Anda di halaman 1dari 10

MODUL HUKUM ASURANSI – PERTEMUAN 3

TENTANG

HUBUNGAN PERJANJIAN ASURANSI DENGAN BUKU III KUHPERDATA

A. Asuransi Sebagai Suatu Perjanjian


Perjanjian Asuransi atau perjanjian pertanggungan secara umum oleh KUHPerdata
disebutkan sebagai salah satu bentuk perjanjian untung – untungan, sebenarnya merupakan satu
penerapan yang sama sekali tidak tepat. Peristiwa yang belum pasti terjadi itu merupakan syarat
baik dalam perjanjian untung – untungan maupun dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan.
Perjanjian itu diadakan dengan maksud untuk memperoleh suatu kepastian atas kembalinya
keadaan atau ekonomi sesuai dengan semula sebelum terjadi peristiwa. Batasan perjanjian
asuransi secara formal terdapat dalam Pasal 246 KUHD.
Perjanjian asuransi dilihat dari bentuknya adalah perjanjian konsensual. Perjanjian
konsensual adalah suatu perjanjian yang sudah terbentuk sejak adanya kata sepakat. Asas
konsensualisme ini dalam hukum perjanjian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata.
Sifat konsensual dari perjanjian asuransi ini terdapat dalam Pasal 257 KUHD yang
menentukan bahwa:
“Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ditutup; hak – hak dan kewajiban –
kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu,
bahkan sebelum polisnya ditandatangani.”
Sejak saat ditutupnya, perjanjian asuransi itu sudah terbentuk, bahkan sebelum polis
ditandatangani sekalipun. Pasal 257 KUHD tersebut merupakan penerobosan terhadap Pasal 255
KUHD yang mensyaratkan bahwa perjanjian asuransi harus dibuat dalam suatu akta yang
dinamakan polis. Akan tetapi dengan adanya polis sebagai syarat mutlak tidak berarti asuransi
merupakan perjanjian formal. Hal ini karena berdasarkan Pasal 257 KUHD bahwa asuransi
sudah terbentuk sejak adanya kata sepakat. Suatu premi mengikatkan dirinya terhadap
tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kerusakan kerugian atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang dapat diderita olehnya, karena suatu kejadian yang belum
pasti.
Perjanjian asuransi sebagai perjanjian yang bertujuan memberikan proteksi. Dapat dilihat
dari batasan Pasal 246 KUHD, lebih lanjut ditelaah unsur – unsur sebagai berikut:
1. Pihak pertama ialah Penanggung, yang dengan sadar menyediakan diri untuk menerima
dan mengambil alih risiko pihak lain.
2. Pihak kedua adalah Tertanggung, yang dapat menduduki posisi tersebut dalam
perorangan, kelompok orang atau lembaga, badan hukum termasuk perusahaan atau
siapapun yang dapat menderita kerugian.
3. Hal – Hal yang Menyebabkan Perjanjian Asuransi Berakhir

