Anda di halaman 1dari 48

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM

MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP


PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk)

Proposal Skripsi

Oleh
AGNESIA MUTIARA SANI
1712011050

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 10
E. Sistematika Penulisan 15

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan 17
B. Macam-Macam Putusan 23
C. Putusan Bebas sebagai Putusan Hakim dalam Perkara Pidana 27
D. Pengertian dan Macam-Macam Tindak Pidana Korupsi 30

III. METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Masalah 38
B. Jenis dan Sumber Data 38
C. Penentuan Narasumber 40
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 40
E. Analisis Data 42
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi merupakan perbuatan tidak bermoral, tidak baik, curang,

melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan

menyalahgunakan jabatan yang bermaksud memperkaya diri sendiri atau

kelompok atau orang lain yang berakibat merugikan perekonomian negara.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(UU PTPK). Definisi korupsi tersebut telah dijelaskan di dalam 13 butir pasal

dalam UU PTPK. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam

tiga puluh jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis tersebut pada dasarnya

dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis tindak pidana korupsi yaitu kerugian

keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan,

perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.1 Pasal-

pasal tersebut menerangkan secara rinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan

sanksi pidana korupsi.

1
M. Syamsa Ardisasmita, Definisi Korupasi Menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement
untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparant dan Akuntabel, makalah dalam
Seminar Nasional “Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”
oleh Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta pada tgl. 23
Agusrus 2006, hlm. 4.
2

Salah satu tindak pidana korupsi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah

pungutan liar. Pungutan liar atau Pungli ternyata belum sepenuhnya mati di

Indonesia, hingga saat ini Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara masih

terlibat dalam kasus pungutan liar. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

yang berwenang tersebut meminta pungutan liar dalam mempelancar pembuatan

dokumen kependudukan, seperti pembuatan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda

Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), akta nikah dan lainnya. Hal

tersebut dilakukan dengan alasan agar pembuatan dokumen kependudukan

tersebut lancar dan cepat. Pungli merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan

wewenang yang bertujuan untuk memudahkan suatu urusan atau memenuhi

kepentingan dari pihak pembayar pungutan. Birokrasi pemerintah mempunyai

fungsi mengatur, memerintah, menyediakan fasilitas, serta memberikan pelayanan

kepada masyarakat dengan tujuan supaya kepentingan-kepentingan umum

pelayanan administrasi dapat dipenuhi melalui serangkaian aturan-aturan yang

sama bagi semua pihak.2

Hingga saat ini kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah

termasuk di lembaga yudikatif masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit diakses,

prosedur yang berbelit-belit, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek

pungutan liar merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di

Indonesia. Di samping itu kencederungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan

publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan

pelayanan. Sebaliknya bagi yang memiliki uang dengan sangat mudah

mendapatkan segala yang diinginkan. Kondisi tersebut lebih disebabkan karena

2
Wahyu Ramadhani, “Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap
Pelayanan Publik”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 12, Nomor 2, Tahun 2017.
3

paradigma pemerintah di era pasca reformasi yang masih seperti pada era orde

baru yang belum mengalami perubahan mendasar.3

Tindakan tersebut mengakibatkan masyarakat menyerah ketika berhadapan

dengan pelayanan publik yang korup. Hal ini merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan masyarakat cenderung toleran terhadap praktik pungutan liar, suap

dan pemerasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Apabila

ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus menerus terjadi maka pelayanan yang

berpihak ini akan menumbuh kembangkan praktik korupsi dan memunculkan

potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa.

Pungli atau pungutan liar kerapkali disamakan dengan suap maupun pemerasan.

Masyarakat awam seringkali mempersamakan ketiga tindakan tersebut. Pada

kenyataannya tindakan tersebut berbeda. Pungli dapat digolongkan dalam tindak

pidana korupsi dalam bentuk pemerasan. UU PTPK membedakan antar suap-

menyuap dan pemerasan. Pengertian dari pungli, suap dan pemerasan sebagai

berikut.

Pungli atau pungutan liar termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, di mana

dalam konsep kejahatan jabatan dijabarkan bahwa pejabat demi menguntungkan

diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa

seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

sendiri.4 Contoh dari tindakan pungli seperti pada pelayanan pembuatan KTP,

Akta Nikah, dan SIM.


3
Maroni, Hukum Birokrasi Peradilan Pidana, (Lampung: Aura, 2018), hlm. 15.
4
Moh. Toha Solahuddin, “Pungutan Liar (Pungli) dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi”,
Majalah Paraikatte Vol. 26 edisi Triwulan III, Tahun 2016.
4

Definisi suap berkonotasi pada adanya janji, iming-iming atau pemberian

keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau pegawai negeri,

langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai negeri atau pejabat

tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang sah.5 Contoh dari

tindak pidana suap seperti membangun gedung tanpa Analisis Dampak

Lingkungan (AMDAL), illegal loging.

Definisi dari pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau

penyelenggara negara (berperan aktif) melakukan pemerasan kepada orang atau

korporasi tertentu yang memerlukan pelayanan, yang dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan

menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa seseorang untuk memberikan

sesuatu, membayar atau meneriman pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.6 Contoh dari pemerasan seperti tilang

ilegal, jual beli Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sebagaimana penjelasan di atas terkait tindak pidana korupi yang berupa

pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam hal pembuatan akta

nikah, di bawah ini penulis menguraikan contoh kasus yang berkaitan dengan

tindak pidana korupsi Putusan Nomor 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk atas nama

Mulyadi. Pada tanggal 16 Mei 2017 Mulyadi selaku Kepala Pekon Air Kubang

terkena Oprasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Polres Tanggamus. Kejadian tersebut

terjadi di Kantor Pekon Air Kubang Kecamatan Air Naningan Kabupaten


5
Muladi, Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan Penanggulangannya,
makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan
Hukum Pidana” Kerjasama FH UNDIP dengan KY di Semarang pada tgl. 16 Januari 2015, hlm 2.
6
Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap,
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/perbedaan-gratifikasi-
uang-pelicin-pemerasan-dan-suap, diakses pada tanggal 11 Juni 2020, pukul 02.54 wib.
5

Tanggamus. Mulyadi diduga melakukan pungli atau menerima suap dari salah

satu warga yang ingin mengurus kutipan akta nikah sebesar Rp. 1.800.000,- (satu

juta delapan ratus ribu rupiah).

