Proposal Skripsi
Oleh
AGNESIA MUTIARA SANI
1712011050
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 10
E. Sistematika Penulisan 15
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Korupsi merupakan perbuatan tidak bermoral, tidak baik, curang,
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dalam Undang-
(UU PTPK). Definisi korupsi tersebut telah dijelaskan di dalam 13 butir pasal
tiga puluh jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis tindak pidana korupsi yaitu kerugian
pasal tersebut menerangkan secara rinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan
1
M. Syamsa Ardisasmita, Definisi Korupasi Menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement
untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparant dan Akuntabel, makalah dalam
Seminar Nasional “Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”
oleh Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta pada tgl. 23
Agusrus 2006, hlm. 4.
2
Salah satu tindak pidana korupsi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah
pungutan liar. Pungutan liar atau Pungli ternyata belum sepenuhnya mati di
Indonesia, hingga saat ini Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara masih
terlibat dalam kasus pungutan liar. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), akta nikah dan lainnya. Hal
tersebut lancar dan cepat. Pungli merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan
Hingga saat ini kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah
termasuk di lembaga yudikatif masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit diakses,
prosedur yang berbelit-belit, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek
2
Wahyu Ramadhani, “Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap
Pelayanan Publik”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 12, Nomor 2, Tahun 2017.
3
paradigma pemerintah di era pasca reformasi yang masih seperti pada era orde
dengan pelayanan publik yang korup. Hal ini merupakan salah satu faktor yang
ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus menerus terjadi maka pelayanan yang
Pungli atau pungutan liar kerapkali disamakan dengan suap maupun pemerasan.
menyuap dan pemerasan. Pengertian dari pungli, suap dan pemerasan sebagai
berikut.
Pungli atau pungutan liar termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, di mana
sendiri.4 Contoh dari tindakan pungli seperti pada pelayanan pembuatan KTP,
keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau pegawai negeri,
langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai negeri atau pejabat
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang sah.5 Contoh dari
Definisi dari pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.6 Contoh dari pemerasan seperti tilang
pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam hal pembuatan akta
nikah, di bawah ini penulis menguraikan contoh kasus yang berkaitan dengan
Mulyadi. Pada tanggal 16 Mei 2017 Mulyadi selaku Kepala Pekon Air Kubang
terkena Oprasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Polres Tanggamus. Kejadian tersebut
Tanggamus. Mulyadi diduga melakukan pungli atau menerima suap dari salah
satu warga yang ingin mengurus kutipan akta nikah sebesar Rp. 1.800.000,- (satu
Atas tindakan tersebut Mulyadi didakwa dengan dakwaan yang bersifat alternatif
yakni Dakwaan Pertama melanggar Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A Undang-
Pasal 11 Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa Penuntut Umun
pidana penjara selama 8 (delapan) bulan penjara dengan perintah terdakwa segera
ditahan dan Denda sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidiair
menerima hadiah atau janji dalam proses pembuatan surat izin nikah, oleh karena
salah satu unsur dari Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas
Korupsi tidak terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara
alternatif pertama tersebut. Pada dakwaan alternatif kedua Majelis Hakim kembali
tidak menemukan fakta bahwa terdawa Mulyadi telah menerima hadiah atau janji
dalam proses pembuatan surat izin nikah tersebut, oleh karena salah satu unsur
dari Pasal 11 Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terpenuhi, maka
tersebut.8
Berdasarkan kasus di atas, pelaku tindak pidana korupsi yakni tindak pidana
pungli secara ideal dipidana sesuai dengan ancaman yang diatur di dalam Pasal
bebas terhadap Mulyadi selaku terdakwa tindak pidana korupsi dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum.
Putusan hakim ini menjadi pertanyaan publik, apa dasar pertimbangan hakim
putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai dari perlunya
8
Ibid, hlm. 38.
7
membuatnya.
sebagaimana diatur Pasal 197 KUHAP, bahwa salah satu aspek yang yang harus
bebas yang dijatuhkan hakim dalam perkara ini, hakim mengacu kepada Pasal 191
Ayat (1) KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
Berdasarkan isu hukum yang telah diuraikan, penulis melakukan kajian dan
Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk).
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis
Nomor: 46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk?
b. Apakah putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi tersebut telah
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian dasar
lingkup tempat penelitian dilakukan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada
1. Tujuan Penelitian
putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor
46/Pid.Sus-TKP/2018/PN.Tjk.
