Anda di halaman 1dari 17

PERTEMUAN KE 23:

ALTERNATIF DISPUTE RESOLUTION (ADR)

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada pertemuan ini akan dijelaskan mengenai Pengertian Pengertian ADR,
Pendorong ADR, Perkembangan ADR di Indonesia, Bentuk-bentuk ADR. Anda harus
mampu :

1.1 Menjelaskan tentang Pengertian Alernatif Dispute Resolution (ADR)

1.2 Menjelaskan tentang Pendorong Alernatif Dispute Resolution (ADR)

1.3 Menjelaskan tentang Perkembangan ADR di Indonesia

1.4 Menjelaskan tentang Bentuk-bentuk ADR

B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
Menjelaskan tentang Pengertian Alternatif Dispute Resolution (ADR)

Menurut Huala Adolf bahwa: “Dalam suatu hubungan hukum atau perikatan
selalu dimungkinkan terjadi perselisihan di antara para pihak yang pada akhirnya
menimbulkan sengketa. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa.
Sumber potensi sengketa dapat berupa masalah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan
lingkungan, perdagangan, dan lain-lain”.1

Priyatna Abdurrasyid mengatakan bahwa: “Perdagangan merupakan salah satu


sektor yang mengalami perkembangan paling pesat dewasa ini sehingga sektor

1
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal, 1.

360
perdagangan dapat dikatakan sebagai sektor yang sangat rawan bagi timbulnya sengketa
di antara para pihak. Sengketa dapat terjadi setiap saat disebabkan oleh keadaan yang
sekilas tampak tidak berarti dan kecil sehingga terabaikan atau tanpa diperhitungkan
sebelumnya. Sengketa secara umum dapat berkenaan dengan hak-hak, status, gaya hidup,
reputasi, atau aspek lain dalam kegiatan perdagangan atau tingkah laku pribadi antara
lain:

1. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri, atau
dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan-penjelasan tentang
kenyataan-kenyataan data tersebut;
2. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran
penyelesaian sengketa yang diberikan oleh para ahli hukum yang terkait;
3. Akibat perbedaan teknis termasuk perbedaan pendapat dari para ahli teknik dan
profesionalisme dari para pihak;
4. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam
penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan asumsi; dan
5. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas, budaya,
nilai-nilai dan sikap”.2

Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya


penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dalam
perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.

Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa: “Konsep ADR (Alternative Dispute


Resolution) menekankan penyelesaian sengketa secara konsensus yang sudah lama

2
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, PT. Fikahati
Aneska, Jakarta, 2002, hal. iii.

361
dilakukan masyarakat, yang intinya menekankan upaya musyawarah mufakat,
kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. ADR mempunyai daya tarik khusus karena
keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat.
George Applebey dalam An Overview of Alternative Dispute Resolution berpendapat
bahwa ADR pertama-tama adalah merupakan suatu eksperimen untuk mencari model-
model:

1. Model-model baru dalam penyelesaian sengketa


2. Penerapan-penerapan baru terhadap metode-metode lama
3. Forum-forum baru bagi penylesian sengketa
4. Penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum”.3

Berdasarkan konsep tersebut maka dapat dinyatakan bahwa ADR merupakan


kehendak sukarela dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa
mereka di luar pengadilan, dalam arti di luar mekanisme ajudikasi standar konvensional.
Oleh karena itu, meskipun masih berada dalam lingkup atau sangat erat dengan
pengadilan, tetapi menggunakan prosedur ajudikasi non standar, mekanisme tersebut
masih merupakan ADR. Eva Achjani Zulfa mengemukakan dalam bukunya Philip D.
Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktek dan teknik-
teknik hukum yang ditujukan untuk:

1. Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaiakan di luar pengadilan untuk


keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa
2. Mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan
melalui litigasi konvensional
3. Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak di bawa ke pengadilan”.4

3
Barda Nawawi Arief, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hal. 23.
4
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
2009, hal. 1.

