Anda di halaman 1dari 22

PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

Makalah ini diajukan dalam rangka untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Perbankan Syariah

Oleh :

Kelompok III

ANDIKA BAGAS PERDANA


01185112

MUH. RIADIL ADRI


01185113

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul Perkembangan Ushul Fiqih

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan

hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak dan sumber, tantangan

itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah

ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha

Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik

dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dan sarannya

sangat kami harapkan.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita

sekalian.

Watampone, 26 Juli 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan dan Periodesasi Ushul Fiqih 3


B. Munculnya Ushul Fiqh dan Tahapan Perkembangannya 9
C. Aliran-Aliran Ushul Fiqh 13
D. Karya Ilmiah Ushul Fiqh 14

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 17
B. Saran ` 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh
dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul
Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul
fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman
Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i,
semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di
antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di
samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in
inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama
ketika itu. (Abu Zahro : 12 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in
atau pada masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah
istinbath yang digunakan juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu
Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam
Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis
ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman
Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam
mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran
belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum
terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.

1
2

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di
rumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perkembangandan periodisasi Ushul Fiqh zaman Nabi,
Sahabat, dan tabi’in?
2. Bagaimana munculnya Ushul Fiqh?
3. Bagaimana aliran-aliran Ushul Fiqh?
4. Apa saja karya-karya ilmiah yang ada dalam perkembangan Ushul Fiqh?

C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perkembangan dan periodisasi Ushul Fiqhpada zaman
Nabi, Sahabat, dan tabi’in.
2. Untuk mengetahui proses munculnya Ushul Fiqh.
3. Untuk mengetahui aliran-aliran Ushul Fiqh.
4. Untuk mengetahui karya-karya ilmiah yang ada dalam Ushul Fiqh.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Dan Periodisasi Ushul Fiqh


1. Masa Nabi
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-
Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu
turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu
tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut
melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai
berikut : “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu
melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu
kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat
Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi,
menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada
masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda :
‫كيف تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب هللا قال فا ن لم تجد ف كتا ب هللا؟ قال‬
‫فبسنة ر سو ل هللا قال فان لم تجد في سنة ر سو ل هللا قال اجتهد راى وال لو فضرب رسو ل هللا‬
‫على صدره وقال ا ا لحمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر سسو ل هللا‬
“Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum
terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az
saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah
(Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab
Allah?JawabMu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan
keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah. Tanya Nabi, jika engkau
tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad,
dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada
Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan
rasulnya.”

3
4

Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk
mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah
memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan
hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan
masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat
terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung
kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan
keduniaan Rasulullah bersabda :
‫ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم‬
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi
yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang
melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam
mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas,
Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan
melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat
kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
‫جات ا مر ا ة خثيمية فقا لت يا ر سو ل ا هلل ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم يحج و هو ال‬
‫يتمسك على الر حا لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل هللا عليه و سلم ار ايت لو كا ن على ا‬
‫بيك دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا هلل ا حق ان يقض‬
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan
bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji,
dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus
melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya
bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah
engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab, Ya, Nabi berkata
utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”

Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu
ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang
keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap
5

sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan


pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang
otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuatNabi
sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati
yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang
ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu
memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh
Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam di bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak
bersifat garis besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya
diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan
kepadanya diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu
faktor yang ikut mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh
selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas
ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab
pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang
yang mencium istrinya.
Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah
puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidakbatal).
Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-
Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).

Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW


jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu
dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa
karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena
berkumur-kumur.
6

2. Pada Masa Sahabat


Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru
yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad,
mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah
barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi
disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa
sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA
tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang
mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib
berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan
mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang
telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah :
ْ ً َ ‫سا َء َما لَ ْم ت َ َمسُّوه َُّن أ َ ْو ت َ ْف ِرضُوا لَ ُه َّن فَ ِري‬
َ ‫طلَّ ْقت ُ ُم ال ِِّن‬
ِ‫ضة َو َم ِتِّعُوه َُّن َعلَى ال ُمو ِسع‬ َ ‫ال ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإ ْن‬
َ‫وف َحقًّا َعلَى ْال ُمحْ ِسنِين‬ ِ ‫قَدَ ُرهُ َو َعلَى ْال ُم ْقتِ ِر قَدَ ُرهُ َمتَاعًا بِ ْال َم ْع ُر‬
Artinya :
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-
orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).

Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW,


demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih
hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang
digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-
kaidah (aturan-aturan)nya; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul
Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa
7

sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad


dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah
terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun
sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena
pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena
Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum
baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak
membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka
mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-
sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam
memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam
menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai
pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan
yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan
adanya kaidah-kaidah.
3. Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad
II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas,
sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa
Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya
serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di
daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang
memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin
banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para
ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan
hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang
8

berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga
mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan
dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-
jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja
antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para
ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di
atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam
menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan
banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam.
Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik
berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam
ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit
menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami
nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-
kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara'
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah
lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah
Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama
kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam
Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama
kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-
alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam
sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab
9

dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh
karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta
Ilmu Ushul Fiqh.
B. Munculnya Ushul Fiqh dan Tahapan Perkembangnya
Secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
1. Tahap Awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam
semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam
abad ini adalah : Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al
Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah
terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari
kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan
semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh
yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih
yang disebut Ushul Fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqh yang pertama-tama
tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah
karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang
bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul
fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan
kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul
fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh
kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-
dalil syari'at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka
datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan
kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun
kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung pada
Asy-Syafi'i karena Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama
kalinya.
10

Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah


kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban (w.221H/835 M) menulis kitab
Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu Syiar
Al-Nazham (w.221H/835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada
pada abad 3 h ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh
yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu
sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-
permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha
pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan
termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut
ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai
perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya
mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama Ushul Fiqh
dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah
ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang
kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang
dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas,
karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu
hadits saja
2. Tahap Perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan
Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah
menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh
seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap
perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu
karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan
negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran Fiqh Islam pada masa ini mempunyai
karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran
11

liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini.


mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan
sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang
khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran Fiqh
semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan
penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut
madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak
dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada
tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang
dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
1. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam
mereka mereka disebut ulama takhrij
2. Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik
dalam segi riwayat dan dirayah.
3. Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah.
Mereka menyusun kitab al-khilaf.
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini
telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan Fiqh Islam adalah
sebagai berikut:
1. Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa
yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab
terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2. Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam
uaraian yang sungkat
3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah
permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang Ushul Fiqh.
Terhentinya ijtihad dalam Fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti
12

pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru


memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini
ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan
hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terekenal adalah:
1. Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu
Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi (w.340H.)
2. Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali
Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-
Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan
Ushul Fiqh pada abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang
membahas Ushul Fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti
yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang
membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk
menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada
sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana
dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan
corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu Ushul Fiqh
pada awal abad 4 H, juga tampak pula pada abad ini pengaruh
pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut
ilmu manthiq dalam ilmu Ushul Fiqih.
3. Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya
beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban
dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga
di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu
disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
13

Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang


menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk
mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd.
Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri,
Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali
dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para
pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak
mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada
bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman, itulah
sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa
menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan
menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 5 H dan 6
H ini merupakan periode penulisan Ushul Fiqh terpesat yang
diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam
pengkajian ilmu Ushul Fiqh slanjutnya.
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang ditulis pada zaman ini, disamping
mencerminkan adanya kitab Ushul Fiqh bagi masing-masing
madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran Ushul Fiqh, yakni aliran
hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqoha, dan aliran Mutakalimin
C. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
1. Aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakalimin (Ahli Kalam)
Membangun usul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Dalam menetapkan
kaidah,menggunakan alasan yang kuat,baik dari dalil naqli/aqli,tanpa di
pengaruhi masalah furu’ madzhab,sehingga kaidah ada kalanya sesuai
dan sesuai dengan masalah furu’. Permasalahan yang di dukung naqli
dapat di jadikan kaidah.
Terlalu difokuskan pada masalah teoritis,sering tidak bisa
menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa sangat dominan seperti
penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dicapai akal
14

atau tidak),dan taqbih (menanggap sesuatu itu buruk dan dicapai akal
atau tidak ). Biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim
(pembuat hukum syara) yang berkaitan pula dengan masalah aqidah.
Seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan
terhadap kema’shuman Rosulallah SAW.
Kitab : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’i), Al-Mu’tamad (Abu Al-
husain muhammad ibnu Ali Al-Bashri), Al-Burhabn fi usul fiqih (Imam
Al-Haramain Al-Jawaini),Al-mankhul min ta’liqat Al-Ushul,Shifa Al-
ghalil fi Bayan Asy-Syabah wa Al-Mukhil wa Masalik At-Ta’lil,Al-
Mushfa fi ilmi Al-Ushul (Imam Abu Hamid Al-Ghazali).
2. Aliran Fuqaha (Ulama Madzhab Hanafi )
Karena dalam menyusun teorinya aliran ini banyak di pengaruhi oleh
furu’ yang ada dalam mazhab mereka.
Berusaha untuk menetapkan kaidah-kaidah yang mereka susun
terhadap furu’ apabila sulit,mereka mengubah kaidah baru agar bisa
diterapkan pada masalah furu’ tersebut.
Kitab : Al-ushul (Imam Abu Hasan Al-karkhi), Al-ushul (Abu Bakar
Al-Jashshash),Ushul Al-sarakhsi (Imam Al-sarakhsi), ta’sis n-nazhar
(Imam Abu Zaid Al-Dabusi) dan Al-kasyaf Al-Asrar (Imam Al-
Bazdawi).
Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :
1. At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi
(w.861 H)
2. Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah (w.747.H)
3. Jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-
Subki Asy-Syafi’i (w.771 H)
4. Musallam Ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd.Al-
Syakur (w.1119 H) (Ad-Dimasyqi : 42-43)
D. Karya Ilmiah Usul Fiqh
Aliran fuqaha, munculah nama-nama usuiy berikut karyanya, antara lain,
seperti di bawah ini.
15

