Anda di halaman 1dari 13

KUALIFIKASI HADIS DARI ASPEK

KUALITAS DAN KUALITASNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul


Hadis

Dosen Pengampu:
H. M. Samsukadi, Lc. M.Th.I.

Disusun Oleh:

M. Toha Zakiyul Fatih (1117116)


Burhanudin Alawi (1117096)
Maghfiroh (1117124)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
2018
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini, pembahasan ilmu hadis telah menarik
sebagian kalangan umat Islam dan non-muslim untuk
mempelajari dan mengkaji lebih dalam tentang bagaimana
perkataan, perbuatan dan taqrir hadits Nabi tersebut,
sehingga menjadi kaidah atau aturan hidup umat Islam.
Bahkan lebih dari itu, munculnya kajian atau fakultas-
fakultas yang fokus mengkaji hadits Nabi, membuat ilmu
hadits semakin luas dan kompleks dalam kajian wilayah
keilmuannya.
Upaya pelestarian keotentikan hadis Nabi saw telah
dilakukan sejak masa sahabat dengan menggunakan
metode konfirmasi. Setelah Nabi saw wafat, kegiatan
konfirmasi ini tentu tidak lagi dilakukan oleh sahabat.
Tetapi selanjutnya, para sahabat menanya-kan kepada
orang lain yang ikut hadir mendengar dan menyaksikan
hadis itu terjadi. Kegiatan penghimpunan hadis secara
resmi dan massal, barulah dilakukan dipenghujung abad I
H, atas inisiatif dan kebijakan Khalifah Umar bin Abd. Aziz.1
Pada masa yang cukup panjang itu setelah wafatnya
Rasul, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang
dilakukan oleh beberapa golongan dengan tujuan tertentu.
Atas kenyataan inilah, ulama hadis berupaya menghimpun
hadis Nabi. Selain harus melakukan perlawatan untuk
menghubungi para periwayat hadis yang tersebar di
berbagai daerah, juga mengadakan penelitian identitas
periwayat dan menyeleksi semua hadis yang mereka
himpun.

1 Muhammad Abu Zahw, al-Hadi>s wa al-Muhaddisun, (Mesir: Mathba’at al-Misriyah, t.th.),


245.

2
Pada perkembangan selanjutnya para ulama hadits
berusaha melakukan klasifikasi terhadap hadis baik
berdasarkan kuantitas maupun berdasarkan kualitas hadis.
Hadis jika ditinjau dari segi kuantitas perawinya, maka
akan di dapatkan dua bagian terbesar yaitu, hadis
mutawatir dan hadis ahad, sedangkan hadis jika ditinjau
dari segi kualitas perawinya, maka dapat diklasifikasi pada
tiga bagian yaitu: hadis shahih, hasan dan hadis da’if.2
Penulis dalam makalah ini akan membahas tentang
beberapa klasifikasi hadis baik berdasarkan kuantitas
maupun berdasarkan kualitas hadis sebagai upaya untuk
menambah dan merivew kembali pemahaman kita akan
hadis Rasulullah SAW.
B. PEMBAHASAN
1. Hadis Ditinjau Dari Aspek Kuantitasnya
Berdasarkan dari segi kuantitasnya atau jumlah rawi
hadits, maka dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Hadits Mutawatir\
Mutawatir menurut bahasa, berarti mutatabi’ yang
(datang) berturutturut, dengan tidak ada jaraknya.
Sedankan menurut istilah dapat didefinisikan sebagai
berikut:
‫مععا رواه جعععم تيحععل العععادة تععوطئهم علععى الكععذب عععن‬
‫مثلهعم معن اول السعنه الع منتخهعاه علعى ععن ان ل يتخعل‬
. ‫هذا المجعم ف اي طبقه من طبقات السند‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi yang secara tradisi
tidak mungkin mereka sepakat untuk
berdusta. (jumlah banyak itu) dari awal
sanad sampai akhirnya dengan syarat