362
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli
(Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa). Pengertian lain dari Alternatif penyelesaian sengketa
adalah penyelesaian sengketa melalui jalur non pengadilan yang pada umumnya
ditempuh melalui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga
yang netral atau tidak memihak

Tujuan Pembelajaran 1.2:


Menjelaskan Tentang Pendorong Alternatif Dispute Resolution

Faktor Masyarakat Dunia

Menurut Erman Rajagukguk Penyelesaian sengketa alternatif sudah lama


dikembangkan, baik di Barat seperti Amerika Serikat dan Norwegia maupun di Timur
seperti Jepang dan Cina, baik karena alasan-alasan praktis maupun kebudayaan”.5
Gagasan untuk mengembangkan model penyelesaian sengketa melalui penyelesaian
sengketa alternatif ini nampaknya semakin meluas ke berbagai negara di dunia, baik
negara-negara sedang berkembang.

Selanjutnya Stephen B. Goldberg mengatakan bahwa : “Amerika Serikat sebagai


negara tempat pertama kali penyelesaian sengketa alternatif dikembangkan, sudah mulai
mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sejak tahun 1960”. 6 Salah satu bagian
gerakan ini adalah memberikan respon terhadap perjuangan hak-hak sipil. Pada tahun
1972 pusat hubungan masyarakat Departemen Kehakiman AS telah menolak sejumlah

5
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratam, Jakarta, 2000, hal. 103.
6
Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg I), Dispute Resolution Negasiation,
Mediation and Other Processes, Little Brown and Company, Boston-Toronto-London, 1992, hal. 3-4.

363
mediator untuk membantu menyelesaikan sengketa hak-hak sipil yang berskala luas di
dalam masyarakat.

Menurut M. Yahya Harahap Bahwa: “Lembaga penyelesaian sengketa alternatif


di AS telah meluas secara sangat signifikan. Pada tanggal 12 Februari 1980 bertepatan
dengan hari lahir Abraham Lincoln, Presiden Jimmy Carter menandatangani Dispute
Resolution Act sebagai landas-an hukum bagi lembaga mediasi”.7 Perkembangan
penyelesaian sengketa alternatif di AS cukup pesat karena mendapat dukungan dari
masyarakat dan juga lembaga peradilan formal. Penerapan penyelesaian seng-keta
alternatif telah dilakukan dalam sistem hukum, para hakim sering meminta pihak- pihak
yang bersengketa untuk berparti-sipasi dalam summary jury trial. Dalam sejumlah
pengadilan, pihak-pihak dianjurkan untuk mencoba proses mediasi sebelum dibenarkan
memajukan kasusnya ke pengadilan. Bisnis penyelesaian sengketa alternatif menawarkan
ber-bagai bentuk pelayanan. Para pensiun hakim sering bertindak sebagai pihak netral
untuk membantu penyelesaian sengketa. Serta banyak badan hukum yang
mengembangkan departemen penyelesaian sengketa alternatif dan menawarkan jasa yang
sama dengan penyelesaian sengketa alternatif penyedia swasta

ADR merupakan konsep baru tentang penyelesaian sengketa atau perbedaan


pendapat antara pihak yang sangat populer secara global yang merupakan alternatif
dalam menyelesaikan sengketa selain daripada melalui pengadilan (litigasi). ADR
dianggap suatu konsep yang sesuai dengan kodratnya manusia terutama kalangan bisnis,
yaitu penyelesaian masalah secara win win (semua pihak merasa happy). Akan tetapi
tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui ADR, hukum positif masing-masing
negara menetapkan batasan sengketa yang dapat diselesaikan melalui ADR. Misalnya
Indonesia membatasi sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase seperti
sengketa mengenai warisan, perceraian dan pembagian harta bersama, kewajiban
alimentasi dan sengketa yang tunduk pada hukum adat.

7
M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase
dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Bhakti, Jakarta, 1993, hal. 193.