Atas tindakan tersebut Mulyadi didakwa dengan dakwaan yang bersifat alternatif

yakni Dakwaan Pertama melanggar Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Dakwaan kedua melanggar

Pasal 11 Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa Penuntut Umun

meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana kepada Mulyadi dengan

pidana penjara selama 8 (delapan) bulan penjara dengan perintah terdakwa segera

ditahan dan Denda sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidiair

6 (enam) bulan kurungan.7

Majelis Hakim menimbang bahwa tidak ditemukannya fakta bahwa Mulyadi

menerima hadiah atau janji dalam proses pembuatan surat izin nikah, oleh karena

salah satu unsur dari Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi tidak terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam

dakwaan alternatif pertama, sehingga terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan


7
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang tanggal
30 April 2019, Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk, hlm. 4.
6

alternatif pertama tersebut. Pada dakwaan alternatif kedua Majelis Hakim kembali

tidak menemukan fakta bahwa terdawa Mulyadi telah menerima hadiah atau janji

dalam proses pembuatan surat izin nikah tersebut, oleh karena salah satu unsur

dari Pasal 11 Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terpenuhi, maka

Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Alternatif

pertama, sehingga terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternatif pertama

tersebut.8

Berdasarkan kasus di atas, pelaku tindak pidana korupsi yakni tindak pidana

pungli secara ideal dipidana sesuai dengan ancaman yang diatur di dalam Pasal

12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kenyataannya dalam Putusan

Nomor 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk Hakim Tindak Pidana Korupsi Pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam perkara aquo menjatuhkan putusan

bebas terhadap Mulyadi selaku terdakwa tindak pidana korupsi dari tuntutan Jaksa

Penuntut Umum.

Putusan hakim ini menjadi pertanyaan publik, apa dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap Terdakwa Mulyadi dan apakah

putusan tersebut telah mencerminkan rasa keadilan. Hakim dalam membuat

putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai dari perlunya

8
Ibid, hlm. 38.
7

kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat

formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam

membuatnya.

Hakim sebelum menjatuhkan pidana harus memiliki dasar pertimbangan hukum,

sebagaimana diatur Pasal 197 KUHAP, bahwa salah satu aspek yang yang harus

dimasukkan dalam putusan adalah pertimbangan hukum. Terkait dengan putusan

bebas yang dijatuhkan hakim dalam perkara ini, hakim mengacu kepada Pasal 191

Ayat (1) KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di

sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Berdasarkan isu hukum yang telah diuraikan, penulis melakukan kajian dan

penelitian yang berjudul: Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam

Menjatuhkan Putusan Bebas terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Putusan

Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis

mengangkat permasalahan sebagai berikut:


8

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan

putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan

Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk?

b. Apakah putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi tersebut telah

mencerminkan rasa kedilan?

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku tindak

pidana korupsi dalam Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk. Ruang

lingkup tempat penelitian dilakukan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Tahun 2020.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan

putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor

46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk.

b. Untuk mengetahui putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi

tersebut telah mencerminkan rasa kedilan.

2. Kegunaan Penelitian
9

Adapun kegunaan dari penelitian ini baik dari segi teoritis dan praktis adalah

sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu

meningkatkan pengetahuan, serta dapat memberikan masukan masukan di

samping undang-undang terkait, serta sebagai upaya pengembangan wawasan

pemahaman ilmu hukum yang diteliti khususnya dalam unsur-unsur tindak

pidana korupsi dan peningkatan keterampilan menulis karya ilmiah.

b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif sebagai sumbangan

teoritis dan rujukan bagi aparat penegak hukum meliputi Polisi, Jaksa,

khususnya Hakim. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program

perkuliahan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung serta

masyarakat pada umumnya mengenai tindak pidana suap dan tindak pidana

pungli/pemerasan yang terjadi di masyarakat.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis
10

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi

dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan

untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan oleh peneliti.9 Hal ini kita mempergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat

bantu dalam memecahkan permasalahan.

a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan


Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan

kehakiman. Hakikat tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili,

memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.10 Dasar

hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan

hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga mendapatkan hasil penelitian yang

maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu cara untuk

mencapai kepastian hukum kehakiman, dimana hakim merupakan aparat penegak

hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur dari tercapainya suatu

kepastian hukum.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan

terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo

et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga putusan hakim

mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan

hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat. Apabila pertimbangan

hakim tidak teliti, baik dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari

9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 124.
10
Indonesia, Undang-Undang tentangKekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No.
157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Ps. 10 Ayat (1).
11

pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah

Agung.11

Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman

yang membawahi empat badan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama,

peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, telah menentukan bahwa

putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat filosofis,

yuridis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi

pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan

masyarakat (sosial justice).12

Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan

kepada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator undang-undang,

harus mencari serta memahami undang-undang yang berkaitan dengan perkara

yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah undang-undang tersebut adil,

ada kemanfaatannya atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan sebab

salah satu tujuan hukum adalah menciptakan keadilan. Mengenai aspek filosofis,

merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Sedangkan aspek

sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.

