Anda di halaman 1dari 15

KONSEP ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DAN

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE DI INDONESIA

(STUDI KASUS PERTAMINA VS KARAHA BODAS)

Oleh: BENYAMIN STEVEN – 1811121058

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Arbitrase adalah termasuk ke dalam salah satu jenis alternative dispute

resolution (ADR) yang mana merupakan wadah untuk menyelesaikan

sengketa yang berkaitan dengan bisnis di luar pengadilan. Tidak banyak pihak

yang memilih arbitrase, hal ini dikarenakan ketidaktahuan akan keuntungan

yang akan didapatkan dari arbitrase. Kurangnya informasi dan pengetahuan

akan arbitrase menjadikan alternatif penyelesaian sengketa jenis tersebut

menjadi kurang populer. Padahal arbitrse menurut beberapa pihak dianggap

lebih “unggul” dibanding proses litigasi dalam menyelesaikan sengketa.

Keunggulan tersebut di antaranya mengenai biaya perkara yang lebih

terjangkau dan waktu yang lebih singkat dalam menyelesaikan sengketa.

(agung, 2000)

Mengenai arbitrase telah dipilih dan digunakan oleh banyak negara,

sehingga perlunya pemahaman mengenai perkembangan arbitrase baik di

Page 1 of 15
dalam maupun luar negeri. Karena masing-masing lembaga arbitrase

memiliki keunikan tersendiri.

Makalah singkat ini dibuat untuk memberikan pemahaman mendasar

mengenai praktik beracara arbitrase serta pelaksanaan putusan arbitrase.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam

Arbitase?

2. Bagaimanakah pelaksanaan putusan Arbitrase?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam

Arbitase di Indonesia.

2. Memberikan pemahaman seputar tentang pelaksanaan putusan

Arbitrase di Indonesia (Studi Kasus Pertamina Vs Karaha Bodas).

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam Arbitrase

Untuk memperoleh gambaran umum tentang apa yang disebut ADR,

George Applebey dalam tulisannya “An Overview of Alternative Dispute

Page 2 of 15
Resolution,” dengan merujuk pendapat Liebermann dan Hendry, berpendapat

bahwa ADR pertama-tama adalah merupakan suatu eksperimen mencari :

1. Model-model baru dalam penyelesaian sengketa.

2. Penerapan-penerapan baru terhadap metode-metode lama.

3. Forum-forum baru bagi penyelesaian sengketan dan

4. Penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum. (Pahami Teknik

Beracara Arbitrase dan Konsep Online Dispute Resolution, 2019)

Definisi tersebut diatas sangat luas dan terlalu akademis. Satu definisi

yang lebih sempit dan praktis dikemukan oleh Phillip D. Bostwick yang

menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktek dan teknik-teknik

hukum yang ditujukan untuk :

1. Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan diluar

pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang

bersengketa sendiri.

2. Mengurangi biaya dan keterlambatan kalau sengketa tersebut

diselesaikan melalui litigasi konvensional.

3. Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan.

Tetapi teori ini selanjutnya berkembang menjadi :

1. ADR (A lternative D ispute R esolution) /PPS (Pilihan Penyelesaian

Sengketa) di luar pengadilan (ADR outside the court).

2. ADR (Alternative Dispute Resolution) / PPS di dalam pengadilan

(ADR inside the court).

Page 3 of 15
Bentuk-Bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) antara lain;

Negosiasi, Good Offices, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, Summary Jury Trial,

Rent a Judge, Med-Arb, Hybrid, CDR (Court Dispute Resolution) atau

CADR (Court Annexed Dispute Resolusion).

Persoalan landasan hukum pelembagaan ADR sebagai bentuk

penyelesaian sengketa telah diupayakan pemecahannya melalui perangkat

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor

138) tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa

alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati bersama oleh

para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,

negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum bagi

berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan yang

diharapkan berprosedur informal dan efisien. Hal ini akan memberikan

kemudahan bagi masyarakat untuk berperan serta dan mengembangkan

mekanisme penyelesiaian konfliknya sendiri serta mendapatkan pilihan untuk

mnyelesaikan sengketa yang mungkin timbul.

Dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase

dibedakan dengan alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan metode

penyelesaiannya. Metode penyelesaian dalam alternatif mpenyelesaian

sengketa dilakukan antara lain melalui:

Page 4 of 15
1. Konsultasi;

2. Negosiasi;

3. Konsiliasi atau

4. Penilaian ahli

Pengertian alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase telah

diperkenalkan sebagai suatu institusi/lembaga yang dipilih para pihak yang

mengikat apabila timbul beda pendapat atau sengketa. Dengan demikian,

berdasarkan undang-undang, alternatif penyelesaian sengketa bertindak

sebagai lembaga independen diluar arbitrase. Arbitrase mempunyai

ketentuan, cara dan syarat-syarat tersendiri untuk pemberlakuan

formalitasnya, akan tetapi terdapat kesamaan mengenai bentuk sengketa yang

dapat diselesaikan yaitu :

1. Sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang perdagangan, dan

2. Menurut peraturan perundang-undangan sengketa atau beda pendapat

tersebut dapat diajukan dengan upaya ’’damai”.

