Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

DINAMIKA HUKUM LINGKUNGAN DALAM KEARIFAN LOKAL


MASYARAKAT BADUY

Disusun Untuk Memenuhi UTS Mata Kuliah


Hukum Lingkungan Kelas D
Yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. Rachmad Safa`At, SH., M.Si.

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6

1. Sri Andini P 195010107111040 (53)


2. Bintang Pratama 195010107111142 (75)
3. Butsania Azzahra 195010107111057 (64)
4. Dimas Nadhif 195010107111054 (63)
5. Farzha Wirandhika 195010101111117 (35)
6. Ferdy Ichsan F 195010101111106 (31)
7. Lavenia Winu 195010107111051 (61)
8. Putri Kana 195010101111045 (13)
9. Qoni Nadziratul 195010101111124 (37)
10. Rafio Hasbiandara 195010107111042 (55)
11. Ribka Hanna 195010107111060 (65)
12. Ricky Reinaldy 195010107111050 (60)
13. Rizki Amelia 19501010111108 (32)
14. Teuku Adriansyah 195010107111052 (62)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2021
ABSTRAK

Perlindungan terhadap masyarakat adat terpencil dewasa ini masih

sekadar menganggap masyarakat adat terpencil sebagai suku terasing yang

merupakan aset budaya yang harus dilindungi tanpa melihat adanya

penghormatan terhadap hak-haknya. Terlebih lagi, dengan adanya

perkembangan zaman sekarang ini. Perolehan informasi didapatkan dari

berbagai literatur. Informasi yang telah diperoleh kemudian diuraikan

menjadi data-data yang bersifat sekunder dan kualitatif. Tujuan yang

dituju kepada penulis, adalah penyusunan makalah ini dapat

menghantarkan penulis untuk membahas secara mendalam mengenai

konflik hukum lingkungan secara spesifik. Tujuan yang dituju kepada

pembaca, adalah dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai

masyarakat Suku Baduy baik dari aspek geografis, kehidupan sosial, serta

konflik yang dihadapi. Kesimpulannya, adalah bahwa pemerintah pusat

maupun daerah ternyata tidak sensitif terhadap keberadaan kearifan

lingkungan yang telah lama diteguhkan dan dikukuhi oleh masyarakat

adat. Model pembangunan hukum nasional masih bercocok sentralistik,

represif, dan tidak ramah lingkungan. Sentralistik adalah pengaturan

kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk

mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan

aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik

Indonesia.

Kata kunci : masyarakat Baduy, perkembangan zaman, pemerintah daerah.

2
DAFTAR ISI

ABSTRAK .......................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
C. Metode Kepenulisan ............................................................................................... 5
D. Tujuan Kepenulisan ................................................................................................ 5
BAB II................................................................................................................................. 6
KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................................... 6
A. Pengertian Kearifan Lingkungan ................................................................................ 6
B. Hubungan Masyarakat Adat & Kearifan Lingkungan ................................................ 6
BAB III ............................................................................................................................... 8
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................... 8
A. Paradigma Pembangunan dan Kearifan masyarakat ............................................... 8
B. Realita dan Masalah Kearifan Masyarakat Baduy .................................................. 9
1. Lokasi dan Keadaan Alam .................................................................................. 9
2. Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya ......................................................... 10
3. Struktur Pemerintahan Adat .............................................................................. 13
4. Potensi Sumberdaya Hukum dan Kelembagaan Adat ...................................... 15
5. Konflik Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat............................................ 17
BAB III ............................................................................................................................. 20
PENUTUP ........................................................................................................................ 20
KESIMPULAN ............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi pada saat ini nampaknya sudah menjadi

bagian dari kehidupan manusia yang dapat merasakan kemudahannya.

Perkembangan zaman mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yakni

dari masyarakat tradisional menjadi masoyarakat yang lebih maju atau

yang dikenal dengan “modernisasi”. Perubahan yang terjadi dan

kebutuhan manusia yang semakin mendesak menimbulkan maraknya

eksploitasi berlebihan yang mengakibatkan hubungan antara alam dengan

manusia semakin tidak terjaga.

Pada salah satu Provinsi di Indonesia terdapat salah satu

masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat dan

kepercayaannya yang dikenal dengan masyarakat Suku Baduy. Menurut

(Suparmini, dkk, 2013) masyarakat Baduy secara umum telah memiliki

konsep dan memperaktikan pencagaran alam (nature conservation). Hal

ini dilakukan oleh masyarakat Baduy dengan memperhatikan keselamatan

hutan karena mereka menyadari pentingnya hutan untuk keberlangsungan

hidupnya. Masyarakat adat Suku Baduy mempercayai suatu hutan yang

dikeramatkan karena secara tidak langsung juga yang dipengaruhi oleh

kepercayaan animisme dan ini menjadi salah satu cara masyarakat untuk

menjaga keberlangsungan hutan untuk generasi-generasi selanjutnya.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana paradigma pembangunan dan kearifan masyarakat baduy?

