Anda di halaman 1dari 10

KEARIFAN LOKAL DI PULAU LOMBOK

(Makalah ini Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Ekologi dan Dinamika
Pembangunan"

Disusun oleh :
Rakhmi Aisysh El Mawaddah ( P2F122006 )

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Ir. Anis Tatik Maryani, MP

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAMBI
2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tetap pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini
adalah “Kearifan Lokal di Pulai Lombok”.

Pada kesenpatan ini kami megucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah Ekologi dan Dinamika Pembangunan yang telah memberikan tugas terhadap
kami. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terus membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Kami jauh dari sempurna dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh kaerena itu, keterbtasan wakyu dan kemampuan kami, maka kririk dan
saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi
saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada semuanya.

Jambi, 9 Oktober 2022


Tertanda,

Rakhmi Aisyah El Mawaddah

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................... 2

Daftar isi ..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ..................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan .................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5

BABA III PENUTUP ....................................................................................................... 8

A. Kesimpulan .......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 10

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di
Indonesia merupakanbagian integral daripada kebudayaan Indonesia. Kenyataan bahwa
bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan segala keaneka- ragaman dan
tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan primordial, kesukuandan kedaerahan. Proses pembangunan
yang sedang berlangsung menimbulkanperubahan dan pergeseran sistem nilai budaya
sehingga mental manusiapun terkenapengaruhnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi menimbulkan perubahankondisi kehidupan manusia. Maka dari itu diperlukan
sebuah peranan budaya lokaluntuk mendukung ketahanan budaya nasional itu sendiri.
Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan
masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan
lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan
lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah
nenek moyang atau budaya setempat Wietoler dalam Akbar (2006) yang terbangun secara
alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di
sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan
berkembang secara turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai
sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-
suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunanan berkelanjutan
oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau
kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap
sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan
seringkali tidak melibatkan masyarakat.

B. Rumusan Masah
Dari latar belakang di atas maka dapat di rumuskan masalahnya antara lain:
1. Apakah definisi system kearifan lokal itu?
2. Bagaimanakah cirri-ciri system kearifan lokal itu?
3. Bagaimana jenis-jenis kearifan lokal di Indonesia ini?
4. Seperti apa sistem kearifan likal di Pulau Lombok?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Sistem Kearifan Lokal (Indigenous System)


Ada beberapa definisi system kearifan local menurut beberapa ahli, di antaranya
ialah: Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang
dianut dalam waktu yang cukup lama ( Sunaryo dan Laxman (2003). Menurut Keraf (2002),
kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk keyakinan, pemahaman atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan
di dalam komunitas ekologis.
Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat biasanya
disebut dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam Adimiharja, 2004). Konsep
kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge
system) adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang
telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat
dengan lingkungannya (Marzali, dalam Mumfangati, dkk., 2004). Jadi, konsep sistem
kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena
hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal,
tradisional, atau asli, melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem
ekologi dimana mereka tinggal yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam,
serta meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell, 2003).
Pengetahuan lokal ternyata bisa menjadi salah satu solusi mengatasi dampak
perubahan iklim disektor pertanian terutama dalam mengatasi krisis pangan ditingkat
komunitas. Sebuah penelitian terbaru dari International Institute for Environment and
Development (IIED) mengungkapkan kearifan lokal yang diajarkan turun temurun telah
menuntun masyarakat tradisional yang terbelakang sekalipun mampu bertahan menghadapi
perubahan iklim. Praktek-praktek tradisional itu disesuaikan dengan ketinggian tempat, jenis
tanah, curah hujan dan sebagainya yang kesemuanya mendukung keberlanjutan
lingkungan. Para petani telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan
hama dengan cara memilih varietas tanaman yang mampu mentolerir kondisi ekstrim seperti
kekeringan dan banjir, menanam beragam tanaman untuk menghadapi ketidakpastian di masa
depan. Pemuliaan varietas jenis baru secara lokal ini dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas
yang melindungi keanekaragaman hayati.
Metode pertanian yang dipraktekkan oleh nenek moyang diberbagai komunitas
masyarakat adat termasuk di Indonesia hanya berfokus pada apa yang diberikan alam pada
mereka berupa berbagai jenis tanaman seperti kopi, kayu manis dan berbagai tumbuhan liar
lainnya sudah cukup untuk kebutuhan masyarakat saat itu. Contoh lain yang dilakukan oleh
masyarakat dalam mempertahan kearifan lokal antara lain:
1. Penggunaan Ruang dalam Masyarakat Baduy

5
Penggunaan ruang dalam masyarakat Baduy secara umum dibagi kedalam tiga zona,
yaitu: Zona Bawah sebagai pemukiman, Zona Tengah digunakan untuk bercocok tanam dan
Zona Atas digunakan sebagai hutan belantara dan tempat pemujaan (Syarif Muis, 2010)
2. Sistem Perladangan Masyarakat Baduy
Menurut orang baduy atau orang Kanekes, sistem berladang mereka adalah dengan
tidak melakukan perubahan besar-besaran terhadap alam, tetapi mengikuti alam yang ada.
Sistem pengairan tidak menggunakan irigasi tetapi mengandalkan air hujan, karena dalam
kepercayaan mereka ada larangan penggunaan air sungai untuk keperluan penanaman
tanaman diladang. (Syarif Muis, 2010)

3. Pelestarian hutan mangrove


Hutan mangrove yang tumbuh dipinggiran pantai (laut) sangat bermanfaat untuk terus
dikembangkan dan dilestarikan karena tanaman ini dapat menyimpan carbon dan juga dapat
menahan ketinggian air laut.
Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan
hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai
tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk
untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang
didamba-damba oleh manusia. Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa
kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati
lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya
dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk
pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian,
ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang
mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari
kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya
lokal. Cirri cirri kearifan local antara lain:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. Memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4. Memunyai kemampuan mengendalikan,
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Adapun Jenis-jenis kearifan local, antara lain;
1. Tata kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades).
2. Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika.
3. Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam.
4. Pemilihan tempat dan ruang.
Kearifan lokal yang berwujud nyata, antara lain;
1. Tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab kono (primbon), kalinder.
2. Tangible, contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal.
3. Candi borobodur, batik.