Aspek filosofis dan sosiologis, dalam penerapannya sangat memerlukan

pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu

mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya

11
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm.140.
12
Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct) Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), hlm. 2.
12

sangat sulit sebab tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut

tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.13

b. Teori Keadilan Substantif

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau prilaku yang adil. Adil

berarti tidak memihak dan berpihak kepada pihak tertentu. Keadilan menurut

kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu tidak merugikan

seseorang dan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya.

Keadilan merupakan cita-cita dan tujuan hukum yang menjangkau wilayah filsafat

ilmu hukum dengan memberikan perspektif bahwa keadilan diwujudkan melalui

hukum.14 Keadilan memperhatikan semua aspek berkenaan dengan terminologi

keadilan dan filsafat ilmu hukum. Apabila kedua prinsip ini dapat dipenuhi

barulah itu dikatakan adil.15 Sudikno Mertokusumo menyatakan eksistensi hukum

sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan

manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang, tujuan hukum untuk

melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajiban.16

Seorang hakim dalam mengambil sebuah keputusan harus bersikap adil kepada

terdakwa maupun pihak yang bersengketa. Putusan hakim merupakan puncak dari

perkara pidana yang mencerminkan nilai-nilai keadilan. Hakim harus berani

membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh terbelenggu

oleh normatif-prosedural atau peraturan perundang-undangan saja, sehingga

putusan hakim tidak terkesan kaku.


13
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2018), hlm.126.
14
Inge Dwisvimiar, “Keadilan dalam Prespektif Filasat Ilmu Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 11 No. 3, Tahun 2011.
15
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.27.
16
Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 3.
13

Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan hakim dalam

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan

pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality),

tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim). 17 Keadilan

substansial selalu saja sulit diwujudkan dalam putusan hakim, karena hakim dan

lembaga pengadilan hanya memberikan keadilan formal. Banyak pihak yang

beranggapan bahwa lembaga pengadilan masih kurang adil dalam memutus suatu

perkara, mereka menilai bahwa lembaga pengadilan terlalu mengikuti normatif-

prosedural dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara. Menegakan

keadilan bukanlah sekedar menjalankan normatif-prosedural dalam peraturan

hukum yang berlaku di suatu masyarakat. Keadilan bukan semata-mata persoalan

yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh

sosiologi hukum.

Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu menegakan

keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh normatif-prosedural yang

ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan sekedar

pelaksana undang-undang. Hakim dituntut untuk memiliki keberanian dalam

mengambil suatu keputusan yang berbeda dari ketentuan normatif undang-

undang.

2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam

melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis

17
M. Syamsudin, “Keadilan Prosedual dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah
Magersari, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1, Tahun 2014.
14

pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian

yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Analisis adalah upaya untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan

prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima

sebagai suatu kebenaran atau penyelesaian masalah.18

b. Dasar pertimbangan hakim adalah dasar-dasar yang digunakan oleh hakim

dalam menelaah atau mencermati suatu perkara sebelum memutuskan suatu

perkara tertentu melalui sidang pengadilan.19

c. Hakim adalah aparat penegak hukum yang berfungsi memberikan putusan

terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak

terlepas dari sistem pembuktian, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu

hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya

alat-alat bukti menurut undang-undang.20

d. Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini.21

e. Putusan bebas yaitu terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum, putusan

bebas terjadi bila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di

sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak

18
Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 54.
19
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm.112.
20
Ibid, hlm.92.
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 Butir
11.
15

terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa.22

f. Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas

kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur Negara, dan pengutamaan

kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat

atau aparatur Negara yang bersangkutan.23

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman

terhadap isinya. Adapun secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini sebagai

berikut:

I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari latar

belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian,

kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang

berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi

atau bahan pustaka terdiri dari pengertian putusan hakim, pengertian dan jenis

tindak korupsi, pengertian dan unsur tindak pidana suap, pengertian dan unsur

tindak pidana pungli/pemerasan.

III. METODE PENELITIAN

22
Ibid, Ps. 191 Ayat (1).
23
Mochtar Lubis dan James C. Scott. Bunga Rampai Korupsi. cet. Ke-3, (Jakarta: LP3ES,
1995), hlm. 4-7.
16

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan

masalah, sumber data dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan

data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai dasar pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku tindak pidana

korupsi dalam Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk/2017/PN.Tjk

dan apakah putusan tersebut telah mencerminkan rasa keadilan.

V. PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan

penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan

kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk mengadili.24 Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Tugas pokok hakim adalah menerima,

memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang

diajukan kepadanya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara

yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem

pembuktian negatif, yang menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau

kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut

undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas

moral yang baik.25

Melihat dari ketentuan KUHAP, putusan hakim atau putusan pengadilan pada

hakikatnya dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni putusan akhir dan

putusan yang bukan putusan akhir, yang dinamakan putusan akhir yakni apabila

suatu perkara diperiksa oleh majelis hakim sampai selesai pokok perkaranya, dan

hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8), Pasal 197, dan Pasal

24
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3258, Ps. 1 Butir 8.
25
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm.103.
18

