Anda di halaman 1dari 20

Kelompok 2

AL-QUR’AN-HADIS
PPP

HADIS DITINJAU DARI


KUANTITAS DAN KULITASNYA
A. PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA

Dalam menyampaikan sebuah hadits terkadang Nabi berhadapan dengan


orang yang jumlahnya amat banyak, terkadang dengan beberapa orang, terkadang
pula hanya dengan satu atau dua orang saja. Demikian juga halnya dengan para
Sahabat Nabi, untuk menyampaikan hadits tertentu ada yang didengar oleh banyak
murid, tetapi hadis yang lainnya lagi didengar oleh beberapa orang, bahkan ada yang
didengar oleh satu orang saja. Begitu seterusnya sampai dengan generasi yang
mengabadikan hadits dalam kitab-kitab. Sudah barang tentu, informasi yang dibawa
oleh banyak orang lebih menyakinkan dibandingkan dengan informasi yang dibawa
oleh hanya satu atau dua orang.
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits yang ditinjau dari
segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada
yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, ahad,
dan ada yang membaginya menjadi dua yakni hadits mutawatir dan ahad.
Ulama golongan pertama yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri
dan tidak termasuk bagian dari hadis ahad dianut sebagian ulama ushul, diantaranya
adalah Abu Bakar Al Jashshah (305-307 H). Adapun golongan kedua diikuti oleh
kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadits ahad,
itulah sebabnya mereka membagi hadits menjadi dua bagian,
yaitu mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak).
Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk
berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat
yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

‫مَـا َك اَن َع ْن َم ْح ُسْو ٍس َأْخ َبَر ِبِه َج مـَـاَع ًة َبلَـُغ ْو ا ِفى ْالكَـْثَرِة َم ْبَلغًـا ُتِح ْيُل ْالَع اَد َة َتَو اُطُؤ ُهْم َع لَـى ْالكَــِذِب‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan
oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi
mereka sepakat berbohong.

Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin


tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa
hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu
ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil
atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak
dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini
dan diamalkan.
2. Macam-macam hadis mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan
makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama, contoh :
‫ْأ‬
‫قَـاَل َر ُسْو ُل هللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َم ْن َك َذ َب َع َلَّي فَـْلَيَتَبَّو َم ْقَع َد ُه ِم َن الَّناِر‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi


menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai
hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan,
mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang
meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
‫قال ابو مسى م رفع رسول هللا صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إال فى اإلستسقاء‬
)‫(رواه البخارى ومسلم‬
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya
kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh
Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh
Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits
nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya.
Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan
sebagai hadits mutawatir ‘amali.
2. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Al Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu.
Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu
orang.
Sedangkan ahad secara istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain:
‫الخبر الذي لم تبلغ نقلته فى ألكثرة مبلغ الخبرالمتواتر سواٌء كان المخبر واحدا أواثنين أو ثالثة أو أربعة أو‬
‫جمسة إلى غير ذلك من األعداداّلتي التشعر بأّن اخبر دخل بها في خبرالمتواتر‬.
“Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah khabar
mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya dari
bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan
tersebut masuk ke dalam khabar mutawatir”.
Ulama lainnya memberikan definisi:[
‫خبر الواحد هو ما نّق له واحد عن واحدأو واحد عن جماعة أو جماعة عن واحد وال عبرة للعدد إذا لم تبلغ حد‬
‫المشهور‬
“khabar wahid adalah khabar yang dinukilkan seorang rawi dari seorang rawi yang
lain, atau yang dinukilkan seorang rawi dari sekelompok rawi, atau sekelompok rawi
menukil dari seorang rawi dan secara jumlah tidak sampai pada batasan jumlah
hadits masyhur”
Melihat dari beberapa definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hadits ahad adalah sebagai berikut:
1) Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa rawi, akan tetapi tidak mencapai
derajat mutawatir
2) Perawi-perawi tersebut dalam jumlah mengalami variasi dalam setiap
thabaqah (tingkatan)
3) Perawi-perawi dalam hadits ahad tidak berdasarkan jumlah, akan tetapi lebih
tertuju pada kredibilitas perawi.
b. Pembagian Hadits Ahad
1) Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah
tersebar dan populer). Atau Masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
Menurut ulama ushul:
‫ما رواه من الّصحا بة عدد اليبلغ حّد الّتواتر ثّم توا تر بعد الّصحا بة ومن بعدهم‬
“Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran
bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula
setelah mereka”
Ada juga yang mendefinisikan:
‫ما له طرٌق محصورٌة بأكثر من اثنين ولم يلغ حّد الّتواتر‬
“Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak
sampai kepada batas hadis yang mutawatir”.
Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi yang jika
disimpulkan hadits masyhur adalah hadits yang:
· Diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
· Hadis yang dalam jumlah setiap tingkatan tidak sama, tetapi jumlah lebih dari
tiga
· Hadis yang memiliki jalur terbatas
· Hadis yang tidak mencapai derajat atau batasan mutawatir
Macam-macam hadits masyhur dapat dilihat dan dikaji dalam dua bagian
besar, yaitu pembagian hadits masyhur dilihat dari tersebarnya (intisyaar) hadits
dalam perspektif-perspektif dan pembagian hadits masyhur dilihat dari kualitas dari
pembawa berita dalam rangkaian sanad.
Hadits masyhur yang dilihat dari beberapa perspektif bahasa (intisyaar) – masyhur
dalam pembicaraan khalayak, tidak berdasarkan pada kajian hadits yang
sebenarnya, boleh jadi hadits masyhur itu hanya terdiri dari dua sanad, satu sanad,
tidak bersanad, bahkan sanadnya palsu.
u
2) Hadits ‘Aziz
Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi
tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.
Atau yang dikategorikan sebagai hadis aziz yaitu:
1) Disetiap tabaqah hanya terdapat dua perawi saja.
2) Disalah satu tabaqah hanya terdapat dua perawi, meskipun di tabaqah lainnya lebih
dari tiga perawi.

