Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. dan
merupakan satu-satunya agama yang dirahmati Allah SWT. di dalam Al-Qur’an
Q.S Al-Imran (3): 19 yang artinya “Sesungguhnya agama di sisi Allah Swt adalah
Islam...”. Islam dapat dimaknai di dalam beberapa hal, yaitu Islam sebagai Religi,
Islam sebagai Din, dan Islam sebagai hikmah. Dilihat dari perspektif Islam,
Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang dapat mendorong bagi kebangkitan
umat Islam. Pada hakikatnya, filsafat Islam akan mengembalikan semua
pemikiran rasional, radikal, hikmah, dsb. kepada sumber hukum otoritafif yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kemajuan umat Islam dapat dimaknai sebagai eksistensi peradaban Islam
pada zaman dahulu. Sehingga umat Islam dapat mencapai masa kejayaan pada
zaman dinasti Abbasiyah. Salah satu tokoh pada masa itu yakni Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd. Pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut masih digunakan sampai
sekarang. Berbagai ilmu yang diciptakan pun mampu membawa perubahan di
dalam berbagai segi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, diharapkan keilmuan
tersebut dapat direkonstruksi kembali demi kemajuan Umat Islam. Melalui filsafat
Islam, dengan pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, diharapakan kita sebagai
umat Islam dapat membuat sebuah karya yang luar biasa untuk kebangkitan umat
Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dan corak pemikiran Filsafat Ibnu Sina?
2. Bagaiman biografi dan corak pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi dan corak pemikiran tokoh filsuf Islam;
2. Untuk mengambil hikmah dari tokoh-tokoh tersebut; dan
3. Sebagai pemenuhan salah satu tugas mata kuliah Filsafat Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ibnu Sina
1. Biografi Singkat Ibnu Sina
Ibnu sina (Abu Ali Husain Ibnu Abdullah Ibnu Sina) merupakan tokoh
filsafat dari Persia. Ia lahir di Afshinah dekat Bukhoro (Turkistan) pada tahun
980 M. Ia merupakan anak dari Gubernur Samanith yang bernama Abdullah.
Di Barat, Ibnu Sina dikenal dengan nama Aviecenna (Spanyol Aven Sina).
Karena kemasyhurannya sebagai filosof, ia digelari “The Prince of The physician”.
Sedangka di dunia Islam, ia dikenal dengan nama As-Syaikh Al Rois
pemimpin utama (dari filosof-filosof).
Ibnu sina terkenal dengan kecerdasannya, terbukti pada usia 10 tahun
telah hafal Al-qur’an dan mengenal cabang literatur ilmu. Dalam usia 18
Tahun, ia telah belajar Fiqih, Matematika, ilmu ukur, Semantik, dan ilmu
kedokteran. Pada masa itu, ia hafal buku Metaphysika di luar kepala tanpa
memahami kandungan maknanya hingga ia menemukan buku al Farabi yang
menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Ibnu sina pun mengakui kedudukan
Al-farabi sebagai guru kedua.
Ketika pindah ke Bukharah ia dipanggil oleh sultan Nuh bin Mansyur
untuk mengobati penyakitnya, dan ternyata ia telah berhasil
menyembuhkannya. Kejadian ini merupakan awal hubungannya dengan
sultan tersebut hingga ia dapat menguasai sebagian besar buku-buku di
perpustakaannya. Kemudian ia menulis buku yang pertama untuk pangeran
Nuh perihal psikologi menurut teori Aristetoles. Buku tersebut diberi judul
Hadiyyatur-Ra’is Ilal Amir (hadiah ibnu sina kepada amir), tentang filsafat ia
menulis buku kitubus syifa (buku penyembuhan) dan mengenai kedokteran ia
menulis buku al-Qonun.
Setelah orang tuanya meninggal dunia, Ibnu sina meninggalkan Bukhoro
dan pergi ke Jurjan untuk bekerja di istana pangeran Ali Ibnu Al Ma’mun.
Selanjutnya, ia pindah ke Hamdan dan selama disana, ia pernah diangkat dua
kali menjadi menteri di Istana Syams Al Daulah. Tetapi, karena terlibat dalam
urusan politik, ia kemudian dipenjara. Namun, ia dapat melepaskan diri
dengan menyamar sebagai sufi dan melarikan diri ke Isfahan. Di Isfahan, ia
bekerja di istana A’la Al Daulah sampai akhir hayatnya pada tahun 1037 M.
Menurut Abi Ubaid Al juzjani, Ibnu sina menulis bait sewaktu dalam penjara
maupun dalam perjalanan.
Karya Ibn Sina sangat banyak dan kelengkapan risalahnya jauh
melampaui risalah manapun yang pernah dihasilkan pengarang-pengarang
filsafat pertama seperti al-Kindi dan al-Razi. G. C. Anawati orang sarjana
Dominican, telah menyusun daftar kitab-kitab Ibn Sina dari 276 tulisan dalam
bentuk buku maupun manuskrif. Diantara buku-bukunya yang terkenal
adalah:
1. Kitab Asy-Syifa. Kitab ini adalah tulisan yang terpenting tentang filsafat
dan terdiri atas empat bagian, yaitu: mantik, matematika, fisika dan
metafisika (ilahiyah). Kitab ini sangat tebal, terdiri dari delapan belas jilid,
adalah suatu ensiklopedia besar dalam ilmu filsafat yang ditulis oleh Ibn