6
Fungsi kearifan lokal, yaitu;
1. Pelestarian alam,seperti bercocok tanam.
2. Pengembangan pengetahuan.
3. Mengembangkan SDM.

B. System Kearifan lokal di Pulau Lombok


Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan local dalam mengatur system social
kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai lembaga adat,
persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local yang berkaitan dengan
perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung sebagai penyimpan cadangan air,
pengaturan system tanam, penggunaan pupuk alam dan pemberantasan hama. Seperti
misalnya system tanam padi gogo rancah (GORA) sekitar 1978, oleh karena pada saat
masyarakat mengalami kondisi kekurangan bahan makanan berkepanjangan yang
mengakibatkan terjadinya kelaparanpada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu
besar, maka secara tiba-tiba timbul upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk
mengatasi hal tersebut.
Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak
memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Karena itu sikap yang etik yang
dikembangkan masyarakat sasak setidaknya juga tercermin dari petuah para orang tua yang
dapat disimpulkan dalam ungkapan-ungkapan berikut : Solah mum gaweq, solah eam daet,
bayoq mum gaweq bayoq eam daet (baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan
buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan), piliq buku ngawan, semet bulu
mauq banteng, empak bau, aik meneng, tunjung tilah. Masyarakat memahami bahwa seluruh
alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga
mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan saling terkait. Bila terjadi
gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka mahluk yang berada dalam
lingkungan hidup akan ikut terganggu pula.
Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dan sesamanya, bukan
merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba,
namun lebih merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan. Karena
kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi
akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan agama tentang makna kekhalifahan
manusia yang menjadi tujuan penciptaan di muka bumi, maka tidak heran bila puluhan
bahkan ratusan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw yang dijadikan landasan dalam
berpijak guna tercapainya kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pola kehidupan yang relative tetap
memiliki aturan dasar yang turun temurun dan menjadi norma hidup dari komunitas
masyarakat sasak. Aturan norma ini disimbulkan dengan “”buku-ngawan karena kehidupan
itu mesti teratur dan memiliki aturan seperti halnya alam semesta. Dari mana memulai
membangun “bale-langgak” (rumah dan kelengkapannya), berugaq-sekepat, alang-sambi,
leah-lambur, jebak, pengorong, kemudian menjadi pemukiman dengan istilah “gubug-
gempeng” dan seterusnya sehingga terbentuklah “dise-dasan”. Secara harmonis kehidupan
“dise-dasan” sangat erat hubungannya dengan lingkungan alam sekitar, khususnya

7
berhubungan dengan istilah “epe-aik” yang menjadi sumber dari segala sumber hidup dan
kehidupan komunitas masyarakat sasak.
Berdasarkan aturan adat budaya ini, maka muncul budaya tradisional masyarakat
sasak yang tidak lepas dari pola trinitaris dasar yakni : pertama, “epe-aik” sebagai pemilik
yang maha kuasa atas segala asal kejadian alam dan manusia. Kedua, “gumi-paer” sebagai
tanah tempat berpijak di situ langit dijunjung, karena di “gumi-paer” ini masyarakat sasak
dilahirkan. Diberi kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. Ketiga, “budi-kaye” yang
merupakan kekayaan pribadi dari kesadaran akan “budi-daye” Sang Hyang Sukseme yang
menurunkan “akal-budi” pada setiap diri manusia untuk mendapatkan kemuliaan hidup yang
akan dibawa sampai meninggal dunia. Ketiga hal inilah yang akan mewarnai setiap
pandangan, ucapan dan perbuatan masyarakat sasak menjadi adab budaya yang tidak hanya
diukur dengan hasil karya secara material namun yang lebih penting adalah nilai-nilai yang
diperoleh selama hidup yang tercermin dari pelaksanaan adat istiadat mereka. Barangkali hal
inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local
terpadu yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam hidup bermasyarakat tanpa konflik yang
melibatkan kearifan budaya local dapat bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia
dan lingkungnnya.

8
BABA III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang
mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari
kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya
lokal.
Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak
memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Hal inilah yang perlu digali lebih luas dan
mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local terpadu yang dimiliki oleh masyarakat
sasak dalam hidup bermasyarakat tanpa konflik yang melibatkan kearifan budaya local dapat
bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia dan lingkungnnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Jojo. “kearifan lokal”. http://merdekaahmad.blogspot.com/2012/11/kearifan-lokal.html.


(diakses 3 November 2013)

Johan Iskandar, “Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal”, Kompas, 6 Oktober 2009.
Ending. “System Kearifan Lokal”. http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php. (diakses
tanggal 1 November 2013).

10

Anda mungkin juga menyukai