Anda di halaman 1dari 99

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

PUTUSAN BEBAS TERHADAP PELAKU


TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk)

(Skripsi)

Oleh
AGNESIA MUTIARA SANI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRAK

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN


PUTUSAN BEBAS TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk)

Oleh

AGNESIA MUTIARA SANI

Salah satu tindak pidana korupsi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah
pungutan liar. Pungutan liar atau Pungli ternyata belum sepenuhnya mati di
Indonesia, hingga saat ini Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara masih
terlibat dalam kasus pungutan liar. Salah satu contoh kasus tindak pidana korupsi
pungutan liar adalah kasus pada Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk
dalam kasus tersebut terdakwa Mulyadi dijatuhkan putusan bebas. Menilai dari
putusan hakim yang memutus bebas terdakwa, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai bagaimanakah dasar pertimbangan Majelis
Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi
berdasarkan Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk dan apakah putusan
bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi tersebut telah mencerminkan rasa
kedilan.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian yuridis normatif,
sumber bahan hukum primer dan sekunder, pencatatan terhadap buku-buku
peraturan perundang-undangan serta literatur lainnya dilakukan untuk
mengumpulkan data, dan analisis bahan hukum dengan menggunakan
argumentasi hukum melalui wawancara secara langsung kepada informan yaitu
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang, Advokat pada Kantor
Advokat Nuki And Partners di Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi
Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa dasar
pertimbangan hakim dalam memutus bebas tindak pidana korupsi Putusan
Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk terdakwa Mulyadi tidak memenuhi unsur
sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Alternatif oleh Jaksa Penuntun Umum,
sehingga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana korupsi. Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana
korupsi ini telah mempertimbangkan aspek yuridis, aspek filosofis dan aspek
sosiologis. Selain menggunakan pertimbangan tersebut Hakim juga memutus
Agnesia Mutiara Sani
berdasarkan prinsip ratio decidendi, prinsip pendekatan keilmuan, dan prinsip
kebijaksanaan. Dari segi yuridis dan non yuridis pertimbangan Majelis Hakim
dalam menjatuhkan putusan tersebut dinilai sudah adil dan sudah sesuai dengan
pasal-pasal yang berlaku. Selain mempertimbangkan sesuai dengan pasal yang
berlaku, Majelis Hakim juga dalam memutus melihat sikap dan prilaku terdakwa.
Saran dalam penelitian ini yaitu hakim harus bersikap adil dalam menangani suatu
kasus tindak pidana korupsi, tidak tumpul ke atas tajam ke bawah. Hakim dalam
memutus suatu perkara harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat
filosofis, yuridis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan
dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang
berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice)
dan keadilan masyarakat (sosial justice), dan Majelis Hakim diharapkan dapat
menekankan keadilan substantif terkait dengan isi putusan hakim dalam mengadili
suatu perkara, yang dibuat berdasarkan pertimbangan yang objektif, jujur,
imparsial dan rasional (logis) sehingga terciptalah keadilan substantif.
Kata Kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Korupsi, Putusan Bebas.
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PUTUSAN BEBAS TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk)

Oleh
AGNESIA MUTIARA SANI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai
gelar SARJANA HUKUM

Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
Judul Skripsi : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-
TPK/2018/PN.Tjk).

Nama Mahasiswa : AGNESIA MUTIARA SANI

No. Pokok Mahasiswa : 1712011050

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.
NIP. 197905062006041002 NIP. 197706012005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP. 196112311989031023
MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H.

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H.

Penguji : Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S.

NIP. 196412181988031002

Tanggal Lulus Ujian Skripsi:


PERNYATAAN

Nama : Agnesia Mutiara Sani

Nomor Pokok Mahasiswa 1712011050

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Dasar Pertimbangan

Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas terhadap Pelaku Tindak Pidana

Korupsi (Studi Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk)” adalah hasil

karya saya sendiri. Semua hasil tulisan yang tertuang dalam skripsi ini telah

mengikuti kaidah penulisan karya ilmiah Universitas Lampung. Apabila

kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan hasil salinan atau dibuat oleh

orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan

akademik yang berlaku.

Bandar Lampung, 14 Januari 2021


Penulis,

Agnesia Mutiara Sani


NPM 1712011050
RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Agnesia Mutiara Sani,

penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 7 Juli

1999. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara

dari Bapak Eksan Nawawi dan Ibu Efrel Denti Alam.

Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 2 Rawa Laut

(Teladan) Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun

2011, SMP Negeri 12 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2014, dan

SMA Negeri 3 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2017. Selanjutnya

pada Tahun 2017 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Semasa kuliah penulis aktif

mengikuti berbagai kegiatan organisasi yakni menjadi pengurus di BEM-F

Hukum Unila, UKM-F PERSIKUSI dan HIMA Pidana Hukum Unila. Pada bulan

Januari 2020 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Batu Tegi

Kecamatan Air Naningan Kabupaten Tanggamus.


MOTTO

“Waktu bagaikan pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya dengan baik, maka

ia akan memanfaatkanmu”

(HR. Muslim)

“Jangan tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tapi tuntut dirimu

karena menunda adabmu kepada-Nya”

(Ibnu Atha’illah As-Sakandari)

“Beberapa orang bermimpi akan keberhasilannya, sementara orang lain

bangun tiap pagi dan mewujudkannya”

“Janganlah berputus asa, sabar dan ikhlaskan karena hidup terkadang tidak

sesuai ekspektasi”

(Penulis)
PERSEMBAHAN

Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT Atas rahmat dan hidayah-

Nya, saya persembahkan skripsi ini kepada:

Keluarga tercinta

Papa Eksan Nawawi, mama Efrel Denti Alam dan adik Athaya Ramadhan Sani

yang saya sayangi, hormati, dan banggakan. Terimakasih telah mendukung,

membantu, mendoakan, dan menemani saya selama ini, terimakasih atas

pengorbanan dan usaha kalian, semoga kita diberi kesehatan dan umur yang

panjang serta dipertemukan di surga-Nya Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Almamater Universitas Lampung

Tempatku memperoleh ilmu dan merancang masa depan untuk mendapatkan

kebaikan di dunia dan akhirat.


SAN WACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Bebas terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Tjk)” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan

Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak memperoleh

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan rasa hormat penulis

menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam

penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Bapak Prof. Dr. Karomani, M. Si., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


5. Bapak Dr. Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I

yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan masukan sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan arahan, bimbingan, dan masukan sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah

memberikan kritik, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu Aisyah Muda Cemerlang, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang

telah memberikan kritik, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Ibu Kingkin Wahyuningdiah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang memberikan dukungan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

10. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

11. Para staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung terutama pada

Bagian Hukum Pidana Bu Aswati, Mba Tika, dan Bang Ijal.

12. Bapak Jaini Basir, S.H., M.H., selaku Hakim Tindak Pidana Korupsi

Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bapak Risky Fany, S.H., selaku Jaksa

Kejaksaan Tinggi Lampung, Bapak Nuki, S.H., M.Kn., selaku Advokat pada

Kantor Advokat Nuki And Partners, Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.,

selaku Dosen Fakultas Hukum, yang telah membantu dalam mendapatkan

data yang diperlukan penulisan skripsi ini, terimakasih atas semua kebaikan

dan bantuannya.
13. Terimakasih banyak untuk kedua orangtua saya Eksan Nawawi dan Efrel

Denti Alam, serta adik saya Athaya Ramadhan Sani yang telah selalu ada

dihidup saya dan selalu membantu saya, terimakasih atas pengorbanan dan

usaha kalian.

14. Terimakasih kepada keluarga besar UKM-F Persikusi, BEM-F Hukum

Universitas Lampung, dan HIMA Pidana Universitas Lampung yang sudah

mempercayai saya untuk dapat berpartisipasi dan memberikan pelajaran.

15. Terimakasih kepada Patra, Dea Amira, Dyah Ayu, Ghina Nabila, Kharisma

Mega, Nabila Muthia, Rafika Amelia, Shadilla Shavera, Yuni Angraini,

Almira, Khansa, dan teman-teman Fakultas Hukum lainnya yang tidak dapat

saya sebutkan satu persatu. Terimakasih telah menemani, membantu,

menebengi, dan membuat saya tertawa, senang rasanya dapat bertemu dan

mengenal kalian semua, semoga kita dapat mencapai cita-cita kita dan

dipermudah dalam segala hal Aamiin yaAlloh.

16. Terimakasih kepada teman-teman SMA saya Mahmud dan teman-teman SMP

saya Take Me Home yang telah memberi semangat dan motivasi.

17. Terimakasih kepada Almamater tercinta, Universitas Lampung.

Terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

telah membantu saya menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan

dan dukungannya, semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan

mendapatkan balasan kebaikan yang lebih besar dari Alloh SWT, dan semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Akhir kata, penulis mengucapkan

mohon maaf apabila ada yang salah dalam penulisan skripsi ini.
Bandar Lampung, Januari 2021
Penulis,

Agnesia Mutiara Sani


DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup...............................................................8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian..................................................................8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.............................................................10
E. Sistematika Penulisan.................................................................................15

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan.........................17
B. Macam-Macam Putusan.............................................................................23
C. Putusan Bebas sebagai Putusan Hakim dalam Perkara Pidana..................27
D. Pengertian dan Macam-Macam Tindak Pidana Korupsi...........................30

III. METODE PENELITIAN


A.Pendekatan Masalah....................................................................................38
B. Jenis dan Sumber Data...............................................................................38
C. Penentuan Narasumber...............................................................................40
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data............................................40
E. Analisis Data...............................................................................................42

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas
terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 46/Pid.
Sus-TPK/2018/PN.Tjk)..............................................................................43
B. Aspek Keadilan dalam Putusan Bebas terhadap Tindak Pidana Korupsi
Pada Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.......................................66

V. PENUTUP
A. Simpulan.....................................................................................................76
B. Saran...........................................................................................................79

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi merupakan perbuatan tidak bermoral, tidak baik, curang,

melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan

menyalahgunakan jabatan yang bermaksud memperkaya diri sendiri atau

kelompok atau orang lain yang berakibat merugikan perekonomian negara.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(UU PTPK). Definisi korupsi tersebut telah dijelaskan di dalam 13 butir pasal

dalam UU PTPK. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam

tiga puluh jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis tersebut pada dasarnya

dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis tindak pidana korupsi yaitu kerugian

keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan,

perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.1 Pasal-

pasal tersebut menerangkan secara rinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan

sanksi pidana korupsi.

1
M. Syamsa Ardisasmita, Definisi Korupasi Menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement
untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparant dan Akuntabel, makalah dalam
Seminar Nasional “Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”
oleh Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta pada tgl. 23
Agustus 2006, hlm. 4.
2

Salah satu tindak pidana korupsi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah

pungutan liar. Pungutan liar atau Pungli ternyata belum sepenuhnya mati di

Indonesia, hingga saat ini Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara masih

terlibat dalam kasus pungutan liar. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

yang berwenang tersebut meminta pungutan liar dalam mempelancar pembuatan

dokumen kependudukan, seperti pembuatan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda

Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), akta nikah dan lainnya. Hal

tersebut dilakukan dengan alasan agar pembuatan dokumen kependudukan

tersebut lancar dan cepat. Pungli merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan

wewenang yang bertujuan untuk memudahkan suatu urusan atau memenuhi

kepentingan dari pihak pembayar pungutan. Birokrasi pemerintah mempunyai

fungsi mengatur, memerintah, menyediakan fasilitas, serta memberikan pelayanan

kepada masyarakat dengan tujuan supaya kepentingan-kepentingan umum

pelayanan administrasi dapat dipenuhi melalui serangkaian aturan-aturan yang

sama bagi semua pihak.2

Hingga saat ini kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah

termasuk di lembaga yudikatif masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit diakses,

prosedur yang berbelit-belit, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek

pungutan liar merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di

Indonesia. Di samping itu kencederungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan

publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan

pelayanan. Sebaliknya bagi yang memiliki uang dengan sangat mudah

mendapatkan segala yang diinginkan. Kondisi tersebut lebih disebabkan karena

2
Wahyu Ramadhani, “Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap
Pelayanan Publik”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 12, Nomor 2, Tahun 2017.
paradigma pemerintah di era pasca reformasi yang masih seperti pada era orde

baru yang belum mengalami perubahan mendasar.3

Tindakan tersebut mengakibatkan masyarakat menyerah ketika berhadapan

dengan pelayanan publik yang korup. Hal ini merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan masyarakat cenderung toleran terhadap praktik pungutan liar, suap

dan pemerasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Apabila ketidak-

merataan dan ketidakadilan ini terus menerus terjadi maka pelayanan yang

berpihak ini akan menumbuh kembangkan praktik korupsi dan memunculkan

potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa.

Pungli atau pungutan liar kerapkali disamakan dengan suap maupun pemerasan.

Masyarakat awam seringkali mempersamakan ketiga tindakan tersebut. Pada

kenyataannya tindakan tersebut berbeda. Pungli dapat digolongkan dalam tindak

pidana korupsi dalam bentuk pemerasan. UU PTPK membedakan antar suap-

menyuap dan pemerasan. Pengertian dari pungli, suap dan pemerasan sebagai

berikut.

