Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Putusan dan Pelaksanaan dalam Hukum Acara Peradilan Tata


Usaha Negara

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Kelas C

Yang diampu oleh Bapak Agus Yulianto, SH., M.H.

DISUSUN OLEH : Kelompok 4

1. Adyatma Sya’bani 195010100111145 (16)

2. Ferdy Ichsan R 195010101111106 (17)

3. Rizki Amelia 195010101111108 (18)

4. Dyah Kemala H 195010101111109 (19)

5. Farzha Wiradhika M 195010101111117 (20)

6. Annisa Aulia P 195010107111022 (21)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. 2


BAB I ............................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ......................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 3
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3. Tujuan Kepenulisan ......................................................................... 4
BAB II ........................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ........................................................................................... 5
2.1. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).............................. 5
2.2 Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ........ 10
BAB III ........................................................................................................ 15
PENUTUP ................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 16

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, suatu putusan


dan pelaksanaannya menjadi hal yang sangat esensial dalam proses
peradilan. Putusan beserta pelaksanaannya memiliki beberapa
macam seperti putusan sela (Interlocutoir Vonis) yang meliputi
beberapa putusan seperti putusan provisi dan putusan insidentil serta
terdapat pula putusan akhir yang diantaranya terdiri dari
Condemnatoir, Constitutif, dan Declaratoir.
Berdasarkan prinsip yang dipegang teguh oleh hakim, dalam
proses memutus sengketa Tata Usaha Negara ( TUN ) diperlukan
adanya musyawarah dalam ruangan tertutup.1 Adapun tujuan dari
prinsip tersebut agar terciptanya putusan berkeadilan yang telah
dipertimbangkan secara matang oleh hakim.
Setelah melalui proses musyawarah dapat dipastikan ada 2
kemungkinan yang dapat terjadi apabila musyawarah telah
diselenggarakan, diantaranya menemui hasil mufakat atau hasil yang
tidak mufakat dari para hakim. Tentunya ada beberapa metode yang
dapat digunakan oleh hakim untuk mengambil suatu putusan. Selama
berjalannya praktik pelaksanaan putusan khususnya di Indonesia,
bukan tidak mungkin terjadi beberapa sengketa ataupun masalah di
ranah peradilan tata usaha negara. Hal ini seharusnya menjadi
pekerjaan rumah bersama bagi seluruh penegak hukum untuk
diselesaikan secara bersama.

1
Satria Panjaitan, Budi. Hukum Acara Peradilan Tata Negara. CV Manhaji dengan
Fakultas Syariah UIN SU Medan. Medan.2016

3
1.2. Rumusan Masalah
1) Apa dasar hukum dan jenis-jenis putusan dalam Peradilan
Tata Usaha Negara ( PTUN ) ?
2) Bagaimana pelaksanaan putusan peradilan Tata Usaha Negara
dan apa yang menjadi dasar hukumnya ?
1.3. Tujuan Kepenulisan
Tujuan kepenulisan dari makalah ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan mengenai materi putusan dan pelaksanaannya dalam
Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga para pembaca dapat
memahami betul isi materi yang telah disampaikan dan dapat
dipraktikan suatu saat nanti ketika memiliki kepentingan untuk
beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)


Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim merupakan suatu
pernyatan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang
itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak.2
Dipandang dari isinya, putusan dapat dikualifikasikan kepada putusan
declaratoir, putusan constitutief, dan putusan condemnatoir. Putusan
declaratoir berisi pernyataan terhadap keadaan hukum yang sudah
ada dan tidak menimbulkan keadaan hukum baru. Putusan yang
bersifat constitutief adalah putusan yang menimbulkan keadaan
hukum baru atau meniadakan keadaan hukum lama, begitu putusan
berkekuatan hukum tetap maka sudah tejadi keadaan hukum baru.
Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman atau
kewajiban melaksanakan sesuatu.

Pada putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ada kalanya


putusan yang bersifat condemnatoir dapat juga merupakan keputusan
constitutief. Pernyataan batal atau tidak sah suatu keputusan bersifat
ex tunc hanya bersifat declaratoir. Putusan yang bersifat constitutief
misalnya putusan pembebanan pembayaran ganti rugi, pembebanan
melaksanakan rehabilitasi dan penetapan penundaan pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang berakibat tertundanya
keberlakuan suatu keputusan pemerintah untuk sementara. Putusan
yang bersifat constitutief walaupun menimbulkan keadaan hukum
baru atau meniadakan keadaan hukum lama namun tidak langsung
dapat terlaksana dan memerlukan putusan penghukuman sebagai
tindak lanjut agar materi putusan constitutief menjadi nyata. Oleh

2
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 158

5
karena itu yang relevan untuk yang dilaksanakan adalah putusan yang
bersifat condemnatoir.

