Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Susunan pengadilan diaur dalam bab II pasal 6 sampai dengan pasal
48 UU NO.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama . pasal 6 menetapkan
bahwa pengadilan terdiri dari Pengadilan Agama terdiri dari Pengadilan
Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
sebagai pengadilan tingkat banding. Secara vertikal, kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan agama ini berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara tertinggi. Secara horizontal, susunan Pengadilan Agama
berkedudukan pada setiap kota madya atau kabupaten. Sedang Pengadilan
Tinggi Agama berkedudukan pada setiap ibu Kota Provinsi.
Susunan organisasi Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
diatur dalam pasal 9 UU No.7 Tahun 1989 dan seterusnya. Ayat (1) pasal ini
menentukan bahwa susunan Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim
anggota, penitera, sekretaris, dan juru sita. Sedang ayat (1) menetapkan
tentang susunan pengadilan Tinggi Agama yang terdiri atas pimpinan, hakim
anggota, panitera, dan sekretaris.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Struktur Organisasi Pengadilan Agama ?
2. Bagaimana Hubungan Pengadilan Agama Dengan Mahkamah Agung Dan
Depag ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Struktur Organisasi Pengadilan Agama


Struktur organisasi Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
diatur dalam UU No.7 Tahun 1989. Menurt ketentuan pasal 9 UU No.7
Tahun 1989 tersebut adalah:1
a. Struktur Pengadilan Agama
Struktur organisasi Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, sekretaris, dan juru Sita.2
1) Pimpinan Pengadilan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan wakil
ketua. Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan
Mahkamah Agung.
2) Hakim
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman. Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung.
3) Panitera
Panitera adalah seorang pejabat yang memimpin kepaniteraan.
Dalam melaksanakan tugasnya. Panitera dibantu oleh seorang wakil
panitera. Beberapa panitera muda, beberapa panitera pengganti, dan juru
sita. Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti
pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah
Agung.

1
Gemala Dewi, Dkk, Hukum Aacara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana berkerjasana dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Unikversitas Indonesia, 2006),
hal.83

2
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003),
cet. IV, Hal.190

2
4) Sekretaris
Sekretaris adalah seorang pejabat yang memimpin secretariat.
Dalam melaksanakan tugasnya sekretaris dibantu oleh seorang wakil
sekretaris. Panitera pengadilan merangkap sekretaris pengadilan.
Wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Mahkamah Agung.

5) Juru Sita
Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya juru sita dan juru sita
pengganti yaitu pejabat yang melaksanakan tugas-tugas kejurusitaan.
Juru sita Pengadilan Agama diankat dan diberhentikan oleh
Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Juru sita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan
yang bersangkutan.3

b. Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Agama


Struktur organisasi Pengadilan Tinggi Agama hampir sama dengan
susunan organisasi Pengadilan Agama. Perbedaaannya pada juru sita
dalam kelompok fungsional dan panitera muda. Juru sita tidak terdapat
dalam struktur organisasi Pengadilan Tinggi Agama karena Pengadilan
Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan,
dan eksekusi. Sedangkan jumlah panitera muda pada Pengadilan Tinggi
Agama terdiri dari Panitera Muda Banding dan Panitera Muda Hukum.4

3
Musthofa SY, Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal.21

4
Musthofa SY, Kepaniteraan Peradilan Agama,hal. 22

3
B. Hubungan Peradilan Agama Dengan Mahkamah Agung dan Departemen
Agama
1. Hubungan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung dan
Departemen Agama Sebelum Lahirnya UU no. 35 Tahun 1999 dan UU
no. tahun 2004.

Sebelum Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan


Kehakiman, bahkan sebelum dikeluarkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan-
Kekuasaan Pokok Kehakiman, ketika itu yang berlaku adalah Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970. Pasal 10 ayat 1-nya yang menyatakan menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a)
Peradilan Umum; (b) Peradilan Agama; (c) Peradilan Militer; (d) Peradilan
Tata Usaha Negara.
Adapun mengenai proses penyelengaraan peradilan (lingkungan
Peradilan Agama) yang terkait langsung dengan Mahkamah Agung adalah
mengenai upaya hukum kasasi. Tentang kasasi dinyatakan dalam Pasal 20
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa:
“Atas putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada pihak Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan
yang diatur dalam undang-undang ”.
Ketentuan undang-undang inilah yang dipegang Departemen Agama
c.q. Ditbinbapera dengan edaran No. DIV/Ed/1989/1978 tanggal 01 mei 1978,
tetap mempertahankan bahwa dilingkungan peradilan agama putusan tingkat
banding adalah putusan akhir, artinya di lingkungan Peradilan Agama tidak ada
kasasi karena undang-undang untuk itu belum diterbitkan/belum lahir. Sedang
dipihak Mahakamah Agung berpendapat bahwa hal-hal dilapangan yang
berkaitan dengan hukum acara, yang kalau dirasakan kebutuhannya,
Mahkamah Agung berwenang mengaturnya yang selama ini diberi bentuk
peratuan-peraturan Mahkamah Agung. Dasar kewenangan ini adalah Pasal 131

