Makalah ini diajukan dalam rangka untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Perbankan Syariah
Oleh :
Kelompok III
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak dan sumber, tantangan
itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha
Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan 17
B. Saran ` 17
DAFTAR PUSTAKA
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh
dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul
Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul
fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman
Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i,
semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di
antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di
samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in
inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama
ketika itu. (Abu Zahro : 12 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in
atau pada masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah
istinbath yang digunakan juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu
Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam
Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis
ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman
Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam
mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran
belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum
terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
1
2
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di
rumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perkembangandan periodisasi Ushul Fiqh zaman Nabi,
Sahabat, dan tabi’in?
2. Bagaimana munculnya Ushul Fiqh?
3. Bagaimana aliran-aliran Ushul Fiqh?
4. Apa saja karya-karya ilmiah yang ada dalam perkembangan Ushul Fiqh?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perkembangan dan periodisasi Ushul Fiqhpada zaman
Nabi, Sahabat, dan tabi’in.
2. Untuk mengetahui proses munculnya Ushul Fiqh.
3. Untuk mengetahui aliran-aliran Ushul Fiqh.
4. Untuk mengetahui karya-karya ilmiah yang ada dalam Ushul Fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk
mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah
memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan
hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan
masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat
terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung
kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan
keduniaan Rasulullah bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi
yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang
melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam
mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas,
Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan
melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat
kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
جات ا مر ا ة خثيمية فقا لت يا ر سو ل ا هلل ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم يحج و هو ال
يتمسك على الر حا لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل هللا عليه و سلم ار ايت لو كا ن على ا
بيك دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا هلل ا حق ان يقض
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan
bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji,
dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus
melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya
bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah
engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab, Ya, Nabi berkata
utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu
ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang
keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap
5
berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga
mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan
dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-
jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja
antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para
ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di
atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam
menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan
banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam.
Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik
berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam
ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit
menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami
nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-
kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara'
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah
lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah
Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama
kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam
Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama
kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-
alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam
sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab
9
dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh
karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta
Ilmu Ushul Fiqh.
B. Munculnya Ushul Fiqh dan Tahapan Perkembangnya
Secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
1. Tahap Awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam
semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam
abad ini adalah : Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al
Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah
terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari
kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan
semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh
yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih
yang disebut Ushul Fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqh yang pertama-tama
tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah
karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang
bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul
fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan
kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul
fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh
kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-
dalil syari'at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka
datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan
kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun
kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung pada
Asy-Syafi'i karena Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama
kalinya.
10
atau tidak),dan taqbih (menanggap sesuatu itu buruk dan dicapai akal
atau tidak ). Biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim
(pembuat hukum syara) yang berkaitan pula dengan masalah aqidah.
Seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan
terhadap kema’shuman Rosulallah SAW.
Kitab : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’i), Al-Mu’tamad (Abu Al-
husain muhammad ibnu Ali Al-Bashri), Al-Burhabn fi usul fiqih (Imam
Al-Haramain Al-Jawaini),Al-mankhul min ta’liqat Al-Ushul,Shifa Al-
ghalil fi Bayan Asy-Syabah wa Al-Mukhil wa Masalik At-Ta’lil,Al-
Mushfa fi ilmi Al-Ushul (Imam Abu Hamid Al-Ghazali).
2. Aliran Fuqaha (Ulama Madzhab Hanafi )
Karena dalam menyusun teorinya aliran ini banyak di pengaruhi oleh
furu’ yang ada dalam mazhab mereka.
Berusaha untuk menetapkan kaidah-kaidah yang mereka susun
terhadap furu’ apabila sulit,mereka mengubah kaidah baru agar bisa
diterapkan pada masalah furu’ tersebut.
Kitab : Al-ushul (Imam Abu Hasan Al-karkhi), Al-ushul (Abu Bakar
Al-Jashshash),Ushul Al-sarakhsi (Imam Al-sarakhsi), ta’sis n-nazhar
(Imam Abu Zaid Al-Dabusi) dan Al-kasyaf Al-Asrar (Imam Al-
Bazdawi).
Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :
1. At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi
(w.861 H)
2. Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah (w.747.H)
3. Jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-
Subki Asy-Syafi’i (w.771 H)
4. Musallam Ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd.Al-
Syakur (w.1119 H) (Ad-Dimasyqi : 42-43)
D. Karya Ilmiah Usul Fiqh
Aliran fuqaha, munculah nama-nama usuiy berikut karyanya, antara lain,
seperti di bawah ini.
15
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan :
1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman
Rasulullah SAW, Sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode
pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata
lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya.
Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan
menetapkan hukum maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salah satu
upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya
kehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada
abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh terus berkembang menuju
kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut
merupakan abad keemasan penulisan ilmu Ushul Fiqh karena banyak
ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang Ushul Fiqh dan juga
muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan untuk Ushul
Fiqh selanjutnya.
B. Saran
Dalam menyusun makalah ini mungkin belumlah sempurna maka dari itu
pemberian.
17
DAFTAR PUSTAKA