Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Konservasi Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Fiqih Lingkungan
Dosen Pengampu : H. Encep Taufik Rahman, S.HI., M.Ag

Kelompok 8 :
Ghinna Nooravia (1184040047)
Husni Mubarok (1184040051)
Iqbal Zaenul Muttaqin (1184040057)

Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam


Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik
serta hidayahnya kepada kami. Dan tidak lupa Sholawat beserta Salam tetap kami curahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan
menuju alam terang benderang yakni agama Islam.
Kami menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia, apabila ada kesalahan atau
dari pembaca terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini guna perbaikan dalam pembuatan
makalah kami.

Bandung, 13 November 2019

Kelompok 8
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kearifan Lokal
B. Peran Kearifan Lokal dalam pengelolaan lingkungan
C. Pengelolaan Kearifan Lokal berbasis pengelolaan lingkungan
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jika dilihat dari perkembangan zaman saat ini, tidak sedikit para generasi muda yang tidak
memahami warisan kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga sedikit demi sedikit mengikis jiwa
kebangsaan mereka. Walaupun masalah pengetahuan kebudayaan tidak menjadi materi penting
dalam kurikulum sekolah dasar maupun menengah, tapi sebenarnya materi ini seharusnya sudah
ada pada kurikulum sekolah dasar.
Globalisasi dan modernisasi industri juga sedikit banyak sudah mengganggu kestabilan
ekosistem dunia.Manusia dan alam seharusnya bisa hidup dengan berdampingan dan
menciptakan keharmonisan anatara keduanya.Namun yang terjadi saat ini adalah manusia yang
lebih berkuasa atas alam.Manusia mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan
keberlangsungannya untuk waktu yang lama dan hanya berorientasi pada keuntungan pribadi.
Selain sebagai warisan kebudayaan yang harus dipertahankan, kearifan lokal masyarakat
juga bisa menjadi salah satu solusi yang mungkin bisa menyelesaikan permasalahan lingkungan
akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh dunia saat ini.hal ini dikarenakan
masyarakat tradisional yang ada di wilayah Jawa Barat masih mempertahankan tata cara
penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam. Sehingga tidak akan mengganggu ataupun
merusak kestabilan ekosistem manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?


2. Bagaimanakah peran kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan?
3. Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Baduy?

C. Tujuan Penulisan

1. Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?


