Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PENGANTAR HUKUM KELUARGA

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN ARBITRASE

DOSEN PENGAMPU

MUHAMMAD ARIFIN S.H.I. M.H.

DISUSUN OLEH:

1. Moch. Yusuf Hasan (237420005)


2. Vania Rahma Nabila (2374230007)
3. Danang Saputra (2474230016)
4. Mahbub Ahsani (2374230017)

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama,penulis ucapkan syukur kehadirat Allah SWT. Sholawat dan


salam semoga tetap tercurhkan kepada Nabi Muhammad Saw.Beserta keluarga, para
sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar
Ilmu Hukum, dalam proses penyusunan makalah ini,kami mendapatkan bantuan,
bimbingan serta dukungan dari pihak, sehingga dalam kesempatan ini kami juga
bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Muhammad Arifin S.H.I. M.H. sebagai dosen pengampu mata kuliah
Pengantar Hukum Keluarga.
2. Semua anggota kelompok yang mau turut serta membantu pelaksanaan hingga
makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun untuk menjelaskan mengenai permasalahan tentang riba


dan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
isi makalah ini masih belum sempurna oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya
kritik dan saran dari para pembaca mengenai isi makalah ini.

2
DAFTAR ISI
Halaman judul ............................................................................................................... 1

Kata pengantar .............................................................................................................. 2

Daftar isi........................................................................................................................3

BAB I Pendahuluan ...................................................................................................... 4


A. Latar belakang...................................................................................................6
B. Rumusan masalah ............................................................................................. 6
C. Tujuan ...............................................................................................................6

BAB II Pembahasan ...................................................................................................... 6

BAB III Kesimpulan dan Saran ................................................................................... 18

Daftar Pustaka ............................................................................................................. 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengketa antara para pihak dapat diselesaikan melalui jalur litegasi (lembaga
peradilan) ataupun non litegasi (di luar pengadilan). Penyelesaian sengketa melalui
jalur litegasi yaitu penyelesaian sengketa diantara para pihak yang dilakukan melalui
pemeriksaan di hadapan hakim dalam sebuah lembaga peradilan. Pengadilan sendiri
adalah metode penyelesaian sengketa paling lama dan lazim digunakan dalam
menyelesaikan sengketa, baik sengketa yang bersifat publik maupun yang bersifat
privat. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat
akan keadilan dan kesejahteraan semakin besar, maka penyelesaian sengketa melalui
litegasi lambat laun dirasakan kurang efektif lagi.penyelesaian sengketa melalui
litigasi dirasakan terlalu lama dan memakan biaya yang cukup besar. Nurnaningsih
Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,( Rajawali
Pers, Jakarta, 2011, hlm. 19-20 )

Kondisi demikian menyebabkan pencari keadilan mencari alternatif lain yaitu


penyelesaian segketa diluar proses peradilan formal,1 yang biasa dikenal dengan
penyelesaian sengketa non litigasi. Penyelesaian sengketa non-ligitasi merupakan
mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak menggunakan
pendekatan hukum formal. Penyelesaian sengketa non litigasi juga dikenal dengan
istilah ADR (Alternative Dispute Resolution). (Frans Hendra Winata, Hukum
Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 25)

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan


Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. ADR
tersebut dapat berupa

a. Arbitrase;
b. Mediasi;
c. Konsiliasi;
d. Arbitrase
e. Dan lain-lain

4
(Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 186)

Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang
makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi
Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki
arena ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada
pengadilan dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari
perdagangan internasional. Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian
sengketa yang dapat dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial
yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian
sengketa komersial yang reliabel, efektif, dan efisien.

Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional


terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah berdampak terhadap
peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan
negeri dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut
oleh para pengusaha, termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi,
sehingga pihak-pihak dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya
diselesaikan melalui pengadilan negeri.

Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan adalah cara
pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam
melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut "keadilan
hukum" (legal justice), tetapi gagal menangkap "keadilan masyarakat" (social justice).
Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-
putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari
putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental "bau formalisme-
prosedural" ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga masyarakat.” Oleh sebab
itu, sulit dihindari bila semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya
masyarakat terhadap Institusi pengadilan.

Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses


pemeriksaan yang berbelit dan formalistis. Oleh karena itu, tidak heran jika para

5
pelaku bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka
apabila terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep alternatif penyelesaian sengketa dan perundang-
undangannya?
2. Bagaimana konsep Arbitrase sebagai salah satu cara Alternatif
Penyelesaian Sengketa menurut hukum perundang-undangan?
3. Bagaimana proses dan kekuatan hukum arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa?
C. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan utama untuk mengetahui apa itu konsep
alternatif penyelesaian sengketa dalam pandangan undang – undang, konsep arbitrase,
serta kekuatan hukum arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Bagaimana konsep alternatif penyelesaian sengketa dan perundang-


undangannya?

A.Pengertian

Penyelesaian sengketa merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar ligitasi


(non-ligitasi). Terdapat beberapa bentuk penyelesaian sengketa diantarinya adalah:

(1) negosiasi;
(2) mediasi;
(3) konsiliasi;
(4) arbitrase; dan lain-lain.

Bentuk penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999


tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Tidak dijabarkan lebih lanjut pengertian dari
masing-masing bentuk penyelesaian sengketa tersebut dalam UU No.30/1999. adapun,
6
arbitrase dikeluarkan dari lingkup penyelesaian sengketa dan diberikan definisi

7
tersendiri dalam UU No.30/1999 yakni “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa”

Alternatif penyelesaian sengketa (APS) merupakan istilah yang pertama kali


dimunculkan di Amerika Serikat. Konsep ini merupakan jawaban atas ketidakpuasan
yang muncul di masyarakat Amerika Serikat terhadap sistem pengadilan mereka.
Ketidakpuasan tersebut bersumber pada persoalan waktu yang sangat lama dan biaya
mahal, serta diragukan kemampuannya menyelesaikan secara memuaskan. Pada
intinya ADR/APS dikembangkan oleh Praktisi hukum maupun pada akademisi sebagai
cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses keadilan. (Ahmad Santosa,
Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta, 1995,
hlm. 11)

Persengketaan merupakan sesuatu yang tidak disangkal lagi keberadaannya di


dalam setiap masyarakat di setiap tingkat dan terdapat berbagai macam cara untuk
menyelesaikannya. Kebanyakan masyarakat biasanya menggunakan cara yang sama;
perbedaan antara mereka terkait cadangan yang diajukan kepada seseorang dari orang
Lain. Faktor kultural dan kesediaan institusi-institusi dalam mengendalikan
persengketaan akan biasanya menentukan kecenderungan-kecenderungan tersebut
(metode yang mana satu yang ingin dipilih).

Terdapat dua bentuk prinsip dalam menyelesaikan persengketaan hukum


sepanjang zaman. “Sama ada pihak-pihak yang terlibat itu menentukan untuk
menyelesaikan sengketa tersebut melalui negosiasi dimana tidak menghalang pihak
ketiga bertindak sebagai mediator yang mungkin dapat membantu mereka dalam
proses negosiasi mereka. Atau, konflik tersebut diajudikasi, yang mana bermaksud
pihak ketiga yang secara idealnya netral (tidak berpihak kepada mana-mana pihak)
menentukan pihak yang manakah yang lebih berhak”. Bentuk-bentuk penyelesaian ini
biasanya digunakan dalam urusan penyelesaian masalah sipil (perdata), kriminal
(pidana), dan administratif. Untuk persengketaan bukan berkaitan Hukum, terdapat
berbagai cara lain untuk menyelesaikannya. (Steven Vago, Law and Society, New
Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 236. )

8
Seorang antropologis terkenal, Simon Roberts berpendirian bahwa, di dalam
beberapa masyarakat, keganasan antara individu yang secara langsung menetapkan itu
merupakan satu cara yang diizinkan daripada penyelesaian sengketa. Sepertinya
keganasan antara individu boleh jadi menjadi suatu cara untuk membalas dendam
untuk keganasan yang telah dialami atau suatu reaksi terhadap beberapa bentuk
ketidakadilan yang terlihat kan. Kadang kala, keganasan fisik boleh dikaitkan dengan
suatu bentuk yang cegah dan konvensional seperti perlawanan atau peraduan. Di
Jerman, sebelum Terjadinya Perang Dunia Kedua, contohnya, perlawanan saat itu
merupakan satu bentuk Penyelesaian sengketa yang popular antara mahasiswa,
anggota kepolisian dan tentara dan orang-orang bangsawan secara umum. Perlawanan
itu dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang terkawal dan berpandukan pada
aturan-aturan yang spesifik.

