Anda di halaman 1dari 7

Filsafat Islam merupakan ilmu yang memiliki peran dalam perjalanan berkembangnya

pendidikan agama Islam. Konsep berpikir yang tidak hanya berdasarkan logika tetapi juga harus
didasarkan pada keimanan. Orang boleh berfilsafat namun akidah tetap yang paling utama.
Filsafat itu bersifat rasional artinya memikirkan sesuatu tanpa melihat sesuatu.

Menurut pendapat orang barat filsafat is mother of science, tetapi pendapat tersebut dibantah oleh
ahli filsafat dari kalangan Islam seperti Imam Ghozali dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa
akidah is mother of science. Hal tersebut didasarkan karena filsafat merupakan produk dari
teologi, oleh karena itu filsafat harus mendukung teologi.Contoh filsafat adalah seperti Nabi
Ibrahim a.s yang mencari Tuhannya. Pada awalnya Beliau mempercayai bintang, kemudian
bulan lalu matahari. Namun pada akhirnya Beliau mempercayai bahwa yang menciptakan
seluruh alam semesta beserta isinya adalah Allah SWT. Yang terdapat dalam QS Ar-Rum ayat
30 : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam mengalami masa kejayaan khususnya dalam bidang ilmu
pengetahuan. Terdapat berbagai buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga
mempermudah para ilmuwan Islam untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat.
Kemudian muncullah para filsuf muslim mulai dari Al-Kindi sampai pada masa Ibnu
Rusyd.Pada masa sesudah Ibnu Rusyd muncullah para tokoh filsafat dari umat Islam seperti
Nashiruddin Al-Thusi, Mulla Sadra, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal.

Tokoh yang akan kita bahas kali ini kurang begitu populer dibanding tokoh-tokoh besar dalam
sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali,Ar-Razi, dan lainnya. Oleh karena itu, kemunculan
namanya sebagai tokoh penting dalam khazanah perkembangan peradaban Islam juga menjadi
sesuatu yang sulit ditemukan. Padahalmemperbincangkan sejarah Filsafat Islam, kita tak bisa
meninggalkan tokoh yang memberikan sumbangan yang begitu besar bagi perkembangan filsafat
Islam khususnya madzhab paripatetik ini. Nashiruddin Al-Thusi adalah seorang pemikir Islam
yang tidak hanya dikenal sebagai seorang filsuf, tetapi juga sebagai ahli astronomi,
matematikawan dan saintis/ilmuwan yang beberapa pemikirannya masih digunakan sampai saat
ini. Dia adalah seorang penulis yang mempunyai banyak karya dalam bidang matematika. Ia juga
seorang biolog, ahli kimia, ahli pengobatan, ahli ilmu fisika, teolog dan Marja Taqleed. Al-Thusi
termasuk satu di antara sedikit astronom Islam yang mendapat perhatian dari ilmuwan modern.
Seyyed Hussein Nasr mengkategorikan Al-Thusi sebagai salah satu di antara tokoh universal
sains Islam yang pernah lahir dalam peradaban Islam pada abad pertengahan.

Biografi Nashiruddin Al-Thusi


Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Nashiruddin Al-
Thusi.(Mustofa, 1997) Ia lahir pada 18 Februari 1201 M/ 597 H di kota Thus dekat Meshed
Persia sekarang sebelah timur laut Iran.Beliau di kenal dengan sebutan Nashiruddin Al-
Thusi.Nama ayahnya Muhammad bin Hasan, yang mendidik Thusi sejak pendidikan
dasar. Nashiruddin Al-Thusi menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa arab dan bahasa persia.
Dia juga menulis dengan dua bahasa tersebut. Nashiruddin Al-Thusi dapat dikatakan sebagai
orang yang bisa mewakili dua budaya, yaitu budaya arab dan budaya persia dengan tingkat
penguasaan yang sama. Sejak usia belia, Al-Thusi sudah mendapatkan pendidikan agama dari
ayahnya dan pengetahuan logika, fisika, metafisika dari pamannya.