2. Bagaimanakah peran kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan?
3. Bagaimana pengelolaan lingkungan yang berbasis kearifan local di wilayah Baduy?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kearifan Lokal
Pengertian kearifan lokal Menurut Petrasa Wacana kearifan lokal merupakan seperangkat
pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang
terhimpun dan terangkum dari pengalaman panjang manusia menggeluti alam dalam ikatan
hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara
berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis.
Kemudian kita lanjutkankan dengan kearifan lokal yang spesifik mengenai lingkungan yaitu
kearifan lingkungan.Kearifan lingkungan (ecological wisdom) merupakan pengetahuan yang
diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang
khas.Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan.Kearifan
lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan,
dipedomani dan diwariskan secara turun-temurunoleh komunitas pendukungnya.Sikap dan
perilaku menyimpang dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif,
merusak, mencemari, mengganggu dan lain-lain.
Kita juga dapat menggali lebih dalam lagi mengenai kearifan lingkungan. Kearifan
lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan bersikap secara arif
dan bijaksana dalam mengamati, mamanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan
hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Kesuksesan kearifan lingkungan itu
biasanya ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas dan equtablitas atau keputusan yang
bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan harmonis.
Menurut Munsi Lampe melalui artikelnya yang berjudul “Kearifan Tradisional Lingkungan
Belajar dari Kasus Komunitas-Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional” Kearifan lingkungan
di Indonesia menjadi topik perbincangan yang menarik, bahkan mendesak kepentingannya
sehubungan dengan isu program rehabilitasi dan pengelolaan lingkungan, khususnya lingkungan
ekosistem laut (mangrof dan terumbu karang) yang mengalami kerusakan pada hampir semua
daerah perairan pantai dan pulau - pula, yang menurut hasil penelitian, banyak diakibatkan oleh
perilaku pemanfaat, terutama komunitas-komunitas nelayan itu sendiri.
2. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
Manusia berusaha memahami alam semesta beserta isinya, memilah-milah gejala yang
nampak nyata atau tidak nyata ke dalam sejumlah kategori untuk mempermudah mereka dalam
menghadapi alam secara lebih efektif.Dengan kemampuan bekerja dan berfikir secara metaforik,
manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam beradaptasi dengan lingkungan.Ia mulai secara
aktif mengolah sumberdaya alam dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya
yang merupakan himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi tantangan. Manusia dalam
beradaptasi, mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud ideasional berupa pengetahuan
atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan, sebagai hasil abstraksi pengalaman
yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya dan yang menjadi pedoman atau kerangka
acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi
bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungan, terkadang tidak mudah
dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai latar belakang sosial dan kebudayaan yang
berbeda.Namun demikian, keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan tersebut
merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangungan yang berkelanjutan.
Masyarakat Indonesia dengan ribuan komunitas mengembangkan kearifan lokal sesuai
dengan karakterisktik lingkungan yang khas. Secara suku bangsa terdapat lebih kurang 555 suku
bangsa atau sub suku bangsa yang tersebar di wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam beradaptasi
terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan
lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman mengelola lingkungan.Sering kali pengetahuan
mereka tentang lingkungan setempat sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi
masyarakat yang mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukiman mereka.Pengetahuan
rakyat itu biasanya berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat kaitannya
dengan pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama) dan hukum adat yang
kadang-kadang diwarnai dengan mantra-mantra.Ia merupakan kumpulan abstraksi pengalaman
yang dihayati oleh segenap anggota masyarakat pendukungnya dan menjadi pedoman atau
kerangka acuan untuk melihat, memahami dan memilah-milah gejala yang dihadapi serta
memilih strategi dalam bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan. Perbedaan
acuan, pandangan/penilaian, standar, ukuran atau kriteria tersebut, dapat menimbulkan benturan
atau konflik antara masyarakat lokal dengan pengusaha maupun pemerintah.Padahal,
pembangunan berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-sumber daya
sosial sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kurangnya perlindungan atau penghormatan terhadap kearifan lingkungan yang
dikembangkan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber
daya alama, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak terkait (stakeholders)
dan tidak bersedianya informasi mengenai kearifan lingkungan. Sejumlah konflik yang muncul
mengenai lingkungan lebih banyak melibatkan masyarakat adat dengan masyaralat lain yang
tidak mengalami kearifan lokal dan adat suatu masyarakat tentang bagaimana masyarakat
tersebut mengelola lingkungannya secara tradisional termasuk pelanggaran pemilikan tanah
secara adat. Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan kearifan lingkungan
adalah dengan mengkaji kembali tragedi yang ada di masyarakat tentang usaha mereka untuk
mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan lingkungannya.Tradisi dan aturan lokal yang
tercipata dan diwariskan turun menurun untuk mengelola lingkungan, dapat merupakan materi
penting bagi penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan.Norma-norma yang mengatur
kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ditambah dengan kearifan ekologi
tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku
manusia dalam mengelola lingkungannya.
Kriteria kearifan lokal yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) terdiri dari:
1. Nilai-Nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat
2. Melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari dan berkelanjutan

