Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat
diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka
dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi  kepada ummat Islam dengan cara
mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah
Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah,
sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum
Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat
berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan
selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist
dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun
dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam
penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu
yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu
hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai
bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu yang struktur
transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa pendapat itu betul
bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadist. Ulama
demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang
menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu,
dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir, Masyhur dan Ahad.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hadist mutawatir.?
2. Apakah kriteria , macam-macam dan status Hadits Mutawatir ?
3. Apakah pengertian dan macam-macam Hadits Ahad ?
4. Bagaimana pembagian dan status Hadist ahad ??

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian hadist mutawatir,kriteria hadist mutawatir,macam macam dan
statusnya hadist mutawatir.
2. Mengetahui pengertian hadist ahad, pembagian hadist ahad dan kriteria hadist ahad.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fail dari kata al-tawatur, yang berarti
at-tatabuk, yaitu berturut-turut. Menurut istilah ulama hadis, mutawatir berarti :
‫ﻤﺎﺭﺍﻩ ﻋﺪﺪ ﻜﺜﻴﺭ ﺗﺤﻴﻞ ﺍﻟﻌﺎﺪﺓ ﺗﻮﺍﻄﺆﻫﻢ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺬﺏ‬.
Artinya : “ Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat
bahwa mereka bersepakat untuk berbuaat dusta”
M. ‘Ajjaj al-Khatib memilih defenisi sebagai berikut :
“Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang mustahil secara adat mereka
akan bersepakat untuk melakukan dusta (yang diterimanya) dari sejumlah perawi yang
sama dengan mereka, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dengan syarat tidak
rusak (kurang) perawi tersebut pada seluruh tingkatan sanad ”
Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah
hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang
banyak dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat
untuk melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut.
2. Kriteria Hadist Mutawatir
 Diriwayatkan banyak perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang minimal jumlah banyak pada
periwayat hadits Mutawatir tersebut. Diantara mereka ada yang berpendapat paling
sedikit 5 orang sebagaimana dikemukakan Al-Baqilani, Astukhriy berpendapat paling
sedikit 10, pendapat lain ada yang mengatakan 40 orang, 70 orang, bahkan ada yang
berpendapat 300 orang lebih. Tapi pendapat yang lebih kuat minimal 10 orang.

 Jumlah banyak bilangan perawi tersebut terdapat pada seluruh tingkatan (thabaqat)
sanad.
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai
akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja, tidak
dinamakan Mutawatir, tetapi nanti masuk pada hadits Ahad. Kesamaan banyak para
periwayat tidak berarti harus sama jumlah angka nominalnya, tetapi yang penting nilai
verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya, pada awal Sanad 2 orang, sanad kedua 3
orang, sanad berikutnya 10 orang, 20 orang dan seterusnya tidak dinamakan Mutawatir.
Jika sanad pertama 10 orang, sanad kedua 15 orang, sanad berikutnya 20 orang, 25
orang, dan seterusnya, jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dan
tergolong Mutawatir.

 Menurut kebiasaaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta.


Misalnya jika para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang
berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para
periwayat yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan bohong
secara uruf (tradisi). Tetapi jika jumlah banyak itu masih memungkinkan adanya
kesepakatan bohong tidaklah digolongkan Mutawatir.
 Beritanya bersifat indrawi
Maksudnya berita yang diriwayatkan itu dapat didengar dengan telinga atau
dilihat dengan mata kepala, tidak disandarkan pada logika akal seperti sifatnya alam
yang baru. Sandaran berita secara indrawi maksudnya dapat diindra dengan indra
manusia

3. Macam Macam Hadits Mutawatir


a. Hadits Mutawatir Lafzhi
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan
yang lainnya, yaitu :