199 KUHAP. Pada jenis putusan seperti ini prosedural yang harus dilakukan

adalah setelah persidangan dinyatakan dibuka untuk umum, pemeriksaan identitas

terdakwa, dan peringatan agar mendengar dan memperhatikan segala sesuatu di

dalam persidangan, pembacaan surat dakwaan, keberatan, pemerikaan alat bukti,

replik dan duplik kemudian re-replik dan re-duplik, pernyataan pemeriksaan

“ditutup”, serta musyawarah majelis hakim, dan pembacaan “putusan”.26

Hakim pada dasarnya bebas untuk menafsirkan ketentuan undang-undang

terhadap suatu permasalahan hukum yang diperhadapkan kepada Hakim di depan

pengadilan termasuk didalamnya kewenangan untuk menafsirkan ketentuan

tentang pidana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi

yang kemudian diwujudkan dalam putusan hakim yang merupakan hasil (output)

dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada surat

dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan

penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannya

penerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai asas

hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu

Hukum Pidana harus bersumber pada undang-undang artinya pemidanaan

haruslah berdasarkan undang-undang penerapan berat ringannya pidana yang

dijatuhkan tentu bagi seorang Hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi

motivasi dan akibat perbuatan si pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana

penjara, namun dalam hal undang-undang tertentu telah mengatur secara normatif

26
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 147.
19

tentang pasal-pasal tertentu tentang pemidanaan dengan ancaman minimal

khusus.27

Putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana.

Hakim dalam memutus suatu perkara pidana, terdapat teori-teori yang dapat

dipergunakan hakim dalam memutus perkara pidana. Menurut Mackenzie ada

beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam

penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini keseimbangan antara syarat-
syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan
kepentingan terdakwa dan kepetingan korban.
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,
hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam
perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan
putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari
hakim
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan
semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi
dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam
menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena
dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana
yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

27
Gress Gustia Adrian Pah, ed. al., “Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Dalam
Tindak Pidana Korupsi”, e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1, Tahun 2014.
20

e. Teori Ratio Decidendi


Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum
dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada
motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi
para pihak yang berperkara.
f. Teori Kebijaksanaan
Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini
berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di Pengadilan anak. Aspek
ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut
bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi
anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga,
masyarakat dan bagi bangsanya.28

Selain menggunakan teori-teori di atas, hakim dalam memutus perkara pidana

harus berdasarkan alat-alat bukti yang berhubungan dengan perkara. Keterangan

seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. 29 Oleh sebab itu dalam

menjatuhkan putusan kepada terdakwa, hakim harus memiliki sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya.30 Yang dimaksud dengan alat bukti yang sah yaitu:

a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan.31

28
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm.105.
29
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 185
Ayat (2).
30
Ibid, Ps. 183.
31
Ibid, Ps. 184.
21

Hakim dapat menggunakan teori kebenaran dalam mengadili pelaku tindak pidana

yang dimana hakim harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam

memutus suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum.

Putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yang dimana alat

bukti harus saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain,

misalnya antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain

atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

Hakim dalam mengambil suatu keputusan harus mempertimbangkan beberapa

aspek, yaitu:

a. Kesalahan pelaku tindak pidana


Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya
pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana
harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan
adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang
harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.
c. Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di
dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
d. Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku
juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan
melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat
mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,
misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal
dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan
sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak
berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas
juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana
22

bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau
bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus
terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku
tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,
memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi
hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran
untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan
orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.32

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana yang mencerminkan nilai-

nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara

mapan maupun faktual serta visualisasi etika serta moral suatu hakim yang

bersangkutan. Hakim harus mempertimbangkan melalui aspek-aspek lainnya

selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan

nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya

pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit

mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau

null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-

pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-

fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari

keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan

diperiksa di persidangan.33

32
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 77.
33
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), hlm.121.
23

B. Macam-Macam Putusan Hakim

Hakim dalam memutus suatu perkara pidana memiliki kebebasan dalam

mengambil suatu keputusan. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung

dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;


b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim; dan
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisialnya.34

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 193 ayat (1)

KUHAP, setidaknya ada dua sifat putusan hakim dalam memutus perkara tindak

pidana, yaitu:

1. Putusan Pemidanaan
Pada hakikatnya, putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisiskan

suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatannya

sesuai dengan amar putusan. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan,

hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di

persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat

dakwaan. Lebih tepatnya, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP.35

Terhadap lamanya pidana (sentencing atau straftoemeting) pembentuk undang-

undang memberikan kebebasan terhadap hakim untuk menentukan antara pidana

minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan.

Walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan menentukan batas

maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti

Hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan


34
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm. 103.
35
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, hlm.148.
24

yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan

putusan hakim yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat

dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.36

2. Putusan yang Bukan Pemidanaan


Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa:
a) Putusan bebas (vrijspraak) dan
b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).

Pada ketentuan Pasal 191 (1) KUHAP, putusan bebas (vrijspraak) dapat

dijatuhkan oleh Majelis Hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang

pengadilan dan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Apa bila terdakwa

dijatuhi putusan bebas (vrijspraak atau acquittal), terdakwa tidak dipidana atau

menjalani hukuman karena hasil pemeriksaan di persidangan yang didakwakan

jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum. Secara yuridis, dapat dikatakan majelis hakim

memandang atas minimum pembuktian dan keyakinan hakim berdasarkan

ketentuan Pasal 183 KUHAP tidak terbukti.37

Konkretnya, secara yuridis dapat disebutkan bahwa putusan bebas apabila Majelis

Hakim setelah memeriksa pokok perkara dan bermusyawarah beranggapan

bahwa:

(1) Ketiadaan alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatieve wettelijke bewijs theorie)
sebagaimana dianut oleh KUHAP. Jadi, pada prinsipnya Majelis Hakim

36
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya,
(Bandung: Alumni, 2007), hlm. 232.
37
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, hlm.150.
25

dalam persidangan tidak cukup dapat membuktikan tentang kesalahan


terdakwa serta hakim tidak yakin terhadap kesalahan tersebut.
(2) Majelis Hakim berpandangan terhadap asas minimum pembuktian yang
ditetapkan oleh undang-undang telah terpenuhi misalnya berupa adanya dua
orang saksi atau adanya petunjuk, tetapi Majelis Hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa. 38

Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur secara eksplisit tentang putusan

pelepasan dari sagala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Putusan

lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) ini dapat disebut

bahwa apa yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa terbukti secara sah

dan meyakinkan hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena

perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana, tetapi misalnya

termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah hukum dagang. Berbeda

halnya jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak

dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana

disebut dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas.39

Apabila diperbandingkan putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala

tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), sama-sama terdakwa tidak

menjalankan hukuman atau tindak pidana. Selain itu, baik putusan bebas

(vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht

vervolging) apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van

gewijsde) berdasarkan ketentan Pasal 97 ayat (1) KUHAP, Pasal 14 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dan pendapat Mahkamah Agung

Republik Indonesia, serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor


38
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, hlm.
218.
39
M.Yahya Haraha, Upaya Hukum Luar Biasa. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), hlm. 347.
26

670K/Pid/1984 tanggal 27 Mei 1985,40 maka diberikan dan dicantumkan dalam

putusan hakim dengan amar yang berbunyi:

“Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat, serta

martabatnya”.41

Adapun perbedaannya dapat ditinjau dari visi hukum pembuktian dan visi

penuntutan sebagai berikut:

(1) Apabila ditinjau dari visi hukum pembuktian, pada putusan bebas (vrijspraak
atau acquittal) tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam
surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Lain halnya dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van
recht vervolging) di mana perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat
dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan
hukum. Akan tetapi, terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuata
tersebut bukan merupakan tindak pidana.
(2) Apabila ditinjau dari visi hukum penuntutannya, pada putusan bebas
(vrijspraak atau acquittal) tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah diperiksa dan diadili oleh
peradilan pidana. akan tetapi, karena berdasarkan fakta-fakta di persidangan
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan sehingga
dibebaskan. Adapun pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van recht vervolging) perbuatan yang didakwakan penuntut umum dalam
surat dakwaannya bukan merupakan tindak pidana sehingga peradilan pidana
tidak berhak/berwenang mengadilinya karena merupakan yurisdiksi peradilan
lain.42

C. Putusan Bebas sebagai Putusan Hakim dalam Perkara Pidana

40
Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, Proyek Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI, t.t., hlm.58-69.
41
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, hlm. 151.
42
Ibid, hlm. 152.
27

Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.43

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang

permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Setiap sidang permusyawaratan

hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara

yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.44

Putusan pengadilan atau putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan

pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri. Putusan pengadilan dinilai

sangat berguna bagi terdakwa atau pihak yang bersengketa guna memperoleh

kepastian hukum, karena putusan hakim menentukan langkah apa yang

selanjutnya dilakukan oleh terdakwa atau pihak yang bersengketa. Terdakwa atau

pihak yang bersengketa dapat menerima atau menolak putusan yang sudah

ditetapkan, apabila terdakwa atau pihak bersengketa menolak putusan, terdakwa

atau pihak bersengketa dapat melakukan upaya banding, kasasi dan grasi sesuai

peraturan yang berlaku.45

Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan

di sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani hakim dan panitera

seketika setelah putusan diucapkan.46 Putusan yang dibacakan oleh hakim

43
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 butir
11.
44
Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Ps. 14.
45
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, hlm.
201.
46
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 195
dan Ps. 200.
28

merupakan bentuk tanggung jawab seorang hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa,

pencari keadilan, masyarakat, Pengadilan yang lebih tinggi. Untuk itu, putusan

harus dibacakan dalam sidang umum. Putusan mengandung pertanggungjawaban,

maka acara pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk

umum dan Pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan kepada masyarakat

dan pihak pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan itu.47

Hakim juga mempunyai tugas secara konkret dalam memeriksa dan mengadili

suatu perkara melalui tiga tindakan secara bertahap, yaitu:

1. Mengkonstatasi tentang terjadinya suatu peristiwa yakni hakim menetapkan


terjadinya peristiwa konkret berdasarkan bukti-bukti yang ada. Hakim
sangat dituntut kemampuan untuk mengidentifikasi isu hukum secara tepat.
Tidak dapat disangkal adakalnya pencari keadilan mengajukan persoalan
seolah-olah sarat dengan masalah hukum namun sesungguhnya bukan
masalah hukum.
2. Mengkualifikasi, dalam hal ini hakim berupaya menemukan hukumnya
secara tepat terhadap perisitiwa yang telah dikonstatir dengan jalan
menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Setelah isu
hukum di atas diperoleh, hakim menetapkan norma hukum sebagai premis
mayor yang tepat. Undang-undang sebagai premis mayor harus disesuaikan
dengan peristiwanya agar undang-undang tersebut dapat mencakup atau
meliputi peristiwanya.
3. Melalui proses silogisme dari premis mayor dihubungkan dengan fakta
hukum yang relevan akan dapat ditemukan dan diterapkan hukum positif
yang dimaksud. Dalam memberikan putusan, hakim perlu memerhatikan
faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan,
kepastian hukumnya, dan kemanfaatannya (zweckmassigkeit).48

Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa bukanlah suatu

kesengajaan atau kebetulan belaka. Putusan hakim harus mempertimbangkan

banyak hal yang berkaitan dengan perkara yang diperiksanya, mulai dari tingkat

perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan korban dan

47
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, hlm 153.
48
Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia Mahkamah Agung,
Kompilasi Penerapan Hukum Oleh hakim Dan Strategi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta:2016),
hlm 6.
29

keluarganya serta rasa keadilan masyarakat. Penyebab terjadinya putusan bebas

dalam perkara korupsi adalah adanya perbedaan persepsi antara Jaksa dan Hakim

baik mengenai penerapan hukum maupun penilaian terhadap fakta yang terungkap

dalam persidangan, adanya kekeliruan atau kurang cermatnya penuntut umum

dalam menerapkan pasal yang didakwakan termasuk adanya pembahasan yuridis

di dalam surat tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum kurang optimal

sehingga menimbulkan celah bagi hakim untuk menyatakan bahwa penuntut

umum tidak dapat membuktikan dakwaannya, sedangkan kendala yang dihadapi

dalam penuntutan perkara tindak pidana korupsi selain sulit pembuktiannya, juga

tidak terlepas dari karakteristik tindak pidana korupsi, baik kendala yuridis dan

non yuridis, misal adanya intervensi dari oknum-oknum tertentu atau aparat

pejabat pemerintah atau negara yang ingin membebaskan terdakwa dari tanggung

jawab, baik dengan cara menggunakan kekuasaan atau kewenangan jabatan atau

imbalan uang atau dengan kekeluargaan.49

Putusan pengadilan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak. Putusan

pengadilan adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan,

kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni,

dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang

bersangkutan.50

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

49
Olan Laurance Hasiholan Pasaribu, et. al., “Kajian Yuridis Terhadap Putusan Bebas Tindak
Pidana Korupsi”, Mercatoria Vol. 1 No. 2, Tahun 2008.
50
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, hlm.
201.
30

Pada saat ini korupsi di Indonesia sangat meningkat, banyak para pejabat negara

yang terlibat dalam korupsi sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,

tetapi juga telah melangar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan tidak bermoral, tidak baik, curang,

melawan hukum yang dilakukan seseorang atau korporasi dengan

menyalahgunakan jabatan yang bermaksud memperkaya diri sendiri atau

kelompok atau orang lain yang berakibat merugikan perekonomian negara.

Tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara,

melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni

dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.51

Korupsi merupakan masalah serius karena korupsi dapat membahayakan stabilitas

dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, serta

membahayakan pembangunan ekonomi, sosial politik, dan menciptakan

kemiskinan secara masif.52 Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan

secara luar biasa dan khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik

yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Pengertian tindak pidana korupsi secara umum terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Berdasarkan

ketentuan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang yang secara

51
Irene Svinarky, “Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pungutan Liar (Pungli)”,
Jurnal Cahaya Keadilan Vol.4 No.2, Tahun 2016.
52
KPK RI, Modul Materi Tindak Pidana Korupsi, https://aclc.kpk.go.id/wp-
content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf. Diakses pada Rabu,15 April
2020.
31

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuagan negara atau perekonomian

negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp.200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.1000.000.000.00 (satu milyar rupiah).53

Memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) di atas maka unsur-unsur dari pasal tersebut

sebagai berikut :

1. Setiap orang
Yang dimaksud “setiap orang” dari pasal ini merupakan orang perseorangan
atau korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun
bukan badan hukum.
2. Secara melawan hukum
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Yang dimaksud dengan “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi” yaitu:
a. Memperkaya diri sendiri artinya dengan perbuatan melawan hukum itu
pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
b. Memperkaya Orang Lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan
melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati
bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang
diuntungkan bukan pelaku langsung.
c. Memperkaya Korporasi, yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari
pelaku, suatu korporasi yang menikmati bertambahnya kekayaan atau
bertambahnya harta benda. Memperkaya sering dipakai adanya perubahan
berupa tambahan kekayaan atau perubahan cara hidup seseorang seperti
orang kaya.
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Yang dimaksud dengan “Dapat merugikan keuangan Negara atau

53
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No.
4150, Ps. 2 Ayat (1).
32

perekonomian Negara” yaitu menjadi ruginya keuangan Negara atau


berkurangnya keuangan Negara. Pengertian keuangan negara sebagaimana
dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapunyang dipisahkan atau tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
Lembaga Negara, baik di tingkat pusat, maupun di daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal
pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat, maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh
54
kehidupan rakyat.

Berdasarkan Pasal 3 menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan tujuan


menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).55

Terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, menjelaskan bahwa kata “dapat”

yang disebutkan dalam Pasal 3 diartikan sama dengan penjelasan dalam Pasal 2.

Penjelasan dari kata tersebut yaitu hanya menunjukan bahwa tindak pidana

korupsi yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 2 merupakan delik

formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur

perbuatan yang telah dirumuskan, bukan timbulnya akibat. Unsur-unsur dari Pasal

3 sendiri yaitu:

54
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm. 41.
55
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Ps. 3.
33

1. Setiap orang
Yang dimaksud dengan “semua orang” dalam pasal ini yakni bahwa pelaku
tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau
kedudukan. Yang dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan hanyalah
orang perseorangan, sedangkan korporasi tidak termasuk dalam pasal ini.
2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
Yang dimaksud dengan “menguntungkan” yaitu mendapatkan untung untuk
diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Yang dimana pendapatan yang
diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut
dari pendapatan yang diperolehnya.
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukan
Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan” yaitu menggunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan
yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara” yaitu menjadi rugi atau menjadi berkurangnya keuangan negara atau
perekonomian negara.56

Terdapat perbedaan mengenai ketentuan apa saja yang terasuk tindak pidana

korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menjelaskan cara

penempatan mengenai ketentuan tentang apa yang termasuk tindak pidana korupsi

terdapat dalam Pasal 1. Bahwa dari pasal tersebut yang termasuk tindak pidana

korupsi di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah hanyalah tindak pidana

seperti apa yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

tersebut.57

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

56
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm. 45.
57
Ibid, hlm. 9.
34

