LECTURER:
DR. NOVITA SARI, SE.M.SI.
BY:
HAFIZ RAMADHAN (C1C018072)
SALSABILA TIFANI AYUNINGSIH (C1C018108)
DWI SEKAR ATI (C1C018118)
S1 AKUNTANSI
FAKULTY OF ECONOMIC AND BUSINESS
UNIVERSITY OF BENGKULU
TABLE OF CONTENTS
TABLE OF CONTENTS.......................................................................i
PREFACE..............................................................................................ii
CHAPTER I: INTRODUCTION...........................................................1
A. Backround of the paper................................................................................1
B. Problem Formulation ..................................................................................1
C. Purpose of the Paper.....................................................................................1
REFERENCES.......................................................................................10
PREFACE
Thank to Allah SWT who has given His bless to the writer for finishing the
Business law paper assignment entitled “Arbitrase”. And thanks to God for helping
our group and give our group chance to finish this paper timely. The writer also
wish to express his deep and sincere gratitude for those who have guided in
completing this paper.
This Business Law paper contains the understanding of arbitrase and type of
arbitrase. This paper assignment is not perfect. But tehe writer hope it can be
useful for us. Critics and suggestion is needed here to make this paper assignment
be better.
Hopefully, this paper can help the readers to expand their knowledge about
business relationships.
Author
CHAPTER I
INTRODUCTION
Perjanjian arbitrase ini harus ditandatangani oleh semua pihak yang bersengketa
atau disahkan oleh notaris. Setelah adanya perjanjian tersebut, maka pihak pengadilan
negeri tidak memiliki kewenangan apapun terhadap perkara tersebut. Bahkan, mereka
tidak boleh menerima pengajuan perkara tersebut di pengadilan.
B. Problem Formulation
1. Apa Itu Arbitrase
2. Apa Dasar Hukum Arbitrase
3. Apa Keuntungan Memakai Arbitrase
4. Apa Saja Jenis-Jenis Arbitrase
A. Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration (inggris),
schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit 1 pangertian arbitrase adalah
cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terkait dengan dengan berbagai formalitas,
cepat dan memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah
untuk melaksanakan karena akan di taati para pihak.
Arbitrase adalah suatu prosedur yang oleh para pihak yang berselisih secara suka rela setuju
untuk terikat pada putusan pihak ketiga yang netraldi luar proses peradilan yang normal. Logika
dan kesederhanaan dari arbitrase mendapat pujian bahwa proses tersebut ditujukan untu
manusiasejak abad permulaan. Untuk alasan yang sama pula arbitrase secara luas diterima
sebagai pelengkap dari hukum formildari orang-orang romawi dan lebih di sukai sebagai alat
penyelesaian perselisiahan komersil pada abad pertengahan.3 sementara itu, menurut undang-
undang nomor 30 tahun 1999tentang arbitarse dan alternatif penyelesaian senketa umum pasal
1angka 1, arbitarse adalah: “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang di dasarkan pada perjanjian arbitraseyang dibuat secara tertulis oleh para puhak yang
bersengketa.
Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak
diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Perkembangan ini sejalan dengan arah
globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis
untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efisien dan tuntas,
arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga
banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat.
Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding),
selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase
tidak dipublikasikan.Berdasarkan asas timbal balik putusan putusan arbitrase asing yang
melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase
Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.
Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri
dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya
antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan
Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan
Jarak Jauh, dan lain lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan
internasional. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negiosiasi, mediasi,
konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau
peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan. Adapun
mengenai putusan arbitrase internasional dan ketentuan– ketentuan tentang pelaksanaan
(eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat
dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69.Ketentuan– ketentuan tersebut pada dasarnya
sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
(internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958. Pasal 65 UU No. 30 Tahun
1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2. Prosesnya cepat
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase sering kali lebih cepat atau tidak terlalu
formal, dan lebih murah dari pada proses litigasi di pengadilan. Pada umunya prosedur arbitrase
ditentukan dengan memberikan batas waktu penyelesaian sengketa. Contoh menurut pasal 48
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pemeriksaan sengketa harus diselesaikan dalam
waktu 180 hari atau enam bulan sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Kemudian, dalam
ayat (2) nya ditentukan dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan arbiter atau para
arbiter, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang.
Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk menyerahkan suatu sengketa kepada badan atau
majelis arbitrase adalah pemeriksaan maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase
selalu dilakukan secara tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak terjaga
kerahasiaanya.
Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang akan menyelesaikan
persengketaan mereka. Jika dalam hal ini para pihak tidak bersepakat dalam memilih arbiter,
maka dalam pasal 13 (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut:
“Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan
mengenai pengangkatan arbiter, ketua pengadilan negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis
arbitrase”.
Putusan arbitrase pada umunya dianggap final dan binding (tidak ada upaya untuk banding).
Namun, apabila ada hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan
pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan, pengadilan yang harus mengesahkanya dan
tidak berhak meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan tersebut.
Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya pendaftaran, biaya adminstrasi dan biaya arbiter yang
sudah ditentukan tarifnya.Prosedur arbitrase dibuat sederhana mungkin dan tidak terlalu formal.
Disamping itu, para arbiter adalah ahli dan pratiksi dibidang atau pokok yang dipersengketakan
sehingga diharapkan akan mampu memberikan putusan yang cepat dan obkektif. Hal itu
ditentukan menghemat biaya jika dibandingkan dengan melalui pengadilan.
Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang ditentukan oleh para pihak
sendiri dalam perjanjian. Khusus yang dalam kaitanya dengan para pihak yang berbeda
kewarganegaraan, para pihak yang bebas memilih hukum ini, berkaitan dengan teori pilihan
hukum dalam hukum perdata internasional (HPI). Hal ini karena masing-masing Negara
mempunyai HPI tersendiri.
E. Jenis-Jenis Arbitrase
a. Arbitrase Institusional (Permanent)
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen, sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan
diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu
tidak terbatas. Ada sengketa maupun tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan
tidak akan bubar, sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus.
Didirikannya arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan sarana
penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.Arbitrase institusional pada
umumnya dipilih oleh para pihak sebelum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam
perjanjian arbitrase.
Arbitrase institusional adalah arbitrase yang sengaja didirikan. pembentukannya ditujukan untuk
menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar
pengadilan. Ia merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung persilihan yang
timbul dari perjanjian.
Faktor kesengajaan dan sifat permanent pada arbitrase institusional merupakan ciri pembeda
badan ini dengan arbitrase ad hoc, selain itu juga bahwa arbitrase ini sudah ada berdiri sebelum
sengketa timbul sedangkan ad hoc selain sifatnya insidentil untuk menangani suatu kasus
tertentu, dan baru dibentuk setelah perselisihan timbul.
Perbedaan lain bahwa arbitrase intitusional tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar
meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus, sebaliknya arbitrase ad hoc bubar
dan berakhir keberadaannya setelah sengketa dan perselisihan yang ditangani selesai diputus.
Badan arbitrase yang ada di Indonesia adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
Selain bersifat nasional. arbitrase juga ada yang bersifat internasional. Bahkan badan-badan
arbitrase internasional tertua didirikan pada tahun 1919 di Paris yaitu Court of Arbitration of the
International Chamber of Commerce yang disingkat dengan ICC. Arbitrase yang bersifat
international merupakan “pusat” perwasitan penyelesaian sengketa di bidang masalah tertentu
antara para pihak yang berlainan kewarganegaraan di bidang perdagangan pada umumnya.
Selain ICC ada pula badan arbitrase lain, seperti: The International Center for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) yang khusus menyelesaikan sengketa permasalahan penanaman
modal antara suatu Negara dengan warga Negara asing. ICSID di dirikan pada 16 Februari
1968.; UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commision on International Trade
Law) disingkat dengan UAR. UAR didirikan pada 15 Desember 1976 berdasarkan resolusi
siding umum PBB. Resolusi ini berisi anjuran kepada dunia arbitrase agar dalam melaksanakan
kegiatan arbitrase haruslah mempergunakan dan menerapkan UAR.
