Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan
Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan
sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat
dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya
hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan
matan.

Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan membahas
pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.

B. Rumusan Masalah

1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi

2. Pembagian hadits dari segi kualitas

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau
jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi
tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua,
yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur
sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul
seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti
oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka,
hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian
hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Pengertian Hadits Mutawatir

Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu
hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau
kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus
berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.

Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

َ ‫عةً بَلـَغ ُْوا فِى اْلكـَثْ َرةِ َمبْلَغـًا تُحِ يْ ُل اْلعَا َدةَ ت ََواطُ ُؤهُ ْم‬
ِ ‫علـَى اْلكـَـ ِذ‬
‫ب‬ َ ‫ع ْن َم ْحس ُْو ٍس أَ ْخبَ َر بِ ِه َجمــَا‬
َ َ‫مـَا كَان‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan
orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.

Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits
mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam
pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu
khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah
tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini
dan diamalkan.

b. Syarat Hadits Mutawatir

1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa
mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-
kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang.
Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian
seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.

2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.

3) Berdasarkan tanggapan pancaindra

Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar
dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang
lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.

c. Macam-macam mutawatir

Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :

1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :

ِ ‫ي فـَلْيَتَبَ َّوأْ َمقْعَ َدهُ مِنَ ال َّن‬


‫ار‬ َّ َ‫عل‬ َ َ‫سلَّ َم َم ْن َكذ‬
َ ‫ب‬ َ ‫علَيْ ِه َو‬
َ ‫قـَا َل َرس ُْو ُل هللا‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia
siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna
yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad
SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

‫قال ابو مسى م رفع رسول هللا صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إال فى اإلستسقاء (رواه البخارى‬
)‫ومسلم‬
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua
tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam
sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)

3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan
seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat
dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang
sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn
Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat
mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi)
memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir
jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat
hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi
untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.

Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :

1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj
Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.

2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani (w. 1345 H)

2. Hadits Ahad

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti
satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits
yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat
untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang
jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.

Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits
ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.

A. Hadits Masyhur

Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut
istilah ada beberapa definisi, antara lain :

َّ ‫ع َددٌ ال َيبْلُ ُغ َح َّد ت ََـواتِر َب ْع َد ال‬


‫ص َحا َب ِه َوم ِْن َب ْع ِد ِه ْم‬ َ ‫ص َحا َب ِه‬
َّ ‫ار َوا ُه مِنَ ال‬
َ َ‫مـ‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir,
kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih
adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu
Umar.

ْ‫اِذَا َجا َءكُ ُم اْل ُج ْمعَهُ فَلْيَغْ ِسل‬

“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan
hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:

َ ‫ض َر َر َوالَ ضـــِ َر‬


‫ار‬ َ َ‫ال‬
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”

Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih
dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :

َ ْ‫طلَبُ اْلعِلْ ِم ف َِري‬


‫ضــهٌ عــَـلَي كُ ِل ُم ْسل ٍِم َو ُم ْس ِل َمــــ ٍه‬ َ

“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :

1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan
Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).

2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :

‫ســـــل َِم اْل ُم ْس ِل ُم ْونَ م ِْن لِســـَـانِ ِه َوي ِد ِه‬


َ ‫ََ اْل ُم ْس ِل ُم َم ْن‬
4) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :

َ ‫سلَّ َم‬
‫ع ْن بَيْعِ اْلغ ََر ِر‬ َ ِ‫صلَّي هللا‬
َ ‫علَيْــــ ِه َو‬ َ ِ‫نَ َهي َرس ُْو َل هللا‬
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”

5) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :

‫طأ َ فَلـَهُ أَ ْج ٌر‬


َ ‫َــــم فَا ْجتَ َه َد ثُ َّم أَخَــــ‬ ِ ‫اب فَلـَــهُ أَ ْج َر‬
َ ‫ان َواِذَا َحك‬ َ ‫ص‬َ َ ‫اِذَا َحك ََم اْل َحا ِك ُم ثُ َّم ا ْجتَ َه َد فَـــأ‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya
benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila
ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).

6) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

َ ‫كُنْتُ َكنْزً ا َم ْخ ِفيًّا فَأ َ ْح َببْتُ أَ ْن أُع ِْر‬


َ ‫ف فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَ ِبي‬
‫ع َرفُ ْونِي‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan
makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku

7) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling
fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.

B. Hadits Ghairu Masyhur


Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz
menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan
sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang
mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang
perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan
hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
َ‫ـاس أَ ْج َم ِعيْن‬
ِ َّ‫الَ يُؤْ ِم ُن أَ َحدُكُ ْم َحتَّي أَكُ ْونَ أَ َحبَّ إِلَيْ ِه م ِْن َوالِـ ِد ِه َو َولــِ ِد ِه َوالنـ‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya,
orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya,
yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau
keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat
dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.