Penyelesaian sengketa model ADR menempuh mode rahasia

(confidential). Konsepsi kerahasiannya diatur dalam Undang-undang No. 30

Tahun 1999. Diaturnya konsepsi kerahasiaan ini memberikan jaminan bagi

para pihak yang bersengketa dalam kapasitas yang sama besar dan saling

memberikan kontrol terhadap masing-masing.

Bentuk kesepakatan para pihak mengenai cara penyelesaian sengketa

atau beda pendapat dalam suatu hubungan hukum dibuat dalam suatu

Page 5 of 15
pernyataan dari para pihak yang menerangkan bahwa semua sengketa atau

beda pendapat yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum

tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif

penyelesaian sengketa.

Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa

para pihak dapat menggunakan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi ataupun

penilaian ahli yang diselesaikan dalam suatu pertemuan langsung oleh para

pihak dalam waktu 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu

kesepakatan tertulis.

Ketentuan ini memberikan keleluasaan para pihak untuk menetapkan

aturan main terhadap penyelesaian konfliknya, meskipun hanya diberikan

waktu maksimal 14 hari.

Jika para pihak dalam penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat

memperoleh jalan buntu dan belum menuangkannya dalam perjanjian atas

kesepakatan tertulis, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui bantuan

seorang atau lebih penasihat ahli atau mediator.

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tidak mengatur ketentuan terhadap

lembaga terhadap lembaga penyedia jasa (penasihat, ahli, mediator), tetapi

hanya memberikan batasan pada lembaga alternatif penyelesaian sengketa

yang menunjuk seorang mediator atau penasihat ahli. Disinilah kemudian

terjadi kebingungan pada masyarakat yang ingin mencari lembaga penyedia

jasa, karena didalam aturan itu sendiri juga tidak diterangkan syarat-syarat

pengangkatan untuk mediator, negosiator dan penasihat ahli.

Page 6 of 15
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis

bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan baik serta

wajib didaftarkan di pengadilan negeri. Dengan demikian pengadilan negeri

sebagai lembaga yudisial tidak dapat dipungkiri lagi kekuatan mengikatnya

yang berkekuatan hukum.

Akan tetapi Undang-undang No. 30 tahun 1999 tidak menerangkan

lebih lanjut bagaimana jika kesepakatan atau beda pendapat yang sudah

didaftarkan tidak dilaksanakan oleh para pihak sampai batas waktu yang

sudah ditentukan.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia (Studi Kasus Pertamina vs

Karaha Bodas)

Kasus Karaha bodas merupakan kasus arbitrase yang sangat banyak

memberi perhatian baik untuk kalangan praktisi hukum, penegak hukum,

maupun pemerintahan. Kasus ini bukan hanya menjadi perhatian di

Indonesia, tetapi juga negara-negara lain khususnya yang terlibat untuk

penyelesaian kasus ini seperti Amerika Serikat dan Switzerland.

Sebuah putusan Arbitrase Internasional yang sudah diputus diluar

negeri bila di bawa ke Indonesia tentu ada 2 kemungkinannya, yaitu :

1. Putusan Arbitrase Internasional minta untuk dilaksanakan, atau

2. Putusan Arbitrase Internasional diminta untuk dibatalkan.

Dalam hal Arbitrase Internasional sudah menjadi putusan, maka sesuai

ketentuan Pasal 67 UU Arbitrase, dinyatakan bahwa untuk eksekusi, putusan

Page 7 of 15
tersebut harus diserahkan dan didaftar oleh arbiternya atas kuasanya kepada

Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, baru setelah itu dimohonkan

pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Dalam segi formalnya putusan

Arbitrase Internasional tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan Pasal 66 UU Arbitrase. Untuk Putusan Arbitrase Internasional

yang diminta untuk dibatalkan, pada hakekatnya proses pembatalan biasanya

tidak diatur dalam konteks perjanjian Internasional, tetapi diatur dalam

hukum nasional suatu negara, apa saja yang dianggap bisa membatalkan

putusan arbitrase pembatalan bisa dilakukan bila dalam proses penyelesaian

sengketa lewat arbitrase itu dianggap bertentangan dengan keinginan para

pihak atau bertentangan dengan hukum yang berlaku di Negara setempat.

