Anda di halaman 1dari 16

RESUME TAHAP-TAHAP BERACARA DIPERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

disusun oleh : Rizki Al Kharim (094674015)

PROGRAM STUDI S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA 2009 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2011

I.

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara untuk dapat mengetahui Kompetensi suatu pengadilan: 1. Dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi) 2. Dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht). 3. Dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relatif. 1. Kompetensi Relatif Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat)berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu. Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU NO. 51 tahun 2009 menyatakan: (1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya sedangkan

PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau Kalimantan, Jawa Barat dan DKI. Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 4 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan: (1) Tempat kedudukan Tergugat; (2) Tempat Kedudukan salah satu Tergugat; (3) Tempat kediaman Penggugat diteruskan ke Pengadilan tempat kedudukan Tergugat; (4) Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah); (5) PTUN Jakarta, apabila tempat kediaman Penggugat dan tempat kedudukan Tergugat berada diluar negeri; (6) Tempat kedudukan Tergugat, bila tempat kediaman Penggugat di luar negeri dan tempat kedudukan Tergugat didalam negeri. Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke pengadilan TUN di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat eksepsional di Pengadilan TUN tempat kedudukan Penggugat diatur kemudian setelah ada Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai sekarang ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada sehingga belum dapat diterapkan. 2. Kompetensi Absolut Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan

Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) 5 maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan: Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata

dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi : 1. Penetapan tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN; 3. Berisi tindakan hukum TUN; 4. Berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku; 5. Bersifat konkrit, individual dan final; 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut. Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya.

II.

Alur Gugatan dan Pihak-Pihak di Dalamnya Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara. UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tidak menentukan secara tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi terhadap gugatan yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di Pengadilan, akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, Syarat -syarat gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahukan dan diperingatkanDalam Surat Edaran MA No.2/19 91 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun1986 diatur mengenai Penelitian Administrasi :1. Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian administrasi adalah Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda Perkara sesuai pembagian tugas yang diberikan. 2. Pada setiap surat gugatan yang masuk haruslah segera dibubuhi stempel dan tanggal pada sudut kiri atas halaman pertama yang menunjuk mengenai : 1. Diterimanya surat gugatan yang bersangkutan. 2. Setelah segala persyaratan dipenuhi dilakukan pendaftaran nomor perkaranya setelah membayar panjar biaya perkara. 3. Perbaikan formal surat gugatan (jika memang ada). 4. Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel, karena hal tersebut tidak disyaratkan oleh UU. 5. Nomor Register perkara di PTTUN harus dipisahkan antara perkara tingkat banding dan perkara yang diajukan ke PTTUN sebagai instansi tingkat pertama (vide Pasal 51 ayat 3 UU No. 5 Tahun1986). 6. Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau PTTUN harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin kotany berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan No di Sidoarjo Kode Pos Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960, Keppres No. 52 tahun 1990. 7. a. Identitas Penggugat harus dicantumkan secara lengkap dalam surat gugatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 56 UU No. 5 Tahun1986.b. Untuk memudahkan penanganan kasus-kasus da dem keseragaman model surat

gugatan harus disebutkan terlebih dahulu nama dari pihak Penggugat pribadi ( in person) dan baru disebutkan nama kuasa yang mendampingi, sehingga dalam register perkara akan tampak jelas siapa pihak-pihak yang berperkara senyatanya.c. Penelitian administratisi supaya dilakukan secara formal tentang bentuk dan isi gugatan sesuai Pasal 56 dan tidak menyangkut segi materiil gugatan. Namun dalam tahap ini Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan dapat meminta kepada pihak untuk memperbaiki yangdianggap perlu. Sekalipun demikian, Panitera tidak berhak menolakpendaftaran perkara tersebut dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan. 8. a. Pendaftaran perkara di tingkat pertama dan banding dimasukkan dalam register setelah yang bersangkutan membayar uang muka atau panjar biaya