3 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan di Wilayah Baduy


Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga
kelestarian hutan dan air sungguh luar biasa. Ada di sana ada pikukuh (adat yang kuat) yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi
”Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Larangan teu meunang dirempak,
Buyut teu meunang dirobah, Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung”
(Gunung tidak boleh dihancurkan, Lembah tidak boleh rusak, Larangan tidak boleh
langgar,Amanat tidak boleh dirubah, Panjang tidak boleh dipotong, Pendek tidak boleh
disambung)
Makna pikukuh itu antara lain tidak mengubah sesuatu, atau dapat juga berarti menerima
apa yang sudah ada tanpa menambahi atau mengurangi yang ada. Insan Baduy yang melanggar
pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi) seperti dikeluarkan
dari kelompoknya..Pengamalan pikukuh yang taat menyebabkan masyarakat Baduy memiliki
kearifan dalam berhubungan dengan alam.
Salah satu kearifan yang berasal dari ajaran agama adalah harim zone. Fachruddin
Mangunjaya penulis buku Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi seperti
yang dikutip oleh Majalah Sabili mengatakan bahwa, harim zone mewajibkan setengah dari lebar
sungai ke kiri dan ke kanan, terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi serta tumbuhan
bebas sebagai penyangga sungai. ”Selain itu, hal ini untuk membuat daerah resapan sungai.Di
zaman Rasulullah pendirian bangunan di bantaran sungai dilarang untuk memelihara ekstensi
air,” jelasnya.Tradisi ini dihidupkan kembali sebagai sumbangan pada pemeliharaan lingkungan
yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Kearifan lokal masyarakat Baduy adalah energi potensial dari sistem pengetahuan
kolektif untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang
berkeadaban.Hidup damai.Hidup rukun.Hidup bermoral.Hidup saling asih, asah, dan asuh.Hidup
dalam keragaman.Hidup penuh maaf dan pengertian.Hidup toleran dan jembar hati.Hidup
harmoni dengan lingkungan.Hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada
pencerahan.Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif
sendiri.Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat Baduy.
Lewat sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku
Baduy terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam. Bagi orang-orang
Baduy, secuilpun tak akan berani mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan.
Karena derajat kedosaannya bila mengganggu hutan jauh lebih tinggi dari dosa membunuh
sesama manusia.Apalagi bagi orang Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, menjaga alam
merupakan kewajiban dan tiang dasar agamanya, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan dengan
penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam pegangannya: Lonjor teu meunang
dipotong, pondok teu meunang disambung (Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh
disambung).
Kehidupan suku Baduy memiliki ketergantungan besar terhadap alam.Ketergantungan ini
diimbangi dengan menjaga alam dari kerusakan.Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan,
yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung.Suku Baduy mempunyai areal
yang dijadikan hutan lindung.Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di
areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang.Hutan ini juga
membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.
Selain itu, orang baduy menambah ketatnya pelastarian alam mereka dengan upacara
adat, salah satu upacara tersebut yang bernama, upacara kawalu.Upacara ini pada dasarnya bagi
orang baduy adalah melakukan bersih-bersih kampung, baik baduy luar, baduy dalam, dan baduy
dangka.Di moment upacara kawalu ini pula, orang baduy melakukan pembersihan terhadap
sampah-sampah yang berada di sungai ciujung. Sedikit informasi, bulan kawalu adalah bulan
suci bagi orang baduy, selama bulan lawalu, akan diadakan beberapa upacara adat lama orang
baduy khususnya di kampung baduy dalam.
Mengenai soal keramatnya hutan lembur atau hutan larangan tersebut, ada hal yang
ternyata bertujuan lain dengan adanya label keramat di hutan tersebut, secara tersirat Puun
menyebut bahwa adanya mata air di dalam hutan tersebut menjadi hal yang wajib untuk
dilindungi oleh masyarakat baduy dengan berbagai cara. Artinya label keramat semata dilekatkan
untuk membuat orang luar baduy menjadi enggan untuk mengunjungi hutan tersebut.
Belajar kembali dari pikukuh Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang
disambung bahwa orang masih mewarisi siat nenek moyang kita yaitu pola hidup sederhana.
Mereka adalah kelompok otonom yang selalu bersukur dengan apa yang di dapat dan tidak
bergantung pada kelompok lain. Mereka mencukupi diri sendiri begitu rupa sehingga kalau ada
anak yang tidak menghabiskan nasi maka akan di takut takuti dengan peringatan bahwa nasi itu
akan menangis.
Itulah sebabnya ada beberapa ritual untuk panen dan sebagainya semata mata karena
mereka sangat menghormati padi sehingga muncul kepercayaan metafisik.
Pada masyarak petani ladang, hutan adalah bagian dari ladang dan masyarakat
manusia.Hancurnya hutan berarti hancurnya ladang dan akhirnya hancurnya manusia. Oleh
sebab itu mereka selalu mengenal adanya hutan larangan.dengan adanya pikukuh Gunung teu
meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Larangan teu meunang dirempak, jelaas bahwa
suku baduy telah jauh mengenal dirinya mengenal alam lingkunganya dan mengenal
penciptanya. Mereka mempunyai pengatahuan yang lebih dari kita sebagai manusia modern dan
telah menerapkanya sejak lama.
BAB III
Kesimpulan
Globalisasi disamping membawa manusia kepada keadaan tanpa sekat juga membawa
manusia kepada satu masalah yang sama. Salah satu permasalahan bersama yang dialami dunia
saat ini adalah permasalahan lingkungan. Disaat ini manusia begitu mengagumi kehidupan instan
dengan teknologi canggih, maka sekarang manusia kembali meneliti kehidupan masa lalu karena
ternyata kemajuan teknologi membawa pengaruh negative yang serius, yaitu kemungkinan akan
hilangnya lingkungan yang sehat di masa depan.
Masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat majemuk dan memiliki adat yang
masih dipelihara menjadi salah satu rujukan dalam penataan lingkungan yang bersahabat dengan
alam.
DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja, Kusnaka. (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh. Bandung:
Penerbit Tarsito
Sumardjo,jakob. (2011).Sunda Pola Rasionalitas Budaya.Bandung
http://asroalbuquere.blogspot.com/2012/01/kearifan-lokal-dalam-pelestarian.html
http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=7:stick-to-the-
code&catid=1:berita&Itemid=85
http://prasgal.wordpress.com/2013/01/30/kearifan-lokal-masyarakat-baduy-terhadap-sumber-
air/

Anda mungkin juga menyukai