Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENGANTAR HUKUM BISNIS


‘’Penyelesaian Sengketa Ekonomi’’

Dosen Pengampu : Ardi Wiranata,S.E.,M.E

Disusun Oleh Kelompok 5:

Pebi Arianto (E.MKS.1.2021.012)


Yessi Oktafiani (E.MKS.1.2021.029)
M. Satrio (E.MKS.1.2021.011)
Cipto wardianto (E.MKS.1.2021.026)

INSTITUT AGAMA ISLAM SYEKH MAULANA QORI

(IAI SMQ BANGKO)

MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

2021

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan urgensi alternatif

Pujangga besar Aristoteles telah mengatakan bahwa “manusia ditakdirkan

sebagai makhluk sosial” atau dalam bahasa latinnya disebut “zoon piliticon”.

Manusia tidak dapat sebagai makhlul hidupnya terasing dari manusia lain,

melainkan harus selalu hidup dalam ikatan kelompok, golongan, atau kerukunan

sebagai suatu kesatuan sosial. Seperti yang dikatakan Bouman, seorang sarjana

sosiologi terkenal, bahwa “Manusia baru menjadi manusia sesudah hidup bersama

dengan sesama manusia”, hal ini disebabkan karena adanya faktor kebutuhan

hidup, perasaan suka menolong, rasa harga diri, hasrat untuk patuh, untuk mencari

perlindungan, dan lainnya karena adanya kepentingan.1

Untuk memenuhi kebutuhan kepentingannya, manusia mengadakan

hubungan satu dengan yang lainnya yang disebut kontak. Dalam melakukan

kontak satu sama lain atau masyarakat, maka kepentingan dapat bertentangan satu

sama lain yang menimbulkan perselisihan sehingga diharapkan manusia dapat

memelihara tingkah laku yang menimbulkan tata tertib dalam hidup bersama

tersebut. Apabila tidak dipelihara, akan menimbulkan konflik atau sengketa dalam

masyarakat.2

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja. Sengketa dapat terjadi antara

individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok

1
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 11
2
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 11-12

2
dengan kelompok, antara perushaan dengan perusahaan, antara perusahaan

dengan negara, antara negara satu dengan lainnya, dan sebagainya. Dengan kata

lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi

baik dalam lingkup nasional maupun internasional.3

Banyak kata yang mungkin digunakan untuk menggambarkan sengketa

(disputes), seperti : Konflik, debat, gugatan, keberatan, kontreversi, perselisihan,

dan lain-lain. Walaupun demikian, diantara kata-kata tersebut tentu mempunyai

arti sendiri dan berbeda-beda, penggunaannya tergantung pada situasi dan kondisi

tertentu. Penulis lebih condong untuk menggunakan kata sengketa sebagai suatu

istilah hukum dibandingkan kata lainnya. Istilah sengketa telah menjadi istilah

baku dalam praktik hukum.4

Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan

oleh pihak lain. Pihak merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasan ini kepada

pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak

pertama, serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang

dinamakan sengketa. Akan tetapi, dalam konteks hukum, khususnya hukum

kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara

para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah

dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan

perkataan lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak.

Wanprestasi dapat terjadi dalam hal debitur5

3
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 12
4
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 12
5
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1985),
hlm. 228

3
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi

2. Tidak tunai memenuhi prestasi

3. Terlambat memenuhi prestasi

4. Keliru memenuhi prestasi

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian

karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian.