Contoh hadits ‘aziz pada thabaqah pertama:


)‫نحن الخرون الّسا بقون يوم القيامة (رواه أحمد والنسائ‬
Artinya: “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari
kiamat”. (H.R Ahmad dan An Nasa’i).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama, yakni
Hudzaifah ibn Al Yaman dan Abu Hurairah, hadits tersebut pada thabaqah kedua sudah
menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadits diriwayatkan oleh tujuh
orang yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al A’raj, Abu Shalih, Humam, dan ‘Abd Ar
Rahman.
3) Hadits Garibb
Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada
tingkatan maupun sanad. Dengan batasan tersebut, maka apabila suatu hadits
diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi saw dan baru pada tingkatan berikutnya
diriwayatkan oleh banyak rawi, hadits tersebut dipandang sebagai hadits gharib.

Hadits Gharib dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits gharib


mutlak dan hadits gharib nisbi. Hadits gharib mutlak adalah hadits yang gharabahnya
(perawi satu orang) terletak pada pokok sanad, pokok sanad adalah ujung sanad yaitu
seorang sahabat.

Contohnya hadist gharib mutlak:


‫الوالءلحمة كلحمة الّنسب اليباع واليوهب‬
Artinya: “Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan
dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
hadits di atas diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya
Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang
tabi’in yang hafizh, kuat ingatannya, dan dapat dipercaya.
Sedangkan hadist gharib nisbi adalah hadits yang terjadi gharabah
(perawinya satu orang) di tengah sanad. Peneyendirian seorang rawi seperti itu
biasanya terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan (kesiqahan) perawi atau
mengenai tempat tinggal/kota tertentu.
Contohnya hadits gharib nisbi berkenaan dengan kesiqahan perawi antara lain
adalah:
‫كان صّلى اهلل عليه وسّلم يقرأ فى األضحى والفطر ب (ق) واقتربت الّس ا عة وانشّق القمر‬

Artinya: “Dikabarkan bahwa Rasulullah SAW pada hari raya kurban dan hari raya
fitrah membaca Surat Qaf dan Surat Al Qamar”
Hadits tersebut diriwayatkan melalui dua jalur , yakni jalur Muslim dan
Jalur Ad Daruqutni. Melalui jalur Muslim terdapat rentetan sanad: Muslim, Malik,
Dumrah bin Said, Ubaidillah, dan Abu Waqid Al Laisi yang menerima langsung dari
Rasulullah saw. Adapun melalui jalur Daruqutni, terdapat rentetan sanad: Daruqutni,
Ibnu Lahiah, Khalid bin Yazid Urwah, Aisyah yang langsung menerima dari Nabi saw.
Pada rentetan sanad yang pertama, Dumrah bin Said Al Muzani disifati
sebagai seorang muslim yang tsiqah. Tidak seorangpun rawi-rawitsiqah yang
meriwayatkan hadits tersebut selain dirinya sendiri. Sementara itu, melalui jalur
kedua, Ibnu Lahiah yang meriwayatkan hadits tersebut dari Khalid bin Yazid dari
Urwah dari Aisyah. Ibnu Lahiah disifati sebagai seorang rawi yang lemah.
B. PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadits mutawatir memberikan