Meskipun demikian beliau juga mempunyai beberapa nama berbeda dikarenakan


kemahsyurannya, antara lain Muhaqqiq Al-Thusi, Khuwaja Thusi dan Khuwaja Nasir, dan Al-
Thusi.Al-Thusi pun dikenal sebagai ilmuwan “serbabisa” (Multi Talented).Al-Thusi merupakan
sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja seperti
Thomas Aquinas. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, politik, biologi,
kimia, matematika, filsafat, kedokteran hingga ilmu agama Islam.(El Saha, 2004)

Selain mempelajari ilmu agama di sekolah itu, Al-Thusi juga mempelajari Fiqih, Ushul, Hikmah
dan Kalam, dan juga Isyaratnya Ibnu Sina, dari Mahdar Fariduddin Damad,dan Matematika dari
Muhammad Hasib, di Nishapur. Kemudian dia pergi ke Baghdad. Disana dia mempelajari ilmu
pengobatan dan Filsafat dari Qutbuddin, dan juga Matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan
Fiqih serta Ushul dari Salim bin Bardan.(M.M.Syarif, 1993)

Al-Thusi lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia Islam telah mengalami masa-masa sulit.
Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat di bawah pimpinan Jengis Khan yang
brutal dan sadis bergerak cepat dari Cina ke Barat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang
amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan
sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa pada masa itu dunia
tengah diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit
untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Al-Thusi pun tak dapat mengelak dari konflik
yang melanda negerinya. Sejak kecil, Al-Thusi digembleng ilmu oleh ayahnya yang berprofesi
sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua Belas.Karena keahliannya, akhirnya ia direkrut
penguasa dinasti Nizari Ismailiyah. Selama mengabdi, ia mengisi waktunya dengan menulis
beragam karya penting tentang logika, filsafat, matematika serta astronomi. Karya pertamanya
adalah kitab Akhlaqi Nasiri yang ditulisnya pada 1232 M.

 Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan akhirnya menguasai Istana
Alamut dan meluluhlantakkannya pada tahun 1251 M. Al-Thusi selamat, karena Hulagu Khan
ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Al-Thusi pun diangkat sebagai
penasihat di bidang ilmu pengetahuan  oleh Hulagu Khan. Al-Thusi bahkan juga diangkat
sebagai wazir dan pengawas lembaga-lembaga agama pemerintahan Mongol.Karenanya, ia dapat
meningkatkan pengaruh Imamiyah di Irak dan Iran. Meskipun telah menjadi penasihat pasukan
Mongol, Nashiruddin tetap tak mampu menghentikan kebiadaban Hulagu Khan yang membumi
hanguskan Kota Metropolis Intelektual dunia, yaitu kota Baghdad pada tahun 1258 M. Terlebih
lagi pada saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Mu’tashim yang
lemah.

Hulagu Khan sangat senang sekali ketika Al-Thusi mengungkapkan rencananya untuk
membangun observatorium di Margha, Azerbaijan. Kecenderungan intelektualnya pun akhirnya
semakin bertambah saat Hulagu Khan membangun observatorium untuknya pada tahun 657 H /
1259 M yang dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Beliau juga menulis biografi raja Mongol,
yang berjudul Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, yang berisi nasihat-nasihat keuangan
negara dan administrasi pemerintahan.