perkara yang ditaksir oleh panitera sesuai Pasal 59 sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).b.Dalam perkara yang diajukan melalui pos, panitera harus memberi tahu tentang pembayaran uang muka kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6 (enam) bulan bagi Penggugat itu untuk memenuhi dan kemudian diterima di Kepaniteraan Pengadilan, terhitung sejak dikirimkannya surat pemberitahuan tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka perkara Penggugat tidak akan didaftar.c.Walaupun gugatan yang dikirim melalui pos selama masih belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara dianggap sebagai surat biasa, akan tetapi kalau sudah jelas merupakan surat gugatan, maka harus tetap disimpan di Kepaniteraan Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Bantu Register dengan mendasar pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, agar dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak terlampaui. 9. Dalam hal Penggugat bertempat tinggal jauh dari PTUN dimana ia akan mendaftarkan gugatannya, maka tentang pembayaran uang muka biaya perkara dapat ditempuh dengan cara : 1. Panjar biaya perkara dapat dibayarkan melalui PTUN mana gugatan diajukan yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Ongkos kirim ditanggung penggugat di luar panjar biaya perkara. 2. Panjar biaya perkara dikirim langsung kepada PTUN dimana ia mendaftarkan gugatannya. 10. a. Dalam hal suatu pihak didampingi kuasa, maka bentuk Surat Kuasa Khusus dengan materai secukupnya, dan Surat Kuasa Khusus yang diberi cap jempol haruslah dikuatkan (waarmerking) oleh pejabat yang berwenang. b. Surat Kuasa Khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu dilegalisir.c. Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi dimungkinkan pula adanya kuasa insidentil.d. Surat kuasa tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan PTUN. 11. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya maka setelah suatu perkara didaftarkan dalam register dan memperoleh nomor perkara, oleh staf kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada Ketua Pengadilan, dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut : a. Siapa subyek gugatan, dan apakah penggugat maju sendiri ataukah diwakili oleh Kuasa. b. Apa yang menjadi obyek gugatan, dan apakah obyek gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan TUN yang memenuhi unsur Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. 1. Apakah yang

menjadi alasan-alasan gugatan, dan apakah alasan tersebut memenuhi unsur Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986. (Setelah keluarnya UU No. 9 Tahun 2004 alasan gugatan mendasarkan pada Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b UU No. 9 Tahn 2004). 2. Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, yaitu hanya pembatalan Keputusan TUN saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan, Panitera atau staf Kepaniteraan dapat memberikan catatan atas gugatan tersebut, untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan untuk ditindaklanjuti dengan Prosedur Dismissal. III. Penyusunan Gugatan Dalam menyusun suatu gugaatan pasti menggunakan pedoman aturan yang telah di tentukan. Pada dasarnya ketika kita melakukan penyusunan gugatan ada syaratsayat yang harus dipenuhi dalam penyusunan gugatan tersebut yaitu : 1. Gugatan harus memuat : a. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasa hukumnya. b. Nama jabatan, dan tempat kedudukan terguguat. c. Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan 2. Apabila gugatan gugatan telah ditandatangani oleh seseorang penguasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah., 3. Setelah terdapat surat kuasa yang sah gugatan sedapat mungkin disertai KTUN yang disengketakan oleh penggugat. Pasal 56 ayat (1) huruf a dan b lebih ditekankan kepada identitas pihak dalam penyusunan gugatan (panggugatan dan tergugat). Jadi disamping penggugat menyebutkan secara lengkat identitasnya yang biasanya dalam penyusunan gugatan terdapat nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, tempat tinggal pekerjaan, juga identitas penggugat yang biasanya terdapat nama, jabatan tergugat dan tempat kedudukan tergugat. Pasal ayat (1) huruf c, memuat yang lazim disebut dengan posita (dasar gugatan) dan petitium (hal-hal yang dituntut oleh penggugat untuk diputuskan oleh hakim).

