Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PLKH NON LITIGASI MENGENAI

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


ARBITRASE
Dosen Pengampu : Anasroel Haroen

KELOMPOK I

- Agung Suryo Prabowo ( 2016020588 )

- Ai Haniah Nurhasanah ( 2016020083 )

- Angga Pradipta ( 2016020382 )

- Cynthia Aulia ( 2016020406 )

- Darius Alexander ( 2016020947 )

- Wahyu Parsaoran Sihaloho ( 2016020547 )

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
JL. Surya Kencana, No. 1 Pamulang, Tangerang Selatan, Banten
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Kami Panjatkan Kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-NYA kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “PENYELESAIAN SENGKETA NON
LITIGASI ARBITRASE ”. Makalah ini Kami buat untuk memenuhi tugas mata
kuliah “PLKH NON LITIGASI”.

Makalah ini telah kami susun dengan baik dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
terhadap pembaca.

Tangerang Selatan, 03 Oktober 2019

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ 1


DAFTAR ISI ........................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 3
A. Latar Belakang ............................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 5
A. Pengertian Arbitrase .................................................................... 5
B. Asas Hukum Arbitrase ................................................................ 5
C. Objek Arbitrase ........................................................................... 7
D. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase ......................................... 7
E. Jenis-jenis Arbitrase .................................................................... 8
F. Prosedur Pendaftaran................................................................... 8
G. Tahap Penunjukan Arbiter .......................................................... 9
H. Proses Sidang Pemeriksaan ......................................................... 10
I. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ................................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................... 14
A. Kesimpulan.................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Sebenarnya, arbitrase sudah ada sejak lama, tetapi baru lebih banyak dikenal
dan digunakan sejak dikeluarkannya UU Arbitrase. Penyelesaian sengketa
dagang menjadi lebih banyak menggunakan alternatif ini lantaran dinilai lebih
efektif. Putusan yang dihasilkan dari proses arbitrase bersifat final, independen,
dan mengikat, artinya setiap pihak baik pemohon maupun termohon wajib
memenuhinya. Sengketa perusahaan yang telah selesai ini tidak perlu lagi dibawa
ke meja pengadilan.
Arbitrase juga kerap menjadi pilihan untuk menyelesaikan urusan sengketa
perusahaan karena sifatnya yang tertutup. Terutama bagi pelaku usaha yang sudah
besar dan memiliki nama di publik, adanya kasus tentu dapat memengaruhi proses
bisnis yang sudah berjalan baik. Menyelesaikan masalah melalui arbitrase adalah
pilihan yang bijak karena pemeriksaan dan persidangan tidak dibuka untuk umum
sehingga dapat menjaga kerahasiaan sengketa.
Keuntungan lainnya dalam menyelesaikan kasus dengan arbiter adalah dua
belah pihak telah mengetahui posisi dan sikap masing-masing sebelum sidang
dimulai. Seperti yang disampaikan sebelumnya, sidang merupakan prosedur yang
dilaksanakan setelah berkas permohonan disampaikan dan tanggapan pemohon
diterima. Daftar bukti untuk mendukung dalilnya pun telah disiapkan oleh
masing-masing pihak. Dengan demikian, setiap pihak lebih leluasa dalam
menyampaikan argumennya pada saat persidangan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan arbitrase?


2. Apakah asas hukum arbitrase?
3. Apakah objek arbitrase?
4. Apa saja kelebihan dan kekurangan arbitrase?
5. Bagaimana proses sidang pemeriksaan?

3
6. Bagaimana prosedur pendaftaran?
7. Bagaimana tahap penunjukan arbiter?
8. Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase
Kata “arbitrase” adalah berasal dari bahasa latin yaitu “arbitrare” yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian
melalui juru wasit atau juru pisah. Selain itu, arbitrase juga dikenal dengan
sebutan atau istilah lain yang memiliki arti sama, seperti Arbitrage (Belanda dan
Perancis - Eropa continental) dan Arbitration (Inggris dan Amerika - Common
Law).

Secara yuridis, ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 30 Tahun 1999,


tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan definisi
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Arbitrase mirip dengan pengadilan karena prosedur acaraya seperti sidang
pengadilan sehingga disebut pula “quasi-judicial” atau “semi-pengadilan”. Arbiter
bertindak laksana hakim pengadilan yang berwenang secara aktif memeriksa
perkara, memimpin persidangan, hingga membuat putusan.

