu
cabang iman.
Sedang yang dikategorikan gharib nisbi adalah apabila
penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi.
Penyendirian seorang rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan
dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh yang berkenaan dengan sifat keadilan dan kedhabitan rawi:
11
syarat-syarat qabul, dan Hadis Mardud dinamai juga dengan Hadis Dha’if (Shubhi al-
Shalih,1973:141).
1. Hadis Shahih
a. Pengertian dan Kriteria
Shahih secara etimologi dalah lawan dan saqim (sakit). Sedangkan dalam
istilah Ilmu hadis, Hadis Shahih berarti
12
2) Perawinya adalah adil. Setiap perawi Hadis tersebut hams bersifat adil, yaitu
memenuhi kritenia: Muslim, balig, berakal, taat beragama, tidak melakukan
perbuatan fasilc, dan tidak rusak muru ‘ah-nya.
3) Perawinya adalah dhabith, artinya perawi Hadis tersebut memiliki ketelitian
dalam menerima Hadis, memahami apa yang ia dengar, serta mampu
mengingat dan menghafa.lnya sejak Ia menerima Hadis tersebut sampai pada
masa ketika ia meriwayatkannya. Atau, ia mainpu memelihara Hadis yang ada
di dalam catatannya dan kekeliruan, atau dan terjadinya pertukaran,
pengurangan, dan sebagainya, yang dapat mengubah Hadis tersebut. Ke-
dhabith-an seorang perawi, dengan demikian, dapat dibagi dua, yaitu dhabith
shadran (kekuatan ingatan atau hafalannya) dan dhabith kitaban (kerapian dan
ketelitian tulisan atau catatannya).
4) Baliwa Haclis yang diriwayatkan tersebut tidak syadz. Artinya, Hadis tersebut
tidak menyalahi niwayat perawi yang lebih tsiqat dan padanya.
5) Bahwa Hadis yang diniwayatkan tersebut selamat dan ‘WaS yang merusak.
Yang dimaksud dengan ‘illat da.lam suatu Hadis, adalah sesuatu yang sifatnya
samar-samar atau tersembunyi yang dapat melemahkan Hadis tersebut.
Sepintas tenlihat hadis tersebut Shahih, namun apabila diteliti lebih lanjut akan
tenlihat cacat yang merusak hadis tersebut. Umpamanya, Hadis Mw-sal dan
Murtqathi’ (yang terputus sanad-nya) dinyatakannya sebagai Hadis Maushul
(bersambung sanad-nya), atau Hadis Mauquf dinyatakannya sebagai Hadis
Marfz4 dan yang sebagainya.
Kelima persyaratan di atas merupakan tolak ukur untuk menentukan suatu
Hadis itu sebagai Haclis Shahift Apabila kelima syarat tersebut dapat dipenuhi
secara sempurna, maka Hadis tersebut dinamai dengan Hadis Shahih Lidzatihi.
Contoh Hadis Shahih.
13
ibn Muth’im dan ayahnya, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah SAW
membaca surat al-Thur pada waktu shalat Magnib’
Hadis di atas dapat dinyataican sebagai Hadis Shahih karena telah
memenuhj syarat-syarat ke-shahih-an suatu Hadis, sebagaimana yang terlihat pada
keterangan berikut:
1) Sanad Hadis tersebut bersambung. Dalam hal mi masing-masing perawinya
mendengar langsung dan gurunya. Bukhari mendengar dan Abd Allah ibn
Yusuf, Abd Allah mendengar dan Malik, Malik dan Ibn Syihab, lbn Syihab
dan Muhammad ibn Jubair, Muhammad ibn Jubair dan ayahnya (Jubair ibn
Muth’im), dan Jubair dan Rasululith SAW.
2) Para perawi Hadis tersebut adalah adil dan dhabitlt Hal tersebut telah diteliti
oleh para Ulama Jarh dan Ulama Ta’dil dengan perincia.n keteranganhya
sebagai berikut :
a) ‘Abd Allah ibn Yusuf adalah seorang yang tsiqat dan mutqan.
b) Malik ibn Anas adalah Imam Hafizh.
c) Ibn Syihab adalah seorang faqih, hafizh, muttafaq ‘ala jalalatih, dan
itqanihi.
d) Muhmad ibn Jubair adalah tsiqat.
e) Jubair ibn Muth’im adalah Sahabat, dan pana ahli Hadis telah sepakat
menyatakan keadilan para Sahabat.
3) Hadis tersebut tidak syadz, karena tidak dijumpai Hadis lain yang lebih kuat
yang berlawanan dengannya.
4) Tidak terdapat padanya ‘illat.
b. Tingkatan Hadis Shahih
Di dalam istilah para Ulama Hadis, berkaitan dengan kualitas para perawi
atau sanad suatu Hadis, dikenalapa yang clisebut dengan Ashahh al- Asanid, yaitu
jalur sanad yang dianggap pana perawinya paling Shahih berdasarkan
kesempurnaan pemenuhan syarat-syarat ke-shahih-an suatu Hadis. Akan tetapi,
para Ulama Hadis mempunyai pernilaian masing- masing terhadap Sanad yang
mereka anggap sebagai AsIzahh al-Asanid.