Untuk menyatakan kapan terjadinya perjanjian asuransi yang dibuat oleh tertanggung dan
penanggung itu terjadi dan mengikat kedua pihak terdapat 2 (dua) teori perjanjian yaitu:
1. Teori Tawar-Menawar (bargaining theory)
Menurut teori ini setiap perjanjian hanya akan terjadi antara kedua pihak apabila
penawaran (offer) dari pihak yang satu dihadapkan dengan penerimaan (acceptance) oleh
pihak lainnya dan sebaliknya. Hasil yang diharapkan adalah kecocokan/kesesuaian
penawaran dan penerimaan secara timbal balik antara kedua pihak. Titik temu antara
penawaran dan penerimaan secara timbal balik menciptakan kesepakatan yang menjadi
dasar perjanjian antara kedua pihak. Terjadinya perjanjian asuransi didahului oleh
serangkaian perbuatan penawaran dan penerimaan yang yang dilakuakan oleh
tertanggung dan penanggung (Perusahaan Asuransi) secara timbal balik.
2. Teori Penerimaan (acceptance theory)
Menurut teori penerimaan, saat terjadi perjanjian tergantung pada kondisi kongkret yang
dibuktikan oleh perbuatan nyata (menerima) atau dokumen perbuatan hukum (bukti
penerimaan). Melalui perbuatan nyata atau dokumen perbuatan hukum, baru dapat
diketahui saat terjadi perjanjian,yaitu di tempat, pada hari dan tanggal perbuatan nyata
(penerimaan) itu dilakukan, atau dokumen perbuatan hukum (bukti penerimaan) itu
ditanda tangani/diparaf oleh pihak-pihak. Berdasarkan teori penerimaan, perjanjian
asuransi terjadi dan mengikat pihak-pihak pada saat penawaran sungguh-sungguh
diterima oleh tertanggung. Sungguh-sungguh diterima artinya penawaran tertulis pihak
penanggung sungguh-sungguh diterima oleh pihak tertanggung walaupun isi tulisan itu
belum dibacanya. Sungguh-sungguh diterima itu dibuktikan oleh tindakan nyata
tertanggung, biasanya dengan menandatangani suatau pernyataan yang diberikan oleh
penanggung yang disebut nota persetujuan (cover note). Atas dasar nota persetujuan ini
kemudian dibuatkan akta perjanjian asuransi oleh penanggung yang disebut polis
asuransi.
Perjanjian asuransi terjadi ketika setelah tercapai kesepakatan antara tertanggung dan
penanggung, hak dan kewajiban timbal balik terjadi saat itu, bahkan sebelum polis
ditandatangani (Pasal 257 Ayat(1) KUHD). Polis ini merupakan alat bukti tertulis untuk
membuktikan bahwa asuransi telah terjadi (Pasal 285 Ayat(1) KUHD) Dalam Pasal 257 KUHD
memberi ketegasan walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi tercapai kesempatan
antara tertanggung dan penanggung yang dibuktikan dengan nota persetujuan (cover note) yang
ditandatangani oleh tertanggung. Untuk membuktikan telah terjadi kesepakatan antara
tertanggung dan penanggung, undang-undang mengharuskan pembuktian dengan alat bukti
tertulis berupa akta yang disebut polis. Akan tetapi, apabila polis belum dibuat pembuktian
dilakukan dengan nota persetujuan (cover note) yang dibuat pada setelah terjadi kesepakatan
tertanggung dan penanggung. Jadi cover note merupakan bukti perjanjian asuransi yang bersifat
sementara, sebelum polis diterbitkan oleh pihak penanggung (Perusahaan Asuransi).
Ada empat hal yang menyebabkan Perjanjian Asuransi berakhir, antara lain sebagai berikut:
1. Karena terjadi evenemen
Dalam asuransi jiwa, satu – satunya evenemen yang menjadi beban penanggung adalah
meninggalnya Tertanggung. Terhadap evenemen inilah diadakan asuransi jiwa antara
Tertanggung dan Penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang diperjanjikan terjadi
peristiwa meninggalnya Tertanggung, maka Penanggung berkewajiban membayar uang