C. Pembagian hadits dari segi Kualitas


Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang
yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan
taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan
mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh
telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik
terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya
memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),

Mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun


sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau
ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya,
menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli
memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
· Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith,
sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
· Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya
bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak
syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat

2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ) ‫الحسن‬bermakna al-jamal ( )‫الجمال‬yang berarti
“keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam.
Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-
Nukbah, yaitu :
‫ضبْطُ فَلْ ُح ْس ُن ِلذَاتِ ِه‬
َ ‫َف ال‬ ٍ ‫غي ُْر ُمعَلَّ ٍل َوالَ ش‬
َّ ‫ فَاءِ ْن خ‬.ِ‫َاذ ه َُو الصَّحِ يْحِ ِلذَاتِه‬ ِ َّ‫ضبْطِ ُمت‬
َ ‫ص ُل السَّنَ ِد‬ َ ‫َو َخبَ ُر اْآل َحا َد بِنَقْ ِل‬
َّ ‫ع ْد ِل تَا ُّم ال‬

Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit
kedhabitannya disebut hasan Lidztih.

Dengan kata lain hadits hasan adalah :


َّ‫ضبْطُهُ َو َخالَّ مِنَ الشُّذُ ْو ِذ َواْل ِعل ِه‬
َ ‫سنَدُهُ بِنَقْ ِل اْلعَ ْد ِل الذِي قَ َّل‬ َ َّ‫ه َُو َما ات‬
َ ‫ص َل‬

Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.

Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm
(sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding
dengan hadits shahih.[8]

b. Contoh hadits Hasan


hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin
Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi
SAW bersabda :
َ‫ِلي السَّبْ ِعيْنَ َوأَقَلُّ ُه ْم َم ْن يَج ُْوزُ ذَالِك‬ ُ ‫أَ ْع َم‬
َ ‫ار اُ َّمتِي َما بَيْنَ السِتِيْنَ ا‬
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.

c. Macam-macam Hadits Hasan


Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala
criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi
penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
ُ‫ق أُ ْخ َري مِثْلُهُ أَ ْو أَقْ َوي ِمنْه‬ َ ‫ي م ِْن‬
ِ ْ‫ط ِري‬ َ ‫ْف اِذَا ُر ِو‬ ُ ‫ض ِعي‬
َّ ‫ْث ال‬ ُ ‫ه َُو اْل َح ِدي‬
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
ُ‫الرا ِوي أَ ْو ِك ْذبُه‬
َّ َ‫ضعْ ِف ِه فِسْق‬
َ ُ‫سبَب‬ َ ‫ْف اِذَا تَعَ َّد َدتْ طُ ُرقُهُ َولـَ ْم يَكُ ْن‬
ُ ‫ض ِعي‬ َّ ‫ه َُو ال‬

“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik
atau dustanya perawi.

Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih
dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan
kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan
orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan
sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

Hadits Dhaif
Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif ( )‫الضعيف‬berarti lemah lawan
dari Al-Qawi ( )‫القوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya
tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif
adalah :
َ ‫صفَهُ الْ َح‬
‫س ِن بِفَقْ ِد شَرْ طٍ م ِْن ش ُُر ْوطِ ِه‬ ِ ‫ه َُو َما لَ ْم يَ ْج َم ْع‬
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi.

Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :


‫س ِن‬ َ ‫صفَهُ الصَّحِ يْحِ َواْل َح‬ ِ ‫ه َُو َما لَ ْم يَ ْج َم ْع‬
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits
hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak
adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya
cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[9]
Contoh hadits dhaif
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah
Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
‫علَي ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ضا أَ ِوا ْم َرأَ ٍه م ِْن دُب ُِر أَ ْو كَا ِهنَا فَقَ ْد َكف ََر بِ َما اُنْ ِز َل‬
َ ِ‫َو َم ْن أَتَي َحائ‬
Barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan
belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif
oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : ‫فِيْ ِه‬
‫لَ ِي ٌن‬padanya lemah.
Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif
terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang
kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para
ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan
janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan
bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah,
tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya
: ‫ي‬ َ ‫ر ِو‬diriwayatkan,
ُ ‫نُ ِق َل‬dipindahkan, ‫ي‬
َ ‫فِيْمِا يُرْ ِو‬pada sesuatu yang diriwayatkan dating.
Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail
al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari
Yahya bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari,
Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang
menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
· Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh
dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq
dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
· Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam
(hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).
· Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati
semata atau ikhtiyath.
Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif
atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat
diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang
terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian
yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua
macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi
dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits
yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian
hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan
kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits
harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan
orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

Daftar pustaka
[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. Hlm. 86.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. Hlm. 131.
[3] M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
[4] Ibid, hlm. 88
[5] Ibid. Hlm. 91
[6] Ibid. Hlm. 90
[7] Ibid. Hlm. 93
[8] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[9] Ibid. Hlm. 164
[10] Ibid. Hlm. 167.

Anda mungkin juga menyukai