2
Sina. Dengan kitab ini ia telah memperoleh kedudukan yang sangat tinggi
baik di dunia timur maupun barat. Karya ini merupakan ensiklopedia
studi Islamic-Yunani pada abad ke sebelas, yang ia susun dari logika
sampai matematika dan metafisika.
2. Kitab al-Najat, atau Kitab Penyelamat adalah ringkasan kitab al-Syifa,
karya ini jauh lebih banyak dibaca daripada al-Syifa, dan ditulis bagi
orang-orang terpelajar yang ingin mengetahui dan memahami dengan
lengkap dasar-dasar ilmu hikmah. Pada tahun 1331 M. Untuk pertama
kalinya buku ini dicetak di Mesir, dan di Roma pada tahun 1593 M
bersamaan dengan kitab al-Qanun.
3. Kitab al-Qanun fi al-Thibb (Qanon of Medice), buku ini sangat tebal
terdiri dari lima bagian (kitab). Telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin
dan bahasa-bahasa Eropa lainnya dan menjadi literatur pokok di
Universitas-universitas di Eropa sampai akhir abad ke-17 dan sampai kini
menjadi manuskrif bidang kedokteran yang tersimpan rapi di
perpustakaan Birmingham, Inggris bersama dengan Kitab-kitab lainnya
terutama al-Syifa.
4. Kitab al-Isyarat wa al-tanbihat, adalah kitab terakhir yang ditulis Ibn Sina,
hasil dari satu fase yang lebih independent dalam perkembangan
intelektualnya. Dan buku yang paling indah dalam ilmu hikmah. Isinya
mengandung berbagai mutiara dari berbagai ahli pikir dan rahasia yang
sangat berharga yang sulit ditemui dari buku-buku lainnya. Antara lain
uraiannya mengenai logika dan hikmah serta kehidupan dan pengalaman
ruhani, dicetak di Leiden pada tahun 1892. (Herwansyah, 2017, hlm. 56-
57)

2. Corak Pemikiran Ibnu Sina


a. Filsafat Emanasi atau Al-Faidh
Filsafat emanasi atau al-faidh adalah teori pancaran tentang
penciptaan alam, yang mana alam ini maujud karena limpahan dari Yang
Mahasa Esa (The One). Ibnu Sina sepertinya mengalami kesulitan dalam
menjelaskan masalah ini, yaitu bagaimana terjadinya yang banyak (alam)
yang bersifat materi berasal dari Allah yang imateri dan Maha Sempurna.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah penciptaan alam, melainkan ia
adalah penggerak pertama (Prime Cause). (Herwansyah, 2017, hlm. 57)
Untuk memecahkan masalah ini, maka Ibnu Sina memecahkan
dengan teori emanasi (pancaran). Sebenarnya teori emanasi ini bukanlah
berasal murni dari hasil renungan Ibnu Sina. Tetapi berasal dari
Neoplatonisme yang menyatakan hal ini terjadi (wujud alam) padahal
pancaran dari Yang Esa.
Filsafat emanasi Ibnu Sina tidak jauh berbeda dengan emanasi
menurut al-Farabi, bahwa dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari
akal pertama memancar akal kedua, dan langit pertama: demikian
seterusnya, sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal
kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di
bawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh
adalah malaikat Jibril. Adapun proses pelimpahan tersebut menurut Ibnu