Para peserta dilengkapi dengan pakaian perlindungan, dan biasanya dengan


tanda tumpah darah yang pertama menunjukkan tamatnya persengketaan tersebut.
Manakala di dalam suatu acara yang padanya terjadi persengketaan atau ketidakadilan,
apa yang perlu dilakukan oleh pihak yang dirugikan adalah menampar pihak yang
merugikan. tindakan ini merupakan suatu cabaran untuk suatu perlawanan, dan pihak-
pihak yang bersangkutan terpaksa menyelesaikan pada waktu dan tempat itu juga.
Bekas tamparan yang berbekas pada wajah seseorang menunjukkan simbol keberanian
dan ketinggian statusnya.

B. Metode penyelesaian sengketa

1. Negosiasi

Negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi


(musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya
diterima oleh para pihak tersebut. Dari pengertian tersebut, Anda dapat merasakan
bahwa negosiasi tampak lebih sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan
daripada ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari.

Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu: (1) untuk
mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam

9
transaksi jual beli, pihak penjual, dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan
harga (di sini tidak terjadi sengketa); dan (2) untuk memecahkan perselisihan atau
sengketa yang timbul di antara para pihak.

2. Mediasi

Pengertian mediasi antara lain adalah upaya penyelesaian sengketa dengan


melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian
(solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Jika Anda perhatikan pengertian mediasi tersebut, sebenarnya mediasi sulit


didefinisikan karena pengertian tersebut sering digunakan oleh para pemakainya
dengan tujuan yang berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Misalnya, di beberapa negara karena pemerintahnya menyediakan dana untuk lembaga
mediasi bagi penyelesaian sengketa komersial, banyak lembaga lain menyebut dirinya
sebagai lembaga mediasi. Jadi, di sini mediasi sengaja dirancukan dengan istilah
lainnya, misalnya konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi, atau bahkan arbitrase.

3. Konsiliasi

Hal yang menarik mengenai konsiliasi adalah konsiliasi pada dasarnya hampir
sama dengan mediasi, mengingat terdapat keterlibatan pihak ke-3 yang netral (yang
tidak memihak) yang diharapkan dapat membantu para pihak dalam upaya
penyelesaian sengketa mereka, yaitu Konsiliator. Namun demikian, anda perlu
perhatikan bahwa Konsiliator pada umumnya memiliki kewenangan yang lebih besar
daripada mediator, mengingat ia dapat mendorong atau “memaksa” para pihak untuk
lebih kooperatif dalam penyelesaian sengketa mereka. Konsiliator pada umum dapat
menawarkan alternatif-alternatif penyelesaian yang digunakan sebagai bahan
pertimbangan oleh para pihak untuk memutuskan. Jadi, hasil konsiliasi, meskipun
merupakan kesepakatan para pihak, adalah sering datang dari si Konsiliator dengan
cara “mengintervensi”. Dalam kaitan itu, konsiliasi dalam banyak hal mirip dengan
mediasi otoritatif di mana mediator juga lebih banyak mengarahkan para pihak.

4. Arbitrase

10
Pada dasarnya, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar
peradilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan
dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.
Arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik, khususnya bagi kalangan
pengusaha. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu “pengadilan pengusaha” yang
Independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan mereka.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun
1999) disebutkan bahwa: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan Peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” Dengan
demikian, sengketa seperti kasus-kasus keluarga atau perceraian, yang hak atas harta
kekayaan tidak sepenuhnya dikuasai oleh masing-masing pihak, tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase.

2. Bagaimana konsep Arbitrase sebagai salah satu caraAlternatif


penyelesaian Sengketa menurut hukum perundang-undangan?