Pembangunan observatorium ini melibatkan para sarjana dari Persia dan astronom dari China.
Observatorium Margha ini mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Disini Al-Thusi menyusun
tabel-tabel astronominya yang disebut Zij Al-Ikhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan
diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan kemudian menjadi terkenal di seluruh Asia bahkan
sampai ke China. Pada akhir abad ke-7 H / ke-13 M, observatorium ini juga digunakan untuk
mengembangkan 3 ilmu penting lainnya, yaitu Matematika dan Filsafat. Al-Thusi juga berhasil
menulis kitab terkemuka lainnya yang berjudul At-Tadzkira fi ‘Ilm Al-Hay’a (Memoar
Astronomi). Al-Thusi mampu memodifikasi model semesta Apisiklus Ptolomeus  dengan
prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Pada musim
dingin tahun 672 H / 1273 M, Al-Thusi bersama dengan Agha Khan pergi ke Baghdad. Agha
Khan kembali ke ibu kota setelah selesai musim dingin. Namun Al-Thusi tetap disana dengan
maksud untuk menyelesaikan tugasnya hingga akhirnya ia meninggal pada tanggal 18 Dzulhijjah
pada tahun tersebut. Berdasarkan surat wasiat yang ditulisnya, ia pun dimakamkan di dekat
Haram Kazhimain, Irak.(Ni’mat, 1987)

Karya-Karya Nashiruddin Al-Thusi


Al-Thusi merupakan salah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu, tidak hanya
filsafat semata. Terbukti bahwa ia telah mengarang lebih dari 145 buku dalam bidang ilmu
matematika, astronomi, geografi, dan fisika. Diantara sebagian buku itu, terdapat hasil
terjemahan dari buku-buku Yunani dan penjelasannya. Sebagaimana dia juga mempelajari buku-
buku Ibnu Haitsam yang sangat dikaguminya. Buku-buku tersebut dia tambah dengan
penjelasan-penjelasan dan komentar.

Meskipun Al-Thusi pandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan namun ia bukan seorang
ilmuwan atau filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf yang ada di Timur yang memuat gagasan
sebelumnya. Ia bukan termasuk ahli fikir yang kreatif yang dapat  memberikan gagasan yang
murni dan cemerlang. Hal ini tampak pada perannya sebagai pengajar gerakan kebangkitan
kembali dan dalam karya-karyanya yang kebanyakan bersifat elektis yakni bersifat memilih dari
berbagai sumber. Meskipun demikian, ia tetap memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan
bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam sangat mengagumkan. Minatnya yang banyak
dan mencakup berbagai jenis ilmu pengetahuan, antara lain filsafat, matematika, astronomi,
fisika, mineralogi, musik, ilmu pengobatan, sejarah, kesusastraan dan dogmatik.(Suryadi, 2009)

Adapun karya-karya Al-Thusisebagai berikut(Suryadi, 2009):

1. Karya di bidang Logika: Asas Al-Iqtibas; At-Tajrid fi Al-Mantiq; Syarhi Mantiq Al-
Isyarat; Ta’dil Al-Mi’yar
2. Karya di bidang Metafisika: Risalah Dar Ithbati Wajib; Itsari Jauhar Al-Mufariq; Risalah
Dar Wujudi Jauhari Mujarrad; Risalah Dar Itsbati ‘Aqil Fa’al; Risalah Darurati Marg;
Risalah Sudur Kharat Az Wahdat; Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul; Tashawwurat; Talkis
Al-Muhassal; Halli Musykilat Al-Asyraf
3. Karya di bidang Etika: Akhlaki Natsiri; Ausaf Al-Asyarf
4. Karya di bidang Dogmatik: Tajrid Al-‘Aqaid; Qawaid Al-‘Aqaid; Risalahi I’tiqodat
5. Karya di bidang Astronomi: Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a : Buku
suntingan dari sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table (penyempurna Planetary
Tables).; Kitab At-Tadzkira fi Al-Ilmal Hai’a : Buku ini terdiri atas empat bab, yaitu:
Pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi tentang saat berhenti, gerak-
gerik sederhana dan kompleks. Pengertian-pengertian Astronomikal secara umum,
perubahan sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh Carr De
Vaux yang penuh dengan kritik tajam atas Al-Magest karya Ptolemy. Kritikan ini
merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama pembiasaan-pembiasaan pada bulan
dan gerakan dalam ruangan planet-planet. ; Bumi dan pengaruh benda-benda angkasa
atasnya, termasuk di dalamnya tentang laut, angin, pasang surut, serta bagaimana hal ini
terjadi. Besar dan jarak antar planet.; Zubdat Al-Hai’a, termasuk 9 karya yang terbaik
dalamAstronomi; Al-Tahsil fil An-Nujum; Tahzir Al-Majisti; Mukhtasar fi Al-‘Ilm At-
Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin (ringkasan Astrologi dan penanggalan); Kitab Al-Bari fi
Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam  An-Nujum (buku terbaik tentang
Almanak, pergerakan bintang dan Astrologi Kehakiman).
6. Karya di bidang Aritmatika, Geometri dan Trigonometri: Al-Mukhtasar bi Jami’ Al-
Hisab bi At-Takht wa At-Turab (ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan
bumi).; Al-Jabar wa Al-Muqabala (risalah tentang Al-Jabar).; Al-Ushul Al-Maudu’a
(risalah mengenai Euclidas Postulate). Qawa’id Al-Handasa (kaidah-kaidah Geometri ).;
Tahrir Al-Ushul.; Kitab Shakl Al-Qatta (risalah tentang Trilateral), sebuah karya dengan
keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang Abad Pertengahan. Buku tersebut sangat
berpengaruh di Timur dan Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian
Trigonometri.
7. Karya di bidang optik: Tahrir Kitab Al-Manazir; Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in
Itaafiha (penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar).
8. Karya di Bidang Seni (Syair): Kitab fi ‘Ilm Al-Mausiqi; Kanz At-Tuhaf
9. Karya di bidang medis; Kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-
Sultaniyah(Hadariansyah, 2013) buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan
kesehatan dan hubungan seksual.

