DISUSUN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
2020
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Antropologi Hukum Sebagai Penunjang Studi Hukum Adat”. Pada makalah ini kami banyak
mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak yang membaca
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
a. Kesimpulan.. ................................................................................................. 5
BAB I
PENDAHULUAN
B. Identifikasi Masalah
1. Pengertian antropologi hukum
2. Apa tinjauan antopologi hukum mengenai hak masyarakat adat
3. Hubungan antropologi hukum dengan hukum adat
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian antropologi hukum
2. Untuk mengetahui tinjauan antropologi hukum mengenai hak masyarakat adat
3. Untuk mengetahui hubungan antropologi hukum dengan hukum adat sasak
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Menurut William A. Havilland, Antropologi adalah studi tentang umat manusia, yang
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat mengenai manusia dan perilakunya
untuk memperoleh pengertian yang lengkap mengenai keanekaragaman manusia.
2. David Hunter berpendapat bahwa Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan
yang tidak terbatas tentang umat manusia. Menurut Oliver Wendel Holmes, the life
of law hasn’t been logic, it has been experience.
3. menurut Koetjaraningrat Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada
umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan
yang dihasilkan.
terhadap berbagai aturan yang berlaku, terhadap berbagai pengaruh eksternal dan
perubahan yang internal.
Terakhir, Valerine J.L Kriekhoff menggunakan pendekatan komparatif atau
perbandingan yang menurutnya lazim dikenal dalam antropologi/antropologi hukum dalam
studi tentang tanah adat. Pendekatan komparatif di tiga tempat untuk melihat bagaimana
hak tanah adat berlangsung telah memperkaya informasi dan data historis. Dalam melihat
hak masyarakat adat atas tanah dari perspektif antropologi sangat memerlukan
pemahaman tentang kebudayaan dan budaya. Menurut Valerine J.L Kriekhoff, konsep
kebudayaan dan budaya ini mengarahkan kita pada pengakuan bahwa dari data lapangan
masih ditemui adanya aturan yang pluralistis (legal pluralism) misalnya dalam pengaturan
tanah yang tradisional, lalu dapat berwujud pola tingkah-laku yang terikat pada kelompok-
kelompok tertentu: menjadi “adat istiadat”.
Seorang ahli antropologi harus mengetahui hukum adat yang berlaku di suatu
daerah, hal ini dikarenakan hukum adat itu yang membuat peneliti antropologi dapat
beradaptasi dan mengikuti aturan-aturan adat yang ada di dalam suatu daerah
Hukum adat lahir dari kaidah-kaidah dan harus ditaati oleh masyarakat,sehingga
dapat disimpulkan bahwa hukum adat lahir dari kebudayaan yang dihasilkan oleh
masyarakat suatu daerag sebagai bagian dari hasil antropologi.
Diskusi tentang relevansi antara hukum adat dan hukum negara sejatinya sudah
banyak diperbincangkan oleh beberapa sarjana. Thomas Meisenhelder menyebutnya
sebagai sosiologi hukum yang salah satu menjelaskan posisi hukum di dalam
masyarakat. hukum merupakan cerminan dari masyarakat, sehingga, apabila
masyarakatnya berbeda, tentu hukumnya pun akan berbeda. Sebagai contoh,
perkawinan lari dalam masyarakat Sasak adalah perkawinan yang sejalan dengan
norma lokal masyarakat Sasak,. Apabila perkawinan itu tidak dilakukan dengan norma
lokal Sasak, maka perkawinan itu berpotensi melanggar norma atau hukum adat
Sasak. Namun, di masyarakat Bugis Makasar, perkawinan lari merupakan perkawinan
yang sangat dikecam oleh nilai lokal masyarakat Bugis Makasar. Dalam perkawinan
adat masyarakat Makasar, mengenal dua bentuk perkawinan adat, yakni perkawinan
dengan cara peminangan dan perkawinan dengan cara Annyala.
4
Perkawinan dengan cara peminangan tidak jauh berbeda dengan perkawinan pada
umumnya yang dilakukan dengan cara meminang, hanya saja barangkali terdapat
kearifan lokal Makasar yang membedakannya dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Perkawinan secara meminang juga sering dibahasakan sebagai perkawinan yang sejalan
atau resmi berdasarkan adat Makasar. Sedangkan, perkawinan yang dilakukan secara
Annyala merupakan perkawinan yang dilakukan dengan cara diam-diam atau kawin
lari. Menurut bahasa Sulawesi Selatan, annyala bisa diartikan sebagai tindakan
penyelewengan atau tindakan yang salah, sehingga, alasan disebut perkawinan annyala
karena perkawinan ini tidak dilakukan berdasarkan adat istiadat masyarakat Makasar.
Dalam perkawinan jenis ini sangat rawan terjadi konflik. Tidak jarang masyarakat
yang melalukan perkawinan annyala mendapatkan kecaman keras dari masyarakat,
terkadang bisa berujung pada kekerasan fisik, dan tidak jarang terjadi konflik berdarah.