Pungli atau pungutan liar termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, di mana

dalam konsep kejahatan jabatan dijabarkan bahwa pejabat demi menguntungkan

diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa

seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

3
Maroni, Hukum Birokrasi Peradilan Pidana, (Lampung: Aura, 2018), hlm. 15.
sendiri.4 Contoh dari tindakan pungli seperti pada pelayanan pembuatan KTP,

Akta Nikah, dan SIM.

Definisi suap berkonotasi pada adanya janji, iming-iming atau pemberian

keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau pegawai negeri,

langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai negeri atau pejabat

tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang sah.5 Contoh dari

tindak pidana suap seperti membangun gedung tanpa Analisis Dampak

Lingkungan (AMDAL), illegal loging (pembalakan liar).

Definisi dari pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau

penyelenggara negara (berperan aktif) melakukan pemerasan kepada orang atau

korporasi tertentu yang memerlukan pelayanan, yang dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan

menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa seseorang untuk memberikan

sesuatu, membayar atau meneriman pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.6 Contoh dari pemerasan seperti tilang

ilegal, jual beli Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sebagaimana penjelasan di atas terkait tindak pidana korupi yang berupa

pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam hal pembuatan akta

nikah, di bawah ini penulis menguraikan contoh kasus yang berkaitan dengan

4
Moh. Toha Solahuddin, “Pungutan Liar (Pungli) dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi”,
Majalah Paraikatte Vol. 26 edisi Triwulan III, Tahun 2016.
5
Muladi, Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan Penanggulangannya,
makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan
Hukum Pidana” Kerjasama FH UNDIP dengan KY di Semarang pada tgl. 16 Januari 2015, hlm 2.
6
Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap,
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/perbedaan-gratifikasi-
uang-pelicin-pemerasan-dan-suap, diakses pada tanggal 11 Juni 2020, pukul 02.54 wib.
tindak pidana korupsi Putusan Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk atas nama

Mulyadi. Pada tanggal 16 Mei 2017 Mulyadi selaku Kepala Pekon Air Kubang

terkena Oprasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Polres Tanggamus. Kejadian tersebut

terjadi di Kantor Pekon Air Kubang Kecamatan Air Naningan Kabupaten

Tanggamus. Mulyadi diduga melakukan pungli atau menerima suap dari salah

satu warga yang ingin mengurus kutipan akta nikah sebesar Rp. 1.800.000,- (satu

juta delapan ratus ribu rupiah).

Atas tindakan tersebut Mulyadi didakwa dengan dakwaan yang bersifat alternatif

yakni Dakwaan Pertama melanggar Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Dakwaan kedua melanggar

Pasal 11 Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa Penuntut Umun

meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana kepada Mulyadi dengan

pidana penjara selama 8 (delapan) bulan penjara dengan perintah terdakwa segera

ditahan dan Denda sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidiair

6 (enam) bulan kurungan.7

Majelis Hakim menimbang bahwa tidak ditemukannya fakta bahwa Mulyadi

menerima hadiah atau janji dalam proses pembuatan surat izin nikah, oleh karena

salah satu unsur dari Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31

7
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang tanggal
30 April 2019, Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk, hlm. 4.
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi tidak terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam

dakwaan alternatif pertama, sehingga terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan

alternatif pertama tersebut. Pada dakwaan alternatif kedua Majelis Hakim kembali

tidak menemukan fakta bahwa terdawa Mulyadi telah menerima hadiah atau janji

dalam proses pembuatan surat izin nikah tersebut, oleh karena salah satu unsur

dari Pasal 11 Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terpenuhi, maka

Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Alternatif

kedua, sehingga terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut. Karena

seluruh dakwaan Alternatif tidak terbukti, maka terdakwa haruslah dinyatakan

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi

sebagaimana didakwakan Penuntut Umum, dan terdakwa harus dibebaskan dari

dakwaan tersebut.8

Berdasarkan kasus di atas, pelaku tindak pidana korupsi yakni tindak pidana

pungli secara ideal dipidana sesuai dengan ancaman yang diatur di dalam Pasal

12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kenyataannya dalam Putusan

8
Ibid, hlm. 43.
Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk Hakim Tindak Pidana Korupsi Pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam perkara aquo menjatuhkan putusan

bebas terhadap Mulyadi selaku terdakwa tindak pidana korupsi dari tuntutan Jaksa

Penuntut Umum.

Putusan hakim ini menjadi pertanyaan publik, apa dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap Terdakwa Mulyadi dan apakah

putusan tersebut telah mencerminkan rasa keadilan. Hakim dalam membuat

putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai dari perlunya

kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat

formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam

membuatnya.

Hakim sebelum menjatuhkan pidana harus memiliki dasar pertimbangan hukum,

sebagaimana diatur Pasal 197 KUHAP, bahwa salah satu aspek yang yang harus

dimasukkan dalam putusan adalah pertimbangan hukum. Terkait dengan putusan

bebas yang dijatuhkan hakim dalam perkara ini, hakim mengacu kepada Pasal 191

Ayat (1) KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di

sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Berdasarkan isu hukum yang telah diuraikan, penulis melakukan kajian dan

penelitian yang berjudul: “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan

Putusan Bebas terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor:

46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis

mengangkat permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan

bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan Nomor:

46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk?

b. Apakah putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi tersebut telah

mencerminkan rasa keadilan?

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku tindak

pidana korupsi dalam Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk. Ruang

lingkup tempat penelitian dilakukan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Tahun 2020.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan

putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor

46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk.
b. Untuk mengetahui putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi

tersebut telah mencerminkan rasa keadilan.

2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini baik dari segi teoritis dan praktis adalah

sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu

meningkatkan pengetahuan, serta dapat memberikan masukan masukan di

samping undang-undang terkait, serta sebagai upaya pengembangan wawasan

pemahaman ilmu hukum yang diteliti khususnya dalam unsur-unsur tindak

pidana korupsi dan peningkatan keterampilan menulis karya ilmiah.

b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif sebagai sumbangan

teoritis dan rujukan bagi aparat penegak hukum meliputi Polisi, Jaksa,

khususnya Hakim. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program

perkuliahan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung serta

masyarakat pada umumnya mengenai tindak pidana suap dan tindak pidana

pungli/pemerasan yang terjadi di masyarakat.


D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi

dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan

untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan oleh peneliti.9 Hal ini kita mempergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat

bantu dalam memecahkan permasalahan.

a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan


Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan

kehakiman. Hakikat tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili,

memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. 10 Dasar

hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan

hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga mendapatkan hasil penelitian yang

maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu cara untuk

mencapai kepastian hukum kehakiman, dimana hakim merupakan aparat penegak

hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur dari tercapainya suatu

kepastian hukum.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan

terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo

et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga putusan hakim

mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan

hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat. Apabila pertimbangan

9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 124.
10
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No.
157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Ps. 10 Ayat (1).
hakim tidak teliti, baik dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari

pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah

Agung.11

Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman

yang membawahi empat badan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama,

peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, telah menentukan bahwa

putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat filosofis,

yuridis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi

pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan

masyarakat (sosial justice).12

Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan

kepada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator undang-undang,

harus mencari serta memahami undang-undang yang berkaitan dengan perkara

yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah undang-undang tersebut adil,

ada kemanfaatannya atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan sebab

salah satu tujuan hukum adalah menciptakan keadilan. Mengenai aspek filosofis,

merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Sedangkan aspek

sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.

Aspek filosofis dan sosiologis, dalam penerapannya sangat memerlukan

pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu

11
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,
12
2004), hlm.140.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct) Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), hlm. 2.
mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya

sangat sulit sebab tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut

tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.13

b. Teori Keadilan Substantif

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perilaku yang adil. Adil

berarti tidak memihak dan berpihak kepada pihak tertentu. Keadilan menurut

kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu tidak merugikan

seseorang dan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya.

Keadilan merupakan cita-cita dan tujuan hukum yang menjangkau wilayah filsafat

ilmu hukum dengan memberikan perspektif bahwa keadilan diwujudkan melalui

hukum.14 Keadilan memperhatikan semua aspek berkenaan dengan terminologi

keadilan dan filsafat ilmu hukum. Apabila kedua prinsip ini dapat dipenuhi

barulah itu dikatakan adil.15 Sudikno Mertokusumo menyatakan eksistensi hukum

sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan

manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang, tujuan hukum untuk

melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajiban.16

Seorang hakim dalam mengambil sebuah keputusan harus bersikap adil kepada

terdakwa maupun pihak yang berperkara. Putusan hakim merupakan puncak dari

perkara pidana yang mencerminkan nilai-nilai keadilan. Hakim harus berani

membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh terbelenggu

13
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2018), hlm.126.
14
Inge Dwisvimiar, “Keadilan dalam Prespektif Filasat Ilmu Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 11 No. 3, Tahun 2011.
15
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.27.
16
Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 3.
oleh normatif-prosedural atau peraturan perundang-undangan saja, sehingga

putusan hakim tidak terkesan kaku.

Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan hakim dalam

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan

pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality),

tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim). 17 Keadilan

substansial selalu saja sulit diwujudkan dalam putusan hakim, karena hakim dan

lembaga pengadilan hanya memberikan keadilan formal. Banyak pihak yang

beranggapan bahwa lembaga pengadilan masih kurang adil dalam memutus suatu

perkara, mereka menilai bahwa lembaga pengadilan terlalu mengikuti normatif-

prosedural dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara. Menegakkan

keadilan bukanlah sekedar menjalankan normatif-prosedural dalam peraturan

hukum yang berlaku di suatu masyarakat. Keadilan bukan semata-mata persoalan

yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh

sosiologi hukum.

Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu

menegakkan keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh normatif-

prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim

bukan sekedar pelaksana undang-undang. Hakim dituntut untuk memiliki

keberanian dalam mengambil suatu keputusan yang berbeda dari ketentuan

normatif undang-undang.

17
M. Syamsudin, “Keadilan Prosedual dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah
Magersari”, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1, Tahun 2014.
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam

melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis

pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian

yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Analisis adalah upaya untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan

prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima

sebagai suatu kebenaran atau penyelesaian masalah.18

b. Dasar pertimbangan hakim adalah dasar-dasar yang digunakan oleh hakim

dalam menelaah atau mencermati suatu perkara sebelum memutuskan suatu

perkara tertentu melalui sidang pengadilan.19

c. Hakim adalah aparat penegak hukum yang berfungsi memberikan putusan

terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak

terlepas dari sistem pembuktian, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu

hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya

alat-alat bukti menurut undang-undang.20

d. Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini.21

18
19
Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 54.
Ahmad Rifai, Op.cit, hlm.112.
20
Ibid, hlm.92.
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 Butir
11.
e. Putusan bebas yaitu terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum, putusan

bebas terjadi bila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di

sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa.22

f. Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas

kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara, dan pengutamaan

kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat

atau aparatur Negara yang bersangkutan.23

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman

terhadap isinya. Adapun secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini sebagai

berikut:

I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari latar

belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian,

kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang

berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi

atau bahan pustaka terdiri dari pengertian putusan hakim, pengertian dan jenis

22
Ibid, Ps. 191 Ayat (1).
23
Mochtar Lubis dan James C. Scott. Bunga Rampai Korupsi. cet. Ke-3, (Jakarta: LP3ES,
1995), hlm. 4-7.
tindak korupsi, pengertian dan unsur tindak pidana suap, pengertian dan unsur

tindak pidana pungli/pemerasan.

III. METODE PENELITIAN


Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan

masalah, sumber data dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan

data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai dasar pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku tindak pidana

korupsi dalam Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk/2017/PN.Tjk

dan apakah putusan tersebut telah mencerminkan rasa keadilan.

V. PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan

penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan

kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk mengadili.24 Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Tugas pokok hakim adalah menerima,

memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang

diajukan kepadanya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara

yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem

pembuktian negatif, yang menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau

kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut

undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas

moral yang baik.25

Melihat dari ketentuan KUHAP, putusan hakim atau putusan pengadilan pada

hakikatnya dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni putusan akhir dan

putusan yang bukan putusan akhir, yang dinamakan putusan akhir yakni apabila

suatu perkara diperiksa oleh majelis hakim sampai selesai pokok perkaranya, dan

hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 182 Ayat (3) dan Ayat (8), Pasal 197, dan

24
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3258, Ps. 1 Butir 8.
25
Ahmad Rifai, Op.cit, hlm.103.
18

Pasal 199 KUHAP. Pada jenis putusan seperti ini prosedural yang harus dilakukan

adalah setelah persidangan dinyatakan dibuka untuk umum, pemeriksaan identitas

terdakwa, dan peringatan agar mendengar dan memperhatikan segala sesuatu di

dalam persidangan, pembacaan surat dakwaan, keberatan, pemerikaan alat bukti,

replik dan duplik kemudian re-replik dan re-duplik, pernyataan pemeriksaan

“ditutup”, serta musyawarah majelis hakim, dan pembacaan “putusan”.26

Hakim pada dasarnya bebas untuk menafsirkan ketentuan undang-undang

terhadap suatu permasalahan hukum yang diperhadapkan kepada hakim di depan

pengadilan termasuk didalamnya kewenangan untuk menafsirkan ketentuan

tentang pidana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi

yang kemudian diwujudkan dalam putusan hakim yang merupakan hasil (output)

dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada surat

dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan

penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannya

penerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai asas

hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu

Hukum Pidana harus bersumber pada undang-undang artinya pemidanaan

haruslah berdasarkan undang-undang penerapan berat ringannya pidana yang

dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi

motivasi dan akibat perbuatan si pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana

penjara, namun dalam hal undang-undang tertentu telah mengatur secara normatif

26
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 147.
tentang pasal-pasal tertentu tentang pemidanaan dengan ancaman minimal

khusus.27

Putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana.