Dalam perkara PERTAMINA dan KBC, keduanya belum mempunyai

kesepakatan dalam penyelesaian sengketa, dimana masing-masing pihak

terus mempertahankan argumentasinya dan berjuang untuk kemenangan di

Pengadilan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebagai faktor yang menjadi pijakan kuat pihak Karaha Bodas

Company LLC dalam mempertahankan argumentasinya di Pengadilan

adalah:

1. Pihak KBC merasa dirugikan karena adanya pembatalan kontrak

Proyek Karaha Bodas akibat dikeluarkannya Keppres RI

2. Pihak KBC merasa sudah menang dengan adanya Putusan Arbitrase

Jenewa Swiss, yang menghukum PERTAMINA harus membayar

ganti rugi.

Page 8 of 15
Sedangkan PERTAMINA juga mempunyai alasan kuat untuk tetap

berupaya untuk mempertahankan argumentasinya dalam sengketa ini, antara

lain :

1. Pihak PERTAMINA beranggapan bahwa pembatalan kontrak proyek

Karaha Bodas bukan atas kemauan PERTAMINA, melainkan adanya

keputusan Pemerintah RI untuk mengurangi dampak krisis ekonomi

yang melanda Indonesia, mau tidak mau PERTAMINA harus

mematuhi ketentuan itu.

2. Pihak PERTAMINA merasa menang di Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, dengan dikeluarkannya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

No.86/PDT/G/2002/PN.JKT.PST, tanggal 27 Agustus 2002, namun

akhirnya pada tingkat banding harus mengakui adanya putusan

Mahkamah Agung Republic Indonsia No. 01/Banding/Wasit.Int/2002,

tanggal 8 Maret 2004, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, karena tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus

gugatan penggugat (PERTAMINA).

3. Pihak PERTAMINA mempunyai bukti-bukti yang dipergunakan untuk

memberi alasan di Pengadilan bahwa pihak KBC mempunyai beberapa

kesalahan diantaranya :

1) Kejanggalan Proyek, hal ini berdasarkan Independent Apraisal

dari Italia yang memberikan penilaian bahwa investasi yang telah

ditanam KBC dalam proyek Karaha Bodas tidak lebih dari US$

50 juta.

Page 9 of 15
2) Kejanggalan laporan pengeluaran investasi, KBC telah

melakukan ketidakjujuran did pan Arbitrase Internasional ketika

melaporkan pengeluaran investasi yang dilakukan di Indonesia.

KBC mengajukan Klaim investasi sejak tahun 1995 hingga tahun

1998 sebesar US$ 93,1 juta, jauh diatas yang dilaporkan

PERTAMINA US$ 40,18 juta atau kepada Ditjen Pajak yakni

SPT PPh Badan sebesar US$84,9 juta. Seperti juga diungkapkan

oleh Dirjen Pajak Hadi Poernomo, bahwa KBC telah

menyebabkan kerugian Negara hingga lebih dari US$ 1 41 juta

atau sekitar Rp.1.268 triliun.

3) Pengingkaran penerimaan Klaim Asuransi, KBC telah

menghindari pada siding Arbitrase di Swiss tentang penerimaan

klaim asuransi, ternyata kemudian diketahui KBC telah

menerima uang klaim asuransi sebesar US$ 75 juta. Sesuai

kontrak, seharusnya pihak KBC memberitahukan ke

PERTAMINA jika mereka telah mengasuransikan proyek ini

sebelumnya.

4) Kebenaran nilai cadangan kapasitas listrik KBC mengklaim

kapasitas proyek itu sebesar 210 MW, menurut survey probable

reserse (cadangan belum terbukti) hanya 75 MW dan proven

reserve (cadangan terbukti) hanya 30 MW.

5) Terdapat dugaan korupsi dalam Proyek Karaha Bodas,

sebagaimana dijelaskan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus

Page 10 of 15
Kejagung RI, Sudhono Iswahyudi, bahwa terdapat

penggelembungan proyek saat penyusunan anggaran, dinilai

sangat berlebihan ketika KBC meminta klian atau ganti rugi

sebesar US$ 90 juta, padahal hasil penelitian proyek itu

dikerjakan KBC tidak dari US$ 50 juta. Hal senada juga didukung

oleh Fabry Tumiwa kordinator Working Group on Power Sector

Restructuring (WGPSR), yang menegaskan bahwa putusan

arbitrase internasional bias ditolak apabila terbukti ada korupsi

dan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk

mengambil sikap yang tegas dalam memimpin langsung upaya

mengungkapkan dugaan korupsi pada proyek PLTP Karaha

bodas sekaligus menon-aktifkan pejabat pemerintah yang terkait

dengan dalam kasus tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan berikut Saran

Sebenarnya ada peluang untuk dapat menyelesaikan sengketa ini

dengan cara penyelesaian diluar pengadilan melalui negosiasi. Penyelesaian

melalui cara negosiasi selaras dengan Pasal 1 ayat 10 dan Pasal 6 UU

Arbitrase, namun sayangnya secara detail definisi tidak dijelaskan

didalamnya.