3
Sina, adalah bahwa Allah memikirkan tentang diri-nya, maka
melimpahkan akal pertama yang mengandung dalam diri-nya kejamaan
potensial, yaitu antara mungkin dan wajib, ia mungkin dari segi zatnya
dan wajib dari segi wujudnya yang nyata karena ia memikirkan asalnya
(Allah), maka melimpahkan dirinya akal kedua dan dari segi memikirkan
zat-Nya, sebagai yang wajib adanya dengan sebab lain dari-nya, maka
melimpahkan jiwa falak tertinggi, dan dari segi ia memikirkan zat-Nya
sebagai sesuatu yang mungkin (ada dan tidak adanya), maka melimpahlah
Jisim Falak tersebut.
Berlainan dengan al-Farabi yang berpendapat, bahwa akal pertama itu
mempunyai satu sifat, yaitu wujud. Dan setiap wujud hanya melahirkan
dua macam, yaitu wujud berikutnya dan langit atau planet. Ibnu Sina
berpendapat, bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat wajib
wujud pancaran dari Tuhan dan sifat mungkin wujud, jika ditinjau dari
hakikat dari nya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran,
yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya. Berasal dari pemikiran
tentang Tuhan timbulah akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya
sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit. Jadi ketika akal pertama
berfikir, maka memancarkan akal selanjutnya, sekaligus juga
memancarkan dua wujud lainnya (bukan satu sebagai mana pendapat al-
Farabi), yaitu apa yang disebut jism al falak al-aghsha dan nafs al-falak al-
aghsha adalah jiwa dari langit dengan semua planet-planetnya.
Jumlah semua, akal ada sepuluh dan falak ada sembilan. Akal
kesepuluh inilah yang memerintahkan alam dunia dan manusia, begitu
pula jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di
bawah bulan, memancar dari akal kesepuluh ini Sebagaimana Al-Farabi,
Ibnu Sina juga mengajukan teori emanasi ini mentauhidkan Tuhan
semutlak-mutlaknya, karena itu Tuhan tidak bisa secara langsung
menciptakan alam ini yang banyak jumlah unsurnya. Jika Tuhan
berhubungan langsung dengan alam yang plural ini, tentu dalam
pemikiran Tuhan terdapat hal yang plural pula. Hal ini tentu merusak
citra tauhid, ke Esahan Tuhan menjadi ternoda karenanya.

b. Filsafat Jiwa (Al-Nafs)


Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist di istilahkan dengan al-
Nafs atau al-ruh sebagai mana termaktub dalam Q.S. Shad: 71-72, Al-Isra:
58, dan al-Fajr: 27-30.
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan
antara jiwa dan raga. Tetapi kecenderungan pemikiran aristoteles menolak
suatu pandangan dua substansi, oleh Ibnu Sina diyakini sebagai bentuk
dari dualism radikal yaitu tubuh dan jiwa (Syarif, M.M, 1985, hlm. 111)
Unsur tubuh terbentuk dari berbagai unsur yang memancar dari
planet-planet. Sementara jiwa hanya terbentuk dari satu unsur, yaitu dari
Aqlal-fa’al dan jiwa ini pada dasarnya merupakan abstransi tersendiri
dalam struktur tubuh manusia, namun selamanya bergantung pada tubuh.

4
Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi
menjadi dua bagian:
1. Fisika, didalamnya dibicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan manusia.
 Jiwa tumbu-tumbuhan (al-nafs al-nabathiyat) mempunyai tiga
daya, yaitu: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi jiwa pada
tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi pada ketiga komponen itu
saja.
 Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah) memiliki dua daya yaitu:
gerak (almuharrikat) dan mekap (al-mudrikat).
 Jiwa manusia (al-nafs al-nathiqah) yang mempunyai dua daya,
yaitu: praktis (al-amilat) dan teoritis (al-alimat). Daya praktis
hubungan dengan jasad, sedangkan daya teoritis hubungan
dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai 4
tingkatan, yaitu: (1) Akal materi yang semata-mata mempunyai
potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit. (2)
Akal al-makalat merupakan akal materi yang dilati untuk berfikir
yang abstrak. (3) Akal aktual yaitu akal malaikat yang sudah dapat
berfikir tentang hal-hal yang abstrak. (4) Akal mustafad, yaitu akal
yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu
daya upaya, akal inilah yang dapat berhubungan dan menerima
limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.