Hakim dalam memutus suatu perkara pidana, terdapat teori-teori yang dapat

dipergunakan hakim dalam memutus perkara pidana. Menurut Mackenzie ada

beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam

penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini keseimbangan antara syarat-
syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan
kepentingan terdakwa dan kepetingan korban.
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,
hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam
perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan
putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari
hakim.
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan
semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi
dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam
menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena
dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana
yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

27
Gress Gustia Adrian Pah, ed. al., “Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Dalam
Tindak Pidana Korupsi”, e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1, Tahun 2014.
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum
dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada
motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi
para pihak yang berperkara.
f. Teori Kebijaksanaan
Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini
berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di Pengadilan anak. Aspek
ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut
bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi
anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga,
masyarakat dan bagi bangsanya. Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa
tujuan yaitu, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu
kejahatan; sebagai upaya perlindungan terhadap terdakwa yang telah
melakukan tindak pidana; dan untuk memupuk solidaritas antara keluarga
dengan masyarakat dalam rangka membina, memelihara dan mendidik pelaku
tindak pidana, dan yang keempat sebagai pencegahan umum dan khusus.28

Selain menggunakan teori-teori di atas, hakim dalam memutus perkara pidana

harus berdasarkan alat-alat bukti yang berhubungan dengan perkara. Keterangan

seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.29 Oleh sebab itu dalam

menjatuhkan putusan kepada terdakwa, hakim harus memiliki sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya.30 Yang dimaksud dengan alat bukti yang sah yaitu:

a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan.31
28
29
Ahmad Rifai, Op.cit, hlm.105.
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 185
Ayat (2).
30
Ibid, Ps. 183.
31
Ibid, Ps. 184.
Hakim dapat menggunakan teori kebenaran dalam mengadili pelaku tindak pidana

yang dimana hakim harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam

memutus suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum.

Putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yang dimana alat

bukti harus saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain,

misalnya antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain

atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

Hakim dalam mengambil suatu keputusan harus mempertimbangkan beberapa

aspek, yaitu:

a. Kesalahan pelaku tindak pidana


Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya
pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana
harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan
adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang
harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.
c. Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di
dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
d. Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku
juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan
melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat
mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,
misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal
dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan
sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak
berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas
juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana
bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau
bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus
terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku
tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,
memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi
hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran
untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan
orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.32

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana yang mencerminkan nilai-

nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara

mapan maupun faktual serta visualisasi etika serta moral suatu hakim yang

bersangkutan. Hakim harus mempertimbangkan melalui aspek-aspek lainnya

selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan

nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya

pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit

mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau

null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-

pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-

fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari

keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan

diperiksa di persidangan.33

32
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 77.
33
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), hlm.121.
B. Macam-Macam Putusan Hakim

Hakim dalam memutus suatu perkara pidana memiliki kebebasan dalam

mengambil suatu keputusan. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung

dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;


b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim; dan
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisialnya.34

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 193 Ayat (1)

KUHAP, setidaknya ada dua sifat putusan hakim dalam memutus perkara tindak

pidana, yaitu:

1. Putusan Pemidanaan
Hakikatnya putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisiskan suatu

perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatannya sesuai

dengan amar putusan. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim

telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan

bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih

tepatnya, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP.35

Terhadap lamanya pidana (sentencing atau straftoemeting) pembentuk undang-

undang memberikan kebebasan terhadap hakim untuk menentukan antara pidana

minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan.

Walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan menentukan batas

maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti

34
35
Ahmad Rifai, Loc.cit.
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm.148.
Hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan

yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan

putusan hakim yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat

dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.36

2. Putusan yang Bukan Pemidanaan


Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa:
a) Putusan bebas (vrijspraak) dan
b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 (1) KUHAP, putusan bebas (vrijspraak) dapat

dijatuhkan oleh Majelis Hakim karena dari hasil pemeriksaan di sidang

pengadilan dan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Apa bila terdakwa

dijatuhi putusan bebas (vrijspraak atau acquittal), terdakwa tidak dipidana atau

menjalani hukuman karena hasil pemeriksaan di persidangan yang didakwakan

jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum. Secara yuridis, dapat dikatakan majelis hakim

memandang atas minimum pembuktian dan keyakinan hakim berdasarkan

ketentuan Pasal 183 KUHAP tidak terbukti.37

Konkretnya, secara yuridis dapat disebutkan bahwa putusan bebas apabila Majelis

Hakim setelah memeriksa pokok perkara dan bermusyawarah beranggapan

bahwa:

36
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya,
(Bandung: Alumni, 2007), hlm. 232.
37
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm.150.
(1) Ketiadaan alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatieve wettelijke bewijs theorie)
sebagaimana dianut oleh KUHAP. Jadi, pada prinsipnya Majelis Hakim
dalam persidangan tidak cukup dapat membuktikan tentang kesalahan
terdakwa serta hakim tidak yakin terhadap kesalahan tersebut.
(2) Majelis Hakim berpandangan terhadap asas minimum pembuktian yang
ditetapkan oleh undang-undang telah terpenuhi misalnya berupa adanya dua
orang saksi atau adanya petunjuk, tetapi Majelis Hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa. 38

Ketentuan Pasal 191 Ayat (2) KUHAP mengatur secara eksplisit tentang putusan

pelepasan dari sagala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Putusan

lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) ini dapat disebut

bahwa apa yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa terbukti secara sah

dan meyakinkan hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena

perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana, tetapi misalnya

termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah hukum dagang. Berbeda

halnya jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak

dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana

disebut dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas.39

Apabila diperbandingkan putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala

tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), sama-sama terdakwa tidak

menjalankan hukuman atau tindak pidana. Selain itu, baik putusan bebas

(vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht

vervolging) apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van

gewijsde) berdasarkan ketentan Pasal 97 Ayat (1) KUHAP, Pasal 14 Ayat (1)

38
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 218.
39
M.Yahya Harahap, Upaya Hukum Luar Biasa. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), hlm. 347.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 dan pendapat Mahkamah Agung

Republik Indonesia, serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

670K/Pid/1984 tanggal 27 Mei 1985,40 maka diberikan dan dicantumkan dalam

putusan hakim dengan amar yang berbunyi:

“Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat, serta

martabatnya”.41

Adapun perbedaannya dapat ditinjau dari visi hukum pembuktian dan visi

penuntutan sebagai berikut:

(1) Apabila ditinjau dari visi hukum pembuktian, pada putusan bebas (vrijspraak
atau acquittal) tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam
surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Lain halnya dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van
recht vervolging) di mana perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat
dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan
hukum. Akan tetapi, terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuata
tersebut bukan merupakan tindak pidana.
(2) Apabila ditinjau dari visi hukum penuntutannya, pada putusan bebas
(vrijspraak atau acquittal) tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah diperiksa dan diadili oleh
peradilan pidana. akan tetapi, karena berdasarkan fakta-fakta di persidangan
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan sehingga
dibebaskan. Adapun pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van recht vervolging) perbuatan yang didakwakan penuntut umum dalam
surat dakwaannya bukan merupakan tindak pidana sehingga peradilan pidana
tidak berhak/berwenang mengadilinya karena merupakan yurisdiksi peradilan
lain.42

40
Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, Proyek Yurisprudensi Mahkamah
Agung
41
RI, t.t., hlm.58-69.
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 151.
42
Ibid, hlm. 152.
C. Putusan Bebas sebagai Putusan Hakim dalam Perkara Pidana

Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 43

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang

permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Setiap sidang permusyawaratan

hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara

yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.44

Putusan pengadilan atau putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan

pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri. Putusan pengadilan dinilai

sangat berguna bagi terdakwa atau pihak yang bersengketa guna memperoleh

kepastian hukum, karena putusan hakim menentukan langkah apa yang

selanjutnya dilakukan oleh terdakwa atau pihak yang bersengketa. Terdakwa atau

pihak yang bersengketa dapat menerima atau menolak putusan yang sudah

ditetapkan, apabila terdakwa atau pihak bersengketa menolak putusan, terdakwa

atau pihak bersengketa dapat melakukan upaya banding, kasasi dan grasi sesuai

peraturan yang berlaku.45

Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan di sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani hakim dan

43
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 butir
11.44
Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Ps. 14.
45
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 201.
panitera seketika setelah putusan diucapkan.46 Putusan yang dibacakan oleh hakim

merupakan bentuk tanggung jawab seorang hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa,

pencari keadilan, masyarakat, Pengadilan yang lebih tinggi. Untuk itu, putusan

harus dibacakan dalam sidang umum. Putusan mengandung pertanggungjawaban,

maka acara pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk

umum dan Pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan kepada masyarakat

dan pihak pihak yang berperkara perihal jadwal pembacaan putusan itu.47

Hakim juga mempunyai tugas secara konkret dalam memeriksa dan mengadili

suatu perkara melalui tiga tindakan secara bertahap, yaitu:

1. Mengkonstatasi tentang terjadinya suatu peristiwa yakni hakim menetapkan


terjadinya peristiwa konkret berdasarkan bukti-bukti yang ada. Hakim
sangat dituntut kemampuan untuk mengidentifikasi isu hukum secara tepat.
Tidak dapat disangkal adakalnya pencari keadilan mengajukan persoalan
seolah-olah sarat dengan masalah hukum namun sesungguhnya bukan
masalah hukum.
2. Mengkualifikasi, dalam hal ini hakim berupaya menemukan hukumnya
secara tepat terhadap perisitiwa yang telah dikonstatir dengan jalan
menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Setelah isu
hukum di atas diperoleh, hakim menetapkan norma hukum sebagai premis
mayor yang tepat. Undang-undang sebagai premis mayor harus disesuaikan
dengan peristiwanya agar undang-undang tersebut dapat mencakup atau
meliputi peristiwanya.
3. Melalui proses silogisme dari premis mayor dihubungkan dengan fakta
hukum yang relevan akan dapat ditemukan dan diterapkan hukum positif
yang dimaksud. Dalam memberikan putusan, hakim perlu memerhatikan
faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan,
kepastian hukumnya, dan kemanfaatannya (zweckmassigkeit).48

Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa bukanlah suatu

kesengajaan atau kebetulan belaka. Putusan hakim harus mempertimbangkan

46
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 195
dan47Ps. 200.
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm 153.
48
Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia Mahkamah Agung,
Kompilasi Penerapan Hukum Oleh hakim Dan Strategi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta:2016),
hlm 6.
banyak hal yang berkaitan dengan perkara yang diperiksanya, mulai dari tingkat

perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan korban dan

keluarganya serta rasa keadilan masyarakat. Penyebab terjadinya putusan bebas

dalam perkara korupsi adalah adanya perbedaan persepsi antara Jaksa dan Hakim

baik mengenai penerapan hukum maupun penilaian terhadap fakta yang terungkap

dalam persidangan, adanya kekeliruan atau kurang cermatnya penuntut umum

dalam menerapkan pasal yang didakwakan termasuk adanya pembahasan yuridis

di dalam surat tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum kurang optimal

sehingga menimbulkan celah bagi hakim untuk menyatakan bahwa penuntut

umum tidak dapat membuktikan dakwaannya, sedangkan kendala yang dihadapi

dalam penuntutan perkara tindak pidana korupsi selain sulit pembuktiannya, juga

tidak terlepas dari karakteristik tindak pidana korupsi, baik kendala yuridis dan

non yuridis, misal adanya intervensi dari oknum-oknum tertentu atau aparat

pejabat pemerintah atau negara yang ingin membebaskan terdakwa dari tanggung

jawab, baik dengan cara menggunakan kekuasaan atau kewenangan jabatan atau

imbalan uang atau dengan kekeluargaan.49

Putusan pengadilan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak. Putusan

pengadilan adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan,

kebenaran hakiki, Hak Asasi Manusia, penguasaan hukum atau fakta secara

mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas

dari hakim yang bersangkutan.50

49
Olan Laurance Hasiholan Pasaribu, et. al., “Kajian Yuridis Terhadap Putusan Bebas Tindak
Pidana Korupsi”, Mercatoria Vol. 1 No. 2, Tahun 2008.
50
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 201.
D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Saat ini korupsi di Indonesia sangat meningkat, banyak para pejabat negara yang

terlibat dalam korupsi sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi

juga telah melangar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Tindak

pidana korupsi merupakan perbuatan tidak bermoral, tidak baik, curang, melawan

hukum yang dilakukan seseorang atau korporasi dengan menyalahgunakan

jabatan yang bermaksud memperkaya diri sendiri atau kelompok atau orang lain

yang berakibat merugikan perekonomian negara. Tindak pidana korupsi tidak

hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara

negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga

merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta

membahayakan eksistensi negara.51

Korupsi merupakan masalah serius karena korupsi dapat membahayakan stabilitas

dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, serta

membahayakan pembangunan ekonomi, sosial politik, dan menciptakan

kemiskinan secara masif.52 Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan

secara luar biasa dan khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik

yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Pengertian tindak pidana korupsi secara umum terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Berdasarkan