2. Kegunaan Penelitian
9
Adapun kegunaan dari penelitian ini baik dari segi teoritis dan praktis adalah
sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif sebagai sumbangan
teoritis dan rujukan bagi aparat penegak hukum meliputi Polisi, Jaksa,
masyarakat pada umumnya mengenai tindak pidana suap dan tindak pidana
1. Kerangka Teoritis
10
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan
relevan oleh peneliti.9 Hal ini kita mempergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat
hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan
hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga mendapatkan hasil penelitian yang
maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu cara untuk
hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur dari tercapainya suatu
kepastian hukum.
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo
et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga putusan hakim
hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat. Apabila pertimbangan
hakim tidak teliti, baik dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 124.
10
Indonesia, Undang-Undang tentangKekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No.
157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Ps. 10 Ayat (1).
11
Agung.11
yang membawahi empat badan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, telah menentukan bahwa
yuridis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan
pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan
Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan
yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah undang-undang tersebut adil,
salah satu tujuan hukum adalah menciptakan keadilan. Mengenai aspek filosofis,
merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Sedangkan aspek
11
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm.140.
12
Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct) Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), hlm. 2.
12
sangat sulit sebab tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau prilaku yang adil. Adil
berarti tidak memihak dan berpihak kepada pihak tertentu. Keadilan menurut
kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu tidak merugikan
seseorang dan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya.
Keadilan merupakan cita-cita dan tujuan hukum yang menjangkau wilayah filsafat
keadilan dan filsafat ilmu hukum. Apabila kedua prinsip ini dapat dipenuhi
manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang, tujuan hukum untuk
Seorang hakim dalam mengambil sebuah keputusan harus bersikap adil kepada
terdakwa maupun pihak yang bersengketa. Putusan hakim merupakan puncak dari
membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh terbelenggu
Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan hakim dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan
substansial selalu saja sulit diwujudkan dalam putusan hakim, karena hakim dan
beranggapan bahwa lembaga pengadilan masih kurang adil dalam memutus suatu
yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh
sosiologi hukum.
undang.
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam
17
M. Syamsudin, “Keadilan Prosedual dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah
Magersari, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1, Tahun 2014.
14
prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima
terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak
terlepas dari sistem pembuktian, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu
hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya
sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.21
e. Putusan bebas yaitu terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum, putusan
18
Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 54.
19
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm.112.
20
Ibid, hlm.92.
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 Butir
11.
15
terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur
kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur Negara, dan pengutamaan
kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman
terhadap isinya. Adapun secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini sebagai
berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari latar
atau bahan pustaka terdiri dari pengertian putusan hakim, pengertian dan jenis
tindak korupsi, pengertian dan unsur tindak pidana suap, pengertian dan unsur
22
Ibid, Ps. 191 Ayat (1).
23
Mochtar Lubis dan James C. Scott. Bunga Rampai Korupsi. cet. Ke-3, (Jakarta: LP3ES,
1995), hlm. 4-7.
16
masalah, sumber data dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
V. PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan
Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh undang-
dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Tugas pokok hakim adalah menerima,
yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem
pembuktian negatif, yang menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau
Melihat dari ketentuan KUHAP, putusan hakim atau putusan pengadilan pada
hakikatnya dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni putusan akhir dan
putusan yang bukan putusan akhir, yang dinamakan putusan akhir yakni apabila
suatu perkara diperiksa oleh majelis hakim sampai selesai pokok perkaranya, dan
hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8), Pasal 197, dan Pasal
24
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3258, Ps. 1 Butir 8.
25
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm.103.
18
199 KUHAP. Pada jenis putusan seperti ini prosedural yang harus dilakukan
yang kemudian diwujudkan dalam putusan hakim yang merupakan hasil (output)
dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada surat
penerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai asas
hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu
dijatuhkan tentu bagi seorang Hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi
motivasi dan akibat perbuatan si pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana
penjara, namun dalam hal undang-undang tertentu telah mengatur secara normatif
26
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 147.
19
khusus.27
Hakim dalam memutus suatu perkara pidana, terdapat teori-teori yang dapat
beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam
a. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini keseimbangan antara syarat-
syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan
kepentingan terdakwa dan kepetingan korban.
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,
hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam
perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan
putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari
hakim
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan
semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi
dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam
menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena
dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana
yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
27
Gress Gustia Adrian Pah, ed. al., “Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Dalam
Tindak Pidana Korupsi”, e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1, Tahun 2014.