pengertian yang yaqin bi al- qath’, artinya Nabi Muhammad benar-benar
bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuannya) di hadapan para
sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka
bersepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenaran sumbernya sungguh telah
menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi,
baik terhadap sanad-nya maupun matan-nya.
Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan
faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk
mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanad-nya, sehingga
status hadits tersebut menjadi jelas apakah dapat diterima sebagai hujjah atau
ditolak. Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat
dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan,
dan hadits dha’if.
1. HADITS SHAHIH
a. Pengertian Hadits Shahih
Menurut istilah, hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
adil, sempurna ingatannya, sanad-nya bersambung-sambung, tidak ber-‘illat, dan
tidak janggal.
Definisi yang lain dinyatakan oleh Al Suyuthi:
‫ما اّتصل سنده با لعد ول الّضا بطين من غير شذ وذ والعلة‬
“Hadis yang bersambung sanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit,
tidak syaz, dan tidak ber’illat”
b. Syarat Hadits Shahih
Menurut muhaddisin, suatu hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1) Rawinya bersifat adil
Menurut Ar Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak
takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil,
dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti
makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang sembarangan,
bergurau berlebihan, dll
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah:
· Beragama Islam
· Berstatus mukalaf
· Melaksanakan ketentuan agama
· Memelihara muru’ah

2) Rawinya bersifat dhabit


Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik
dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkan kembali ketika
meriwayatkannya
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada
orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja, orang itu dinamakan dhabtu
shadri, sedangkan kalau apa yang disampaikan itu berdasarkan buku catatan (teks book) ia
disebut dhabtu kitab. Rawi yang ‘adil dan sekaligus dhabith disebuttsiqah.
3) Sanad-nya bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Jadi suatu sanad hadits dapat dinyatakan
bersambung apabila:
· Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
· Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-
benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa
ada al hadits
4) Tidak ber-‘illat
Maksud bahwa hadist yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni
hadits itu terbebas dari sifat samar-samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak
bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat tersebut.
5) Tidak syadz (janggal)[
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya, disebabkan
kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
c. Klasifikasi Hadits Shahih
Para ulama hadits membagi hadits shahih memjadi dua macam, yaitu:
1) Shahih Li dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat
hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut
di atas.

2) Shahih Li Ghairihi, yaitu hadits dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadits
shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits lain. sekiranya hadits yang memperkuat
itu tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatanhadits hasan. Hadits
sahih li ghairihi hakekatnya adalah hadits hasan lizatih (hadits hasan karena dirinya
sendiri)
Hadits dibawah ini merupakan contoh hadits hasan li dzatih yang naik derajatnya
menjadi hadits shahih li ghairih
2. HADITS HASAN
a. Pengertian Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadist yang telah memenuhi lima persyaratanhadits
shahih sebagaimana disebutkan terdahulu, hanya saja bedanya, padahadits shahih daya
ingatan perawinya sempurna, sedangkann pada hadits hasan daya ingatan perawinya
kurang sempurna.
Menurut Ibn Hajar, hadis hasan adalah:
‫خبر األ حاد بنقل عد ل تاّم الّضبط مّتصل الّسند غير معّلل وال شاذ‬
“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya,
bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz”
4. HADITS DHA’IF
a. Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dha’if secara bahasa berarti hadits yang lemah. Secara istilah hadits
dha’if adalah hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits
maqbul (hadits shahih atau hadits hasan). Contoh hadits dha’if:
‫من أتى حا ئضا أو امرأة من دبر أو كا هنا فقد كفر بما أنزل على محّم د‬
Artinya: “Barangsiapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau
pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia
telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw”.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh At Tirmidzi melalui jalan Hakim Al Atsram
dari Abu Tamimah Al Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Dalam sanad itu terdapat
seorang dha’if yaitu Hakim Al Atsram yang dinilaidha’if oleh para ulama.
^^Kesimpulan^^
Yang dapat disimpulkan dari makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadits
mutawatir danhadits ahad
2. Hadits mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu: mutawatir
lafzhi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali
3. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga
yaitu: masyhur, ‘azis, gharib (gharib mutlak dan gharib nisbi)
4. Hadits ditinjau dari segi kualitasnya dibagi menjadi tiga, yaitu hadits
shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if.
5. Baik hadist shahih maupun hadits hasan terbagi menjadi dua
yaitu lidzatih danlighairihi.
6. Para perawi hadits mutawatir tidak perlu di persoalkan , baik mengenai
keadilan maupun ke-dhabit-annya,sebab dengan adanya persyaratan yang begitu
ketat,sebagaimana telah di tetapkan di atas ,menjadikan mereka tidak mungkin
melakukan dusta
Sekian Dan Terma
kasih
Anggota PPP :
~ Mulia Fathan
~ M. Najmi Saputra
~ M. Rizki Ramadhan
~ Riski fajar Syah P
~ Sadri
~ M. Iqbal Kamarullah P
~ Zahrul Fuadi
~ T. Luthfi Dhiya Ulhaq

~ Putra Pratama Shani


~ M. Haikal
~ M. zikrullah
~ Afdhal Zikri

Anda mungkin juga menyukai