A. Pengertian Arbitrase

Dalam sistem hukum Indonesia, keberadaan arbitrase sebagai salah satu


alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebenarnya sudah lama dikenal.
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya Rv
(Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) pada 1847. Ketentuan tersebut saat ini
sudah tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-undang
nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, keberadaan arbitrase dapat
dilihat dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Ketentuan ini
tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara di luar peradilan Negara melalui
perdamaian atau arbitrase”. Dengan demikian, penyelesaian perkara di luar pengadilan
atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap dibolehkan.

11
Secara bahasa, Arbitrase berasal dari kata arbitrase (latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara berdasarkan kebijaksanaan. Arbitrase

12
merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Menurut
Abdul Kadir, arbitrase adalah penyerahan sukarela suatu sengketa kepada seorang yang
berkualitas untuk menyelesaikannya dengan suatu perjanjian bahwa suatu keputusan
arbiter akan final dan mengikat. Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal 1, Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa arbitrase adalah perjanjian


perdata yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan
sengketa mereka yang diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut arbiter yang ditunjuk
secara bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa dan para pihak menyatakan
akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter.

Penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga arbitrase akan


menghasilkan Putusan Arbitrase. Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999,
arbiter atau majelis arbitrase untuk segera menjatuhkan putusan arbitrase selambat-
lambatnya 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan sengketa oleh arbiter. Jika
di dalam putusan yang dijatuhkan tersebut terdapat kesalahan administratif, para pihak
dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan diberikan hak untuk meminta
dilakukannya koreksi atas putusan tersebut. Putusan arbitrase merupakan putusan pada
tingkat akhir (final) dan langsung mengikat para pihak. Putusan arbitrase dapat
dilaksanakan setelah putusan tersebut didaftarkan arbiter atau kuasanya ke panitera
pengadilan negeri. Setelah didaftarkan, ketua pengadilan negeri diberikan waktu 30
hari untuk memberikan perintah pelaksanaan putusan arbitrase.

Menurut R, Subekti mengartikan : “arbitrase adalah penyelesaian atau


pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan
bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim
atau para hakim yang mereka Pilih atau tunjuk tersebut”.

Menurut peraturan prosedur badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)


arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan,
industri, keuangan jasa adalah serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa

13
adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian.
(Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian sengketa di Luar pengadilan, PT Citra
Aditya Bakti Bandung, him 110)

Berdasarkan pengertian arbitrase diatas menunjukkan unsur-unsur Yang sama


yaitu :

1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa sengketa baik


yang akan terjadi, kepada seorang atau beberapa Orang pihak ke-3 di luar
peradilan umum untuk diputuskan.
2. Penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan adalah sengketa Yang dapat
diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak Pribadi yang dapat
dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam Barang perdagangan industri dan
keuangan.
3. Putusan tersebut akan menjadi putusan akhir dan mengikat.(Http //
Www.google.co.id/ Pengertian+arbitrase)

Lembaga Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa diluar


pengadilan, yang juga basa disebut sebagai “pengadilan wasit” sehingga para arbiter
dalam peradilan arbitrase befungsi layaknya wasit dalam suatu pertandingan. Arbitrase
biasa dilakukan oleh para pengusaha (nasional maupun Internasional) sebagai suatu
cara perdamaian memecahkan ketidaksefahaman pihak pihak dibidang kegiatan
komersial. Bidang komersial tersebut meliputi: transaksi untuk ekspor-impor
makanan, perjanjian distribusi, perbankan, asuransi, pengangkutan penumpang,
pesawat udara, kapal laut, konsesi, perusahaan joint venture, dll.

Lembaga arbitrase adalah lembaga yang berfungsi sebagai salah satu alat
untuk dapat menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi diantara para pihak. Cara
kerja arbitrase hampir sama dengan peradilan sehingga masyarakat sering menyebut
lembaga arbitrase sebagai pengadilan swasta. Suatu sengketa yang dapat diajukan ke
arbitrase, harus mendapat kesepakatan terlebih dahulu dari masing-masing pihak.
Keharusan adanya persetujuan dari masing-masing pihak ini diatur dalam Pasal 7 UU
No. 30 tahun 1999 bahwa, “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi

14
atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui Arbitrase”. ' (Zaeni
Asyhadie, 2009, Hukum Bisnis, Rajawali Pers, Jakarta, him 236.)

Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa


{dispute/difference) antara pihak yang terlibat dimana proses penyelesaian ini melalui
proses peradilan (litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan
yang sering mengemukakan dipilihnya penyelesaian alteratif, yaitu karena ingin
memangkas birokrasi perkara, biaya dan waktu sehingga relati lebih cepat dengan
biaya relatif ringan, lebih dan menjaga harmoni sosial (social harmony) dengan
mengembangkan budaya musyawarah dan budaya melalui jalan tersebut diharapkan
tidak terjadi prinsip lose-win tetapi win-win, para pihak merasa senang.

B. Ruang lingkup arbitrase

Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase pasal 5 ayat


(1) sengketa yang disengketa yang diselesaikan dalam menggunakan arbitrase
hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain : perniagaan,
perbankan, keuangan, industri dan hak milik intelektual, sementara itu pasal 5 ayat (2)
undang-undang arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa
yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata buku ke III bab kedelapan belas pasal 1851 -
1854.

Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ternyata tata cara penyelesaian cara


damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang sengketa tentang
franchising, penerbangan, telekomunikasi internasional, dan penggunaan ruang
angkasa komersial, bahkan ada yang menghendaki agar ditetapkan juga dalam
pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.

Tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase banyak dimanfaatkan juga


dibidang-bidang sengketa tentang penanaman modal asing dalam bidang internasional.

15
Meningkatnya perkembangan perdagangan, keuangan, dan industri akhir-akhir ini
dalam kancah internasional, bahkan ditambah lagi dengan era globalisasi pada masa-
masa mendatang, telah menimbulkan suasana liberalisasi ekonomi, industri, dan lain-
lain.

3. Bagaimana proses dan kekuatan hukum arbitrase sebagai alternatif


penyelesaian sengketa?

A.Proses Arbitrase

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak Iain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila
terjadi. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasan kepada pihak
kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama,
selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan
pendapat atau memiliki nilai – nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan
sengketa.

Setelah berlakunya UU. No. 30 tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian


sengketa dan arbitrase, maka secara garis besar hukum acara pada Arbitrase tidak sama
denga beracara di Pengadilan Negeri. Mengenai acara yang berlaku di hadapan majelis
arbitrase diatur dalam Bab IV Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang alternatif
penyelesaian sengketa dan arbitrase, mulai pasal 27-58. Yang secara garis besarnya
adalah sebagai berikut:

“Bahwa pada prinsipnya semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup, dengan menggunakan bahasa Indonesia kecuali
atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para dapat memilih bahasa lain yang
digunakan”

Permohonan diajukan oleh pemohon sendiri atau melalui kuasa hukumnya


secara tertulis dengan melampirkan perjanjian yang bersangkutan yang memuat
klausula arbitrase dalam Bahasa Indonesia. Permohonan tersebut dikirim kepada
termohon disertai permintaan agar dalam waktu 14 hari termohon memberikan
jawaban atau tanggapannya (Pasal. 39). Pihak pemohon sekaligus mengajukan tentang
pilihan arbiternya secara tertulis dan pihak arbiter yang bersangkutan memberi
pernyataan menerima atau menolak. Demikian juga pihak termohon bersamaan
16
dengan jawabannya ia pun harus mengajukan arbiter pilihannya. Ketua majelis arbiter
dipilih oleh kedua arbiter tersebut

1. Permohonan arbitrase oleh pemohon Pengangkatan arbiter


2. Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon
3. Penyampaian satu salinan putusan kepada termohon
4. Jawaban tertulis dari termohon diserahkan pada arbiter
5. Salinan jawaban diserahkan kepada termohon atas perintah arbiter
6. Perintah arbiter agar para pihak menghadapi arbitrase
7. Para pihak menghadap arbitrase dan tuntutan balasan dari termohon
8. Panggilan lagi jika termohon tidak menghadap dengan alasan yang jelas
9. Termohon tidak juga menghadap sidang, pemeriksaan diteruskan tanpa
kehadiran termohon (verstek), dan tuntutan dikabulkan
10. Jika termohon hadir, diusahakan perdamaian oleh arbiter
11. Proses pembuktian
12. Pemeriksaan selesai dan ditutup maksimal. 180 hari sejak arbitrase terbentuk
13. Pengucapan putusan
14. Putusan diserahkan kepada para pihak
15. Putusan diterima oleh para pihak
16. Koreksi, tambahan, pengurangan terhadap putusan
17. Penyerahan dan pendaftaran putusan ke Pengadilan Negeri
18. Permohonan eksekusi didaftarkan di panitera pengadilan
19. Putusan dilaksanakan
20. Perintah kedua Pengadilan Negeri jika putusan tidak dilaksanakan.