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjabarkan cara

penempatan mengenai ketentuan apa saja yang termasuk tindak pidana korupsi

tidaklah seperti cara penempatan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

yang terdapat dalam Pasal 1. Penempatan mengenai ketentuan apa saja yang

termasuk tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terdapat dalam Bab II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Menurut perspektif hukum, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terdapat beberapa jenis definisi yang kemudian digolongkan menjadi

beberapa tindak pidana korupsi. Definisi korupsi tersebut telah dijelaskan di

dalam 13 butir pasal dalam UU PTPK. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi

dirumuskan ke dalam tiga puluh jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis

tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis tindak pidana

korupsi, sebagai berikut:58

1. Perbuatan yang merugikan negara

Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara, diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Perbuatan yang

merugikan negara, dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. mencari keuntungan dengan cara melawan hukum, dan;


58
M. Syamsa Ardisasmita, Definisi Korupasi Menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement
untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparant dan Akuntabel, hlm. 4.
35

b. merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan untuk mencari

keuntungan dan merugikan negara.59

2. Suap-menyuap
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyuapan, diatur dalam Pasal 5

ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan

huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf (a), (b), (c), (d), Pasal 12B,

dan Pasal 13. Suap-menyuap berkonotasi pada adanya janji, iming-iming atau

pemberian keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau

pegawai negeri, langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai

negeri atau pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya

yang sah.60

3. Gratifikasi
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi, diatur dalam Pasal

12B Jo. Pasal 12C. Gratifikasi adalah pemberian hadiah yang diterima oleh

pegawai negeri atau penyelenggara negara. Gratifikasi dapat berupa uang,

barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya

pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang

diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.61

4. Penggelapan dalam jabatan


Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan,

59
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, 20 November 2017,
https://kliklegal.com/ini-tujuh-kelompok-jenis-tindak-pidana-korupsi/, diakses pada tanggal 1 Juni
2020, pukul 03.53 wib.
60
Muladi, Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan Penanggulangannya,
makalah dalam Seminar Nasional, hlm 2.
61
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ps. 12B Ayat
(1).
36

diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 huruf (a), (b), (c). Penggelapan

dalam jabatan adalah tindakan seorang pejabat pemerintah yang dengan

kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan,

menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan

barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan

merugikan negara.62

5. Pemerasan
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan diatur dalam Pasal

12 huruf (e), (g), (h). Pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai

negeri atau penyelenggara negara (berperan aktif) melakukan pemerasan

kepada orang atau korporasi tertentu yang memerlukan pelayanan, yang

dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya dengan

memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau meneriman

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

sendiri.63

6. Perbuatan curang
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang diatur dalam

Pasal 7 ayat (1) huruf (a), (b), (c), (d), Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h.

Perbuatan curang ini biasanya terjadi di proyek-proyek pemerintahan, seperti


62
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, diakses pada tanggal 1
Juni 2020, pukul 03.53 wib.
63
Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap,
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/perbedaan-gratifikasi-
uang-pelicin-pemerasan-dan-suap, diakses pada tanggal 11 Juni 2020, pukul 02.54 wib.
37

pemborong, pengawas proyek, dan lain-lain yang melakukan kecurangan

dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi

orang lain atau keuangan Negara.64 Perbuatan curang yang dapat dikategorikan

tindak pidana korupsi yaitu pemborong curang, pengawas proyek membiarkan

anak buahnya curang, rekanan TNI/POLRI curang, pengawas rekanan

TNI/POLRI membiarkan kecurangan, dan penerima barang TNI/POLRI

melakukan kecurangan.65

7. Benturan kepentingan dalam pengadaan


Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam

pengadaan diatur dalam Pasal 12 huruf i. Benturan kepentingan dalam

pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau

jasa yang dibutuhkan oleh instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang

ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses

seleksi yang disebut dengan tender.66

64
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, diakses pada tanggal 1
Juni 2020, pukul 03.53 wib.
65
Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbuatan Curang, https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-
terhadap-korupsi/infografis/perbuatan-curang, diakses pada tanggal 1Juni 2020, pukul 03.55 wib.
66
Handar Subhandi Bakhtiar, Jenis Tindak Pidana Korpsi, 26 November 2014,
http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/jenis-tindak-pidana-korupsi.html, diakses pada
tanggal 1 Juni 2020, pikum 04.52.
III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai

norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku

setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis

bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi,

undang-undang, peraturan pemerintah, dan norma hukum tertulis bentukan

lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-

pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan

hukum, dan rancangan undang-undang). Penelitian yuridis normatif disebut juga

penelitian hukum teoretis/dogmatis karena tidak mengkaji pelaksanaan atau

implementasi hukum. Penelitian yuridis normatif hanya menelaah data sekuder.67

B. Jenis dan Sumber Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan

penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Sumber terdiri dari data langsung

yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi

67
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), hlm.52.
39

pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.68 Data yang digunakan

dalam penelitian adalah data sekunder.

Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bila

perlu bahan hukum tersier. Data sekunder pada dasarnya adalah data normatif

terutama yang bersumber dari perundang-undangan. Data normatif tersebut

umumnya berupa ketentuan-ketentuan undang-undang yang menjadi tolak ukur

terapan. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka yang

meliputi perundang-undangan, yurisprudensi, dan buku literatur hukum atau

bahan hukum tertulis lainnya.69 Adapun data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:70
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan

pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari

kalangan hukum, dan sebagainya.71 Bahan hukum sekunder ini juga yang

68
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1983), hlm.56.
69
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, hlm. 151.
70
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.
114.
71
Ibid, hlm. 114.
40

berkaitan dengan Putusan Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk.

3. Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus-

kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.72

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini penulis membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk

memberikan penjelasan terkait dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam

skripsi ini. Narasumber adalah orang yang memberikan informasi/keterangan

secara jelas atau menjadi sumber informasi. Narasumber dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang : 1 Orang


2. Advokat pada Kantor Advokat Nuki And Partners di Bandar
Lampuang : 1 Orang
3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung : 1 Orang +
Jumlah : 3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yaitu mengumpulkan beragai dokumen yang

berkaitan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini

dilakukan dengan prosedur studi pustaka. Studi pustaka (library research)

dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan


72
Ibid, hlm. 114.
41

serangkaian kegiatan berupa membaca, mencatat, mengutip dari buku-buku

literatur serta informasi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah kegiatan data hasil pengumpulan data di lapangan

sehingga siap pakai untuk dianalisa.73 Sehingga data yang diperoleh dapat

mempermudah permasalahan yang diteliti. Data yang terkumpul melalui kegiatan

pengumpulan data diproses pengolahan data dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a. Identifikasi data yaitu mencari materi data yang diperolah untuk

disesuaikan dengan pokok bahasan yaitu buku-buku atau literatur-literatur

dan instansi yang berhubungan.

b. Seleksi data yaitu data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok

bahasan dan mengutip data dari buku-buku literatur dan instansi yang

berhubungan dengan pokok bahasan.

c. Klasifikasi data yaitu menempatkan data-data sesuai dengan ketetapan dan

aturan yang telah ada.

d. Sistematika data yaitu penyusunan data menurut tata urutan yang telah

ditetapkan sesuai dengan konsep, tujuan dan bahan sehingga mudah untuk

dianalisis datanya.

E. Analisis Data
73
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 72.
42

Analisis data merupakan suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang

lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian skripsi ini, penulis

menggunakan analiasis data kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah

analisis yang berupa penjelasan dan uraian-uraian kalimat, dengan cara indukatif,

yaitu suatu cara berfikir yang dilakukan pada fakta-fakta yang bersifat umum

kemudian dilanjutkan dengan keputusan yang bersifat khusus sehingga dapat

diperoleh gambaran secara lengkap.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


PenanggulanganKejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia


Mahkamah Agung, Kompilasi Penerapan Hukum Oleh hakim Dan Strategi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta: 2016.

Haraha, M.Yahya. Upaya Hukum Luar Biasa. Pembahasan Permasalahan dan


Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, Proyek Yurisprudensi


Mahkamah Agung RI, t.t., hlm.58-69.

Lubis, Mochtar dan James C. Scott. Bunga Rampai Korupsi. cet. Ke-3, Jakarta:
LP3ES, 1995.

Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode Etik
Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006.

Maroni. Hukum Birokrasi Peradilan Pidana, Lampung: Aura, 2018.

Mertokusumo, Sudikno. Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2007.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya


Bakti, 2004.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan


Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007.

_______. Hukum Acara Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

_______. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu, 2007.


44

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1983.

_______. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,


2011.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,


2008.

Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana,


UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3258.

Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU


No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, LN No.
140 Tahun 1999, TLN No. 4150.

Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun


2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076.

C. PUTUSAN

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Tanjung


Karang tanggal 30 April 2019, Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk.

D. JURNAL/MAKALAH

Ardisasmita, M. Syamsa. Definisi Korupasi Menurut Perspektif Hukum dan E-


Announcement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka,
Transparant dan Akuntabel, makalah dalam Seminar Nasional “Upaya
Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”
45

oleh Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi di


Jakarta pada tgl. 23 Agusrus 2006.

Dwisvimiar, Inge. “Keadilan dalam Prespektif Filasat Ilmu Hukum”, Jurnal


Dinamika Hukum Vol. 11 No. 3 (2011).

Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, Proyek Yurisprudensi


Mahkamah Agung RI, t.t.

Muladi. Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan
Penanggulangannya, makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia
Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan Hukum Pidana” Kerjasama
FH UNDIP dengan KY di Semarang pada tgl. 16 Januari 2015.

Pah, Gress Gustia Adrian, ed. al. “Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh
Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi”, e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No
1 (2014).

Pasaribu, Olan Laurance Hasiholan, et. al. “Kajian Yuridis Terhadap Putusan
Bebas Tindak Pidana Korupsi”, Mercatoria Vol. 1 No. 2 (2008).

Ramadhani, Wahyu. “Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar


Terhadap Pelayanan Publik”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 12,
Nomor 2 (2017).

Solahuddin, Moh Toha. “Pungutan Liar (Pungli) dalam Perspektif Tindak Pidana
Korupsi”, Majalah Paraikatte Vol. 26 edisi Triwulan III (2016).

Syamsudin, M. “Keadilan Prosedual dan Substantif dalam Putusan Sengketa


Tanah Magersari, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 (2014).

Svinarky, Irene. “Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pungutan Liar


(Pungli)”, Jurnal Cahaya Keadilan Vol.4 No.2 (2016).

E. INTERNET

Bakhtiar, Handar Subhandi. Jenis Tindak Pidana Korpsi, 26 November 2014,


http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/jenis-tindak-pidana-
korupsi.html.

KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, 20 November


2017,https://kliklegal.com/ini-tujuh-kelompok-jenis-tindak-pidana-korupsi/.

KPK RI. Modul Materi Tindak Pidana Korupsi, https://aclc.kpk.go.id/wp-


content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf.
46

Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan


Suap, https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-
korupsi/infografis/perbedaan-gratifikasi-uang-pelicin-pemerasan-dan-suap.

_______, Perbuatan Curang, https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-


terhadap-korupsi/infografis/perbuatan-curang.

Anda mungkin juga menyukai