Pemikiran Filsafat Nashiruddin Al-Thusi


Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang
berkembang, bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada periode pasca Mongol
tersebut. Akan tetapi Al-Thusi merupakan seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran
intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Al-Thusi tidak menciptakan pemikiran
baru, tetapi ia mengadopsi dan mengembangkan pemikiran yang sudah ada. Ia mempelajari
filsafat Yunani dan Islam, misalnya lewat karya-karya Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan
sebagainya. Ia juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di
Nishapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban yang sangat berpengaruh.

Dalam pemikiran agama, Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran Neoplatonik Ibnu Sina dan
Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan bahwa demi alasan-alasan taktis, orang bijak
(hukama’) bukan sebagai filsuf. Nashiruddin Al-Thusi sendiri berpendapat bahwa eksistensi
Tuhan tidak bisa dibuktikan, namun sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan
pengajaran yang otoritatif, sekaligus filsafat.

Dalam pemikiran politik, Al-Thusi cenderung menyintesiskan ide-ide Aristoteles  dan tradisi
Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre nasihat kepada raja, sehingga ia tetap memelihara
hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etiknya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis.
Karya tersebut membahas persoalan individu, keluarga, serta komunitas kota, provinsi, desa, atau
kerajaan.

Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik
mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku
yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada
kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, yaitu hukum Tuhan, dan ini
merupakan pokok bahasan fikih.(Murtiningsih, 2012) Keduanya dibagi lagi menjadi norma-
norma untuk individu, keluarga, dan penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai
kebenaran-kebenaran yang tetap, sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah
karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti.
Beliau menafsirkan Negara atau dinasti sepeti daulah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini
terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penafsiran
Fuqaha’ dan juga para imam. Sehingga Al-Thusi menganggap syariat sebagai suatu tatanan
hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni.(Black, 2006).
Pemikiran filsafat Al-Thusi dibagi menjadi tiga, yaitu:

Filsafat Metafisika
Menurut Al-Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu ilmu Ketuhanan (‘Ilmi Ilahi) dan
filsafat pertama (Falsafah Ula). Ilmu Ketuhanan meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, serta
pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta yang
merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan
kemajemukan, kepastian, dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan
juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut. Diantara cabang (furu’) metafisika itu
termasuk pengetahuan ke-Nabian (Nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa
metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah
gagasan-gagasan.(Syarif, 1963)