51
Irene Svinarky, “Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pungutan Liar (Pungli)”,
Jurnal Cahaya Keadilan Vol.4 No.2, Tahun 2016.
52
KPK RI, Modul Materi Tindak Pidana Korupsi, https://aclc.kpk.go.id/wp-
content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf. Diakses pada Rabu,15 April
2020.
ketentuan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuagan negara atau perekonomian

negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp.200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.1000.000.000.00 (satu milyar rupiah).53

Memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) di atas maka unsur-unsur dari pasal tersebut

sebagai berikut :

1. Setiap orang
Unsur “setiap orang” dari pasal ini merupakan orang perseorangan atau
korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan
atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan badan
hukum.
2. Secara melawan hukum
Unsur “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun materiil, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Unsur “Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” yaitu:
a. Memperkaya diri sendiri artinya dengan perbuatan melawan hukum itu
pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
b. Memperkaya Orang Lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan
melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati
bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang
diuntungkan bukan pelaku langsung.
c. Memperkaya Korporasi, yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari
pelaku, suatu korporasi yang menikmati bertambahnya kekayaan atau
bertambahnya harta benda. Memperkaya sering dipakai adanya perubahan
berupa tambahan kekayaan atau perubahan cara hidup seseorang seperti
orang kaya.
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Unsur “Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” yaitu

53
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No.
4150, Ps. 2 Ayat (1).
menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara.
Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak
Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
Lembaga Negara, baik di tingkat pusat, maupun di daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal
pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat, maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.54

Berdasarkan Pasal 3 menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan tujuan


menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).55

Terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, menjelaskan bahwa kata “dapat”

yang disebutkan dalam Pasal 3 diartikan sama dengan penjelasan dalam Pasal 2.

Penjelasan dari kata tersebut yaitu hanya menunjukan bahwa tindak pidana

korupsi yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 2 merupakan delik

formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur

perbuatan yang telah dirumuskan, bukan timbulnya akibat. Unsur-unsur dari Pasal

3 sendiri yaitu:

54
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta:
Sinar
55
Grafika, 2012), hlm. 41.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Ps. 3.
1. Setiap orang
Unsur “semua orang” dalam pasal ini yakni bahwa pelaku tindak pidana
korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau kedudukan. Yang
dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan hanyalah orang perseorangan,
sedangkan korporasi tidak termasuk dalam pasal ini.
2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
Unsur “menguntungkan” yaitu mendapatkan untung untuk diri sendiri atau
orang lain atau korporasi. Yang dimana pendapatan yang diperoleh lebih besar
dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang
diperolehnya.
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukan
Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
karena jabatan atau kedudukan” yaitu menggunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dijabat atau
diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yaitu menjadi
rugi atau menjadi berkurangnya keuangan negara atau perekonomian negara.56

Terdapat perbedaan mengenai ketentuan apa saja yang terasuk tindak pidana

korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menjelaskan cara

penempatan mengenai ketentuan tentang apa yang termasuk tindak pidana korupsi

terdapat dalam Pasal 1. Bahwa dari pasal tersebut yang termasuk tindak pidana

korupsi di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah hanyalah tindak pidana

seperti apa yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.57

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjabarkan cara

penempatan mengenai ketentuan apa saja yang termasuk tindak pidana korupsi

56
R. Wiyono, Op.cit, hlm. 45.
57
Ibid, hlm. 9.
tidaklah seperti cara penempatan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

yang terdapat dalam Pasal 1. Penempatan mengenai ketentuan apa saja yang

termasuk tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terdapat dalam Bab II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Menurut perspektif hukum, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terdapat beberapa jenis definisi yang kemudian digolongkan menjadi

beberapa tindak pidana korupsi. Definisi korupsi tersebut telah dijelaskan di

dalam 13 butir pasal dalam UU PTPK. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi

dirumuskan ke dalam tiga puluh jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis

tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis tindak pidana

korupsi, sebagai berikut:58

1. Perbuatan yang merugikan negara

Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara, diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Perbuatan yang

merugikan negara, dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. mencari keuntungan dengan cara melawan hukum, dan;

b. merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan untuk mencari

58
M. Syamsa Ardisasmita, Op.cit, hlm. 4.
keuntungan dan merugikan negara.59

2. Suap-menyuap
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyuapan, diatur dalam Pasal 5

Ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan

huruf b, Pasal 6 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf (a), (b), (c), (d), Pasal 12B,

dan Pasal 13. Suap-menyuap berkonotasi pada adanya janji, iming-iming atau

pemberian keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau

pegawai negeri, langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai

negeri atau pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya

yang sah.60

3. Gratifikasi
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi, diatur dalam Pasal

12B Jo. Pasal 12C. Gratifikasi adalah pemberian hadiah yang diterima oleh

pegawai negeri atau penyelenggara negara. Gratifikasi dapat berupa uang,

barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya

pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang

diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.61

4. Penggelapan dalam jabatan


Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan,

diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 huruf (a), (b), (c). Penggelapan

dalam jabatan adalah tindakan seorang pejabat pemerintah yang dengan


59
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, 20 November 2017,
https://kliklegal.com/ini-tujuh-kelompok-jenis-tindak-pidana-korupsi/, diakses pada tanggal 1 Juni
2020, pukul 03.53 wib.
60
Muladi, Loc.cit.
61
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ps. 12B Ayat
(1).
kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan,

menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan

barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan

merugikan negara.62

5. Pemerasan
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan diatur dalam Pasal

12 huruf (e), (g), (h). Pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai

negeri atau penyelenggara negara (berperan aktif) melakukan pemerasan

kepada orang atau korporasi tertentu yang memerlukan pelayanan, yang

dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya dengan

memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau meneriman

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

sendiri.63

6. Perbuatan curang
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang diatur dalam

Pasal 7 Ayat (1) huruf (a), (b), (c), (d), Pasal 7 Ayat (2), Pasal 12 huruf h.

Perbuatan curang ini biasanya terjadi di proyek-proyek pemerintahan, seperti

pemborong, pengawas proyek, dan lain-lain yang melakukan kecurangan

dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi

orang lain atau keuangan Negara.64 Perbuatan curang yang dapat dikategorikan

tindak pidana korupsi yaitu pemborong curang, pengawas


62
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, diakses pada tanggal 1
Juni 2020, pukul 03.53 wib.
63
Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap,
Loc.cit.
64
KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, diakses pada tanggal 1
Juni 2020, pukul 03.53 wib.
proyek membiarkan anak buahnya curang, rekanan TNI/POLRI curang,

pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan kecurangan, dan penerima barang

TNI/POLRI melakukan kecurangan.65

7. Benturan kepentingan dalam pengadaan


Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam

pengadaan diatur dalam Pasal 12 huruf i. Benturan kepentingan dalam

pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau

jasa yang dibutuhkan oleh instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang

ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses

seleksi yang disebut dengan tender.66

65
Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbuatan Curang, https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-
terhadap-korupsi/infografis/perbuatan-curang, diakses pada tanggal 1Juni 2020, pukul 03.55 wib.
66
Handar Subhandi Bakhtiar, Jenis Tindak Pidana Korpsi, 26 November 2014,
http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/jenis-tindak-pidana-korupsi.html, diakses pada
tanggal 1 Juni 2020, pikum 04.52.
III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai

norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku

setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis

bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi,

undang-undang, peraturan pemerintah, dan norma hukum tertulis bentukan

lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-

pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan

hukum, dan rancangan undang-undang). Penelitian yuridis normatif disebut juga

penelitian hukum teoretis/dogmatis karena tidak mengkaji pelaksanaan atau

implementasi hukum. Penelitian yuridis normatif hanya menelaah data sekuder.67

B. Jenis dan Sumber Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan

penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Sumber terdiri dari data langsung

yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi

67
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), hlm.52.
39

pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. 68 Data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bila

perlu bahan hukum tersier. Data sekunder pada dasarnya adalah data normatif

terutama yang bersumber dari perundang-undangan. Data normatif tersebut

umumnya berupa ketentuan-ketentuan undang-undang yang menjadi tolak ukur

terapan. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka yang

meliputi perundang-undangan, yurisprudensi, dan buku literatur hukum atau

bahan hukum tertulis lainnya.69 Adapun data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:70
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan

pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari

kalangan hukum, dan sebagainya.71 Bahan hukum sekunder ini juga yang

68
69
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm.56.
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm. 151.
70
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.
114.
71
Ibid, hlm. 114.
berkaitan dengan Putusan Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk.

3. Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus-

kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.72

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini penulis membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk

memberikan penjelasan terkait dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam

skripsi ini. Narasumber adalah orang yang memberikan informasi/keterangan

secara jelas atau menjadi sumber informasi. Narasumber dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang : 1 Orang


2. Advokat pada Kantor Advokat Nuki And Partners di Bandar
Lampung : 1 Orang
3. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 Orang
4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung : 1 Orang +
Jumlah : 4 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yaitu mengumpulkan beragai dokumen yang

berkaitan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini

dilakukan dengan prosedur studi pustaka. Studi pustaka (library research)

72
Ibid, hlm. 114.
dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan

serangkaian kegiatan berupa membaca, mencatat, mengutip dari buku-buku

literatur serta informasi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah kegiatan data hasil pengumpulan data di lapangan

sehingga siap pakai untuk dianalisa.73 Sehingga data yang diperoleh dapat

mempermudah permasalahan yang diteliti. Data yang terkumpul melalui kegiatan

pengumpulan data diproses pengolahan data dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a. Identifikasi data yaitu mencari materi data yang diperolah untuk

disesuaikan dengan pokok bahasan yaitu buku-buku atau literatur-literatur

dan instansi yang berhubungan.

b. Seleksi data yaitu data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok

bahasan dan mengutip data dari buku-buku literatur dan instansi yang

berhubungan dengan pokok bahasan.

c. Klasifikasi data yaitu menempatkan data-data sesuai dengan ketetapan dan

aturan yang telah ada.

d. Sistematika data yaitu penyusunan data menurut tata urutan yang telah

ditetapkan sesuai dengan konsep, tujuan dan bahan sehingga mudah untuk

dianalisis datanya.

73
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.
72.
E. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang

lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian skripsi ini, penulis

menggunakan analiasis data kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah

analisis yang berupa penjelasan dan uraian-uraian kalimat, dengan cara indukatif,

yaitu suatu cara berfikir yang dilakukan pada fakta-fakta yang bersifat umum

kemudian dilanjutkan dengan keputusan yang bersifat khusus sehingga dapat

diperoleh gambaran secara lengkap.


IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas


terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor:
46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk)

Hakim merupakan salah satu sendi utama dalam menegakkan hukum dan keadilan

di negara hukum. Seorang hakim diharapkan bertindak bijak, menjunjung tinggi

nilai keadilan dan kebenaran materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan

pada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras

dengan teori dan praktik sehingga semuanya itu bermula pada putusan yang akan

dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu

sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri, serta demi

keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.74

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang. Putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan pidana dalam

tahap pemeriksaan di pengadilan negeri.

Seorang terdakwa dapat dijatuhi putusan dengan sanksi pidana apabila ia telah

terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan yang didakwakan

74
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 65.
44

kepadanya. Dilakukannya pembuktian untuk mengetahui apakah Terdakwa telah

bersalah atau sebaliknya, maka dilakukan adanya pembuktian dalam persidangan

yang kemudian hakim dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut. Sistem

pembuktian dalam perkara pidana mengacu pada KUHAP. Sistem pembuktian ini

menganut sistem pembuktian negatif dimana salah atau tidaknya Terdakwa

ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan dengan cara dan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang.75

Menurut Eddy Rifai, bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

putusan yaitu berdasarkan tuntutan pidana apakah perbutan yang dilakukan telah

memenuhi unsur-unsur tindak pidana (yuridis), apabila perbuatan telah memenuhi

unsur tindak pidana maka hakim akan menjatuhkan pidana, apabila perbuatan

tidak memenui unsur maka hakim memutus bebas dan bila perbuatan itu

memenuhi unsur namun bukan suatu tindak pidana maka hakim menjatuhkan

putusan lepas. Hakim dalam menjatuhkan putusan melihat alasan yang

meringankan dan memberatkan terdakwa (non yuridis). Mengenai penjatuhan

berapa lama terdakwa di penjara atau berapa denda yang dijatuhkan kepada

terdakwa berdasarkan pada ancaman yang ada.76 Berdasarkan ketentuan Pasal 191

Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 193 Ayat (1) KUHAP, putusan pidana dibagi

menjadi tiga macam yaitu putusan pemidanaan, putusan lepas, dan putusan bebas.