Oleh karenanya, terdapat lima jalur yang dianggap sebagai ashahh al-
Asanid, yaitu:
1) Ashahh al-Asanid menurut versi Ishaq ibn Rahawaih dan Ahmad adalah: Al-
Zuhrj dan Salim dan ayahnya (‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn al-Khatththab).
14
2) Ashahh al-Asanjd menurut versi Ibn al-Madini dan AlFallas adalah: Ibn Sirin
dari ‘Ubaidah dari Ali ibn Abi Thalib.
3) Ashahi al-Asanid menurut versi ibn Main adalah: Al’masy dari lbrahim dan
‘Alqamah dan ‘Abd Allah ibn Mas’ud.
4) Ashahh al-Asanid menurut versi Abu Bakar ibn Abi Syaibah adalah: Al-Zubri
dan Mi ibn ai-Husain dan ayahnya dan Mi ibn Abi Thalib.
5) Ashahh al-Asanid menurut versi Bukhari adalah Malik dari Nafi’ dari .ibn
‘Umar.
c. Macam-macam Hadis Shahih
Para Ulama terbagi Hadis Shahih kepada dua, yaitu Shahih Lidzatihi, dan
Shahih Lighairihi.
1) Shahih lidzatihi Hadis Shahih Lidzatihi adalab Hadis yang dininya sendini
telah memenuhi kniteria ke-shahih-an sebagaimana yang disebutkan di atas,
dan tidak memerlukan penguat dan yang lainnya. Pengertian dan contoh Hadis
Shahih Lidzatihi adalah sebagaimana yang telah diuráikan terdahulu tentang
Hadis Shahih.
2) Hadis Shahih Lighairihi Hadis Shahih Lighairihi adalah:
15
Setiap Hadis yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanad- nya perawi
yang pendusta dan Hadis tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula
melalui jalan yang lain.
Berdasarkan definisi-definisi yang di kernukakan di atas, para Ulama
Hadis merumuskan bahwa kriteria Hadis Hasan adalah sarna dengan Hadis Shahih
kecuali bahwa da Hadis Hasan terdapat perawi yang tingkat ke- dhabith hannya
kurang, atau lebih rendah, dan yang dimiiki oleh parawi Hadis Shahih. Oleh
karenanya, Ibn Hajar menegaskan bahwa Hadis Hasan adalah Hadis Shahih yang
perawinya memiliki sifat dhabith lebih rendah dan yang diiniliki oleh perawi
Hadis Shahih.
b. Macam-macam Hadis Hasan
1) Hadis Hasan Lidzatihi
Yang dimaksud dengan Hadis Hasan Lidzatihi adalah Hadis yang
dirinya sendiri telah memenuhi kriteria Hasan sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, dan tidak memerlukan bantuan yang lain untuk
mengangkatnya ke derajat Hasan sebagaimana halnya pada Hasan Lighairihi.
Contoh dan Hadis Hasan Lidzatihi adalah sebagaimana yang telah disebutkan
di atas.
2) Hadis Hasan Lighairihi
Yaitu Hadis Dha’if apabila jalan (datang) -nya berbilang (lebih dan
satu), dan sebab ke-dha’if-annya bukan karena perawinya fa.sik atau
pendusta.
c. Hukum dan Statusnya Kehajjahannya
Hadis Hasan, sebagaimana halnya Hadis Shahih, meskipun derajatnya
berada di bawah Hadis Shahih, adalah Hadis yang dapat diterima dan
dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam penetapan hukum atau dalam
16
beraxnal. Para Ulama Hadis, Ulama Ushul Fiqh, dan Fuqaha sependapat tentang
ke-hujjah-an Hadis Hasan.
d. Hadis Hasan Shahih
Al-Tirmidzi, selain memperkenalkan Hadis Hasan,juga menggunakan
istilah Hasan Shahih di daiam nienilal sesuatu Hadis. Istilah tersebut dapat
menimbulkan keraguan di dalam memahaminya. Pan ulama Hadis telah mencoba
untuk niemahami dan mendudukkan pengertian istilah tersebut.
3. Hadis Dhaif
Hadis Dha’if adalah Hadis Mardud, yaitu Hadis yang ditolak atau tidak dapat
dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan sesuatu hukum. Kata al-dha’if secara
bahasa adalah lawan dari alqawiy, yang berarti “lemali”. Pengertiannya menurut
istilah Ulama Hadis adalah:
Hadis DhaIf adalah setiap Hadis yang tidak terhimpun padanya keseluruhan
sjfat Qabul.
Hadits Dha’if Dhaif menurut bahasa berarti lemah. Sedangkan menurut
istilah : Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat Shahih dan syarat-syarat
hasan” Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif.
Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
a. Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu
sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu
Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
b. Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau
dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka
berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
c. Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-
janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika
memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqolani, yaitu berikut :
1) Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau
dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat
17
kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan
(hadits mungkar).
2) Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits
muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain),
nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah
(hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
C. Hadis Maudhu’
1. Latar belakang munculnya Hadis Maudhu’
2. Ciri-ciri Hadis Mauhu’
D. Sunnah
1. Tasyri’
2. Ghairu Tasyri’
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
19