Apabila dihubungkan dengan bentuk putusan yang diatur dalam


Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka putusan yang bersifat
condemnatoir mencakup:

A. Kewajiban mencabut keputusan administrasi yang telah


dinyatakan batal (Pasal 97 ayat (9) huruf (a);
B. Kewajiban mencabut keputusan administrasi dan menerbitkan
keputusan pengganti (Pasal 97 ayat (9) huruf b);
C. Kewajiban menerbitkan keputusan dalam hal obyek sengketa
keputusan fiktif negatif (Pasal 97 ayat (9) huruf c);
D. Kewajiban membayar ganti rugi (Pasal 97 ayat (10);
E. Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dan membayar konpensasi
dalam sengketa kepegawaian (Pasal 97 ayat (11)). Putusan
Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
dapat dikualifikasi kepada 4 (empat) kategori, yaitu:3
A. Putusan Pokok
Putusan Pokok yaitu pernyataan batal atau tidak sah keputusan
administrasi negara yang disengketakan (tuntutan berdasarkan Pasal
53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
B. Putusan Tambahan
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat pemerintah
yang mengeluarkan keputusan. Kewajiban tersebut berupa:
1) Pencabutan keputusan administrasi negara yang bersangkutan;
2) Pencabutan keputusan administrasi yang bersangkutan dan
menerbitkan keputusan baru;

3
Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Alumni, Jakarta, 2004, hlm.

6
3) Penerbitan keputusan dalam hal obyek gugatan keputusan
fiktif negatif.
C. Putusan Remidial (pemulihan)
Putusan Remidial yaitu untuk memulihkan akibat yang telah
ditimbulkan oleh keputusan pemerintah yang dinyatakan batal atau
tidak sah, berupa ganti rugi dan rehabilitasi.
D. Putusan Penguat (pengefektifan)
Putusan Penguat yaitu putusan sebagai alat pemaksa, supaya putusan
yang bersifat kondemnatoir dapat terlaksana, yaitu:
1) Kewajiban pembayaran sejumlah uang paksa;
2) Penjatuhan sanksi administratif;
3) Perintah mengumumkan pejabat yang tidak melaksanakan
putusan pada media massa cetak;
4) Mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan;
5) Mengajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan. Putusan akhir adalah
putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan
sengketa tata usaha negara selesai yang mengakhiri sengketa
tersebut.

Dalam Pasal 97 ayat (2) diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa:
A. Gugatan ditolak
Putusan yang berupa gugatan yang ditolak adalah putusan yang
menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan
sengketa tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang
tidak dinyatakan batal atau sah.
B. Gugatan tidak diterima
Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang
menyatakan syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh
gugatan yang diajukan oleh Pengggugat. Diktum putusan ini
sebenernya bersifat deklatoir, yang tidak membawa perubahan apa-

7
apa dalam hubungan hukum yang ada antara penggugat dengan
tergugat.
C. Gugatan gugur
Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusn yang dijatuhkan
hakim karena penggugat tidak hadir dalam beberapa kali sidang,
meskipun telah dipanggil denagn patut atau penggugat telah
meninggal dunia.
D. Gugatan dikabulkan
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang
menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan
Sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara
yang dinyatakan tidak sah atau batal.

Dalam hal putusan Pasal 109 ayat (1) menyebutkan suatu keharusan
bahwa putusan harus memuat:

A. Kepala putusan yang berbunyi : Demi Keadilan Berdasarkan


Ketuhanan Yang Maha Esa;
B. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempaat kediaman, atau tempat
kedudukan para pihak yang bersengketa;
C. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
D. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
E. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
F. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
G. Hari, tanggal, putusan, nama hakim yang memutus, nama
panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.

Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dikenal


juga dengan Putusan Pengadilan. Adapun jenis-jenis putusan
pengadilan meliputi Putusan Sela atau Putusan Antara, yang belum
merupakan putusan akhir, serta Putusan Akhir yang merupakan hasil
akhir dari pemeriksaan suatu sengketa di pengadilan.

8
A. Putusan Sela atau Putusan Antara (Interlocutoir Vonis), merupakan
putusan yang
mendahului dikeluarkannya putusan akhir. Putusan Sela ini berguna
dalam hal memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan Sela meliputi :

1. Putusan Provisi, yaitu putusan yang diambil segera mendahului


putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya alasan-alasan
yang mendesak untuk itu. Misalnya putusan untuk menunda
pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara yang disengketakan atau
untuk mengijinkan Penggugat berperkara secara Cuma-Cuma
(prodeo).