Bagi Al-Thusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang akan kebenaran bahwa
Allah itu ada), harus diyakini oleh manusia dan bukan harus dibuktikan. Pembuktian eksistensi
Tuhan ataupun wujud Tuhan bagi manusia adalah mustahil, karena pemahaman manusia tentang
wujud Tuhan sangat terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Al-Thusi membagi metafisika atas ilmu
Ketuhanan dan filsafat pertama, tetapi di dalamnya tidak mencakup kajian pembuktian eksistensi
Tuhan, karena ini merupakan hal yang di luar batas kemampuan pembuktian manusia. Al-Thusi
berpendapat sama halnya dengan filsuf lainnya yang mengulas teori ex nihilo yaitu sebuah teori
yang menyatakan adanya penciptaan sesuatu dari tidak ada.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’ ayat 30, yaitu:
٣٠( َ‫ض َكانَتَا َر ْتقًا فَفَتَ ْقنَاهُ َما َو َج َع ْلنَا ِمنَ ْال َما ِء ُك َّل َش ْي ٍء َح ٍّي َأفَال يُْؤ ِمنُون‬ ِ ‫َأ َولَ ْم يَ َر الَّ ِذينَ َكفَرُوا َأ َّن ال َّس َما َوا‬
َ ْ‫ت َواألر‬

Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga
beriman?”(QS.Al-Anbiya’:30).

Filsafat Etika
Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Al-Thusi ini adalah untuk menemukan cara hidup untuk
mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai kebaikan maka dalam hal ini manusia
dituntut untuk sering berbuat baik, menempatkan kebaikan diatas keadilan dan cinta. Menurut
Plato, yang termasuk perbuatan baik menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan
keadilan. Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal, kemarahan, dan hasrat.
Namun Al-Thusi yang sependapat dengan Ibnu Maskawaih. Ia menempatkan kebajikan diatas
keadilan, dan cinta sebagai sumber alam kesatuan, diatas kebajikan.

Perbuatan baik selalu diusik oleh perbuatan jahat. Selain dari kebaikan dan kejahatan, satu hal
yang mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah penyakit moral
manusia, yang merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Al-Thusi, penyakit
moral ini bisa disebabkan oleh tiga sebab, yaitu keberlebihan, keberkurangan, ketidakwajaran
akal, dan kemarahan, serta hasrat.(M.M.Syarif, 1993). Dari teori tiga sebab ini, Al-Thusi
menggunakannya dengan menggolongkan tiga golongan penyakit fatal akal teoritis yang terbagi
menjadi tiga karakter, yaitu:

1. Kebingungan (hairat)

Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan
kesalahan dikarenakan adanya bukti saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan
terhadap suatu masalah yang kontroversial.

 Kebodohan sederhana (Jahl Basith)

Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira
bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa
dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan
keadaan begitu.

 Kebodohan fatal (Jahl Murakkab)

Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan suatu hal dan dia merasa mengetahui hal
itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut Al-Thusi, penyakit
ini adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras dalam bidang
matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya menjadi kebodohan bersama.
(Suryadi, 2009)
 Pandangan Al-Thusi secara keseluruhan, ia menganggap bahwa manusia adalah makhluk
sosial, maka untuk memperkuat sikap daripada manusia itu sendiri, manusia mesti
mencapai sebuah watak yang baik terhadap sesamanya sampai batas sempurna.
Kesempurnaan ini disebutnya dengan peradaban. Manusia hidup saling membutuhkan
maka sangat mustahil manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

Filsafat Jiwa
Pandangan Al-Thusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa
terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa
dibuktikan secara kasat mata. Masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang
itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argumen
masyarakat tentang adanya seorang ahli argumen dan sebuah masalah untuk diargumentasikan,
sedangkan dalam hal ini, keduanya sama yang bernama jiwa.(M.M.Syarif, 1993) Jiwa mmpunyai
sifat sebagai substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa berkerja untuk
mengontrol tuubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi jiwa tidak bisa dirasa lewat alat-
alat tubuh.

Anda mungkin juga menyukai