Anda di halaman 1dari 15

ARBITRASE

LECTURER:
DR. NOVITA SARI, SE.M.SI.

BY:
HAFIZ RAMADHAN (C1C018072)
SALSABILA TIFANI AYUNINGSIH (C1C018108)
DWI SEKAR ATI (C1C018118)

S1 AKUNTANSI
FAKULTY OF ECONOMIC AND BUSINESS
UNIVERSITY OF BENGKULU
TABLE OF CONTENTS

TABLE OF CONTENTS.......................................................................i
PREFACE..............................................................................................ii

CHAPTER I: INTRODUCTION...........................................................1
A. Backround of the paper................................................................................1
B. Problem Formulation ..................................................................................1
C. Purpose of the Paper.....................................................................................1

CHAPTER II: DISCUSSION................................................................2


A. Pengertian Arbitrase.....................................................................................2
B. Dasar Hukum Arbitrase................................................................................2
C. Keuntungan Arbitrase..................................................................................3
D. Jenis-Jenis Arbitrase.....................................................................................5

CHAPTER III: CONCLUSIONS AND SUGGESTION.......................................9


A. CONCLUSIONS..........................................................................................9
B. SUGGESTION.............................................................................................9

REFERENCES.......................................................................................10
PREFACE

Thank to Allah SWT who has given His bless to the writer for finishing the
Business law paper assignment entitled “Arbitrase”. And thanks to God for helping
our group and give our group chance to finish this paper timely. The writer also
wish to express his deep and sincere gratitude for those who have guided in
completing this paper.

This Business Law paper contains the understanding of arbitrase and type of
arbitrase.  This paper assignment is not perfect. But tehe writer hope it can be
useful for us. Critics and suggestion is needed here to make this paper assignment
be better.

Hopefully, this paper can help the readers to expand their knowledge about
business relationships.

Bengkulu, November 10th, 2019

Author
CHAPTER I
INTRODUCTION

A. Backround of the paper


Secara umum, pengertian arbitrase adalah salah satu cara untuk menyelesaikan
permasalahan sengketa perdata antara dua atau lebih pihak yang berselisih dimana
pelaksanaannya dilakukan di luar peradilan umum.

Penyelesaian sengketa ini dilakukan melalui perjanjian arbitrase tanpa ada


kaitannya dengan peradilan. Jadi, secara gampangnya pengertian arbitrase adalah upaya
untuk menyelesaikan sengketa perdata di luar pengadilan dalam bentuk perjanjian tertulis
antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Perjanjian arbitrase ini harus ditandatangani oleh semua pihak yang bersengketa
atau disahkan oleh notaris. Setelah adanya perjanjian tersebut, maka pihak pengadilan
negeri tidak memiliki kewenangan apapun terhadap perkara tersebut. Bahkan, mereka
tidak boleh menerima pengajuan perkara tersebut di pengadilan.

B. Problem Formulation
1. Apa Itu Arbitrase
2. Apa Dasar Hukum Arbitrase
3. Apa Keuntungan Memakai Arbitrase
4. Apa Saja Jenis-Jenis Arbitrase

C. Purpose of the Paper

1. To find out about Arbitrase


2. Mengetahui Dasar Hukum Arbitrase
3. Mengetahui Keuntungan Memakai Arbitrase
4. Mengetahui Jeni-Jenis Arbitrase
CHAPTER II
DISCUSSION

A. Pengertian Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration (inggris),
schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit 1 pangertian arbitrase adalah
cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terkait dengan dengan berbagai formalitas,
cepat dan memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah
untuk melaksanakan karena akan di taati para pihak.

Arbitrase adalah suatu prosedur yang oleh para pihak yang berselisih secara suka rela setuju
untuk terikat pada putusan pihak ketiga yang netraldi luar proses peradilan yang normal. Logika
dan kesederhanaan dari arbitrase mendapat pujian bahwa proses tersebut ditujukan untu
manusiasejak abad permulaan. Untuk alasan yang sama pula arbitrase secara luas diterima
sebagai pelengkap dari hukum formildari orang-orang romawi dan lebih di sukai sebagai alat
penyelesaian perselisiahan komersil pada abad pertengahan.3 sementara itu, menurut undang-
undang nomor 30 tahun 1999tentang arbitarse dan alternatif penyelesaian senketa umum pasal
1angka 1, arbitarse adalah: “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang di dasarkan pada perjanjian arbitraseyang dibuat secara tertulis oleh para puhak yang
bersengketa.

Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak
diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Perkembangan ini sejalan dengan arah
globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis
untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efisien dan tuntas,
arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga
banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat.
Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding),
selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase
tidak dipublikasikan.Berdasarkan asas timbal balik putusan putusan arbitrase asing yang
melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase
Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.

Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri
dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya
antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan
Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan
Jarak Jauh, dan lain lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan
internasional. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negiosiasi, mediasi,
konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau
peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan. Adapun
mengenai putusan arbitrase internasional dan ketentuan– ketentuan tentang pelaksanaan
(eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat
dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69.Ketentuan– ketentuan tersebut pada dasarnya
sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
(internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958. Pasal 65 UU No. 30 Tahun
1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

B. Dasar Hukum Arbitrase

a. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 


Berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dianut prinsip bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam
Pasal 58 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
ditegaskan, upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan
negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut
menunjukkan adanya legalitas dan peran arbitrase dalam tata hukum Indonesia.

b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa 
Arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 merupakan cara penyelesaian
suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari
pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak
yang bersengketa atas dasar kata sepakat.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan


Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal 
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 merupakan Persetujuan atas Konvensi
tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing
Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Invesment Disputes
between States and National of Other States). Tujuan menetapkan persetujuan
ratifikasi atas konvensi tersebut adalah untuk mendorong dan membina
perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Dengan
pengakuan dan persetujuan atas Konvensi tersebut, Indonesia menempatkan diri
untuk tunduk pada ketentuan International Centre for the Settlement of Investment
Disputes Between States and Nationals of Other States (ICSID) yang melahirkan
Dewan Arbitrase ICSID.
d. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award
Peraturan lain yang menjadi sumber hukum berlakunya arbitrase di Indonesia adalah
Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal 5 Agustus
1981. Ketentuan ini bertujuan untuk memasukkan Convention on the Recognition and
the Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang lazim disebut Konvensi New York
1958, ke dalam tata hukum di Indonesia.

e. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara


Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing 
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990, yang
bertujuan untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan dikeluarkannya Perma No. 1
Tahun 1990 tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata
Indonesia sebagaimana diatur dalam HIR atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui
dan Reglement op de Rechtsvordering (Rv) tidak memuat ketentuan-ketentuan
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing.

f. UNCITRAL Arbitration Rules 


Sumber hukum arbitrase lain yang sudah dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional
Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai Resolusi
sidang Umum PBB Tanggal 15 Desember 1976 (Resolution 31/98 Adopted by the
General Assembly in 15 December 1976). Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah
untuk mengglobalisasikan dan menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara
arbitrase dalam menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam hubungan
perdagangan internasional.
C. Keuntungan Arbitrase

1. Ketidak percayaan pihak pada pengadilan negeri.

Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa dengan membuat suatu gugatan melalui


pengadilan, akan menghabiskan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan karena
biasanya melalui pengadilan umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, bahkan bisa sampai ke mahkamah agung. Apabila memperoleh putusan
dipengadilan negeri (tingkat pertama), pihak yang merasa tidak puas dengan putusan itu akan
naik banding dan kasasi sehingga akan memakan waktu yang panjang dan berlarut-larut.

2. Prosesnya cepat

Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase sering kali lebih cepat atau tidak terlalu
formal, dan lebih murah dari pada proses litigasi di pengadilan. Pada umunya prosedur arbitrase
ditentukan dengan memberikan batas waktu penyelesaian sengketa. Contoh menurut pasal 48
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pemeriksaan sengketa harus diselesaikan dalam
waktu 180 hari atau enam bulan sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Kemudian, dalam
ayat (2) nya ditentukan dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan arbiter atau para
arbiter, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang.

3. Dilakukan secara rahasia

Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk menyerahkan suatu sengketa kepada badan atau
majelis arbitrase adalah pemeriksaan maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase
selalu dilakukan secara tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak terjaga
kerahasiaanya.