2. Bagaimana realita dan masalah kearifan masyarakat baduy?

C. Metode Kepenulisan
Metode kepenulisan yang digunakan untuk menyusun makalah ini

bersifat studi kepustakaan. Perolehan informasi didapatkan dari berbagai

literatur. Informasi yang telah diperoleh kemudian diuraikan menjadi data-

data yang bersifat sekunder dan kualitatif. Data-data tersebut diperoleh

dari referensi utama yaitu, buku yang membahas masyarakat Suku Baduy,

jurnal ilmiah edisi online, dan artikel ilimiah yang bersumber dar internet.

Data yang telah terkumpul kemudian diuraikan lagi ke dalam pokok

pembahasan yang telah disusun secara logis dan sistematis dengan

pendakatan deskriptif.

D. Tujuan Kepenulisan
Tujuan kepenulisan makalah ini sekiranya dapat memberikan

informasi kepada pembaca mengenai masyarakat Suku Baduy baik dari

aspek geografis, kehidupan sosial, serta konflik yang dihadapi.

5
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Kearifan Lingkungan


Kearifan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan

rangkaian aktivitas, berpikir, serta bertindak sesuai dengan pengetahuan,

pengalaman, dan akal budi sementara lingkungan adalah segala sesuatu yang ada

sekitar manusia dan terletak di dalam suatu ruang yang berkaitan dengan

kelangsungan dan kesejahteraan manusia.Dalam hakikatnya lingkungan terbagi

atas dua komponen yakni lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Dua

komponen ini memiliki karakteristik yang berbeda, lingkungan biotik merupakan

lingkungan yang tersusun dari unsur-unsur yang hidup seperti tanaman, hewan,

manusia lalu lingkungan abiotik merupakan lingkungan yang tersusun dari unsur-

unsur yang tidak hidup seperti air,sinar matahari, tanah dan lain-lain. Hematnya

kearifan lingkungan merupakan suatu kemampuan untuk melakukan rangkaian

aktivitas, berpikir, serta bertindak sesuai dengan akal dan budi untuk mengolah,

menjaga, melestarikan, memanfaatkan lingkungan agar terciptanya ekosistem

lingkungan hidup yang seimbang.

B. Hubungan Masyarakat Adat & Kearifan Lingkungan


Menurut Ter Haar, masyarakat hukum adat merupakan kesatuan manusia yang

teratur menetap di suatu daerah tertentu, memiliki penguasa, memiliki kekayaan

dan yang berwujud ataupun tidak berwujud yang mana para masing-masing

anggota kesatuan mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar

menurut kodrat alam dan tidak ada pikiran untuk keluar dari ikatannya. Mereka

6
memiliki hukum adat sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada

barang barang materiil dan immateriil. Keberadaan masyarakat adat saat ini juga

masih diakui dalam Pasal 18b ayat 2 UUD 1945. Dalam hal ini dapat ditarik

kesimpulan bahwasannya keberadaan masyarakat adat masih diakui dan mendapat

perhatian yang lebih dari negara meskipun lambat laun nilai-nilai dan pelaku

masyarakat adat sudah mulai dikikis zaman.

Mengenai hubungan, tentunya sudah sangat kuat hubungannya antara

masyarakat adat dan kearifan lingkungan karena masyarakat adat sendiri menjaga

hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan lingkungannya terdahulu. Dalam

kehidupannya, masyarakat adat mempunyai berbagai kearifan dalam mengelola

lingkungan, sehingga memiliki peran penting dalam upaya pelestarian lingkungan

hidup. Secara historis, masyarakat adat berupaya melestarikan lingkungan dengan

cara menjaga hutan adat dan sekitarnya dengan turun-temurun, serta yang paling

penting tidak sembarang menebang pohon. Hampir tidak ada masyarakat adat

yang terlibat illegal logging, sebab mereka menjaga nilai-nilai filosofis dan

budaya untuk tetap eksis di lingkungannya. Namun, dilain sisi masyarakat adat

juga rentan akan proses hegemoni yang kerap mengisi dan menguasai kehidupan

mereka.Hal ini membuat masyarakat adat rentan terhadap penguasaan wilayah

yang dilakukan orang asing, contoh nyata yang terjadi adalah program

resettlement mengatasnamakan perbaikan peradaban atau cara hidup justru

menjadi strategi mengubah hutan adat menjadi tanah perkebunan.