4
Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan
Pengadilan Mahkamah Agung.
Pihak Mahkamah Agung tetap bersikukuh tanpa Undang-Undang yang
dikehendaki oleh Pasal 20 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kasasi bisa dijalankan dengan
peraturan Mahkamah Agung. Sebagai tindak lanjut pendirian tersebut,
Mahakamah Agung pada tanggal 26 November 1977 mengeluarkan peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977 tentang jalan pengadilan dalam
pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata dan perkara pidana oleh Pengadilan
Agama dan Pengadilan Militer.
Dan pada hari yang sama yakni 26 November 1977, Mahkamah Agung
mengeluarkan edaran no. 4 tahun 1977, perihal pelaksanaan jalan pengadilan
pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata dan pidana di Peradilan Agama dan
Peradilan Militer. Maka dengan keluarnya peraturan Mahkamah Agung No. 1
Tahun 1977 permohonan kasasi dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama dan Peradilan militer sudah dapat diajukan kepada Mahkamah Agung
untuk dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Sehingga Departemen Agama c.q. Ditbinbapera pada tanggal 26 Juni
1977 mengeluarkan edaran No. EV/Ed/1966/1979 yang isinya mencabut
edaran No. DIV/Ed/1989/1978 tanggal 01 Mei 1978. Edaran EV/Ed/1966/1979
ini berisi 9 poin. Dari 9 poin ini menjelaskan bahwa edaran ini mencabut
edaran 01 Mei 1978 dan selanjutnya dalam menangani perkara kasasi dikirim
ke Mahakamah Agung.
Sejak inilah upaya hukum terakhir bagi para pihak yang mohon
keadilan dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Sejak terbukanya pintu kasasi dari
perkara-perkara Peradilan Agama tersebut, maka menurut pakar hakim
semakin tampak keluar, bahwa lembaga Peradilan Agama adalah lembaga yang
setaraf dengan pengadilan-pengadilan lain, yang semua lingkungan peradilan
tersebut adalah pemegang kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945.

5
Setelah kasasi dijalankan sebagaimana layaknya, maka pembinaan
hubungan Departemen Agama dan Mahkamah Agung mengambil bentuk
kongkrit (dengan Direktur Peradilan Agama yang baru), dalam bentuk raker.
Langkah I yang diadakan adalah rapat kerja bersama, rapat kerja
bersama ini yang pertama kalinya dalam sejarah Peradilan Agama di Indonesia
yang dihadiri oleh pihak Mahkamah Agung, Departemen Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia yang dilakasanakan pada tanngal 29
Mei 1981. Rapat merekomendasikan diprioritaskannya penyusunan RUU-PA.
Rekomendasi serupa diulang pada rapat kerja bersama II (19-20 Juni 1982).
Tetapi kedua rekomendasi tersebut belum teralisasikan. Baru pada tahun 1982,
dengan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : G-164-PR-09.03 Tahun 1982
dibentuk Panitia/ Tim Pembahasan Agama dan penyusunan RUU tentang acara
Peradilan Agama dan Panitia Interdepartemental Penyusunan RUU tentang
acara Peradilan Agama. Atas biaya Menteri Agama, dibentuk pula Tim
Pembahasan dan Penyusunan RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan
Peradilan Agama. Setelah melalui proses dan pertimbangan, akhirnya
pekerjaan kedua tim itulah diajukan oleh Pemerintah kepada DPR sebagai
RUU PA. Anehnya meskipun RUU PA itu jelas-jelas merupakan pelaksanaan
Pasal 10 dan 12 UU No. 14 Tahun 1970, reaksi menentang RUU PA demikian
deras dengan berbagai alasan. Akhirnya berkat pengertian dan perjuangan
semua pihak, RUU PA disahkan menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.5