2 Qadirun-Nur, Ushul al-Hadi>s, cet.I, (Jakarta : Gaya Media, 1998), 271.

3
jumlah itu tidak kurang pada setiap
tingkatan sanadnya”.3
Adapun yarat-syarat Hadis Mutawatir yaitu: 1). Para
pera>wi hadisnya terdiri dari segolomgan orang banyak.
2). Menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil
melakukan konspirasi kebohongan, atau mengadakan
suatu perkumpulan untuk berdusta, atau dipaksa oleh
penguasa untuk berdusta. 3). Rawi yang banyak itu
meriwayatkan dari rawi yang banyak pula, mulai dari
permulaan sampai akhir sanadnya. 4). Sandaran akhir
(hadis yang diriwayatkatkan dari rowi-rowi itu sesuai
dengan inderawi (diterima melalui indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa).4
Hadis mutawatir dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1).
Mutawatir Lafdhi<<>, yaitu; Hadis yang diriwayatkan oleh
orang yang banyak yang susunan redaksi dan maknanya
seragam antara riwayat yang satu dengan yang lain. 2).
Mutawatir Maknawi, yaitu; Hadis mutawatir yang redaksi
pemberitaannya berbeda, tetapi semuanya dipersatukan
oleh makna dan subtansi yang sama.5
Adapun Hukum Hadis Mutawatir menghasilkan
pengetahuan yang meyakinkan yang mengharuskan
manusia untuk membenarkannya secara pasti. Oleh karena
itu, hukumnya maqbu>l.6
b. Hadits Ahad.
Ahad adalah jamak dari “Ahada”, menurut bahasa “al-
wahid” yang berarti satu. Dengan demikian hadis ahad

3 M. Ajaj Al-Khotib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 271

4 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.89

5 M. Shofiyyuddin, Epistemologi Hadis: Kajian Tingkat Validitas Hadis Dalam Tradisi Ulama
Hanafi, Riwayah: Jurnal Studi HadisVolume 2 Nomor 1, (Salatiga: IAIN Salatiga, 2016), 7

6 Mahmud Thahaan, taisiir mushthalahil hadis, (Indonesia : Haramain t.t).), hlm.20

4
adalah Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang7.
Sedangkan Hadis ahad menurut istilah adalah sebagai
berikut:
Khabar yang jumlah perawinya tidak sampai jumlah
perawi Hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua,
tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidakmemberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai
kepada jumlah perawi Hadits mutawatir.”8
Ada juga yang mendifinisikan Hadits ahad secara
singkat, yakni Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
muawatir.9
Hadits Ahad secara garis besar oleh ulama-ulama
hadits dibagi menjadi dua, yaitu masyhu>r dan ghairu
masyhu>r. Ghairu masyhur terbagi lagi menjadi dua
bagian, yaitu azi>z dan ghari>b. Hadits masyhur menurut
bahasa “muntasyi>r” yang berarti sesuatu yang sudah
tersebar, sudah popular10. Sedangkan menurut ulama ahli

Hadis, ialah :
Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi
lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas Hadits
yang mutawatir”.11
Hadits ini dinamakan masyhu>r karena popularitasnya
di masyarakat, walaupun tidak mempunyai sanad sama
sekali, baik berstatus shahih atau dla’if. Sedangkan Hadits

7 Jabar Sabil dan Juliana, Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum Islam, (Banda Aceh: Uin Ar-Aniry
Media Syariah, Vol. 19, No. 2, 2017), 292

8 Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 92.

9 Mahmud Thahan, Ulumul Hadits, (yogyakarta: Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997), 32.

10 M. Nasri Hamang, Kehujahan Hadis Ahad Menurut Mazhab Suni dan Syi’ah, AL-
FIKRVolume14 Nomor 3 ( Parepare: Stain Parepare, 2010), 412

11 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 138

5
ghairu masyhur oleh ulama ahli hadis digolongkan menjadi
dua, antara lain:
1) Hadis Aziz yaitu; Hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada
satu thabaqat saja, kemudian setelah itu, orang-orang
pada meriwayatkannya. Jadi Hadis aziz tidak hanya
diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah,
yakni sejak dari thabaqah pertama sampai terakhir harus
terdiri dari dari dua orang, tetapi selagi salah satu
thabaqah (lapisannya) saja, didapati dua orang rawi,
sudah bisa dikatakan Hadits aziz.12
2) Hadits Gharib. yaitu; “Hadits yang didalam sanadnya
terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Hadits gharib terbagi dua yaitu gharib mutlak (fard) dan
gharib nisby. Gharib mutlak yakni apabila penyendirian
rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai
personalianya dan harus berpangkal ditempat ashlus
sanad yaitu tabi’iy bukan sahabat. Sedangkan gharib
nisby ialah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat
atau keadaan tertentu seorang rawi. Dan hal ini
mempunyai beberapa kemungkinan, misalnya tentang
sifat keadilan dan kedlabitan (ketsiqahan) rawi tertentu,
istilah-istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan
hadits gharib, cara-cara untuk menetapkan kaghariban
hadits (I’tibar).13
2. Hadis Ditinjau Dari Aspek Kualitasnya
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits
muatawatir memberikan pengertian yang yaqi>n bi al-
qath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda,
12 Ibid, 412