20
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan.31
28
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, hlm.105.
29
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 185
Ayat (2).
30
Ibid, Ps. 183.
31
Ibid, Ps. 184.
21
Hakim dapat menggunakan teori kebenaran dalam mengadili pelaku tindak pidana
yang dimana hakim harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam
Putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yang dimana alat
bukti harus saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain,
misalnya antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain
atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
aspek, yaitu:
bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau
bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus
terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku
tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,
memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi
hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran
untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan
orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.32
Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana yang mencerminkan nilai-
nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara
mapan maupun faktual serta visualisasi etika serta moral suatu hakim yang
selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan
mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau
pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-
fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari
keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan
diperiksa di persidangan.33
32
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 77.
33
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), hlm.121.
23
mengambil suatu keputusan. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung
Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 193 ayat (1)
KUHAP, setidaknya ada dua sifat putusan hakim dalam memutus perkara tindak
pidana, yaitu:
1. Putusan Pemidanaan
Pada hakikatnya, putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisiskan
hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di
dakwaan. Lebih tepatnya, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP.35
maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti
Pada ketentuan Pasal 191 (1) KUHAP, putusan bebas (vrijspraak) dapat
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Apa bila terdakwa
dijatuhi putusan bebas (vrijspraak atau acquittal), terdakwa tidak dipidana atau
jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan tidak terbukti secara sah dan
Konkretnya, secara yuridis dapat disebutkan bahwa putusan bebas apabila Majelis
bahwa:
(1) Ketiadaan alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatieve wettelijke bewijs theorie)
sebagaimana dianut oleh KUHAP. Jadi, pada prinsipnya Majelis Hakim
36
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya,
(Bandung: Alumni, 2007), hlm. 232.
37
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, hlm.150.
25
Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur secara eksplisit tentang putusan
pelepasan dari sagala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) ini dapat disebut
bahwa apa yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena
termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah hukum dagang. Berbeda
disebut dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas.39
Apabila diperbandingkan putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala
menjalankan hukuman atau tindak pidana. Selain itu, baik putusan bebas
(vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht
gewijsde) berdasarkan ketentan Pasal 97 ayat (1) KUHAP, Pasal 14 ayat (1)
martabatnya”.41
Adapun perbedaannya dapat ditinjau dari visi hukum pembuktian dan visi
(1) Apabila ditinjau dari visi hukum pembuktian, pada putusan bebas (vrijspraak
atau acquittal) tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam
surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Lain halnya dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van
recht vervolging) di mana perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat
dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan
hukum. Akan tetapi, terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuata
tersebut bukan merupakan tindak pidana.
(2) Apabila ditinjau dari visi hukum penuntutannya, pada putusan bebas
(vrijspraak atau acquittal) tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah diperiksa dan diadili oleh
peradilan pidana. akan tetapi, karena berdasarkan fakta-fakta di persidangan
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan sehingga
dibebaskan. Adapun pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van recht vervolging) perbuatan yang didakwakan penuntut umum dalam
surat dakwaannya bukan merupakan tindak pidana sehingga peradilan pidana
tidak berhak/berwenang mengadilinya karena merupakan yurisdiksi peradilan
lain.42
40
Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, Proyek Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI, t.t., hlm.58-69.
41
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, hlm. 151.
42
Ibid, hlm. 152.
27
terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.43
yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.44
Putusan pengadilan atau putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan
sangat berguna bagi terdakwa atau pihak yang bersengketa guna memperoleh
selanjutnya dilakukan oleh terdakwa atau pihak yang bersengketa. Terdakwa atau
pihak yang bersengketa dapat menerima atau menolak putusan yang sudah
atau pihak bersengketa dapat melakukan upaya banding, kasasi dan grasi sesuai
Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
di sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani hakim dan panitera
43
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 butir
11.
44
Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Ps. 14.
45
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, hlm.
201.
46
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 195
dan Ps. 200.
28
merupakan bentuk tanggung jawab seorang hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa,
pencari keadilan, masyarakat, Pengadilan yang lebih tinggi. Untuk itu, putusan
maka acara pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk
dan pihak pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan itu.47
Hakim juga mempunyai tugas secara konkret dalam memeriksa dan mengadili
banyak hal yang berkaitan dengan perkara yang diperiksanya, mulai dari tingkat
47
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, hlm 153.