B. Asas Hukum dalam Arbitrase


a. Asas konsensualisme ( kesepakatan ) arbitrase harus didasarkan pada
kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian arbitrase. Perjanjian
arbitrase dapat dibuat setelah terjadi sengketa maupun sebelum terjadi
sengketa ( dalam bentuk klausul di perjanjian pokok ). perjanjian arbitrase
setelah terjadi sengketa dapat dibuat oleh para pihak dengan bantuan
pengurus lembaga APS.
b. Asas otonomi para pihak ( parties autonomy ) dalam arbiitrase, para pihak
memiliki otonomi penuh untuk memilih arbiter, memilih lembaga APS,
memilih prosedur arbitrase, dan menentukan jangka waktupeneyelesaian
sengketa. Asas otonomi para pihak juga diakomodasi dalam UU No. 30
Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam

5
pasal 31 ayat (3) ditentukan para pihak bebas untuk menentukan acara
yang digunakan dalam penyelesaian sengketa oleh arbitrase, serta untuk
menentukan tempat dan jangka waktu pemeriksaan oleh arbitrase. Apabila
tidak ditentukan tempat dan jangka waktunya, maka akan ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbiter yang memeriksa perkara.
c. Asas kepastian hukum ( pacta sunt servanda ) terdapat dalam UU No. 30
Tahun 1999 yang mengatur bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa
perkara yang terdapat perjanjian arbitrase (pasal 3). Pengadilan wajib
menolak perkara dan tidak boleh ikut campur jika terdapat klausula
arbitrase dalam perkara tersebut ( pasal 11 ayat 2). Arbiter wajib
mengikuti perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak (pasal 4). Perjanjian
arbitrase tidak batal meski para pihak meninggal dunia sehingga ahli waris
terikat terhadap perjanjian arbitrase yang dibuat oleh pewaris (pasal 10).
Para pihak yang sudah membuat perjanjian arbitrase tidak berhak
mengajukan sengketa ke pengadilan (pasal 11).
d. Asas itikad baik ( good faith ) dalam arbitrase diakomodasi dari bunyi
pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menyatakan “suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik adalah utama dalam
pelaksanaan kontrak bisnis. Jika para pihak memiliki itikad baik, kontrak
bisnis akan berjalan dengan baik sehingga tidak sampai ada sengketa yang
perlu diselesaikan via arbitrase atau APS lainnya.
e. Asas sederhana dan cepat berkaitan dengan proses pemeriksaan perkara
via arbitrase yang diharapkan bisa lebih sederhana dan lebih cepat
dibandingkan dengan via pengadilan. Putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat, tidak ada upaya hukum banding dan kasasi sehingga bisa
menyederhanakan dan mempercepat penyelesaian perkara. Hal inilah yang
menjadi salah satu alasan mengapa para pengusaha besar di level nasional
maupun internasional lebih sering menyelesaikan sengketa via arbitrase.

6
C. Objek Arbitrase
Merujuk dari definisi arbitrase yang tercantum dalam ketentuan pasal 1 angka
1 UU No 30 tahun 1999 sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat
diketahui yang menjadi syarat untuk dapatnya suatu sengketa diselesaikan melalui
arbitrase adalah :
a. merupakan sengketa perdata
b. Adanya perjanjian Arbitrase Tertulis
c. Sengketa di bidang perdagangan, (pasal 5 ayat (1) UU No 30 tahun 1999)
yakni : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, Industri dan
Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

D. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase

Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui penjelasan umum Undang-


undang Nomor 30 tahun 1999 beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan adalah :

1. Kelebihan Arbitrase
a) Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin dimana sidang tertutup untuk
umum.
b) Prosesnya lebih cepat karena tidak ada keterlambatan terkait proseduran
maupun administrasi.
c) Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur
dan adil.
d) Setiap pihak diberikan kebebasan menentukan putusan hukum untuk
sengketanya.
e) Tidak ada tambahan biaya lain-lain selain biaya formal.
f) Di Indonesia, pihak yang terlibat sengketa bisa melakukan presentasi dan
mendapatkan tanggapan secara langsung oleh majelis arbitrase dan pihak
lainnya yang terlibat sengketa.

7
2. Kekurangan Arbitrase
a) Biaya arbitrase dinilai lebih mahal dari pengadilan negeri.
b) Memiliki ketergantungan kepada pengadilan untuk melaksanakan eksekusi
c) Lembaga Arbitase maupun ADR tidak memiliki kewenangan untuk
memaksakan putusannya.
d) Kurangnya sikap patuh oleh pihak yang terlibat sengketa terhadap putusan.
e) Arbitrase masih belum banyak dikenal oleh masyarakat.

E. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase
melalui badan permanen (institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau
UNCITRAL ARBITARION RULES. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan
berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta
prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan Arbitrase Ad-
hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh
berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri.
Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan
arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang
internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

F. Prosedur Pendaftaran
Prosedur arbitrase dimulai dengan pemberitahuan kepada Termohon bahwa
sehubungan dengan adanya sengketa antara Pemohon dan Termohon maka
Pemohon akan menyelesaikan sengketa melalui Lembaga Arbitrase (BANI). Jadi,
Pemohon harus sudah siap dari segi bukti, alasan, legal standing, dan lain

8
sebagainya. Jangan sampai malah nanti kebingungan ketika maju ke persidangan.
Pemberitahuan kepada Termohon tersebut harus mengandung:
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki;
f. dan perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau
apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat
mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah
ganjil.
Setelah itu, Pemohon melakukan pendaftaran dan penyampaian Permohonan
Arbitrase kepada BANI. Pemohon menjelaskan baik dari sisi formal tentang
kalusula arbitrase, kedudukan pemohon dikaitkan dengan perjanjian arbitrase,
kewenangan arbitrase untuk memeriksa perkara, hingga prosedur yang sudah
ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam penyelesaian melalui forum arbitrase.

G. Tahap Penunjukan Arbiter


Tahap Penunjukan Arbiter Para pihak sebenarnya dapat memperjanjikan
apakah mau menunjuk arbiter tunggal, majelis arbiter, atau menyerahkan
keputusannya kepada BANI. Jika para pihak menggunakan arbiter tunggal, para
pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter
tunggal pemohon secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang
yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 hari sejak termohon
menerima usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal
maka dengan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak maka Ketua
Pengadilan dapat mengangkat arbiter tunggal. Jika para pihak memilih
menggunakan sistem majelis arbiter, maka para pihak akan mengangkat masing-
masing satu arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter yang telah
diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk satu arbiter ketiga (yang kemudian akan
menjadi ketua majelis arbitrase).

9
Dalam UU Arbitrase ditetapkan bahwa Apabila dalam waktu 14 hari setelah
pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat kata sepakat maka atas
permohonan salah satu pihak maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat
arbiter ketiga, terhadap permohonan ini dapat diajukan upaya pembatalan (Pasal
15 Ayat (4) UU Arbitrase).
Selain itu, dalam Pasal 15 Ayat (2) UU Arbitrase disebutkan, apabila setelah
30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon dan salah satu pihak
ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase,
arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal
dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

H. Proses Sidang Pemeriksaan


Dalam sidang pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia,
kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase, para pihak dapat memilih
bahasa lain yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili
oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan
keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh
arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Atas
permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil
putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya
pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan. Pemeriksaan sengketa
dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis. Pemeriksaan secara lisan dapat
dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau
majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi
atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar
tempat arbitrase diadakan.
Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase,
diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Arbiter atau
majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang

10
dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang
diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah
agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan atas sengketa
harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis
arbitrase terbentuk.
Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu
tugasnya apabila: diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal
khusus tertentu; sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela
lainnya; atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan
pemeriksaan. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah
ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan
perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
Dalam hal usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase
membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan
memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud termohon tanpa suatu
alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara
patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.
Paling lama 10 hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa
alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan,
pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak
berdasarkan hukum.
Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari
terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali majelis mempertimbangkan
bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya. Selain menetapkan
Putusan akhir, majelis arbitrase juga berhak menetapkan putusan-putusan
pendahuluan, sela atau putusan-putusan parsial.

11
I. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No 30
tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri,
dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan
arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitrase diucapkan. Putusan arbitrase
nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat.
Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap), sehingga Ketua Pengadilan
Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan
arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar
Pasal 62 UU No. 30 tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua
Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi pasal 4 dan
pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan
itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia didasarkan
pada ketentuan Konvesi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan
negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa konvensi berlaku juga di
wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN
Convention on The Recognition and En Forcement of Foreign Arbitral Award.
Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftarkan di
Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung
mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya

12
Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi
dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan
arbitrase asing.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Arbitrase merupakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di luar
pengadilan dasar hukum arbitrase terdapat dalam UU Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. Arbitrase sebenarnya
mirip dengan pengadilan karena prosedur acaranya seperti sidang pengadilan
disebut pula “quasi-judicial” atau “ semi pengadilan”. Terdapat 5 asas hukum
yang harus dijalankan dalam arbitrase yaitu: asas konsensualisme, asas otonomi
para pihak, asas kepastian hukum, asas itikad baik, asas sederhana dan cepat.
Penyelesaian sengketa via arbitrase menjadi salah satu alasan mengapa para
pengusaha besar di level nasional maupun internasional lebih senang
menyelesaikan sengketa via arbitrase. Karena arbitrase dinilai lebih sederhana dan
cepat dibandingkan pengadilan. Putusan arbitrase bersifat mengikat dn final

14
DAFTAR PUSTAKA

Iswi Hariyani, dkk, “Penyelesaian Sengketa Bisnis”, PT. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta, 2018
https://smartlegal.id/smarticle/2019/01/25/arbitrase-dan-prosedur-
penyelesaian-arbitrase/

15

Anda mungkin juga menyukai