Artinya : Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-
siap menduduki tempat duduknya di neraka. (H.R Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan
dari 62 orang sahabat dengan lafazh dan arti yang sama. Hadits ini juga terdapat
dalam kitab-kitab, yaitu : Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darmini, Abu Dawud, Ibn
Majah, At-Tarmidzi, At- Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-
Hakim.
b. Hadits Mutawatir Ma’nawi
Hadits ini adalah sebuah hadits yang lafazh dan artinya berlainan antara satu
riwayat dan riwayat lainnya, tapi terdapat penyesuaian makna secara umum. Dalam
makna lain dapat diartikan sebagai hadits yang berbeda bunyi lafalnya oleh masing-
masing jalur periwayatannya, tetapi memiliki sebuah kesamaan dalam maknanya,
daam isinya juga mengandung satu hal, satu sifat, dan satu perbuatan. [12] Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah ilmu hadits, yaitu :
‫ف لَ ْف ِظ ِه َو َم ْعنَاهُ َم َع ُرجُوْ ِع ِهلَ ِم ْعنًى ُك ٍّل‬
ِ ‫ااختَلَفُوْ ا‬
ْ ‫َم‬
Artinya : Hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna
umumnya.
Contoh dari hadis Ma’nawi sendiri ialah, “Nabi Muhammad SAW, tidak
mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam sholat istisqa,
dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (H.R
Bukhari). Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali, atau
bahkan lebih dari 100 hadits.
4. Status Hadits Mutawatir
Status dan hukum hadis mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti
kebenarannya dan menghasilkan ilmu yang durudy (pasti). Oleh karenanya, adalah
wajib bagi umat Islam untuk menerima dan mengamalkannya. Dan karenanya pula,
orang yang menolak hadis mutawatir dihukumkan kafir adalah maqbul, dan karena
itu pembahasan mengenai keadaan para perawinya tak diperlukan lagi.

B. HADITS AHAD
1. Pengertian Hadits Ahad
Secara etimologi, kata Ahad merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti
satu. Maka hadits Ahad atau hadits Wahid adalah suatu yang disampaikan oleh satu
orang. Sedangkan secara terminologi hadits Ahad adalah hadits yang para perawinya
tidak mencapai jumlah perawi hadits Mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga,
empat, atau lima.
2. Macam macam Hadits Ahad
a) Hadits Masyhur
Masyhur merupakan Isim Maf’ul dari kata syahrah yang secara etimologi berarti
sesuatu yang jelas, diterangkan. Sedangkan menurut terminology merupakan hadits
yang diriwayatkan tiga orang pewawi atau lebih di setiap tingkatan (thabaqat) tapi tidak
sampai tingkat hadits Mutawatir.
Contoh hadits Masyhur:
((‫ْق عالما ً اتخ َذ‬
ِ ‫ى إذا لم يُب‬
َّ ‫ْض العلما ِء حت‬ ِ ‫ولكن يقبضُ ْال ِع ْل َم بِقَب‬
ْ ‫إن هللاَ ال يَ ْقبِضُ ْال ِع ْل َم ا ْنتِزاعًا يَ ْنت َِز ُعهُ ِمن العبا ِد‬
َّ
ُّ
‫ضلوْ ا‬ َ ُّ
َ ‫علم فضلوْ ا وأ‬
ٍ ‫بغير‬ِ ْ ُ
‫ النَّاسُ ُرءُوْ سًا ُجهَّاالً فَ ُسئِلوا فَأفتَوْ ا‬.)) (‫)أخرجه البخاري‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan
dari dada seorang hamba, akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para
ulama, sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang
bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari)
Hadits di atas Masyhur di tingkat sahabat, karena diriwayatkan 3 orang sahabat,
yaitu Ibn `Amr, `Aisyah, dan Abu Hurairah. Sedangkan pada sanad di kalangan tabi`in
lebih dari 3 orang. Hadits masyhur bisa jadi terjadi pada satu atau dua tingkatan sanad
saja atau pada seluruh tingkatan sanad.
Hukum hadits masyhur bergantung kepada hasil penelitian atau pemeriksaan
para ulama. Sebagain Hadits masyhur ada yang shahih, sebagian hasan, dan sebagian
lagi ada yang dha`if, bahkan ada yang Maudhu’. Namun perlu diketahui, bahwa ke-
shahih-an hadits masyhur lebih kuat dari pada ke-shahih-an hadits Aziz dan Gharib
yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat saja.
Adapun kitab-kitab hadits masyhur yang beredar di tengah-tengah masyarakat,
bukan masyhur menurut istilah hadits, diantaranya:
1. al-Maqashid al-Hasanah fi maa Isytahara ‘ala al-Sinati. Karya As-Sakhawi.
2. Kasyfu al-Khafa wa Muzail al-Ilbas fi maa Isytahara min al-Hadits ‘ala al-Sinati al-
Naas. Karya Al-‘Ajluni
3. Tamyizu al-Thayyib min al-Khabits fi maa Yaduru ‘ala al-Sinati al-Naas min al-Hadits.
Karya Ibnu al-daiba’ as-Syaibani.

b) Hadits Aziz
Secara etimologi Aziz artinya yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat.
secara istilah ilmu hadits adalah hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang
dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqah). Mahmud Al-Thahhan
menjelaskan masing-masing tingkatan (thabaqah) tidak boleh kurang dari dua
orang perawi. Jika sebagian thabaqat-nya dijumpai tiga orang atau lebih perawi,
hal itu tidak merusak (statusnya sebagai) hadits Aziz, asalkan di dalam thabaqah
lainnya –meskipun Cuma satu thabaqah- terdapat dua orang perawi. Sebab yang
dijadikan patokan adalah jumlah minimal perawai di dalam thabaqah sanad.
Dalam hadits Aziz terdapat hadits Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan
ada pula yang Dha'if tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'i .
Contoh Hadits Aziz.
“Tidak sempurna iman salah seorang darimu sehingga aku lebih
dicintainya dari pada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya
dan manusia seluruhnya.“  (Muttafaqun 'Alaihi)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukahri dan Muslim dari Anas bin
Malik. Dan diriwayatkan juga oleh bukhari dari jalan Abu Hurairah.
Susunan sanad dari dua jalan (sanad) itu adalah: yang meriwayatkan dari
Anas: Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah:
Syu’bah dan Said. Yang meriwayatkan dari Abdul Aziz : Ismail bin ‘Illiyyah dan
Abdul Warits.
c) Hadits Gharib
ِ ‫ب يغرُبُ غرْ با فهو غ‬
Kata Gharib berasal dari kata ٌ‫َريْب‬ َ ‫غ َر‬ yang secara
etimologi berarti sendirian (al-munfarid), terisolir jauh dari kerabat, perantau,
asing, aneh dan sulit dipahami. Ulama lain memberi nama lain yang searti
dengan Gharib adalah Hadits Fard. Kata Fard (‫ )فَرد‬diartikan tunggal dan satu.
Sedangkan secara terminologi hadits gharib atau hadits fard ialah hadits yang
dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Ulama hadits membagikan hadits Gharib ini ke dalam dua macam, yaitu:
 Gharib Mutlak
Hadits yang hanya seorang diri perawi dalam periwayatan sekalipun dalam
satu tingkatan sanad. Contoh :

ِ ‫ال َول ُءا لَحْ مةٌ كلَحم ِة النَّ َس‬


ُ ‫ب ال يُبا‬
)‫ع وال يُوْ هَبُ (أخرجه أحمد‬
“Hamba Wala’ (pewaris budak adalah yang memerdekakannya) adalah
daging bagaikan daging nasab tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.”
(H.R Ahmad)
Hadits di atas Gharib Muthlak, karena hanya Abdullah bin Dinar dari Ibnu
Umar sendirian yang meriwayatkannya.
 Gharib Nisbi
Menurut Manna Al-Qaththan, Gharib Nisbi atau disebut juga Al-Fardu An-
Nisbi, yaitu apabila ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya bukan
pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari
satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu
hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para
perawi tersebut.
Misalnya: Hadits Imam Malik, dari Zuhri, dari Anas –radliyallahu ‘anhu-,
“Bahwa Nabi SAW masuk ke kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala
di atas kepalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanyadiriwayatkan oleh
Malik dari Zuhri. Dinamakan dengan Gharib Nisbi karena kesendirian
periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari
segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi 
menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari
thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at
thabi’un). Dengan  demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat
dipengaruhi oleh kualitas perawi dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat
dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:

1.     Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat
dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan
lainnya.
2.      Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan dalam
susunan redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih menyisakan persamaan
dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist yang dalam susunan
redaksi kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad  yakni hadist yang dilihat
dari sisi penutur dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir  atau terkadang
mendekati jumlah hadist mutawatir.. berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad
mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi
dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist
masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
1.      Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
perawi hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2.      Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah
dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
3.      Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang
perawi hadist.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/37763452/Makalah_Hadits_Mutawatir_dan_Hadits_Ahad_Masyhur_Aziz_G
harib_

http://abiavisha.blogspot.com/2013/02/hadis-mutawatir-dan-hadis-ahad.html

http://pikirdandzikir.blogspot.com/2017/10/hadis-mutawatir-dan-ahad-pai-d-semester.html

http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html

Anda mungkin juga menyukai