Pada KUHP tidak disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang

75
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 280.
76
Hasil wawancara dengan Eddy Rifai selaku Dosen Fakultas Hukum, Tanggal 14 September
2020.
menghapuskan pidana. Achmad Soema memberikan penjelasan alasan-alasan

yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:

a. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya


perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi
perbuatan yang patut dan benar.
b. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi
tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada
kesalahan.
c. Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan ada alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya
perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi
pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya
kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.77

Eddy Rifai mengatakan bahwa alasan-alasan penghapus dan alasan pembenar

dalam pidana yaitu pertama diatur dalam Pasal 44 KUHP, alasan tidak dapat

dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwedig),

ialah pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit. Kedua

alasan tidak dipertanggungjawabkan seseorang terletak di luar orang itu

(uitwendig), terdapat pada Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Ketiga daya

memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP. Keempat pembelaan

terpaksa (noodweer) yang diatur dalam Pasal 49 KUHP. Kelima karena

melaksanakan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP. Terakhir karena

melaksanakan perintah jabatan, diatur dalam Pasal 51 KUHP.78

Menurut Jaini Basir dalam menjatuhkan putusan hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Hakim harus

sungguh-sungguh memperhatikan dan menilai kesesuaian keterangan saksi satu

77
Lordamanu Bolqi, Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP dan luar KUHP, 3 Agustus
2019, https://www.doktorhukum.com/alasan-penghapus-pidana-dalam-kuhp-dan-luar-kuhp/
78
Hasil wawancara dengan Eddy Rifai selaku Dosen Fakultas Hukum, Tanggal 14 September
2020.
dengan saksi yang lain, kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti

lainnya, serta segala sesuatu hal yang dapat mendukung keterangan itu dapat

dipercaya atau tidak.79

Pertimbangan hukum merupakan mahkota suatu putusan, dan bagian ini

merupakan pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya. Putusan hakim

sangat berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum tentang

statusnya, sehingga terdakwa dapat menyiapkan langkah selanjutnya terhadap

putusan tersebut.

Gambaran umum kasus tindak pidana korupsi pada putusan nomor 46/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Tjk merupakan kasus tindak pidana korupsi dengan terdakwa

bernama Mulyadi Bin Sukirman, tempat lahir di Pulau Panggung, umur 41 Tahun,

tanggal lahir 21 Oktober 1971, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia,

agama islam, tempat tinggal di Dusun Sukarame RT/RW 002/003 Pekon Air

Kubang Kecamatan Air Naningan Kabupaten Tanggamus, pekerjaan kepala pekon

air kubang. Dalam putusan tersebut, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Tanjung Karang telah menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa Mulyadi.

Perbuatan yang dilakukan Terdakwa Mulyadi telah melanggar sebagaimana diatur


dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e jo Pasal 12 A Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Atau Perbuatan Terdakwa Mulyadi telah melanggar sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 jo Pasal 12 A Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

79
Hasil wawancara dengan Jaini Basir, Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, 1 September 2020.
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.80

Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa Mulyadi dengan Pasal 12 huruf e Jo

Pasal 12 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah

dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Dakwaan Pertama

karena terdakwa Mulyadi Bin Sukirman terbukti secara sah dan menyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana korupsi “dengan maksud menguntungkan diri

sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan

kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau

menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi

dirinya sendiri”, dan Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara

selama 8 (delapan) bulan penjara dengan perintah terdakwa segera ditahan dan

Denda sejumlah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidiair 6 (enam)

bulan kurungan.

Risky Fany mengatakan bahwa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana korupsi yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan

negara; perbuatan yang tidak menimbulkan kerugian keuangan negara seperti

pemerasan atau suap-menyuap; perbuatan obstruction of justice; dan perbuatan

gratifikasi.81 Pada kasus tindak pidana korupsi ini Jaksa Penuntut Umum menilai

bahwa kasus ini tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, sehingga Jaksa

80
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang tanggal
30 April 2019, Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk.
81
Hasil wawancara dengan Risky Fany, Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung, 31 Agustus 2020
Penuntut Umum mendakwa Terdakwa Mulyadi dengan dalam Pasal 12 huruf e jo

Pasal 12 A Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Atau

Pasal 11 jo Pasal 12 A Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Pasal 12 huruf e merupakan pasal tentang tindak pidana korupsi dalam

bentuk pemerasan atau pungutan liar, dan Pasal 11 merupakan pasal tentang

tindak pidana korupsi dalam bentuk suap-menyuap.

Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini, dapat dijadikan

sebagai bahan analisis tentang bagaimana dasar pertimbangan Majelis Hakim

dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap kasus tindak pidana korupsi Putusan

Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk juga untuk melihat bagaimana putusan

bebas tersebut telah mencerminkan rasa keadilan. Hakim memiliki beberapa

pertimbangan yang dimana pertimbangan tersebut menghasilkan putusan bebas,

yaitu tidak terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 12 huruf e jo Pasal 12 A Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atau Pasal 11 jo Pasal 12 A

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi

pertimbangan hakim dalam perkara ini adalah:

Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Alternatif pertama

sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e Jo Pasal 12 A Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:


1. Unsur Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
2. Unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
3. Unsur secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri.

Ad. 1. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara.

Majelis Hakim berpendapat bahwa rumusan unsur “Pegawai Negeri atau

Penyelenggara Negara” ini telah terpenuhi. Terdakwa Mulyadi Bin Sukirman

menjabat selaku Kepala Pekon Air Kubang berdasarkan Surat Keputusan (SK)

Bupati Tanggamus Nomor: B.364/11/ 10/2016 tanggal 21 Desember 2016 tentang

Pemberhentian dan Pengangkatan Kepala Desa di Kabupaten Tanggamus.

Terdakwa menjabat sebagai Kepala Pekon Air Kubang Kec. Air Naningan Kab.

Tanggamus TMT 20 Januari 2017 berdasarkan surat keputusan (SK) Bupati

Tanggamus, dengan tugas menyelenggarakan pemerintahan Desa, melaksanakan

pembangunan Desa, pembinaan Masyarakat dan Pemberdayaan Masyarakat.

Ad.2.Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Menurut Majelis Hakim unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau

orang lain” tidak Terpenuhi. Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan Majelis

Hakim tidak menemukan fakta bahwa terdakwa Mulyadi Bin Sukaraman telah

memperolah keuntungan ataupun menguntungkan pihak lain dalam proses

pembuatan surat izin Nikah tersebut. Keterangan saksi Dilli Murtiningsih di

persidangan yang menyatakan pernah menemui Kepala Pekon untuk menanyakan

biaya nikah serta merekam percakapan dengan menggunakan HP, Majelis Hakim

berpendapat bahwa keterangan saksi Dilli Murtiningsih tersebut adalah

keterangan saksi yang berdiri sendiri karena tidak didukung keterangan saksi
lainnya dan alat bukti lainnya serta hasil rekaman percakapan juga tidak dapat di

perdengarkan di persidangan, sehingga Majelis Hakim berpendapat keterangan

saksi Dilli Murtiningsih tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Oleh karena salah satu unsur dari Pasal Pasal 12 huruf e jo Pasal 12 A Undang-

Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

tidak terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan

Alternatif Pertama, sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan

tersebut.

Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Alternatif Kedua sebagaimana

diatur dalam pasal Pasal 11 jo Pasal 12 A Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun

1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang unsur-unsurnya sebagai

berikut:

1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;


2. Menerima hadiah atau janji;
3. Diketahuinya atau Patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatan
atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatan.

Ad. 1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

Unsur “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara” dalam dakwaan Alternatif

kedua ini sama dan identik dengan unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara dalam Dakwaan Alternatif Pertama, dengan demikian unsur Pegawai

Negeri atau Penyelenggara Negara telah terpenuhi.

Ad.2. Menerima hadiah atau janji.

Majelis Hakim berpendapat unsur “Menerima hadiah atau janji” tidak Terpenuhi.

Majelis Hakim tidak menemukan fakta bahwa terdakwa Mulyadi Bin Sukaraman

telah menerima hadiah atau janji dalam proses pembuatan surat izin Nikah

tersebut. Pada saat terjadinya OTT Maf yang berisi berkas dan amplop tersebut

belum beralih atau berpindah tangan kepada Terdakwa selaku Kepala Pekon

melainkan hanya diletakan di meja salah satu staf pekon. Majelis Hakim

berpendapat bahwa pemberian sejumlah uang Rp.1.800.000 (satu juta delapan

ratus ribu rupiah) untuk biaya pengurusan surat izin nikah yang diberikan saksi

Ade Ali Mukti kepada saksi Dilli Murtiningsih merupakan inisiatif dari saksi Dilli

Murtiningsih sendiri tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu dengan terdakwa.

Karena salah satu unsur dari Pasal 11 jo Pasal 12 A Undang-Undang RI Nomor 31

Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terpenuhi, maka

Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Alternatif

Kedua, sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut.

Menimbang, bahwa oleh karena seluruh dakwaan Alternatif tidak terbukti, maka

terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan


melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana didakwakan Penuntut Umum, dan

terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang dalam Putusan Nomor:

46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk Memperhatikan, Pasal 191 Ayat (1) Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta

peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Majelis Hakim

Menyatakan Terdakwa Mulyadi Bin Sukirman, tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam

Dakwaan Alternatif; Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari semua

dakwaan Penuntut Umum; Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan,

kedudukan, harkat serta martabatnya.

Nuki menyatakan bahwa dalam putusan di atas, Majelis Hakim tidak menemukan

fakta-fakta bahwa Terdakwa Mulyadi telah melakukan tindak pidana korupsi

sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum, pada saat terjadinya OTT maf

yang berisi amplop tersebut belum beralih atau berpindah tangan kepada

Terdakwa selaku Kepala Pekon melainkan hanya diletakan di meja salah satu staf

pekon tersebut yaiu meja saksi Aniroh sehingga tidak dapat dikatakan bahwa

terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, ada perbedaan alat bukti berupa

amplop yang diperlihatkan dipersidangan serta alat bukti yang berupa rekaman

percakapan antara terdakwa dengan Saksi Dilli yang direkam pada HP Sakai Dilli
tidak dapat diperdengarkan dipersidangan, dan terdakwa juga tidak mengetahui

adanya permintaan sejumlah uang sehingga Terdakwa Mulyadi tidak ada

kaitannya dengan masalah ini.82

Hakim sebagai pelaksana dari suatu kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan

dalam menjatuhkan putusan dengan berdasarkan pikiran atau nalarnya dalam

menentukan metode apa yang relevan untuk diterapkan dalam suatu perkara dan

seorang hakim juga harus berpedoman pada hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Menurut Philipus M. Hadjon, dalam proses penerapan

asas hukum, secara teknis operasional dapat didekati dengan dua cara, yaitu

melalui penalaran hukum induksi dan deduksi.83

Menurut Ahmad Rifai dalam memutus perkara pidana, hakim harus

mempertimbangkan aspek yuridis, aspek filosofis, dan aspek sosiologis. Penulis

akan menyesuaikan aspek-aspek yang ada kedalam perkara dengan Putusan

Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk, yaitu:84

1. Aspek Yuridis

Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan

kepada undang-undang yang berlaku. Dasar pertimbangan hakim dalam aspek

yuridis merupakan aspek yang berintikan pada keadilan, kemanfaatan dan

kepasian hukum, yang berpedoman pada undang-undang yang berlaku.