364
Pengertian alternatif disini maksudnya bahwa pranata hukum dalam ADR
memberikan alternatif atau menawarkan pilihan-pilihan bagi para pihak untuk memilih
bagaimana bentuk (pranata hukum) yang cocok untuk menyelesaikan sengketa yang
sedang mereka hadapi. Pranata hukum yang ada dalam ADR tidak berarti cocok untuk
semua jenis dan sifat sengketa. Beberapa pakar, diantaranya Prof Priyatna Abdurrasyid
menyatakan bahwa: “Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dapat mencapai hasil yang
lebih baik daripada sistem pengadilan. Ada dua alasan, Pertama, jenis perselisihan
membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang bersengketa
merancang tatacara/prosedur khusus untuk penyelesaian berdasarkan musyawarah.
Kedua, mediasi dan bentuk APS lainnya melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan
langsung dalam usaha penyelesaian dari semua pihak dan akibatnya dikatakan bahwa
APS merupakan suatu cara penyelesaian perselisihan yang bukan lagi alternative”. 8

Beberapa prinsip pokok yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan/


penggunaan penyelesaian perkara melalui mekanismeADR, yaitu:

1. Sifat kesukarelaan dalam proses.


2. Prosedur yang cepat.
3. Keputusan Non-judicial.
4. Kontrol oleh manajer yang paling tahu tentang kebutuhan organisasi.
5. Prosedur Rahasia (Confidential ).
6. Fleksibilitas yang besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah.
7. Hemat waktu.
8. Hemat biaya.
9. Perlindungan dan pemeriharaan hubungan kerja.
10. Tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan.
11. Tingkatan yang lebih tinggi untuk melaksanakan kontrol dan lebih mudah
memperkirakan hasil.

8
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu pengantar , Fikahati Anesk
bekerjasama dengan BANI, Jakarta, 2002, hal. 19.

365
12. Kesepakatan-kesepakatan yang lebih baik daripada sekedar kompromi atau hasil
yang diperoleh dari cara penyelesaian kalah/ menang.
13. Keputusan yang bertahan sepanjang waktu

Menurut M. Yahya Harahap bahwa: “Beberapa prinsip dalam alternatif


penyelesaian sengketa di atas merupakan suatu faktor yang penting sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan penyelesaian sengketa, jika para pihak ingin
menyelesaikan permasalahan yang bersifat win-win solution. Pakar lainnya berpendapat
bahwa faktor yang menjadi esensi alasan perlunya alternatif penyelesaian sengketa yaitu:

1. Adanya tuntutan dunia bisnis


2. Adanya berbagai kritik yang dilontarkan kepada lembaga Peradilan.
3. Peradilan pada umumnya tidak responsif.
4. Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah
5. Kemampuan para Hakim bersifat generalis.
6. Adanya berbagai ungkapan yang mengurangi citra pengadilan.
7. Pencegahan terjadinya sengketa akan memperkecil sengketa”.9

Belajar dari praktik APS di Indonesia, Singapura dan Ameriksa sebagai contoh,
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong perkembangan APS meliputi
lingkungan, kondisi dan insentif yang diberikan oleh negara, dukungan lembaga yudikatif
dan parlemen, dunia usaha, perbaikan kelembagaan APS, dan penyadaran masyarakat.

1. Lingkungan, kondisi dan insentif yang berikan oleh Negara/pemerintah, antara lain:

a. menyediakan stabilitas politik, sosial dan ekonomi;


b. memberikan kepastian hukum;
c. menghormati proses dan keputusan Arbitrase;

9
M. Yahya Harahap, Alternative Dispute Resolution (ADR) Merupakan Jawaban Penyelesaian Sengketa
Perdagangan Internasional masa Depan, (Salatiga : makalah, Seminar Nasional Hukum Bisnis, FH. UKSW,
Salatiga, , 1996), hal. 9.

366
d. mengeluarkan lebih banyak peraturan/petunjuk yang mewajibkan atau
mendorong APS dalam persengketaan tertentu, misalnya Bapepam
menerbitkan peraturan atau edaran seperti yang dilakukan oleh Bank
Indonesia (PBI No. 8/5/PBI/2006, 20 Januari 2006);
e. memberikan insentif, sweetener, untuk mendorong perkembangan APS di
Indonesia, semacam insentif yang diberikan dalam proses Mediasi JITF.