7
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Paradigma Pembangunan dan Kearifan masyarakat


Pembangunan merupakan sesuatu yang harus dijadikan pedoman dalam

pembangunan masyarakat dan lingkungan yang saling melengkapi namun, dalam

perkembanganya ternyata percepatan pembangunan ini menyebabkan

terhambatnya kelompok masyarakat adat yang kehilangan dalam hal akses atau

sumber daya alam hal ini disebabkan karena dalam pengambilan keputusan

terkait Proses perencanaan dan peruntukan tanah, hutan, pesisir, dan lautan oleh

pemerintah, masyarakat adat tidak dilibatkan didalamnya. Saat ini terkait dengan

paradigma pembangunan dalam masyarakat adat Baduy, berorientasi pada

industrialisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi, hal ini menyebabkan

paradigma dari ilmu pengetahuan modern yang menganggap bahwa suatu tradisi

adat justru akan menimbulkan masalah dan menghambat jalanya pembangunan.

Masyarakat Baduy tersebut dibentuk dalam dua komunitas generasi penerus

kesukuan mereka yang pertama Suku Baduy dalam (Tangtu) atau masyarakat

Baduy asli yang memegang hukum adat serta kukuh pengkuh dalam

melaksanakan amanat leluhurnya, yang kedua Suku Baduy Luar (panamping)

yang diberikan kelonggaran dalam melaksanakan adat tetapi ada batas batas

tertentu. Sehingga dari kearifan masyarakat Suku Baduy diatas dapat diambil

Nilai penting didalamnya seperti rasa Kepedulian terhadap lingkungan yang

dianggap sebagai kewajiban, Jika kewajiban itu tidak dipatuhi, mereka akan

dicap melanggar petuah leluhur dan juga ajaran Sunda Wiwitan. Kedua yakni

kepedulian terhadap tolong menolong, dilihat dari kegiatan masyarakat Baduy

8
yang hampir tidak terpisahkan oleh kegiatan Bekerjasama sehingga masyarakat

Baduy tidak mengenal klasifikasi kedudukan dalam jabatan.

Ketiga adalah rasa keikhlasan dan ketaatan masyarakat Baduy dalam

Hukum, apabila melanggar mereka akan hidup dalam kenestapaan dan mendapat

kutukan dari sang pencipta. Keempat adalah kesederhanaan dan kemandirian,

Masyarakat Baduy melihat sesuatu dari ‘luar’ namun mereka berusaha

memberdayakan sesuatu yang ‘di dalam’. Kelima yakni sifat demokratis seperti

dua komunitas yaitu Suku Baduy dalam dan Suku Baduy luar.

Keenam yakni kepribadian masyarakat baduy yang pekerja keras, bekerja

untuk memenuhi kebutuhan sehari hari seperti para perempuan yang beraktifitas

menenun dengan menggunakan alat sementara para laki laki membuatn gula

aren, berladang. Ketujuh adalah kejujuran, menurut mereka, orang yang tidak

jujur tidak ada harga dirinya sehingga kejujuran ini semacam penuntun dan

pedoman hidup bagi mereka sehingga tercermin dalam sehari hari sejak nenek

moyang mereka lahir sampai sekarang.

B. Realita dan Masalah Kearifan Masyarakat Baduy

1. Lokasi dan Keadaan Alam


Suku Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di

wilayah Kabupaten Lebak, Banten tepatnya di Desa Kanekes. Secara geografis

Desa Kanekes yang disinggahi oleh masyarakat adat Baduy terletak di antara 6º

27' 27" -6º 30' 0" Lintang Selatan dan 108º 3' 9" - 106º 4' 55" Bujur Timur,

berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 tahun 2001 luas

9
wilayah Desa Kanekes adalah 5.101 km². Wilayah Desa Kanekes merupakan

tanah ulyat yang dijaga dan dilindungi oleh hukum adat Baduy.

Topografi daerah Masyarakat Baduy berbukit-bukit dengan kemiringan

lereng rata-rata 45 %. Keadaan tanah dapat dibagi ke dalam tiga bagian,

yaitu pegunungan vulkanik di sebelah utara, endapan tanah pegunungan di

bagian tengah, dan campuran tanah pegunungan serta endapannya di

bagian selatan. Jenis tanahnya berupa latosol coklat, alluvial coklat, dan

andosol (Garna, 1993).