5
Asep Ridwan H, S.Hi, M.Ag, “Kompetensi Peradilan Agama Setelah Kemerdekaan RI”,
http://pa-kalianda.go.id/gallery/artikel/192-kompetensi-peradilan-agama-setelah-kemerdekaan-
ri.pdf. diakses 14 Maret 2016

6
2. Hubungan Peradilan Agama dengan Mahakamah Agung dan
Departemen Agama Sesudah Lahirnya UU No. 35 Tahun 1999 dan UU
No. 4 Tahun 2004

Pada tanggal 31 Agustus 1999 keluarlah Undang-Undang No. 35 Tahun


1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam perubahan ini menentukan
mengenai: pertama, badan-badan Peradilan Agama secara oraganisatoris,
administratif, dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahakamah Agung. Ini
berarti Kekuasaan Departemen Agama terhadap Peradilan Agama dalam
bidang-bidang tersebut, yang sudah berjalan semenjak proklamasi, akan beralih
ke Mahkamah Agung.
Kedua, pengalihan organisasi, administasi, dan finansial dari
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara
ke Mahakamah Agung dan ketentuan pengalihan untuk masing-masing
lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing serta dilaksanakan secara
bertahap selama lima tahun. Sedangkan Peradilan Agama waktunya tidak
ditentukan.
Ketiga, ketentuan mengenai tata cara pengadilan secara bertahap
tersebut ditentukan dengan keputusan presiden.
Kemudian pada tanggal 15 Januari 2004 keluarlah Undang-undang No.
4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang menambah satu lingkungan
peradilan lagi, yakni Mahkamah Konstitusi.6 Sedang mengenai waktu
pengalihannya, yang berkaitan dengan organisasi, adminsitrasi, dan finansial di
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara ke Mahakamah Agung, diatur dengan Keputusan Presiden RI No. 21
Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial di

6
UU No. 4 tahun 2004 pasal 10 ayat 1.

7
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradailan Militer
dan Peradilan Agama ke Mahakamah Agung, tanggal 23 Maret 2004.
Jadi mulai 30 juni 2004 sesuai dengan bunyi kepres tersebut pada pasal
2 menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat
Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah
syariah Provinsi, Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dialihkan dari
Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Dengan beralihnya Peradilan Agama ke Mahkamah Agung maka jika
semula Peradilan Agama terkait dengan Mahkamah Agung karena pembinaan
teknis yuridis saja, sedang hubungannya dengan Departemen Agama karena
pembinaan adminstrasi, organisasi dan finansial, kini semuanya telah beralih
ke Mahkamah Agung. Jadi, secara teknis Peradilan Agama tidak terkait lagi
dengan Departemen Agama walau dalam catatan sejarah tetap terukir bahwa
Peradilan Agama dilahirkan dari Induknya yakni Departemen Agama RI.

8
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dari penjelasan tentang struktur dan pembagian tugas personal struktur
organisasi dapat di simpulkan bahwa Untuk struktur organisasi pengadilan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di atur dalam UU Nomor 7
Tahun 1989. Ketentuan tersebut terdapat pada pasal 9 UU Nomor 7 Tahun 1989
yang menyebutkan bahwa: struktur organisasi Pengadilan Agama terdiri dari
pimpipinan, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita dan untuk struktur
organisasi Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpipinan, hakim anggota,
panitera, sekretaris.
Untuk tugas personal dari struktur organisasi tersebut adalah tergantung
dengan jabatan yang di pangkunya. Baik tugas struktural maupun tugas fungsional
yang harus dilaksanakannya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas apa saja tugas-
tugas yang harus dilaksanakan.

B. Saran
Demikianlah isi pembahasan makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan baik dari segi penulisan maupun penuturan. Oleh karena itu kritikan
dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi tercapainya
kesempurnaan makalah kami di masa mendatang

9
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Oemar Seno. 1985. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet. VI, 2005.
Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan pengawasan di
Lingkungan Lembaga Peradilan, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007.
Chaniago, J.R dkk. 1987. Lembaga Tinggi Negara, Jakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
cet. IV 2003.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Depatemen Agaman Republik
Indonesia, Himpunan Peraturaan Perundang-undangan Perkawinan,
Jakarta: Depag RI, 2009.
Djalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Dkk, Gemala Dewi, Hukum Aacara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia,
Jakarta: Kencana berkerjasana dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum
Unikversitas Indonesia, 2006.3
Halim, Abdul. 2002. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

10

Anda mungkin juga menyukai