2. Dukungan lembaga yudikatif:

a. menghormati proses dan keputusan Arbitrase;


b. memperkecil intervensi pengadilan terhadap pelaksanaan putusan Arbitrase;
c. mendukung pelaksanaan Perjanjian dan Putusan Arbitrase;
d. semakin sering menyarankan para pihak untuk menyelesaikan melalui APS;
e. terus mengembangkan court-annexed Mediation dan memperluas
implementasinya kepada seluruh pengadilan tingkat pertama di Indonesia;
f. memberikan insentif kepada Hakim yang menjadi Mediator pada court-annexed
Mediation.

3. Dukungan dunia usaha dan advokat:

a. memasukkan klausula APS di dalam kontrak standarnya;


b. memberikan insentif atau sweetener kepada nasabah yang bersedia memilih dan
menjalankan APS;
c. membudayakan APS di lingkungan kantornya;
d. menghormati proses dan kesepakatan Mediasi, proses dan putusan Arbitrase.

4. Perbaikan kelembagaan APS:

a. meningkatkan kualifikasi Arbiter dan Mediatornya;


b. meningkatkan good governance operasional dan administrasi;
c. meningkatkan layanan jasanya ke bidang pendidikan/pelatihan APS kepada
masyarakat.

367
5. Penyadaran masyarakat:

a. sosialisasi dan promosi oleh pemerintah, dunia usaha, lembaga APS dan advokat,
baik sendiri maupun bersama-sama, secara terus menerus kepada masyarakat
mengenai manfaat APS;
b. penyadaran masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan mengenai manfaat APS
ke pada masyarakat dan melalui lembaga pendidikan;
c. penyadaran pelaku pasar mengenai manfaat APS melalui lembaga pendidikan
profesi.

Tujuan Pembelajaran 1.3:


Menjelaskan Tentang Perkembangan ADR di Indonesia

Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu
atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat.
Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik,
sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Dalam kaitan itu
diperlukan mekanisme Alternaltif Penyelesaian Sengketa atau alternative dispute
resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas
kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah.
Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden
serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga
memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.

Perangkat hukum di Indonesia juga terus mengalami perkembangan berkaitan


dengan ADR. Sejak Agustus 1999 silam, Indonesia bahkan sudah memiliki Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara (i) konsultasi; (ii) negosiasi; (iii) mediasi; (iv) konsiliasi; dan (v)

368
penilaian ahli. Sayang, Undang-Undang ini hanya menekankan pembahasan mengenai
arbitrase. Sementara ADR lain tak banyak ditafsirkan dan dijabarkan lebih jauh.

Mas Achmad Santosa mengemukakan bahwa: “sekurang-kurangnya ada 5 faktor


utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa
alternatif di Indonesia, yaitu

1. Sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang penanaman modal


ke Indonesia. Kepastian hukum termasuk ketersediaan sistem penyelesaian
sengketa yang efisien dan reliable merupakan faktor penting bagi pelaku ekonomi
mau menanamkan modalnya di Indonesia. Penyelesaian sengketa alternatif yang
didasarkan pada prinsip kemandirian dan profesionalisme dapat menepis keraguan
calon investor tentang keberadaan forum penyelesaian sengketa yang reliable
(mampu menjamin rasa keadilan);

2. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan


mampu memenuhi rasa keadilan;

3. Upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi


dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan (termasuk
pengambilan keputusan terhadap urusan-urusan publik). Hak masyarakat berperan
serta dalam penetapan kebijakan publik tersebut menimbulkan konsekuensi
diperlukannya wadah atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk mewadahi
perbedaan pendapat (conflicting opinion) yang muncul dari keperansertaan
masyarakat tersebut;

4. Menumbuhkan iklim persaingan sehat (peer pressive) bagi lembaga peradilan.


Kehadiran lembaga-lembaga penyelesaian sengketa alternatif dan kasasi
pengadilan (tribunal) apabila sifatnya pilihan (optional), maka akan terjadi proses
seleksi yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
penyelesaian sengketa tertentu. Kehadiran pembanding (peer) dalam bentuk
lembaga penyelesaian sengketa alternatif ini diharapkan mendorong

369
lembagalembaga penyelesaian sengketa tersebut meningkatkan citra dan
kepercayaan masyarakat;
5. Sebagai langkah antisipatif membendung derasnya arus perkara mengalir ke
pengadilan”.10

Pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses hukum via litigasi bahwa

diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu,

bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute

resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR).