48
Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia Mahkamah Agung,
Kompilasi Penerapan Hukum Oleh hakim Dan Strategi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta:2016),
hlm 6.
29
dalam perkara korupsi adalah adanya perbedaan persepsi antara Jaksa dan Hakim
baik mengenai penerapan hukum maupun penilaian terhadap fakta yang terungkap
di dalam surat tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum kurang optimal
dalam penuntutan perkara tindak pidana korupsi selain sulit pembuktiannya, juga
tidak terlepas dari karakteristik tindak pidana korupsi, baik kendala yuridis dan
non yuridis, misal adanya intervensi dari oknum-oknum tertentu atau aparat
pejabat pemerintah atau negara yang ingin membebaskan terdakwa dari tanggung
jawab, baik dengan cara menggunakan kekuasaan atau kewenangan jabatan atau
Putusan pengadilan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak. Putusan
kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni,
dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang
bersangkutan.50
49
Olan Laurance Hasiholan Pasaribu, et. al., “Kajian Yuridis Terhadap Putusan Bebas Tindak
Pidana Korupsi”, Mercatoria Vol. 1 No. 2, Tahun 2008.
50
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, hlm.
201.
30
Pada saat ini korupsi di Indonesia sangat meningkat, banyak para pejabat negara
yang terlibat dalam korupsi sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah melangar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan tidak bermoral, tidak baik, curang,
melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni
secara luar biasa dan khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik
Pengertian tindak pidana korupsi secara umum terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3
ketentuan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang yang secara
51
Irene Svinarky, “Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pungutan Liar (Pungli)”,
Jurnal Cahaya Keadilan Vol.4 No.2, Tahun 2016.
52
KPK RI, Modul Materi Tindak Pidana Korupsi, https://aclc.kpk.go.id/wp-
content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf. Diakses pada Rabu,15 April
2020.
31
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuagan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
Memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) di atas maka unsur-unsur dari pasal tersebut
sebagai berikut :
1. Setiap orang
Yang dimaksud “setiap orang” dari pasal ini merupakan orang perseorangan
atau korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun
bukan badan hukum.
2. Secara melawan hukum
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Yang dimaksud dengan “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi” yaitu:
a. Memperkaya diri sendiri artinya dengan perbuatan melawan hukum itu
pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
b. Memperkaya Orang Lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan
melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati
bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang
diuntungkan bukan pelaku langsung.
c. Memperkaya Korporasi, yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari
pelaku, suatu korporasi yang menikmati bertambahnya kekayaan atau
bertambahnya harta benda. Memperkaya sering dipakai adanya perubahan
berupa tambahan kekayaan atau perubahan cara hidup seseorang seperti
orang kaya.
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Yang dimaksud dengan “Dapat merugikan keuangan Negara atau
53
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No.
4150, Ps. 2 Ayat (1).
32
Terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, menjelaskan bahwa kata “dapat”
yang disebutkan dalam Pasal 3 diartikan sama dengan penjelasan dalam Pasal 2.
Penjelasan dari kata tersebut yaitu hanya menunjukan bahwa tindak pidana
korupsi yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 2 merupakan delik
formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang telah dirumuskan, bukan timbulnya akibat. Unsur-unsur dari Pasal
3 sendiri yaitu:
54
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm. 41.
55
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Ps. 3.
33
1. Setiap orang
Yang dimaksud dengan “semua orang” dalam pasal ini yakni bahwa pelaku
tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau
kedudukan. Yang dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan hanyalah
orang perseorangan, sedangkan korporasi tidak termasuk dalam pasal ini.
2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
Yang dimaksud dengan “menguntungkan” yaitu mendapatkan untung untuk
diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Yang dimana pendapatan yang
diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut
dari pendapatan yang diperolehnya.
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukan
Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan” yaitu menggunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan
yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara” yaitu menjadi rugi atau menjadi berkurangnya keuangan negara atau
perekonomian negara.56
Terdapat perbedaan mengenai ketentuan apa saja yang terasuk tindak pidana
penempatan mengenai ketentuan tentang apa yang termasuk tindak pidana korupsi
terdapat dalam Pasal 1. Bahwa dari pasal tersebut yang termasuk tindak pidana
seperti apa yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tersebut.57
56
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm. 45.
57
Ibid, hlm. 9.