2. Metafisika membicarakan tentang:


a. Wujud jiwa (itsbati wujud al-nafsi), dalam membuktikan adanya
jiwa, Ibnu Sina mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut. Dalil
alam kejiwaan yang didasarkan fenomena gerak dan pengetahuan.
Fenomena gerak terbagi ke dalam dua: Pertama, gerakan paksaan
yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya
dorongan dari luar. Kedua, gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan
yang terjadi baik sesuai dengan hukum alam seperti batu yang jatuh
pasti kebawah, maupun yang berlawanan seperti manusia berjalan
dan burung terbang.
b. Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, didasarkan pada
hakikat penciptaan manusia. Bila seseorang membicarakan
pribadinya atau mengajak orang lain berbicara. Dalil ini
dikemukakan oleh Ibnu Sina didasari karena ketika seseorang
berkata “saya akan keluar atau aku akan tidur” maka ketika itu yang
dimaksud bukanlah gerak kakinya atau memejamkan mata, tetapi
hakikatnya adalah jiwanya.
c. Dalil kontinuitas, dalil ini didasarkan oleh Ibnu Sina kepada
pembandingan antara jiwa dan jasad manusia yang senantiasa
mengalami perubahan dan penggantian kulit yang sekarang ini
umpamannya tidak sama dengan kulit tahun lalu, karena telah
mengalami perubahan, seperti mengkerut dan berkurang.
Sedangkan jiwa tidak mengalami perubahan.

5
d. Dalil manusia terbang atau manusia melayang. Dalil ini
menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan,
meskipun ini bersifat asumsi atau khayalan. Penetapan tentang
wujud dirinya berarti bukan hasil dari indra dan jasmaninya,
melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
e. Hakikat jiwa tau jauhar rohani seperti yang dikemukakan
Aristoteles adalah “kesempurnaan awal bagi jasad alami yang
organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Untuk itu, menurut
Ibnu Sina jiwa merupakan subtansi rohani yang tidak tersusun dari
materi-materi sebagaimana jasad, kesatuan antara kedanya bersifat
accident. Hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa. Untuk
mendukung pendapatnya, Ibnu Sina mengemukakan beberapa
Argumen:
 Jiwa dapat mengetahui objek pikiran dan hal ini tidak dapat
dilakukan oleh jasad.
 Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak dan zat yang tanpa
alat. Sedangkan indera manusia hanya dapat mengetahui yang
konkret dengan alat.
 Jasad bisa merasakan lelah setelah memikul atau berkerja berat,
bahkan dapat rusak. Sedangkan jiwa digunakan untuk berfikir
tentang masalah besar tidak membuatnya menjadi lelah atau
rusak.
 Jasad dan pengakatnya akan mengaalami kelemahan pada waktu
usia tua, misalnya umur 50 tahun. Sebaliknya jiwa atau daya jiwa
akan semakin kuat. Karena jiwa bukan bagian dari jasad dan
keduanya merupakan subtansi yang berbeda.
f. Hubungan jiwa dengan jasad. Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan
plato sudah membiarkan masalah ini. menurut Aristoteles
hubungan kebudayaan bersifat esensial. Sebaliknya, Plato
hubungan keduanya lebih bersifat accident, karena jiwa dan jasad
adalah dua subtansi yang berdiri sendiri. Ibnu Sina dalam hal ini,
nampaknya lebih sependapat dengan Palato, bahwa hubungan
keduanya lebih bersifat accident, binasanya jasad tidak
mengakibatkan binasanya jiwa. Menurut Ibnu Sina, selain eratnya
hubungan keduanya juga antara keduanya saling pengaruh
mempengaruhi, saling bantu membantu. Jasad adalah tempat bagi
jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa.
Dengan kata lain tidak akan terciptanya jiwa bila tidak diciptakan
jasad yang ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi
adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad yang ditempati
beberapa jiwa.
g. Kekekalan jiwa. Untuk mendasari pendapatnya ini, Ibnu Sina
mengemukakan 3 dalil:
 Dalil al-infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat
accident, masing-masing unsur mempunyai subtansi sendiri,
yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena jiwa

6
bersifat kekal walaupun jasad binasa. Sedangkan jasad tidak
dapat hidup tanpa adanya jiwa.
 Dalil al-basarhat, yaitu jiwa adalah jauhar rohnya yang selalu
hidup dan tidak mengenal mati. Karena hidup (nyata)
merupakan sifat dari jiwa, maka mustahil bersifat lawannya
(mati). Karenanya jiwa juga dinamakan jauhar basith yang hidup
selalu)
 Dalil al-musyabahat. Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia
sesuai dengan filsafat emanasi, bersumber dari akal Fa’al (akal
kesepuluh) bebagai pemberi segala bentuk. Karena akal
kesepuluh ini merupakan esensi yang berfikir, bersifat azali dan
kekal, maka jiwa sebagai ma‟lul (akibat)nya akan kekal sebagai
mana ’illat (sebab)nya.