Denga demikian dapat disimpulkan bahwa untuk penyusunan gugatan yang harus dipenuhi adalah harus memuat identitas, para pihak, fundamentum petendi atau posita, dan pentitum. Jika pembelaan hak seseorang itu harus meminta pertolongan orang lain yang ahlinya, yang dalam bahasa hukum dikenal dengan kuasa hukum. Jika demikian masalahnya maka seorang penggugat dalam penyusunan gugatannya harus memperhatikan hal berikut ini yang harus dipenuhui. 1. 2. 3. Mempunyai surat kuasa khusus Ditunjukan secara lisan dipersidangan oleh para pihak Surat kuasa yang dibuat diluar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Ridi negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah asli. Hal yang perlu diperhatiakan ketikan menyusun gugtan adalah penyertaan KTUN yang digugat, karena badaan atau pejabat TUN yang digugat tidak mengeuarkan KTUN yang dimohon sampai tenggang waktu yang ditentukan. Deengan demikian gugatan itu justru karena gugatan tidak mengeluarkan KTUN yang dimohon penggugat. IV. Pengajuan Gugatan Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertu gas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 . Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan. Pasal 55 menyebutkan bahwa : Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumu mkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan . Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa. Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan

kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a).

V.

Daluarsa atau Tenggang Waktu Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan. Pasal 55 menyebutkan bahwa : Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan . Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa. 4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan berdasarkan Pasal 55 Undang- Undang Peratun - Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara. Bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan TUN obyek sengketa, maka penghitungan tenggang waktu pengajuan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari dihitung secara kasuistis sejak pihak ketiga mengetahui dan merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan TUN obyek sengketa (Yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung RI antara lain Putusan MARI No. 41K/TUN/1994 tanggal 10 November 1994) serta SEMA Nomor 2 Tahun 1991. - Dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 ayat (1) UU Peratun (keputusan fiktif negatif), maka tenggang waktu pengajuan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari setelah jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud telah lewat. Jika peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu, maka tenggang waktu pengajuan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari setelah lewat waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan.

VI.

Surat Kuasa Masalah Surat Kuasa di PTUN - Surat Kuasa tidak boleh dibuat secara umum melainkan harus dibuat secara khusus yang harus memuat secara jelas dan rinci engenai hal-hal yang dikuasakan dengan menyebutkan pihak-pihak yang berperkara, Keputusan TUN obyek sengketa dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaannya. Khusus bagi Tergugat harus menyebutkan nomor perkaranya karena pada saat surat kuasa dibuat, gugatan Penggugat sudah mendapat nomor perkara ( lihat Pasal 57 Undang-Undang Peratun, Pasal 1792 KUH Perdata, SEMA No. 2 Tahun 1991 dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994). - Surat Kuasa Khusus dapat dibuat sekaligus untuk pemeriksaan tingkat pertama, banding, dan kasasi. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan suatu surat kuasa khusus yang baru. Sedangkan untuk Peninjauan Kembali, harus dibuat Surat Kuasa khusus yang baru (SEMA Nomor 6 Tahun 1994). - Tergugat (Badan/Pejabat TUN) dapat memberikan kuasa kepada : Advokat, Jajarannya (Biro hukum/Bagian hukum), atau kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN). - Penggugat dan Tergugat II-Intervensi hanya dapat memberi kuasa kepada advokat, sedangkan Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas hanya dalam perkara prodeo. Biro hukum/Bagian hukum, JPN dan Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas tidak terkena ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang secara tekstual, berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-seolah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah), karena pasal tersebut telah dinyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor. 006/PUU-11/2004 Tanggal 13 Desember 2004. - Kuasa hukum dapat memberikan kuasa substitusi hanya apabila dalam Surat Kuasa pertama menyebutkan hak substitusi. - Surat Kuasa harus ditanda tangani oleh pemberi dan Menerima kuasa dengan dilekatkan materai dan diberi tanggal ( memenuhi ketentuan UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang bea materai). Selanjutnya Surat Kuasa di daftarkan di Kepaniteraan PTUN dengan di tanda tangani oleh Panitera. - Kuasa