Page 11 of 15
Kasus perseturuan antara PERTAMINA dengan Karaha Bodas

Company merupakan sengketa yang cukup memberikan perhatian besar dan

berdampak politis, sengketa ini bukan sengketa bisnis biasa, karena sudah

melibatkan institusi kepemerintahan. Dalam hal ini PERTAMINA tidak bisa

tinggal diam, karena dampak keputusan Arbitrase Internasional yang

dicantumkan pada “preliminary Award” (30 September 1999) dan “Final

Award” (18 Desember 2000), sangat merugikan perusahaan karena harus

membayar ganti rugi sebesar US$ 261 juta berikut bunga 4%

pertahun.

Penundaan eksekusi dikarenakan adanya gugatan PERTAMINA di

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana akhirnya Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Pusat mengeluarkan putusannya No.86/PDT.G./2002./PN.JKT.PST

tanggal 27 Agustus yang mengabulkan gugatan PERTAMINA, dengan

menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap Putusan

Arbitrase yang ditetapkan di Jenwa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut

Putusan Sela (preliminary award) yang ditetapkan di Jenewa tanggal 30

September 1999. Putusan ini memerintahkan kepada Tergugat (KBC) atau

siapapun yang mendapat hak dari padanya untuk tidak melakukan tindakn

apapun, termasuk pelaksanaan putusan Arbitrase Jenewa, Swiss tanggal 18

Desember 2000 yang bersumber pada perjanjian JOC dan ESC tanggal 28

November 1994 dengan ketetuan tergugat dikenakan uang paksa sebesar US$

500.000 setiap harinya jika ketentuan tersebut dilanggar.

Page 12 of 15
Pengajuan memori kasasi ke Mahkamah Agung RI oleh KBC berbuah

hasil, yaitu dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung

No.01/Banding/Wasit.Int.2002 tanggal 4 Maret 2004, yang mengabulkan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tanggal

27 Agustus 2002. Dalam provinsi dan Pokok Perkara, dinyatakan bahwa

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan

(PERTAMINA) untuk membayar biaya perkata dalam kedua tingkat

peradilan, yang dalam tingkat bnding ini ditetapkan sebesar Rp.500.000 (lima

ratus ribu rupiah).

Pada dasarnya sebuah putusan Arbitrase Internasional yang sudah

diputus diluar negeri bila di bawa ke Indonesia tentu ada 2 (dua)

kemungkinannya yaitu putusan Arbitrase Internasional minta untuk

dilaksanakan atau putusan Arbitrase Internasional diminta untuk dibatalkan,

bila kita cermati bahwa keputusan Arbitrase bersifat final and binding dan

begitu juga yang tercantum pada peraturan UNCITRAL, tentu segala

persoalan sudah jelas dan pasti. Mengingat putusan Arbritrase Internasional

belum memberikan rasa keadilan bagi PERTAMINA, karena belum

sepenuhnya majelis Arbitrase Jenewa memperhatikan fakta-fakta yang

diberikan PERTAMINA. (Sukwanto, 2010)

Berdasarkan fakta yang ada bahwa penanganan proyek Karaha Bodas

mengidiksikan ketidakjujuran dan perlu diungkap kebenarannya, maka

PERTAMINA melakukan perlawanan hukum. Perlawanan hukum itu

tercermin dengan adanya gugatan PERTAMINA, gugatan kontra memori

Page 13 of 15
kasasi atas memori banding KBC, dimana kesemuanya itu saling

berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran masing-masing pihak.

Dimana proses hukum itu menghasilkan putusan-putusan baik pada tingkat

pertama maupun tingkat banding dan mengingat masih terbukanya peluang

penyelesian bagi kedua belah pihak.

Page 14 of 15
DAFTAR PUSTAKA

agung, p. p. (2000). LAPORAN PENELITIAN ALTERNATIVE


DESPUTE RESOLUTION. Diambil kembali dari
mahkamahagung.go.id:
https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/ebo
ok/36.pdf
Pahami Teknik Beracara Arbitrase dan Konsep Online Dispute
Resolution. (2019, Agustus 15). Diambil kembali dari
hukumonline.com:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d54eb47d4a15/yu
k-pahami-teknik-beracara-arbitrase-dan-konsep-online-dispute-
resolution
Sukwanto, B. (2010). Mercatoria Vol. 3 No. 1 PELAKSANAAN
PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA.
Diambil kembali dari core.ac.uk:
https://core.ac.uk/download/pdf/326807023.pdf

Page 15 of 15

Anda mungkin juga menyukai