4. Bebas memilih arbiter

Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang akan menyelesaikan
persengketaan mereka. Jika dalam hal ini para pihak tidak bersepakat dalam memilih arbiter,
maka dalam pasal 13 (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut:

“Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan
mengenai pengangkatan arbiter, ketua pengadilan negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis
arbitrase”.

5. Diselesaikan oleh ahlinya (expert)

Menyelesaikan perselisihan dipengadilan kadangkala memerlukan biaya tambahan. Hal ini


dikarenakan sering kali dijumpai hakim kurang mampu menangani kasus atau perselisihan yang
bersifat teknis sehingga memerlukan saksi ahli yang membutuhkan biaya. Dalam hal
penyelesaian melalui arbitrase, saksi ahli tidak mesti diperlukan karena para pihak yang
bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter, yang serba mengetahui masalah
yang dipersengketakan.

6. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)

Putusan arbitrase pada umunya dianggap final dan binding (tidak ada upaya untuk banding).
Namun, apabila ada hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan
pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan, pengadilan yang harus mengesahkanya dan
tidak berhak meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan tersebut.

7. Biaya lebih murah

Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya pendaftaran, biaya adminstrasi dan biaya arbiter yang
sudah ditentukan tarifnya.Prosedur arbitrase dibuat sederhana mungkin dan tidak terlalu formal.
Disamping itu, para arbiter adalah ahli dan pratiksi dibidang atau pokok yang dipersengketakan
sehingga diharapkan akan mampu memberikan putusan yang cepat dan obkektif. Hal itu
ditentukan menghemat biaya jika dibandingkan dengan melalui pengadilan.

8. Bebas memilih hukum yang diberlakukan

Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang ditentukan oleh para pihak
sendiri dalam perjanjian. Khusus yang dalam kaitanya dengan para pihak yang berbeda
kewarganegaraan, para pihak yang bebas memilih hukum ini, berkaitan dengan teori pilihan
hukum dalam hukum perdata internasional (HPI). Hal ini karena masing-masing Negara
mempunyai HPI tersendiri.

E. Jenis-Jenis Arbitrase
a. Arbitrase Institusional (Permanent) 
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen, sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan
diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu
tidak terbatas. Ada sengketa maupun tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan
tidak akan bubar, sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus.
Didirikannya arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan sarana
penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.Arbitrase institusional pada
umumnya dipilih oleh para pihak sebelum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam
perjanjian arbitrase.
Arbitrase institusional adalah arbitrase yang sengaja didirikan. pembentukannya ditujukan untuk
menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar
pengadilan. Ia merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung persilihan yang
timbul dari perjanjian.
Faktor kesengajaan dan sifat permanent pada arbitrase institusional merupakan ciri pembeda
badan ini dengan arbitrase ad hoc, selain itu juga bahwa arbitrase ini sudah ada berdiri sebelum
sengketa timbul sedangkan ad hoc selain sifatnya insidentil untuk menangani suatu kasus
tertentu, dan baru dibentuk setelah perselisihan timbul.

Perbedaan lain bahwa arbitrase intitusional tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar
meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus, sebaliknya arbitrase ad hoc bubar
dan berakhir keberadaannya setelah sengketa dan perselisihan yang ditangani selesai diputus.
Badan arbitrase yang ada di Indonesia adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)

a. Arbitrase Institusional yang Bersifat Internasional


   

Selain bersifat nasional. arbitrase juga ada yang bersifat internasional. Bahkan badan-badan
arbitrase internasional tertua didirikan pada tahun 1919 di Paris yaitu Court of Arbitration of the
International Chamber of Commerce yang disingkat dengan ICC. Arbitrase yang bersifat
international merupakan “pusat” perwasitan penyelesaian sengketa di bidang masalah tertentu
antara para pihak yang berlainan kewarganegaraan di bidang perdagangan pada umumnya.
Selain ICC ada pula badan arbitrase lain, seperti: The International Center for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) yang khusus menyelesaikan sengketa permasalahan penanaman
modal antara suatu Negara dengan warga Negara asing. ICSID di dirikan pada 16 Februari
1968.; UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commision on International Trade
Law) disingkat dengan UAR. UAR didirikan pada 15 Desember 1976 berdasarkan resolusi
siding umum PBB. Resolusi ini berisi anjuran kepada dunia arbitrase agar dalam melaksanakan
kegiatan arbitrase haruslah mempergunakan dan menerapkan UAR.