Perlu diingat bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa, semisal
tentang sah tidaknya suatu jual beli, asuransi, pengangkutan, dan lain sebagainya.

Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase


adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian, seperti tertuang dalam ketentuan pasal 5 UU Arbitrase, misal tentang

17
pertanahan, adopsi anak, penceraian, dan lain sebagainya(Hartini, Rahayu, Hukum
Komersial, UMMPress, Malang, 2005 )

Perlu diketahui acara pemeriksaan proses penyelesaian sengketa di lembaga


Arbitrase hampir sama dengan proses penyelesaian sengketa di pengadilan negeri,
yaitu adanya prosedur beracara. Namun, proses beracara di lembaga Arbitrase jauh
lebih sederhana. Arbitrase adalah pemeriksaan sengketa yang bersifat tertutup dan
hanya dapat dihadiri oleh pihak-pihak yang bersengketa dan kuasanya. Hal ini lebih
menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Pemeriksaan perkara secara
arbitrase berbeda dengan acara pemeriksaan pada Pengadilan Negeri(.Abdurr Rasyid
dan Priatna, 2002, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian sengketa, Suatu Pengantar,
Fikahati Aneska, Jakarta, him 8)

Perbedaan-perbedaan itu antara lain :

a. Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak


b. Dapat terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal Prosedural dan
administratif
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya Mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan.
d. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tata cara sederhana saja ataupun prosedur langsung dapat dilaksanakan
e. Adanya jangka waktu yang pasti yaitu 180 hari (Pasal 48 ayat 1) tetapi dapat
diperpanjang apabila disepakati oleh para pihak Terlebih dahulu.

Pada penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, tuntutan atau jawaban


atau suatu tuntutan berdasarkan hukum dan fakta-fakta. Para pihak harus dapat
menguatkan dasar hukum dan fakta-fakta yang diajukan dengan mengajukan saksi
dalam hal ini adalah mereka yang mengetahui secara langsung pasti peristiwa yang
terjadi. Saksi dapat dilibatkan pada sengketa arbitrase yang sedang diperiksa hanya
apabila diperintahkan oleh arbiter, majelis arbitrase atau permintaan para pihak.

18
B.Kekuatan putusan hukum arbitrase

Kekuatan hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam


undang-undang nomor 30 tahun 1999, pada dasarnya keputusan penyelesaian sengketa
di luar pengadilan harus dilaksanakan oleh para pihak secara sukarela. Jika para pihak
tidak bersedia memenuhi pelaksanaan putusan arbitrase yang telah diputuskan oleh
arbiter secara sukarela, maka keputusan tersebut dapat dilakukan secara paksa. Supaya
putusan arbitrase dapat dilaksanakan, putusan tersebut harus dipionir dulu dalam akta
pendaftaran di kepaniteraan pengadilan negeri. Tindakan dideponir ini dilakukan
dengan cara mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan asli putusan
autentik putusan arbitrase oleh arbiter atau kuasanya kepada pengadilan negeri.
Penyerahan dan pendaftaran yang dimaksud dilakukan dengan pencatatan dan
penandatanganan bersama-sama pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh
pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan. Selanjutnya, catatan
tersebut menjadi dan menciptakan akta pendaftaran putusan arbitrase.