Secara administratif wilayah Desa Kanekes termasuk dalam Kecamatan

Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten dengan luas mencapai 5.136,58

hektar yang terbagi menjadi dua bagian; ± 3.000 hektar berupa hutan lindung

(luweng titipan) dan hutan tutupan (luweng tutupan), selebihnya merupakan tanah

garapan dan pemukiman.Hutan lindung larangan (luweng titipan) yang terletak di

wilayah Baduy Dalam merupakan kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh

dimasuki, dijamah, atau di jelajah oleh siapapun kecuali puun (kepala adat) pada

upacara ziarah (muja) setiap tahun sekali, karena kawasan hutan itu terdapat arca

domas (sasaka domas) yang disucikan dan disakralkan oleh orang Baduy.

2. Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Menelaah dari pemahaman ini pada zakatnya lebih ditekankan dari suatu

keadaan dari Desa kinekes, yang secara langsung dipimpin oleh Jaro

pemerintahan atau sering disebut sebagai kepala pemerintahan. Sisi spiritual pada

Desa ini masih cukup tinggi dimana ditekankan pada suatu kampung permukiman

10
di daerah Baduy, pada hakekatnya lebih ditekankan mengenai asal usul dari desa

tersebut dan apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Pada pemahaman ini sendiri ditekankan bahwasannya penduduk dari desa

kinekes sendiri, mampu mengandalkan suatu hasil dari lahan yang ada yaitu lahan

pertanian untuk dibuat sebagai mata pencaharian atau ladang, mereka percaya

bahwa hanya dengan menggarap ladang maka serangkaian hal tersebut bisa

disesuaikan untuk mencapai kehidupan yang sesuai atau kesejahteraan di dalam

menanam padi dengan sistem perladangan gilir balik. Pemahaman dari orang

baduy pada hakekatnya lebih percaya akan serangkaian tatanan yang turun-

menurun melekat pada jati diri mereka atau dari adat-istiadat

Namun di dalamnya sendiri juga ada serta-merta dari larangan yang tidak

boleh dilanggar dari suatu desa kenekes tersebut, dimana wilayah Baduy yang ada

harus menaati dan melaksanakan serangkaian kegiatan dan tidak boleh

menyimpang dari ajaran atau pemahaman masyarakat Baduy. Suatu kesakralan ini

pada hakekatnya merupakan suatu kesenian yang turun-menurun dilakukan oleh

masyarakat Baduy, yang diajarkan kepada anak cucu sejak dini di mana pada

suatu pemahaman dari kesenian seperti kesenian yang disebut sebagai gambang

kromong, yang lebih ditunjukkan merupakan sebagai upacara perkawinan atau

khitanan yang dilaksanakan pada Sasih kelima atau Juli atau Agustus.

Pemahaman tentang arti wiwitan yang lebih ditekankan pada suatu

pemahaman tentang permulaan dari kehidupan manusia namun pada pemahaman

wiwitan ini lebih memiliki makna yang lebih mendalam. Atas pemahaman dari

11
arti kata Wiwitan pada hakekatnya lebih ditekankan kepada suatu awal atau proses

yang dilakukan manusia untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari bisa sesuai

dengan perintah agama bahkan aturan yang ada pada masyarakat Baduy tersebut

di mana pangkal, pokok dan dasar agama menjadi utama karena didalamnya

terdapat berbagai agama seperti Islam agama Hindu agama Katolik agama Budha

hingga Kristen. Dengan demikian selain masyarakat Baduy pada hakikatnya nya

orang Baduy di sendiri juga percaya akan serangkaian nenek moyang atau leluhur

yang ada yang sudah ada, didalam memberikan serangkaian peninggalan atau

ajaran-ajaran pada masa terdahulu maka dalam hal ini sering disebut sebagai

Kuruhun.

Lebih dari itu pemahaman dari wilayah tanah titipan tadi maka ditekankan

memiliki kepercayaan untuk pantang dilarang melarang suatu ajaran terlarang

bahkan tidak bisa hal-hal yang dilakukan secara pamali. Pada hakikatnya nya

seorang baduy atau masyarakat Baduy, percaya juga tentang pemahaman tentang

Karuhun. Di mana karuhun di sini mampu memberikan pengalaman atau lelakon

dengan tugas yang sesuai, dengan keturunan untuk selalu bisa melakukan

pertapaan yang sering dianggap mensucikan diri atau untuk mencari jawaban yang

sesuai ketika dilanda tentang suatu kebimbangan yang ada.