82
Hasil wawancara dengan Nuki, Advokat pada Kantor Advokat Nuki And Partners di Bandar
Lampung,
83
7 September 2020.
Ahmad Rifai, Op.cit, hlm.89.
84
Ahmad Rifai, Op.cit, hlm.126.
Pertimbangan yuridis bila dikaitkan dengan perkara Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Tjk sebagai berikut:

a. Dakwaan Penuntut Umum

Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang

didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan

penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan

di muka sidang pengadilan.85 Terdakwa Mulyadi telah di dakwa oleh Jaksa

Penuntut Umum dengan dakwaan yang bersifat Alternatif yakni: Dakwaan

Pertama, melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 12 A Undang-Undang RI Nomor 31

Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ATAU Dakwaan Kedua

melanggar Pasal 11 jo Pasal 12 A Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999

yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Tuntutan Pidana

Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa Mulyadi terbukti secara sah dan

menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi “dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan

menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,

membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

85
M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 414.
huruf e Jo Pasal 12A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Dakwaan

Pertama. Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan pidana penjara

selama 8 (delapan) bulan penjara dengan perintah terdakwa segera ditahan dan

Denda sejumlah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidiair 6 (enam)

bulan kurungan.

c. Alat Bukti

Hakim dalam memutuskan harus memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.86 Yang

dimaksud dengan alat bukti yang sah yaitu:

1) Keterangan Saksi;
2) Keterangan Ahli;
3) Surat;
4) Petunjuk;
5) Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga
tidak perlu dibuktikan.87

Alat bukti yang dipergunakan untuk pembuktian yang sah dalam perkara ini

sebagai berikut:

a) Barang bukti berupa:


1) 1 (satu) lembar (photocopy) surat Kutipan Akta Nikah an. WASIR
2) 1 (satu) lembar (photocopy) surat Kutipan Akta Nikah an. MUKTI
3) 1 (satu) lembar (photocopy) surat Akta Kelahiran an. GUSWANTO
4) 1 (satu) lembar (photocopy) surat Akta Kelahiran an. NURLAELA UTAMI.
5) 1 (satu) lembar (photocopy) Ijasah SMA an. GUSWANTO.
86
87
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 183.
Ibid, Ps. 184.
6) 1 (satu) lembar (photocopy) Ijasah Strata satu an. NURLAELA UTAMI
7) 1 (satu) lembar (photocopy) Kartu Keluarga Nomor: 1806201612090013 an.
WARIS
8) 1 (satu) lembar (photocopy) Kartu Keluarga Nomor: 1806262107100002 an.
ADE ALI MUKTI
9) 1 (satu) lembar (photocopy) Surat Keterangan Nomor:
471.13/5175/28/2017, tanggal 25 April 2017 tentang Keterangan Telah
Melakukan Perekaman KTP-el an. GUSWANTO
10) 1 (satu) lembar (photocopy) surat Keterangan untuk Nikah
Nomor:474.2/036/14.04/2017, tanggal 08 Mei 2017 (Model N2)
11) 1 (satu) lembar (photocopy) surat Keterangan Untuk Nikah
Nomer:474.2/036/14.04/2017,tanggal 08 Mei 2017 (Model N4)
12) 1 (satu) amplop warna putih Terlampir dalam berkas perkara.
13) 1 (satu) lembar (Asli) surat Keterangan Jejaka Nomor: 140/190/14.04/2017,
tanggal 08 Mei 2017.
14) 1 (satu) lembar (Asli) surat Surat Pengantar Nikah Nomor:
140/189/64.04/2017. Tanggal 08 Mei 2017.
15) 1 (satu) lembar (Asli) surat Keterangan Pengantar Nikah
Nomor:B97/Kua.08.06.08/Pw.01/05/2017, tanggal 08 Mei 2017.
16) 1 (satu) lembar (Asli) surat Keterangan Pemeriksaan Kesehatan Calon
Mempelai Nomor:482/27/2017, tanggal 16 Mei 2017.
17) Uang senilai Rp 1.800.000,- (satu juta delapan ratus ribu rupiah) terdiri dari
pecah uang Rp 100.000,- (seratus juta rupiah) sebanyak 4 (empat) lembar
dan pecah uang Rp. 50.000,- (lima pulih ribu rupiah) sebanyak 28 (dua
puluh delapan) lembar. Dikembalikan kepada saksi NURLAELA UTAMI.
18) 1 (satu) unit Handpohone model X2-01. Type RM-907 Code 059F8TO,
IMEI:35615/04/242137/3, Made in China. Dikembalikan kepada saksi
DILLI MURTININGSIH Binti KARMIDIN.
b) Keterangan saksi 14 orang dan ahli 4 orang.

Berdasarkan alat bukti yang telah diuraikan di atas menjadi dasar pertimbangan

Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini. Dasar pertimbangan Hakim dalam

perkara ini telah memuat aspek yuridis yang jelas dan rinci sebab berpedoman

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Aspek Filosofis

Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan.

Hakim dalam hal ini harus mempertimbangkan bahwa putusan yang diberikan

kepada terdakwa adalah upaya untuk memperbaiki perilaku terdakwa dan


memberikan efek jera sehingga tidak merugikan masyarakat dan negara. Aspek

filosofis jika dikaitkan dengan perkara Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Tjk Majelis Hakim menimbang bahwa salah satu unsur dari Pasal

12 huruf e jo Pasal 12 A Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah

diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terpenuhi dan Majelis Hakim

menimbang bahwa salah satu unsur dari Pasal 11 jo Pasal 12 A Undang-Undang

RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-

Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak

terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan

Alternatif, sehingga membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan

Penuntut Umum.

3. Aspek Sosiologis

Aspek sosiologis mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam

masyarakat. Hakim dalam memutus suatu perkara harus didasarkan pada latar

belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa putusan yang dijatuhkan

mempunyai manfaat bagi masyarakat.

Hakim dalam memutus suatu perkara tidak hanya melihat aspek yuridis, namun

juga melihat aspek lainnya seperti:

a. Kesalahan pelaku tindak pidana


b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
c. Cara melakukan tindak pidana
d. Sikap batin pelaku tindak pidana
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.88

Aspek-aspek tersebut merupakan salah satu pertimbangan non yuridis hakim

dalam menjatuhkan putusan. Aspek sosiologis jika dikaitkan dengan perkara

Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk Majelis Hakim menimbang bahwa

pada saat terjadinya OTT tersebut Maf yang berisi berkas dan amplop tersebut

belum beralih atau berpindah tangan kepada Terdakwa selaku Kepala Pekon

melainkan hanya diletakan di meja salah satu staf pekon tersebut yaiu meja saksi

Aniroh. Selain hal tersebut Majelis Hakim menimbang bahwa pemberian uang

sejumlah Rp.1.800.000 (satujuta delapan ratus ribu rupiah) untuk biaya

pengurusan surat izin nikah yang diberikan saksi Ade Ali Mukti kepada saksi Dilli

Murtiningsih, Majelis Hakim berpendapat bahwa peristiwa tersebut merupakan

inisiatif dari saksi Dilli Murtiningsih sendiri tanpa adanya komunikasi terlebih

dahulu dengan terdakwa. Berdasarkan pertimbangan hakim, maka pertimbangan

tersebut merupakan pertimbangan non yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menganalisis bahwa aspek

petimbangan yuridis, filosofis dan sosiologis menjadi dasar pertimbangan Majelis

Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi ini. Aspek yuridis

merupakan aspek yang berintikan pada keadilan, kemanfaatan dan kepasian

hukum, yang berpedoman pada undang-undang yang berlaku. Aspek filosofis

merupakan aspek yang dimana putusan hakim yang dijatuhkan kepada terdakwa

88
Barda Nawawi Arief, Op. cit, hlm. 77.
diharapkan dapat memperbaiki perilaku terdakwa dan memberikan efek jera

sehingga tidak merugikan masyarakat dan negara. Aspek sosiologis merupakan

aspek yang didasarkan pada latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan

bahwa putusan yang dijatuhkan mempunyai manfaat bagi masyarakat.

Selain menggunakan pertimbangan yuridis, filosofis, dan sosiologis Hakim dalam

memutus suatu perkara dapat menggunakan prinsip lain untuk menjadi

pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara, yaitu:89

1. Prinsip Keseimbangan

Prinsip keseimbangan berarti antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-

undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dengan perkara. Menurut

penulis apabila prinsip keseimbangan dikaitkan dengan Putusan Nomor:

46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk bahwa Majelis Hakim telah mempertimbangkan

putusan yang diberikan dengan melihat kepentingan terdakwa dan pihak yang

teribat.

2. Pendekatan Seni dan Intuistik

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.

Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan

dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat

keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan

seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh

instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim. Menurut penulis apabila

prinsip pendekatan seni dan intuistik dikaitkan dengan Putusan Nomor:

89
Ahmad Rifai, Op.cit, hlm.105.
46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk bahwa Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan

yang menyesuaikan keadaan terdakwa yang tidak terbukti melakukan pungutan

liar atau suap-menyuap, sehingga Majelis Hakim memutus terdakwa dengan

putusan bebas.

3. Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari pendekatan keilmuan ini adalah dimana dalam proses penjatuhan

pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya

dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu. Sehingga hakim dalam

memutus perkara tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata,

tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan

keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

Menurut penulis apabila prinsip pendekatan keilmuan dikaitkan dengan Putusan

Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk bahwa Majelis Hakim yang menangani

perkara ini terdiri dari Siti Insirah sebagai hakim ketua, Jaini Basir dan Medi

Syahrial Alamsyah sebagai hakim anggota memutus perkara ini menggunakan

ilmu hukum yang mereka miliki dan ketahui khususnya ilmu yang berkaitan

dengan tindak pidana korupsi, serta berpegang teguh pada ketentuan undang-

undang yang berlaku, sehingga hakim memutus perkara ini bukanlah suatu hal

yang mudah dan hakim tidak semata-mata hanya menggunakan dasar intuisi atau

instink hakim semata.

4. Pendekatan Pengalaman

Pada prinsip ini hakim menggunakan pengalamannya guna untuk membantu

dalam menghadapi perkara yang dihadapinya, dengan pengalaman hakim dapat


mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara

pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. Menurut

penulis apabila prinsip pendekatan pengalaman dikaitkan dengan Putusan Nomor:

46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk bahwa Majelis Hakim yang terdiri dari Siti Insirah

sebagai hakim ketua, Jaini Basir dan Medi Syahrial Alamsyah sebagai hakim

anggota telah berpengalaman dalam menangani kasus tindak pidana korupsi dan

merupakan hakim Ad Hoc tindak pidana korupsi, sehingga dalam memutus

perkara ini Majelis Hakim telah mempertimbangkan dampak dari putusan yang

mereka berikan kepada terdakwa.

5. Prinsip Ratio Decidendi

Prinsip ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak

yang berperkara. Menurut penulis apabila prinsip ratio decidendi dikaitkan

dengan Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk bahwa Majelis Hakim

mempertimbangkan perkara ini atas dasar Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau dan Pasal 11 Jo.

Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim memutus bahwa

tidak terpenuhinya unsur tindak pidana korupsi sesuai dengan pasal-pasal

tersebut.

6. Prinsip Kebijaksanaan

Landasan dari prinsip kebijaksanaan menekankan rasa cinta terhadap tanah air,

nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk, dan dibina.

Aspek ini juga menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang

tua, ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan

melindungi terdakwa, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi

keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya. Kebijaksanaan merupakan modal

lainnya yang harus dimiliki seorang hakim, agar putusan-putusan yang

dijatuhkannya dapat memenuhi dimensi keadilan, yaitu keadilan fomil dan

keadilan substantif. Menurut penulis apabila prinsip kebijaksanaan dikaitkan

dengan Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk bahwa Majelis Hakim

telah mempertimbangkan putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa dengan

wawasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya serta instuisi yang tajam, etika dan

moralitias yang baik dan terjaga.

Menurut analisis penulis, prinsip yang sesuai dengan putusan hakim di atas adalah

prinsip ratio decidendi, prinsip ini didasarkan pada landasan filsafat yang

mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok

perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan

yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum

dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada


motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi

para pihak yang berperkara. Selain menggunakan prinsip ratio decidendi, Majelis

Hakim menggunakan prinsip pendekatan keilmuan dan prinsip kebijaksanaan,

pada prinsip pendekatan keilmuan hakim meminta keterangan dari para ahli yang

berkompeten pada bidangnya untuk menjelaskan esensi dari kasus tersebut guna

menentukan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan. Prinsip kebijaksanaan

menekankan bahwa seorang hakim harus memiliki kebijaksanaan, hakim harus

memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas, instink yang tajam, moralitas

yang baik dan pengalaman yang luas.

Menurut Nuki bahwa seseorang dapat dipidana apabila melakukan tindak pidana

dan terbukti melakukan tindak pidana tersebut, sehingga apabila tidak

terpenuhinya unsur-unsur sesuai yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum maka

terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana yang sebagaimana didakwakan.90

Putusan hakim merupakan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa atau

diadili oleh hakim tersebut. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan

segala aspek didalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari

sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai

dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. Putusan hakim bukan lah

semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, putusan hakim juga

didasarkan pada hati nurani.

90
Hasil wawancara dengan Nuki, Advokat Nuki And Partners di Bandar Lampung, 7
September 2020.
Putusan merupakan hasil suatu proses tindakan dan perlakuan hakim selama

pemeriksaan di persidangan sampai pada siakap hakim untuk mengakhiri perkara

yang dipersidangkan. Apabila hakim telah menjatuhkan suatu putusan bebas maka

hakim telah yakin bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang

sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum dan hakim telah

mempertimbangkan dengan alat bukti yang sah serta fakta-fakta dipersidangan.