Pasal 59 undang-undang nomor 30 tahun 1999 menentukan batas waktu


penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase tersebut, yaitu dilakukan paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan tersebut diucapkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase. Bila tindakan dipioniri terhadap putusan arbitrase tidak Dipenuhi,
maka berakibat putusan arbitrase nasional yang bersangkutan tidak dapat
dilaksanakan, Putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang bersifat mandiri, final
dan mengikat, sehingga ketua pengadilan negeri tidak diperkenankan untuk
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Sebagaimana dikatakan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang


Arbitrase ditentukan bahwa :”…Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan
perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan
ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono),
sedangkan mengenai sifatnya baik yang didasarkan pada ketentuan hukum maupun
berdasarkan keadilan dan kepatutan, tentu saja dapat bersifat menghukum
(Condemnatoir), hal ini tampak dalam peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia) yang berlaku efektif tanggal 1 Maret 2003, dimana dalam Pasal
39 Peraturan Prosedur tersebut ditemukan dalam kalimat :” Biaya-biaya eksekusi

19
Putusan ditanggung oleh Pihak yang kalah dan lalai untuk memenuhi ketentuan-
ketentuan dalam putusan”. Subekti, Hukum Perjanjian, In termasa, Jakarta, 2004

Putusan Arbiter atau Majelis Arbitrase dapat dieksekusi melalui pengadilan


Negeri, sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang arbitrase,
sebagaimana asas yang berlaku dalam hukum acara perdata, maka hanya putusan yang
bersifat Menghukum (Condemnatoir) sajalah yang dapat dipaksakan pelaksanaannya
oleh pengadilan, baik itu melalui mekanisme Sita Eksekusi, Sita Lelang, Sita
Pengosongan dan Sita-sita lainnya. Di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
eksekusi atau pelaksanaan putusan arbitrase di bagi dalam 2 bagian:

21. Bagian Pertama tentang eksekusi terhadap putusan arbitrase Nasional (Pasal
59 s/d Pasal 64).
22. Bagian Kedua tentang pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement)
putusan arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 65 sampai dengan pasal
69.

Namun untuk kedua putusan baik Nasional maupun Internasional berlaku


ketentuan Universal, bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat para pihak.
Tidak dapat dibanding maupun kasasi, seperti yang diatur dalam Pasal 60 UU
Arbitrase. Tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorlah setelah
memperoleh ijin atau perintah untuk dieksekusi (Eksekutor) dari pengadilan. (Undang-
Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 tahun 1999, Sinar
Grafika, Jakarta. )

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

• Kesimpulan

Dari apa yang telah penyusun kemukakan, akhirnya sebagai penutup dari
uraian tersebut diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, bahwa:

20
1. Prosedur/proses beracara dari lembaga arbitrase yang tidak rumit dan bertele-
tele serta memudahkan parapihak yang bersengketa menjadi salah satu alasan
bagi para pengusaha baik nasional maupun internasional untuk lebih memilih
lembaga ini daripada lembaga peradilan umum maupun alternatif
penyelesaian sengketa lainnya diluar pengadilan.
2. Putusan daripada lembaga arbitrase adalah final dan mengikat para pihak jadi
tidak ada banding maupun kasasi. Jadi lebih mempercepat proses
penyelesaian
• Saran

Adapun saran-saran yang mungkin dapat berguna bai pihak-pihak yang


berkepentingan maka penyusun memberikan masukan-masukan antara lain:

• Untuk langkah kedepan seyogyanya Pengadilan Negeri dengan tegas


menolak/campur tangan dalam sengketa yang didalamnya tercantum klausula
arbitrase.
• Peraturan yang ada khususnya UU No. 30 tahun 1999 hendaknya dipegang
teguh oleh para hakim, pengacara/kuasa hukum, notaries dan juga pihak yang
bersengketa, demi terciptanya suatu kondisi yang kita kehendaki bersama.

21
DAFTAR PUSTAKA

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di


Pengadilan,Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 19-20

Frans Hendra Winata, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
hlm. 25

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian


sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 186

Ahmad Santosa, Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup,


Jakarta, 1995, hlm. 11

Steven Vago, Law and Society, New Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 236.

Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian sengketa di Luar pengadilan, PT Citra


Aditya Bakti Bandung, him 110

Http // Www.google.co.id/ Pengertian+arbitrase

Zaeni Asyhadie, 2009, Hukum Bisnis, Rajawali Pers, Jakarta, him 236.

Hartini, Rahayu, Hukum Komersial, UMMPress, Malang, 2005

Abdurr Rasyid dan Priatna, 2002, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian sengketa,
Suatu Pengantar, Fikahati Aneska, Jakarta, him 8

Subekti, Hukum Perjanjian, In termasa, Jakarta, 2004

Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 tahun 1999,


Sinar Grafika, Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai