A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan
Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan
sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat
dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya
hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan
matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan membahas
pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau
jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi
tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua,
yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur
sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul
seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti
oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka,
hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian
hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu
hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau
kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus
berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
َ عةً بَلـَغ ُْوا فِى اْلكـَثْ َرةِ َمبْلَغـًا تُحِ يْ ُل اْلعَا َدةَ ت ََواطُ ُؤهُ ْم
ِ علـَى اْلكـَـ ِذ
ب َ ع ْن َم ْحس ُْو ٍس أَ ْخبَ َر بِ ِه َجمــَا
َ َمـَا كَان
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan
orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits
mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam
pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu
khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah
tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini
dan diamalkan.
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa
mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-
kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang.
Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian
seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar
dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang
lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-macam mutawatir
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna
yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad
SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول هللا صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إال فى اإلستسقاء (رواه البخارى
)ومسلم
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua
tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam
sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan
seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat
dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang
sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn
Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat
mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi)
memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir
jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat
hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi
untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj
Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani (w. 1345 H)
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti
satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits
yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat
untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang
jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits
ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut
istilah ada beberapa definisi, antara lain :
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan
hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih
dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan
Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :
َ سلَّ َم
ع ْن بَيْعِ اْلغ ََر ِر َ ِصلَّي هللا
َ علَيْــــ ِه َو َ ِنَ َهي َرس ُْو َل هللا
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
7) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling
fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya,
yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau
keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat
dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ) الحسنbermakna al-jamal ( )الجمالyang berarti
“keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam.
Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-
Nukbah, yaitu :
ضبْطُ فَلْ ُح ْس ُن ِلذَاتِ ِه
َ َف ال ٍ غي ُْر ُمعَلَّ ٍل َوالَ ش
َّ فَاءِ ْن خ.َِاذ ه َُو الصَّحِ يْحِ ِلذَاتِه ِ َّضبْطِ ُمت
َ ص ُل السَّنَ ِد َ َو َخبَ ُر اْآل َحا َد بِنَقْ ِل
َّ ع ْد ِل تَا ُّم ال
Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit
kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm
(sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding
dengan hadits shahih.[8]
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik
atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih
dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan
kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan
orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan
sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
Hadits Dhaif
Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif ( )الضعيفberarti lemah lawan
dari Al-Qawi ( )القويyang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya
tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif
adalah :
َ صفَهُ الْ َح
س ِن بِفَقْ ِد شَرْ طٍ م ِْن ش ُُر ْوطِ ِه ِ ه َُو َما لَ ْم يَ ْج َم ْع
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian
yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua
macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi
dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits
yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian
hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan
kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits
harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan
orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
Daftar pustaka
[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. Hlm. 86.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. Hlm. 131.
[3] M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
[4] Ibid, hlm. 88
[5] Ibid. Hlm. 91
[6] Ibid. Hlm. 90
[7] Ibid. Hlm. 93
[8] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[9] Ibid. Hlm. 164
[10] Ibid. Hlm. 167.