santunan kepada penikmat yang ditunjuk oleh Tertanggung atau ahli warisnya. Sejak
Penanggung melunasi pembayaran uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi jiwa
berakhir. Asuransi jiwa berakhir sejak pelunasan uang santunan, bukan sejak
meninggalnya Tertanggung (terjadi evenemen). Menurut hukum Perjanjian, suatu
perjanjian yang dibuat oleh pihak – pihak berakhir apabila prestasi masing – masing
pihak telah dipenuhi. Karena asuransi jiwa adalah Perjanjian, maka asuransi berakhir
sejak Penanggung melunasi uang santunan sebagai akibat meninggalnya Tertanggung.
Dengan kata lain, asuransi berakhir sejak terjadi evenemen yang dilunasi dengan
pelunasan klaim.
2. Karena jangka waktu berakhir
Dalam asuransi tidak selalu evenemen yang menjadi beban Penanggung itu terjadi
bahkan sampai berakhirnya jangka waktu asuransi. Apabila jangka waktu berlaku
asuransi itu habis tanpa terjadi evenemen, maka beban risiko Penanggung berakhir. Akan
tetapi, dalam perjanjian ditentukan bahwa Penanggung akan mengembalikan sejumlah
uang kepada Tertanggung apabila sampai jangka waktu asuransi habis tidak terjadi
evenemen. Dengan kata lain, asuransi berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis
diikuti dengan pengembalian sejumlah kepada Tertanggung.
3. Karena Asuransi Gugur
Dalam ketentuan Pasal 306 KUHD, menyatakan bahwa;
“Apabila orang yang diasuransikan jiwanya pada saat diadakan asuransi ternyata sudah
meninggal, maka asuransinya gugur, meskipun Tertanggung tidak mengetahui kematian
tersebut, kecuali jika diperjanjikan lain.”
Kata – kata bagian akhir dalam pasal ini “Kecuali jika diperjanjikan lain” memberi
peluang kepada pihak – pihak untuk memperjanjikan menyimpang dari ketentuan pasal
ini, misalnya asuransi yang diadakan untuk tetap dinyatakan sah asalkan Tertanggung
betul – betul tidak mengetahui telah meninggalnya itu. Apabila asuransi itu gugur,
bagaimana dengan premi yang sudah dibayar karena Penanggung tidak menjalani risiko?
Hal ini pun diserahkan kepada pihak – pihak untuk memperjanjikannya. Pasal 306
KUHD ini mengatur asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga.
Dalam ketentuan Pasal 307 KUHD, juga menyatakan bahwa; “Apabila orang yang
mengasuransikan jiwanya bunuh diri, atau dijatuhi hukuman mati, maka asuransi jiwa itu
gugur,”
Menurut Purwosutjipto, penyimpangan dari ketentuan ini masih mungkin, sebab
kebanyakan asuransi jiwa ditutup dengan sebuah klausul yang memperbolehkan
Penanggung melakukan prestasinya dalam hal ada peristiwa bunuh diri dan badan
Tertanggung asalkan peristiwa itu terjadi sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak
diadakan asuransi. Penyimpangan ini akan menjadikan asuransi jiwa lebih supel lagi.
4. Karena asuransi dibatalkan
Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan sebelum jangka waktu berakhir.
Pembatalan tersebut dapat terjadi karena Tertanggung tidak melanjutkan pembayaran
premi sesuai dengan perjanjian atau karena permohonan Tertanggung sendiri. Pembatalan
asuransi dapat terjadi sebelum premi mulai dibayar ataupun sesudah premi dibayar
menurut jangka waktunya. Apabila pembatalan sebelum premi dibayar, tidak ada
masalah. Akan tetapi, jika adanya pembatalan setelah pembayaran premi selama sekali
atau beberapa kali akan menimbulkan permasalahan. Karena asuransi didasarkan pada
Perjanjian, maka penyelesaiannya bergantung juga pada kesepakatan pihak – pihak yang
dicantumkan dalam Polis.