insidentil dapat diberikan izin oleh Ketua PTUN kepada seseorang\ yang akan beracara di PTUN apabila dimohonkan, dengan syarat seseorang tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan Penggugat yang dikuatkan dengan surat keterangan Lurah/Kepala Desa dan diketahui Camat serta mampu beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. - Berakhirnya pemberian kuasa dapat terjadi karena : dicabut oleh pemberi kuasa, meninggalnya salah satu pihak, penerima kuasa melepaskan kuasa atas kemauannya sendiri (Pasal 1813 KUH Perdata), apabila pemberi kuasa memberi kuasa kepada pihak lain dalam perkara yang sama maka dengan sendirinya pemberian kuasa pertama berakhir, kecuali ada klausul pada surat kuasa yang baru bahwa kuasa yang lama masih tetap berlaku. - Contoh Surat Kuasa yang pernah diajukan di PTUN Semarang dalam perkara Nomor. 18/G/2009/PTUN.SMG dengan perbaikan dari penulis selengkapnya di dalam Lampiran.

VII.

Putusan Peradilan Putusan Pengadilan dapat berupa : a. Gugatan ditolak, yaitu apabila penerbitan obyek sengketa terbukti tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. b. Gugatan dikabulkan, yaitu apabila penerbitan obyek sengketa aquo terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. c. Gugatan tidak diterima, yaitu apabila formalitas gugatan Penggugat tidak terpenuhi atau eksepsi Tergugat dikabulkan (misalnya : gugatan telah lewat waktu atau Penggugat tidak punya kepentingan) d. Gugatan gugur, yaitu dalam hal Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawaban meskipun setiap kali dipanggil dengan patut. - Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Tergugat berupa : a. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan, atau b. Pencabutan keputusan TUN dan menerbitkan keputusan yang baru, atau c. Penerbitan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 UU Peratun (keputusan fiktif negatif). - Putusan Pengadilan harus memuat : a. Kepala Putusan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa. c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas. d. Pertimbangan

dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan. f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara. g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. - Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, jika tidak dilakukan maka putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. - Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. - berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim yang berbeda wajib dimuat dalam Putusan. Bagaimana cara membuat pendapat yang berbeda (dissenting opinion), serta bagaimana format putusannya sebaiknya diseragamkan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung. Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.

Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.

Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun. Lebih lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut :

(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari. (2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. (3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. (4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. (5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai

permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan

kepada kedua belah pihak.Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Tidak diucapkannya putusan dalam sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.Putusan pengadilan harus memuat dan memenuhi syarat sebagai berikut : a. Kepala putusan yang berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kedudukan para pihak; c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas; d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; g. hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan hadir atau tidak hadirnya para pihak. (Pasal 109 UU No.5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004). Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan dalam syarat putusan tersebut, dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.Dalam Pasal 97 ayat (7), (8), (9) UU No.\ 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahu 2004 mengenai putusan yaitu :(7) Putusan pengadilan dapat berupa : a. Gugatan penggugat ditolak. b. Gugatan penggugat dikabulkan. c. Gugatan penggugat tidak diterima. d. Gugatan penggugat gugur. (8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN. (9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dapat disertai pembebanan ganti rugi berupa : a. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau b. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan penerbitan keputusan TUN yang baru; atau c. Penerbitan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.(10)Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.(11) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam (9) dan ayat (10) dapat disertai pemberian rehabilitasi. Bagi pihak yang tidak sependapat dengan Putusan PTUN dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan PTUN diberitahukan secara sah. DAFTAR PUSTAKAN

Abdullah, Ujang. tanpa tahun. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan di Indonesia. (Online). ( http://www.ptun.palembang.go.id, diakses tanggal 27 November 2011). Albar. 2008. Fungsi, Tugas, Wewenang, dan Mekanisme Beracara di Peradialan Tata Usaha Negara. (Online) (http://albatrozz.wordpress.com, diakses tanggal 27 November 2011). Indra, Tri Cahya. 2009. Pengujian Keputusan Diskresi Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara . (Online). (http://eprints.undip.ac.id, diakses tanggal 27 November 2011). Harahap, Zairin. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Wahyunadi, Yodi Martono. tanpa tahun. Prosedur Beracara di Tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara. (Online). (http://www.ptun-jakarta.go.id, diakses tanggal 27 November 2011).

Anda mungkin juga menyukai