Penyelesaian sengketa tergantung bagaimana pengelolaan atas sengketa tersebut.6

B. Penyelesaian Sengketa

Sengekta terutama sengketa bisnis membutuhkan penyelesaian sengketa

yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa

melalui proses peradilan yang berbelit-belit, biaya mahal, dan waktu yang lama,

kurang cocok untuk penyelesaian sengketa bisnis. Oleh karena itu, para sarjana

Amerika berusaha mencari alternatif selain dari pengadilan. Alternatif lain selain

proses pengadilan inilah dewasa ini dikenal dengan ADR (Alternative Dispute

Resolution).7

Gerakan ADR (Alternative Dispute Resolution) lahir di Amerika Serikat

pada era 1970-an yang kemudian menyebar ke berbagai negara dalam bentuk

antara lain arbitrase dan mediasi. Secara teori ADR dapat memberikan prosedur

yang lebih murah, cepat, tidak kompleks seperti litigasi formal. Penggunaannya

6
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 13
7
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 13-14

4
tidak hanya ditujukan untuk mengatasi hambatan finansial terhadap pengadilan,

akan tetapi juga menghadapi permasalahan yang mengandung faktor budaya,

geografi, dan psikologi.8

Keberadaan ADR dalam sistem penyelesaian sengketa sudah diramal

sebelummya sejak 35 tahun lalu, yaitu dalam pidato Prof. Frank Sander dari

Harvard University di tahun 1976, untuk memperingati Roscoe Pound, yang

mengungkapkan ramalan bahwa untuk merespons kecenderungan makin

meningkatnya perkara di pengadilan, maka nantinya hanya kan ada dua solusi

yaitu9

1. Mencegah terjadinya sengketa

2. Mengekspor alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Ia bahkan telah mengantisipasi bahwa di tahun 2000-an akan tampil

lembaga selain lembaga pengadilan yaitu “Dispute Resolution Center” yang

tampak ramalannya mendekati kenyataan.10

ADR kemudian dikembangkan oleh karena adanya kritik terhadap

lembaga pengadilan antara lain:

1. Waktu

Proses persidangan yang berlarut-larut atau terlalu lama dan kesulitannn

mendapatkan suatu putusan yang benar-benar final dan mengikat (karena hak para

8
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14
9
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14
10
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14-16

5
pihak untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali, bantahan, dan

lainnya). Waktu tidak bisa dikontrol oleh para pihak.

2. Adversary

Proses beracara dalam pengadilan memaksa para pihak untuk saling

menyerang.

3. Biaya Mahal

Biaya pengadilan di beberapa negara dianggap mahal (khususnya bagi

masyarakat pedalaman, hal ini akan ditambah dengan biaya trasnportasi).

Ditambah lagi dengan sistem peradilan yang mempunyai prosedur yang

bertingkat-tingkat. Mahalnya biaya tersebut ditambah pula dengan biaya

pengacara, belum lagi biaya-biaya informal dalam sistem peradilan.

4. Prosedur yang Ketat

Dengan adanya prosedur beracara yang rigid/ketat, kadangkala

menghilangakan keleluasaan para pihak (prinsipal) untuk mencari inovasi

alternatif-alternatif penyelesaian. Sering kali kepentingan sebenarnya dari pihak

yang bersengketa tidak tercermin dalam gugatan/tuntutan yang diajukan

5. Lawyer Oriented

Karena sistem prosedur yang kompleks dalam peradilan, maka hanya

pihak yang mempunyai keahlian saja yang dapat beracara di pengadilan. Oleh

karena itu, pihak sengketa banyak mendelegasikan semuanya kepada

pengacaranya, di mana pengacara tidak mengerti benar kepetingan dari si klien.

6. Ungkapan Mengenai Citra Pengadilan

Berbagai ungkapan yang ditujukan ke arah proses penyelesaian sengketa

melalui litigasi semakin meyudutkan popularitas badan pengadilan. 11

11
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 16-17

6
Ada ungkapan yang digalih dari pepatah, ada pula yang diformulasikan dari kesan

yang ditampung dari kenyataan praktik sehari-hari.

Salah satu pepatah Cina menyatakan “Berperkara di pengadilan akan

menimbukan kebencian berpuluh-puluh tahun. Dengan demikian, akan

menghancurkan hubungan keluarga dan persaudaraan. Pepatah cina lain

mengatakan ”Seseorang yang berperkara akan kehilangan lembu, hanya untuk

mendapatkan seekor kucing”

7. Win-Lose Situation

Sistem peradilan didasarkan pada nilai benar atau salah, yang pada

akhirnya akan menghasilkan situasi yang kalah atau menang.