Meskipun adat Sasak dan Bugis melihat perkawinan lari dengan nilai yang
berbeda,namun terdapat persamaan dalam melihat anak perempuan. Bagi masyarakat
Sasak, anak perempuan merupakan kehormatan keluargayang harus selalu dijaga di
bawah pengawasan keluarga. Jadi, apabila seorang pria hendak menikahi seorang wanita,
pria yang bersangkutan harus berani mengambilnya di bawah pengawasan keluarganya,
yakni melalui perkawinan lari. Masyarakat Makasar pun demikian dalam melihat anak
wanita.
Berangkat dari sifat hukum sebagai refleksi atau cerminan dari masyarakat itu,
maka masyarakat Sasak dalam menjalani proses perkawinannya memiliki hukum lokal
sendiri, namun sebagai bagian dari warga Negara Republik Indonesia, masyarakat Sasak
harus tunduk terhadap hukum perkawinan yang sudah disahkan oleh negara, yang
bersifat umum dan abstarak tersebut. Kedatangan hukum negara(state legal order) ke
bumi Sasak merupakan tamu asing bagi masyarakat Sasak, sehingga, prosedur
perkawinan yang terdapat dalam hukum perkawinan terkadang dianggap hal yang asing
bagi masyarakat Sasak. Seiring dengan kebutuhan administrasi perkawinan, maka
masyarakat Sasak dan hukum perkawinan Sasak berupaya untuk beradaptasi dengan
legisme hukum perkawinan negara tersebut. Tidak sebatas hukum perkawinan adat
Sasak yang beradaptasi dengan positifisme hukum negara, namun hukum negara juga
beradaptasi dengan hukum adat masyarakat Sasak.
5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian Antropologi Hukum telah memberikan telaah akan hasil kreasi,
distribusi dan transmisi hukum yang ada. Kajian mengenai bagaimana kekuasaan hukum
berproses dan memberi dampak dalam masing-masing masyarakat. Selanjutnya akan
menampilkan bagaimana feed back dan pengaruh masyarakat-masyarakat terhadap
kekuasaan hukum tersebut. Kemajemukan hukum yang ada di Indonesia dewasa ini
merupakan soal tersendiri mengingat otetisitas Antropologi Hukum yang sejak lama
menempatkan dan menghargai the other laws secara proporsional dan kontekstual.
Dengan demikian para pengkaji antropologi hukum ditantang untuk memberikan kontribusi
bagi perkembangan hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan korelasi positif the other
laws dengan state laws.
Dalam perkawinan masyarakat Sasak, masyarakat Sasak diyakini sudah memiliki
hukum adat yang digunakan sebagai patokan bersama dalam menjalankan dan
menyelesaikan berbagai persoalan perkawinan. Setelah ajaran Islam diterima oleh
masyarakat Sasak, maka terjadi modifikasi perkawinan berupa akulturasi antara Sasak
dan Islam. Pada proses akulturasi ini, budaya Sasak tidak dihilangkan atau ditinggalkan,
namun perkawinan itu dihiasi dengan berbagai ajaran Islam.
Keragaman atau pluralisme hukum yang hidup dalam masyarakat Sasak
merupakan fenomena sosial yang tidak bisa terelakkan dan tidak jarang menimbulkan
konflik hukum. Konflik antar norma hukum merupakan sebuah proses dialektika yang akan
menghasilkan solusi bersama (win-win solution) yang mengarah kepada upaya untuk
salaing memasuki, saling mempenetrasi, atau saling mengaini antara satu norma dengan
norma yang lain, yang akan menghasilkan apa yang disebut sebagai interlegalistik
(interlegality), sehingga akan terwujud harmonisme hukum. Interlegality dan interlaw
merupakan fenomena intraksi (intraction) dantitik pertemuan (intersection) antara
berbagainorma hukum, prosedur hukum, dan wilayahhukum (legal spaces) yang berbeda
dalam sebuah masyarakat.
6
DAFTAR PUSTAKA
https://adikanina1987.wordpress.com/2012/05/14/ruang-lingkup-antropologi-
hukum/
https://www.dictio.id/t/apa-saja-manfaat-mempelajari-antropologi-
hukum/57126
https://www.hamparanberita.tech/2020/08/definisi-antropologi-
hukum.html#:~:text=4.%20Antropologi%20Hukum%2C%20yaitu%20ilmu,kai
dahkaidah%20sosial%20yang%20bersifat%20hukum.
https://www.diadona.id/d-stories/pengertian-antropologi-hukum-sosial-dan-
budaya-menurut-para-ahli-2007092.html
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/download/11110/9942
http://docplayer.info/94913594-Membaca-perkawinan-masyarakat-islam-
sasak-dari-perspektif-interlegalitas-hukum.html