34
penempatan mengenai ketentuan apa saja yang termasuk tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam Pasal 1. Penempatan mengenai ketentuan apa saja yang
termasuk tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Korupsi.
dirumuskan ke dalam tiga puluh jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis tindak pidana
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara atau
2. Suap-menyuap
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyuapan, diatur dalam Pasal 5
ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan
huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf (a), (b), (c), (d), Pasal 12B,
dan Pasal 13. Suap-menyuap berkonotasi pada adanya janji, iming-iming atau
pemberian keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau
pegawai negeri, langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai
negeri atau pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya
yang sah.60
3. Gratifikasi
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi, diatur dalam Pasal
12B Jo. Pasal 12C. Gratifikasi adalah pemberian hadiah yang diterima oleh
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
59
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, 20 November 2017,
https://kliklegal.com/ini-tujuh-kelompok-jenis-tindak-pidana-korupsi/, diakses pada tanggal 1 Juni
2020, pukul 03.53 wib.
60
Muladi, Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan Penanggulangannya,
makalah dalam Seminar Nasional, hlm 2.
61
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ps. 12B Ayat
(1).
36
diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 huruf (a), (b), (c). Penggelapan
barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan
merugikan negara.62
5. Pemerasan
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan diatur dalam Pasal
12 huruf (e), (g), (h). Pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
sendiri.63
6. Perbuatan curang
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf (a), (b), (c), (d), Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h.
orang lain atau keuangan Negara.64 Perbuatan curang yang dapat dikategorikan
melakukan kecurangan.65
jasa yang dibutuhkan oleh instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang
ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses
64
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, diakses pada tanggal 1
Juni 2020, pukul 03.53 wib.
65
Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbuatan Curang, https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-
terhadap-korupsi/infografis/perbuatan-curang, diakses pada tanggal 1Juni 2020, pukul 03.55 wib.
66
Handar Subhandi Bakhtiar, Jenis Tindak Pidana Korpsi, 26 November 2014,
http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/jenis-tindak-pidana-korupsi.html, diakses pada
tanggal 1 Juni 2020, pikum 04.52.
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis
norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku
setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis
lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-
penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Sumber terdiri dari data langsung
yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi
67
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), hlm.52.
39
pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.68 Data yang digunakan
Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bila
perlu bahan hukum tersier. Data sekunder pada dasarnya adalah data normatif
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:70
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
kalangan hukum, dan sebagainya.71 Bahan hukum sekunder ini juga yang
68
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1983), hlm.56.
69
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, hlm. 151.
70
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.
114.
71
Ibid, hlm. 114.
40
C. Penentuan Narasumber
secara jelas atau menjadi sumber informasi. Narasumber dalam penelitian ini
2. Pengolahan Data
sehingga siap pakai untuk dianalisa.73 Sehingga data yang diperoleh dapat
berikut:
b. Seleksi data yaitu data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok
bahasan dan mengutip data dari buku-buku literatur dan instansi yang
d. Sistematika data yaitu penyusunan data menurut tata urutan yang telah
ditetapkan sesuai dengan konsep, tujuan dan bahan sehingga mudah untuk
dianalisis datanya.
E. Analisis Data
73
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 72.
42
Analisis data merupakan suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang
analisis yang berupa penjelasan dan uraian-uraian kalimat, dengan cara indukatif,
yaitu suatu cara berfikir yang dilakukan pada fakta-fakta yang bersifat umum
A. BUKU
Lubis, Mochtar dan James C. Scott. Bunga Rampai Korupsi. cet. Ke-3, Jakarta:
LP3ES, 1995.
Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode Etik
Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006.
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
B. PERUNDANG-UNDANGAN
C. PUTUSAN
D. JURNAL/MAKALAH
Muladi. Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan
Penanggulangannya, makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia
Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan Hukum Pidana” Kerjasama
FH UNDIP dengan KY di Semarang pada tgl. 16 Januari 2015.
Pah, Gress Gustia Adrian, ed. al. “Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh
Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi”, e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No
1 (2014).
Pasaribu, Olan Laurance Hasiholan, et. al. “Kajian Yuridis Terhadap Putusan
Bebas Tindak Pidana Korupsi”, Mercatoria Vol. 1 No. 2 (2008).
Solahuddin, Moh Toha. “Pungutan Liar (Pungli) dalam Perspektif Tindak Pidana
Korupsi”, Majalah Paraikatte Vol. 26 edisi Triwulan III (2016).
E. INTERNET