b. Arbitase International yang Bersifat Regional


Contoh badan arbitrasenya adalah Asia-Africa Legal Consultative Commette (AALCC) yang
berkantor pusat di New Delhi-India. Gerakan kelompok ini berusaha melepaskan diri dari
dominasi ICC yang dianggap sangatlah terdominasi oleh para arbiter dari Negara maju, sehingga
dalam putusannya juga dapat dikatakan bahwa agak lebih cenderung memihak dengan
kepentingan negara-negara maju. Hal ini dirasakan kurang memuaskan bagi negara-negara
dikawasan Asia-Africa.  Pada tahun 1978 diadakan pertemuan di Kuala Lumpur-Malaysia
dimana AALCC berhasil merealisasikan berdirinya pusat arbitrase untuk kawasan Asia yang
berkedudukan di Kuala Lumpur. Dan sebagai lanjutannya, pada tahun 1979 didirikan pusat
arbitrase regional bagi kawasan Africa yang berkedudukan di Kairo-Mesir.

Asumsi awal didirikan AALCC seolah-olah bertujuan untuk melepaskan diri dari dominasi ICC,
memencilkan diri dari dunia internasional, dan bahkan memaksakan kehendak untuk
menerpakan system tata hukum nasional atau regional. Sama sekali tidak demikian, hal ini
terbukti dari pernyataan yang dikeluarkan oleh AALCC di Kuala Lumpur secara tegas
menyatakan bahwa pusat-pusat badan atbitrase yang didirikan oleh AALCC tunduk dan
mempergunakan ketentuan yang diatur dalam UAR yang dikeluarkan PBB. Yang diinginkan
adanya keseimbangan antara pusat arbitrase internasional yang terdapat di dunia maju yang
mereka anggap terlampau berorientasi secara sentris memihak membela dominasi dan
kepentingan negara-negara maju

b. Arbitrase Adhoc (Volunteer) 


arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu,
sehingga kehadiran dan keberadaan arbitrase ini bersifat insidentil. Kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu, selesai sengketa
diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.

Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati adalah dengan ad hoc,
dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta
kompromis menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri diluar
arbitrase institusional. Artinya apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan
perselisihan terdiri dari “arbitrase perseorangan” maka arbitrase yang disepakati adalah jenis ad
hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiter adalah secara perseorangan.

Mengenai cara penunjukan arbiter dalam arbitrase ad hoc dapat dilakukan sendiri atas
kesepakatan para pihak. Jika arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama.
Apabila arbiternya lebih dari seorang, masing-masing pihak menunjuk seorang anggota, dan
penunjukan arbiter ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau menyerahkan pada kesepakatan
arbiter yang telah ditunjuk para pihak.

Menurut Harahap (2001), terdapat dua jenis perjanjian arbitrase, yaitu pactum de
compromittendo dan akta komparis. Penjelasan kedua perjanjian arbitrase tersebut
adalah sebagai berikut:

a. Pactum De Compromittendo 
Pactum de compromittendo artinya kesepakatan setuju dengan keputusan
arbiter. Adapun penjelasan atas Pactum de compromittendo diatur dalam Pasal
2 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu: undang-undang ini mengatur
penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang
secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang
timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase
atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

b. Akta Kompromis 
Akta kompromis adalah perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbul perselisihan antara para
pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak diadakan persetujuan arbitrase. Lebih lanjut
mengenai akta kompromis diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu
sebagai berikut:

1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa
terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh para pihak. 
2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta
notaris. 
3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud harus memuat hal-hal sebagai berikut: a)
Masalah yang dipersengketakan; b) Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c)
Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter; d) Tempat arbiter atau
majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e) Nama lengkap sekretaris; f) Jangka
waktu penyelesaian sengketa; g) Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h) Pernyataan
kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase; 
4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal
demi hukum.

Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam arbitrase yang diakui
eksistensinya dan kewenangannya dalam memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi
antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
a.       Arbitrase Ad Hoc (Ad hoc Arbitration)
Yaitu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu,
sehingga kehadiran dan keberadaan arbitrase ini bersifat insidentil. Kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu, selesai sengketa
diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.

Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati adalah dengan ad hoc,
dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta
kompromis menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri diluar
arbitrase institusional. Artinya apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan
perselisihan terdiri dari “arbitrase perseorangan” maka arbitrase yang disepakati adalah jenis ad
hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiter adalah secara perseorangan.

Mengenai cara penunjukan arbiter dalam arbitrase ad hoc dapat dilakukan sendiri atas
kesepakatan para pihak. Jika arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama.
Apabila arbiternya lebih dari seorang, masing-masing pihak menunjuk seorang anggota, dan
penunjukan arbiter ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau menyerahkan pada kesepakatan
arbiter yang telah ditunjuk para pihak.
CHAPTER III
CONCLUSIONS AND SUGGESTION

A. Kesimpulan
arbitrase adalah salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan sengketa perdata
antara dua atau lebih pihak yang berselisih dimana pelaksanaannya dilakukan di luar peradilan
umum. Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat
sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Perkembangan ini sejalan dengan arah
globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis
untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka.
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase sering kali lebih cepat atau
tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada proses litigasi di pengadilan. Pada umunya
prosedur arbitrase ditentukan dengan memberikan batas waktu penyelesaian sengketa.
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen,
sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan diorganisasikan secara
tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu tidak terbatas. Sedangkan arbitrase
adhoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan
tertentu, sehingga kehadiran dan keberadaan arbitrase ini bersifat insidentil. Kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu, selesai sengketa
diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.

B. Saran

So only that we can describe about “Arbitration” ,of course,there are


still many shortcoming and weaknesses,because they limited knowledge and
lack of referral or reference that has to do with the title of this paper.
We hopeful the reader can give constructive critism and suggestions
to the author of this paper and for the sake of perfect and writing papers in
the next opportunities. Hopefully this paper is useful for writers in articular
also dear readers in general.
REFERENCES

Contoh Kasus
1. Ada cukup banyak proses penyelesaian sengketa dilakukan dengan arbitrase,
salah satunya adalah kasus pengadaan unit Transjakarta di DKI Jakarta pada
tahun 2016. Sengketa tersebut melibatkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan
PT. Ifana Dewi.

Pada saat itu, PT. Ifana Dewi menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena
tidak membayar 161 unit Transjakarta yang merugikan perusahaan tersebut.
Proses arbitrase dilakukan atas pengajuan PT. Ifana Dewi untuk menyelesaikan
perkara tersebut.

2. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI dan Avanti Communications Ltd.


Pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase di bawah lembaga London Court of International Arbitration
(LCIA) memutuskan Avanti berhasil memenangkan perkara melawan Kemenhan RI. Proses arbitrasi
ini terkait dengan pembayaran sewa satelit ARTEMIS Avanti oleh Indonesia.
Kasus ini bermula saat Avanti memosisikan Satelit Artemis di Slot Orbit 123° BT sejak 12 November
2016 untuk mengantisipasi kehilangan hak spektrum L-band. Indonesia lebih dulu mengisi slot
tersebut lewat Satelit Garuda-1 selama 15 tahun sampai berhenti mengorbit pada 2015. Menurut
informasi, Indonesia sudah berkomitmen membayar US$30 juta ke pihak Avanti sebagai biaya sewa
dan relokasi satelit. Namun, Indonesia berhenti melakukan pembayaran setelah Avanti menerima
US$13,2 juta.
Akhirnya, Agustus 2017 Avanti menggugat Indonesia melalui jalur arbitrase dan resmi mematikan
ARTEMIS pada November 2017. Atas gugatan tersebut, Indonesia melalui Kemenhan RI wajib
membayar kerugian yang dialami Avanti sebesar US$20,075 juta selambatnya 31 Juli 2018.

Anda mungkin juga menyukai