8. Kurangnya Kemampuan Hakim

Sejalan dengan era global dan perkembangan teknologi, diharapka seorang

Hakim adalah seseorang yang mempunyai sumber daya dan kemampuan

pengetahuan yang lebih dari lainnya. Mereka dituntut banyak belajar. Namun

kenyataannya, Hakim hanya mengetahui suatu hal secara terbatas dan tidak

didukung oleh keahlian yang profesional. Oleh karena itu, sulit untuk

mengharapkan suatu penyelesaian sengketa yang kompleks, secara baik, dan

objektif dari para Hakim sebeb kualitas Hakim tidak seimbang denga

perkembangan teknologi dan menyebabkan putusan Hakim sering menyimpangan

dari perrmasalahan pokoknya.

9. Hubungan Putus

Dengan adanya sistem win-lose, maka untuk kasus perdata atau bisnis,

maka hubungan para pihak menjadi putus atau tidak harmonis lagi.12

10. Memicu Konflik Baru

12
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 18

7
Karena untuk menyelamatkan muka dan telah terputusnya hubungan,

maka hal tersebut dapat memicu konflik baru lagi.13

C. Model – model alternative penyelesaian sengketa

Di dalam peneyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk,

antara lain negosiasi (negatiation) , melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi,

arbitrase, peradilan, dan peradilan umum.14

Negosisasi (Negotation)

Negisosasi adalah tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai

kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak

(kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian

sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berpekara.15

Dalam konteks bisnis, negosiasi adalah hal yang selalu dilakukan.

Negosiasi biasanya dilakukan sebelum pihak-pihak yang ingin berbisnis

mengikatkan diri dalam suatu kontrak, maupun jika terjadi sengketa mengenai

pelaksanaan kontrak tersebut dikemudian hari. Penyelesaian sengketa melalui

negosiasi sudah lazim dan merupakan langkah awal yang dilakukan oleh para

pelaku bisnis.16

Dalam hal ini, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang di rancang

untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai
13
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 18
14
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
15
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
16
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 23

8
kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh, karena itu negosiasi

merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk berdiskusikan

penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak

berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.

Sementara itu harus di perhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan

secara negosiasi harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan

damai.17

Secara umum teknik negosiasi dapat dibagi menjadi: Teknik negosiasi

kompetitif, teknik kooperatif, teknik negosiasi lunak, teknik negosiasi keras, dan

teknik yang bertumpu pada kepentingan (interet base).18

Teknik negosiasi kompetitif atau sering kali diistilahkan dengan teknik

negosiasi yang bersifat alot (tough) adalah teknik negosiasi yang bercirikan:

menjaga agar tuntutan tetap tinggi sepanjang proses negosiasi, menganggap

perunding lain sebagai musuh, jarang memberikan konsesi dan sering kali

menggunakan cara berlebihan. Tujuan penggunaan teknik ini adalah sebagai suatu

cara mengintimidasi lawan dalam memenuhi permintaan dan tuntutan, membuat

pihak lawan kehilangan kepercayaan diri, mengurangi harapan pihak lawan, serta

pada akhirnya lawan menerima kurang dari apa yang diharapkan sebelumnya.

Kepedulian perundingan kompetitif hanyalah memaksimalkan nilai-nilai

kesepakatan.19

17
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
18
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 23
19
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 24