Maka daripada itu masyarakat Baduy memiliki serangkaian pemahaman

yang lebih luas tentang serangkaian tantangan atau larangan yang tidak boleh

dilanggar nya salah satu contohnya seperti tentang kawin dengan orang luar

Baduy akan mengakibatkan keturunan yang tidak asli atau tidak sesuai dan

mengakibatkan suatu kebencanaan. Masyarakat Baduy memiliki serangkaian dari

12
giat upacara penting yang harus wajib dilakukan selama setahun sekali seperti,

upacara saren tabun, upacara kawula, upacara seba, dan upacara muja dan ziarah.

3. Struktur Pemerintahan Adat


Komunitas Penduduk Baduy dalam wilayah Desa Kanekes dibagi menjadi

komunitas penduduk Baduy Dalam (Baduy Kajeroan) yang menggunakan system

adat dan komunitas penduduk Baduy Luar (Baduy Penamping) yang

menggunakan system nasional. Secara keseluruhan komunitas orang Baduy

berada dalam struktur (kangkurungan) tangtu tilu jaro (tiga jaro Baduy Dalam dan

tujuh jaro Baduy Luar) yakni sebagai satu kesatuan yang tak terpisah satu sama

lain dalam sistem pemerintahan adat yang telah diturunkan oleh karuhun. Struktur

pemerintahan masyarakat Kanekes merupakan perpaduan antara pemerintahan

adat dan struktur pemerintah nasional. Masyarakat Baduy Dalam

mengembangkan strukturnya sesuai dengan asal usul dan adatnya sedangkan

masyarakat Baduy Luar mengembangkan lembaganya sesuai dengan aturan

negara.

Desa Kanekes saat ini terdiri dari 56 kampung, yang terbagi menjadi tiga

kelompok, yaitu kelompok desa tangtu (Baduy Dalam), panamping, dan dangka.

Komunitas Masyarakat Baduy Dalam dipimpin oleh Pu’un (kepala adat) yang

terdiri atas tiga orang (Puun Tangtu Tilu) dan bertempat tinggal di Wilayah Baduy

Dalam (Baduy Kajeroan), yaitu Pu’un Kampung Cibeo, Pu’un Kampung

Cikartawana, dan Pu’un Kampung Cikeusik. Pu’un dipilih dan diangkat

berdasarkan petunjuk gaib melalui dukun sebagai perantara yang ada di masing –

masing kampung Baduy Dalam. Pu’un didampingi oleh dewan penasihat yang

13
disebut dengan baresan salapan. Masing – masing pu’un dibantu oleh seorang jaro

tangtu (wakil kepala adat) dan seorang girang Seurat (juru siar). Pu’un sebagai

pemegang otoritas tertinggi bidang kerohanian dan kehidupan sehari-hari. Otoritas

Pu’un berasal dari kekuatan alam yang diperoleh dari masyarakat Baduy dan

kekuatan magis yang diyakini secara turun temurun. Dalam kehidupan sehari-hari,

tugas Pu’un adalah mengawasi kampung dan tidak pergi kemana-mana.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang

dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal tersebar mengelilingi

wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh,

Cisagu, dan lain sebagainya. Kanekes Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes

dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung)

dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai

semacam buffer zone atas pengaruh dari luar Komunitas Masyarakat Baduy Luar

dipimpin oleh Jaro Pamarentah. Jaro Pamarentah di bawah Camat sedangkan

Pu’un tetap independent di bawah pejabat mana pun.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan dilaksanakan oleh

jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu memiliki tugas

mengenai pelaksaanan hukum adat, jaro dangka mengenai tanah titipan leluhur,

jaro tanggungan yang bertugas sebagai pengubung masyarakat adat dengan

pemerintah nasional dan jaro pamarentah. Jaro dangka berjumlah 9 orang dan

apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Segala

urusan yang berhubungan dengan pengawasan pelaksanaan adat dalam kehidupan

sehari – hari ditangani oleh jaro tangtu, karena Pu’un sebagai kepala adat

14
dipandang sebagai orang suci yang menjalankan tugas atau (lelakon)

membertapa-kan jagad raya atau alam semesta. Jadi dalam kehidupan orang

Baduy, pu’un tidak bisa ditemui atau diajak berkomunikasi langsung secara

sembarangan oleh siapapun, termasuk oleh warga adat Baduy sendiri. Segala

urusan yang ada kaitannya dengan pu’un harus dilakukan melalui jaro tangtu

yang akan menyampaikan kepada pu’un. Sedangkan, girang Seurat sebagai juru

siar pesan, nasihat atau pu’un yang harus dilaksanakan penduduk di kampung –

kampung tempat tinggal orang Baduy melalui kekolot lembur (kepala kampung).