13 Ibid, 413

6
berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan
para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak
dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi.
Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah
meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa
perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun
matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya
memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan
kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan
penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya,
sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah
diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits
membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga
bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
a. Hadis Shahi>h
Para ulama hadits memberikan definisi hadits shahi>h
sebagai “hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh
orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai
berakhir pada Rasulullah Saw. atau kepada sahabat atau
kepada tabiin, bukan hadis yang syadz (cntroversial) dan
terkena illat, yang menyebabkan cacat dalam
penerimannya.”14
Dalam definisi diatas, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan yakni sebagai berikut:
1) sanadnya bersambung, rtinya tiap-tiap perawi dalam
sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi
terdekat sebelumnya atau benar-benar mengambil
secara langsung dari orang yang di tanyanya, dan sejak
awal hingga akhir sanadnya.

14 Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), 132

7
2) para perawinya bersifat adil, artinya bahwa semua
perawinya, disamping harus muslim, baligh, bukan fasid
dan tidak berbudi jelek pula.
3) kuat hafalan para perawi (dlabit), artinya masing-
masing perawi sempurna day ingatanya, baik ingatan
dalam dada maupun dalam kitab.
4) tidak sadz (bertentangan), artnya hadits itu benar-
benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau
menyelisihi orang yang terpecaya dari lainnya.
5) tidak ber’illat (cacat), artinya hadits itu tidak ada
cacatnaya, dalam arti adanya sebab yang menutup pada
keshahihan hadits, sementara dhahirnya selamat dari
cacat.
Hadfits shahih ini hukumnya wajib diamalkan dan ulama
ahli hadits membaginya kepada dua bagiian yaitu s}ahi>h
li z}a>tihi> dan s}ahi>h li gairihi>. Perbedaan antara
kedua bagian hadits ini terletak pada segi hafalan atau
ingatan perawinya. Pada s}ahi>h li z}a>tihi>, ingatan
perwinya sempurna sedangkan pada hadits s}ahi>h li
gairihi>, ingatan perawinya kurang sempurna.
Yang dimaksud hadits s}ahi>h li z}a>tihi>, ialah hadits
sahih yang memenuhi persyaratan maqbul secara
sempurna sesuai dengan maksud pengertian shahih.
Sedangkan yang dimaksud dengan s}a>hi>h li gairihi>,
ialah keblikan dari s}a>hi>h li gairihi>, khususnya dari
segi ingatan atau hafalan pearwi. Jadi pada hadits ini
ingatan perawinya kurang senpurna (qali>l al-d}abt).
b. Hadits Hasan.
Menurut bahasa hasan sifat Musyabbahah dari “Al-
Husn” yang mempunyai arti “Al-Jama>l” (bagus),
sedangkan secara istilah, para ulama berbeda pendapat
dalam men-definisikannya karena melihat bahwa ia
merupakan pertengahan antara Hadits Shahih dan Dla’if,

8
dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai
salah satu bagiannya.15
Sebagian berpendapat hadits yang sanadnya
bersambung yang diriwayatkan oleh orang yang adil yang
berkurang sifat d}obit}nya dan bersih dari sya>z} dan
‘illa>t.
Dari definisi ini dapat kita pahami bahwa hadits Hasan
harus memenuhi lima syarat sebagaimana hadits s}ahih
hanya saja tingkat ked}obitan perawi masih dibawah
hadits s}ahih. Hadis hasan terbagi menjadi dua,16 yaitu :
1) Hadits yang tingkat akurasinya dibawah hadits
shahih sebagaimana definisi diatas.
2) Hadits hasan lighairihi adalah yaitu hadits yang dlo’if,
jika diriwayatkan dari jalur yang lain yang lebih kuat
darinya.
c. Hadits Dla’if.
Kata dlaif , berasal dari bahasa Arab ‫ضععيحف‬yang berarti

“lemah”. Adapun pengertian menurut istilah, adalah hadits


yang tidak memenuhi standarisasi hadis sahih maupun
hadis hasan.
Adapun sebab-sebab yang mengakibatkan kedhaifan
suatu hadis disebabkan terdapat dua hal pokok yaitu: 1).
Karena ketidak Muttashilan sanad, dan, 2). Cacatnya (tidak
dhobit dan tidak adil) seorang perawi.17
Hukum periwayatan hadis dlo’if tidak identik dengan
hadis maudhu’ (hadis palsu), diantaranya terdapat
kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti
daya hafalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur.