Menurut Purnadi Purbatjaraka dan Soerjono Soekanto, bahwa hakim mempunyai

diskresi bebas, perasannya tentang apa yang benar dan apa yang salah merupakan

pengarahan sesungguhnya untuk mencapai keadilan. Ajaran hukum bebas

(freirechtslehre) memberikan kepada hakim kehendak bebas dalam pengambilan

keputusan, sehingga hakim bersikap netral dalam memutus suatu perkara .91

Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan tidak ditemukan fakta bahwa terdakwa

Mulyadi Bin Sukaraman telah menerima hadiah atau janji dalam proses

pembuatan surat izin Nikah tersebut, pada saat terjadinya OTT Maf yang berisi

berkas dan amplop tersebut belum beralih atau berpindah tangan kepada

Terdakwa selaku Kepala Pekon melainkan hanya diletakan di meja salah satu staf

pekon. Menurut analisis penulis dalam suatu tindak pidana korupsi yang berupa

suap apabila hadiah atau uang suap belum diterima secara langsung, maka arti

menerima dalam unsur tindak pidana korupsi ini belum masuk. Seseorang dapat

dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila ia telah menerima terlebih

dahulu hadiah atau uang tersebut. Hal penting dalam pemberian ini adalah

disyaratkan hadiah atau uang itu telah lepas kekuasaannya dari tangan pemberi

91
Ahmad Rifai, Op, cit, hlm. 79.
dan telah berpindah kedalam kekuasaan orang lain yakni pegawai negeri atau

penyelenggara negara. Majelis Hakim berpendapat bahwa pemberian sejumlah

uang Rp.1.800.000 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) untuk biaya pengurusan

surat izin nikah yang diberikan saksi Ade Ali Mukti kepada saksi Dilli

Murtiningsih merupakan inisiatif dari saksi Dilli Murtiningsih sendiri tanpa

adanya komunikasi terlebih dahulu dengan terdakwa.

Rekomendasi akta nikah merupakan kewenangan dari Kepala desa atau Kepala

pekon dan untuk biaya rekomendasi tersebut dapat diambil apabila ada Peraturan

Desa yang telah disahkan oleh Kabupaten (Bupati) atau Kabupaten dapat

melimpahkan kewenangan pada perpanjangan Kabupaten yaitu Kecamatan dan

dalam Undang-Undang Pedesaan Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa bahwa Desa

memiliki Hak Otonomi untuk mengatur Rumah Tangganya sendiri. Bila di suatu

desa mempunyai Peraturan Desa yang telah dievaluasi oleh Kabupaten dan

disahkan oleh Kabupaten, Aparatur Desa tersebut dapat mengambil biaya

rekomendasi dengan syarat biaya tersebut masuk Penerimaan Pendapatan Asli

Desa dan dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Namun

apabila Kepala Pekon yang menetapkan suatu Peraturan Desa mengenai biaya

pembuatan kutipan akta nikah melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan yaitu

sebesar Rp. 1.800.000,- (satu juta delapan ratus ribu rupiah), sedangkan Peraturan

Desa tersebut belum atau tidak disahkan oleh Pemerintah Kabupaten atau Provinsi

karena Peraturan Desa tersebut bertentangan dengan aturan yang telah ditentukan

oleh Kementerian Agama, maka hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran

hukum pidana.
Menurut penulis bahwa dalam menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa

Mulyadi dalam Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk Majelis Hakim

telah mempertimbangkan aspek yuridis serta aspek non yuridis. Aspek yuridis

dapat berupa dakwaan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum dan alat bukti

yang dihadirkan di persidangan, sedangkan aspek non yuridis dapat berupa

psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, dan religious dari terdakwa.

B. Aspek Keadilan dalam Putusan Bebas terhadap Tindak Pidana Korupsi


Pada Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk

Keadilan adalah dasar dalam penegakan hukum dan tujuan dari penegakan hukum

itu sendiri. Hukum diadakan sebagai upaya untuk mencapai sebuah keadilan.

Ketika manusia menggerakan hukum, esensi hukum tidak berisi keadilan, karena

keadilan itu sendiri baru akan dicapai atau dituju oleh hukum. Logis jika

dikatakan bahwa hukum tidak pernah adil, karena kendaraan tidak pernah sampai

pada tujuannya. Hukum ketika bergerak dan menuju keadilan sebagai salah satu

tujuannya tidak berisi apapun. Ia bebas dengan segala substansinya, sehinggga

kehendak mengisi esensi hukum akan tergantung dari ide dan cita para pelaku

hukum.92

Mengenai hubungan keadilan dan hukum, Aristoteles menjelaskan perlunya

diselidiki perbuatan-perbuatan di mana keadilan itu berhubungan dan di tengah

perbuatan-perbuatan dimana keadilan itu berada. Keadilan adalah sikap pikiran

yang ingin bertindak adil. Yang tidak adil adalah orang yang melanggar undang-

undang yang dengan tidak sepantasnya menghendaki lebih banyak keuntungan


92
Fokky Fuad Wasitaatmadja, Filsafat Hukum Akar Religiositas Hukum, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), hlm. 47.
daripada orang lain dan pada hakikatnya tidak mengingini asas sama rata sama

rasa. Segala sesuatu yang ditetapkan dengan undang-undang adalah adil, sebab

adil ialah apa yang dapat mendatangkan bahagia dalam masyarakat negara.

Selama keadilan itu ditunjukan kepada orang lain, maka ia merupakan

kebajikan.93

Menurut Purnadi dan Soerjono dalam mencapai tujuan hukum diberikan tugas

tertentu oleh masyarakat yang pada dasarnya adalah untuk menegakkan dan

memelihara kedamaian, oleh karena itu tugas hukum mencakup dua unsur yaitu

memberikan kepastian dalam hukum dan kesebandingan dalam hukum.94

Hakim sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kekuasaan untuk

menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi

oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan

perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin

keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan

tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas

yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai

salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman

adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan

kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,

dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui keputusannya.95

93
Sukarno Aburaera, ed.al., Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016),
94
hlm. 211.
Wahyu Sasongko, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Lampung: Universitas Lampung, 2013), hlm
78.
95
Arbijto, Refleksi terhadap Manusia sebagai Homo Religious, Jakarta, Pusdiklat MA RI 2000
Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim

dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;


b. Tidak seorangpun temasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim; dan
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisialnya.96

Pada putusan ini lebih ditekankan untuk menganalisis terkait dengan keadilan

substantif dalam putusan. Putusan keadilan substantif tidak hanya mengakomodir

aturan yang berlaku dalam tahapan penemuan keadilan yang paling sosial.

Keadilan bukan semata-mata persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial

yang dalam banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum. Karakter keadilan

substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat, dengan indah membentuk

penyelesaian permasalahan bersandar pada hukum yang ‘mendalami suara hati

masyarakat’ artinya, hukum mampu mengenali keinginan publik dan punya

komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.97

Menurut Jaini Basir bahwa keadilan dalam hukum tidak hanya berdasarkan pasal-

pasal undang-undang yang berlaku, namun hakim dalam memutus harus berdasar

hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam masyarakat. Hakim menggunakan hati

nuraninya untuk menciptakan rasa keadilan dengan mempertimbangkan fakta-

fakta yang ada di dalam persidangan. 98 Putusan pengadilan merupakan puncak

dari perkara pidana yang pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, Hak

Asasi Manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan

96
Ahmad Rifai, Loc.cit.
97
Ridwan, “Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Substantif”, Jurnal Hukum Pro Justicia Vol. 26
No.2, Tahun 2008.
98
Hasil wawancara dengan Jaini Basir, Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, 1 September 2020.
faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang

bersangkutan.99

Bentuk perbuatan yang sama bisa divonis secara berbeda, tergantung pada hasil

penggalian hakim atas rasa keadilan. Namanya pengadil, bukan penghukum.

Itulah makna judge makes law, hakim membuat hukum. Keadilan substantif

(substantive justice) kerap dilawankan dengan keadilan prosedural (procedural

justice), yakni putusan hakim atau proses penegakan hukum yang sepenuhnya

didasarkan pada bunyi undang-undang. Menurut konsep keadilan prosedural,

sesuatu dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti

bunyi pasal-pasal di dalam undang-undang.100

Putusan pengadilan tidak dapat dipisahkan dengan hakim karena putusan

pengadilan adalah produk hakim sehingga putusan pengadilan yang berkualitas

menandakan bahwa hakim tersebut berkualitas dan menjunjung keadilan. Putusan

yang berkualitas tidak hanya mewujudkan keadilan belaka namun putusan

tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat agar terwujudnya kepastian hukum

bagi masyarakat.

Berdasarkan Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk terdakwa Mulyadi

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal 12 huruf e jo

Pasal 12 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

99
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 201.
100
Moh. Mahfud MD, Keadilan Substantif, 3 September 2014, https://jurnaltoddoppuli.
wordpress.com/2014/09/03/keadilan-substantif/
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Atau Pasal 11 jo Pasal 12 A Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan tersebut menjadi pertanyaan, apakah putusan tersebut telah mewujudkan

rasa keadilan, terutama keadilan substantif. Adil dalam konteks ini tidak berat

sebelah atau tidak memihak yang salah.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap tedakwa yang melakukan tindak pidana

korupsi tidak harus semata-mata dijatuhi pidana yang ringan atau bahkan bebas.

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang disengaja dan dapat merugikan

banyak orang. Sudah seharusnya hakim lebih meningkatkan hukuman sanksi

pidana bagi terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Setiap

pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi seharusnya

mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan

sanksi pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Menurut Luthan dan Syamsudin isi dari keadilan substantif dalam putusan hakim

sebagai berikut: keadilan substantif terkait dengan isi putusan hakim dalam

mengadili suatu perkara, yang dibuat berdasarkan pertimbangan yang objektif,

jujur, imparsial dan rasional (logis). Berdasarkan konsep tersebut, ada empat ciri

untuk mengukur apakah putusan hakim mengandung keadilan substantif atau

tidak, yaitu adanya objektivitas, kejujuran, imparsialitas, dan rasionalitas.101 Ciri

tersebut bila dikaitkan dengan Putusan Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk

sebagai berikut:

101
M. Syamsudin, Loc.cit.
1. Berdasarkan penelitian, suatu putusan hakim dikualifikasikan bersifat objektif

bila informasi, keterangan, fakta atau bukti yang dijadikan dasar untuk

membuktikan kesalahan terdakwa adalah informasi, keterangan, fakta atau

bukti yang sesungguhnya dan bukti yang benar. Objektivitas jika dikaitkan

dengan Putusan Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk, Majelis Hakim dalam

memutus perkara ini telah berdasarkan informasi, keterangan dan fakta-fakta

yang muncul dipersidangan. Hakim tidak hanya memutus dengan penilaian

yang berdasarkan persepsinya atau berdasarkan asumsi atau keyakinanya saja.

2. Berdasarkan putusan hakim indikator pertimbangan yang jujur diukur dari

adanya kesesuaian antara keberadaan fakta-fakta yang diterangkan saksi-saksi

dan terdakwa di persidangan dengan keterangan fakta-fakta yang disimpulkan

hakim sebagai fakta yang benar; adanya kesesuaian antara fakta dalam

persidangan dan fakta dalam putusan; dan sikap kejujuran hakim dalam

membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa

dan dalam membuktikan kesalahan terdakwa bernilai cukup. Jika dikaitkan

dengan Putusan Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk, dalam putusan

tersebut Majelis Hakim sudah menyesuaian antara keberadaan fakta-fakta

yang diterangkan saksi-saksi dan terdakwa di persidangan dan Majelis Hakim

telah membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.

3. Secara konseptual imparsial dapat dikonsepsikan sebagai sikap atau tindakan

yang tidak memihak bila menghadapi dua hal yang berbeda atau dua

kepentingan yang bertolak belakang. Imparsial dapat juga dikonsepsikan

sebagai sikap atau tindakan memperlakukan segala sesuatu secara sama,

tanpa membeda-bedakan (diskriminasi), atau tanpa mengistimewakan


(priviligasi). Majelis Hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 46/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Tj tidak memihak atau mendiskriminasi siapapun.

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara merupakan

mahkota bagi para hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa terkecuali, sehingga tidak ada suatu pihak yang dapat menginterpensi hakim

dalam menjalankan tugasnya. Hakim memiliki kewenangan penuh dalam

menentukan putusan suatu perkara, hakim perlu memahami dengan baik dalam

menafsirkan hukum guna terwujudnya keadilan substantif.

Berdasarkan fakta di dalam persidangan terdapat barang bukti yang tidak dapat

dihadirkan. Barang bukti tersebut berupa rekaman yang berada di HP milik Saksi

Dilli Murtiningsih, rekaman tersebut diduga berisi percakapan antara Saksi Dilli

dengan terdakwa terkait mengetahui biaya nikah sebesar Rp. 1.800.000,- (satu juta

delapan ratus ribu rupiah) dari terdakwa. Saksi merekam hal tersebut di dalam HP

Saksi, namun rekaman yang Saksi simpan di HP milik Saksi sudah hilang,

sehingga tidak dapat dibuktikan bahwa Saksi Dilli selaku Kepala Dusun dan

terdakwa ada komunikasi yang menyatakan bahwa terdakwa memerintah Saksi

Dilli untuk menyampaikan kepada warga Dusun Citra Laksana tentang dana

pernikahan dan izin keramaian sebesar Rp. 1.800.000,- (satu juta delapan ratus

ribu rupiah) dengan rincian Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk

buku nikah dan Rp.300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) untuk Izin Keramaian dan

dijelaskan juga apabila calon pengantin tidak menyerahkan uang untuk biaya akta

nikah, maka akta nikah tidak akan diterbitkan karena harus membayar

administrasi terlebih dahulu. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang
menjadi pertimbangan hakim dalam memutus bebas terdakwa terhadap kasus

tindak pidana korupsi, karena hakim hanya bisa memutus sesuai dengan alat bukti

yang dihadirkan dipersidangan.