Untuk urusan Pemerintahan resmi, masyarakat Baduy Dalam tidak ikut

berpartisipasi langsung seperti mengikuti Pemilu. Partisipasi masyarakat dalam

Pemilu yaitu dengan melakukan doa bersama agar mendapat pemimpin yang baik

dan amanah dan mengutus Jaro Indah ke Pemerintah Provinsi atau melalui Bupati

Lebak untuk mendukung kegiatan tersebut. Masyarakat Baduy juga tidak

mempunyai kartu tanda penduduk (KTP).

4. Potensi Sumberdaya Hukum dan Kelembagaan Adat


Masyarakat adat Baduy sampai saat ini masih mempertahankan nilai-nilai

budaya dasar yang diyakininya dan menganut sistem kepercayaan animisme yakni

Sunda Wiwitan. Kepercayaan ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan hukum

adat yang mutlak atau biasa disebut dengan pikukuh karuhan (peraturan adat).

Pikukuh karuhan merupakan suatu sumber etika dan moral yang melandasi

komunikasi, relasi, serta interaksi warga masyarakat adat Baduy dengan karuhan

(leluhur), antar sesamanya, dan juga interaksi diantara orang Baduy dengan desa

disekitarnya, bahkan juga dengan lingkungan alam Desa Kanekes yang menjadi

15
dasar kehidupan mereka. Pikukuh karuhan memberikan suatu landasan yakni

mengenai etika dan moral orang Baduy sebagai penerus dari karuhan dalam hal

menjaga keserasian dan keteraturan sosial yang memelihara lingkungan alam di

sekitar wilayah adat Desa Kanekes. Berikut ini adalah beberapa ketentuan-

ketentuan hukum adat orang Baduy yang tercermin didalam pikukuh karuhan:

a. Mengambil harus permisi kepada pemiliknya (Mipit kudu amit)

b. Memetik harus minta kepada pemiliknya (Ngala kudu mentak)

c. Berdiri harus pada tempatnya (Ngadek kuduk sacekna)

d. Menggoyang-goyangkan pohon agar buahnya jatuh harus memberitahu

pemiliknya (Ngagedak kudu bewara)

e. Menggali kencur harus memberitahu pemiliknya (Ngali cikur kudu matur)

f. Menggali jahe harus memberitahu pemiliknya (Nyongkel jahe kudu

micarek)

g. Berbicara harus diukur atau dibatasi agar tidak berlebihan (Nyaur kudu di

ukur)

Untuk menjaga dan melakukan pengendalian agar pikukuh karuhan di atas

tetap terpelihara, maka harus dilaksanakan aturan mengenai larangan yang disebut

sebagai buyut yang harus ditaati. Ketentuan-ketentuan adat diatas mengatur suatu

perilaku hukum orang Baduy dalam melakukan interaksi dengan sesamanya,

dengan desa-desa disekitar ataupun dengan alam lingkungan Desa Kanekes.

Perlindungan, pengelolaan, serta pemanfaatan sumberdaya alam terutama

terhadap leuweng (hutan) didalam wilayah Desa Kanekes terdapat kaitannya

dengan ketentuan-ketentuan adat orang Baduy yang mengatur mengenai larangan-

16
larangan (buyut). Larangan ini mencakup berbagai hal seperti memasuki kawasan

hutan titipan (leuweng titipan) karuhan dan menebangnya, larangan menuba ikan

di sungai atau di anak sungai, larangan memburu hewan ataupun memetik buah,

larangan tertentu dalam bercocok tanam seperti menggunakan kerbau ataupun

menanam tanaman dan hewan ternak yang bukan berasal dari wilayah baduy.

Jika larangan-larangan (buyut) di atas dilakukan, maka kasus pelanggaran

adat disidangkan oleh jaro tangtu dan jaro tanggungan sebagai seorang petugas

penjaga keteraturan atau ketertiban sosial dan menegakkan hukum adat dalam

kehidupan sosial serta spiritual masyarakan Baduy. Kemudian jika dalam

persidangannya dijatukan keputusan bersalah bagi pelanggaran hukum adat, maka

pelanggat hukum tersebut akan diasingkan selama 40 hari.

5. Konflik Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat


Orang Baduy memiliki kearifan yang tinggi dalam menjaga, mengelola, dan

melindungi, termasuk menjaga kesucian dan kesakralan Kawasan hutan titipan

karuhun. Karuhun disini memiliki makna yang berarti leluhur atau nenek moyang.