15 Thahan, Mahmud, Ulumul Hadits (studi kompleksitas hadits Nabi), Terj. Zainul Muttaqin,
(Yoqjakarta: Titian Illahi Press,1997), 54

16 Syamsuez Salihima, Historiografi Hadis Hasan-Dhoif, (Jurnal Adabiyah Vol. X nomor


2/2010), 215

17 A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadits, (Bandung: CV. Diponegoro, 1987), 91

9
Sedangkan apabila hadis maudhu’ perawinya seorang
pendusta, maka para Ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadis dlo’if dengan dua syarat yaitu;
1) Tidak bertentangan dengan aqidah seperti sifat-sifat
Allah SWT.
2) Tidak berkaitan dengan hokum syara’ yang berkaitan
dengan halal dan haram, tetapi berkaitan dengan
masalah mau’izah, targhib wa tarhub (hadis-hadis
tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau
sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif
(mabni ma’lum) yang meyakinkan kebenarannya dari
Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni
majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : ‫ي‬
‫رروو ي‬
diriwayatkan, ‫ نرقويل‬dipindahkan, ‫ي‬
‫ فوييوماِ يريروو ي‬pada sesuatu yang
diriwayatkan. Hal tersebut dilakukan semata-mata karena
berhati-hati (ikhtiyath).
C. PENUTUP
Hadis dilihat dari segi kuantitasnya (jumlah perawi),
menurut ulama hadis pada umumnya, dibagi menjadi dua,
Mutawatir dan Ahad, dan hadis Masyhur termasuk bagian
dari hadis Ahad. Hadis Mutawatir dapat dikelompokkan ke
dalam dua kelompok: 1. Mutawatir Lafzhi dan 2. Mutawatir
Ma’nawi. Hanya sejumlah kecil hadishadis Mutawatir Lafzhi
(artinya seluruh perawi menggunakan ungkapan yang
sama dalam menuturkan hadis tersebut) adapun Mutawatir
Ma’nawi (para perawi hanya meriwayatkan hadis tersebut
dengan mengambil maknanya saja, sedangkan ungkapan
kata-katanya berasal dari perawi itu sendiri). Dan cukup
banyak jumlahnya. Hadis Ahad adalah hadis yang
perawinya tidak mencapai, terkadang mendekati, jumlah

10
mutawatir. Hadis Ahad terbagi pada hadis Masyhur, Azis
dan Gharib.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits maqbul (diterima)
dan hadits mardud (ditolak). Hadits maqbul terbagi
menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad yang shahih (lidzatihi dan lighayrihi) dan hasan
(lidzatihi dan lighayrihi), sedangkan hadits mardud adalah
hadits yang dha’if.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahw, Muhammad. T.th. al-Hadi>s wa al-Muhaddisun. Mesir:


Mathba’at al-Misriyah.

Al-Khotib, M. Ajaj. 1998. Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya


Media Pratama

Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

As-Shalih, Subhi. 1997. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta:


Pustaka Firdaus.

Hasan, A. Qadir. 1987. Ilmu Mushthalaha al-Hadits. Bandung: CV.


Diponegoro.

Hamang, M. Nasri. 2010. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Mazhab


Suni dan Syi’ah. AL-FIKRVolume14 Nomor 3. Parepare:
Stain Parepare.

Mahmud, Thahan.1997. Ulumul Hadits (studi kompleksitas hadits


Nabi). Terj. Zainul Muttaqin. Yoqjakarta: Titian Illahi Press.

Nur. Qadirun. 1998. Ushul al-Hadi>s cet.I. Jakarta : Gaya Media

Suparta, Munzier. Utang Ranuwijaya. 1996. Ilmu Hadits. Jakarta:


Raja Grafindo Persada.

Salihima,Syamsuez. 2010. Historiografi Hadis Hasan-Dhoif. Jurnal


Adabiyah Vol. X nomor 2

Sabil, Jabar. Juliana. 2017. Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum


Islam, (Banda Aceh: Uin Ar-Aniry Media Syariah, Vol. 19, No.
2

12
Shofiyyuddin, M. 2016. Epistemologi Hadis: Kajian Tingkat
Validitas Hadis Dalam Tradisi Ulama Hanafi. Riwayah: Jurnal
Studi HadisVolume 2 Nomor 1. Salatiga: IAIN Salatiga.

Thahaan, Mahmud t.t. taisiir mushthalahil hadis, Indonesia :


Haramain

Thahan, Mahmud. 1997. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Titian Ilahi


Press & LP2KI.

13

Anda mungkin juga menyukai