Tujuan Pembelajaran 1.4:

Menjelaskan Tentang Bentuk-bentuk ADR

Pembahasan ini lebih dititikberatkan pada penyelesaian sengketa diluar


pengadilan, yang secara garis besar dibedakan atas 2 yakni pertama: Penyelesaian
sengketa secara arbitrase; dan Kedua, penyelesaian sengketa secara alternatif
penyelesaian sengketa, yang masing-masing dibahas lebih lanjut sebagai berikut:
1) Arbitrase

Menurut Munir Fuady bahwa: “Arbitrase (Arbitration, bahasa Inggris)


merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan “pengadilan
wasit” sehingga para “arbiter” dalam peradilan arbitrase berfungsi layaknya
seorang “wasit” (referee) seumpama wasit dalam pertandingan bola kaki”.11

10
Santoso, Mas Achmad. Perkembangan ADRD Indonesia, Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Hasil
Penelitian Teknik Mediasi Tradisional, Diselenggarakan The Asia Fondation Indonesia Centre for Environmental
Law, kerjasama dengan Pusat Kajian Pihak Penyelesaian Sengketa Universitas Andalas. Di Sedona Bumi Minang,
27 November, 1999
11
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, hal. 12.

370
Pendapat Munir Fuady yang menyebutkan arbitrase sebagai pengadilan swasta,
dan berfungsinya arbiter layaknya sebagai seorang wasit dalam pertandingan
sepak bola di atas, sekilas tampak benar, tetapi tidak tepat. Benar, oleh karena
Peradilan yang dikenal dalam sistem peradilan di Indonesia dikategorikan sebagai
Peradilan Negara. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, menentukan bahwa „Peradilan negara menerapkan dana menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila” (Pasal 2 ayat (2). Kemudian
ditentukan bahwa “Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan Undang-Undang” (Pasal 2
ayat (3). Hal itu berarti, kedudukan arbitrase sebagai peradilan swasta benar, oleh
karena tidak termasuk sebagai bagian dari peradilan Negara”.12

2) Konsultasi

Menurut Henry Campbell Black bahwa: “Istilah Konsultasi (Consultation,


bahasa Inggris), diartikan sebagai berikut: “Act of consulting or conferring; e.g.
patient with doctor; client with lawyer. Deliberation of persons on some subject.
A conference between the counsel engage in a case, to discuss its questions or
arrange the method of conducting it”.13 M. Marwan dan Jimmy P, menjelaskan
arti Konsultasi, sebagai berikut: “Permohonan nasihat atau pendapat untuk
menyelesaikan suatu sengketa secara kekeluargaan yang dilakukan oleh para
pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga”.14

3) Negosiasi

12
Ibid
13
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, 1989, p.286.
14
Marwan, M , dan Jimmy P, Kamus Hukum , Reality Publisher, Surabaya, 2009, hal. 378.

371
Menurut Henry Campbell Black bahwa : “Istilah “Negosiasi” dalam
terminologi bahasa Inggris disebut dengan “Negotiate” dan “Negotiation”. Henry
Campbell Black, mengartikan “Negotiation” sebagai “is process of submission
and consideration of offers until acceptable offer is made and accepted”.15 Istilah
“Negotiation” diartikan oleh

4) Mediasi
Istilah “Mediasi” dalam bahasa Inggris dinamakan “Mediation” yang
diartikan oleh M. Marwan dan Jimmy P. sebagai berikut : “Negosiasi adalah suatu
proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga
untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa;
pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa antara dua pihak”.16

Munir Fuady menjelaskan tentang penyelesaian sengketa melalui mediasi,


bahwa : “Yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu proses penyelesaian
sengketa berupa negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang
netral dan tidak memihak, yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa
untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut
secara memuaskan kedua belah pihak. Pihak ketiga yang netral tersebut disebut
dengan mediator”.17

5) Konsiliasi

Menurut M. Marwan dan Jimmy P, mengartikan bahwa: “Konsiliasi


sebagai usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak bersengketa agar
mencapai kesepakatan guna menyelesaikan sengketa dengan kekeluargaan”.18