Melalui penggunaan kaidah-kaidah hukum adat sebagai sarana pengendali sosial

(social order) dan pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam (ecologi order) di

satu sisi dan penggunaan sistem perlandangan gilir balik (shift-ing caltivation)

yang sistematis, teratur, dan akrab lingkungan di sisi lain, maka sampai sekarang

Kawasan hutan adat Desa Kanekes tetap lestari dan terlindungi serta terjaga

kesucian dan kesakralannya.

Secara turun temurun orang Baduy menguasai, mengelola, dan melindungi

Kawasan hutan (leuweng) Desa Kanekes berlandaskan hukum adat warisan

17
karuhun. Namun demikian, sejak tahun 1950-an ketenangan dan ketentraman

hidup orang Baduy mulai terusik dan terganggu karena terjadi kasus-kasus

pencurian kayu dan penyerobotan tanah hutan yang dilkukan oleh penduduk desa-

desa di sekitar Desa Kanekes.

Penjarahan sumberdaya hutan dan penyerobotan tanah hutan Baduy

intensitasnya semakin tinggi sejak tahun 1968. Hal ini sebagai dampak kebijakan

Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat yang menetapkan wilayah adat Desa

Kanekes seluas lebih dari 5000 hektar ditetapkan sebagai Kawasan hutan negara

di bawah penguasan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dengan Surat

Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat dengan Surat Keputusan Gubernur

Provinsi Jawa Barat Nomor 203/B.V/Pem/SK/68 tanggal 19 Agustus 1968.

Melalui SK Gubernur ini juga ditetapkan bahwa Kawasan hutan titipan (leuweng

titipan) seluas 2946 hektar sebagai hutan lindung mutlak.

Konflik penguasan dan pengelolaan Kawasan hutan Baduy semakin

kompleks Ketika Pemerintah Kabupaten Lebak menetapkan Desa Kanekes

sebagai objek wisata budaya dengan Surat Keputusan Bupati Nomor

556.4/SK.01/HUK/1993. Kebijakan ini semakin menambah beban masyarakat

adat Baduy untuk menangkal dan mencegah pengaruh-pengaruh budaya luar yang

dibawa wisatawan domestik maupun mancanegara yang mengunjungi kampung-

kampung orang Baduy di Desa Kenekes.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjaga kesucian dan kesakralan

tanah adat serta pelestarian dan perlindungan Kawasan hutan titipan karuhun dari

18
penjarahan, perusakan, dan pengokupasian oleh penduduk desa-desa sekitar

Kanekes oleh masyarakat adat Baduy. Bahkan, upaya tersebut, mendapat

dukungan dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Wahana

Lingkungan Hidup (WALHI), Yayasan Telapak Indonesia, dan Yayasan

Gabungan Rumpun Pemuda Nusantara (Garuda Nusantara) yang diketua oleh

artis Ully Sigar Rosadi.

Kalangan LSM, yang dimotori oleh Yayasan Garuda Nusantara mendesak

pada pemerintah pusat dan daerah untuk mengeluarkan keputusan yang

menetapkan perlindungan dan pengukuhan wilayah adat Baduy sebagai wilayah

suaka adat. Tuntutan tersebut dijanjikan berdasarkan argumentasi sebagai berikut:

(1) masyarakat Baduy telah dikenal di dalam maupun di luar negeri sebagai

komunitas adat yang memiliki kearifan dalam meneguhkan buadya dan kearifan

dalam mengelola lingungan hidup titipan karuhun, (2) keteguhan adat dan

budaya masyaraat Baduy telah memperkaya khasanah budaya Bangsa Indonesia

dalam mendukung program-program pelestarian sumberdaya alam dan

sumberdaya hutan, (3) pada dua dekade terakhir ini intensitas perusakan hutan dan

penyerobotan tanah titipan karuhun oleh penduduk desa-desa sekitar Kanekes

terus semakin meningkat. Untuk itu perlu segera ada Tindakan nyata dari

pemerintahan pusat maupun daerah untuk meneguhkan dan mengukuhkan

wilayah adat Baduy sebagai wilayah suaka adat.

19
BAB III

PENUTUP

Corak dari politik Indonesia terutama pada otonomi daerah masih belum

menggambarkan otonomi daerah yang sesungguhnya. Pada dasarnya otonomi

daerah Indonesia masih bersifat sentralistik dan tidak mendukung pada hal - hal

yang berkaitan dengan kearifan lokal. Dampak dari penggunaan sistem politk

yang sentarlistik berdampak politik mengenai pengabaian kemajukan hukum,

implikasi sosial dan budaya berupa dehumanisasi dan stigtitasi negatif terhadap

masyarakat adat lebih dari itu menimbulkan implikasi ideologi dalam bentuk

kerusakan - kerusakan sumber daya yang di miliki oleh para kaum adat.

Jika kita kaji dan pelajari lagi untuk mewujudkan optimalisasi otonomi

daerah yang berbasis masyarakat, kearifan lokal, dan hukum adat masih sanagt

susah di terapkan di Indonesia. Masih banyak tantangan yang harus kita hadapai

serta kaji untuk mewujudkan hal - hal ini secara selaras. Dampak atas hal tersebut

bisa membawa perubahan baik atau ancaman jangka panjang yang dibiarkan akan

membawa kehancuran. Jika mementingkan hanya perihal hukum adat dan perda

bisa menimbulkan kekacauan karena hanya kepentingan adat jangka pendek yang

dipikirkan. Selain itu, jika diwujudkan suatu pemerintahan yang sifatnya sepihak

bisa menimbulkan pemerintahan yang penuh masalah dan anarkis bukan malah

pemerintahan yang demokratis dan harmonis.

20
KESIMPULAN

Kearifan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan

rangkaian aktivitas, berpikir, serta bertindak sesuai dengan pengetahuan,

pengalaman, dan akal budi. Kaitan antara lingkungan dan kearifan lokal sendiri

ada keterkaitan yang sangat kuat karena memang hal tersebut turunan dari nenek

moyang. Masyarakat adat baduy mengalami perubahan yang berpusat pada

industrial dan ekonomi. Secara administratif wilayah Desa Kanekes termasuk

dalam Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten sebagian

wilayahnya merupakan hutan lindung larangan. Masyarakatnyapun terkenal akan

adatnya yang masih kental dan cenderung kedaerahan yang bisa berdaampak

buruk. Atas perihal lingkungan adat baduy penjarahan sumberdaya hutan dan

penyerobotan tanah hutan Baduy intensitasnya semakin tinggi sejak tahun 1968.

Akhirnya upaya dilakukan oleh Kenekes dan masyarakat baduy. Dengan bantuan

dari LSM akhirnya masyarakat Baduy bisa didengar dan mendapat bantuan dari

pemerintah.

21
DAFTAR PUSTAKA

Rachmad, S., Nurjaya, I N, Koeswahyono, I., Susilo, E., Bahar, S. 2015. Relasi

Negara dan Masyarakat Adat. Rachmad Safa’at, editor. Malang: Surya

Pena Gemilang.

Syarbini, Amirulloh. “Kearifan Lokal Baduy anten, Amirulloh Syarbini”, Volume

14, Nomor 1, April 2015. Retrieved from

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/refleksi/article/view/9577

Bakti, M. Saleh Sjafei, “Paradigma Penerapan Prinsip Pembangunan

Berkelanjutan

di Indonesia”, Vol.4(2) Agustus 2020. Retrieved from

http://jurnal.unsyiah.ac.id/SKLJ/article/view/17634

Njatrijani, Rinitami.2018. Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota

Semarang. Gema Keadilan. 5(1):16-19. Retrieved from

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/3580/1992

Euis, dkk, (2017), “Inventarisasi Pengetahuan Etnokomia Masyarakat Baduy

Untuk Pembelajaran Kimia”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, hal 25.

Retrieved from https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/psnp/article/view/25-32

Suparmini, dkk, (2013), “Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis

Kearifan Lokal”, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18, No.1, hal 10.

Retrieved from

https://journal.uny.ac.id/index.php/humaniora/article/view/3180

22
Senoaji, G. (2011). Perilaku masyarakat Baduy dalam mengelola hutan, lahan,

dan lingkungan di Banten Selatan. Humaniora, 23(1), 1-15. Retrieved

from https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/1006

Kurnia, A. & Ahmad S. (2010). Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi Aksara.

Wilodati. (2013, September 9). Sistem Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan

Orang Baduy. Retrieved from file.upi.edu:

http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196801141992032-

WILODATI/jurnal_SISTEM_SOSBUD_BADUY.pdf.

Suriani Mappong. 2013. Masyarakat Adar Berperan Lestarikan Lingkungan

Hidup.

https://m.antaranews.com/berita/392219/masyarakat-hukum-adat-

berperan-lestarikan-lingkungan-hidup (diakses pada 24 Maret 2021).

https://pa-probolinggo.go.id. (2020, 16 Januari). Eksistensi Hak Ulayat dalam Era

Investasi. Diakses pada 20 Maret 2021, dari

https://pa-probolinggo.go.id/Eksistensi-Hak-Ulayat-dalam-Era

Investasi#:~:text=Hak%20ulayat%20merupakan%20serangkain%20wewe

nang,bersama%20kepunyaan%20atas%20tanah%20tersebut%2C

23

Anda mungkin juga menyukai