Asumsi awal didirikan AALCC seolah-olah bertujuan untuk melepaskan diri dari dominasi ICC,
memencilkan diri dari dunia internasional, dan bahkan memaksakan kehendak untuk
menerpakan system tata hukum nasional atau regional. Sama sekali tidak demikian, hal ini
terbukti dari pernyataan yang dikeluarkan oleh AALCC di Kuala Lumpur secara tegas
menyatakan bahwa pusat-pusat badan atbitrase yang didirikan oleh AALCC tunduk dan
mempergunakan ketentuan yang diatur dalam UAR yang dikeluarkan PBB. Yang diinginkan
adanya keseimbangan antara pusat arbitrase internasional yang terdapat di dunia maju yang
mereka anggap terlampau berorientasi secara sentris memihak membela dominasi dan
kepentingan negara-negara maju
Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati adalah dengan ad hoc,
dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta
kompromis menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri diluar
arbitrase institusional. Artinya apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan
perselisihan terdiri dari “arbitrase perseorangan” maka arbitrase yang disepakati adalah jenis ad
hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiter adalah secara perseorangan.
Mengenai cara penunjukan arbiter dalam arbitrase ad hoc dapat dilakukan sendiri atas
kesepakatan para pihak. Jika arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama.
Apabila arbiternya lebih dari seorang, masing-masing pihak menunjuk seorang anggota, dan
penunjukan arbiter ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau menyerahkan pada kesepakatan
arbiter yang telah ditunjuk para pihak.
Menurut Harahap (2001), terdapat dua jenis perjanjian arbitrase, yaitu pactum de
compromittendo dan akta komparis. Penjelasan kedua perjanjian arbitrase tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pactum De Compromittendo
Pactum de compromittendo artinya kesepakatan setuju dengan keputusan
arbiter. Adapun penjelasan atas Pactum de compromittendo diatur dalam Pasal
2 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu: undang-undang ini mengatur
penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang
secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang
timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase
atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
b. Akta Kompromis
Akta kompromis adalah perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbul perselisihan antara para
pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak diadakan persetujuan arbitrase. Lebih lanjut
mengenai akta kompromis diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu
sebagai berikut:
1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa
terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh para pihak.
2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta
notaris.
3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud harus memuat hal-hal sebagai berikut: a)
Masalah yang dipersengketakan; b) Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c)
Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter; d) Tempat arbiter atau
majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e) Nama lengkap sekretaris; f) Jangka
waktu penyelesaian sengketa; g) Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h) Pernyataan
kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal
demi hukum.
Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam arbitrase yang diakui
eksistensinya dan kewenangannya dalam memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi
antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
a. Arbitrase Ad Hoc (Ad hoc Arbitration)
Yaitu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu,
sehingga kehadiran dan keberadaan arbitrase ini bersifat insidentil. Kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu, selesai sengketa
diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati adalah dengan ad hoc,
dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta
kompromis menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri diluar
arbitrase institusional. Artinya apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan
perselisihan terdiri dari “arbitrase perseorangan” maka arbitrase yang disepakati adalah jenis ad
hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiter adalah secara perseorangan.
Mengenai cara penunjukan arbiter dalam arbitrase ad hoc dapat dilakukan sendiri atas
kesepakatan para pihak. Jika arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama.
Apabila arbiternya lebih dari seorang, masing-masing pihak menunjuk seorang anggota, dan
penunjukan arbiter ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau menyerahkan pada kesepakatan
arbiter yang telah ditunjuk para pihak.
CHAPTER III
CONCLUSIONS AND SUGGESTION
A. Kesimpulan
arbitrase adalah salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan sengketa perdata
antara dua atau lebih pihak yang berselisih dimana pelaksanaannya dilakukan di luar peradilan
umum. Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat
sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Perkembangan ini sejalan dengan arah
globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis
untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka.
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase sering kali lebih cepat atau
tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada proses litigasi di pengadilan. Pada umunya
prosedur arbitrase ditentukan dengan memberikan batas waktu penyelesaian sengketa.
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen,
sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan diorganisasikan secara
tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu tidak terbatas. Sedangkan arbitrase
adhoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan
tertentu, sehingga kehadiran dan keberadaan arbitrase ini bersifat insidentil. Kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu, selesai sengketa
diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
B. Saran
Contoh Kasus
1. Ada cukup banyak proses penyelesaian sengketa dilakukan dengan arbitrase,
salah satunya adalah kasus pengadaan unit Transjakarta di DKI Jakarta pada
tahun 2016. Sengketa tersebut melibatkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan
PT. Ifana Dewi.
Pada saat itu, PT. Ifana Dewi menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena
tidak membayar 161 unit Transjakarta yang merugikan perusahaan tersebut.
Proses arbitrase dilakukan atas pengajuan PT. Ifana Dewi untuk menyelesaikan
perkara tersebut.