15
Henry Campbell Black, Black’s, Op.Cit, hal. p.394.
16
Marwan, M , dan Jimmy P, Op.Cit, hal. 426.
17
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis. Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013, hal. 314.
18
Marwan, M , dan Jimmy P, Op. Cit

372
Munir Fuady menjelaskan bahwa: “Konsiliasi mirip dengan mediasi, yakni
merupakan suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi untuk
memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak memihak yang
akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi
dalam menyelesaikan sengketa tersebut”.19

6 ) Penilaian Ahli
Penilaian ahli, merupakan bentuk pendapat ahli yang dapat dipahami dan
diterima oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Hukum Acara, dikenal sebagai
saksi ahli, yakni suatu kesaksian berdasarkan keahlian dari seseorang atau lebih
untuk menemukan solusi pada pokok persengketaan. Penilaian ahli juga
dinamakan sebagai keterangan ahli, yang dalam Undang-Undang No. 8 tahun
1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dirumuskan bahwa
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan” (Pasal 1 Angka 28).

Penilaian ahli sebagai bagian dari cara atau proses penyelesaian sengketa
berbeda secara prinsipil dengan keterangan ahli, oleh karena keterangan ahli
diberikan atau disampaikan pada suatu sidang pengadilan, sedangkan penilaian
ahli dikemukakan atau disampaikan di luar forum pengadilan. Bentuk
penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan
tersebut di atas dikelompokkan sebagai penyelesaian sengketa secara hukum.
Terlepas dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan, maka penyelesaian
sengketa di luar pengadilan baik melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi atau penilaian ahli merupakan upaya-upaya yang ditempuh berdasarkan

19
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hal. 315.

373
perdamaian. Bukan menggunakan kekerasan, dan perdamaian ditempuh secara
musyawarah untuk mufakat.

Objek persengketaan yang menjadi ruang lingkup penyelesaian sengketa


melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa hanya terbatas pada objek
keperdataan, seperti dalam Perjanjian atau Akad Kredit, Perjanjian atau Akad
Pembiayaan Bank Syariah, Perjanjian atau Akad Pembiayaan (multi-finance).
Perjanjian atau Akad pendirian Perusahaan patungan (joint Venture) antara
perusahaan nasional dengan perusahaan asing, dan lain-lainnya, lazimnya
menentukan klausul tertentu manakala kemudian hari timbul persengketaan. Jika
tidak ada klausul dan kemudian timbul sengketa, tentunya akan diselesaikan
melalui pengadilan (ligitasi).

C. SOAL LATIHAN/TUGAS

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pengertian Alernatif Dispute Resolution (ADR)

2. Jelaskan tentang Pendorong Alernatif Dispute Resolution (ADR)!

3. Jelaskan tentang Perkembangan ADR di Indonesia!

4. Jelaskan tentang Bentuk-bentuk ADR !

D. GLOSARIUM
referee = wasit
Arbitration = Arbitrase
peer pressive = Persaingan sehat
conflicting opinion = Perbedaam Pendapat

374
E. DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratam, Jakarta,


2000

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas


Indonesia, Jakarta, 2009

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, 198

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
hal, 1.

Marwan, M , dan Jimmy P, Kamus Hukum , Reality Publisher, Surabaya, 2009

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis. Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2013
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005
M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan
Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Bhakti, Jakarta, 1993
M. Yahya Harahap, Alternative Dispute Resolution (ADR) Merupakan Jawaban
Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional masa Depan, (Salatiga : makalah,
Seminar Nasional Hukum Bisnis, FH. UKSW, Salatiga, , 1996)
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,
PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2002
Santoso, Mas Achmad. Perkembangan ADRD Indonesia, Makalah Disampaikan dalam
Lokakarya Hasil Penelitian Teknik Mediasi Tradisional, Diselenggarakan The Asia
Fondation Indonesia Centre for Environmental Law, kerjasama dengan Pusat Kajian
Pihak Penyelesaian Sengketa Universitas Andalas. Di Sedona Bumi Minang, 27
November, 1999

375
Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg I), Dispute Resolution
Negasiation, Mediation and Other Processes, Little Brown and Company, Boston-
Toronto-London, 1992

376

Anda mungkin juga menyukai