9
Sebaliknya, teknik negosiasi koorperatif menganggap pihak negosiator

lawan bukan sebagai musuh, namun sebagai mitra kerja mencari kepentingan

bersama. Para pihak menurut pola penyelesaia koorperatif ini berkomunikasi satu

sama lain untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama (shared interest ad

values), dengan menggunakan rasio dan akan sehat sebagai cara menjajaki kerja

sama. Hal yang dituju oleh negosiator koorperatif adalah penyelesaian yang adil

berdasarkan analisis yang objektif (berdasarkan fakta hukum) melalui upaya

membangun atmosfer yang positif dan saling percaya.20

Teknik negosiasi lunak dan keras adalah saling melengkapi, di mana

teknik negosiasi lunak menempatkan pentingnya hubungan baik antar pihak yang

bertujuan untuk mencapai kesepakatan. Sedangkan teknik negosiasi keras

menempatkan perunding sangat dominan terhadap perundingan lunak,

menganggap pihak lawan adalah musuh dan bertujuan untuk memperoleh

kemenangan. Teknik negosiasi interest based adalah jalan tengah atas

pertentangan keras-lunak yang memiliki empat komponen dasar yaitu21

1) Orang

2) Kepentingan

3) Solusi

4) Kriteria objektif

20
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 24-25
21
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 25

10
Tabel 1. Perbandingan Teknik Negosiasi Lunak, Keras, dan Internet

Based22

 SOFT (LUNAK) HARD (KERAS) INTEREST BASED


 Perundingan adalah  Perunding dipandang  Perunding adlah pemecah
teman sebagai musuh masalah
 Tujuan semata untuk  Tujuan untuk mencapai hasil
 Tujuan kesepakatan mencapai kemenangan bijaksana
 Memberi konsesi untuk Menuntut konsesi Pisahkan orang dengan
membina hubungan sebagai persyarat masalah
 Lunak terhadap orang Keras terhadap orang dan Lunak terhadap orang, keras
dan masalah masalah terhadap masalah
 Percaya pada Tidak percaya pada Keperayaan dibangun
perunding lawan perunding berdasarkan situasi dan kondisi

 Mudah mengubah
posisi  Memperkuat posisi  Fokus pada kepentingan

 Mengemukakan
tawaran  Membuat ancaman  Menelusiru kepentingan

 Mengungkap bottom
line  Menciptakan win-lose  Mencegah win-lose
 Perolehan sepihak
 Mengalah untuk sebagai harga  Hasil sedaoat mungkin
kesepakatan kesepakatan diterima para pihak
 Mencari satu jawaban  Mencari satu jawaban  Mengembangkan pilihan
yang menyenangkan yang harus diterima terlebih dahulu sebelum
lawan perunding lawan memutuskan

 Bersikeras atas  Bersikuluh pada kriteria


perlunya kesepakatan  Bersikeras atas posisi objektif

 Mencegah contest of  Memenangkan  Mencapai kesepakatan atas


will perlombaan keinginan bersama

 Menerima untuk  Argumentasi dan asalasan


ditekan  Menerapkan tekanan terhadap lawan

22
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 26

11
Untuk menghasilkan suatu negosiasi ang efektif, maka perlu diperhatikan

tahapan-tahapan dalam proses negosiasi yang berlangsung. Howard Raiffa

membagi tahap-tahap negosiasi menjadi: 23

1. Tahap persiapan,

2. Tahap tawaran awal (openning gambit),

3. Tahap pemberian konsesi, dan

4. Tahap akhir permainan (end play)

Di samping tahapan-tahapan negosiasi, perlu juga diperhatikan faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas proses penyelesaian sengketa melalui

negosiasi. Negosiasi dapat berlangsung efektif dan mencapai kesepakatan yang

bersifat stabil apabila terdapat berbagai kondisi yang mempengaruhinya, yaitu:24

1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan yang penuh

(willingess to negotiate)

2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness)

3. Mempunyai wewenag mengambil keputusan (authoritative)

4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan

saling ketergantungan (relative equal bargainimh power)

5. Mempunyai kemauan menyelesaikan maslah (willingness to settle)

6. Terdapat BATNA

(Best Alternative Ti a Negotited Agreement) yang tidak terlalu baik

7. Sense of urgensy

8. Tidak mempunyai kendala psikologi yang besar.

23
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 27
24
Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: MA-RI, 2004), hlm. 27

12
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, diharapkan pihak-pihak yang

bersengketa dapat melakukan negosiasi yang efektif dan dapat menghasilkan

kesepakatan penyelesaian sangketa yang mereka hadapi. Kelebihan penyelesaian

sangketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak ang bersengketa sendiri yang akan

menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak

yang paling tahu mengenai masalah yang menjadi sengketa dan bagaimana cara

penyelesaian sengketa yang diinginkan. Dengan demikian, pihak yang

bersengketa dapat mengontol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah

penyelesaian sengketa yang diharapkan.25

Mediasi

Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian

suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediasi juga merupakan salah satu bentuk

negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan

tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.26

Sementara itu pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan

sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi

mengandung unsur-unsur, antara lain :27

25
Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: MA-RI, 2004), hlm. 28
26
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199-200
27
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 200

13
1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan

perundingan.

2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam

perundingan.

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari

penyelesaian.

4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang

dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Dengan demikian, tugas utama mediator sebagai fasilitator untuk

menemukan dan merumuskan persamaan pendapat, seperti berikut :28

1. Sebagai tugas utama adalah bertindak sebagai seorang fasilitator sehingga

terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.

2. Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para

pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul

(penyelesaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan

bersama.

Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi

merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat

berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat.

Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak sejalan dengan tatanan yang

ada, tetapi tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku. Namun,

putusan tersebut dapat pula bertolak belakang dengan nilai atau norma yang

berlaku. Jika dengan cara mediasi tidak menghasikan suatu putusan diantara para
28
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 200-201

14
pihak maka tiap-tiap pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti

melalui pengadilan, arbitrase, dan lain-lain.29

Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih

untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian

dari konsiliasi. Akan tetapi rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10

dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga

alternatif dalam penyelesaian sengketa.30

Dengan demikian, konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa

alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan

sengketa.31

Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan

kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak

kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat

putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehinga keputusan akhir

merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam

sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.32

29
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 201
30
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 201
31
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199

32
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 202

15
Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu

kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan ke luar dari sengketa,

proses ini disebut konsiliasi. Hal ini menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering

diartikan mediasi.33

Salah satu perbedaan antara mediasi dan konsiliasi adalah berdasarkan

rekomendasi yang diberikan oleh pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa.

Hanya dalam konsiliasi ada rekomendasi pada pihak-pihak yang bersengketa,

sedangkan mediator dalam suatu mediasi hanya berusaha membimbing para pihak

yang bersengketa menuju suatu kesepakatan.34

Arbitrase

Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal

ini, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti

dan Abdulkadir Muhammad.35

a. Subekti mengatakan arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau

pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan

persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan

diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.

b. Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase merupakan badan peradilan

swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam

dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan


33
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 34
34
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 27
35
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 202

16
sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan merupakan kehendak bebas

pihak-pihak yang bersengketa. Kehendak bebas ini dituangkan dalam

perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa

sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.

c. Dalam pasal 3 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970,

mengatakan bahwa penyelesain perkara di luar pengadiln atas dasar

perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi,

putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah

memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.

Menurut Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering)., arbitrase

merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan

kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan

mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri,

dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan

putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat

kedua belah pihak untuk melaksanakannya.36

Dari pengertian yang diberikan ini, tampak bagi kita bahwa arbitrase tidak

lain merupakan suatu badan peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan

yang mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka

dilakukan lewat pranata arbitrase. Dalam hal ini para pihak berhak dan berwenang

untuk menentukan dan mengangkat sendiri para arbiter yang akan menyelesaikan

36
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 16

17
sengketa mereka, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak untuk

menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang mereka kehendaki.37

Pasal 615 ayat (1) Rv, menguraikan :

”adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu

sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk

melepaskannya, untuk meyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang

atau beberapa orang wasit”

Selanjutnya dalam ayat (3) pasal 615 Rv. Ditentukan :

”bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk

menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada

pemutusan seseorang atau beberapa orang wasit”

Dari ketentuan Rv. Tersebut jelas bagi kita bahwa setiap orang berhak

orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian

sengketa meraka kepada seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan

memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan

yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Dan bahwa mereka

berhak untuk melakukan penunjukkan itu setelah ataupun sebelum sengketa terbit.