B. Hubungan Perjanjian Asuransi Dengan Buku III KUHPerdata


Pelaksanaan asuransi telah diatur sejak sebelum kemerdekaan yaitu dalam KUH Perdata,
yang kemudian secara khusus diatur juga dalam KUHD, yang berarti ketentuan yang terdapat
dalam KUH Perdata sebagai ketentuan umum dapat berlaku bagi KUHD sebagai ketentuan
khusus, selama belum diatur sebaliknya. Karena asuransi adalah suatu perjanjian maka
berdasarkan pada Pasal 1 KUH Dagang, ketentuan perikatan dan perjanjian yang terdapat dalam
buku III KUH Perdata dapat berlaku bagi perjanjian asuransi selama KUH Dagang tidak
mengatur sebaliknya.100

Rumusan Pasal 1313 KUH Perdata memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu

perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi

atau disebut Debitor dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut atau

disebut Kreditor.102 Masing-masing pihak tersebut terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan

dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan

hukum.103 Berkaitan dengan kepentingan pemegang polis terdapat beberapa ketentuan dalam

KUH Perdata dan KUH Dagang, yaitu:104

1. Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu: sepakat
mereka mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu, suatu
sebab yang halal. Ketentuan ini memberikan konsekuensi bahwa pemegang polis yang
berpendapat bahwa terjadinya perjanjian asuransi karena adanya kesesatan, paksaan dan
penipuan (dwaling, dwang dan bedrog) dari penanggung dapat mengajukan permohonan
pembatalan perjanian asuransi ke pengadilan. Apabila perjanjian asuransi tersebut
dinyatakan batal baik seluruhnya maupun sebagian dan tertanggung/ pemegang polis
beritikad baik, maka pemegang polis berhak menuntut pengembalian premi yang telah
dibayarkan.
2. Pasal 1266 KUH Perdata mengatur bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan
dalam perjanjian timbal balik apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Bagi pemegang polis hal ini harus diperhatikan sebab kemungkinan yang bersangkutan
terlambat dalam melakukan pembayaran premi. Namun hal ini tidak menyebabkan
perjanjian batal dengan sendirinya akan tetapi harus dimintakan pembatalan kepada
hakim. Dalam praktik biasanya dicantumkan dalam polis klausula yang menentukan
bahwa perjanjian asuransi tidak akan berjalan apabila premi tidak dibayar pada waktunya.
Hal ini untuk menghindari agar setiap terjadi kelambatan pembayaran premi tidak perlu
minta pembatalan kepada pengadilan karena dianggap kurang praktis.
3. Pasal 1267 diterapkan dalam perjanjian asuransi; jika penanggung yang memiliki
kewajiban memberikan ganti kerugian atau sejumlah uang terhadap tertanggung ternyata
melakukan inkar janji,maka pemegang polis dapat menuntut penggantian biaya, ganti
rugi dan bunga.
4. Dalam perjanjian asuransi, prestasi penanggung digantungkankan pada peristiwa yang
belum pasti terjadi. Untuk mencegah penanggung menambah syarat-syarat lainnya dalam
memberikan ganti rugi atau sejumlah uang,pemegang polis harus memperhatikan
ketentuan Pasal 1253 s.d. Pasal 1262 KUH Perdata.
5. Pasal 1318 KUH Perdata dapat digunakan oleh ahli waris dari pemegang polis untuk
menuntut penanggung memberikan ganti kerugian atau sejumlah uang kepada
penanggung. Pasal ini menetapkan bahwa jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal,
maka dianggap itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang yang
mempunyai hak dari padanya, kecuali dengan tegas ditetapkan tidak demikian
maksudnya.
6. Pasal 1338 mengandung beberapa asas dalam perjanjian. Pertama, asas kekuatan
mengikat.Asas ini jika dihubungkan dengan perjanjian asuransi berarti bahwa pihak
penanggung dan tertanggung/pemegang polis terikat untuk melaksanakan ketentuan
perjanjian yang telah disepakatinya. Pemegang polis mempunyai landasan hukum untuk
menuntut penanggung melaksanakan prestasinya. Kedua, asas kepercayaan mengandung
arti bahwa perjanjian melahirkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu
sama lain akan memenuhi janjinya untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan yang
diperjanjikan. Ketiga, asas itikad baik yang berarti semua perjanjian termasuk perjanjian
asuransi yang diartikan pula secara menyeluruh bahwa dalam pelaksanaan perjanjian para
pihak harus mengindahkan kenalaran dan kepatutan.
7. Pasal 1365 tentang perbuatan melanggar hukum dapat digunakan oleh pemegang polis
untuk menuntut penanggung bila dapat membuktikan bahwa penanggung telah
melakukan perbuatan yang merugikannya.

C. Beberapa Sifat Perjanjian Asuransi


Menurut Emy Pangaribuan simanjuntak dalam buku Hukum Asuransi Indonesia Karangan
Djoko Prakoso, dari Pasal 246 KUHD di atas bahwa sifat-sifat asuransi adalah dapat
diuraikan seperti di bawah ini:
1. Bahwa asuransi itu pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian (scadevergoeding atau
idemniteitscontract). Dalam hal ini jelas bahwa penanggung mengikat diri untuk
mengganti kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu
adalah seimbang dengan kerugian yang sesungguh-sungguhnya diderita (prinsip
indemitiet).
2. Bahwa asuransi itu adalah suatu perjanjian bersyarat artinya kewajiban mengganti rugi
dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tertentu atas mana ditiadakan
asuransi itu terjadi.
3. Asuransi adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya bahwa kewajiban penanggung
mengganti rugi dihadapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi itu tidak
bersyarat atau tidak digantungkan pada satu syarat.
Pendapat lain mengatakan perjanjian asuransi atau pertanggungan itu mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian penggantian kerugian (shcadeverzekering
atau idemniteits contract) Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian
karena pihak tertanggung menderita kerugian yang diganti itu adalah seimbang dengan
kerugian yang sungguh-sungguh diderita. Sifat perjanjian asuransi ini berkaitan dengan
penerapan prinsip idemnitas, sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 246 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang. Namun, yang perlu diperhatikan adalah mengenai
berlakunya asas idemnitas ini hanya dalam asuransi kerugian saja dan tidak berlaku
dalam asuransi sejumlah uang. Hal ini karena dalam asuransi sejumlah uang , ganti rugi
tidak diseimbangkan dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita, akan tetapi ganti
kerugian sudah ditetapkan sebelumnya pada waktu ditutupnya perjanjian asuransi. Hal ini
didasarkan bahwa pada asuransi sejumlah uang kepentinganntya tidak dapat dinilai
dengan uang.
2. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian bersyarat Perjanjian asuransi
adalah perjanjian yang bersifat aletair (aleatory), merupakan perjanjian yang prestasi
penanggung masih harus digantungkan pada peristiwa yang belum pasti, sedangkan
prestasi tertanggung sudah pasti meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasinya
dengan sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata.
3. Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), merupakan suatu perjanjian
yang prestasipenanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan
dalam perjanjian dipenuhi. Proteksi yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi
oleh penanggung. syarat-syarat agar penanggung bersedia memenuhi tangggungjawabnya
dengan melaksanakan prestasinya yang meliputi:
a. Adanya peristiwa yang tidak tentu
b. Hubungan sebab akibat antara risiko dan peristiwa yang menyebabkan timbulnya
kerugian
c. Ada tidaknya hal-hal yang memberatkan risiko
d. Apakah ada cacat atau kebusukan atau sifat kodrat fari barang, kesalahan
tertanggung, dan nilai yang diasuransikan.
4. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian kewajiban bertimbal balik
(obligatoir) Perjanjian asuransi dilihat dari batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 246
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, meletakkan hak dan kewajiban kepada pihak
tertanggung dan penanggung. Penanggung berkewajiban memberikan ganti kerugian
apabila peristiwa yang menjadi penyebab timbulnya risiko terjadi, dan penanggung
berhak menerima premi dari tertanggung, karena telah mengambil alih risiko yang dapat
menimbulkan kerugian kepada tertanggung. Sebaliknya, tertanggung berkewajiban untuk
membayar premi kepada penanggung. sebab, tertanggung sudah dilindungi secara
finansial apabila terjadi peristiwa yang dapat menimbulkan risiko terjadi. Secara finansial
tertanggung akan dilindungi untuk dikembalikan pada posisi semula sebelum terjadinya
risiko, dengan cara penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung.
5. Perjanjian asuransi sebagai perjanjian yang bertujuan memberikan proteksi
Dapat dilihat dari Batasan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, lebiih lanjut
ditelaah unsur-unsur sebagai berikut:
a. Pihak pertama ialah penanggung, yang dengan sadar menyediakan diri untuk
menerima dan mengambil alih risiko.
b. Pihak kedua ialah tertanggung, yang dapat menduduki posisi tersebut dalam
perorangan, kelompok orang atau Lembaga, badan hukum termasuk perusahaan atau
siapa pun yang dapat menderita kerugian.
6. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang bersifat formal
Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 255 Kitab UndangUndang Hukum Dagang yang
menyatakan bahwa perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara tertulis
dalam bentuk akta yang disebut polis. Polis ini merupakan salah satunya alat bukti tertulis
untuk membuktikan bahwa asuransi telah terjadi.
7. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsensuil
Pada Pasal 257 Kitab Undang-undang Hukum Dagang memberikan ketegasan, walaupun
belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapai kesepakatan antara
tertanggung dengan penanggung, sehingga hak dan kewajiban tertanggung pada
penanggung timbul sejak terjadi kesepakatan berdasarkan nota persetujuan.
8. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus
Perjanjian asuransi pada dasarnya merupakan suatu perjanjian yang mempunyai
karakteristik yang dengan jelas akan memberikan suatu ciri khusus, apabila dibandingkan
dengan jenjis perjanjian yang lain. Dalam buku-buku Anglo Saxon disebutkan bahwa
perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat sepihak (unilateral), hanya satu pihak
saja yang memberikan janji yaitu pihak penanggung. penanggung memberikan janji akan
mengganti suatu kerugian, apabila pihak tertanggung sudah membayar premi dan polis
sudah berjalan, sebaliknya tertanggung tidak menjanjikan apapun.
9. Perjanjian asuransi merupakan kontrak baku
Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur dalam undang-undang, memiliki arti
yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik tahap awal maupun selama perjanjian
berlaku dalam masa pelaksanaan perjanjian. Syarat-syarat biasa dibuat secara sepihak
oleh penanggung dan sudah dibakukan dan berstandar sama, baik dari bentuk maupun isi
pasalnya. Secara yuridis kontrak baku diperbolehkan dan sah perjanjian tersebut. Sebab,
telah terjadi kesepakatan dengan ditandai polis tersebut ditandatangani oleh tertanggung.
Dalam hal ini berlaku prinsip take it or leave it, jika tertanggung setuju dengan syarat
(klausul baku) yang tertuang dalam polis, tertanggung tinggal menandatangani polis
tersebut sebagai tanda telah disepakatinya isi perjanjian tersebut. Jika tidak menyetujui,
dan tidak terjadi kesepakatan, tertanggung dapat menolak dengan tidak menandatangani
polis tersebut.

D. Perbedaan Antara Asuransi, Bunga Cagak Hidup Dan Perjudian.


TUGAS
Sub Materi ini akan ditugaskan kepada mahasiswa untuk mencari perbedaan antara asuransi,
bunga cagak hidup, dan perjudian.
GUNAKAN BAHASA MAHASISWA SENDIRI BERDASARKAN PEMAHAMAN.
JAWABAN TIDAK BOLEH SAMA ANTARA MAHASISWA YANG SATU DENGAN
YANG LAIN.

FORUM DISKUSI

Anda mungkin juga menyukai