Walau berbeda pendapat dalam mendefinisikan dan tujuan, akan tetapi mereka bersepaham
tentang urgensi pendidikan terhadap masyarakat, yaitu sebagai prasarat hidup layak serta
mencapai kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat. Terlebih pada masa kini, yang
mendorong antar individu saling bersaing dari berbagai lini dan aspek kehidupan.
Berbeda dengan kehidupan masa lalu. Kebutuhan manusia masih sederhana, sedikit,
dan tidak kompleks. Bandingkan dengan sekarang, yang kian hari kian bertambah
kebutuhannya, seiring dengan perkembangan peradaban dan meningkatnya kebutuhan
manusia.1
Sekurang-kurangnya tujuan pendidikan secara umum ada tiga, yaitu sebagai alat
mencari ma’isah, kedua dilandasi kepentingan ilmu pengetahuan dan ketiga pembentukkan
akhlak. Sementara dalam Islam tujuan terpenting pendidikan adalah membentuk akhlak yang
mulia, dengan tanpa mengkesampingkan tujuan-tujuan lainnya. Sebagaimana Allah firmankan
dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” 2
Menurut penuturan Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., dalam al-Qur’an terdapat 2.500 kali
diucapkan kata-kata iman bersanding dengan akhlak mulia. Hal ini menegaskan bahwa
konsep pendidikan Islam menitikberatkan kepada akhlak mulia sebagai manifestasi dari
keimanan. Pada makalah ini, akan sedikit menguraikan salah satu tokoh yang dianggap
reformis di kalangan Islam, beliau adalah Muhammad Abduh yang pernah hidup antara 1849
s.d. 1905. Yang menarik bagian awal pendidikan Abduh sepenuhnya berada pada garis
tradisional, dengan methode hafalan. Tetapi, sejak awal ia telah menunjukkan sikap kritis
terhadap metode tersebut yang dinilainya tidak mengembangkan pengertian dan kreativitas.
Pendidikan tradisionalnya dilengkapi dengan belajar di Univesitas Al-Azhar; tamat pada tahun
1877, kemudian mengajar di sana.3 Berikut beberapa Pemikiran Serta Pembaharuan Muhammad
Abduh dalam Pendidikan Islam.
1 Mahmud Yunus, Tarbiyah wa Ta’lim, Juz Pertama, (Ponorogo: Darussalam Press, 2005), 4.
2 Departemen RI, The Holy Qur`an Al Fatih, (Jakarta : Insan Media Pustaka, 2012), 420.
3 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003), 274.
Muhamad Abduh melihat adanya segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran
itu, ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan
mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan
modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran
modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan bahaya ynag
mengancam sendi agama dan moral.
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap
kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi
mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua
lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan
dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi
pelajaran agama dengan pelajaran umum. Muhamad Abduh mempunyai beberapa
langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
4 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah (Jakarta: Grafindo Persada, 1987) hlm. 309
kebiasaan berfikir dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk antara membawa
kemaslahatan dan kemudaratan. Dengan hal ini, Muhammad Abduh berharap
kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat terkikis.
Bagi Muhammad Abduh, perbuatan manusia bertolak dari konklusi bahwa
manusia adalah makhluk yang bebas memilih perbuatan. Muhammad Abduh
menjelaskan bahwa yang mendukung suatu perbuatan manusia adalah akal, kemauan
dan daya.5 Penggabungan dengan tujuan spiritual (afektif), diharapkan dapat melahirkan
generasi baru yang berintelektual tinggi, berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak yang
mulia dan berjiwa bersih. Sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral
dapat terhapuskan. Menurut Abduh, apabila kedua aspek tersebut dididik dan
dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka
umat Islam akan bangkit dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi bangsa-bangsa
yang telah maju kebudayaannya.
5 Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 110.
6 Ibid., 108.
7 Ysmansyah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 242.
yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum
sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah.
Kurikulum Al-azhar
Karir Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan kuliahnya pada tahun
1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya, Ia diangkat menjadi dosen pada
Universitas Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas Al-Azhar.
Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai dengan
cita-citanya, yaitu memasukan udara baru yang segar pada perguruan-perguruan
tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang sesuai dengan
kemajuan zaman, mengembangkan kesusastraan Arab sehingga menjadi bahasa yang
kaya dan hidup, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatic.
Dalam mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk
berpikiran kritis, rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat, serta
menjauhi paham fatalism, karena ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang
menjadi penyebab kemunduran Umat, kelemahan umat, absennya jihad Umat,
absennya kemajuan kultur Ummat dan tercabutnya Umat dari norma-norma dasar
pendidikan Islam
Ia menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang
diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan
metode menghafal, karena metode demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti
yang dialaminya ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thanta. 8
Krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi pada saat itu.
Salah satu penyebab dari krisis tersebut adalah dikarenakan adanya dikotomi Ilmu
Pengetahuan pada saat itu, sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural
maupun peradaban. Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh yakin
bahwa apabila pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka kondisi umat Islam akan
ikut baik. Menurutnya perlu diadakan pembenahan administrasi, kurikulumnya
diperluas, mencakup ilmu-ilmu modern, sehinnga Al-Azhar dapat berdiri sejajar
dengan universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi
kaum muslimin.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
1) Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
2) Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan
menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
3) Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
4) Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca
hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks
pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
5) Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Pembaharuan yang dilakukan Muhammad ‘Abduh dalam kurikulum Al-Azhar
diniatkan sebagai contoh bagi perguruan Islam lain di dunia sebab Al-Azhar adalah
lambang pendidikan dunia Islam
9 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 226-230
10 Ysmansyah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 241
dengan agama islam. Dengan adanya materi tentang agama, diharapkan para calon
pegawai dan perwira militer memiliki bekal agama dan moral yang baik. 11
Ketiga jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan bertujuan
menciptakan kelompok social secara eksklusif, melainkan memiliki tujuan untuk
melayani kepentingan masyarakat. Prinsip yang diterapkan Muhammad Abduh adalah
perlunya mendasari pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran diperlukan untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan dipandang sebagai alat
yang paling efektif untuk melakukan suatu perubahan.
Diantara konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh juga adalah
tentang pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak yang sama
dengan laki-laki dalam menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari
rantai kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam mengangkat harkat
martabat perempuan, munurunya ada beberapa hal yang harus diperjuangkan
pembelajaran buat perempuan; mempersempit talak, dan pelarangan poligami. Semua
pemikiran Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan dikembangkan dalam
Tahrir al-Mar'ah karya muridnya, Qosim Amin
Dalam bidang pendidikan nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha
perbaikan (islah), dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan
pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang
utama antara lain:
1) Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar
2) Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan
atau yang belum mereka ketahui.
3) Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air, dan pemimpin.
Pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dipengaruhi oleh
factor situasi keagamaan dan situasi pendidikan yang terjadi pada masa itu. Keadaan
social keagamaan di Mesir saat itu cukup memprihatinkan. Krisis yang menimpa umat
bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi juga akhlak dan moral. Pemikiran
Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada saat itu. Pembaruan bidang
pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di Al-Azhar ternyata juga
berpengaruh besar pada institusi pendidikan yang ada di Mesir bahkan ide
penbaharuannya ditulis dan disebarkan pula melalui majalah terkenal di Mesir, yaitu Al-
Manar dan Al-Urwat Al- Wutsqa.12
Muhammad Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai dengan apa yang
dibutuhkan masyarakat mesir pada saat itu. Ia berpendapat bahwa sekolah khusus yang
mendidik para ulama hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, sehingga Ia
memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikuluum Al-Azhar, antara lain ilmu
filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern. Hal ini ia maksud untuk mempersiapkan
sumber daya manusia yang berkualitas, yakni para ulama yang modern.
11 Ysmansyah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 242
12 Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 108.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum
sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif
terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar
disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi
lama teguh dalam mempertahankanya.