1. Abu al-hasanUbaidillah al-Karakhi (w.340 H), dengan karyanya Risalt


al-Karakhi fi al Usul.
2. Abu Bakr Ahmad al- Jashhash (w.370), dengan karyanya al-Usul atan
Usul al-Jassas.
3. Abu Zayd Abdillah al-Dabusi (w.430), dengan karyanya taqwin al-
adilllah
4. Abu al- Hasan Ali al-Bazdawi (w.482), dengan karyanya Kanz al-wusul
ila Ma’rifat al-Usul
5. Abu Bakr Muhammad al-Sarkhasi (w.483), dengan karyanya al-Usul
atau Usul al-Sarkhasi
6. Abu al-Barakat Abdillah Hafizudddin al-Nasafi,( 710), dengan
karyanya Manar al-Anwar, yang kemudian diberi syarah oleh beliau
sendiri dengan judul Kasyf al-Asrar Syarh Manar al-Anwar.
Sementara dari aliran moderat-kompromistis, muncul pula nama-nama
usuliy berikut karyanya antara lain, seperti di bawah ini.
1. Muzhafaruddin Ahmad al-Hanafi (w.649H), populer dengan panggilan
Ibnu al-sa’ati, dengan karyanya Badi’al al-Nizam al-Jami’ bain al-
Bazdawi wa al-Ihkam
2. Shadr al-Syari’ah Ubaidillah al-Hanafi (w. 747 H) dengan karyanya al-
tanqih. Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Sa`duddin Mas1ud al-
Taftazani melalui karyanya al-Talwih Syarh al- tanqih.
3. Tajuddin al-Subki (w. 771 H), dengan karyanya Jam’al-Jawamu’.
4. Kamaluddin Muhammad al-Hanafi (w.861 H), populer dengan
panggilan al-kamal bin al-Hummam, dengan karyanya al-Tahri.
5. Muhibbuddin al-Bihari al-Hanafi (w.1119 H), dengan karyanya
Musallam al-Tsubut. Kitab ini kemudian diberi syarah oleh Abdul Ali
Muhammad al-Anshari melalui karyanya Fawatih al-Rahmat.
Varian lain dari aliran moderat-kompromistis ii ialah pola pikir yang
bertumpu pada takhrij al-furu ‘ala al-usul. Varian poapikir ini dimunculkan
oleh ulama usuliy kondang berikut karyanya, antara lain, yaitu sebagai
berikut:
16

1. Syihabudin Mahmud al-zanjani (w.656 H), dengan karyanya takhrij al-


Furu ‘ala al-Usul.
2. Abu Abdillah Muhammad al Maliki al-Tilimsani (w.771H), dengan
karyanya miftah al-Wusul ila Bina al-Furu ‘ala al-Usul.
3. Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi al-syafi’i (w.772H), al-Tamhid fi
Takhrij al-Furu ‘ala al-Usul.
4. Muhammad bin Abdillah al-Timirtasyi al-Hanafi (w.1004 H), dengan
karyanya al-Wusul ila Qawa’id al-Usul.
5. Ali bin Muhammad Al-Hanbali (w. 803 H), populer dengan panggilan
Ibnu al-Lahham, dengan karyanya al-Qawa’id wa al-Fawai’id al-
Usuliyyah.
Demikian sebagian tokoh pemikir Ushul Fiqh berikut karyanya, yang lahir
mengiringi dinamika sejarah Ushul Fiqh, sebagai salah satu tonggak penting
ilmu syariah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan :
1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman
Rasulullah SAW, Sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode
pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata
lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya.
Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan
menetapkan hukum maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salah satu
upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya
kehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada
abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh terus berkembang menuju
kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut
merupakan abad keemasan penulisan ilmu Ushul Fiqh karena banyak
ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang Ushul Fiqh dan juga
muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan untuk Ushul
Fiqh selanjutnya.
B. Saran

Dalam menyusun makalah ini mungkin belumlah sempurna maka dari itu

Kami berharap untuk hendaknya memberikan Kami penjelasan lebih atau

pemberian.

17
DAFTAR PUSTAKA

Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka


Pelajar Offset, 1996.
https://www.academia.edu/5057784/Makalah_ushul_fiqih_kel_1_Sejarah_Perkembangan
_Ushul_Fiqh_Periodisasi_Zaman_Nabi_Sahabat_and_Tabi_in_Munculnya_Ushul_
Fiqh_Aliran-Aliran_and_Karya_Ilmiah?auto=download
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007.

Anda mungkin juga menyukai