c. Filsafat Al-Wujud
Dalam pembuktian tentang eksistensi Tuhan, Ibnu Sina menempuh
jalan yang agak berbeda dengan jalan yang ada dalam agama dan juga
dengan dalil para teolog (ahli mutakallimin) yang tertitik tolak pada
konsep “alam baharu” ia sebenarnya hanya melanjutkan dalil ontologi
yang berasal dari Aristoteles dan mengikuti al-Farabi sebelumnya dengan
membagikan wujud ini kepada dua jenis, yaitu wajib al-wujud dan
mumkin al-wujud.
Konsep ini semata-mata bersifat akali, namun Ibnu Sina
menjabarkanya dengan membagikan wajib al-wujud menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Wajib al-wujud bi zatihin, wujudnya ada karena zatnya semata,
sehingga mustahil jika diandaikan tidak ada, karena adanya tidak
butuh sebab yang lain di luar dirinya.
2. Wajib al-wujud bi ghoirihi, wujudnya karena ada sesuatu yang lain di
luar zatnya, umpamanya tempat adanya itu bukan karena dirinya,
melainkan hasil penambahan dua dengan dua Adapun yang mungkin
itu dapat dilihat dari sisi zatnya. Dalam hal ini, ia tidak mesti ada dan
tidak ada, dan karena itu disebut mungkin mungkin bi zatihi. Dan
ketika ada sebab, maka ia menjadi wajib dan juga meliputi segala
sesuatu yang ada menjangkau alam semesta, sehingga ia disebut
dengan wajib al wujud dengan zatnya, maka itu adalah Tuhan yang
dari- Nya berasal segala yang ada ini.

B. Ibnu Rusyd
1. Biografi Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd
dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510
H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat
menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil
dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan
terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan.
Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 56

7
H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena
prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia
dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di
Cordova. (Syarif, M.M, 1985, hlm. 197)
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali
ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-
sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama
ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari
matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan.
Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga
ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama
kalinya yakni sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian
ia pun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana, ia pun diangkat menjadi
qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan
sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar
di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur
(1184-99 M). (Faturohman, 2016, hlm. 111)
Sebagai seorang filosof, pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi
oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum
ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu
tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Ibnu Rusyd sendiri
kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun
pada tahun 1198 M.
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd
juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Di antara karya-karyanya
adalah sebagai berikut :
1. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah
butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih
luwes dari pada fashl dalam menegaskan keunggulan agama yang
didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan dengan agama yang murni
rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia kepada Fashl, melalui
pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akal aktif untuk melihat
gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan
yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi
menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan
demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme,
seperti halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada
kemungkinan untuk membangun kemabli rantai penalaran secara
aposteriori.
2. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini
berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)
3. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik
terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi)
4. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraianuraian di
bidang fiqih).

8
2. Corak Pemikiran Ibnu Rusyd
Pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu
Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas
karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles
dalam bentuk aslinya. Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat
dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu
Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa
persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim
tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan
unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan
kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang
memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa
dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H. Namun demikian, walaupun Ibnu
Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu
mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki
pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai
filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.

a. Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd


Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa
mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi
bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas
orang berusaha menarik pelajaran / hikmah /’ibrah darinya, sebagai sarana
pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna
pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan, maka
semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya
Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia
untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-
ciptaan-Nya. Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin
menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan,
pertama, ia tidak memiliki kemampuan/kapasitas yang memadai
berkecimpung dalam dunia filsafat. Kedua, ketidakmampuan dirinya
mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang
oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping/guru yang
handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu
obyek pemikiran tertentu. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara
manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali
tidak termasuk ahli takwil, yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang
merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal
sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam
ini (khatabi). Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang
termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara
alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik. Ketiga, Metode
Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni

9
latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang
dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau
disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang
yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada
mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran. Penyebabnya dalah
karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah
dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk
pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku.” (Q.S. Al-Israa’: 85) Allah SWT tidak menjelaskan
pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak/ belum
memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat
dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah Swt.
sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan
intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan
metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu
macam cara saja. Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa
mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran
spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil.
Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab
beliau ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek
pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan
kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula
dengan nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil/qiyas untuk
membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh
al qur’an. Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara
gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia.
Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna.
Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus
dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan
sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar
dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik)
dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat
majaz.

b. Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah
adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat
diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud Allah ialah
Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya. Konsepsi Ibn
Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang
dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi
menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai
dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat
Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Dalam pembuktian