Penunjukkan penyelesaian sengketa lewat arbitrase sebelum sengketa terbit

dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka

(PACTUM DE KOMPROMITENDO). Sedangkan penunjukkan arbitrase sebagai

37
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 17

18
cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat

persetujuan arbitrase sendiri (AKTA COMPROMIS)38

Dalam klausula atau persetujuan yang dibuat tersebut, para pihak harus

dengan jelas-jelas mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyelesaian

sengeketa melalui arbitrase, dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas,

siapa saja yang akan mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan

sengketa meraka, tata cara apa yang harus ditempuh, bagaimana cara (para) arbiter

menyelesaikan sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah

diselesaikan, serta bagaimana sifat dari putusan yang dijatuhkan oleh (para)

arbiter tersebut.39

D. Eksekusi keputusan

Pasal 147

Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan penuntut

umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan

yang dipimpinnya.40

Pasal 148

1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu

tidak termasuk wewenang pengadilan negeri yang di pimpinnya, tetapi

38
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 17-18
39
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 18
40
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 130

19
termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat

pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap

berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang membuat alsannya.

2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut

umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya

kepada kejaksaan negeri ditempat pengadilan negeri yang tercantum dalam

surat penetapan.

3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.41

Penjelasan :

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam hal kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara yang

dimaksud dari kejaksaan negeri semula, ia membuat surat pelimpahan baru untuk

disampaikan ke pengadilan negeri yang tercantum dalam surat ketetapan.

Ayat (3)42

Cukup jelas

Pasal 149

1. Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan

pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 148, maka:

41
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 131
42
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 131

20
a. Ia mangajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang

bersangkutan dalam waktu tujuh had setelah penetapan tersebut

diterima.

b. Tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut diatas mengakibatkan

batalnya perlawanan.

c. Perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri

sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 dan hal itu dicacat dalam

buku daftar panitera.

d. Dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan

perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.

2. Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari stelah

menerima perlawanan tersebut dapat menguatkan atau menolak

perlawanan itu dengan surat penetapan.

3. Dalam hal pegadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum,

maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri

yang bersangkutan untuk menyidanngkan perkara tersebut.

4. Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri,

pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada

pengadilan negeri yang bersangkutan.

5. Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) dan ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.43

Penjelasan:

Pasal 149

43
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 132

21
Cukup jelas

Pasal 150

Sangketa tentang wewenang mengadili terjadi:

a. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwewenang

mengadili atas perkara yang sama,

b. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang

mengadili perkara yang sama.44

Penjelasan :

Pasal 150

Cukup jelas

Pasal 151

1. Pengadilan tinggi memutus sangketa wewenang mengaili antara dua

pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.

2. Mahkama agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua

sangketa tentang wewenang mengadili:

a. Antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan

pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain.

b. Antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah

hukum pengadilan tinggi yang berlainan.

44
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 133

22
c. Antara dua pengadilan tinggi atau lebih.45

Penjelasan :

Pasal 151

Cukup jelas46

DAFTAR PUSTAKA

Amriani Nurnaningsih,2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perdata di Pengadilan Jakarta: Rajawali Pers

Karjadi. M, R. Soesilo,1998. Kitab Undang-undangan Hukum Acara

Pidana, Bogor Sukabumi: Politelia

Mahkamah Agung R.I.,2004. Mediasi dan Perdamaian, Jakarta: MA-RI

Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung:

Alumni, 1985)

Sari Elsi Kartika, Advendi Simanunsong,2008. Hukum Dalam Ekonomi

Edisi Kedua, Jakarta: PT Grasindo

Widjaja Gunawan, Ahmad Yani,2000. Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


45
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 133
46
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 134

23

Anda mungkin juga menyukai