Dari beberapa responden atau narasumber yang penulis wawancarai dalam hal ini

Nuki menyatakan bahwa putusan tersebut telah memenuhi aspek keadilan

substantif karena tidak terpenuhinya unsur dari pasal-pasal yang didakwakan oleh

Jaksa Penuntut Umum sehingga terdakwa tidak terbukti secara sah telah

melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa Mulyadi baru menjabat sebagai

Kepala Pekon Air Kubang selama kurang dari 4 bulan, sehingga terdakwa tidak

mengetahui biaya pembuatan akta nikah dan terdakwa tidak penah menerima

bayaran mengenai pembuatan akta nikah. Pada masa jabatannya terdakwa ada 3

warga Pekon Air Kubang yang sempat meminta kepada terdakwa untuk mengurus

pembuatan akta nikahnya di Kantor Pekon Air Kubang, namun terdakwa tidak

pernah memungut biaya sepeserpun dan maksud terdakwa melakukan hal

tersebut, terdakwa hanya ingin membantu warga Pekon Air Kubang untuk

melancarkan urusan pernikahnnya.102 Menurut Saksi Mulyono (bekerja sebagai

Pembantu Pencatat Nikah) dan Saksi Ade Ali (warga yang pernah mengurus surat

nikah dan izin keramaian), menyatakan bahwa mereka tidak pernah melihat

terdakwa meminta atau menerima uang untuk mengurus surat nikah dan izin

keramaian. Menurut analisis penulis dalam suatu tindak pidana korupsi yang

berupa pungutan liar apabila tidak ada unsur menyalahgunakan kekuasaannya

memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran

dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, maka arti
102
Hasil wawancara dengan Nuki, Advokat Nuki And Partners di Bandar Lampung, 7
September 2020.
memaksa dalam unsur tindak pidana korupsi ini belum masuk. Seseorang dapat

dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila ia memaksa seseorang untuk

memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan,

atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Menurut Jaini Basir selaku Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri

Tanjung Karang berpendapat bahwa pemberian sejumlah uang Rp.1.800.000 (satu

juta delapan ratus ribu rupiah) untuk biaya pengurusan surat izin nikah yang

diberikan saksi Ade Ali Mukti kepada saksi Dilli Murtiningsih merupakan inisiatif

dari saksi Dilli Murtiningsih sendiri tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu

dengan terdakwa.103 Narasumber Eddy Rifai selaku Dosen Fakultas Hukum dan

Risky Fani selaku Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung dalam hal ini tidak

menyatakan pendapatnya terhadap putusan tersebut.

Menurut penulis dari segi yuridis dan non yuridis putusan yang dijatuhkan Majelis

Hakim sudah adil dan sudah sesuai dengan pasal-pasal yang berlaku. Selain

mempertimbangkan sesuai dengan pasal yang berlaku, Majelis Hakim juga dalam

memutus melihat sikap dan prilaku terdakwa, kesehariannya terdakwa dikenal

dalam masyarakat sebagai orang yang jujur dan banyak membantu masyarakat

sehingga akhirnya beliau dipilih oleh warga Pekon Air Kubang sebagai Kepala

Pekon pada Tahun 2017. Terdakwa merupakan kepala dusun yang dimana kepala

dusun harus mendukung upaya pemerintah mengenai pemberantasan tindak

pidana korupsi dan kepala desa juga bisa menjadi contoh bagi masyarakat.

103
Hasil wawancara dengan Jaini Basir, Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, 1 September 2020.
Keadilan dalam suatu putusan hakim bersifat relatif, karena beragamnya sudut

pandang seseorang dalam memaknai arti keadilan. Keadilan memiliki sifat tidak

berbentuk dan tidak dapat terlihat namun pelaksanaannya dapat kita lihat dan

rasakan dalam prespektif pencarian keadilan. Tujuan hukum bukan hanya

keadilan, namun kepastian hukum dan kemanfaatan merupakan tujuan hukum.


V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat kita ambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap kasus

tindak pidana korupsi Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk bahwa

perbuatan terdakwa Mulyadi tidak memenuhi unsur sebagaimana didakwakan

dalam Dakwaan Alternatif oleh Jaksa Penuntun Umum, sehingga terdakwa

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

korupsi. Menurut Majelis Hakim unsur “dengan maksud menguntungkan diri

sendiri atau orang lain” dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak Terpenuhi, berdasarkan fakta-

fakta dipersidangan Majelis Hakim tidak menemukan fakta bahwa terdakwa

Mulyadi Bin Sukaraman telah memperolah keuntungan ataupun

menguntungkan pihak lain dalam proses pembuatan surat izin Nikah tersebut,

menurut Saksi Mulyono (bekerja sebagai Pembantu Pencatat Nikah) dan

Saksi Ade Ali (warga yang pernah mengurus surat nikah dan izin keramaian),
77

menyatakan bahwa mereka tidak pernah melihat terdakwa meminta atau

menerima uang untuk mengurus surat nikah dan izin keramaian. Dalam Pasal

11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majelis Hakim berpendapat

unsur “Menerima hadiah atau janji” tidak Terpenuhi, Majelis Hakim tidak

menemukan fakta bahwa terdakwa Mulyadi Bin Sukaraman telah menerima

hadiah atau janji dalam proses pembuatan surat izin Nikah tersebut, pada saat

terjadinya OTT Maf yang berisi berkas dan amplop tersebut belum beralih

atau berpindah tangan kepada Terdakwa selaku Kepala Pekon melainkan

hanya diletakan di meja salah satu staf pekon. Majelis Hakim berpendapat

bahwa pemberian sejumlah uang Rp.1.800.000 (satu juta delapan ratus ribu

rupiah) untuk biaya pengurusan surat izin nikah yang diberikan saksi Ade Ali

Mukti kepada saksi Dilli Murtiningsih merupakan inisiatif dari saksi Dilli

Murtiningsih sendiri tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu dengan

terdakwa. Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi

ini telah mempertimbangkan aspek yuridis yang jelas dan rinci sebab Majelis

Hakim berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta

aspek filosofis dan aspek sosiologis yang dimana hakim dalam memutus

berdasarkan latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa

putusan yang dijatuhkan mempunyai manfaat bagi masyarakat juga

diharapkan dapat memperbaiki perilaku terdakwa dan memberikan efek jera

sehingga tidak merugikan masyarakat dan negara. Selain menggunakan

pertimbangan yuridis, filosofis, dan sosiologis Hakim juga memutus


berdasarkan prinsip ratio decidendi, prinsip pendekatan keilmuan, dan prinsip

kebijaksanaan. Pada prinsip ratio decidendi Majelis Hakim

mempertimbangkan perkara ini atas dasar Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 12A

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau

dan Pasal 11 Jo. Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Majelis Hakim memutus bahwa tidak terpenuhinya unsur tindak

pidana korupsi sesuai dengan pasal-pasal tersebut. Prinsip pendekatan

keilmuan hakim meminta keterangan dari para ahli yang berkompeten pada

bidangnya untuk menjelaskan esensi dari kasus tersebut guna menentukan

putusan yang sesuai dengan rasa keadilan. Prinsip kebijaksanaan menekankan

bahwa seorang hakim harus memiliki kebijaksanaan, hakim harus memiliki

wawasan ilmu pengetahuan yang luas, instink yang tajam, moralitas yang

baik dan pengalaman yang luas.

2. Dari segi yuridis dan non yuridis pertimbangan Majelis Hakim dalam

menjatuhkan Putusan Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk dinilai sudah

adil dan sudah sesuai dengan pasal-pasal yang berlaku. Selain

mempertimbangkan sesuai dengan pasal yang berlaku, Majelis Hakim juga

dalam memutus melihat sikap dan prilaku terdakwa, kesehariannya terdakwa

dikenal dalam masyarakat sebagai orang yang jujur dan banyak membantu

masyarakat sehingga akhirnya beliau dipilih oleh warga Pekon Air Kubang
sebagai Kepala Pekon pada Tahun 2017, dan menurut keterangan saksi

menyatakan bahwa mereka tidak pernah melihat terdakwa meminta atau

menerima uang untuk mengurus surat nikah dan izin keramaian.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis memberi saran

sebagai berikut:

1. Hakim harus bersikap adil dalam menangani suatu kasus tindak pidana

korupsi, tidak tumpul ke atas tajam ke bawah. Hakim dalam memutus suatu

perkara harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat filosofis, yuridis

dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang

berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral

justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice).

2. Majelis Hakim diharapkan dapat menekankan keadilan substantif terkait

dengan isi putusan hakim dalam mengadili suatu perkara, yang dibuat

berdasarkan pertimbangan yang objektif, jujur, imparsial dan rasional (logis)

sehingga terciptalah keadilan substantif.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Aburaera, Sukarno, ed.al. Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Jakarta:


Prenadamedia Group, 2016.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia


Mahkamah Agung, Kompilasi Penerapan Hukum Oleh hakim Dan Strategi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta: 2016.

Harahap, M.Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

. Upaya Hukum Luar Biasa. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, Proyek Yurisprudensi


Mahkamah Agung RI, t.t.

Lubis, Mochtar dan James C. Scott. Bunga Rampai Korupsi. cet. Ke-3, Jakarta:
LP3ES, 1995.

Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode Etik
Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006.

Maroni. Hukum Birokrasi Peradilan Pidana, Lampung: Aura, 2018.

Mertokusumo, Sudikno. Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2007.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya


Bakti, 2004.
81

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik


dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007.

. Hukum Acara Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu, 2007.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

Sasongko, Wahyu. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Lampung: Universitas Lampung,


2013.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,


2011.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,


2008.

Wasitaatmadja, Fokky Fuad. Filsafat Hukum Akar Religiositas Hukum, Jakarta:


Prenadamedia Group, 2015.

Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana,


UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3258.

Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU


No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, LN No.
140 Tahun 1999, TLN No. 4150.

Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun


2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076.
C. PUTUSAN

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Tanjung


Karang tanggal 30 April 2019, Nomor: 46/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk.

D. JURNAL/MAKALAH

Ardisasmita, M. Syamsa. Definisi Korupasi Menurut Perspektif Hukum dan E-


Announcement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka,
Transparant dan Akuntabel, makalah dalam Seminar Nasional “Upaya
Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”
oleh Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi di
Jakarta pada tgl. 23 Agustus 2006.

Arbijto, Refleksi terhadap Manusia sebagai Homo Religious, Jakarta, Pusdiklat


MA RI 2000

Dwisvimiar, Inge. “Keadilan dalam Prespektif Filasat Ilmu Hukum”, Jurnal


Dinamika Hukum Vol. 11 No. 3 (2011).

Ketentuan-Ketentuan KUHAP dalam Yurisprudensi, Proyek Yurisprudensi


Mahkamah Agung RI, t.t.

Muladi. Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan
Penanggulangannya, makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia
Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan Hukum Pidana” Kerjasama
FH UNDIP dengan KY di Semarang pada tgl. 16 Januari 2015.

Pah, Gress Gustia Adrian, ed. al. “Analisis Yuridis Penjatuhan Pidana Oleh
Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi”, e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No
1 (2014).

Pasaribu, Olan Laurance Hasiholan, et. al. “Kajian Yuridis Terhadap Putusan
Bebas Tindak Pidana Korupsi”, Mercatoria Vol. 1 No. 2 (2008).

Ramadhani, Wahyu. “Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar


Terhadap Pelayanan Publik”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 12,
Nomor 2 (2017).

Ridwan, “Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum


Pemerintahan yang Baik Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan
Substantif”, Jurnal Hukum Pro Justicia Vol. 26 No.2, (2008).

Solahuddin, Moh Toha. “Pungutan Liar (Pungli) dalam Perspektif Tindak Pidana
Korupsi”, Majalah Paraikatte Vol. 26 edisi Triwulan III (2016).
Syamsudin, M. “Keadilan Prosedual dan Substantif dalam Putusan Sengketa
Tanah Magersari”, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 (2014).

Svinarky, Irene. “Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pungutan Liar


(Pungli)”, Jurnal Cahaya Keadilan Vol.4 No.2 (2016).

E. INTERNET

Bakhtiar, Handar Subhandi. Jenis Tindak Pidana Korpsi, 26 November 2014,


http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/jenis-tindak-pidana-
korupsi.html.

Bolqi, Lordamanu. Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP dan luar KUHP, 3
Agustus 2019, https://www.doktorhukum.com/alasan-penghapus-pidana-
dalam-kuhp-dan-luar-kuhp/

KlikLegal.com, Ini Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi, 20 November


2017,https://kliklegal.com/ini-tujuh-kelompok-jenis-tindak-pidana-korupsi/.

KPK RI. Modul Materi Tindak Pidana Korupsi, https://aclc.kpk.go.id/wp-


content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf.

Moh. Mahfud MD, Keadilan Substantif, 3 September 2014,


https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2014/09/03/keadilan-substantif/

Pusat Edukasi Antikorupsi, Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan


Suap, https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritisterhadapkorupsi/infografis/
perbedaan-gratifikasi-uang-pelicin-pemerasan-dan-suap.

, Perbuatan Curang, https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-


terhadap-korupsi/infografis/perbuatan-curang.

Anda mungkin juga menyukai