10
adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan
falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang
berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan
kata-kata Syar’i sesuai dengan kepercayaan mereka. Dalam pembuktian
terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:
1. Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd
menolak dalil-dalil yang pernah dikemukakan oleh beberapa golongan
sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an
dalam berbagai ayatnya.
2. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada
tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusia. Artinya segala yang
ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala
yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini
bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaja diciptakan
demikian oleh sang pencipta bijaksana.
3. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan
segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan
berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn
Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,
sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga
berbagai bintang dan falak di angkasa tunduk seluruhnya kepada
ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah
dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di
alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.
Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73
4. Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd
memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah
seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini
menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu semua jenis gerak
berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada
yang bergerak pada dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang
tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya.
Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan
oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
5. Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah
berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal
sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua
cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada
dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ibnu Sina merupakan tokoh filsafat Islam asal Persia. Banyak sekali karya-
karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina diantaranya yaitu kutubu As-Syifa, Al-Najat,
Al-Qanun Fii Al-Thib, dan Al-Isyarat Wa Al-Tanbihat. Adapun corak pemikiran
dari Ibnu Sina yaitu Filsafat Emanasi atau Al-Faidh. Filsafat ini merupakan teori
pancaran tentang penciptaan alam, yang mana alam ini maujud karena limpahan
dari Yang Mahasa Esa (The One). Ada juga filsafat jiwa yang meliputi fisika dan
metafisika. Kemudian ada yang disebut filsafat Al-Wujud. Dalam hal ini Ibnu
Sina menempuh jalan yang berbeda dalam melakukan pembuktian tentang esensi
dan eksisitensi Tuhan yaitu dengan dalil para teolog yang tertitik pada konsep
alam albaharu.
Sedangkan Ibnu rusyd merupakan tokoh filsafat Islam yang terkenal dengan
nama averous, hal ini dikarenakan ia terlahir dari keluarga yang terhormat dan
‘alim dalam bidang ilmu terutama dalam bidang ilmu Fiqih. Diantara karya-karya
Ibnu Rusyd yaitu Tahafut at-Tahafut, Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-
Syari’ah min al-Ittishal, Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, dan
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Adapun corak pemikiran dari Ibnu
Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof yunani kuno. Buktinya ia membuat syarah
atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan
pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya yang maan menurutnya pemikiran
filsafat dari Aristoteles telah dicampuri dengan unsur-unsur platonisme yang
dibawa oleh para komentator dari Alexandria. Ibnu Rusyd juga memiliki
pandangan tersendiri dalam ilmu Filsafat diantaranya yaitu pemikiran
epistemologi yang menyatakan bahwa mempelajari Filsafat itu hukumnya wajib.
Yang kedua yaitu metafisika/masalah ketuhanan. Dalam hal ini Ibn Rusyd
berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama.

B. Saran
Berdasarkan tokoh-tokoh diatas, seharusnya kita sebagai umat Muslim dapat
mencontoh dan menciptakan sebuah llmu yang dapat membawa perubahan
dalam peradaban umat Islam. selain itu kita harus bisa mengambil pelajaran dari
biografi tokoh filsuf Islam demi kemajuan diri sendiri dan umat Muslim. Oleh
karena itu, diperlukannya sebuah tekad yang kuat agar hal tersebut dapat
terwujud.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Syarif, M.M (penyunting) (1985) Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
Madkour, I. (1993). Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya. Ed. 1, Cet.3, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Bagir, H. (2006) Buku Saku Filsafat Islam. Ed. Revisi, Cet 2, Bandung: Mizan.

Artikel Jurnal:
Faturohman. (2016) Ibnu Rusyd dan Pemikirannya. Tsarwah. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Islam, 1 (1), hlm. 109-122
Herwansyah. (2017) Pemikiran Filsafat Ibnu Sina. El-Fikr, 1 (1), hlm. 54-66
Madani, M.T (2017) Ibnu Rusyd dan Kontribusi Pemikirannya Terhadap
Perkembangan Ilmu Fiqh. Kabilah 2 (1) hlm. 36-59
Soleh, A.K. Upaya Ibnu Rusyd Mempertemukan Agama dan Filsafat, hlm. 135-152
Baharuddin, A. (2015) Ibnu Sina dan Pemikiran Teori Emanasi. Jurna Adabiyah 15 (2)
hlm. 204-2014
Soleh, A.K. Implikasi Pemikiran Epistemologi Ibnu Rusyd, hlm. 1-23

13

Anda mungkin juga menyukai