2. Putusan Insidentil, yaitu putusan sela yang diambil secara


insidentil, karena adanya alasan-alasan tertentu. Misalnya karena
kematian Kuasa Penggugat atau Tergugat.

B. Putusan Akhir, merupakan putusan yang mengakhiri suatu sengketa


atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putuisan Akhir
ini terdiri dari :

1. Putusan akhir yang bersifat menghukum


(condemnatoir). Putusan condemnatoir adalah putusan yang
bersifat menkum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi,
meliputmemberi, berbuat dan tidak berbuat.

2. Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitutif). Putusan


constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan
keadaan hukum.

3. Putusan Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat


menerangkan atau menyatakan apa yang sah.

9
2.2 Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Pelaksanaan putusan atau ekskusi merupakan aturan mengenai
tata cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh perlengkapan negara guna
membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim
apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan dalam
waktu yang ditentukan4. Pelaksanaan putusan (eksekusi), secara normatif
diatur dalam bagian kelima pada Pasal 115 dan Pasal 116 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang kemudian diubah kembali dalam Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pelaksaan putusan merupakan hal yang dapat dilakukan ketika


suatu putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
(inkracht). Dalam putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atau dikebal dengan
asas “resjudicata pro veritate habetur” yang memiliki arti putusan yang
pasti dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat5.

Dalam Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa hanya


putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
dapat dilaksanakan6. Hal ini mengartikan bahwa suatu putusan pengadilan
yang belum memiliki kekuatan hukum tetap atau yang masih memiliki
upaya hukum baik banding ataupun kasasi tidak dapat dilakukan
pelaksanaan putusan atau eksekusi. Mekanisme terhadap eksekusi diatur
dalam Pasal 116 baik dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51

4
R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Prdanya Pramita, Jakarta, 1993,
hlm. 105.
5
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU
PTUN 2004, Ghalia Indonesia (Anggota IKAPI), Jakarta, 2005, hlm. 99.
6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

10
Tahun 2009. Pelaksanaan putusan atau eksekusi memiliki macam-
macamnya, yakni:

1) Eksekusi Otomatis
Mengenai eksekusi otomatis termuat dalam Pasal 116 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 serta Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009. Dalam ketentuan Pasal 116 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang
mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam
waktu empat belas hari. Namun, dalam perubahan kedua Undang-
Undang tersebut terdapat penambahan frasa mengenai hari kerja yang
menjadi “14 (empat belas) hari kerja”.
Dalam ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan “Dalam hal empat
bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi”.
Mengenai hal ini tetap dipertahankan dalam Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 akantetapi terdapat pengubahan yang semula dalam
kedua undang-undang sebelumnya mengatur lama waktu adalah 4
bulan setelah berkekuatan hukum tetap menjadi setelah 60 hari kerja
diterima.

2) Eksekusi Hierarkis
Eksekusi hierrkis merupakan cara yang ditempuh jika tergugat
tidak melaksanakan putusan yang kemudian diajukan ke jenjang
jabatan diatasnya. Pengaturan mengenai eksekusi hierarkis dimuat
dalam Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) Undang- Undang Nomor 5

11
Tahun 1986. Namun, setelah terbit dan disahkannya Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 mengenai eksekusi hierarkis sudah tidak
berlaku. Pengaturan mengenai eksekusi hierarkis kembali muncul
dalam perubahan kedua yang diatur dalam Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009 khususnya Pasal 116 ayat (6). Eksekusi hierarkis dalam
hal ini memiliki pengertian atau makna bahwa ketua pengadilan
diharuskan untuk mengajukan hal ketidaktaatan pejabat tergugat atau
termohon eksekusi kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan. Di samping itu juga
mengajukannya kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.

3) Eksekusi Upaya Paksa.


Disahkannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang
menjadi perubahan kedua atas Pembaharuan Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 memiliki implikasi terhadap pengubahan Pasal 116 ayat
(3) sampai dengan ayat (6) yang memuat mengenai mengenai
mekanisme pelaksanaan putusan PTUN. Pada Undang-Undang
terdahulu, mekanisme pelaksanaan putusan (eksekusi) yang diatur
didalamnya adalah dengan “eksekusi hierarkis”. Terbitnya Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang merupakan produk hukum
terbaru dan merupakan perubahan kedua membawa perubahan
terhadap pelaksanaan putusan menjadi “upaya paksa”.
Perubahan yang dilakukan terhadap mekanisme pelaksanaan
putusan tersebut dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 ditemukan lemahnya kekuasaan (power) badan peradilan yang
memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak mampu
memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintah
untuk melaksanakan putusan. Perubahan Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009 pada dasarnya tidak mengubah cara upaya paksa ini
akantetapi terdapat pengaturan lanjutan yang dimuat dalam Pasal 116

12
ayat (4) yakni jika tergugat tidak bersedia melaksanakannya, maka
terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa
“pembayaran sejumlah uang paksa” dan/ atau “sanksi administratif”
dan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud “diumumkan pada media massa cetak
setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan tersebut”7.
Upaya paksa dalam hal ini belum dapat dilaksanakan secara
optimal. Dalam Pasal 116 ayat (7) yang menyatakan “Ketentuan
mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif
diatur dengan peraturan perundang-undangan” menjadi sebuah
permasalahan dikarenakan hingga hari ini belum terdapat produk
perundang-undangan yang mengatur mengenai besaran uang paksa,
jenis sanksi dan tata cara pelaksanaan pembayaran tersebut. Dalam
praktiknya hakim PTUN lebih sering menasehatkan kepada
penggugat agar tidak mencantumkan upaya paksa dalam petitum
dengan alasan belum terdapat ketentuan lanjutan terhadap Pasal 116
ayat (4) tersebut dan dalam beberapa putusan juga menolak petitum
tersebut dengan alasan yang sama8. Hal ini tidak selaras dengan
adagium “ius curia novit” dan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya9.

7
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8
Ujang Abdullah, Penerapan Upaya Hukum Paksa Berupa Pembayaran Uang
Paksa Di Pengadilan Tata Usaha Negara, 2012, hlm. 7
9
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

13
Dalam pelaksanaan putusan PTUN tidak seperti pelaksanaan
Peradilan Pidana dan Peradilan Perdata yang dapat melaksanakan
upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Namun,
pelaksanaan PTUN memiliki keistimewaan yang dimana dalam hal
ini dapat dilakukan campurtangan Presiden sebagai Kepala
pemerintahan yang bertanggungjawab dalam pembinaan aparatur
pemerintahan juga bertanggung jawab agar setiap aparatur
pemerintahan dapat menaati semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
A. Jika dipandang dari isiya, putusan dalam pengadilan tata usaha negara
dapat dikualifikasikan atas putusan declatoir, putusan contitutief, dan
putusan condemnatoir. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat dikualifikasi
kepada 4 (empat) kategori, yaitu putusan pokok, putusan tambahan,
putusan remidial, dan putusan penguat. Dalam Dalam Pasal 97 ayat
(2) diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa, gugatan ditolak,
gugatan tidak diterima, gugatan gugur, dan gugatan dikabulkan.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dikenal
juga dengan Putusan Pengadilan. Adapun jenis-jenis putusan
pengadilan meliputi Putusan Sela atau Putusan Antara, yang belum
merupakan putusan akhir, serta Putusan Akhir yang merupakan hasil
akhir dari pemeriksaan suatu sengketa di pengadilan.
B. Pelaksanaan putusan (eksekusi), secara normatif diatur dalam bagian
kelima pada Pasal 115 dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pelaksanaan
putusan atau eksekusi terdiri dari beberapa macam yaitu eksekusi
otomatis, eksekusi hierarkis, dan eksekusi upaya paksa. Pelaksaan
putusan merupakan hal yang dapat dilakukan ketika suatu putusan
pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
Dalam putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atau dikebal dengan
asas “resjudicata pro veritate habetur” yang memiliki arti putusan
yang pasti dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Satria Panjaitan, Budi. Hukum Acara Peradilan Tata Negara. CV Manhaji


dengan Fakultas Syariah UIN SU Medan. Medan.2016

R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Prdanya Pramita, Jakarta,


1993, hlm. 105.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara
dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia (Anggota IKAPI), Jakarta,
2005, hlm. 99.

Ujang Abdullah, Penerapan Upaya Hukum Paksa Berupa Pembayaran Uang


Paksa Di Pengadilan Tata Usaha Negara, 2012, hlm. 7

Tim Yuridis.id. 2018. Jenis-Jenis Putusan Pengadilan Dalam Hukum Acara


PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara). https://yuridis.id/jenis-jenis-
putusan-pengadilan-dalam-hukum-acara-ptunperadilan-tata-usaha-
negara/
(Diakses Pada 29 April 2021)

Undang- undang
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
• Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara

16

Anda mungkin juga menyukai